Anda di halaman 1dari 136

KUMPULAN MAKALAH IBADAH ISLAM

SEMETER III AMAYO YOGYAKARTA

DOSEN PENGAMPU: Ustadz Adi Haironi, S. Pd.I, M. Pd.I.

PROGRAM STUDI MANAJEMEN ADMINISTRASI


AKADEMI MANAJEMEN ADMINISTRASI
YOGYAKARTA
2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya
di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah ini.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Bapak Dosen
yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.

Yogyakarta, 26 Oktober 2019

Penulis

i
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharoh
Sesungguhnya Islam adalah agama yang suci dan bersih. Tidak ada satupun agama yang
mengatur tentang bersuci sebagaimana agama Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َ َ ‫إِ َّن هللاَ ي ُِحبُّ التَّ َّوابِيْنَ َوي ُِحبُّ ْال ُمت‬
َ‫ط ِه ِريْن‬
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang
mensucikan diri/ berthaharah.” (Al-Baqarah: 222)
Di dalam kitab-kitab fiqih para ulama menempatkan pembahasan Bab Thaharah dalam bab pertama,
sebelum pembahasan yang lainnya. Maka dalam rubrik ini, kami juga akan mengawali pembahasan
tentang masalah Thaharah.

1.1.Makna Thaharah

Thaharah menurut arti bahasa adalah pembersihan dari segala kotoran, baik yang tampak
maupun yang tidak tampak. Adapun arti Thaharah secara syariat adalah meniadakan atau
membersihkan hadats dengan air atau debu yang bisa dipakai untuk menyucikan. Selain itu
bermakna juga, usaha untuk menghilangkan najis dan kotoran. Disini bisa diambil pengertian
akhir bahwa Thaharah adalah melenyapkan sesuatu yang ada di tubuh yang menjadi hambatan
bagi pelaksanaan shalat dan ibadah lainnya.

1.2.Pembagian Thaharah

Thaharah terbagi menjadi dua macam yaitu: Thaharah Batin dan Thaharah Lahir.
Thaharah batin, yaitu Thaharah dari berbagai macam kemusyrikan dan kemaksiatan. Hal ini bisa
dilakukan dengan menguatkan tauhid dan beramal shalih. Thaharah semacam ini lebih penting
daripada Thaharah fisik. Sebab tidak mungkin Thaharah fisik ini akan bisa terwujud manakala
masih adanya najis kemusyrikan. Allah berfirman:

‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِنَّ َما ْال ُم ْش ِر ُكونَ نَ َجس‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.” (QS. At-
Taubah: 28)

i
Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk membersihkan
hatinya dari najis kemusyrikan dan keragu-raguan. Yaitu dengan cara ikhlas, bertauhid dan
berkeyakinan serta bertekad untuk bisa membersihkan diri dan hatinya dari kotoran-kotoran
kemaksiatan, pengaruh-pengaruh iri, dengki, suap, tipu daya, sombong, ujub, riya’ dan sum’ah.
Semua ini bisa dilakukan dengan cara taubat yang sebenar-benarnya dari semua dosa dan
maksiat. Dan thaharah ini merupakan sebagian dari iman.

Adapun sebagian yang lainnya adalah thaharah fisik atau lahir. Thaharah fisik, yaitu bersuci
dari kotoran-kotoran dan najis-najis, dan thaharah ini adalah separuh keimanan yang kedua.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersuci itu separuh dari keimanan.”

Thaharah macam kedua ini dilakukan menurut tata cara yang telah disyariatkan oleh Allah
yaitu dengan cara berwudhu’, mandi atau tayamum (ketika sedang tidak ada air), serta
membersihkan najis dari pakaian, badan, dan tempat shalat.

Thaharah ini bisa dilakukan dengan dua hal:

Pertama: Thaharah dengan cara menggunakan air, dan inilah cara Thaharah yang paling pokok.
Oleh sebab itu, setiap air yang turun dari langit atau keluar dari perut bumi adalah air yang
menempati asal penciptaannya. Maka hukum air tersebut adalah suci dan menyucikan dari segala
hadats dan kotoran meskipun sudah mengalami perubahan rasa atau warna atau baunya oleh
sebab sesuatu yang bersih. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya air itu dapat menyucikan. Yang tidak bisa dibuat najis oleh sesuatupun.”
(HR. Abu Dawud).

Di antara macam-macam air tersebut adalah air hujan, mata air, air sumur, air sungai, air lembah,
air salju yang mencair, dan air laut. Sehubungan dengan air laut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:

“Air laut itu bisa menyucikan dan bangkainya pun halal.” (H.R. Abu Dawud)

i
Adapun berkenaan dengan air zam zam telah ditetapkan oleh suatu hadits dari Ali
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah meminta dibawakan
satu timba dari air zam zam, lalu air tersebut beliau pakai untuk minum dan untuk berwudu. (HR.
Imam Ahmad)
Akan tetapi apabila air itu telah berubah warna, rasa, atau baunya yang disebabkan oleh benda
najis, menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama, air itu pun najis yang harus dihindari yang artinya
tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci.
Kedua: Thaharah dengan memakai debu yang suci. Thaharah ini merupakan ganti dari thaharah
dengan air oleh sebab tidak memungkinkan bersuci dengan menggunakan air pada bagian-bagian
yang harus disucikan atau karena tidak adanya air, atau karena takut bahaya yang ditimbulkan
jika menggunakan air sehingga bisa digantikan dengan debu yang suci.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫س ِبي ٍل َحتَّى تَ ْغتَ ِسلُوا َو ِإ ْن‬


َ ‫َارى َحتَّى ت َ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َوال ُجنُبًا ِإال َعا ِب ِري‬ َ ‫سك‬ ُ ‫صالة َ َوأ َ ْنت ُ ْم‬
َّ ‫َيا أَيُّ َها ا َّل ِذينَ آ َمنُوا ال تَ ْق َربُوا ال‬
َ ‫ص ِعيدًا‬
َ ‫طيِبًا فَا ْم‬
‫س ُحوا‬ َ ِ‫سفَ ٍر أ َ ْو َجا َء أَ َحد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أ َ ْو ال َم ْست ُ ُم الن‬
َ ‫سا َء فَلَ ْم ت َِجد ُوا َما ًء فَت َ َي َّم ُموا‬ َ ‫ضى أ َ ْو َعلَى‬
َ ‫ُك ْنت ُ ْم َم ْر‬
َّ ‫بِ ُو ُجو ِه ُك ْم َوأَ ْيدِي ُك ْم إِ َّن‬
ً ُ‫َّللاَ َكانَ َعفُ ًّوا َغف‬
‫ورا‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.” (QS. An-Nisa’ : 43)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Bumi (mana saja) dijadikan sebagai masjid,
dan suci bagiku.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan asal hadits ini dari Shahih Al Bukhari dan
Muslim).

1.3.Definisi Hadats dan Najis


a. Hadats adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak sah melakukan ibadah tertentu
seperti shalat; dapat dibedakan menjadi dua:
1. Hadats Kecil: segala sesuatu yang membatalkan wudhu’, seperti kentut, kencing, buang
air besar, dll.

i
2. Hadats Besar: sesuatu yang menyebabkan mandi besar, seperti mimpi basah, bersetubuh,
haidh, dan nifas.

b.Najis adalah sesuatu yang datang dari dalam diri (tubuh) manusia ataupun dari luar manusia,
yang dapat menyebabkan tidak sahnya badan, pakaian, atau tempat untuk dipakai beribadah;
dapat dibedakan menjadi tiga:

1. berat Najis Mukhaffafah (najis ringan): misalnya air kecing bayi yang belum berumur 2
tahun dan belum makan apa pun selain air susu ibu.

2. Najis Mutawasithah (najis sedang):

a. Hukmiyah: benda suci yang terkena benda najis dan masih bisa disucikan (dengan air,
dll.).

b. Ainiyah: benda yang pada asalnya dihukumi najis dan tidak bisa disucikan.

3. Najis Mughalladhoh (najis): misalnya air liur/air kencingnya anjing atau babi, dan atau
keturunanya.

Pembahasan dalam makalah ini akan memfokuskan pada jenis thaharah fisik, yang
meliputi wudhu’, mandi wajib (al-ghuslu), dan tayammum.

B. Berwudhu

1.1 Pengertian Wudhu’

Secara bahasa wudhu’ berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan. Wudhu’ untuk


sholat dikatakan sebagai wudhu’ karena ia membersihkan anggota wudhu’ dan memperindahnya.
Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu’ adalah peribadatan kepada Allah
‘azza wa jalla dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan dengan cara yang tertentu di
empat anggota badan yaitu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki.

Adapun sebab yang mewajibkan wudhu’ adalah hadats, yaitu apa saja yang mewajibkan wudhu’
atau mandi. Hadats terbagi menjadi dua macam: hadats besar, yaitu segala yang mewajibkan
mandi; dan hadats kecil, yaitu semua yang mewajibkan wudhu’.

Adapun dalil wajibnya wudhu’ (apabila berhadats sebelum sholat) adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,

i
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki” (QS. Al-Maidah : 6)
1.2. Fardhu Wudhu’
Fardhu (rukun) wudhu’ ada 6 (enam), yaitu :
1. Membasuh muka (termasuk berkumur dan memasukkan dan mengeluarkan air ke dan dari
hidung)
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku,
3. Mengusap (menyapu) seluruh kepala
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki,
5. Tertib (berurutan),
6. Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).
Sunnah Wudhu’
Yang termasuk sunnah-sunnah wudhu’ adalah :
1. Bersiwak sebelum berwudhu’
2. Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali
3. Bersungguh-sungguh dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali bagi yang berpuasa
4. Mendahulukan anggota wudhu’ yang kanan
5. Mengulangi setiap basuhan dua kali atau tiga kali
6. Menyela-nyela antara jari-jemari (tangan dan kaki)
7. Menyela-nyela jenggot yang lebat.
8. Menyempurnakan wudhu’
1.3. Tata Cara Wudhu’
Adapun tata cara wudhu’ secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam yang diriwayatkan dari Humraan, budak sahabat Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu,

ُ‫ ث ُ َّم أَدْ َخ َل يَ ِمينَه‬، ‫ت‬


ٍ ‫ث َم َّرا‬ َ َ‫سلَ ُه َما ثَال‬َ َ‫ فَغ‬، ‫غ َعلَى يَدَ ْي ِه ِم ْن إِنَائِ ِه‬ َ ‫ فَأ َ ْف َر‬، ٍ‫عثْ َمانَ دَ َعا بِ َوضُوء‬ ُ ‫عثْ َمانَ ب ِْن َعفَّانَ أَنَّهُ َرأَى‬
ُ ‫َع ْن ُح ْم َرانَ َم ْولَى‬
‫س َل ُك َّل‬َ ‫ ث ُ َّم َغ‬، ‫س َح بِ َرأْ ِس ِه‬َ ‫ ث ُ َّم َم‬، ‫س َل َوجْ َههُ ثَالَثًا َويَدَ ْي ِه إِلَى ْال ِم ْرفَقَي ِْن ثَالَثًا‬َ ‫ ث ُ َّم َغ‬، ‫ َوا ْستَ ْنث َ َر‬، َ‫ َوا ْستَ ْنشَق‬، ‫ض‬َ ‫ض َم‬ ِ ‫فِى ْال َوض‬
ْ ‫ ث ُ َّم ت َ َم‬، ‫ُوء‬

i
‫صلَّى‬ َّ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َيت ََوضَّأ ُ نَحْ َو ُوضُوئِى َهذَا َوقَا َل َم ْن ت ََو‬
َ ‫ضأ َ نَحْ َو ُوضُوئِى َهذَا ث ُ َّم‬ َّ ‫ ث ُ َّم قَا َل َرأَيْتُ النَّ ِب‬، ‫ِرجْ ٍل ثَالَثًا‬
‫َّللاُ َلهُ َما تَقَد ََّم ِم ْن ذَ ْن ِب ِه‬ َ ‫ِث ِفي ِه َما َن ْف‬
َّ ‫ َغفَ َر‬، ُ‫سه‬ ُ ‫ الَ يُ َحد‬، ‫َر ْك َعتَي ِْن‬

Dari Humraan -bekas budak Utsman bin Affan-, suatu ketika ‘Utsman memintanya untuk
membawakan air wudhu’ (dengan wadahpent.), kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut ke
kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan
tangan kanannya ke dalam air wudhu’ kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan
beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua
tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.) kemudian
membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu’ dengan wudhu’ yang semisal ini dan beliau shallallahu
‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu’ dengan wudhu’ semisal ini
kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.) dan ia tidak berbicara di antara wudhu’ dan
sholatnya maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”(HR. Bukhari - Muslim)
Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu’
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut,
1. Niat berwudhu’ (dalam hati) untuk menghilangkan hadats
2. Membaca basmallah
3. Membasuh dua telapak sebanyak tiga kali
4. Berkumur sebanyak tiga kali, menghirup air ke hidung (Istinsyaq) sebanyak tiga kali, dan
menyemprotkan air (istin-tsar) dari hidung ke sebelah kiri

5. Membasuh muka sebanyak tiga kali.

Batasan muka dimulai dari tumbuhnya rambut kepala –menurut kebiasaan- hingga ke bagian
ujung dua tulang rahang dan dagu.

6. Membasuh dua tangan beserta siku sebanyak tiga kali.


Batasan tangan dimulai dari ujung jari-jari tangan (berikut kuku-kukunya) sampai lengan atas.
Sebelum kedua tangan dibasuh, terlebih dahulu menghilangkan sesuatu yang melekat pada
keduanya seperti lumpur dan celupan yang tebal yang melekat pada kuku agar air sampai ke
kulit.
7. Menyapu seluruh kepala berikut dua telinga sebanyak satu kali sapuan dengan air yang baru dan
bukan air dari sisa basuhan tangan.

i
Cara menyapu kepala ialah meletakkan kedua tangan yang sudah dibasahi degan air yang baru
pada bagian depan kepala, lalu melintaskan keduanya sampai tengkuk lalu mengembalikan
keduanya ke tempat semula, lalu memasukkan dua jari telunjuk kedua lubang telinga dan
menyapu bagian luar telinga dengan dua ibu jari.
8. Membasuh dua kaki beserta dua mata kaki sebanyak tiga kali.
Mata kaki ialah dua tulang yang menonjol pada bagian bawah betis. Bagi orang yang tangan atau
kakinya diamputasi, maka cukup membasuh bagian yang tersisa dari siku atau kaki.
Setelah selesai berwudhu’ dengan cara-cara tadi, maka arahkanlah pandangan ke langit (atas)
dan ucapkanlah doa, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah. Doa yang dibaca Nabi
setelah selesai wudhu’, diantaranya adalah:
Asyhadu allaa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna muhammadan
‘abduhu wa rasuuluh, allahummaj ‘alnii minattawwaabiinaa waj’alnii minal mutathahhiriin.
Subhaanakallahumma wa bihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu
ilaik

“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah yang Maha Esa, Yang
tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya
Allah, jadikanlah aku sebagai bagian dari golongan orang-orang yang (selalu) bertobat serta
jadikanlah aku sebagai bagian dari golongan orang-orang yang selalu bersuci. Maha suci Engkau
ya Allah. Dengan memuji-Mu, bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Aku
memohon ampunan dan bertobat kepada-Mu.” (HR. Muslim, Tirmidzi)

1.4. Pembatal Wudhu’


Pembatal pertama: Kencing, buang air besar, dan kentut
Dalil bahwa kencing dan buang air besar merupakan pembatal wudhu dapat dilihat pada firman
Allah Ta’ala,

‫أَ ْو َجا َء أ َ َحد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط‬


“Atau kembali dari tempat buang air (kakus).”(QS. Al Ma-idah : 6)
Yang dimaksud dengan al ghoith dalam ayat ini secara bahasa bermakna tanah yang rendah yang
luas. Al ghoith juga adalah kata kiasan (majaz) untuk tempat buang air (kakus) dan lebih sering
digunakan untuk makna majaz ini.

i
Sedangkan dalil bahwa kentut (baik dengan bersuara atau pun tidak) membatalkan wudhu adalah
hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ساء أ َ ْو ض َُراط‬ ُ َ‫ قَا َل َر ُجل ِم ْن َحض َْر َم ْوتَ َما ْال َحد‬. » َ ‫ضأ‬
َ ُ‫ث يَا أَبَا ه َُري َْرة َ قَا َل ف‬ َ َ‫صالَة ُ َم ْن أَحْ د‬
َّ ‫ث َحتَّى َيت ََو‬ َ ‫« الَ ت ُ ْقبَ ُل‬

“Shalat seseorang yang berhadats tidak akan diterima sampai ia berwudhu.” Lalu ada orang dari
Hadhromaut mengatakan, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah pun
menjawab,

‫ساء أ َ ْو ض َُراط‬
َ ُ‫ف‬
“Di antaranya adalah kentut tanpa suara atau kentut dengan suara.”(HR. Bukhari – Muslim).
Pembatal kedua: Keluarnya mani, wadi, dan madzi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani,
namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau
ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak
menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat.
Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.

Adapun mani, sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, bisa dibedakan dari madzi dan wadi
dengan melihat ciri-ciri mani yaitu:

[1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika kering,

[2] airnya keluar dengan memancar,

[3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas).

Jika salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani. Wanita sama halnya
dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak disyaratkan air mani tersebut memancar
sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.
Wadi dan madzi najis. Sedangkan mani -menurut pendapat yang lebih kuat- termasuk zat yang suci.
Cara mensucikan pakaian yang terkena madzi dan wadi adalah dengan cara diperciki. Sedangkan
mani cukup dengan dikerik.
Jika keluar mani, maka seseorang diwajibkan untuk mandi. Mani bisa membatalkan wudhu
berdasarkan kesepakatan para ulama dan segala sesuatu yang menyebabkan mandi termasuk
pembatal wudhu.

i
Adapun madzi bisa membatalkan wudhu’, berdasarkan hadits tentang cerita ‘Ali bin Abi Tholib.
‘Ali mengatakan,
َ َ‫َان ا ْبنَتِ ِه فَأ َ َم ْرتُ ْال ِم ْقدَادَ بْنَ األَس َْو ِد ف‬
ُ‫سأَلَهُ فَقَا َل يَ ْغ ِس ُل ذَك ََره‬ َّ ِ‫ُك ْنتُ َر ُجالً َمذَّا ًء َو ُك ْنتُ أ َ ْستَحْ يِى أَ ْن أ َ ْسأ َ َل النَّب‬
ِ ‫ ِل َمك‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
ُ ‫ويَت ََوضَّأ‬.
َ
“Aku termasuk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku
pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Cucilah kemaluannya kemudian
suruh ia berwudhu”.”(HR. Bukhari – Muslim)
Sedangkan wadi semisal dengan madzi sehingga perlakuannya sama dengan madzi.
Pembatal ketiga: Tidur lelap (dalam keadaan tidak sadar)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur lelap yang tidak lagi dalam keadaan sadar.
Maksudnya, ia tidak lagi mendengar suara, atau tidak merasakan lagi sesuatu jatuh dari tangannya,
atau tidak merasakan air liur yang menetes. Tidur seperti inilah yang membatalkan wudhu’, baik
tidurnya dalam keadaan berdiri, berbaring, ruku’ atau sujud. Karena tidur semacam ini yang
dianggap mazhonnatu lil hadats, yaitu kemungkinan muncul hadats.

Sedangkan tidur yang hanya sesaat yang dalam keadaan kantuk, masih sadar dan masih
merasakan merasakan apa-apa, maka tidur semacam ini tidak membatalkan wudhu. Inilah pendapat
yang bisa menggabungkan dalil-dalil yang ada.

Di antara dalil hal ini adalah hadits dari Anas bin Malik,

َّ ‫صلُّونَ َوالَ َيت ََو‬


َ‫ضئُون‬ َ ُ‫ َينَا ُمونَ ث ُ َّم ي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ِل‬ ْ َ ‫َكانَ أ‬
ُ ‫ص َحابُ َر‬

“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun
melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” (HR. Muslim)

Pembatal keempat: Hilangnya akal karena mabuk, pingsan dan gila. Ini berdasarkan ijma’
(kesepakatan para ulama). Hilang kesadaran pada kondisi semacam ini tentu lebih parah dari tidur.

Pembatal kelima: Memakan daging unta.

Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,


ُ ‫ قَا َل أَت ََوضَّأ‬.» ْ ‫وم ْالغَن َِم قَا َل « إِ ْن ِشئْتَ فَت ََوضَّأ ْ َوإِ ْن ِشئْتَ فَالَ ت ََوضَّأ‬ ِ ‫ أَأَت ََوضَّأ ُ ِم ْن لُ ُح‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ ُ ‫سأ َ َل َر‬
َّ ‫سو َل‬ َ ً‫أََ َّن َر ُجال‬
.» ‫اإل ِب ِل‬
ِ ‫وم‬ِ ‫اإل ِب ِل قَا َل « نَ َع ْم فَت ََوضَّأ ْ ِم ْن لُ ُح‬
ِ ‫وم‬ ِ ‫ِم ْن لُ ُح‬

i
“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku mesti
berwudhu setelah memakan daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah.
Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah
seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau harus
berwudhu setelah memakan daging unta.”(HR. Muslim)

Inilah beberapa hal yang disepakati sebagai pembatal wudhu’. Sebagian lainnya adalah pembatal
wudhu’ yang masih diperselisihkan di antara para ‘ulama.

C. Mandi Wajib
1.1.Pengertian Mandi Wajib (Al-Ghuslu)
Yang dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan
yang dimaksud dengan al ghuslu secara syari’at adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan
tata cara yang khusus untuk menghilangkan hadats besar.
Beberapa Hal yang Mewajibkan untuk Mandi (al ghuslu)
Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat (junub).
Dalil bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,
َّ ‫َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم ُجنُبًا فَا‬
‫ط َّه ُروا‬
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)
‫س ِبي ٍل َحتَّى ت َ ْغتَ ِسلُوا‬
َ ‫َارى َحتَّى ت َ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َو َال ُجنُبًا ِإ َّال َعا ِب ِري‬
َ ‫سك‬ُ ‫ص َالةَ َوأَ ْنت ُ ْم‬
َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا َال تَ ْق َربُوا ال‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)

Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ِإنَّ َما ْال َما ُء ِمنَ ْال َم‬


‫اء‬

“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim)

Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

ِ ‫َّللاَ الَ َي ْستَحْ ِيى ِمنَ ْال َح‬


‫ ه َْل َعلَى‬، ‫ق‬ َّ ‫ ِإ َّن‬، ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ ْ َ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – فَقَال‬
ُ ‫ت َيا َر‬ َّ ‫سو ِل‬ُ ‫ط ْل َحةَ ِإلَى َر‬ ُ ‫ت أ ُ ُّم‬
َ ‫سلَي ٍْم ا ْم َرأَة ُ أ َ ِبى‬ ْ ‫َجا َء‬
‫ت ْال َما َء‬
ِ َ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – نَ َع ْم ِإذَا َرأ‬ ْ ‫ِى احْ تَلَ َم‬
ُ ‫ت فَقَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ْال َم ْرأ َ ِة ِم ْن‬
َ ‫غ ْس ٍل إِذَا ه‬

i
“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah bagi
wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia
melihat air.” (HR. Bukhari - Muslim)

Kedua: Bertemunya dua kemaluan (laki-laki dan perempuan), walaupun tidak keluar mani.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ب ْالغَ ْس ُل‬
َ ‫ فَقَدْ َو َج‬، ‫شعَبِ َها األ َ ْربَعِ ث ُ َّم َج َهدَهَا‬ َ َ‫إِذَا َجل‬
ُ َ‫س بَيْن‬

“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi
istrinya,pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari -
Muslim)

Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

‫َو ِإ ْن لَ ْم يُ ْن ِز ْل‬

“Walaupun tidak keluar mani.”

Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.

Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,

ْ ‫صالَةَ َو ِإذَا أَدْبَ َر‬


َ ‫ت فَا ْغ ِس ِلى َع ْن ِك الد ََّم َو‬
‫ص ِلى‬ َ ‫ت ْال َح ْي‬
َّ ‫ضةُ فَد َ ِعى ال‬ ِ َ‫فَإِذَا أ َ ْقبَل‬

“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti,
hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari - Muslim).

Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Asy
Syaukani rahimahullah mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh
tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan
hadits mutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama
mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.”

Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.

Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,

‫سلَّ َم أ َ ْن َي ْغتَ ِس َل ِب َماءٍ َو ِسد ٍْر‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُّ ‫أَنَّهُ أ َ ْسلَ َم فَأ َ َم َرهُ النَّ ِب‬
َ ‫ي‬

i
“Bahwasanya dia (Qois) masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya
untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR. An Nasa’i, At Tirmidzi, Ahmad).

Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah ushul,
hukum asal perintah adalah wajib. ‘Ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam
di antaranya adalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Kelima: Karena kematian.

Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya orang yang
hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa
memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah
melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya. Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap
muslim yang mati, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau
budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan perang ketika
berperang dengan orang kafir.

Dalil mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan
anaknya,

ً ‫ا ْغس ِْلنَ َها ثَالَثًا أ َ ْو خ َْم‬


‫سا أ َ ْو أ َ ْكث َ َر َم ْن ذَلِكَ إِ ْن َرأَ ْيت ُ َّن ذَلِكَ بِ َماءٍ َو ِسد ٍْر‬

“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali
atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus
(wewangian).” (HR. Bukhari - Muslim).

1.2 Rukun Mandi


1. Niat mandi (dalam hati) untuk menghilangkan hadats besar.
2. Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan
kulit.Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di
antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ ‫يض ْال َما َء َعلَى َج‬


‫س ِد ِه ُك ِل ِه‬ ُ ‫ث ُ َّم يُ ِف‬

i
“Kemudian beliau (Rasulullah) mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i) Dalil
lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Ia
mengatakan,

‫يك أ َ ْن تَحْ ثِى َعلَى َرأْ ِس ِك‬ ُ ُ‫ض ْف َر َرأْ ِسى فَأ َ ْنق‬
ِ ‫ضهُ ِلغُ ْس ِل ْال َجنَا َب ِة قَا َل « الَ ِإ َّن َما َي ْك ِف‬ ُ َ ‫َّللاِ ِإنِى ا ْم َرأَة أ‬
َ ُّ‫شد‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫قُ ْلتُ َيا َر‬
.» َ‫يضينَ َعلَي ِْك ْال َما َء فَت َْط ُه ِرين‬ ِ ‫ت ث ُ َّم ت ُ ِف‬
ٍ ‫ث َحثَ َيا‬
َ َ‫ثَال‬

“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku,
apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu
buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya
dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim)

Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai
niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air
mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
1.3 Tata Cara Mandi yang Sempurna
Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka
akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil
yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:
‫ ث ُ َّم‬، ‫س َل يَدَ ْي ِه‬َ َ‫س َل ِمنَ ْال َجنَابَ ِة بَدَأَ فَغ‬ َ َ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ إِذَا ا ْغت‬ َّ ِ‫شةَ زَ ْوجِ النَّبِ ِى – صلى هللا عليه وسلم – أ َ َّن النَّب‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
َ َ‫صبُّ َع َلى َرأْ ِس ِه ثَال‬
‫ث‬ ُ َ‫شعَ ِر ِه ث ُ َّم ي‬
َ ‫صو َل‬ ُ ُ ‫ فَيُ َخ ِل ُل بِ َها أ‬، ‫اء‬
ِ ‫صابِعَهُ فِى ْال َم‬
َ َ ‫ ث ُ َّم يُد ِْخ ُل أ‬، ِ‫صالَة‬ َّ ‫يض ْال َما َء يَت ََوضَّأ ُ َك َما يَت ََوضَّأ ُ ِلل‬
ُ ‫ ث ُ َّم يُ ِف‬، ‫غ َرفٍ بِيَدَ ْي ِه‬
ُ
‫َعلَى ِج ْل ِد ِه ُك ِل ِه‬

“Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian
beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam
air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya
dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke
seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari - Muslim)

Hadits kedua:

i
‫سلَ ُه َما َم َّرتَي ِْن‬
َ َ‫ فَغ‬، ‫غ َعلَى َيدَ ْي ِه‬ َ ‫ فَأ َ ْف َر‬، ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – َما ًء َي ْغتَ ِس ُل ِب ِه‬ َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫ض ْعتُ ِل َر‬ َ ‫ت َم ْي ُمونَةُ َو‬ ْ ‫َّاس َقا َل َقا َل‬ ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعب‬
‫س َل َوجْ َههُ َو َيدَ ْي ِه ثُ َّم‬ َ ‫ ث ُ َّم َغ‬، َ‫ض َوا ْست َ ْنشَق‬ َ ‫ض َم‬ ْ ‫ ث ُ َّم َم‬، ‫ض‬ ِ ‫ ث ُ َّم دَ َلكَ َيدَهُ ِباأل َ ْر‬، ُ‫يره‬
َ ‫س َل َمذَا ِك‬ َ ‫ ث ُ َّم أ َ ْف َر‬، ‫َم َّرتَي ِْن أَ ْو ثَالَثًا‬
َ َ‫ َفغ‬، ‫غ ِب َي ِمي ِن ِه َعلَى ِش َما ِل ِه‬
‫س َل قَدَ َم ْي ِه‬ ِ َ‫ ث ُ َّم تَنَ َّحى ِم ْن َمق‬، ‫س ِد ِه‬
َ َ‫ام ِه فَغ‬ َ ‫غ َعلَى َج‬ َ ْ‫س َل َرأ‬
َ ‫ ث ُ َّم أ َ ْف َر‬، ‫سهُ ثَالَثًا‬ َ ‫َغ‬
Dari Ibnu ‘Abbas (dia) berkata, bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air
mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua
tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya
beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya.
Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan
memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian
beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser
dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari -
Muslim)
Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.
Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan
dalam bejana atau sebelum mandi.
Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau
dengan menggunakan sabun.
Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.

Ketujuh: Menyela-nyela rambut.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,

َ ‫ ث ُ َّم يُ َخ ِل ُل بِيَ ِد ِه‬، ‫س َل‬


ُ‫شعَ َره‬ َّ ‫ضأ َ ُوضُو َءهُ ِلل‬
َ َ ‫صالَةِ ث ُ َّم ا ْغت‬ َّ ‫ َوت ََو‬، ‫س َل يَدَ ْي ِه‬ َ ‫غ‬َ ‫س َل ِمنَ ْال َجنَابَ ِة‬َ َ ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – إِذَا ا ْغت‬ ُ ‫َكانَ َر‬
َّ ‫سو ُل‬
‫س ِد ِه‬َ ‫سائِ َر َج‬ َ ‫س َل‬ َ ‫ ث ُ َّم َغ‬، ‫ت‬
ٍ ‫ث َم َّرا‬ َ َ‫اض َعلَ ْي ِه ْال َما َء ثَال‬َ َ‫ أَف‬، ُ‫ش َرتَه‬ َ َ‫ظ َّن أ َ ْن قَدْ أ َ ْر َوى ب‬
َ ‫ َحتَّى إِذَا‬،

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan
berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-gosokkan
tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya,
beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR.
Bukhari)

i
Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.

Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

‫ور ِه َوفِى شَأْنِ ِه ُك ِل ِه‬ ُ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – يُ ْع ِجبُهُ الت َّ َي ُّمنُ فِى ت َ َنعُّ ِل ِه َوت ََر ُّج ِل ِه َو‬
ِ ‫ط ُه‬ ُّ ِ‫َكانَ النَّب‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika
bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari - Muslim)

Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang
membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?

Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas
sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku
seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika
mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada
kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR.
Muslim)

Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan
dengan beberapa hal berikut ini:

Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

‫ور ث ُ َّم‬
َ ‫ط ُه‬ُّ ‫ط َّه ُر فَتُحْ ِسنُ ال‬َ َ ‫يض فَقَا َل « ت َأ ْ ُخذ ُ إِحْ دَا ُك َّن َما َءهَا َو ِسد َْرتَ َها فَت‬ ِ ‫غ ْس ِل ْال َم ِح‬ ُ ‫ع ْن‬
َ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ ِ َ‫سأَل‬
َّ ِ‫ت النَّب‬ َ ‫أ َ َّن أ َ ْس َما َء‬
‫ت أَ ْس َما ُء‬ْ َ‫ فَقَال‬.» ‫ط َّه ُر بِ َها‬َ َ ‫س َكةً فَت‬َّ ‫صةً ُم َم‬َ ‫ ث ُ َّم تَأ ْ ُخذ ُ فِ ْر‬.‫صبُّ َعلَ ْي َها ْال َما َء‬
ُ َ ‫شئُونَ َرأْ ِس َها ث ُ َّم ت‬ َ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِس َها فَتَدْلُ ُكهُ دَ ْل ًكا‬
ُ ‫شدِيدًا َحتَّى ت َ ْبلُ َغ‬ ُ َ‫ت‬
.‫شةُ َكأَنَّ َها ت ُ ْخ ِفى ذَلِكَ تَت َ َّبعِينَ أَثَ َر الد َِّم‬ ْ َ‫ فَقَال‬.» ‫ط َّه ِرينَ بِ َها‬
َ ِ‫ت َعائ‬ َ َ ‫َّللاِ ت‬ َ َ ‫ْف ت‬
ُ « ‫ط َّه ُر ِب َها فَقَا َل‬
َّ َ‫س ْب َحان‬ َ ‫َو َكي‬

ُ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِس َها فَتَدْلُ ُكهُ َحتَّى تَ ْبلُ َغ‬


َ‫شئُون‬ ُ َ‫ور – ث ُ َّم ت‬ ُّ ‫ور – أَ ْو ت ُ ْب ِل ُغ ال‬
َ ‫ط ُه‬ َ ‫ط ُه‬ َ َ ‫غ ْس ِل ْال َجنَابَ ِة فَقَا َل « ت َأ ْ ُخذ ُ َما ًء فَت‬
ُّ ‫ط َّه ُر َفتُحْ ِسنُ ال‬ ُ ‫سأَلَتْهُ َع ْن‬
َ ‫َو‬
» ‫يض َعلَ ْي َها ْال َما َء‬ ُ ‫َرأْ ِس َها ث ُ َّم ت ُ ِف‬

“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haidh. Maka
beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu
engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air
pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.

i
Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil
kapas bermisik, lalu bersuci dengannya“.

Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia bersuci dengannya (kapas bermisik)?”

Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.”

Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas darah
haidh yang ada (dengan kapas tadi)”.

Dan dia (Asma’) bertanya kepada beliau (Rasulullah) tentang mandi junub, maka beliau bersabda,
‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-
sangat dalam bersuci kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai
dasar kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari - Muslim)

Kedua: Melepas kepangan rambut sehingga air sampai ke pangkal rambut.

Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,

‫شئُونَ َرأْ ِس َها‬ َ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِس َها فَتَدْلُ ُكهُ دَ ْل ًكا‬
ُ ‫شدِيدًا َحتَّى ت َ ْبلُ َغ‬ ُ َ ‫ث ُ َّم ت‬

“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan
keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.”

Dalil tersebut menunjukkan bahwa pada mandi karena haidh tidak cukup dengan hanya mengalirkan
air seperti halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub disebutkan,

ُ ‫شئُونَ َرأْ ِس َها ث ُ َّم ت ُ ِف‬


‫يض َعلَ ْي َها ْال َما َء‬ ُ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِس َها فَتَدْلُ ُكهُ َحتَّى ت َ ْبلُ َغ‬
ُ َ ‫ث ُ َّم ت‬

“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya,
kemudian mengguyurkan air padanya.”

Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan
bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.

Ketiga: Ketika mandi seusai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau
potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu,
disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum
lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas darah haidh.
Dalilnya sebagaimana hadits ‘Aisyah tentang pertanyaan Asma’ di atas.

i
D. Tayammum
1.1.Pengertian Tayammum
ْ َ‫ )الق‬yang berarti maksud. Sedangkan
Tayammum secara bahasa diartikan sebagai Al Qosdu (ُ ‫صد‬
secara istilah dalam syari’at adalah sebuah peribadatan kepada Allah berupa mengusap wajah dan
kedua tangan dengan menggunakan sho’id yang bersih. Sho’id adalah seluruh permukaan bumi yang
dapat digunakan untuk bertayammum, baik yang terdapat tanah di atasnya ataupun tidak. Dalil
Disyari’atkannya Tayammum
Tayammum disyari’atkan dalam Islam berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’
(konsensus) kaum muslimin. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla,
‫س ُحوا ِب ُو ُجو ِه ُك ْم‬ َ ‫ص ِعيدًا‬
ْ َ‫ط ِيبًا ف‬
َ ‫ام‬ َ ‫سا َء فَلَ ْم ت َِجد ُوا َما ًء فَتَ َي َّم ُموا‬ ِ ‫سفَ ٍر أ َ ْو َجا َء أ َ َحد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَا ِئ ِط أ َ ْو َال َم ْست ُ ُم‬
َ ‫الن‬ َ ‫ضى أ َ ْو َعلَى‬
َ ‫َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم َم ْر‬
ُ‫َوأ َ ْيدِي ُك ْم ِم ْنه‬
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan
badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan
permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. Al
Maidah : 6).
Adapun dalil dari As Sunnah adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat
Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu,

« ‫ورا ِإذَا لَ ْم ن َِج ِد ْال َما َء‬ َ ‫ت ت ُ ْر َبت ُ َها لَنَا‬


ً ‫ط ُه‬ ْ َ‫» َو ُج ِعل‬

“Dijadikan bagi kami (ummat Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi was sallam) permukaan bumi
sebagai thohur/sesuatu yang digunakan untuk bersuci (tayammum) jika kami tidak menjumpai air”.
(HR. Muslim)

1.2.Alat untuk Tayammum

Media (alat) yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah seluruh permukaan bumi yang
bersih, baik itu berupa pasir, bebatuan, tanah yang berair, lembab ataupun kering. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman
rodhiyallahu ‘anhu di atas dan secara khusus,

َ ‫ض ُكلُّ َها ِلى َوأل ُ َّمتِى َمس ِْجداً َو‬


ً ‫ط ُهورا‬ ُ ‫ت األ َ ْر‬
ِ َ‫ُج ِعل‬

i
“Dijadikan (permukaan, pent.
) bumi seluruhnya bagiku (Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam) dan
ummatku sebagai tempat untuk sujud dan sesuatu yang digunakan untuk bersuci”(HR. Ahmad)

Jika ada orang yang mengatakan bukankah dalam sebuah hadits dari Hudzaifah ibnul Yaman, Nabi
mengatakan tanah?! Maka kita katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ash Shon’ani
rohimahullah, “Penyebutan sebagian anggota lafadz umum bukanlah pengkhususan”. Hal ini
merupakan pendapat Al Auzaa’i, Sufyan Ats Tsauri Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah.

1.3.Keadaan yang Membolehkan Tayammum

Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan beberapa keadaan yang
dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum,

 Jika tidak ada air baik dalam keadaan safar/dalam perjalanan ataupun tidak.
pent.
 Terdapat air (dalam jumlah terbatas ) bersamaan dengan adanya kebutuhan lain yang
memerlukan air tersebut semisal untuk minum dan memasak.

 Adanya kekhawatiran jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau semakin lama
sembuh dari sakit.

 Ketidakmampuan menggunakan air untuk berwudhu dikarenakan sakit dan tidak mampu
bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya orang yang mampu membantu untuk
berwudhu bersamaan dengan kekhawatiran habisnya waktu sholat.

 Khawatir kedinginan jika bersuci dengan air dan tidak adanya yang dapat menghangatkan air
tersebut.
1.4.Tata Cara Tayammum
Tata cara tayammum Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dijelaskan hadits ‘Ammar bin Yasir
rodhiyallahu ‘anhu,
َ‫ فَذَك َْرتُ ذَلِك‬، ُ‫غ الدَّابَّة‬ َّ ‫ فَت َ َم َّر ْغتُ فِى ال‬، ‫ فَلَ ْم أ َ ِج ِد ْال َما َء‬، ُ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – فِى َحا َج ٍة فَأَجْ نَبْت‬
ُ ‫ص ِعي ِد َك َما تَ َم َّر‬ ُ ‫بَ َعثَنِى َر‬
َّ ‫سو ُل‬
ِ ‫ض ْر َبةً َعلَى األ َ ْر‬
‫ض ث ُ َّم‬ َ ‫ب ِبك َِف ِه‬ َ ‫ض َر‬ َ َ‫ ف‬. » ‫صنَ َع َه َكذَا‬ ْ َ ‫ِللنَّ ِب ِى – صلى هللا عليه وسلم – فَقَا َل « ِإنَّ َما َكانَ َي ْكفِيكَ أَ ْن ت‬
ُ‫س َح ِب ِه َما َوجْ َهه‬ َ ‫ أ َ ْو‬، ‫ظ ْه َر ك َِف ِه ِب ِش َما ِل ِه‬
َ ‫ ث ُ َّم َم‬، ‫ظ ْه َر ِش َما ِل ِه ِبك َِف ِه‬ َ ‫ ث ُ َّم َم‬، ‫ض َها‬
َ ‫س َح ِب َها‬ َ َ‫نَف‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku
mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana
layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam. Lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya cukuplah engkau
i
melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi
sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya
dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya,
lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya (HR. Bukhari – Muslim)

Dan dalam salah satu lafadz riwayat Bukhori,

ِ ‫س َح َوجْ َههُ َو َك َّف ْي ِه َو‬


ً ‫احدَة‬ َ ‫َو َم‬

“Dan beliau mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali usapan”.

Berdasarkan hadits di atas kita dapat simpulkan bahwa tata cara tayammum beliau shallallahu
‘alaihi was sallam adalah sebagai berikut.

 Memukulkan kedua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan, kemudian
meniupnya.

 Kemudian menyapu punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.

 Kemudian menyapu wajah dengan dua telapak tangan.

 Semua usapan baik ketika mengusap telapak tangan dan wajah dilakukan sekali usapan saja.

 Bagian tangan yang diusap adalah bagian telapak tangan sampai pergelangan tangan saja, atau
dengan kata lain tidak sampai siku seperti pada saat wudhu.

 Tidak wajibnya urut/tertib dalam tayammum.

 Tayammum dapat menghilangkan hadats besar semisal janabah (junub), demikian juga untuk
hadats kecil.
1.5.Pembatal Tayammum
Pembatal tayammum adalah sebagaimana pembatal wudhu. Demikian juga tayammum tidak
dibolehkan lagi apabila dalam kondisi berikut:
 Telah ditemukan air bagi orang yang bertayammum karena ketidakadaan air,
 Telah adanya kemampuan menggunakan air,
 Tidak sakit lagi bagi orang yang bertayammum karena ketidakmampuan menggunakan air.

Akan tetapi shalat atau ibadah lainnya yang telah ia kerjakan sebelumnya sah dan tidak perlu
mengulanginya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu
Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu,
i
ِ ‫ ث ُ َّم َو َجدَا ْال َما َء فِي ْال َو ْق‬، ‫صلَّ َيا‬
َ‫ فَأ َ َعاد‬، ‫ت‬ َ ‫ص ِعيدًا‬
َ َ‫ ف‬، ‫ط ِيبًا‬ َ ‫ْس َم َع ُه َما َماء – فَت َ َي َّم َما‬ َ ‫ص َالة ُ – َولَي‬ َّ ‫ت ال‬ْ ‫ض َر‬ َ ‫خ ََر َج َر ُج َال ِن فِي‬
َ ‫ فَ َح‬، ‫سفَ ٍر‬
‫ فَقَا َل ِللَّذِي‬، ُ‫س َّل َم فَذَك ََرا ذَلِكَ لَه‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ ث ُ َّم أَت َ َيا َر‬، ‫ َولَ ْم يُ ِعدْ ْاْلخ َُر‬، ‫ص َالة َ َو ْال ُوضُو َء‬
َّ ‫أ َ َحد ُ ُه َما ال‬
‫ لَك ْاألَجْ ُر َم َّرتَي ِْن‬: ‫ص َالتُك َوقَا َل ِل ْْلخ َِر‬
َ ‫سنَّةَ َوأَجْ زَ أَتْك‬ َ َ ‫ أ‬: ْ‫لَ ْم يُ ِعد‬
ُّ ‫صبْت ال‬

“Dua orang lelaki keluar untuk safar. Kemudian tibalah waktu shalat dan tidak ada air di sekitar
mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan bumi yang suci lalu keduanya
shalat. Setelah itu keduanya menemukan air sedangkan saat itu masih dalam waktu yang
dibolehkan shalat yang telah mereka kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu dan
mengulangi shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu menemui
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka beliau shallallahu
‘alaihi was sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulang shalatnya, “Apa yang kamu
lakukan telah sesuai dengan sunnah dan kamu telah mendapatkan pahala shalatmu”. Beliau
mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala” (HR. Abu Dawud, An
Nasa’i).

Juga hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,

َّ ‫َّللاَ َو ْلي ُِم‬


ُ‫سهُ بَش ََرتَه‬ َّ ‫ق‬ ِ َّ‫فَإِذَا َو َجدَ ْال َما َء فَ ْليَت‬. َ‫ َو ِإ ْن لَ ْم يَ ِجدْ ْال َما َء َع ْش َر ِسنِين‬، ‫ص ِعيد ُ ُوضُو ُء ْال ُم ْس ِل ِم‬
َّ ‫ال‬

“Seluruh permukaan bumi (tayammum) merupakan wudhu bagi seluruh muslim jika ia tidak
menemukan air selama sepuluh tahun (sebagai kiasan, bukan pembatasan angka), apabila ia telah
menemukannya hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menggunakannya sebagai alat untuk
bersuci” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa’i, dan selainnya).

i
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
Thaharah merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan oleh Alloh kepada hamba sebelum
melakukan ibadah yang lain. Thaharah hanya dilakukan dengan sesuatu yang suci dan dapat
menyucikan. Thaharah juga menunjukan bahwa sesungguhnya islam sangat menghargai kesucian
dan kebersihan sehingga diwajibkan kepada setiap muslim untuk senantiasa menjaga kesucian
dirinya, hartanya serta lingkungannya. Hal ini dibuktikan dengan bab thaharah adalah bab pertama
yang dibahas dalam setiap kitab fiqih yang ada. Thaharah menurut arti bahasa adalah pembersihan
dari segala kotoran, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Adapun arti Thaharah secara
syariat adalah meniadakan atau membersihkan hadats dengan air atau debu yang bisa dipakai untuk
menyucikan. Selain itu bermakna juga, usaha untuk menghilangkan najis dan kotoran. Disini bisa
diambil pengertian akhir bahwa Thaharah adalah melenyapkan sesuatu yang ada di tubuh yang
menjadi hambatan bagi pelaksanaan shalat dan ibadah lainnya

B. KRITIK DAN SARAN


Kami Menyadari bahwa dalam penulis makalah inimasih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber -
sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah
daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang daftar pustaka makalah.

i
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah, Najis, dan Hadast


1. Pengertian Thaharah
Secara bahasa, thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud maupun
kotoran yang tidak berwujud.
Adapun secara istilah, thaharah artinya menghilangkan hadats, najis, dan kotoran dengan air atau
tanah yang bersih. Dengan demikian, thaharah adalah menghilangkan kotoran yang masih melekat di
badan yang membuat tidak sahnya shalat dan ibadah lain.
2. Pengertian hadast
Hadats secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan badan tidak suci – jadi tidak
boleh shalat. Adapun menurut terminologi (istilah) Islam, hadats adalah keadaan badan yang tidak suci
atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara berwudhu, mandi wajib, dan tayamum. Dengan demikian,
dalam kondisi seperti ini dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan badan
bersih dari hadats dan najis, seperti shalat, thawaf, ’itikaf.
3. Pengertian najis
Najis adalah suatu benda kotor menurut syara’ (hukum agama). Benda-benda najis itu meliputi :
a. Darah, dan nanah
b. Bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang
c. Anjing dan babi
d. Segala sesuatu yang dari dubur dan qubul
e. Minuman keras, seperti arak
f. Bagian atau anggota tubuh binatang yang terpotong dan sebagainya sewaktu masih hidup.
Selain itu, najis dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Najis ringan (Mukhofafah)
b. Najis sedang (Mutawasithoh)
c. Najis berat (Mugholadhoh)
d. Najis ma’fu

B. Bagaimana cara bersuci dari hadast dan najis


1. Cara bersuci dari hadast
a. Hadas kecil penyebabnya keluar sesuatu dari dubur dan kubul, menyentuh lawan jenis yang bukan
muhrimnya, dan tidur nyenyak dalam keadaan tidak tetap. Cara mensucikan hadas kecil ini adalah
dengan wudhu atau tayamum.

i
b. Hadas Besar penyebabnya keluar air mani, bersetubuh ( baik keluar mani atau tidak ), menstruasi
atau nifas ( keluar darah karena melahirkan ), dan lain sebagainya. Cara mensucikan hadast besar adalah
dengan mandi wajib.
2. Cara bersuci dari najis
a. Najis Ringan (mukhofafah), yaitu air kencing bayi lelaki yang berumur dua tahun, dan belum
makan sesutu kecuali air susu ibunya. Menghilangkannya cukup diperceki air pada tempat yang terkena
najis tersebut. Jika air kencing itu dari bayi perempuan maka wajib dicuci bersih. Rasulullah SAW
bersabda, “ Sesungguhnya pakaian dicuci jika terkena air kencing anak perempuan, dan cukup diperciki
air jika terkena kencing anak laki - laki “. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Hakim).
b. Najis Sedang (mutawasitoh), yaitu segala sesuatu yang keluar dari dubur dan qubul manusia atau
binatang, barang cair yang memabukkan, dan bangkai (kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang)
serta susu, tulang, dan bulu hewan yang haram dimakan. Dalam hal ini tikus termasuk golongan najis,
karena tikus hidup di tempat - tempat kotor seperti comberan dan tempat sampah sekaligus mencari
makanan disana. Sedangkan kucing tidak najis. Rasulullah SAW telah bersabda, “Sungguh kucing itu
tidak najis, karena ia termasuk binatang yang jinak kepada kalian“. (HR Ash-habus Sunan dari Abu
Qotadah ra.)
Najis mutawasitoh dibagi dua :
1. Najis Ainiyah, yaitu yang berwujud (tampak dan tidak dilihat). Misalnya, kotoran manusia atau
binatang.
2. Najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak berwujud ( tidak tampak dan tidak terlihat ), seperti bekas
air kencing, dan arak yang sudah mengering.
Cara membersihkan najis mutawashitho ini, cukupalah dibasuh tiga kali agar sifat - sifat najisnya (yakni
warna, rasa, dan baunya) hilang.
c. Najis berat (mugholladhoh) adalah najis anjing dan babi. Cara menghilangkannya harus dibasuh
sebanyak tujuh kali dan salah satu air yang bercampur tanah. Rasulullah SAW bersabda : “Jika bejana
salah seorang diantara kalian dijilat anjing, cucilah tujuh kali dan salah satunya hendaklah dicampur
dengan tanah”. (HR.Muslim)
Selain tiga jenis kotoran diatas, ada satu lagi, yaitu najis ma’fu ( najis yang dimaafkan ) Antara
lain nanah dan darah yang cuma sedikit, debu, air dari lorong - lorong yang memercik sedikit yang sulit
dihindarkan.

C. Pengertian wudlu,tayamum dan mandi


1. Wudlu
Wudlu yaitu mempergunakan air untuk anggota-anggota badan tertentu yang dimulai dengan niat.
Adapun Syarat-syarat wudlu ada lima dan ini juga menjadi syaratnya mandi, adalah:
a. Air mutlaq
Selain air mutlaq tidak dapat menghilangkan hadast, mencuci najis, dan tidak dapat digunakan thaharah.

i
b. Mengalirkan air pada anggota yang dibasuh.
c. Pada anggota wudlu tidak terdapat sesuatu yang membahayakan bagi berubahnya air.
d. Tiada pembatas antara anggota basuhan dengan air.
e. Masuknya waktu bagi orang-orang yang berkeadaan hadast.
Adapun rukun wudlu adalah sebagai berikut :
a. Niat
Hendaknya berniat menghilangkan hadast kecil, dan cara melakukannya tepat pada waktu membasuh
muka, sesuai dengan pengertian niat itu sendiri : “Qhasdus Syai’in, muqtarinan bi fi’lihi” yang artinya
meniatkan sesuatu secara beriringan dengan perbuatan.
b. Membasuh seluruh muka (mulai dari tumbuhnya rambut kepala hingga bawah dagu, dan dari
telinga kanan hingga telinga kiri).
c. Membasuh kedua tangan sampai siku-siku.
d. Mengusap sebagian rambut kepala.
e. Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki.
f. Tertib ( berturut-turut ).
2. Tayamum
Menurut pengertian bahasa, tayammum berarti maksud atau tujuan. Sedang menurut pengertian
syariat, tayamum berarti menuju ke pasir untuk mengusap wajah dan sepasang tangan dengan niat agar
diperbolehkan melakukan shalat.
Adapun rukun dan tata cara tayamum adalah sebagai berikut :
a. Niat
Para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana niat tayamum seharusnya. Ulama Malikiyah dan
Syafi’iah berpendapat hampir sama, niat tayamum yang dianggap sah adalah niat tayamum untuk
diperbolehkan melaksanakan sholat atau niat melaksanakan kewajiban tayamum, sedangkan untuk
menghilangkan hadats tidak sah.
Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa niat hanya merupakan syarat sah tayamum, bukan
rukun. Menurut kelompok ini, yang penting niat disertai tujuan tayamum.
b. Mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu.
Menurut Malikiyah dan Hanabillah orang yang akan bertayamum harus menepukkan tanganya ke
tanah yang suci satu kali kemudian mengusapkanya ke tangan dan wajah, sedangkan menurut Hanafiyah
dan Syafi’iyah harus menepukkan tangan dua kali, yang pertama untuk diusapkan ke tangan dan yang
kedua ke wajah.
Batasan dalam mengusap wajah tidak diharuskan debu merata sampai kulit dasar jenggot
meskipun tidak lebat. Sedangkan bagian tangan sebagian ulama berpendapat hanya mengusap sampai
pergelangan tangan saja dan menganggap sampai ke siku sebagai sunnah, namun sebagian
mengqiyaskan dengan wudhu yaitu membasuh sampai siku-siku.

i
c. Tartib
Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tartib menjadi rukun tayamum untuk menghilangkan
hadats kecil, sedangkan untuk menghilangkan hadats besar tidak menjadi rukun. Malikiyah dan
Hanafiyah berpendapat bahwa tartib hanya sunah, bukan wajib.
3. Mandi
Mandi adalah meratakan atau mengalirkan air keseluruh tubuh. Sedangkan mandi besar atau
junub atau wajib adalah mandi dengan menggunakan air suci dan bersih ( air mutlak ) yang mensucikan
dengan mengalirkan air tersebut keseluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan
mandi wajib adalah untuk menghilangkan hadast besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan
ibadah sholat. Mandi itu disyariatkan berdasarkan Firman Allah SWT : “Dan jika kamu junub hendaklah
bersuci!” (Q.S Al-Maidah : 6).
Hal-hal yang mewajibkan mandi wajib. Mandi itu diwajibkan atas lima perkara :
a. Keluar air mani disertai syahwat, baik diwaktu tidur maupun bangun, dari laki-laki atau wanita.
b. Hubungan intim, walau tidak sampai keluar mani.
Firman Allah Ta’ala : “ jika kamu junub, hendaklah kamu bersuci ”.
c. Terhentinya haid dan nifas.
d. Mati, bila seorang menemui ajal wajiblah memandikannya berdasarkan ijma’.
e. Orang kafir bila masuk islam.
Rukun ( Fardhu ) dan Tata Cara Mandi Besar.
1. Niat (bersamaan dengan membasuh permulaan anggota tubuh).
2. Membasuh air dengan tata keseluruhan tubuh, yakni dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Tata Cara Mandi Wajib. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama mandi ialah sebagai berikut :
a. Membaca Niat. Yaitu “ Nawaitul ghusla lirof’il hadatsil fardlol ilaahita’ala ”.
b. Membilas atau membasuh seluruh badan dengan air ( air mutlak yang menyucikan ) dari ujung
kaki ke ujung rambut secara merata.
c. Hilangkan najis yang lain bila ada.
D. Alat-alat untuk bersuci
1. Air
Ditinjau dari hukumnya air dibagi menjadi empat :
a. Air mutlak yaitu air suci yang dapat dipakai mensucikan. Sebab belum berubah sifat ( bau, rasa,
dan warnanya ).
b. Air musyammas yaitu air suci yang dapat dipakai untuk mensucikan, namun makruh digunakan.
Mislanya, air bertempat dilogam yang bukan emas, dan terkana panas matahari.
c. Air musta’mal yaitu air suci tetapi tidak dapat dipakai untuk mensucikan karena sudah dipakai
untuk bersuci, meskipun air itu tidak berubah warna, rasa, dan baunya.
d. Air mutanajis yaitu air yang terkena najis, dan jumlahnya kurang dari dua kullah. Karenanya air
tersebut tidak suci dan tidak dapat dipakai mensucikan.

i
2. Debu.
3. Alat-alat yang kasar seperti batu.

E. Hikmah bersuci
Islam adalah agama yang cinta keindahan. Keindahan selalu identik dengan kebersihan dan
kesucian. Demikianlah sebuah hadits berbunyi “Kebersihan itu sebagian dari iman”. Artinya keimanan
belum tanpa adanya kebersihan. Baik jasmani maupun rohani.Anjuran bersuci dalam Islam terjembatani
dalam pelaksanaan wudlu’ sebelum shalat. Demikian pula anjuran mandi sebelum pertemuan jum’atan
atau berkumpul tahunan dalam rangka shalat idul adha maupun idul fitri. Begitu juga dengan anjuran
memotong kuku, membersihkan gigi, membersihkan pakaian dengan mencuci.
Kitab Fiqih Manhaji Madzhab Imam Syafi’I menerangkan adanya hikmah dibalik anjuran tersebut
diantaranya.
1. Menunjukkan fitrah Islam sebagai agama yang suci.
2. Menjaga kehormatan dan kewibawaan seorang Islam. Karena manusia pada dasarnya condong
pada sesuatu yang bersih, suka berkumpul dengan orang-orang yang bersih dan menjauhi sesuatu yang
kotor. Maka perintah bersuci adalah jalan menuju kehormatan dan kewibawaan Islam itu sendiri. Lebih-
lebih ketika bersinggungan dengan msyarakat lainnya.
3. Menjaga kesehatan. Karena penyakit itu datang disebabkan kuman-kuman serta bakteri-bakteri
yang dibawa oleh kotoran, maka Islam menganjurkan umatnya untuk menjaga kebersihan agar terhindar
dari penyakit. Seperti mebersihkan badan, mencuci muka, mencuci tangan, mencuci kaki, karena
anggota yang disebutkan merupakan tempat dimana kotoran yang menbawa penyakit itu bersarang.
4. Mempermudah diri mendekati Ilahi. Allah Tuhan Yang Mahas Suci senang akan hal-hal yang
suci. Karena itu keitka shalat untuk menghadapi-Nya haruslah dalam keadaan suci secara lahir maupun
batin.

i
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bersuci dari hadas maupun najis termasuk dalam perihal thaharah atau bersuci. Dalam hukum
Islam juga disebutkan, bahwa segala seluk beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting.
Macam - macam Thaharah ada empat yaitu pertama, tentang wudhu yaitu menghilangkan najis dari
badan. Kedua, tentang bertanyamum yaitu pengganti air wudhu disaat kekeringan. Ketiga, mandi besar
yaitu menyiram air keseluruh tubuh disertai niat. Keempat, Istinja’ yaitu membersihkan kotoran yang
keluar dari salah satu dua pintu keluarnya kotoran itu.
Bersuci bisa juga menggunakan alat - alat bantu yang dianjurkan oleh Rasullullah SAW yaitu Air,
tanah, dan masih banyak lagi yang bisa digunakan. Macam - macam hadas juga terbagi menjadi dua
ialah hadas kecil yaitu yang disebabkan oleh keluar sesuatu dari dubur dan kubul, sedangkan hadas besar
yaitu yang disebabkan oleh keluarnya air mani dan bersetubuh. Dan macam - macam Najis terbagi
menjadi tiga yaitu Najis Mukhofafah, Najis Mutawashitho, dan Najis Mogholladhoh.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami
harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.

i
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Shalat
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology (istilah), para ahli Fiqih mengartikan
secara lahir dan hakiki.
Secara lahiriah Shalat berarti ‘Beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan di
akhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat yang telah
ditentukan’(Sidi Gazalba: 88).
Secara hakiki Shalat ialah ‘Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada Allah,secara yang
mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita
sembah dengan perkataan dan perbuatan’ (Hasbi Asy-syidiqi: 59)
Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya
sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan
perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun
yang telah ditentukan syara’ (Imam Basyahri Assayuthi: 30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat adalah Suatu ibadah kepada
Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam
menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada
Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.
Menurut A. Hasan (1991) Baqha (1984), Muhammad bin Qasim As-Syafi’i (1982) dan Rasyid
(1976) shalat menurut bahasa Arab berarti berdo’a. ditambahakan oleh Ash-Shiddiqy (1983) bahwa
perkataan shalat dalam bahasa Arab berarti do’a memohon kebajikan dan pujian. Sedangkan secara
hakekat mengandung pengertian “berhadap (jiwa) kepada Allah dan mendatangkan takut kepadanya,
serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan, kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaannya.
Solat yang berarti do’a terlihat dari firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 103:
Artinya: “dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka”
Secara dimensi Fiqh shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan
(gerakan) yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam yang dengannya kita beribadah kepada
Allah, dan menurut syarat-syarat yang telah di tentukan oleh Agama.

i
B. Urgensi shalat bagi muslim
Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat. Allah Ta’ala berfirman yang
artinya:

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” (QS. Al-
Baqarah: 43).

Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:

“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian
kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”
(QS. Al Baqarah: 83).

Maka mendirikan shalat adalah menjalankan perintah Allah Ta’ala. Shalat juga salah satu dari
rukun Islam. Dari Ibnu Umar radhiallahu’amhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Islam dibangun di atas 5 perkara: bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah dan puasa
Ramadhan” (HR. Bukhari no.8, Muslim no. 16). Tidak semua ibadah termasuk rukun Islam. Ini
menunjukkan ibadah-ibadah yang termasuk rukun Islam adalah ibadah yang sangat penting dan urgen.
Dan diantaranya adalah shalat.

1. Keutamaan shalat
Shalat adalah perkara yang akan dihisab pertama kali di hari kiamat. Dari Abu Hurairah
radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Amalan pertama yang akan
dihisab dari seorang hamba di hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka ia akan
beruntung dan selamat. Jika shalatnya rusak, maka ia akan merugi dan binasa. Jika ada shalat
fardhunya yang kurang, maka Allah tabaraka wa ta’ala akan berkata: lihatlah apakah hamba-Ku
ini memiliki amalan shalat sunnah? Kemudian disempurnakanlah yang kurang dari shalat
fardhunya. Dan ini berlaku pada seluruh amalan lainnya” (HR. At Tirmidzi no. 413, dishahihkan
Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Allah perintahkan untuk menjaga shalat setiap waktu, Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

i
“Jagalah shalat-shalat fardhu dan jagalah shalat wustha (shalat ashar) dan menghadaplah kepada
Allah sebagai orang-orang yang taat” (QS. Al Baqarah: 238).

Bahkan ketika sedang sakit sekalipun tetap diperintahkan shalat sesuai kemampuan. Dari
Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

“Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda: shalatlah sambil berdiri, jika tidak
mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring
menyamping” (HR. Al Bukhari, no. 1117).
2. Akibat Meninggalkan Shalat Jum’at
Shalat adalah tiang agama, dari Imran bin Hushain radhiallahu’anhu, Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Pangkal dari semua perkara adalah Islam dan tiang Islam dan puncaknya adalah jihad di jalan
Allah” (HR. At Tirmidzi no. 2616, An Nasa-i no. 11330, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At
Tirmidzi).

3. Shalat menghapuskan dosa-dosa


Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Shalat yang lima waktu, shalat Jum’at ke shalat Jum’at selanjutnya, ini semua menghapuskan
dosa-dosa di antara keduanya, selama tidak melakukan dosa besar” (HR. Muslim no. 233).

4. Shalat mencegah orang dari berbuat maksiat


Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS. Al Ankabut: 45).

C. Hukum Shalat Berjamaah


Telah lama kita ketahui bahwa shalat berjamaah lebih baik dan lebih utama daripada shalat
sendiri karena pengutamaan shalat jama’ah atas shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat. Sesuai
dengan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda, ‘Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh derajat.” (Muttafaq
‘alaih).
Melihat dari segi keutamaan pahala dan tujuan dari shalat berjamaah itu sendiri maka ada
beberapa ulama yang berbeda pendapat mengenai hukum shalat berjamaah. Beberapa dari mereka ada

i
yang mengatakan bahwa hukum shalat berjamaah adalah sunnah mu’akkad, sedang yang lain ada yang
berpendapat fardhu kifayah bahkan ada yang mengatakan hukumnya fardhu ‘ain.

Dikutip dari buku karya Hasyibiyallah yang berjudul Fiqhdan Ushul Fiqh: Metode Istinbath dan
Istidlal yang menjelaskan bahwa “Imam Syafi’i dan sebagian ulama berpendapat bahwa shalat
berjamaah pada shalat lima waktu adalah fardhu kifayah bagi orang laki-laki yang muqim (tidak
musafir) dan memiliki kesanggupan, untuk menampakkan syiar berjamaah pada setiap negeri kecil atau
besar. Dijelaskan lagi mengenai fardhu kifayah, yakni jika dalam suatu kota telah ada sekelompok orang
yang melaksanakannya, gugurlah kewajiban tersebut dari penduduk lainnya. Tetapi jika tidak ada yang
menyelenggarakannya, maka seluruh penduduk kota itu menanggung dosa”.
Sedangkan dari sumber lain mengatakan bahwa:
1) Sunnah mu’akkad: ini adalah pendapat yang terkenal dari murid-murid Abu Hanifah, mayoritas
murid Imam Malik, banyak dari murid Imam Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad.
2) Fardhu Kifayah: ini adalah pendapat yang diunggulkan dalam madzhab Syafi’i, pendapat
beberapa murid Imam Malik, dan salah satu pendapat dalam madzhab Ahmad.
3) Fardhu ‘Ain: ini adalah pendapat yang di-nas dari Ahmad dan imam-imam salaf lainnya, fuqaha
ahli hadits, dan lainnya.

D. Sifat Shalat Nabi


Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani :
1. Menghadap Ka’bah
Apabila anda – wahai Muslim – ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka’bah
(qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk
diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini. Ketentuan menghadap
qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi ‘seorang yang sedang berperang’ pada pelaksanaan
shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat. Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang
tidak sanggup seperti orang yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat
bila ia khawatir luputnya waktu. Juga tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang shalat
sunnah atau witir sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan
kepadanya – jika hal ini memungkinkan – supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul
ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap.Wajib bagi
yang melihat Ka’bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi yang tidak melihatnya maka
ia menghadap ke arah Ka’bah.
Hukum shalat tanpa menghadap ka’bah karena keliru yaitu apabila shalat tanpa
menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab lainnya sesudah melakukan ijtihad dan

i
pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi. Apabila datang orang yang dipercaya saat
dia shalat, lalu orang yang datang itu memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib
baginya untuk segera menghadap ke arah yang ditunjukkan, dan shalatnya sah.

2. Berdiri
Wajib bagi yang melakukan shalat untuk berdiri, dan ini adalah rukun, kecuali bagi :
a. Orang yang shalat khauf saat perang berkecamuk dengan hebat, maka dibolehkan
baginya shalat diatas kendaraannya.
b. Orang yang sakit yang tidak mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil duduk dan
bila tidak mampu diperkenankan sambil berbaring.
c. Orang yang shalat nafilah (sunnah) dibolehkan shalat di atas kendaraan atau sambil
duduk jika dia mau, adapun ruku’ dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya,
demikian pula orang yang sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.
Tidak boleh bagi orang yang shalat sambil duduk meletakkan sesuatu yang agak tinggi
dihadapannya sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan sujudnya lebih
rendah dari ruku’nya – seperti yang kami sebutkan tadi – apabila ia tidak mampu
meletakkan dahinya secara langsung ke bumi (lantai). Adapun yang dimaksud disini yaitu
:
1) shalat di kapal laut atau pesawat. Dibolehkan shalat fardlu di atas kapal laut
demikian pula di pesawat. Dibolehkan juga shalat di kapal laut atau pesawat
sambil duduk bila khawatir akan jatuh. Boleh juga saat berdiri bertumpu
(memegang) pada tiang atau tongkat karena faktor ketuaan atau karena badan
yang lemah.
2) Shalat sambil berdiri dan duduk. Dibolehkan shalat lail sambil berdiri atau
sambil duduk meski tanpa udzur (penyebab apapun), atau sambil melakukan
keduanya. Caranya ; ia shalat membaca dalam keadaan duduk dan ketika
menjelang ruku’ ia berdiri lalu membaca ayat-ayat yang masih tersisa dalam
keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku’ lalu sujud. Kemudian ia melakukan hal yang
sama pada rakaat yang kedua. Apabila shalat dalam keadaan duduk, maka ia
duduk bersila atau duduk dalam bentuk lain yang memungkinkan seseorang
untuk beristirahat.

i
3) Shalat sambil memakai sandal. Boleh shalat tanpa memakai sandal dan boleh
pula dengan memakai sandal.Tapi yang lebih utama jika sekali waktu shalat
sambil memakai sandal dan sekali waktu tidak memakai sandal, sesuai yang lebih
gampang dilakukan saat itu, tidak membebani diri dengan harus memakainya dan
tidak pula harus melepasnya. Bahkan jika kebetulan telanjang kaki maka shalat
dengan kondisi seperti itu, dan bila kebetulan memakai sandal maka shalat sambil
memakai sandal. Kecuali dalam kondisi tertentu (terpaksa). Jika kedua sandal
dilepas maka tidak boleh diletakkan disamping kanan akan tetapi diletakkan
disamping kiri jika tidak ada disamping kirinya seseorang yang shalat, jika ada
maka hendaklah diletakkan didepan kakinya, hal yang demikianlah yang sesuai
dengan perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
4) Shalat di atas mimbar. Dibolehkan bagi imam untuk shalat di tempat yang tinggi
seperti mimbar dengan tujuan mengajar manusia. Imam berdiri diatas mimbar
lalu takbir, kemudian membaca dan ruku’ setelah itu turun sambil mundur
sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah didepan mimbar, lalu kembali lagi
keatas mimbar dan melakukan hal yang serupa di rakaat berikutnya.

3. Kewajiban Shalat Menghadap Pembatas Dan Mendekat Kepada-Nya


Wajib shalat menghadap tabir pembatas, dan tiada bedanya baik di masjid maupun selain
masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada keumuman sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Janganlah shalat melainkan menghadap pembatas, dan
jangan biarkan seseorang lewat dihadapanmu, apabila ia enggan maka perangilah karena
sesungguhnya ia bersama pendampingnya”. (Maksudnya syaitan). Wajib mendekat ke pembatas
karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Jarak antara tempat sujud Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tembok yang dihadapinya seukuran tempat lewat domba.
maka barang siapa yang mengamalkan hal itu berarti ia telah mengamalkan batas ukuran yang
diwajibkan.
Kadar Ketinggian Pembatas:
1) Wajib pembatas dibuat agak tinggi dari tanah sekadar sejengkal atau dua jengkal berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Jika seorang diantara kamu meletakkan
dihadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (3) (sebagai pembatas) maka shalatlah

i
(menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat dibalik pembatas”. Dan ia
menghadap ke pembatas secara langsung, karena hal itu yang termuat dalam konteks hadits
tentang perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun bergeser dari posisi pembatas ke
kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus menghadap langsung ke pembatas maka hal ini
tidak sah.
2) Boleh shalat menghadap tongkat yang ditancapkan ke tanah atau yang sepertinya, boleh pula
menghadap pohon, tiang, atau isteri yang berbaring di pembaringan sambil berselimut, boleh
pula menghadap hewan meskipun unta. haram shalat menghadap ke kubur.Tidak Boleh shalat
menghadap ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi maupun selain nabi. Dan haram
lewat didepan orang yang shalat termasuk di masjid haram.
Tidak boleh lewat didepan orang yang sedang shalat jika didepannya ada pembatas, dalam hal ini
tidak ada perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid lain, semua sama dalam hal
larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Andaikan
orang yang lewat didepan orang yang shalat mengetahui akibat perbuatannya maka untuk berdiri
selama 40, lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat”. Maksudnya
lewat di antara shalat dengan tempat sujudnya. Kewajiban orang yang shalat mencegah orang
lewat didepannya yaitu Tidak boleh bagi orang yang shalat menghadap pembatas membiarkan
seseorang lewat didepannya berdasarkan hadits yang telah lalu. “Artinya : Dan janganlah
membiarkan seseorang lewat didepanmu….” Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jika seseorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu pembatas yang
menghalanginya dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat didepannya, maka hendaklah ia
mendorong leher orang yang ingin lewat itu semampunya (dalam riwayat lain : cegahlah dua
kali) jika ia enggan maka perangilah karena ia adalah syaithan”. Berjalan kedepan untuk
mencegah orang lewat Boleh maju selangkah atau lebih untuk mencegah yang bukan mukallaf
yang lewat di depannya seperti hewan atau anak kecil agar tidak lewat di depannya. Di antara
fungsi pembatas dalam shalat adalah menjaga orang yang shalat menghadapnya dari kerusakan
shalat disebabkan yang lewat di depannya, berbeda dengan yang tidak memakai pembatas,
shalatnya bisa terputus bila lewat didepannya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam.
4. Niat
Bagi yang akan shalat harus meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta menentukan niat
dengan hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur dan ashar. Niat ini

i
merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat dengan lisan maka ini merupakan
bid’ah, menyalahi sunnah, dan tidak ada seorangpun yang menfatwakan hal itu di antara para
ulama yang ditokohkan oleh orang-orang yang suka taqlid (fanatik buta).
5. Takbir
Kemudian memulai shalat dengan membaca. “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar). Takbir
ini merupakan rukun, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Pembuka
Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir, sedangkan penghalalannya adalah salam”.
Tidak boleh mengeraskan suara saat takbir disemua shalat, kecuali jika menjadi imam. Boleh
bagi muadzin menyampaikan (memperdengarkan) takbir imam kepada jama’ah jika keadaan
menghendaki, seperti jika imam sakit, suaranya lemah atau karena banyaknya orang yang shalat.
Ma’mum tidak boleh takbir kecuali jika imam telah selesai takbir.
6. Mengangkat Kedua Tangan
Mengangkat kedua tangan, boleh bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya, bahkan
boleh sesudah takbir. Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam sunah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Adapun cara- cara melakukannya :
1) Mengangkat tangan dengan jari-jari terbuka.
2) Mensejajarkan kedua telapak tangan dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu mengangkat
lebih tinggi lagi sampai sejajar dengan ujung telinga.
3) Kemudian meletakkan tangan kanan diatas punggung dan diatas pergelangan lengan
tangan kiri sesudah takbir, ini merupakan sunnah (ajaran) para nabi-nabi Alaihimus
Shallatu was sallam dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
para sahabat beliau, sehingga tidak boleh menjulurkannya.
4) Tempat meletakkan tangan. Keduanya diletakkan diatas dada saja. Laki-laki dan
perempuan dalam hal tersebut sama. Tidak meletakkan tangan kanan diatas pinggang.
7. Khusu’ dan Melihat Ke Tempat
Hendaklah berlaku khusu’ dalam shalat dan menjauhi segala sesuatu yang dapat
melalaikan dari khusu’ seperti perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat berhadapan dengan
hidangan yang menarik, demikian juga saat menahan berak dan kencing. Memandang ke tempat
sujud saat berdiri. Tidak menoleh kekanan dan kekiri, karena menoleh adalah curian yang
dilakukan oleh syaitan dari shalat seorang hamba. Tidak boleh mengarahkan pandangan ke langit
(ke atas).

i
8. Doa Istiftaah (Pembukaan)
Kemudian membuka bacaan dengan sebagian do’a-do’a yang sah dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang jumlahnya banyak, yang masyhur diantaranya ialah : “Subhaanaka
Allahumma wa bihamdika, wa tabaarakasmuka, wa ta’alaa jadduka, walaa ilaha ghaiyruka”.
“Artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, kedudukan-Mu sangat
agung, dan tidak ada sembahan yang hak selain Engkau”.
Perintah ber-istiftah telah sah dari Nabi, maka sepatutnya diperhatikan untuk diamalkan. [8]
9. Qiraah (Bacaan)
Kemudian wajib berlindung kepada Allah Ta’ala, dan bagi yang meninggalkannya
mendapat dosa. Termasuk sunnah jika sewaktu-waktu membaca. “A’udzu billahi minasy
syaiythaanirrajiim, min hamazihi, wa nafakhihi, wa nafasyihi”. “Artinya : Aku berlindung
kepada Allah dari syithan yang terkutuk, dari godaannya, dari was-wasnya, serta dari
gangguannya”. Dan sewaktu-waktu membaca tambahan. “A’udzu billahis samii-il a’liimi,
minasy syaiythaani …….”. “Artinya : Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui, dari syaitan…….”. Kemudian membaca basmalah (bismillah) disemua shalat
secara sirr (tidak diperdengarkan).
10. Membaca Al-Faatihah
Kemudian membaca surat Al-Fatihah sepenuhnya termasuk bismillah, ini adalah rukun
shalat dimana shalat tak sah jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib bagi orang-orang
‘Ajm (non Arab) untuk menghafalnya. Bagi yang tak bisa menghafalnya boleh membaca.
“Subhaanallah, wal hamdulillah walaa ilaha illallah, walaa hauwla wala quwwata illaa billah”.
“Artinya : Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada sembahan yang haq selain Allah,
serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan karena Allah”. Didalam membaca Al-Fatihah,
disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan cara membaca. (Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu
berhenti, kemudian membaca. (Alhamdulillahir-rabbil ‘aalamiin) lalu berhenti, kemudian
membaca. (Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin) lalu
berhenti, dan demikian seterusnya. Demikianlah cara membaca Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam seluruhnya. Beliau berhenti diakhir setiap ayat dan tidak menyambungnya dengan ayat
sesudahnya meskipun maknanya berkaitan. Boleh membaca. (Maaliki) dengan panjang, dan
boleh pula. (Maliki) dengan pendek. Bacaan ma’mum , Wajib bagi ma’mum membaca Al-
Fatihah dibelakang imam yang membaca sirr (tidak terdengar) atau saat imam membaca keras

i
tapi ma’mum tidak mendengar bacaan imam, demikian pula ma’mum membaca Al-Fatihah bila
imam berhenti sebentar untuk memberi kesempatan bagi ma’mum yang membacanya. Meskipun
kami menganggap bahwa berhentinya imam ditempat ini tidak tsabit dari sunnah.
11. Bacaan Sesudah Al-Fatihah
Disunnahkan sesudah membaca Al-Fatihah, membaca surat yang lain atau beberapa ayat
pada dua raka’at yang pertama. Hal ini berlaku pula pada shalat jenazah. Kadang-kadang bacaan
sesudah Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula diringkas karena ada faktor-faktor tertentu seperti
safar (bepergian), batuk, sakit, atau karena tangisan anak kecil. Panjang pendeknya bacaan
berbeda-beda sesuai dengan shalat yang dilaksanakan. Bacaan pada shalat subuh lebih panjang
dari pada bacaan shalat fardhu yang lain, setelah itu bacaan pada shalat dzuhur, pada shalat
ashar, lalu bacaan pada shalat isya, sedangkan bacaan pada shalat maghrib umumnya
diperpendek. Adapun bacaan pada shalat lail lebih panjang dari semua itu. Sunnah membaca
lebih panjang pada rakaat pertama dari rakaat yang kedua. Memendekkan dua rakaat terakhir
kira-kira setengah dari dua rakaat yang pertama. Membaca Al-Fatihah pada semua rakaat.
Disunnahkan pula menambahkan bacaan surat Al-Fatihah dengan surat-surat lain pada dua
rakaat yang terkahir. Tidak boleh imam memanjangkan bacaan melebihi dari apa yang
disebutkan didalam sunnah karena yang demikian bisa-bisa memberatkan ma’mum yang tidak
mampu seperti orang tua, orang sakit, wanita yang mempunyai anak kecil dan orang yang
mempunyai keperluan.
12. Mengeraskan dan Mengecilkan Bacaan
Bacaan dikeraskan pada shalat shubuh, jum’at, dua shalat ied, shalat istisqa, khusuf dan
dua rakaat pertama dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak dikeraskan) pada shalat
dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua rakaat terakhir dari shalat isya. Boleh
bagi imam memperdengarkan bacaan ayat pada shalat-shalat sir (yang tidak dikeraskan). Adapun
witir dan shalat lail bacaannya kadang tidak dikeraskan dan kadang dikeraskan.

E. Hukum meninggalkan Shalat


Dengan begitu tingginya dan utamanya kedudukan shalat dalam Islam, meninggalkan ibadah ini
pun berat konsekuensinya. Orang yang meninggalkan shalat karena berkeyakinan shalat 5 waktu itu
tidak wajib, maka ia keluar dari Islam. Ini adalah ijma ulama tidak ada khilafiyah di antara mereka.
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:

i
“Jika seseorang meninggalkan shalat karena mengingkari wajibnya shalat, atau ia mengingkari wajibnya
shalat walaupun tidak meninggalkan shalat, maka ia kafir murtad dari agama Islam berdasarkan ijma
ulama kaum Muslimin” (Al Majmu’, 3/14).

Sedangkan orang yang meninggalkan shalat bukan karena mengingkari wajibnya, namun karena malas
dan meremehkan, statusnya diperselisihkan oleh ulama:

1) Madzhab Hambali berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Demikian juga salah
satu pendapat dalam madzhab Syafi’i dan Maliki. Dan pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
2) Pendapat madzhab Syafi’i dan Maliki mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak
kafir, namun mereka dihukum oleh ulil amri dengan hukuman mati.
3) Pendapat madzhab Hanafi mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir,
namun mereka dipenjara sampai kembali shalat.
4) Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat pertama, yang mengatakan bahwa orang
yang meninggalkan shalat itu kafir keluar dari Islam. Karena didukung oleh dalil-dalil yang kuat.
Ini yang dikuatkan Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin,
Syaikh Shalih Al Fauzan, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, dan para ulama besar lainnya.

Pria yang Meninggalkan Shalat Jama’ah Sungguh Merugi dikatakan dalam Dalil Al Qur’an
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Dan hendaknya mereka mendirikan shalat dan janganlah menjadi orang-orang yang Musyrik” (QS. Ar
Rum: 31).

Allah menyebutkan dalam ayat ini, diantara tanda orang-orang yang menjadi musyrik adalah
meninggalkan shalat. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam: 59).

Pada ayat-ayat selanjutnya Allah Ta’ala menyebutkan tentang keadaan kaum Mukmin beserta
nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Lalu di ayat ini Allah menyebutkan kaum yang lain
yang bukan kaum Mukminin. Dan salah satu ciri mereka adalah menyia-nyiakan shalat.

i
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Shalat merupakan penyerahan diri secara talalitas untuk menghadap Tuhan, dengan
perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syarat. Shalat
merupakan kewajiban bagi kaum muslimin yang mukallaf tanpa kecuali. Shalat Merupakan
Syarat Menjadi Taqwa. Taqwa merupakan hal yang penting dalam Islam karena dapat
menentukan amal / tingkah laku manusia, orang – orang yang betul – betul taqwa tidak mungkin
melaksanakan perbuatan keji dan munkar, dan sebaliknya. Salah satu persyaratan orang – orang
yang betul betul taqwa ialah diantaranya mendirikan shalat sebagimana firman Allah SWT dalam
surat Al Baqarah.
Shalat merupakan benteng kemaksiatan artinya bahwa shalat dapat mencegah perbuatan
keji dan munkar. Semakin baik mutu shalat seseorang maka semakin efektiflah benteng
kemampuan untuk memelihara dirinya dari perbuatan makasiat. Shalat dapat mencegah
perbuatan keji dan munkar apabila dilaksanakan dengan khusu tidak akan ditemukan mereka
yang melakukan shalat dengan khusu berbuat zina. Maksiat, merampok dan sebagainya. Tetapi
sebaliknya kalau ada yang melakukan shalat tetapi tetap berbuat maksiat, tentu kekhusuan
shalatnya perlu dipertanyakan. Hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut:
45”Shalat Mendidik Perbuatan Baik Dan Jujur Dengan mendirikan shalat, maka banyak hal yang
didapat, shalat akan mendidik perbuatan baik apabila dilaksanakan dengan khusus” Shalat Akan
membangun etos kerja Sebagaimana keterangan – keterangan di atas bahwa pada intinya shalat
merupakan penentu apakah orang – orang itu baik atau buruk, baik dalam perbuatan sehari – hari
maupun ditempat mereka bekerja.

A. DEFINISI SHALAT SUNNAH

Shalat sunnah ( shalat nafilah ) adalah shalat tambahan diluar shalat fardhu, bila dikerjakan akan
mendapat pahala tetapi bil;a ditinggalkan tidak berdosa. Shalat sunnah terbagi dua yaitu:

1. Shalat sunnah yang dilaksanakan secara berjamah. Shalat sunnah jenis ini status hukumnya
adalah muakkad, contohnya: shalat idul fitri, idul adha, terawih, istisqa, kusuf dan khusuf.
2. Shalat sunnah yang dikerjakan secara munfarid ( sendiri-sendiri ). Status hukumnya ada yang
muakkad seperti: shalat sunnah rawatib dan tahajud. Ada pula yang status hukumnya sunnah
biasa ( ghairu muakkad ) seperti: shalat tahiyatul masjid, shalat dhuha, shalat witir, dan lain-lain.

i
B. MACAM-MACAM SHALAT SUNNAH.

Shalat Dhuha, menurut pengertian bahasa, kata dhuha berarti matahari sedang naik. Jadi shalat dhuha
dapat diartikan sebagai shalat sunnah yang dikerjakan pada saat matahari sedang naik. Waktu
mengerjakannya ialah semenjak matahari naik kira-kira sepenggalah sampai dengan masuknya waktu
DZuhur ( tergelincir matahari ). Shalat dzuha merupakan shalat sunnah yang danjurkan oleh rasulullah
saw.

Shalat Gerhana Matahari dan Bulan, shalat gerhana matahari disebut shalat Kusuf sedangkan shalat
gerhana bulan disebut shalat sunnah Khusuf. Hukum mengerjakan shalat gerhana adalah sunnah
muakkad ( sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan ). Shalat gerhana sebaiknya dikerjakan
secara berjamaah di mesjid atau musalla. Namun shalat gerhana juga boleh dikerjakan secara sendiri-
sendiri.

Shalat Istikharah, perkataan istikharah berasal dari bahasa arab yang artinya mohon dipilihkan.
Menurut istilah syarak, shalat istikharah adalah shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan dengan
maksud mohon petunjuk ( hidayah ) Allah dalam menentukan pilihan terbaik diantara dua atau lebih
pilihan.

Shalat Hajat, menurut pengertian bahasa, hajat artinya kebutuhan. Menurut istilah syarak shalat hajat
adalah shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan dengan maksud mohon kepada Allah agar suatu
kebutuhan hidup atau beberapa kebutuhan hidup terpenuhi. Shalat hajat dapat dilaksanakan kapan saja.
Siang hari maupun malam hari tetapi waktu yang paling baik adalah malam hari yaitu setelah bangun
tidur lewat tengan malam.

Shalat Istisqa, menurut pengertian bahasa shalat istisqa berarti shalat minta hujan. Sedangkan menurut
istilah syarak shalat istisqa adalah shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan dengan maksud memohon
pertolongan kepada Allah agar segera diturunkan hujan.

C. KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH

Shalat sunnah termasuk amalan yang mesti kita jaga dan rutinkan. Di antara keutamaannya, shalat
sunnah akan menutupi kekurangan pada shalat wajib. Kita tahu dengan pasti bahwa tidak ada yang yakin
shalat lima waktunya dikerjakan sempurna. Kadang kita tidak konsentrasi, tidak khusyu’ (menghadirkan
hati), juga kadang tidak tawadhu’ (tenang) dalam shalat. Moga dengan memahami pembahasan berikut
ini semakin menyemangati kita untuk terus menjaga shalat sunnah.

Pertama: Akan Menutupi Kekurangan pada Shalat Wajib

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

i
‫ظ ُروا فِى‬ ُ ‫ع َّز ِل َمالَئِ َكتِ ِه َو ُه َو أ َ ْعلَ ُم ا ْن‬ َّ ‫اس بِ ِه يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة ِم ْن أ َ ْع َما ِل ِه ُم ال‬
َ ‫صالَة ُ قَا َل يَقُو ُل َربُّنَا َج َّل َو‬ ُ َّ‫ب الن‬
ُ ‫س‬ َ ‫« إِ َّن أ َ َّو َل َما يُ َحا‬
َ َ ‫ظ ُروا ه َْل ِلعَ ْب ِدى ِم ْن ت‬
ٍ‫ط ُّوع‬ ُ ‫ش ْيئًا قَا َل ا ْن‬
َ ‫ص ِم ْن َها‬ َ َ‫ت لَهُ ت َا َّمةً َوإِ ْن َكانَ ا ْنتَق‬ ْ َ‫َت ت َا َّمةً ُكتِب‬
ْ ‫ص َها فَإ ِ ْن َكان‬ َ َ‫ع ْبدِى أَت َ َّم َها أ َ ْم نَق‬
َ ِ‫صالَة‬ َ
ُ َ
.» ‫على ذاك ْم‬ َ َ ُ ُ ُ َ ْ
َ ‫ضتَهُ ِمن تَط ُّو ِع ِه ث َّم تؤْ َخذ األ ْع َما ُل‬ َ َ َ َ
َ ‫فإِن َكانَ لهُ تَط ُّوع قا َل أتِ ُّموا ِلعَ ْبدِى ف ِري‬ َ ْ َ

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat.
Allah ‘azza wa jalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu, “Lihatlah pada shalat
hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat
baginya pahala yang sempurna. Namun jika dalam shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah
berfirman: Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan
sunnah, Allah berfirman: sempurnakanlah kekurangan yang ada pada amalan wajib dengan amalan
sunnahnya.” Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.” (HR. Abu Daud no. 864, Ibnu
Majah no. 1426 dan Ahmad 2: 425. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kedua: Dihapuskan dosa dan ditinggikan derajat

Ma’dan bin Abi Tholhah Al Ya’mariy, ia berkata, “Aku pernah bertemu Tsauban –bekas budak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu aku berkata padanya, ‘Beritahukanlah padaku suatu
amalan yang karenanya Allah memasukkanku ke dalam surga’.” Atau Ma’dan berkata, “Aku berkata
pada Tsauban, ‘Beritahukan padaku suatu amalan yang dicintai Allah’.” Ketika ditanya, Tsauban malah
diam.

Kemudian ditanya kedua kalinya, ia pun masih diam. Sampai ketiga kalinya, Tsauban berkata, ‘Aku
pernah menanyakan hal yang ditanyakan tadi pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
bersabda,

ً‫َطيئَة‬
ِ ‫ع ْنكَ ِب َها خ‬ َّ ‫َّللاُ ِب َها دَ َر َجةً َو َح‬
َ ‫ط‬ َّ َ‫سجْ دَة ً ِإالَّ َرفَ َعك‬ ُّ ‫علَيْكَ ِب َكثْ َر ِة ال‬
َ ِ‫س ُجو ِد ِ َّّلِلِ فَإِنَّكَ الَ ت َ ْس ُجدُ ِ َّّلِل‬ َ
“Hendaklah engkau memperbanyak sujud (perbanyak shalat) kepada Allah. Karena tidaklah engkau
memperbanyak sujud karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan menghapuskan
dosamu’.” Lalu Ma’dan berkata, “Aku pun pernah bertemu Abu Darda’ dan bertanya hal yang sama.
Lalu sahabat Abu Darda’ menjawab sebagaimana yang dijawab oleh Tsauban padaku.” (HR. Muslim
no. 488). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah dorongan untuk memperbanyak sujud
dan yang dimaksud adalah memperbanyak sujud dalam shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 4: 205). Cara
memperbanyak sujud bisa dilakukan dengan memperbanyak shalat sunnah.

Ketiga: Akan dekat dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga

Dari Rabiah bin Ka’ab Al-Aslami –radhiyallahu ‘anhu– dia berkata,

‫س ْل فَقُ ْلتُ أَسْأَلُكَ ُم َرافَقَتَكَ ِفي ْال َجنَّ ِة قَا َل‬ ُ ‫سلَّ َم فَأَت َ ْيتُهُ ِب َو‬
َ ‫ضو ِئ ِه َو َحا َج ِت ِه فَقَا َل ِلي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ُك ْنتُ أ َ ِبيتُ َم َع َر‬
َّ ‫سو ِل‬
َ ِ‫َّللا‬
‫س ُجو ِد‬ َ ‫غ ْي َر ذَلِكَ قُ ْلتُ ُه َو ذَاكَ قَا َل فَأ َ ِع ِني‬
ُّ ‫علَى نَ ْفسِكَ ِب َكثْ َر ِة ال‬ َ ‫أ َ ْو‬

“Saya pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air
wudhunya dan air untuk hajatnya. Maka beliau berkata kepadaku, “Mintalah kepadaku.” Maka aku

i
berkata, “Aku hanya meminta agar aku bisa menjadi teman dekatmu di surga.” Beliau bertanya lagi,
“Adakah permintaan yang lain?” Aku menjawab, “Tidak, itu saja.” Maka beliau menjawab, “Bantulah
aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud (memperbanyak shalat).” (HR.
Muslim no. 489)

Keempat: Shalat adalah sebaik-baik amalan

Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫وء إِالَّ ُمؤْ ِمن‬


ِ ‫ض‬ُ ‫علَى ا ْل ُو‬
َ ‫ظ‬ َّ ‫صوا َوا ْعلَ ُموا أ َ َّن َخي َْر أ َ ْع َما ِل ُك ُم ال‬
ُ ِ‫صالَة ُ َوالَ يُ َحاف‬ ُ ْ‫ا ْست َ ِقي ُموا َولَ ْن تُح‬
“Beristiqamahlah kalian dan sekali-kali kalian tidak dapat istiqomah dengan sempurna. Ketahuilah,
sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah shalat. Tidak ada yang menjaga wudhu
melainkan ia adalah seorang mukmin.” (HR. Ibnu Majah no. 277 dan Ahmad 5: 276. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kelima: Menggapai wali Allah yang terdepan

Orang yang rajin mengamalkan amalan sunnah secara umum, maka ia akan menjadi wali Allah yang
istimewa. Lalu apa yang dimaksud wali Allah?

Allah Ta’ala berfirman,

)63( َ‫) الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا َو َكانُوا يَتَّقُون‬62( َ‫علَ ْي ِه ْم َو َال ُه ْم يَحْ زَ نُون‬ َّ ‫أ َ َال ِإ َّن أ َ ْو ِليَا َء‬
َ ‫َّللاِ َال خ َْوف‬
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus:
62-63)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

‫فَ ُك ُّل َم ْن َكانَ ُمؤْ ِمنًا ت َ ِقيًّا َكانَ ِ َّّلِلِ َو ِليًّا‬

“Setiap orang mukmin (beriman) dan bertakwa, maka dialah wali Allah.” (Majmu’ Al Fatawa, 2: 224).
Jadi wali Allah bukanlah orang yang memiliki ilmu sakti, bisa terbang, memakai tasbih dan surban.
Namun yang dimaksud wali Allah sebagaimana yang disebutkan oleh Allah sendiri dalam surat Yunus
di atas. “Syarat disebut wali Allah adalah beriman dan bertakwa” (Majmu’ Al Fatawa, 6: 10). Jadi jika
orang-orang yang disebut wali malah orang yang tidak shalat dan gemar maksiat, maka itu bukanlah
wali. Kalau mau disebut wali, maka pantasnya dia disebut wali setan.

Perlu diketahui bahwa wali Allah ada dua macam: (1) As Saabiquun Al Muqorrobun(wali Allah
terdepan) dan (2) Al Abror Ash-habul yamin(wali Allah pertengahan).

As saabiquun al muqorrobun adalah hamba Allah yang selalu mendekatkan diri pada Allah dengan
amalan sunnah di samping melakukan yang wajib serta dia meninggalkan yang haram sekaligus yang
makruh.

i
Al Abror ash-habul yamin adalah hamba Allah yang hanya mendekatkan diri pada Allah dengan amalan
yang wajib dan meninggalkan yang haram, ia tidak membebani dirinya dengan amalan sunnah dan tidak
menahan diri dari berlebihan dalam yang mubah.

Mereka inilah yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

)5 ( ‫سا‬ًّ ‫ت ْال ِج َبا ُل َب‬ِ ‫س‬َّ ُ‫) َوب‬4( ‫ض َر ًّجا‬ ُ ‫ت ْاأل َ ْر‬ ِ ‫) ِإذَا ُر َّج‬3( ‫ضة َرا ِف َعة‬ َ ‫) خَا ِف‬2( ‫ْس ِل َو ْق َع ِت َها َكا ِذبَة‬ َ ‫) لَي‬1( ُ‫ت ْال َوا ِق َعة‬ ِ ‫ِإذَا َوقَ َع‬
‫اب ْال َم ْشأ َ َم ِة َما‬
ُ ‫ص َح‬ ْ َ ‫) َوأ‬8( ‫اب ْال َم ْي َمنَ ِة‬
ُ ‫ص َح‬ْ َ ‫اب ْال َم ْي َمنَ ِة َما أ‬ ْ َ ‫) فَأ‬7( ً‫) َو ُك ْنت ُ ْم أ َ ْز َوا ًجا ث َ َالثَة‬6( ‫َت َه َبا ًء ُم ْنبَثًّا‬
ُ ‫ص َح‬ ْ ‫فَ َكان‬
)13( َ‫) ث ُلَّة ِمنَ ْاأل َ َّولِين‬12( ‫ت النَّ ِع ِيم‬ ِ ‫) فِي َجنَّا‬11( َ‫) أُولَئِكَ ْال ُمقَ َّربُون‬10( َ‫سابِقُون‬ َّ ‫سابِقُونَ ال‬ َّ ‫) َوال‬9( ‫اب ْال َم ْشأ َ َم ِة‬ُ ‫ص َح‬ ْ َ‫أ‬
)14( َ‫َوقَ ِليل ِمنَ ْاْلَ ِخ ِرين‬

“Apabila terjadi hari kiamat,tidak seorangpun dapat berdusta tentang kejadiannya.(Kejadian itu)
merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain), apabila bumi digoncangkan
sedahsyat-dahsyatnya,dan gunung-gunung dihancur luluhkan seluluh-luluhnya,maka jadilah ia debu
yang beterbangan, dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya
golongan kanan itu. Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.Dan orang-orang yang
beriman paling dahulu. Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah
kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu,dan segolongan kecil dari orang-orang
yang kemudian.” (QS. Al Waqi’ah: 1-14) (Lihat Al furqon baina awliyair rohman wa awliyaisy
syaithon, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 51)

Keenam: Allah akan beri petunjuk pada pendengaran, penglihatan, kaki dan tangannya, serta
doanya pun mustajab

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َو َما‬، ‫علَ ْي ِه‬


َ ُ‫ضت‬ َّ ‫َىءٍ أ َ َحبَّ ِإ َل‬
ْ ‫ى ِم َّما ا ْفت ََر‬ ْ ‫ع ْبدِى ِبش‬َ ‫ى‬ َّ ‫ب ِإ َل‬َ ‫ َو َما تَقَ َّر‬، ‫ب‬ ِ ‫عادَى ِلى َو ِليًّا فَقَ ْد آذَ ْنتُهُ ِب ْال َح ْر‬ َ ‫َّللاَ قَا َل َم ْن‬
َّ ‫ِإ َّن‬
َّ
‫ َويَدَهُ التِى‬، ‫ْص ُر ِب ِه‬ َّ
ِ ‫ص َرهُ الذِى يُب‬ َّ
َ َ‫ َوب‬، ‫س ْم َعهُ الذِى يَ ْس َم ُع بِ ِه‬ َ ُ
َ ُ‫ فَإِذَا أحْ بَ ْبتُهُ ُك ْنت‬، ُ‫ى ِبالنَّ َوافِ ِل َحتَّى أ ِحبَّه‬ َّ َ‫ب ِإل‬ُ ‫ع ْبدِى يَتَقَ َّر‬
َ ‫يَزَ ا ُل‬
ُ
ُ‫ َولَئِ ِن ا ْست َ َعاذَنِى أل ِعيذَنَّه‬، ُ‫ْطيَنَّه‬ ُ
ِ ‫سألَنِى ألع‬ َ َّ
َ ‫ َو ِإ ْن‬، ‫ش ِب َها َو ِرجْ لَهُ التِى يَ ْمشِى ِب َها‬ ُ
ُ ‫يَ ْبط‬
“Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya.
Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika
Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk
mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk
pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon
perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)

Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) di samping melakukan amalan wajib, akan
mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan
dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a
(Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, hadits ke-38).

i
B. PEMBAGIAN MENURUT PELAKSANAAN

Salat sunah ada yang dilakukan secara sendiri-sendiri (munfarid) di antaranya:

a) Salat Rawatib
b) Salat Tahiyatul Wudhu
c) Salat Istikharah
d) Salat Mutlaq
e) Salat Dhuha
f) Salat Tahiyatul Masjid
g) Salat Tahajud
h) Salat Hajat
i) Salat Awwabin
j) Salat Tasbih
k) Salat Taubat

Sedangkan yang dapat dilakukan secara berjamaah antara lain:

a) Salat Tarawih
b) Salat Ied
c) Salat Gerhana
d) Salat Istisqa'

C. WAKTU TERLARANG UNTUK SHOLAT SUNNAH

Beberapa salat sunah dilakukan terkait dengan waktu tertentu namun bagi salat yang dapat
dilakukan pada waktu yang bebas (misal:salat mutlaq) maka harus memperhatikan bahwa terdapat
beberapa waktu yang padanya haram dilakukan salat:

a) Matahari terbit hingga ia naik setinggi lembing


b) Matahari tepat dipuncaknya (zenith), hingga ia mulai condong
c) Sesudah ashar sampai matahari terbenam
d) Sesudah subuh
e) Ketika matahari terbenam hingga sempurna terbenamnya

i
D. SHOLAT SUNNAH MUAKKAD

Yaitu shalat sunnah yang selalu dikerjakan atau jarang sekali tidak dikerjakan oleh Rasulullah
SAW, seperti shalat witir, shalat hari raya dan lain sebagainya.

Macam – macam shalat sunnah muakkad antara lain :

1. Shalat tahajud, shalat dhuha dan shalat tarawih

.ِ‫ص َالة ُ الت َّ َرا ِويْح‬ َ ‫ص َالة ُ الَّ ْي ِل َو‬


ُّ ‫ص َالة ُ ال‬
َ ‫ض َحى َو‬ ُ ‫َوثَ َال‬
َ ‫ث ن ََوافِ ُل ُم َؤ َّكدَات‬

Artinya : “Dan ada tiga macam shalat sunnah mu’akkad (sangat sekali disunnahkan) :

1. Shalat malam (tahajjud), 2. Shalat Dhuha, dan 3. Shalat Tarawih”

a) Shalat Tahajud

Yaitu shalat sunnah yang dikerjakan pada waktu malam hari setelah bangun tidur, sekalipun tidurnya
hanya sebentar. Hukum dari shalat tahjud adalah sunnah muakkad.

Anjuran mengerjakannya :

Firman Allah Ta’ala

َ ‫َو ِمنَ الَّ ْي ِل فَت َ َه َّجدَبِ ِه نَا فِلَةً لَكَ َع‬


َ َ‫سى ا َ ْن يَ ْبع‬
.‫سكَ َربُّكَ َمقَا ًما َمحْ ُم ْودًا‬

Artinya : “Dan pada sebagian malam hari, maka kerjakanlah shalat tahajjud engkau sebagai suatu ibadah
tambahanbagimu, mudah - mudahan Tuhanmu mengangkat ke tempat yang terpuji” (QS. Al Isra 79)

Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : “Hai sekalian manusia. Sebarkanlah salam, berikanlah makanan (pada orang yang sangat
membutuhkan), sambungkanlah sanak kerabat, shalatlah di waktu malam di saat orang sedang tidur
nyenyak, niscaya kalian semua akan masuk surga dengan selamat dan sejahtera” (HR. Al Hakim, Ibnu
Majah, dan Turmudzi)

Dari firman Allah dan hadits diatas memberikan pengertian kepada kita bahwa shalat tahajjud adalah
benar – benar dianjurkan untuk mengerjakannya, dan saat itulah hamba Allah sangat dekat dengan Allah

i
sehingga segala permintaan dan permohonan akan segera dikabulkan baik mohon kebahagiaan dunia
maupun kebahagiaan di akhirat

Niat shalat tahajjud :

‫سنَّةًالت َّ َح ُّجد َِر ْكعَتَي ِْن ِ َّّلِلِ تَعَا َلى‬ َ ُ‫ا‬


ُ ‫ص ِلى‬

Artinya :”Saya berniat shalat tahajud dua raka’at, karena Allah ta’ala”

b) Shalat Tarawih

Yaitu shalat sunnah yang dikerjakan pada malam bulan Ramadhan. Hukum dari shalat tarawih
adalah sunnah muakkad.

Niat shalat tarawih :

‫سنَّةَالتَّ َرا ِويْحِ َر ْكعَتَي ِْن ِ َّّلِلِ تَ َعالَى‬ َ ُ‫ا‬


ُ ‫ص ِلى‬

Artinya :”Saya berniat shalat sunnah tarawih dua raka’at, karena Allah ta’ala”

Anjuran mengerjakan shalat tarawih berdasarkan

Hadits Nabi SAW

Artinya : “Barangsiapa bangun malam di bulan Ramadhan untuk mengerjakan shalat, karena iman
(percaya dan mengharapkan pahala dari Allah), maka akan diampuni dosanya yang lampau”

Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a berkata : Rasulullah SAW selalu menganjurkan kepada kami supaya
bangun untuk shalat malam Ramadhan, tetapi tidak diwajibkan meka beliau bersabda : Barangsiapa
yang bangun di malam hari di bulan Ramadhan untuk mengerjakan shalat, karena iman (percaya dan
mengharapkan pahala dari Allah), maka diampuni dosanya yang lampau.”

Dua hadits diatas memberikan pengertian kepada kita semua kaum muslim bahwa shalat tarawih
(shalat yang memakai istirahat) itu sangat diamjurkan dan sangat besar pahalanya, sehingga orang yang
mengerjakannya diampuni dosanya yang telah lewat. Bahkan menurut hadits yang diriwayatkan ‘Ali bin
Abu Tholib K.W. Rasulullah SAW bersabda dalam kitabnya : dalam haditsnya yang panjang :

i
Pada hari pertama seorang mukmin akan keluar bebas dari dosanya sebagaimana pada hari
pertama ia dilahirkan oleh ibunya dan seterusnya sampai tanggal tiga puluh adalah mempunyai
keutamaan yang berlainan dari tanggal satu, dua, tiga dan seterusnya sampai akhir bulan Ramadhan.

2. Shalat Idain (shalat idul fitri dan shalat idul adha)

Artinya : “Shalat dua hari raya (idul fitri dan idul adha)itu hukumnya sunnah muakkad. Shalar
hari raya itu dua rakaat, dalam rakaat pertama takbir tujuh kali selain takbiratul ikhram, dan dalam
rakaat kedua takbir lima kali selain takbiratul berdiri. Sesudah shalat dua hari raya, maka khutbah dua
kali. Dalam khutbah pertama takbir sembilan kali, dan dalam khutbah kedua takbir tujuh kali”

Niat Shalat Idul Fitri

ْ ‫سنَّةً ِل ِع ْي ِد ْال ِف‬


‫ط ِر َر ْكعَتَي ِْن ِ َّّلِلِ تَعَالَى‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya :”Saya berniat shalat hari raya (idul fitri)dua raka’at, karena Allah ta’ala”

Niat Shalat Idul Adha

ْ َ ‫سنَّةً ِل ِع ْي ِد األ‬
‫ض َحى َر ْك َعتَي ِْن ِ َّّلِلِ ت َ َعالَى‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya :”Saya berniat shalat hari raya (idul adha)dua raka’at, karena Allah ta’ala”[6]

3. Shalat gerhana bulan (Khusuf) dan gerhana matahari (Kusuf)

Artinya : “Shalat gerhana (bulan dan matahari) adalah sunnah muakkad, dan bila waktunya
sudah lewat, maka tidak usah diqadha. Dan hendaknya shalat dua rakaat untuk gerhana matahari dan
bulan, pada tiap rakaat berdiri dua kali dengan memanjangkan tasbih di dalamnya, dan dua ruku’ dengan
memanjangkan tasbih dalam sujud. Dan setelah shalat gerhana, maka khutbah dua kali. Dalam shalat
gerhana matahari hendaknya memelankan bacaan (fatihah dan surat), dan hendaknya mengeraskan
bacaan dalam shalat gerhana bulan.”

Niat shalat gerhana bulan (khusuf)

‫ف َر ْك َعتَي ِْن ِ َّّلِلِ تَ َعالَى‬ ُ ‫سنَّةً ْال ُخ‬


ِ ‫س ْو‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat gerhana bulan dua rakaat karena Allah Ta’ala”

Niat shalat gerhana matahari (kusuf)

i
‫ف َر ْك َعتَي ِْن ِ َّّلِلِ تَ َعالَى‬ ُ ‫سنَّةً ْال ُك‬
ِ ‫س ْو‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat gerhana matahari dua rakaat karena Allah Ta’ala”

4. Shalat witir

Yaitu shalat yang dikerjakan dengan bilangan ganjil, saru rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh
rakaat, sembilan rakaat dan tiga belas rakaat. Hukum dari shalat witir adalah sunnah muakkad.

َّ ‫سلَّ ُم َوا ْنت َ َهى ِوتْ ُرهُ اِلَى ال‬


‫ رواه البخاري ومسلم عن عائشة‬.‫سحْ ِر‬ َ ‫صلَّى هللُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ُك َّل الَّ ْي ِل ا َ ْوت ََر َر‬
َ ِ‫س ْوا ُل هلل‬

Artinya : “Setiap malam Rasulullah SAW melakukan shalat witir. Dan penghabisan witirnya di
penghujung malam (waktu sahur)”

‫ص َالتِ ُك ْم بِاالَّ ْي ِل ِوتْ ًرا‬


َ ‫اِجْ عَلُ ْواا ُ ِخ َر‬

Artinya : Jadikanlah akhir shalatmu pada waktu malam dengan witir (HR. Bukhori & Muslim yang
bersumber dari Ibnu ‘Umar r.a)

ْ ُ ‫اَ ْوتِ ُر ْواقَ ْب َل ا َ ْن ت‬


‫ص ِب ُح ْوا‬

Artinya : Shalat witirlah kamu sekalian sebelum waktu shubuh (HR. Muslim yang bersumber dari Abu
Sa’id Al Khudriy r.a)

Dua hadits diatas memberikan pengertian pada kita bahwa shalat witir itu sangat dianjurkan untuk
mengerjakannya.

Niat :

‫سنَّةً ْال ِوتْ ِر َر ْك َعتَي ِْن ِ َّّلِلِ تَ َعالَى‬ َ ُ‫ا‬


ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat witir dua rakaat karena Allah Ta’ala”

Niat shalat witir satu rakaat :

‫سنَّةً ْال ِوتْ ِر َر ْكعَةً ِ َّّلِلِ تَعَالَى‬ َ ُ‫ا‬


ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat witir satu rakaat karena Allah Ta’ala”

5. Shalat sunnah rawatib muakkad

i
Shalat sunnah rawatib yaitu shalat –shalat sunnah muakkadah yang mengiringi shalat fardlu,
yakni dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat sebelum zuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah
maghrib dan dua rakaat sesudah isya. Menurut golongan mazhab hanafi, yang muakad sebelum zuhur
adalah empat rakaat. (jadi jumlahnya dua belas rakaat). Selain dari hukumnya sunnah mustahabbah, atau
anjuran.

Adapun hadits yang menjelaskan tentang shalat sunnah rawatib muakkadah, yakni hadits yang
diterangkan dalam hadits dari Ibnu Umar, sebagai berikut :

Artinya :”Saya hafalkan dari Nabi SAW sepuluh rakaat : dua rakaat sebelum shalat dhuhur, dua rakaat
sesudahnya, dua rakaat sesuadah shalat maghrib di rumahnya, dua rakaat sesudah shalat isya di
rumahnya, dan dua rakaat sebelum shalat subuh” (HR Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)

a). Macam – macam shalat sunnah rawatib muakkkad

Sunnah fajar. Adalah salah satu sunnah mu’akkad yang dikerjakan sebelum shalat subuh dan
merupakan sunnah rawatib yang sangat dianjurkan. Karena itu ulama mazhab hanafi menyatakan, shalat
tersebut tidak boleh dikerjakan sambil duduk atau diatas kendaraan tanpa ada halangan.

Niat :

‫صبْحِ َر ْكعَتَي ِْن قَ ْب ِليَّةً ِ َّّلِلِ تَعَالَى‬


ُّ ‫سنَّةَ ال‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh karena Allah Ta’ala”

Sunnah zuhur. Jumlah rakaatnya ialah dua rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat sesudahnya. Hanya,
yang muakkad dari jumlah itu adalah dua rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat pula sesudahnya.

Niat :

‫ظ ْه ِر َر ْكعَتَي ِْن قَ ْب ِليَّةً ِ َّّلِلِ تَعَالَى‬


ُّ ‫سنَّةَ ال‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat sunnah dua rakaat sebelum dhuhur, karena Allah Ta’ala”

‫ظ ْه ِر َر ْك َعتَي ِْن َب ْع ِديَّةً ِ َّّلِلِ ت َ َعالَى‬


ُّ ‫سنَّةَ ال‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat sunnah dua rakaat sesudah dhuhur, karena Allah Ta’ala”

i
Sunnah maghrib. Sunnah ini sebanyak enam rakaat sesudah shalat maghrib, tetapi yang muakkad
hanya dua rakaat sebagaimana keterangan diatas ulama mazhab syafii dan hambali berpendapat,
sebelum maghrib disunnahkan pula mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat.

Niat :

ِ ‫سنَّةَ ْال َم ْغ ِر‬


‫ب َر ْكعَتَي ِْن قَ ْب ِليَّةً ِ َّّلِلِ تَعَالَى‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat sunnah dua rakaat sebelum maghrib, karena Allah Ta’ala”

Sunnah maghrib. Sunnah ini sebanyak enam rakaat sesudah shalat maghrib, tetapi yang muakkad
hanya dua rakaat sebagaimana keterangan di atas. Ulama madzhab syafii dan hambali berpendapat
sebelum maghrib disunnahkan pula mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat.

Niat :

ِ ‫سنَّةَ ْال َم ْغ ِر‬


‫ب َر ْكعَتَي ِْن بَ ْع ِد َّيةً ِ َّّلِلِ تَعَالَى‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat sunnah dua rakaat sesudah maghrib, karena Allah Ta’ala”

Sunnah isya. Tiada perbedaan pendapat bahwa sunnah isya yang muakkad ialah dua rakaat
sesudahnya, tetapi yang diperselisihkan adalah tentang jumlah rakaat sunnah rawatibnya yang tidak
muakkad.

Niat :

ِ ‫سنَّةَ ْال ِعش‬


‫َآء َر ْكعَتَي ِْن بَ ْع ِديَّةً ِ َّّلِلِ تَعَالَى‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat sunnah dua rakaat sesudah isya’, karena Allah Ta’ala.”

E. SHOLAT SUNNAH GHOIRU MUAKKAD

Yaitu shalat sunnah yang tidak selalu dikerjakan oleh Rasulullah SAW, seperti shalat dhuha dan
shalat – shalat rawatib yang tidak muakkad, yakni empat rakaat sebelum ashar, dua rakaat sebelum
shalat maghrib, dua rakaat sebelum shalat isya dua rakaat sebelum dhuhur, dan dua rakaat setelah
dhuhur. Adapun hadits – hadits yang menerangkan tentang shalat sunnah ghairu ghairu muakkadah
antara lain :

Sabda Rasulullah SAW :

i
Artinya : “Allah memberi rahmat kepada seseorang yang shalat empat raka’at sebelum ashar” (HR
Ahmad, Abu Daud dan At Tirmidzi dari Ibnu Umar)

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin Mughaffal Al Muzanni, diterangkan :

Artinya : “Bahwa Nabi SAW shalat sebelum maghrib dua raka’at” (HR Ibnu Hibban dari ‘Abdullah bin
Mughaffal Al Muzanni)

Sabda Rasulullah SAW :

Artinya : “Tiada shalat fardlupun, kecuali sebelumnya ada dua raka’at (shalat sunnah)” (HR Ibnu
Hibban dari Ibnu Zubair)

a). Macam – macam shalat sunnah rawatib ghairu muakkad

1. Empat rakaat sebelum ashar

Niat :

ْ ‫سنَّةَ ْال َع‬


‫ص ِر َر ْك َعتَي ِْن قَ ْب ِليَّةً ِ َّّلِلِ ت َ َعالَى‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat sunnah dua rakaat sebelum ashar, karena Allah Ta’ala”

2. Dua rakaat sebelum shalat maghrib

Niat :

ِ ‫سنَّةَ ْال َم ْغ ِر‬


‫ب َر ْكعَتَي ِْن قَ ْب ِليَّةً ِ َّّلِلِ تَعَالَى‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat sunnah dua rakaat sebelum maghrib, karena Allah Ta’ala”

3. Dua rakaat sebelum shalat isya

Niat :

ِ ‫سنَّةَ ْال ِعش‬


‫َآء َر ْكعَتَي ِْن قَ ْب ِليَّةً ِ َّّلِلِ تَعَالَى‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat sunnah dua rakaat sebelum isya’, karena Allah Ta’ala”

4. Dua rakaat sebelum dhuhur

Niat :

i
ِ َّ ِ ً‫ظ ْه ِر َر ْك َعتَي ِْن قَ ْب ِليَّة‬
‫ّلِل ت َ َعالَى‬ ُّ ‫سنَّةَ ال‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat sunnah dua rakaat sebelum dhuhur, karena Allah Ta’ala”

5. Dua rakaat setelah dhuhur.

Niat :

‫ظ ْه ِر َر ْكعَتَي ِْن َب ْع ِديَّةً ِ َّّلِلِ تَعَالَى‬


ُّ ‫سنَّةَ ال‬ َ ُ‫ا‬
ُ ‫ص ِلى‬

Artinya : “Saya berniat shalat sunnah dua rakaat sesudah dhuhur, karena Allah Ta’ala”

F. KEUTAMAAN SHOLAT SUNNAH

Keutamaan/Fadhilah sholat sunnah antara lain adalah sebagai berikut :


1. Penyempurna sholat Wajib
Alloh Maha mengetahui keadaan seorang hamba yang penuh kelemahan didalam menjalankan
kewajiban ibadah sholatnya, entah dikarenakan tidak khusyu’dan alasan lainnya, seperti tersebut di
dalam dalil :

“Sesungguhnya seseorang selesai shalat dan tidak ditulis kecuali hanya sepersepuluh shalat,
sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya
sepertiganya, setengahnya”. (HR Abu Daud no. 796)

Akan tetapi Alloh memberikan kita solusinya, untuk menutupi kekurangan kekurangan tersebut, yakni :

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat.
Allah ‘azza wa jalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu, “Lihatlah pada shalat
hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat
baginya pahala yang sempurna. Namun jika dalam shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah
berfirman: Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan
sunnah, Allah berfirman: sempurnakanlah kekurangan yang ada pada amalan wajib dengan amalan
sunnahnya.” Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.” (HR. Abu Daud no. 864, Ibnu
Majah no. 1426 dan Ahmad 2: 425.)

2. Bertaburan Kebajikan

i
“Tidak ada sesuatu yang lebih baik yang Allah izinkan kepada seorang hamba selain melaksanakan
shalat dua raka’at dan sesungguhnya kebajikan akan bertaburan di atas kepala seorang hamba selama ia
melakukan shalat.” HR. At-Tirmidzi no. 2911, Imam Ahmad no. 21803)

Semakin banyak rakaat yang bisa kita lakukan, maka akan semakin banyak pula kebajikan yang akan
diberikan oleh Allah bagi kita. Mau..?! Mari perbanyak sholat sunnah kita..

3. Dekat dengan Rasululloh di Syurga

“Saya pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air
wudhunya dan air untuk hajatnya. Maka beliau berkata kepadaku, “Mintalah kepadaku.” Maka aku
berkata, “Aku hanya meminta agar aku bisa menjadi teman dekatmu di surga.” Beliau bertanya lagi,
“Adakah permintaan yang lain?” Aku menjawab, “Tidak, itu saja.” Maka beliau menjawab, “Bantulah
aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud (memperbanyak shalat).” (HR.
Muslim no. 489)

Sholat wajib sudah tidak bisa ditambahi lagi dan tidak bisa diperbanyak lagi, sehingga yang masih bisa
diperbanyak adalah sholat-sholat sunnah kita. Inginkah kita bisa dekat dengan Rasululloh di syurga
kelak ? jika jawabannya adalah : iya.. maka segeralah perbanyaklah rokaat-rokaat sholat sunnah kita..

4. Meninggikan Derajat dan Menghapus Dosa


“Hendaklah engkau memperbanyak sujud (perbanyak shalat) kepada Allah. Karena tidaklah engkau
memperbanyak sujud karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan menghapuskan
dosamu’.” Lalu Ma’dan berkata, “Aku pun pernah bertemu Abu Darda’ dan bertanya hal yang sama.
Lalu sahabat Abu Darda’ menjawab sebagaimana yang dijawab oleh Tsauban padaku.” (HR. Muslim no.
488)

“Barangsiapa mengambil wudlu seperti cara aku berwudlu kemudian dia menunaikan shalat dua rakaat
dan tidak berkata-kata antara wudlu dan shalat, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang
telah lalu.” ( Shohih Bukhori, no.159 dan Shohih Muslim, no.226)

i
Memperbanyak sujud adalah berarti memperbanyak sholat sunnah kita, karena rakaat di dalam sholat
wajib tidak bisa diperbanyak lagi. Inginkah kita ditinggikan derajat kita dan dihapuskan dosa-dosa kita ?
jika jawabannya : iya.. maka segera perbanyaklah rokaat-rokaat sholat sunnah kita.

5. Fadhilah Sholat Sunnah Rowatib

a. Dibangunkan Rumah Di Syurga


“Barangsiapa yang mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib) sehari semalam, akan
dibangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728).
“Barangsiapa sehari semalam mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib), akan dibangunkan
baginya rumah di surga, yaitu: 4 raka’at sebelum Zhuhur, 2 raka’at setelah Zhuhur, 2 raka’at setelah
Maghrib, 2 raka’at setelah ‘Isya dan 2 raka’at sebelum Shubuh.” (HR. Tirmidzi no. 415 dan An Nasai
no. 1794)
b. Sholat Sunnah Fajar Lebih Baik Dari Dunia Dan Isinya
“Dua raka’at sunnah fajar (qobliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no.
725)
c. Diharamkan Neraka Baginya
“Barangsiapa merutinkan shalat sunnah empat raka’at sebelum Zhuhur dan empat raka’at sesudah
Zhuhur, maka akan diharamkan baginya neraka.” (HR.Abu Daud no. 1269, An Nasa-i no. 1816, dan At
Tirmidzi no. 428.)
d. Mendapat Rahmat Alloh
“Semoga Allah merahmati seseorang yang mengerjakan shalat (sunnah) empat raka’at sebelum Ashar.”
(HR. Abu Daud no. 1271 dan At-Tirmizi no. 430)
Alloh Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, sehingga Alloh menghendaki kebaikan bagi hamba-
Nya. Salah satunya adalah dengan berbagai macam kemudahan untuk masuk ke dalam syurga-Nya dan
mendapatkan ampunan dari-Nya. Masalahnya adalah ada pada diri kita sendiri, mau ataukah tidak untuk
mendapatkannya ?

i
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sholat sunnah adalah ibadah sholat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW di luar sholat yang
hukumnya wajib. Sholat sunnah dikerjakan guna mendekatkan diri kepada Allah
SWT, menyempurnakan sholat fardhu, bertaubat kepada Allah SWT agar hajatnya dikabulkan,
meningkatkan derajat dan martabat serta menjernihkan akal pikiran setiap pelakunya.

Dasar pelaksanaan sholat sunnah sangat kuat dan mendasar. Sholat sunnah didasari oleh hadis
dan sunah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Dalil tersebut yang kemudian dijabarkan oleh
para ulama dan umara untuk disampaikan pada seluruh ummat muslim, baik itu jenis maupun tata cara
pelaksanaannya yang sesuai dengan hadis dan sunnah.

Sholat sunnah terbagi menjadi 2 yaitu :

Muakad, adalah salat sunah yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati
wajib), seperti salat dua hari raya, salat sunah witir dan salat sunah thawaf.

Ghairu Muakad, adalah salat sunah yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat, seperti salat sunah
Rawatib dan salat sunah yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti salat
kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).

Dalam pengerjaannya, sholat sunnah dapat dilakukan secara berjamaah maupun munfarid, harus sesuai
dengan tata cara yang telah ditentukan serta pada waktu dan tempat yang afdhal.

B. SARAN

Sholat sunnah akan mendapatkan pahala apabila di kerjakan, maka apabila kita ingin
mendapatkan pahala tambahan di samping sholat wajib dapat di laksanakan dengan melakukan sholat
sunnah, wallohu a’lam.

i
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sujud sahwi

Secara bahasa, sahwi (‫ )السهو‬artinya lupa atau lalai. Kalimat as sahwu fi syai’in (‫)السهو في شيئ‬
artinya meninggalkan sesuatu tanpa sengaja atau tidak tahu. Sedangkan kalimat as sahwu ‘an
syai’in (‫ )السهو عن شيئ‬artinya meninggalkan sesuatu dengan sengaja.

Ada dua kata dalam dalam bahasa Arab yang artinya lupa. Yakni an nasii (‫ )النسي‬dan as saahii
(‫)السهي‬. Bedanya, menurut Syaikh Wahbah Az Zuhaili, an nasii jika diingatkan masih bisa ingat.
Sedangkan as sahii sudah tidak bisa.

Secara istilah, sujud sahwi (‫ )سجود السهو‬adalah sujud dengan tujuan untuk menambal kekurangan
tanpa harus mengulangi shalat, karena meninggalkan perkara yang bukan asasi atau
menambahkan sesuatu dalam shalat.

Rasulullah pernah lupa saat shalat Dzuhur. Beliau shalat sebanyak lima rakaat. Ketika shalat
sudah selesai dan para sahabat mengingatkan, maka beliau pun sujud sahwi.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

َ َ‫ ف‬. ‫سا‬
‫س َج َد‬ ً ‫صلَّيْتَ َخ ْم‬ َّ ‫سا فَ ِقي َل لَهُ أ َ ِزي َد ِفى ال‬
َ ‫ قَا َل‬. َ‫صالَ ِة َفقَا َل َو َما ذَاك‬ ً ‫ص َّلى ال ُّظه َْر َخ ْم‬
َ – ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم‬ ُ ‫أَنَّ َر‬
َّ ‫سو َل‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫سَجْ َدتَي ِْن بَ ْع َد َما‬

Pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat dzuhur lima rakaat.
Beliau kemudian ditanya, “Apakah jumlah rakaat ini memang ditambah?” Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab, “Mengapa demikian?” Sahabat yang tadinya menjadi makmum
mengatakan, “Anda telah melaksanakan shalat Dzuhur lima rakaat.” Lantas beliau pun sujud
sebanyak dua kali setelah selesai salam itu. (HR. Bukhari).

i
B. Dalil adanya sujud sahwi

" ‫س ُج ْد سَجْ َدتَي ِْن َوه َُو‬ ْ َ‫ ث ُ َّم ي‬،‫ َف ْليُتَ ِم ْم َما شَكَّ فِي ِه‬،‫اح َدةً أ َ ِم اثْنَتَي ِْن أ َ ْم ثَ ََلثًا أَ ْم أ َ ْربَعًا‬ َ ‫إِذَا شَكَّ أ َ َح ُد ُك ْم فِي ص َََلتِ ِه فَلَ ْم يَد ِْر َك ْم‬
ِ ‫صلَّى َو‬
ٌ‫ان لَهُ نَافِلَة‬
ِ َ ‫الر ْك َعةُ َوالسَّجْ َدت‬
َّ َ‫ َوإِ ْن كَانَ أَت َ َّم ص َََلتَهُ ف‬،‫ان‬ ِ ‫ش ْي َط‬ َّ ‫ان تَ ْر ِغي ٌم ِلل‬ ِ َ ‫ فَ ِإ ْن كَانَتْ ص َََلتُهُ نَاقِصَةً فَقَ ْد أَتَ َّمهَا َوالسَّجْ َدت‬،‫س‬ ٌ ‫"جَا ِل‬
“Jika salah seorang di antara kamu ragu dalam solatnya sehingga dia tidak tahu berapa rakaat
yang telah dia lakukan, satu atau dua rakaat, tiga rakaat atau empat rakaat. Maka hendaklah ia
tepis keraguan itu dan ikutilah yang dia yakini. Setelah itu, hendaklah dia sujud dua kali dan dia
dalam keadaan duduk Jika ternyata shalatnya kurang maka dia telah melengkapkan solatnya.
Dan dua sujud tadi adalah penghinaan bagi syaitan dan jika ternyata ia telah menyempurnakan
shalatnya maka satu rakaat dan dua sujud tersebut adalah sunnah baginya[1]

‫ثمليسجدسجدتين‬،‫ثمليسلم‬،‫فليتمعليه‬،‫فليتحرالصواب‬،‫ «وإذاشكأحدكمفيصَلته‬:‫حديثابنمسعود‬

“Dan apabila kalian ragu dalam sholat,maka hendaknya ia berusaha (mencari) kebenaran, dan
menyempurnakan shalanya hingga salam kemudian sujud dua kali (sahwi)”[2]

‫فليسجدسجدتيالسهوقبألنيسلم‬،‫ منسهاقبَللتمام‬:‫عنعائشة‬

“Dari Aisyah bahwa Rasulallah bersabda : Barang siapa yang lupa sebelum sempurna
shalatnya, maka hendaknya dia bersujud sahwi sebelum salam”[3]

C. Doa yang terdapat disujud sahwi

‫س ْبحَانَكَ اللَّ ُه َّم َربَّ َنا َوبِ َح ْم ِدكَ اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ِلى‬
ُ

(Subhaanaka alloohumma robbanaa wa bihamdika alloohummaghfirlii)

Artinya: Mahasuci Engkau, ya Allah Tuhan kami dan segala puji bagiMu. Ya Allah ampunilah
aku.

i
D. Hukum sujud sahwi

Menurut mazhab Hanafi, sujud sahwi hukumnya wajib. Jadi jika seorang imam atau seorang
munfarid (shalat sendirian) lupa jumlah rakaatnya, ia wajib melakukan sujud sahwi. Jika tidak, ia
dianggap berdosa. Adapun bagi makmum, ia harus mengikuti imam.

Wajibnya sujud sahwi ini jika memang waktunya memungkinkan. Jika salam dalam shalat
Subuh bertepatan dengan terbitnya matahari, maka kewajiban sujud sahwi tersebut gugur.
Demikian pula jika salam dalam shalat Ashar bertepatan dengan memerahnya matahari, maka
kewajiban sujud tersebut gugur.

Menurut mazhab Maliki, sujud sahwi hukumnya sunnah muakkadah. Demikian pula menurut
mazhab Safi’i.

Sedangkan menurut mazhab Hambali, hukumnya adalah wajib, namun terkadang bisa menjadi
mandub dan mubah.

Ada empat hal menurut mazhab Hambali yang membuat hukum sujud sahwi menjadi wajib
yakni:

1. Setiap sesuatu yang jika disengaja membuat shalat menjadi batal. Misalnya tidak
melakukan suatu rukun shalat.
2. Meninggalkan hal yang wajib dalam shalat karena lupa. Misalnya tidak membaca tasbih
dalam ruku’ dan sujud.
3. Bimbang di tengah-tengah shalat. Seperti ragu jumlah rakaat yang sudah dilakukan.
4. Melagukan bacaan ayat dalam shalat hingga mengubah makna, baik lupa maupun tidak
tahu.
5. Hukum sujud ini menjadi mandub jika melakukan perbuatan atau mengucapkan
perbuatan masyru’ selain salam tetapi tidak pada tempatnya. Baik karena lupa maupun
sengaja. Misalnya membaca tasyahud saat berdiri. Atau membaca surat pada rakaat
ketiga dan keempat.
6. Hukum sujud sahwi menjadi mubah jika meninggalkan hal-hal sunnah.

i
E. Tata cara sujud sahwi
Sujud sahwi dilakukan dengan cara bersujud dua kali sebagaimana sujud shalat pada umumnya.
Niatnya, mengerjakan sujud sahwi.
Jika ia baru tahu kesalahannya setelah salam, seperti yang pernah dialami Rasulullah pada hadits
di atas, maka sujud dilakukan di saat itu (di luar shalat).
Namun jika ia ragunya sebelum salam, maka sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Caranya
adalah sujud dua kali sebelum salam. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam:

َ ُ‫س ُج ُد سَجْ َدتَي ِْن قَ ْب َل أَ ْن ي‬


‫س ِِّل َم‬ ْ ‫ستَ ْيقَنَ ث ُ َّم َي‬ َ ‫صلَّى ثَالَثًا أَ ْم أ َ ْربَعًا فَ ْل َي ْط َرحِ الشَّكَّ َو ْليَب ِْن‬
ْ ‫علَى َما ا‬ َ ‫ِإذَا شَكَّ أ َ َح ُد ُك ْم فِى‬
َ ‫صالَتِ ِه َفلَ ْم يَد ِْر َك ْم‬

“Jika salah seorang di antaramu ragu dalam shalatnya, hingga tidak tahu berapa rakaat yang
sudah dikerjakan, apakah tiga atau empat rakaat, maka ia harus menghilangkan keraguan tersebut
dan menetapkan mana yang lebih diyakini. Setelah itu, hendaklah ia sujud sebanyak dua kali
sebelum salam.” (HR. Muslim).Sayyid Sabiq menjelaskan, “Jika datangnya penyebab sujud
sahwi itu ketika sebelum salam, maka hendaklah sujud dilakukan sebelum salam. Sebaliknya,
jika penyebab keraguan itu muncul sesudah salam, maka sujud pun dilakukan sesudahnya.
Sedangkan hal-hal yang tidak termasuk dalam kedua keadaan di atas, maka seseorang boleh
memilih pelaksanaan sujud sahwi, baik sesudah salam maupun sebelumnya.”

Asy Syaukani menjelaskan, dalam pelaksanaan sujud sahwi, harus mengikuti apa yang telah
dicontohkan dan dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Jika sebab-sebab sujud itu terikat dengan sebelum salam, maka hendaklah sujud sahwi
dilakukan sebelum salam. Sedangkan jika ia terikat setelah salam, maka hendaklah sujud sahwi
dilakukan sesudahnya. Jika tidak terikat dengan dua keadaan ini, maka ia boleh memilih sebelum
atau setelah salam. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan apakah yang menyebabkan sujud
sahwi itu penambahan atau pengurangan rakaat.”

i
BAB III

PENUTUPAN

A. KESIMPULAN
Sujud sahwi yaitu sujud yang dilakukan orang yang shalat, sebanyak dua kali untuk menutup
kekuranganyang terjadi dalam pelaksanaan shalat, baik kekurangan raka'at, kelebihan raka'at,
atau karena ragu-ragu yang disebabkan karena lupa.

B. SARAN
Sebagai seorang Muslim atau yang beragama islam, sebaiknya kita mengetahui sujud sahwi itu
sendiri dan setelah mengetahui dan mempelajarinya, kita harus mempraktekkannya dalam
kehidupan kita sehari-hari dan dimanapun kita berada. Kemudian setiap melakukan suatu
perbuatan didahului niat kita karena Allah SWT karena tanpa niat karenaAllah, maka akan sia-sia
apa yang kita lakukan.Semoga kita senantiasa ingat untuk selalu bersyukur atas kepada kita.
Amin nikmat yangdiberikan Allah SWT.

i
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi sujud syukur dan sujud tilawah

1. Definisi Sujud Syukur

Sujud Syukur ialah sujud terima kasih, yaitu sujud satu kali di waktu mendapat keuntungan yang
menyenangkan atau terhindar dari kesusahan yang besar.

Dari Abu Bakrah, dari Nabi SAW bahwasanya beliau dahulu apabila mendapat khabar yang
menyenangkan, atau diberi khabar gembira, beliau lalu menyungkur sujud untuk bersyukur kepada
Allah". [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 89].

Dari Abdur Rahman bin 'Auf, ia berkata : Rasulullah SAW pernah keluar (bepergian), lalu beliau
menuju ke shadafahnya (semacam kemah), lalu beliau masuk ke dalam dan menghadap qiblat,
kemudian beliau sujud dengan sujud yang lama, sehingga aku mengira bahwa Allah ‘Azza wa Jalla
telah mencabut nyawa beliau. Kemudian aku mendekati beliau, lalu duduk. Maka beliau
mengangkat kepalanya dan bertanya, "Siapa ini ?’. Aku menjawab,

“ ‘Abdur Rahman”. Beliau bertanya lagi, “Mengapa engkau ?”. Aku menjawab, “Ya Rasulullah,
engkau bersujud dengan suatu sujud yang aku khawatir bahwa Allah ‘Azza wa Jalla telah mencabut
nyawa engkau”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya Jibril AS telah datang kepadaku dan
memberi khabar gembira kepadaku, Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
Barangsiapa yang bershalawat kepadamu, maka aku akan memberikan shalawat kepadanya. Dan
barangsiapa yang mengucapkan salam kepadamu, maka aku pun memberikan salam kepadanya,
maka aku bersujud bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla". [HR. Ahmad juz 1, hal. 407, no. 1664].

Dari Al-Baraa', ia berkata : Nabi SAW pernah mengutus Khalid bin Walid kepada penduduk
Yaman untuk menyeru mereka kepada Islam, tetapi mereka belum mau masuk Islam. Kemudian
Nabi SAW mengutus ‘Ali dan memerintahkannya supaya menyusul Khalid. ….kemudian 'Ali RA
menulis surat kepada Rasulullah SAW bahwa orang-orang disana sudah masuk Islam. Maka setelah
Rasulullah SAW membaca surat itu, beliau menyungkur sujud". [HR. Baihaqi juz 2, hal. 369].

2. Definisi sujud tilawah

i
Sujud tilawah berarti sujud bacaan. Maksudnya, sujud yang kita lakukan karena membaca atau
mendengar bacaan tertentu. Bacaan yang membuat kita disunahkah untuk bersujud bukanlah bacaan
sembarangan. Bacaan tersebut adalah bacaan ayat sajadah yang memberitahukan atau
memerintahkan manusia bersujud kepada Allah Swt. Hal ini terkait kisah Iblis yang menolak
bersujud ketika Allah Swt. memerintahkannya sebagaimana diceritakan oleh Rasulullah saw berikut
ini.

An Abi Hurairata radiyallahu‘anhu qala Rasulullahisallallahu‘alaihi wa sallama: Izaqara’abnua


damassajdata fasajada i‘tazalasysyaitanu yabki yaqulu yawailata umirabnuadama bissujudi fasajada
falahuljannatu wa umirtu bissujudi fa‘asaitu faliyannaru.

Artinya: Dari Abu Hurairah Rasulullah saw. bersabda: Ketika manusia membaca ayat sajdah
kemudian ia bersujud, setan menjauh sembari menangis dan berkata, “Aduh celaka! Manusia
diperintahkan untuk bersujud dan ia mematuhinya untuk bersujud, maka baginya surga. Adapun aku
diperintah untuk bersujud dan aku menolak, maka bagiku neraka.” (H.R. Muslim).

Hadis ini menyatakan arti penting sujud tilawah. Saat kita melaksanakan sujud tilawah,
sebenarnya kita sedang melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Iblis.

Dari 'Amr bin 'Ash : Bahwasanya Rasulullah SAW telah mengajarkannya lima belas (ayat) sujud
di dalam Al-Qur'an. Tiga dari padanya di surah yang pendek-pendek, dan dua di surah Al-Hajji".
[HR. Abu Dawud juz 2, hal. 58]

B. Dasar hukum persyariatan

1. Hukum Sujud Syukur

Sujud syukur adalah amalan yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Tetapi, mayoritas
ulama menghukumi sunnah. Diantaranya, Imam Syafi’i dalam Al-Umm 1/134, Imam Ahmad
dalam Al-Insaf 2/200, Imam Malik dalam Al-Majmu’ 4/70, dan Imam Hanafi dalam Fathul-

i
Mu’in ‘alaa Syarh Al Kanzi 1/299. Dengan dalil sebagai berikut : Rasulullah SAW bersabda,
“ketika aku meminta kepada Tuhanku untuk memberi syafaat kepada umatku, kemudian ia
memberikannya untuk sepertiga umatku, maka aku bersujud kepada Tuhanku sebagai wujud
rasa syukur. Kemudian aku mengangkat kepalaku dan meminta untuk kedua kalinya, lalu Dia
memberikannya kembali untuk sepertiga lainnya, maka aku sujud kembali” (HR Abu Daud)

2. Hukum Sujud Tilawah

Sujud tilawah adalah sunnah mu'akkad, tak pantas ditinggalkan. Jika seseorang membaca ayat
sajdah, baik dalam mushaf atau dalam hati, di dalam shalat atau di luar shalat, hendaklah ia sujud.

Sujud tilawah tidaklah wajib dan tidak pula berdosa bila tertinggal, sebab terdapat keterangan
bahwa ketika Umar bin Khattab berada di atas mimbar, ia membaca ayat sajdah dalam surat al-
Nahl, lalu ia turun dan sujud. Tetapi pada Jum'at yang lainnya ia tidak sujud walau membaca ayat
sajdah. Lantas ia berkata : "Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan kita agar bersujud kecuali jika
mau". Hal ini disampaikan di hadapan para sahabat.

Juga diterangkan bahwa Zaid bin Tsabit membacakan ayat sajdah dalam surat al-Najm di
hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam namun ia tidak sujud, tentu Zaid akan disuruh sujud oleh
Nabi jika hal itu wajib. Dengan demikian, sujud tilawah adalah sunnat mu'akkad, yakni jangan
sampai ditinggalkan walau terjadi pada waktu yang dilarang, setelah Fajar umpamanya, atau ba'da
Ashar, sebab sujud tilawah, termasuk sujud yang punya sebab, sama halnya dengan shalat tahiyyatul
mesjid atau lainnya.[1]

C. Ayat ayat sajadah

Adapun ayat-ayat yang disunahkan untuk dilakukan sujud sewaktu membaca atau mendengarnya
terdapat 15 ayat yaitu:

1. Surah al-A‘ra -f [7] ayat 206.

2. Surah ar-Ra‘d [13] ayat 15.

3. Surah an-Nah .l [16] ayat 49.

4. Surah al-Isra -‘ [17] ayat 107.

i
5. Surah Maryam [19] ayat 58.

6. Surah al-Hajj [22[ ayat 18.

7. Surah al-Hajj [22[ ayat 77.

8. Surah al-Furqa -n [25] ayat 60.

9. Surah an-Naml [27] ayat 25.

10. Surah as-Sajdah [32] ayat 15.

11. Surah . S-ad [38] ayat 24.

12. Surah Fussil-at [41] ayat 37.

13. Surah an-Najm [53] ayat 62.

14. Surah al-Insyiq-aq [84] ayat 21.

15. Surah al-‘Alaq [96] ayat 19.

D. Tata cara sujud syukur dan sujud tilawah

1. Tata cara Sujud syukur

Tata cara dari sujud syukur ini dianjurkan atau sunnah untuk menghadap kiblat, dan juga dalam
keadaan suci, itu lebih baik. Namun hal tersebut juga tidak dianjurkan karena sujud syukur berbeda
dengan sujud saat melakukan shalat. Dalam kitab Fat-hul ‘Allam disebutkan bahwa, Syaukani
berkata: “Dalam sujud Syukur tidak terdapat sebuah hadits pun yang menjelaskan bahwa untuk
melakukannya itu disyaratkan berwudhu, suci pakaian dan tempat.”

Imam Syafi’I mengatakan: “Sujud syukur tidak seperti shalat, cukup dilakukan kapan saja, tidak
harus suci, dan tidak perlu mengucapkan takbir dan salam. Boleh juga melakukan sujud syukur di
atas kendaraan dengan isyarat ketika mendapatkan kegembiraan”.

i
Diriwayatkan dari Abu Bakrah, Nabi Muhammad Saw bahwasanya apabila mendapatkan sesuatu
yang disenangi atau diberi kabar gembira, segeralah tunduk bersujud syukur sebagai tanda syukur
kepada Allah Swt.

Baihaqi meriwayatkan dengan sanad menurut syarat Bukhari : “Bahwa Ali Bin Abi Thalib .
ketika menulis surat kepada Rasulullah SAW.

Untuk memberitahukan masuk Islamnya Suku Hamdzan, beliau pun sujud dan setelah
mengangkat kepalanya lalu bersabda: ”Selamat sejahtera atas Suku Hamdzan! Selamat sejahtera
atas Suku Hamdzan”

Dari Abdurrahman bin ‘Auf yaitu : “Bahwa Rasulullah SAW. pada suatu hari keluar dan saya
mengikutinya sampai kami tiba di Nakhl. Beliau lalu sujud dan lama sekali sujudnya itu hingga saya
takut kalau-kalau Allah akan mendatangkan ajalnya di sana.

Saya lalu datang mendapatkannya, tiba-tiba beliau mengankat kepala dan bertanya: ‘Mengapa
wahai Abdurrahman?’ Saya menceritakan perasaan saya tadi, maka beliau pun bersabda :

”Sesungguhnya Jibril a.s. datang kepadaku tadi dan berkata: Sukakah Anda kuberi kabar
gembira? Sesungguhnya Allah berfirman kepada Anda: Barang siapa membacakan shalawat
padamu, maka Aku akan memberinya rahmat . Dan barang siapa membacakan salam kepadamu,
maka Aku akan memberinya keselamatan. Oleh karena itu saya sujud sebagai tanda syukur kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

sujud dengan membaca doa berikut;

. َ‫سنُ ْالخَا ِل ِقيْن‬


َ ْ‫ص َرهُ بِ َح ْو ِل ِه َوقُ َّوتِ ِه فَتَبَا َركَ هللاُ اَح‬
َ َ‫س ْمعَهُ َوب‬ َ ‫س َجدَ َوجْ ِهى ِللَّذِى َخلَقَهُ َو‬
َ َ‫ص َّو َرهُ َوشَق‬ َ

“Aku sujudkan wajahku kepada yang menciptakannya, membentuk rupanya, dan membuka
pendengaran serta penglihatan. Maha Suci Allah sebaik-baik Pencipta.”

2. Tata cara sujud tilawah

Sujud tilawah dapat dilakukan saat sedang shalat atau di luar shalat. Adapun cara sujud tilawah di
luar shalat adalah sebagai berikut :

i
a. Niat dan membaca takbir dan mengangkat kedua tangan untuk melaksanakan sujud
sebagaimana cara mengangkat tangan saat sujud takbiratul ihram (takbir pertama) saat
shalat.
b. Lalu sujud tanpa mengangkat tangan saat turun hendak sujud.
c. Sujud hanya satu kali dan sunnah membaca
َ‫س ْب َحان‬ َ ‫األ َ ْعلَى َر ِب‬
ُ ‫ى‬

tiga kali dan membaca doa berikut :


َ ‫ص َّو َرهُ َخلَقَهُ ِللَّذِى َوجْ ِهى‬
َ‫س َجد‬ َ ‫س ْمعَهُ َوش ََّق َو‬
َ ُ‫ص َره‬ َ َ‫َّللاُ تَب‬
َ َ‫اركَ َوب‬ َ ْ‫ْالخَا ِلقِينَ ح‬
َّ ‫سنُ ََأ‬
d. Lalu mengangkat kepala dari sujud dengan membaca takbir.
e. Duduk tanpa membaca tahiyat (tasyahud).
f. Diakhiri dengan mengucapkan salam.
g. Cara Sujud Tilawah Saat Shalat

Kalau sujud tilawah dilakukan saat sedang shalat karena membaca ayat Quran yang mengandung sajdah,
maka tata caranya sedikit berbeda yakni tanpa diakhiri dengan salam. Yaitu sebagai berikut:
a. Niat dan mengucapkan takbir untuk sujud
b. Saat sujud mengucapkan َ‫س ْب َحان‬ ُ ‫ى‬ َ ِ‫ األ َ ْعلَى َرب‬tiga kali dan membaca doa berikut:
َ ‫ص َّو َرهُ َخلَقَهُ ِللَّذِى َوجْ ِهى‬
َ‫س َجد‬ َ ‫س ْم َعهُ َوش ََّق َو‬
َ ُ‫ص َره‬
َ ‫اركَ َو َب‬ َّ ‫ْالخَا ِلقِينَ نُ ََأَحْ س‬
َ ‫َّللاُ ت َ َب‬
c. Jumlah sujud hanya sekali.
d. Mengucapkan takbir saat bangun dari sujud.
e. Selesai sujud berdiri tegak kembali dan meneruskan bacaan shalat kalau masih ada ayat yang
hendak dibaca. Kalau tidak ada lagi ayat yang ingin dibaca, maka ia dapat melakukan rukuk
shalat.

E. Hikmah Disyariatkannya

1. Hikmah Sujud Syukur

Hikmah Sujud Syukur. Hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan sujud syukur ini adalah,
sebagai hamba Allah Swt kita akan senantiasa mensyukuri nikmat Allah Swt. Dan apabila kita
mensyukurinya maka Allah Swt akan menambah nikmat itu, sebagaimana Firman-Nya dalam Al
Quran surat Ibrahim ayat 7 : Artinya : “Dan (ingatlah juga ), tatkala Tuhanmu menyerukan,
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim : 7)

Kalau kita bisa menyelesaikan sesuatu, bisa mendapatkan nilai bagus, bisa menang dalam
pertandingan dan sebagainya, semua itu tidak lepas dari pertolongan Allah SWT .

2. Hikmah Sujud Tilawah

i
a. Dijauhkan dari godaan syetan Hadits Rasulullah Saw : Artinya :“Apabila manusia membaca
ayat sajdah kemudian ia sujud, menghindarlah syetan dan ia menangis seraya berkata, “Celaka !
Anak cucu Adam disuruh bersujud, lantas bersujud, bagi mereka adalah syurga. Dan saya
disuruh sujud juga, tapi saya menolak, maka bagi saya neraka.” (HR. Muslim)

b. Sujud akan mengangkat derajat seseorang dan menghapus dosa-dosanya. Karena itu, Nabi SAW
menyuruh kepada seluruh umatnya agar senantiasa memperbanyak sujud, termasuk ketika
memabaca ayat sajdah atau mendengarnya. Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Tsauban
disebutkan, bahwa Nabi SAW pernah bersabda;

ً‫َطيئَة‬ َّ ‫َّللاُ بِ َها دَ َر َجةً َو َح‬


ِ ‫ط َع ْنكَ بِ َها خ‬ َّ َ‫سجْ دَة ً إِالَّ َرفَعَك‬ ُّ ‫َعلَيْكَ بِ َكثْ َرةِ ال‬
َ ِ‫س ُجو ِد ِ َّّلِلِ فَإِنَّكَ الَ تَ ْس ُجد ُ ِ َّّلِل‬

“Perbanyaklah sujud kepada Allah. Sesungguhnya jika engkau bersujud sekali saja kepada Allah,
maka melalui sujud tersebut Allah akan mengangkat satu derajatmu dan juga menghapuskan satu
kesalahanmu.”

c. Sujud merupakan amalan yang bisa membuat seseorang bersama Nabi SAW di surga. Dalam
hadis riwayat Imam Muslim dari Ka’ab Alaslami, dia bercerita;

َ‫ قَال‬، ‫ أَ ْسأَلُكَ ُم َرافَقَتَكَ فِي ْال َجنَّ ِة‬: ُ‫ فَقُ ْلت‬، ‫س ْل‬
َ : ‫ فَقَا َل ِلي‬، ‫ فَأَت َ ْيتُهُ ِب َوضُوئِ ِه َو َحا َجتِ ِه‬، ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ُك ْنتُ أَ ِبيتُ َم َع َر‬
َ ِ‫سو ِل هللا‬
َ ‫ فَأ َ ِع ِني‬: ‫ قَا َل‬، َ‫ ه َُو ذَاك‬: ُ‫ قُ ْلت‬، َ‫ أ َ ْو َغي َْر ذَلِك‬:
‫علَى نَ ْفسِكَ ِب َكثْ َر ِة ال ُّس ُجو ِد‬

“Suatu ketika saya bermalam bersama Rasulullah saw., lalu saya membawakan air untuk wudu
dan hajatnya. Kemudian beliau berkata kepada saya, ‘Mintalah.’ Saya berkata, ‘Saya minta agar
bersamamu di surga. Beliau berkata lagi, ‘Ada lagi?.’ Saya berkata, ‘Itu saja.’ Lalu belau berkata,
‘Bantulah aku (untuk mewujudkan keinginanmu) dengan memperbanyak sujud.”

d. Lebih menghayati bacaan dan makna Al – Quran yang sedang dibaca.

i
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam ibadah yang berhubunga dengan shalat, sering kita jumpai berbagai macam sujud. Sujud
adalah bagian yang tak terpisahkan dari ibadah wajib shalat. Dengan bersujud kita menyerahkan
secara total kepasrahan kita hanya kepada Allah SWT. Sujud tersebut bukan sekedar
membungkukkan punggung atau menyungkurkan dahi ke bumi dengan cara – cara tertentu melainkan
pengakuan dalam hati bahwa dirinya adalah hamba yang sangat lemah dan hina dihadapan Allah
SWT yang maha besar, Dzat yang tiada terbatas kekuasaan-Nya.

B. SARAN
Akhir kata, semoga materi tentang akhlak ini dapat berguna bagi kita semua dan mohon maaf
jika terdapat kesalahan dalam makalah ini, karena sebagai manusia kita tak pernah luput dari
kesalahan. Maka kami mengharapkan kritik dan saran dari bapak dan kawan – kawan semua.

i
Definisi Akhlak

Disebutkan bahwa akhlak adalah buah dari keimanan dan keistiqomahan seseorang dalam menjalankan
ibadah baca istiqomah dalam islam dan cara agar tetap istiqomah dijalan Allah). Akhlak yang kita
ketahui tersebut memiliki pengertian baik secara bahasa maupun secara istilah. Selain itu ada beberapa
ulama yang juga menjabarkan pengertian akhlak sebagaimana ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa
akhlak adalah keadaan jiwa atau sifat seseorang yang medorong melakukan sesuatu tanpa perlu
mempertimbangkannya terlebih dahulu.
 Secara bahasa
Kata akhlak secara bahasa verasal dari bahasa Arab “Al Khulk” yang diartikan sebagai perangai, tabiat.
Budi pekerti, dan sifat seseorang. Jadi akhlak seseorang diartikan sebagai budi pekerti yang dimiliki oleh
seseorang terkait dengan sifat-sifat yang ada pada dirinya. (baca istri-istri nabi muhammad dan sifatnya)
 Secara istilah
Kata akhlak menurut istilah khususnya dalam islam diartikan sebagai sifat atau perangai seseorang yang
telah melekat dan biasanya akan tercermin dari perilaku orang tersebut. Seseorang yang mmeiliki sifat
baik biasanya akan memiliki perangai atau akhlak yang baik juga dan sebaliknya seseorang yang
memiliki perangai yang tidak baik cenderung memiliki akhlak yang tercela. Kata akhlak disebutkan
dalam firman Allah pada ayat berikut ini

‫ص ٍة ِذ ْك َرى الد َِّار‬ ْ َ‫ِإنَّا أ َ ْخل‬


َ ‫صنَا ُه ْم ِبخَا ِل‬

Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang
tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.(QS Shad : 46)

Perbedaan Moral, Akhlak dan Etika

Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu, Etika
lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk itu
adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan
moral bersifat praktis. Moral bersifat lokal atau khusus dan etika bersifat umum.

i
Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran
baik buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi standar
dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan.

Akhlak berasal dari kata “khuluq” yang artinya perang atau tabiat. Dan dalam kamus besar bahasa
Indonesia, kata akhlak di artikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dapat di definisikan bahwa akhlak
adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah, spontan tanpa di pikirkan dan di
renungkan lagi. Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang
secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik
menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah (akhlak
mahmudah). Misalnya jujur, adil, rendah hati, pemurah, santun dan sebagainya. Sebaliknya apabila
buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlakul mazmumah. Misalnya kikir, zalim, dengki, iri hati, dusta
dan sebagainya. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al Qur’an dan Sunnah
Rasul

Secara sederhana, perbedaannya adalah terletak pada sumbernya yang dijadikan acuan atau patokan
dalam menentukan baik dan buruknya sesuatu.
 Pada etika penilaian baik buruknya didasari oleh pendapat akal pikiran
 Pada moral berdasarkan pada kebiasaan yang berlaku secara umum di masyarakat. Maka
 Pada akhlak, ukuran baik buruk adalah Al Quran dan hadis

i
Contoh akhlak kepada Allah SWT
a) Taqwa kepada Allah SWT
Takwa (bahasa Arab: ‫ تقوى‬taqwā / taqwá ) adalah istilah dalam Islam yang merujuk kepada
kepercayaan akan adanya Allah, membenarkannya, dan takut akan Allah. Istilah ini sering
ditemukan dalam Al-Quran, Al-Muttaqin (bahasa Arab: َ‫ ِل ْل ُمتَّقِين‬Al-Muttaqin) yang merujuk kepada
orang-orang yang bertakwa, atau dalam perkataan Ibnu Abbas, "orang-orang yang meyakini
(Allah) dengan menjauhkan diri dari perbuatan syirik dan patuh akan segala perintah-Nya."

b) Cinta kepada Allah SWT


Menurut Imam Al-Ghazali : Cinta kepada Allah itu adalah sebagai hasil dari Ma'rifatullah,
disamping itu pula Imam Al- Ghazali menambahkannya bahwa ketahuilah kalau Tajalii
(memperoleh kenyataan) keagungan Allah itu membawa kepada manusia untuk khauf kepada
Allah

c) Ikhlas
Secara harfiyah, ikhlas artinya tulus dan bersih. Adapun menurut istilah, ikhlas ialah
mengerjakan sesuatu kebaikan dengan semata-mata mengharap rida Allah SWT. Bagi orang
yang ikhlas, suatu perbuatan baik tidak harus dikaitkan dengan imbalan atau balasan, melainkan

i
semata-mata ingin mendapatkan rida Allah SWT. Jadi meskipun tidak mendapat imbalan apa
pun dan dari pihak mana pun, akan tetap melakukan perbuatan baiknya tersebut.

d) Khauf dan raja’


Secara bahasa, khauf berasal dari bahasa Arab yang berarti takut; resah; khawatir; cemas. Jika
didefinisikan secara lebih panjang, khauf berarti perasaan gelisah atau cemas terhadap suatu hal
yang belum diketahui dengan pasti. Sedangkan menurut istilah dalam Islam, sebagaimana
diuraikan dalam kamus tasawuf, khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah
karena kurang sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah tidak senang
padanya dan akan menghukumnya karena apa yang telah ia lakukan. Orang tidak dikatakan takut
hanya karena menangis dan mengusap air matanya, tetapi karena takut melakukan sesuatu yang
mengakibatkan ia disiksa karenanya.
Sifat khauf ini muncul disebabkan seseorang telah benar akidahnya (berakidah Islam) yang
meyakini keberadaan Allah dan mengenalNya melalui sifat-sifatNya di antaranya adalah Allah
yang Maha Wujud, Maha Melihat, Maha Tahu, Maha Mendengar, dan lain sebagainya.

Dengan begitu, karena mengenal Allah dengan baik, dia akan senantiasa merasa diawasi dan
akan senantiasa dimintai pertanggungjawaban atas segala yang dia lakukan. Lebih mudahnya
berarti semakin sesorang mengenal Allah maka semakin besar pula sifat khauf terhadapNya.
Rasulullah Saw. bersabda dalam hadis beliau yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
dari ‘Aisyah Ra.:
ً‫شدُّ ُه ْم لَهُ َخ ْشيَة‬
َ َ ‫فَ َو هللاِ إِني ِ َأل َ ْعلَ ُم ُه ْم بِاهللِ َو ا‬
Artinya ‘’Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling tahu dengan Allah dan paling takut
kepada-Nya.’’(HR. Bukhari dan Muslim)

Dari paparan di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa khauf harus ada pada diri kita, setiap
mukmin untuk mengontrol diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai oleh Allah.

Selain sifat khauf, ada satu akhlak mulia lagi yang mengikuti khauf yang harus kita miliki, yaitu
raja’. Secara bahasa, raja’ berarti harapan/cita-cita. sedangkan menurut istilah ialah
bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari. Raja` merupakan ibadah yang

i
mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh ada kecuali mengharap hanya kepada Allah
‘Azza wa Jalla.

Memalingkannya kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa berupa syirik besar atau pun syirik
kecil tergantung apa yang ada dalam hati orang yang tengah mengharap.

Raja’ (harapan/mengharap) tidaklah menjadikan pelakunya terpuji kecuali bila disertai amalan.
Raja` tidak akan sah kecuali jika dibarengi dengan amalan. Oleh karena itu, tidaklah seseorang
dianggap mengharap apabila tidak beramal. Amal yang dimaksud adalah bukan maksiat
tentunya. Merupakan bentuk penghinaan kepada-Nya jika kita bermaksiat tapi mengharap ridha
dariNya.

Khauf dan raja’ ibarat dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya,
keduanya saling mendukung. Bila keduanya menyatu dalam diri seorang Mukmin, maka akan
seimbanglah seluruh aktivitas kehidupannya. Bagaimana tidak, sebab dengan khauf akan
membawa dirinya untuk selalu melaksanakan ketaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan;
sementara raja` akan menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi Rabb-
nya.

Pendek kata dengan khauf (takut) dan raja` (pengharapan) seorang mukmin akan selalu ingat
bahwa dirinya akan kembali ke hadapan Sang Penciptanya (karena adanya rasa takut), disamping
ia akan bersemangat memperbanyak amalan-amalan (karena adanya pengharapan). Mungkin jika
kita boleh katakan dengan bahasa kita sekarang ini, khauf dan raja’ adalah “harap- harap cemas”.
Keterkaitan dua akhlak mulia ini sebagaimana difirmankan oleh Allah:

Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, dan orang-
orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, dan orang-orang yang tidak
mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), dan orang- orang yang memberikan
apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa)
sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat

i
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (Qs. al-Mukminun
[23]: 57-61)

٥٨ َ‫ت َربِ ِهم يُؤ ِمنُون‬ ِ َ‫ َوٱلَّذِينَ ُهم بِا َٰي‬٥٧ َ‫إِ َّن ٱلَّذِينَ ُهم ِمن َخشيَ ِة َربِ ِهم ُّمش ِفقُون‬
‫ َوٱلَّذِينَ يُؤتُونَ َما َءات َواْ َّوقُلُوبُ ُهم َو ِجلَة‬٥٩ َ‫َوٱلَّذِينَ ُهم بِ َربِ ِهم َال يُش ِر ُكون‬
َ َٰ ‫ت َوهُم لَ َها‬
٦١ َ‫سبِقُون‬ َ َٰ ُ‫ أ ُ ْو َٰلَئِكَ ي‬٦٠ َ‫أَنَّ ُهم إِلَ َٰى َربِ ِهم َٰ َر ِجعُون‬
ِ ‫س ِرعُونَ فِي ٱلخَي َٰ َر‬

Berkaitan dengan ayat di atas, ‘Aisyah Ra. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. apakah
mereka itu (yang dimaksud dalam ayat di atas) adalah orang-orang yang meminum khamr,
berzina, dan mencuri? Rasulullah menjawab, “Bukan! Wahai putri Ash-Shiddiq. Justru mereka
adalah orang-orang yang melakukan shaum, salat, dan bersedekah, dan mereka khawatir tidak
akan diterima amalannya. Mereka itulah orang- orang yang bergegas dalam kebaikan.” [HR. At-
Tirmidzi dari ‘Aisyah]. Wallahu A’lam.

e) Bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah


Pengertian syukur dan nikmat berasal dari bahasa Arab. Kata syukur berterima kasih, sedangkan
kata nikmat artinya Pemberian, Anugrah, Enak, Lezat. Mensyukuri nikmat Allah SWT,
maksudnya berterima kasih kepada-Nya dengan cara mengingat atau menyebut nikmat dan
mengagungkan-Nya. Nikmat Allah terhadap umat manusia itu sangat banyak dan beraneka
ragam jenisnya, misalnya : ada yang bersifat jasmani, ada yang bersifat rohani, ada yang terdapat
dalam diri manusia sendiri, ada yang terdapat di luar diri manusia. Nikmat yang bersifat jasmani
antara lain bentuk tubuh manusia yang paling baik diantara makhluk lainnya, panca indra,
anggota badan, bumi langit, makanan dan minuman, nikmat yang bersifat rohani antara lain :
roh, akal, perasaan, bahasa, ilmu pengetahuan, iman dan islam. Firman Allah SWT (QS Ibrahim :
34) ”Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya tidaklah dapat kamu menghitungnya”
(QS. Ibrahim : 34) Karena itu, tepatlah jika Allah SWT, mewajibkan kepada setiap individu
manusia untuk bersyukur kepada-Nya, Allah berfirman : Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku,
niscaya Aku ingat pula kepada-Mu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku (QS. AlBaqarah :152). Adapun cara mensyukuri nikmat Allah SWT
secara umum, ialah dengan menggunakan segala nikmat Allah. Untuk hal-hal yang diridhoi-Nya,
yakni untuk melakukan usaha-usaha agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia yang fana dan
akhirat yang baqa kelak.

i
f) Muraqabah
Arti dari "muraqabah" adalah: meletakkan sesuatu di bawah perhatian, penantian, pengawasan,
dan hidup di bawah perasaan sedang diawasi. Bagi para sufi, muraqabah adalah: Bertawajuh
kepada Allah dengan sepenuh hati, melalui pemutusan hubungan dengan segala yang selain
Allah s.w.t.; menjalani hidup dengan mengekang nafsu dari hal-hal terlarang; dan mengatur
kehidupan di bawah cahaya perintah Allah dengan penuh keimanan bahwa pengetahuan Allah
selalu meliputi segala sesuatu.
Kita juga dapat mendefinisikan muraqabah sebagai: usaha sungguh-sungguh di bawah naungan
kehendak Allah dan menjalani hidup dan suluk kita dengan cara terbaik melalui keselarasan
antara isi hati dengan penampilan di bawah pengawasan Allah s.w.t.. Kondisi ini hanya dapat
terwujud dengan meyakini bahwa Allah selalu melihat segala kondisi manusia; atau
bahwasannya Dia selalu mendengar dan mengetahui ucapan mereka, mengetahui keadaan
mereka lalu menetapkan takdirnya, dan selalu melihat perbuatan yang mereka lakukan lalu
mencatatnya.
Dengan penjelasannya yang gamblang, al-Qur`an mengingatkan kita mengenai realitas ini seperti
yang termaktub dalam ayat: "Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu
ayat dari Al Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi
saksi atasmu di waktu kamu melakukannya." (QS. Yunus [10]: 61).
Jika muraqabah adalah menutup hati secara total dari segala yang tidak diridhai Allah s.w.t. baik
berbentuk bisikan hati yang tidak layak, pikiran dungu yang jauh dari kehadiran Allah s.w.t.,
maupun berupa pandangan kotor yang ada di dalam perilaku kita; serta upaya untuk mengatur
semua "penangkap sinyal" di dalam jiwa yang senantiasa terbuka ke alam keabadian agar dapat
menangkap "siaran" anugerah Ilahi, maka yang harus kita lakukan adalah mengukur buka-tutup
dan negatif-positif dengan baik.

g) Taubat
Secara Bahasa, at-Taubah berasal dari kata ‫ب‬
َ ‫ ت ََو‬yang bermakna kembali. Dia bertaubat, artinya
ia kembali dari dosanya (berpaling dan menarik diri dari dosa)[2]. Taubat adalah kembali kepada
Allâh dengan melepaskan hati dari belenggu yang membuatnya terus-menerus melakukan dosa
lalu melaksanakan semua hak Allâh Azza wa Jalla .

i
Secara Syar’i, taubat adalah meninggalkan dosa karena takut pada Allâh, menganggapnya
buruk, menyesali perbuatan maksiatnya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, dan
memperbaiki apa yang mungkin bisa diperbaiki kembali dari amalnya.

h) Bertawakal kepada Allah


Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi
atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.
Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai berikut, "Tawakkal ialah menyandarkan
kepada Allah swt tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepadaNya dalam waktu
kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.
Menurut Abu Zakaria Ansari, tawakkal ialah "keteguhan hati dalam menyerahkan urusan kepada
orang lain". Sifat yang demikian itu terjadi sesudah timbul rasa percaya kepada orang yang
diserahi urusan tadi. Artinya, ia betul-betul mempunyai sifat amanah (tepercaya) terhadap apa
yang diamanatkan dan ia dapat memberikan rasa aman terhadap orang yang memberikan amanat
tersebut.

i
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akhlak Terhadap Rasulullah

Allah berfirman :

ِ ُ‫سو ٌل ِ ِّم ْن أ ُ ْنف‬


ٌ ‫س ُك ْم ع َِز‬
‫يز‬ ُ ‫ف َّر ِح ْي ٌم ْل ُم ْؤ ِمنِ ْي لَقَ ْد َجا َء ُك ْم َر‬
ٌ ‫علَ ْي ُك ْم بِا ُ نَ َر ُء ْو‬ َ ‫علَ ْي ِه َما‬
ٌ ‫عنِت ُّ ْم َح ِر‬
َ ‫يص‬ َ
“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat rasa olehnya penderitaan
yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan
penyayang terhadap orang – orang yang beriman.” (Q.S. at-taubah : 128)

Iman kepada para nabi merupakan salah satu butir dalam rukun iman. Sebagai umat islam, tentu
kita wajib beriman kepada Rasulullah saw. beserta risalah yang dibawanya. Untuk memupuk keimanan
ini, kita perlu mengetahui dan mempelajari sejarah hidup beliau, sehingga dari situ kita dapat memetik
banyak pelajaran dan hikmah.

Rasulullah adalah penutup para nabi dan rasul, serta utusan Allah kepada seluruh umat manusia.
Beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah, dan rasul yang tidak boleh didustakan. Beliau adalah
sebaik-baik makhluk, makhluk paling mulia dihadapan Allah, derajatnya paling tinggi, dan
kedudukannya paling dekat oleh Allah.

Beliau diutus kepada manusia dan jin dengan membawa kebenaran dan petunjuk, yang diutus oleh
Allah sebagi rahmat bagi alam semesta.

Sebagaimana firman Allah :

‫س ْلنَكَ أِالَّ َرحْ َمةً ِلِّ ْلعَلَ ِم ْينَ َو َمآ أ َ ْر‬


َ
“Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmad bagi seluruh alam”
(Q.S. Al-Anbiyaa’ : 107).

Allah menurunkan kitab-Nya kepadanya mengamanahkan kepadanya atas agama-Nya, dan


menugaskannya untuk menyampaikan risalah-Nya. Allah telah melindunginya dari kesalahan dalam
menyampaikan risalah itu. Allah ta’ala mendukung nabi-Nya dengan mukzizat-mukzizat yang nyata dan
ayat-ayat yang jelas, memperbanyak makan untuk beliau, memperbanyak air. Dan beliau mengabarkan
sebagian perkara ghaib.

B. Kewajiban Mencintai Rasulullah

i
Mencintai Rasulullah adalah wajib dan termasuk bagian dari iman, semua orang islam mengimani
bahwa Rasulullah adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Makna mengimani ajaran Rasulullah Saw
adalah menjalankan ajarannya, menaati perintahnya dan berhukum dengan ketetapannya.

Ahlus sunah mencintai Rasulullah Saw dan mengagungkannya sebagaimana para sahabat beliau
mencintai beliau lebih dari mecintai mereka kepada diri mereka sendiri dan keluarga mereka,
sebagaimana sabda Rasulullah :

‫أحب اليه من نفسه ووا ِلده وولَده والنِّاس أجمعين‬


ِّ ‫اليؤمن أحدكم حتِّى اكون‬.
Artinya: Tidak beriman salah seorang diantaramu, sehingga aku lebih dicintai olehnya daripada
dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya dan manusia semuanya. (H.R. Bukhari Muslim).

Allah swt berfirman:

‫غفُ ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم قُ ْل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِحبُّ ْونَ هللاَ فَاتَّبِعُ ْونِى يُحْ بِ ْب ُك ُم هللاُ َويَ ْغ ِف ْرلَ ُك ْم‬
َ ُ‫ذُنُ ْوبَ ُك ْم َوهللا‬
Katakanlah (Muhammad): “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan
mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 3:31).

C. Taat
Kita wajib menaati nabi Muhammad Saw dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan
meninggalkan apa yang dilarangnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari syahadat (kesaksian) bahwa
beliau adalah rasul (utusan Allah). Dalam banyak ayat al-Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk
menaati nabi Muhammad Saw. diantaranya ada yang diiringi dengan perintah taat kepada Allah
sebagaimana firman-Nya :

‫سو ُل‬ َّ ْ‫َّللاُ َوأ َ ِط ْيعُوا‬


ُ ‫الر‬ َّ ْ‫…يَـأيُّ َها اْلَ ِذ ْينَ َءا َمنُواْ أ َ ِط ْيعُوا‬
“Wahai orang-orang yang beriman ‘taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad)’…..” (Q.S. Annisa :
59).

Allah SWT menyeru hamba-hamba-Nya yang beriman dengan seruan “Hai orang-orang yg
beriman” sebagai suatu pemuliaan bagi mereka karena merekalah yg siap menerima perintah Allah SWT
dan menjauhi larangan-Nya. Dengan seruan iman merekapun menjadi semakin siap menyambut tiap
seruan Allah SWT. Kewajiban taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya adalah dengan melaksanakan
perintah-perintah -Nya serta larangan-larangan -Nya.

Jika seseorang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir ia akan taat kepada Allah dan
Rasul-Nya karena ia mengimani benar bahwa Allah SWT sesungguhnya Maha Mengetahui segala
sesuatu baik yang nampak maupun yang tersembunyi

i
Terkadang pula Allah mengancam orang yang mendurhakai Rasulullah, sebagaimana firman-Nya :

…‫اب أ َ ِل ْي ٌم‬ َ ‫أ َ ْن ت ُ ِص ْيبَ ُه ْم فِتْنَةٌ أ َ ْويُ ِصيبَ ُه ْم‬،ِ‫فَ ْليَحْ ذَ ِرالَّ ِذ ْينَ يُ َخا ِلفُ ْونَ ع َْن أ َ ْم ِره‬
ٌ َ‫عذ‬
“… Maka hendaklah orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau
ditimpa azab yang pedih.” (Q.S. An-Nur : 63).

Artinya hendaknya mereka takut jika hatinya ditimpa fitnah kekufuran, nifaq, bid’ah, atau siksa
pedih didunia. Allah telah menjadikan ketaatan dan mengikuti Rasulullah sebagai sebab hamba
mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan atas dosa-dosanya, sebagai petunjuk dan mendurhakainya
sebagai suatu kesesatan.

Kunci kemuliaan seorang mukmin terletak pada ketaatannya kepada Allah dan rasul-Nya, karena
itu para sahabat ingin menjaga citra kemuliaannya dengan mencontohkan kepada kita ketaatan yang luar
biasa kepada apa yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada Rasul sama kedudukannya
dengan taat kepada Allah, karena itu bila manusia tidak mau taat kepada Allah dan Rasul- Nya, maka
Rasulullah tidak akan pernah memberikan jaminan pemeliharaan dari azab dan siksa Allah swt, di dalam
Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
ً ‫علَي ِْه ْم َح ِف ْي‬
‫ظا‬ َ ‫ع هللاَ َو َم ْن ت َ َولَّى فَ َما أ َ ْر‬
َ َ‫س ْل َناك‬ َ ‫س ْو َل فَقَ ْد أ َ َطا‬ َّ ‫َم ْن يُّ ِط ِع‬
ُ ‫الر‬
“Barang siapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling,
maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (QS 4:80).

Manakala seorang muslim telah mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memperoleh
kenikmatan sebagaimana yang telah diberikan kepada para Nabi, orang yang jujur, orang yang mati
syahid dan orang-orang shaleh, bahkan mereka adalah sebaik-baik teman yang harus kita miliki.

Oleh karena itu, ketaatan kepada Rasulullah saw juga menjadi salah satu kunci untuk bisa masuk
ke dalam surga. Adapun orang yang tidak mau mengikuti Rasul dengan apa yang dibawanya, yakni
ajaran Islam dianggap sebagai orang yang tidak beriman.

D. Menghidupkan Sunnah
Bagi seorang muslim, mengikuti sunah atau tidak bukan merupakan suatu pilihan, tetapi
kewajiban. Sebab, mengenalkan ajaran Islam sesuai denagn ketentuan Allah dan Rasul-Nya adalah
kewajiban yang harus diaati. Mengenai kewajiban mengikuti Nabi dan menaati sunnahnya serta
mengikuti petunjuknya, Allah berfirman :

ِ ‫ش ِد ْي ُد ال ِعقَا‬
‫ب َوم ََو‬ َّ ْ‫واتَّقُوا‬،
َّ َّ‫َّللاَ إِن‬
َ َ‫َّللا‬ ْ َ ‫ع ْنهُ فَاْنَت‬
َ ْ‫هثوا‬ َ ‫س ُل فَ ُخذُوهُ ََ َما نَ َه ُك ْم‬ َّ ‫… آ َءائ َـى ُك ُم‬
ُ ‫الر‬

i
“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukum-Nya.” (Q.S. al-
Hasyr : 7).

Secara umum bid’ah adaah sesat karena berada diluar perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, akan
tetapi banyak hal yang membuktikan, bahwa Nabi membenarkan banyak persoalan yang sebelumnya
belum pernah beliau lakukan. Kemudian dapat disimpulkan bahwa semua bentuk amalan, baik itu
dijalankan atau tidak pada masa Rasulullah, selama tiak melanggar syari’at dan mempunyai tujuan , niat
mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan ridho-Nya, serta untuk mengingat Allah serta Rasul-
Nya adalah sebagian dari agama dan itu dperbolehkan dan diterima.

Sebagaimana nabi bersabda :

“Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat dan setaiap manusia akan mendapat sekedar
paa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) itu adalah karena Alah dan Rasul-Nya, hijrahnya
(tujuan) itu adalah berhasil.” (H.R. Bukhari)

Banyak sekali orang yang memfonis bid’ah dengan berdalil pada sabda Rasulullah :

“setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Juga hadis Rasulullah :

“barang siapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia ditolak”.

Mereka tidak memperhatikan terlebih dahulu apakah yang baru diakukan itu membawa kebaikan
dan yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah
payah memperoleh kebaikan.

Ditambah lagi tuduhan golongan orang ingkar mengenai suatu amalan adalah kata-kata sebagai
berikut : Rasulullah tidak pernah memerintah dan mencontohkannya. Begitu pula para sahabat tidak ada
satupun diatara mereka yang mengerjakannya. Dan jikalau perbuatan itu baik kenapa tidak dilakukan
oleh Rasulullah, jika mereka tidak melakukan kenapa harus kita yang melakukannya. Bahkan dengan
hal itu mereka menyebutkan bahwa hal baru seperti tahlilan atau berzikir bersama adalah bid’ah, dan itu
adalah sesat.

Dimana harus kita fahami macam-macam sunnah, antara lain adalah :

a. Sunnah Qauliyyah : sunnah dimana Rasulullah saw sendiri menganjurkan atau menyarankan suatu
amalan, tapi tidak ditemukan bahwa rasulullah tidak pernah mengerjakannya secara langsung. Jadi
sunnah ini adalah sunnah Rasulullah yang dalilnya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan,
melainkan hanya diucapkan saja oleh beliau. Contohnya adalah hadis Rasulullah yang menganjurkan

i
orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah mendengar Rasulullah atau para sahabat belajar
berenang.

b. Sunnah Fi’liyah : Sunah yang ada dalilnya dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulullah.
Misalkan sunnah puasa senin kamis, makan dengan tangan kanan, dan lain-lain.

c. Sunnah Taqriyyah : Sunah dimana Rasulullah tidak pernah melakukan secara langsung dan tidak
pula pernah memerintahkannya. Melainkan hanya mendiamkannya saja. Contohnya adalah beberapa
amalan para sahabat yang saat dilakukan Rasulullah mendiamkannya saja.

Begitu juga dengan amalan ibadah yang belum pernah dilakukan nabi dan para sahabat juga tidak
pernah disampaikan dan tidak pula didiamkan oleh beliau, yaitu yang dilakukan oleh para ulama.
Misalkan mengadakan majlis maulidin Nabi Saw dan yasinan. Tidak lain para ulama yang melakukan
ini adalah mengambil dalil-dalil dari kitabullah yang menganjurkan agar manusia selalu berbuat
kebaikan atau dalil tentang pahala bacaan dan amal ibadah. Dan berbuat kebaikan ini banyak caranya
asalkan tidak bertentangan dengan Islam.

Mari kita rujuk ayat al-qur’an berikut :

ِ ‫ش ِد ْي ُد ال ِعقَا‬
‫ب‬ َّ ْ‫واتَّقُوا‬،
َّ َّ‫َّللاَ ِإن‬
َ َ‫َّللا‬ ْ َ ‫ع ْنهُ فَاْنَت‬
َ ْ‫هثوا‬ َ ‫س ُل فَ ُخذُو ُه َو َما نَ َه ُك ْم‬ َّ ‫… َو َمآ َءائ َـى ُك ُم‬
ُ ‫الر‬
“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah.dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukum-Nya.” (Q.S. al-
Hasyr : 7).

Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak melakukan segala sesuatu jika telah tegas dan
jelas larangannya.

Dan dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh bukhari :

“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu
melakukan sesuatu, maka jauhilah.”.

Maka para ulama mengambil kesimpulan bahwa bid’ah yang dianggap sesat adalah menghalalkan
sebagian dari agama yang tidak diizinkan oleh Allah. Serta bertentangan dengan yang telah disyari’atkan
oleh Islam. Contoh bid’ah sesat yang mudah adalah sengaja shalat tidak menhadap kiblat, mengerjakan
shalat dengan satu sujud, atau yang lebih banyak terjadi adalah bagi masyarakat keraton yaitu
mendo’akan orang yang telah meninggal dengan sesaji serta memohon kepada Allah dan berdzikir
menggunakan sesaji. Itulah yang dianggap sesat karna sesaji tidak ada dalam Islam dan itu menyimpang
dari syari’at Islam.

i
Dengan demikian, menghidupkan sunnah Rasul menjadi sesuatu yang amat penting sehingga
begitu ditekankan oleh Rasulullah Saw.

Contoh-contoh sunnah Rasulullah adalah :

a. Istighfar setiap waktu

b. Menjaga wudhu

c. Bersedekah

d. Shalat dhuha

e. Puasa Muharram dan shalat tahajud :

Dari Abu Hurairah r.a. dia berkata : “ Rasulullah Saw bersabda :

‫صالَ ِة بَع‬ َ َ ‫َّللاِ ال ُم َح َّر ُم َوأ‬


َّ ‫ض ُل ال‬ َ َ‫صيَ ِام بَ ْع َد َر َمضَان‬
َّ ‫شه ُْر‬ َ ‫صالَةُ اللَّ ْي ِلَْأ َ ْف‬
ِّ ِ ‫ض ُل ال‬ َ ‫دَالفَ ِر ْيضَة‬
“Seutama-utama puasa sesudah Ramadhan adalah puasa dibulan Muharram dan seutama-utama shalat
sesudah shalat fardu ialah shalat malam.” ( H.R. Muslim no.1163).

E.Membaca Shalawat Dan Salam


Diantara hak Nabi Saw yang disyariatkan Allah atas umatnya adalah agar mereka mengucapkan
shalawat dan salam untuk beliau. Allah Swt dan para malaikat-Nya telah bershalawat kepada beliau dan
Allah memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan taslim kepada beliau.

Allah berfirman :

ْ َ‫س ِلِّ ُمواْت‬


‫س ِل ْي ًما‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬
َ ْ‫صلُّوا‬
َ ْ‫ يـآيُّها َ الَّ ِذ ْينَ َءا َمنُوا‬,ِ‫ع َلى النَّ ِب ِّي‬
َ َ‫صلُّون‬
َ ُ‫ ي‬,ُ‫َّللاَ َو َملئِ َكتَه‬
َّ َّ‫إِن‬

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Saw. ‘Wahai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan
kepadanya.’” (Q.S. Al-Ahzab : 56).

Al-Mubarrad berpendapat bahwa akar kata bershalawat berarti memohonkan rahmat dengan
demikian shalawat berarti rahmad dari Allah sedang shalawat malaikat berarti pengagungan dan
permohonan rahmad Allah untuknya.

Jika bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw hendaklah seseorang menghimpunnya dengan
salam untuk beliau. Karena itu, hendaklah tidak membatasi dengan salah satunya saja. Misalnya dengan
mengucapkan “Shallallaahu ‘alaih (semoga shalawat dilimpahkan untuknya).” Atau hanya

i
mengucapkan ‘alaihissalam (semoga dilimpahkan untuknya keselamatan)”. Jadi digabung
: “washshalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillah, atau Allahumma shalli wa sallim ‘ala Nabiyyina
Muhammad, atau shallallahu ‘alaihi wa sallam.”. hal itu karena Allah memerintahkan untuk
mengucapkan keduanya.

Mengucapkan shalawat untuk Nabi Saw, diperintakan oleh syari’at pada waktu-waktu yang
dipentingkan, baik yang hukumnya wajib dan sunnah muakaddah. Diantara waktu itu adalah ketika
shalat diakhir tassyahud, diakhir qunud, saat khutbah seperti khutbah jum’at dan khutbah hari raya,
setelah menjawab mu’adzin, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar masjid, juga ketika menyebut
nama beliau.

Rasulullah Saw telah mengajarkan kepada kaum muslimin tentang tata cara mengucapkan
shalawat. Rasulullah menyarankan agar memperbanyak shalawat kepadanya pada hari jum’at,
sebangaimana sabdanya :

‫عش ًْرا‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ِ‫َّللا‬ َ ‫علَ َّي‬
َ ً‫صالَة‬ َ ‫ فَ َم ْن‬،‫علَ َّي يَ ْو َم ا ْل ُج ُمعَ ِة‬
َ ‫صلِّى‬ َّ ‫أ َ ْكثِي ُْر ال‬
َ َ‫صالَة‬
“Perbanyaklah kalian membaca shalawat untukku pada hari dan malam jum’at, barang siapa yang
bershalawat untukku sekali, niscaya Allah bershalawat untuknya 10 kali.”

Kemudian ibnul qayyim menyebutkan beberapa manfaat dari membaca shalawat kepada Nabi,
diantaranya adalah :

a. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.

b. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bai yang bershalawat sekali untuk beliau.

c. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan shalawat.

d. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafaat dari Nabi, diiringi permohonan kepada Allah agar
memberikan wasilah (kedudukan yang tinggi) kepada beliau pada hari kiamat.

e. Sebab diampuninya dosa-dosa.

f. Shalawat adalah sebab sehingga nabi menjawab orang yang mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.

F. Mencintai Keluarga Nabi


Mengikuti kerabat rasulullah Saw yang mulia dan berlepas diri dari musuh mereka, adalah
masalah penting yang telah diwajibkan oleh islam dan telah dianggapnya sebagai bagian dari cabang
agama. Rasulullah menggambarkan ahlil baitnya sebagai suatu benda yang berat dan berharga,
sebanding dengan al-qur’an dan benda berharga lainnya.

i
Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia sesungguhnya aku tinggalkan dua perkara yang
besar untuk kalian, yang pertama adalah Kitabullah(Al-Quran) dan yang kedua adalah
Ithrati(Keturunan) Ahlul baitku. Barang siapa yang berpegang teguh kepada keduanya, maka tidak
akan tersesat selamanya hingga bertemu denganku ditelaga al-Haudh.” (HR. Muslim dalam Kitabnya
Sahih juz.2, Tirmidzi).

Nabi Saw bersabda :

“Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi. Sesungguhnya Nabi tidak mewariskan uang dinar
atau dirham, sesungguhnya Nabi hanya mewariskan ilmu kepada mereka, maka barangsiapa yang telah
mendapatkannya, berarti telah mengambil bagian yang besar”. (HR. Abu daud dan Tirmidzi).

Karena ulama disebut sebagai pewaris Nabi, maka orang yang disebut ulama seharusnya tidak
hanya memahami tentang beluk beluk agama Islam, tapi juga memiliki sikap dan kepribadian
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi dan ulama seperti inilah yang harus kita hormati.
Adapun orang yang dianggap ulama karena pengetahuan agamanya yang luas, tapi tidak mencerminkan
pribadi Nabi, maka orang seperti itu bukanlah ulama yang sesungguhnya dan berarti tidak ada kewajiban
bagi kita untuk menghormatinya.

Rasulullah menyebut keluarga sucinya sebagai jalan kebebasan, pintu keselamatan, dan cahaya
petunjuk. Rasulullah juga mewajibkan kita untuk mencintai dan menaati mereka.

Dari abi dzarr ia berkata, ‘saya mendengar Rasulullah Saw bersabda’: “Jadikanlah ahlul baitku
bagimu tidak ubahnya seperti kepala bagi tubuh dan tidak ubahnya dua mata bagi kepala. Karena
sesungguhnya tubuh tidak akan memperoleh petunjuk kecuali dengan kepala, dan begitu juga kepala
tidak akan memperoleh petunjuk kecuali dengan kedua mata.”.

Kecintaan kepada kerabat Rasulullah Saw yang di istilahkan sebagai ahlul bait manfaatnya
kembali kepada orang yang melakukannya. Rasulullah mengatakan bahwa kecintaan ini merupakan
upah dari Allah Swt atas risalah yang disampaikannya. Sebagaimana firman Allah, “katakanlah, Aku
tidak meminta kepadamu sesuatu upah apapun atas seruanku, kecintaan kepada keluargaku” (Q.S. Asy-
syura : 23).

Kecintaan yang disebutkan disini bukanlah kecintaan biasa, melainkan kecintaan yang mendorong
manusia kepada maqam kedekatan ilahi, dan mampu memasuki pintu kebahagiaan abadi.

G. Berziarah Ke Makam Rasulullah


Berkunjung kemakam Rasulullah merupakan amalan sunnah, yakni amalan yang sangat mulia dan
sangat dianjurkan. Ibn Umar mengatakan bahwa Nabi Muhammad bersabda yang arinya : “Barang
siapa berziarah kemakamku, maka ia dijamin akan mendapat syafaatku.”.

i
Saat melaksanakan haji merupakan kesempatan emas bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadah
sebanyak-banyaknya. Beribadah di Haramain (Makkah dan Madinah) mempunyai keutaman yang lebih
dari tempat-tempat lainnya. Maka para jamaah haji menyempatkan diri berziarah ke makah Rasulullah
SAW.Berziarah ke makam Rasulullah SAW adalah sunnah hukumnya.

Dari Ibn ‘Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang melaksanakan ibadah
haji, lalu berziarah ke makamku setelah aku meninggal dunia, maka ia seperti orang yang berziarah
kepadaku ketika aku masih hidup.” (HR Darul Quthni)

Atas dasar ini, pengarang kitab I’anatut Thalibin menyatakan: ”Berziarah ke makam Nabi
Muhammad merupakan salah satu qurbah (ibadah) yang paling mulia, karena itu, sudah selayaknya
untuk diperhatikan oleh seluruh umat Islam”.

Dan hendaklah waspada, jangan sampai tidak berziarah padahal dia telah diberi kemampuan oleh
Allah SWT, lebih-Iebih bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah haji. Karena hak Nabi Muhammad
SAW yang harus diberikan oleh umatnya sangat besar.

Bahkan jika salah seorang di antara mereka datang dengan kepala dijadikan kaki dari ujung bumi
yang terjauh hanya untuk berziarah ke Rasullullah SAW maka itu tidak akan cukup untuk memenuhi
hak yang harus diterima oleh Nabi SAW dari umatnya.

Mudah-mudahan Allah SWT membalas kebaikan Rasullullah SAW kepada kaum muslimin
dengan sebaik-baik balasan.

Lalu, bagaimana dengan kekhawatiran Rasulullah SAW yang melarang umat Islam menjadikan
makam beliau sebagai tempat berpesta, atau sebagai berhala yang disembah.. Yakni dalam hadits
Rasulullah SAW:

“Dari Abu Hurairah RA. Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu jadikan kuburanku
sebagai tempat perayaan, dan janganlah kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan. Maka bacalah
shalawat kepadaku. Karena shalawat yang kamu baca akan sampai kepadaku di mana saja kamu
berada.” (Musnad Ahmad bin Hanbal: 8449).

Menjawab kekhawatiran Nabi SAW ini, Sayyid Muhammad bin Alawi Maliki al-Hasani menukil
dari beberapa ulama, lalu berkomentar : “Sebagian ulama ada yang memahami bahwa yang dimaksud
(oleh hadits itu adalah) larangan untuk berbuat tidak sopan ketika berziarah ke makam Rasulullah SAW
yakni dengan memainkan alat musik atau permainan lainnya, sebagaimana yang biasa dilakukan ketika
ada perayaan. (Yang seharusnya dilakukan adalah) umat Islam berziarah ke makam Rasul hanya untuk
menyampaikan salam kepada Rasul, berdoa di sisinya, mengharap berkah melihat makam Rasul,
mendoakan serta menjawab salam Rasulullah SAW.

i
Maka, berziarah ke makam Rasulullah SAW tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan
sangat dianjurkan karena akan mengingatkan kita akan jasa dan perjuangan Nabi Muhammad SAW,
sekaligus menjadi salah satu bukti mengguratnya kecintaan kita kepada beliau.

H. Contoh Kasus Nyata Implementasi Akhlak Terhadap Rasulullah


Seiring berkembangya di dunia hiburan terutama dibidang musik, banyak bermunculan
entertainer-entertainer baru yang turut meramaikan dunia permusikan di Indonesia. Namun ada beberapa
orang yang sudah lama bergelut di dunia hiburan, justru meninggalkan hingar bingar gemerlapnya dunia
untuk lebih serius mengabdi kepada Allah dan taat kepada Rasulnya.

Di dunia hiburan, yang notabene kehidupan orang-orang di dalamnya menghambur-hamburkan


uang, gaya hidup yang hedonis. Lain halnya yang dilakukan oleh Sakti, personel/gitaris dari band Sheila
On Seven. Dia meninggalkan bandnya untuk lebih serius menjadi muslim yang sebenarnya. Namun dia
tidak serta merta meninggalkan dunia musik yang digemarinya. Hanya saja dia lebih sering
membawakan lagu-lagu religi. Sama halnya dengan Teguh personel/vokalis Vagetoz dan masih banyak
lagi orang-orang yang lebih memprioritaskan kepentingan akhiratnya kelak.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kita wajib mencintai dan mentaati apa yang diajarkan Rasulullah sebagai wujud kecintaan dan
pengabdian kita sebagai hamba Allah Swt. Apabila kita benar-benar mencintai Allah sudah semestinya
kita juga mencintai Rasulullah, karena beliau merupakan kekasih beserta utusan Allah untuk dijadikan
uswatun khasanah bagi setiap ummatnya. Bentuk kita mencintai dan mentaati Rasulullah dengan cara,
mengikuti dan mengerjakan hal-hal yang diajarkan Rasulllah, menghidupkan sunnah-sunnahnya,
membaca shalawat serta salam yang ditujukan kepada beliau, mencintai keluarga dan sahabat-sahabat
Nabi, serta berziarah ke makam Rasulullah.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa
menyadari adanya beberapa kesalahan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik maupun saran bagi
kami yang bersifat membantu agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama dalam penyusunan
makalah yang selanjutnya dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

i
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak
Kata Akhlak. berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun yang menurut bahasa berarti budi
pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Tabiat atau watak dilahirkan karena hasil perbuatan yang
diulang-ulang sehingga menjadi biasa. Perkataan ahklak sering disebut kesusilaan, sopan santun
dalam bahasa Indonesia; moral, ethnic
Adapaun definisi akhlak menurut istilah ialah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan
perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.
Senada dengan hal ini Abd Hamid Yunus mengatakan bahwa akhlak ialah Sikap mental yang
mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan.
Dengan demikian dari definisi akhlak dan kedua orang tua di atas dapat disimpulkan bahwa
akhlak kepada kedua orang tua adalah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan baik
karena kebiasaan tanpa pemikiran dan pertimbangan sehingga menjadi kepribadian yang kuat di
dalam jiwa seseorang untuk selalu berbuat baik kepada orang yang telah mengasuhnya mulai dari di
dalam kandungan maupun setelah dewasa.
B. Birrul Walidain
1. Makna "Al-Birr"
Al Birr yaitu kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah "Al Birr adalah baiknya akhlaq. Al-
Birr merupakan haq kedua orang tua dan kerabat dekat. Sedangkan lawan dari al-Birr adalah Al-
‘Uquuq yaitu kejelekan dan menyia-nyiakan haq. Al Birr adalah mentaati kedua orang tua
didalam semua apa yang mereka perintahkan kepada kita semua, selama tidak bermaksiat kepada
Allah, sedangkan Al-‘Uquuq dalam aplikasinya adalah menjauhi mereka dan tidak berbuat baik
kepadanya.
Menurut Urwah bin Zubair tentang "Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan." (QS. Al Isra’ :24). Dalam ayat ini menurut beliau jangan sampai
mereka berdua tidak ditaati sedikitpun. Sedangkan menurut Imam Al Qurtubi yang dimaksud
dengan kalimat ‘Uquuq adalah durhaka kepada orang tua adalah menyelisihi atau menentang
keinginan-keinginan mereka dari perkara-perkara yang mubah, sedangkan kalimat Al-Birr atau
berbakti kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena

i
itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, maka wajib mentaatinya selama
hal itu bukan perkara maksiat, sekalipun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi
mubah pada asalnya,begitu pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang
mandub yaitu disukai atau disunnahkan maka diwajibkan juga.
Seiring dengan pernyataan diatas Ibnu Taimiyyah yang dikutipnya dari Abu Bakar di
dalam kitab Zaadul Musaafir yaitu barang siapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah
dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya kepada suasana yang semula agar
mereka bisa tertawa dan senang kembali.
2. Hukum Birrul Walidain
Para Ulama Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik atau berbakti pada kedua orang tua
hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang ibarat-ibarat atau contoh
pengamalannya misalnya mengenai orang anak yang mengatakan “uh” atau “ah” ketika di suruh
oleh kedua orang tua tersebut. Pendapat Ibnu Hazm mengenai hukum birrul walidain,
menurutnya birul walidain adalah fardhu a’in yaitu wajib bagi masing-masing individu.
Sedangkan menurut Al-Qadli Iyyad birrul walidain adalah wajib kecuali terhadap perkara yang
haram.
Adapun dalil-dalil Shahih dan Sharih yang mereka gunakan diantaranya:
a. Firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa’ ayat 36 yaitu "Sembahlah Allah dan jangan kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu
Bapak". (An Nisa’ : 36).
b. Firman Allah Swt. Dalam Al-qur’an surah Al-Isra’ ayat 23 yang artinya "Dan Rabbmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat
baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya". (QS. Al Isra’: 23).
c. Firman Allah Swt di dalam Al-Qur’an surah Lukman ayat 14 yang artinya "Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua
tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-
Ku-lah kembalimu." (QS. Luqman :14).
3. Macam-Macam Bir Al-Walidain dan Hak-Hak Mereka
Kedua orang tua adalah manusia yang paling berjasa dan utama bagi diri seseorang. Allah
SWT telah memerintahkan dalam berbagai tempat di dalam Al-Qur'an agar berbakti kepada

i
kedua orang tua. Hak kedua orang tua merupakan hak terbesar yang harus dilaksanakan oleh
setiap Muslim. Di sini akan dicantumkan beberapa adab yang berkaitan dengan masalah ini.
Antara lain hak yang wajib dilakukan semasa kedua orang tua hidup dan setelah meninggal.
Hak-hak yang wajib dilaksanakan semasa orang tua masih hidup diantaranya :
a. Mentaati Mereka Selama Tidak Mendurhakai Allah
Mentaati kedua orang tua hukumnya wajib atas setiap Muslim. Tidak diperbolehkan
sedikit pun mendurhakai mereka berdua kecuali apabila mereka menyuruh untuk
menyekutukan Allah atau mendurhakai-Nya. Allah SWT berfirman: "Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya..." (QS. Luqman: 15).
b. Berbakti dan Merendahkan Diri di Hadapan Kedua Orang Tua
Allah SWT juga berfirman "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada kedua orang tua ibu bapaknya..." (QS. Al-Ahqaaf: 15) "Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua
orang tua ibu bapak..." (QS. An-Nisaa': 36).
c. Berbicara Dengan Lembut Di Hadapan Mereka
Berbicara dengan lembut merupakan kesempurnaan bakti kepada kedua orang tua dan
merendahkan diri di hadapan mereka, sebagaimana firman Allah SWT :"...Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al-Israa': 23).
d. Tidak Mencela Orang Tua atau Tidak Menyebabkan Mereka Dicela Orang Lain
Mencela orang tua dan menyebabkan mereka dicela orang lain termasuk salah satu dosa
besar. Rasulullah saw bersabda: "Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang
tuanya." Para Sahabat bertanya: "Ya, Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?"
Beliau menjawab: "Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela
orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya.
e. Meminta Izin Kepada Mereka Sebelum Berjihad dan Pergi Untuk Urusan Lainnya
Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan. Seorang laki-laki
datang menghadap Rasulullah saw dan bertanya: "Ya, Raslullah, apakah aku boleh ikut
berjihad?" Beliau balik bertanya: "Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?" Laki-

i
laki itu menjawab: "Masih." Beliau bersabda: "Berjihadlah dengan cara berbakti kepada
keduanya.
Seorang laki-laki hijrah dari negeri Yaman lalu Nabi saw bertanya kepadanya: "Apakah
kamu masih mempunyai kerabat di Yaman?" Laki-laki itu menjawab: "Masih, yaitu kedua
orang tuaku." Beliau kembali bertanya: "Apakah mereka berdua mengizinkanmu?" Laki-laki
itu menjawab: "Tidak." Lantas, Nabi saw bersabda: "Kembalilah kamu kepada mereka dan
mintalah izin dari mereka. Jika mereka mengizinkan, maka kamu boleh ikut berjihad, namun
jika tidak, maka berbaktilah kepada keduanya.
Pentingya ridha seorang ibu itu mengalahkan keputusan seorang nabi sendiri. Dapat kita
lihat hadist-hadist yang menjelaskan kemulian seorang ibu mengalahkan kemulian seorang
bapak sekalipun mereka sama-sama orang tua kita, alasanya sangat sederhana ibulah yang
mengandung dan melahirkan serta mengasuh kita sampai dewasa. Mengenai kehamilan
seorang ibu di gambarkan di dalam al-Qur’an dengan kalimat “ wahnan ‘ala wahnin” yaitu
derita diatas penderitaan.
f. Mendahulukan Berbakti Kepada Ibu Daripada Ayah
Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw: "Siapa yang paling berhak
mendapatkan perlakuan baik dariku?" Beliau menjawab: "Ibumu." Laki-laki itu bertanya lagi:
"Kemudian siapa lagi?" Beliau kembali menjawab: "Ibumu." Laki-laki itu kembali bertanya:
"Lalu siapa lagi?" Beliau kembali menjawab: "Ibumu." Lalu siapa lagi?" tanyanya.
"Ayahmu," jawab beliau.
Maksud lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibu, yaitu lebih bersikap lemah-lembut,
lebih berperilaku baik, dan memberikan sikap yang lebih halus daripada ayah. Hal ini apabila
keduanya berada di atas kebenaran. Sebagian salaf berkata: "Hak ayah lebih besar dan hak
ibu patut untuk dipenuhi."
Sementara itu hak-hak orang tua setelah mereka meninggal adalah :
a. Beristighfar Untuk Mereka Berdua
Orang tua adalah orang yang paling utama bagi seorang muslim untuk dido'akan agar
Allah mengampuni mereka karena kebaikan mereka karena kebaikan mereka yang besar.
Allah Subhanahu SWT menceritakan kisah Ibrahim as dalam Al-Qur'an: "Ya, Rabb kami,
beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku..." (QS.Ibrahim: 41).
b. Menyambung Tali Silaturahim Dengan Kerabat Ibu dan Ayah

i
Hendaknya seseorang menyambung tali silaturahim dengan semua kerabat yang silsilah
keturunannya bersambung dengan ayah dan ibu, seperti paman dari pihak ayah dan ibu, bibi
dari pihak ayah dan ibu, kakek, nenek, dan anak-anak mereka semua. Bagi yang
melakukannya, berarti ia telah menyambung tali silaturahim kedua orang tuanya dan telah
berbakti kepada mereka. Hal ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan sabda beliau
saw: "Barang siapa ingin menyambung silaturahim ayahnya yang ada di kuburannya, maka
sambunglah tali silaturahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal.
c. Menunaikan Janji Kedua Orang Tua
Hendaknya seseorang menunaikan wasiat kedua orang tua dan melanjutkan secara
berkesinambungan amalan-amalan kebaikan yang dahulu pernah dilakukan keduanya. Sebab,
pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amalan kebaikan yang dulu pernah
dilakukan dilanjutkan oleh anak mereka.
d. Menshalati Keduanya
Maksud menshalati di sini adalah mendo'akan keduanya. Yakni, setelah keduanya
meninggal dunia, karena ini termasuk bakti kepada mereka. Oleh karena itu, seorang anak
hendaknya lebih sering mendo'akan kedua orang tuanya setelah mereka meninggal daripada
ketika masih hidup. Apabila anak itu mendo'akan keduanya, niscaya kebaikan mereka berdua
akan semakin bertambah, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Apabila manusia sudah meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo'akan dirinya.
4. Keutamaan Birrul Walidain
a. Termasuk Amalan Yang Paling Mulia
b. Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya Dosa
c. Termasuk Sebab Masuknya Seseorang Ke Surga
d. Merupakan Sebab keridhaan Allah
e. Merupakan Sebab Bertambahnya Umur dan Rizki

C. Hak dan Kewajiban Suami Istri


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kaum muda untuk
menyegerakan menikah sehingga mereka tidak berkubang dalam kemaksiatan, menuruti hawa nafsu

i
dan syahwatnya. Karena, banyak sekali keburukan akibat menunda pernikahan. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
َّ ‫ َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَعَ َل ْي ِه بِال‬،ِ‫صنُ ِل ْلفَ ْرج‬
ُ‫ص ْو ِم فَإِنَّهُ لَه‬ َ َ‫َض ِل ْلب‬
َ ْ‫ص ِر َوأَح‬ ُّ ‫ فَإِنَّهُ أَغ‬،‫ع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َءةَ فَ ْليَت َزَ َّو ْج‬ َ َ ‫ب َم ِن ا ْست‬
َ ‫طا‬ َّ ‫ا َم ْعش ََر ال‬
ِ ‫شبَا‬
‫ ِو َجاء‬.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka
menikahlah! Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji
(kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum
itu dapat membentengi dirinya.
Dengan menikah, seseorang akan terpelihara dari perbuatan jelek dan hina, seperti zina, kumpul
kebo, dan lainnya. Dengan terpelihara diri dari berbagai macam perbuatan keji, maka hal ini adalah
salah satu sebab dijaminnya ia untuk masuk ke dalam Surga. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
َ‫ض َم ْن لَهُ ْال َجنَّة‬
ْ َ ‫ض َم ْن ِلي َما َبيْنَ لِحْ َي ْي ِه َو َما َبيْنَ ِرجْ لَ ْي ِه أ‬
ْ ‫ َم ْن َي‬.
“Barangsiapa yang menjaga apa yang ada di antara dua bibir (lisan)nya dan di antara dua
paha (kemaluan)nya, aku akan jamin ia masuk ke dalam Surga.”
Anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk segera menikah mengandung
berbagai manfaat, diantaranya :
a. Melaksanakan perintah Allah Ta’ala
b. Melaksanakan dan menghidupkan Sunnah Nabi SAW
c. Dapat menundukkan pandangan
d. Menjaga kehormatan laki-laki dan perempuan
e. Terpelihara kemaluan dari beragam maksiat.
f. Seseorang akan menuai ganjaran yang banyak.
g. Mendatangkan Ketenangan Dalam Hidupnya, yaitu dengan terwujudnya keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah
h. Memiliki Keturunan Yang Shalih
Dengan menikah –dengan izin Allah- ia akan mendapatkan keturunan yang shalih,
sehingga menjadi aset yang sangat berharga karena anak yang shalih akan senantiasa
mendo’akan kedua orang tuanya,
i. Menikah Dapat Menjadi Sebab Semakin Banyaknya Jumlah Ummat Nabi Muhammad
Shallallaahu SAW

i
Hak dan kewajiban suami istri :
1. Adab Suami Kepada Istri :
a. Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (At-
aubah: 24)
b. Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan,
pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu.
(AI-Ghazali)
c. Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-Thalaq:
7)
d. Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
e. Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)
f. Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa
kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)
g. Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan
menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim : 6,
Muttafaqun Alaih)
h. Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)
i. Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)
j. Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada
istrinya. (AI-Baqarah: 40)

2. Adab Isteri Kepada Suami


a. Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah
pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)
b. Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada
istri. (Al-Baqarah: 228)
c. Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)
d. Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, diantaranya menyerahkan dirinya, mentaati
suami, tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya, tinggal di tempat kediaman yang
disediakan suami, menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)

i
e. Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam
kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)
f. Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang istri
menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya.
(Muslim)
g. Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni dosa-
dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)
h. Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat
suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)
i. Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya
dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada
suaminya. (Timidzi)

3. Hak bersama suami istri


a. Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
b. Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-
Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10)
c. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
d. Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)

i
D. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak
“Manusia lahir dalam keadaan fitrah (suci) dan kedua orang tua adalah pendidik pertama bagi
sikecil. Kullu mawluwdin yuwladu ’alal-fithrah, "setiap anak dilahirkan dalam keadaan
suci"(Shahih Muslim 6858)
Orang tua adalah guru pertama yang mengajarkan ini dan itu, maka alangkah baiknya bila kedua
orang tuanya berasal dari orang yang bisa memahami Islam dan ajarannya. Sebab peranan orang tua
sangat penting, ia menjadi peletak dasar bagi cita-cita generasi pelanjutnya demi tegaknya kalimat
Lailaha Illalah. Solusi bagi orang tua adalah perbanyak belajar meskipun secara gradual (bertahap),
perbanyak membaca hal tentang Islam.
Maka dari itu tanggung jawab orang tua terhadap anak, diantaranya :
1. Memberinya Nama yang Baik
“Sesungguhnya kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kamu
sekalian, maka perbaguslah nama kalian.” (HR.Abu Dawud)
2. Memberi Air Susu Ibu
Memberi anak Air Susu Ibu (ASI) adalah salah satu kewajiban orangtua pada anak. Allah
berfirman, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan pernyusuan.” (al-baqarah: 233)
3. Mengajarkan Al Quran
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari kakek Ayub Bin Musa Al Quraisy dari
Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada satu pemberian yang lebih utama yang
diberikan ayah kepada anaknya selain pengajaran yang baik.”

i
4. Menikahkan Anak dengan Pasangan yang Baik
Bila anak telah memasuki usia siap nikah, maka nikahkanlah. Jangan biarkan mereka
terus tersesat dalam belantara kemaksiatan. Do’akan dan dorong mereka untuk hidup
berkeluarga, tak perlu menunggu memasuki usia senja.
5. Memberi Nafkah dan Makanan Halal
Memberi nafkah hanya dengan harta yang baik dan dari mata pencaharian yang halal
adalah kewajiban seorang bapak. Berdasarkan sabda Rasul SAW, “Kedua kaki seorang hamba
tidak akan bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara; tentang umurnya
untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya apa yang ia kerjakan dengannnya, tentang hartanya dari
mana ia mendapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia
pergunakan.” (H.R. Turmudzi)
6. Bertanggung Jawab untuk mendidik
Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidak mudah. Apalagi jika orangtua
mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih, karena
tantangannya sangat banyak.
7. Berlaku Adil
Orang tua yang baik adalah orang tua yang menyantuni, mengayomi dan mendidik serta
memperlakukan anaknya dengan adil, baik dalam memberikan perhatian maupun pemberian.
Adil diperlukan untuk menghindari kecemburuan dan menjaga keharmonisan. Adil, tidak berarti
sama rata. Adil bisa berarti kesetaraan atau keseimbangan, masing-masing hak anak dipenuhi
sesuai kebutuhan. Rasulullah s.a.w bersabda:
ِ ‫ اِ ْع ِدلُ ْوابَيْنَ ا َ ْبن‬, ‫َاء ُك ْم‬
‫رواه احمد وابن حبان‬. ‫َاء ُك ْم‬ ِ ‫اِ ْع ِدلُ ْوابَيْنَ ا َ ْبن‬

“Berlaku adillah kalian kepada anak-anak kalian, berlaku adillah kalian kepada anak-anak
kalian”. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, Shahihul Jami’ 1046)
E. Silahturahmi dengan kerabat
Silaturrahmi pada hakekatnya merupakan bentukan dari Bahasa Arab dari kata
Silaturrahim, dan istilah Silaturrahim ini berasal dari dua kata yakni Shillah
yang berarti “hubungan atau sambungan” dan rahim yang memiliki arti
“peranakan”. Istilah-istilah tersebut merupakan sebuah simbol hubungan baik
penuh kasih sayang antar karib kerabat yang asal usulnya berasal dari satu rahim.

i
Disini dikatakan simbol karena rahim atau peranakan secara materi tidak bisa
disambung atau tidak bisa dihubungkan dengan rahim lain.
Maka dari uraian tersebut dapat di pahami bahwa pemaknaan terhadap istilah
silaturrahim cenderung pada hubungan kasih sayang yang terbatas pada hubungan-
hubungan dalam sebuah keluarga besar atau qarabah.
Dengan demikian istilah silaturrahim dengan istilah silaturrahmi memiliki
maksud pengertian yang sama namun dalam penggunaan bahasa indonesia istilah
silaturrahmi memiliki pengertian yang lebih luas, karena penggunaan istilah ini
tidak hanya terbatas pada hubungan kasih sayang antara sesama karib kerabat akan
tetapi juga mencakup pengertian masyarakat yang lebih luas. Jadi silaturrahmi
adalah menghubungkan tali kasih sayang antara sesama anggota masyarakat.
Sedangkan silaturrahim adalah hubungan kasih sayang yang terbatas pada hubungan
dalam sebuah keluarga besar.
Dengan demikian maka menyambung tali silaturrahmi akan dapat menjadi
sarana kelapangan rizki dan panjangnya umur. Hal itu sebagaimana Hadits Nabi
yang artinya : “Dari Ibnu Syihab, dari Annas bin Malik berkata bahwa
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : Barang siapa ingin dilapangkan rizkinya
dan ditangguhkan atau dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung tali
kasih dengan keluarganya. (H.R. Bukhori Muslim)
Dari kutipan hadits tersebut dapat difahami bahwa bahwa menyambung tali
persaudaraan atau kekeluargaan akan mendatangkan kelapangan rizki dan panjang
umur.
Silaturahmi dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk antara lain :
a. Berbuat baik atau ihsan terutama dengan memberikan bantuan materil untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
b. Memelihara dan meningkatkan rasa kasih sayang sesama kerabat maupun sesama
muslim maupun orang lain dengan sikap saling kenal-mengenal, hormat-
menghormati, bertukar salam, kunjung-mengunjungi, surat-menyurat, bertukar

i
hadiah, jenguk-menjenguk, bantu-membantu, dan berkerja sama menyelenggarakan
walimahan, dan lain-lain.
Kemudian selain dapat meningkatkan dan mempererat hubungan persaudaraan,
silaturrahmi juga dapat memberi antara lain :
a. Mendapat rahmat, nikmat, dan ihsan dari Allah SWT
b. Masuk surga dan jauh dari neraka
c. Lapang rizki dan panjang umur
d. Memupuk rasa kasih sayang diantara keluarga timbul semangat saling membantu
e. Mandatangkan pujian kaum Muslimin kepadanya
f. Dapat Menjaga Kerukunan

i
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Akhlak kepada kedua orang tua adalah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan
baik karena kebiasaan tanpa pemikiran dan pertimbangan sehingga menjadi kepribadian yang kuat di
dalam jiwa seseorang untuk selalu berbuat baik kepada orang yang telah mengasuhnya mulai dari di
dalam kandungan maupun setelah dewasa.
Menjaga akhlak kepada kedua orang tua dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya
yaitu menghormati serta berbicara dengan penuh kasih kepada kedua orang tua, serta berakhlak yang
baik diperintahkan oleh Allah SWT baik dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Islam dalam berbagai ayat Al-Qur’an maupun Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam juga
telah banyak menganjurkan akan pentingnya kasih sayang terhadap sesama, serta melarang sifat
yang berbau permusuhan dan pertikaian. sehingga Allah SWT pun sangat menjunjung tinggi orang
yang memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama, karena jika seseorang telah memiliki sifat kasih
sayang terhadap sesamanya, maka Allah SWT akan mengasihinya.
Adapun dengan senantiasa menyambung silaturrahmi maka kita kan memperoleh banyak
manfaat diantaranya yaitu :
a. Mendapat rahmat, nikmat, dan ihsan dari Allah SWT
b. Masuk surga dan jauh dari neraka
c. Lapangk rizki dan panjang umur
B. Saran
Semoga dengan adanya materi yang kita paparkan tadi kita lebih mendalami mengenai akhlak
kepada orang tua dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu kita juga dapat
menjahui sifat yang berbau permusuhan dan pertikaian.

i
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak Pada Diri Sendiri


Menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab ‫ اخالق‬bentuk jamak dari mufradnya
khuluq ‫ خلق‬yang berarti “budi pekerti”. Sedangkan menurut terminologi, kata “budi pekerti”, budi adalah
yang ada pada manusia, berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran, ratio.
Budi disebut juga karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh
perasaan hati yang disebut behaviour.Jadi, budi pekerti adalah perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang
bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia
Manusia sebagai makhluk Allah mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri. Namun bukan
berarti kewajiban ini lebih penting daripada kewajiban kepada Allah. Dikarenakan kewajiban yang
pertama dan utama bagi manusia adalah mempercayai dengan keyakinan yang sesungguhnya bahwa
“Tiada Tuhan melainkan Allah”. Keyakinan pokok ini merupakan kewajiban terhadap Allah sekaligus
merupakan kewajiban manusia bagi dirinya untuk keselamatannya.
Manusia mempunyai kewajiban kepada dirinya sendiri yang harus ditunaikan untuk memenuhi
haknya. Kewajiban ini bukan semata-mata untuk mementingkan dirinya sendiri atau menzalimi dirinya
sendiri. Dalam diri manusia mempunyai dua unsur, yakni jasmani (jasad) dan rohani (jiwa). Selain itu
manusia juga dikaruniai akal pikiran yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya.
Tiap-tiap unsur memiliki hak di mana antara satu dan yang lainnya mempunyai kewajiban yang harus
ditunaikan untuk memenuhi haknya masing-masing.

Jadi ,Yang dimaksud dengan akhlak terhadap diri sendiri adalah[2] sikap seseorang terhadap diri
pribadinya baik itu jasmani sifatnya atau rohani . Kita harus adil dalam memperlakukan diri kita , dan
jangan pernah memaksa diri kita untuk melakukan sesuatu yang tidak baik atau bahkan membahayakan
jiwa.
Sesuatu yang membahayakan jiwa bisa bersifat fisik atau psikis. Misalnya kita melakukan hal-hal
yang bisa membuat tubuh kita menderita. Seperti; terlalu banyak bergadang, sehingga daya tahan tubuh
berkurang, merokok, yang dapat menyebabkan paru-paru kita rusak, mengkonsumsi obat terlarang dan
minuman keras yang dapat membahyakan jantung dan otak kita. Untuk itu kita harus bisa bersikap atau
beraklak baik terhadap tubuh kita. Selain itu sesuatu yang dapat membahayakan diri kita itu bisa bersifat
psikis. Misalkan iri, dengki , munafik dan lain sebagainya. Hal itu semua dapat membahayakan jiwa
kita, semua itu merupakan penyakit hati yang harus kita hindari.
Hati yang berpenyakit seperti iri dengki munafiq dan lain sebagainya akan sulit sekali menerima
kebenaran, karena hati tidak hanya menjadi tempat kebenaran, dan iman, tetapi hati juga bisa berubah
menjadi tempat kejahatan dan kekufuran.
Untuk menghindari hal tersebut di atas maka kita dituntut untuk mengenali berbagai macam
penyakit hati yang dapat merubah hati kita, yang tadinya merupakan tempat kebaikan dan keimanan
menjadi tempat keburukan dan kekufuran. Seperti yang telah dikatakan bahwa diantara penyakit hati
adalah iri dengki dan munafik. Maka kita harus mengenali penyakit hati
tersebut

i
Dengki, Orang pendeki adalah orang yang paling rugi. Ia tidak mendapatkan apapun dari sifat
buruknya itu. Bahkan pahala kebaikan yang dimilikinya akan terhapus. Islam tidak membenarkan
kedengkian.
Rasulullah bersabda: “Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “hati-
hatilah pada kedengkian kaerena kedengkian menghapuskan kebajikan,seperti api yang
melahapminyak.”(H.R.AbuDawud).
Munafiq, Orang yang mereka ucapkanümunafiq adalah orang yang berpura-pura atau ingkar. Apa
tidak sama dengan apa yang ada di hati dan tindakannya. Adapun tanda-tanda orang munafiq ada tiga
Rasulullah berkata: ” tanda-tanda orang munafiq ada tiga, jika ia berbicara ia berdusta, jika berjanji ia
mengingkari, dan jika diberi amanat ia berkhianat.” (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan an-Nisa’i)

B. Macam-Macam Akhlak Seorang Muslim Pada Diri Sendiri

1. Berakhlak terhadap jasmani

a. Senantiasa Menjaga Kebersihan[3]

Islam menjadikan kebersihan sebagian dari Iman. Seorang muslim harus bersih/ suci badan,
pakaian, dan tempat, terutama saat akan melaksanakan sholat dan beribadah kepada Allah, di samping
suci dari kotoran, juga suci dari hadas.

Allah SWT berfirman :

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran".
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al Baqarah:222)

Artinya : Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh-nya mesjid
yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di
dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At Taubah:108)

b. Menjaga Makan dan Minumnya[4]

Makan dan minum merupakan kebutuhan vital bagi tubuh manusia, jika tidak makan dan minum
dalam keadaan tertentu yang normal maka manusia akan mati.

i
Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar makan dan minum dari yang halal dan tidak
berlebihan. Sebaiknya sepertiga dari perut untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga
untuk udara.

Allah SWT berfirman :

Artinya : Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan
syukurilah ni'mat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.(QS. An Nahl:114)

c. Menjaga Kesehatan

Menjaga kesehatan bagi seorang muslim adalah wajib dan merupakan bagian dari ibadah kepada
Allah SWT dan sekaligus melaksanakan anmanah dari-Nya. Riyadhah atau latihan jasmani sangat
penting dalam penjagaan kesehatan, walau bagaimnapun riyadhah harus tetap dilakukan menurut etika
yang ditetapkan oleh Islam. Orang mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai Allah SWT daripada
mukmin yang lemah.
Dari sahabat Abu Hurairah, Bersabda Rasulullah, “Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah dari
mu’min yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang
bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa malas, dan apabila
engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah “Qodarulloh wa maa syaa’a fa’al, Telah ditakdirkan oleh
Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi”. (HR. Muslim)

d. Berbusana yang Islami

Manusia mempunya budi, akal dan kehormatan, sehingga bagian-bagian badannya ada yang
harus ditutupi (aurat) karena tidak pantas untuk dilihat orang lain. Dari segi kebutuhan alaminya, badan
manusia perlu ditutup dan dilindungi dari gangguan bahaya alam sekitarnya, seperti dingin, panas, dll.
Karena itu Allah SWT memerintahkan manusia menutup auratnya dan Allah SWT menciptakan bahan-
bahan di alam ini untuk dibuatb pakaian sebagai penutup badan.
Allah SWT berfirman :

Artinya : Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang
demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu
ingat. (QS. Al A’raf:26)

2. Berakhlak terhadap Akal

a. Menuntut Ilmu

i
Menuntut ilmu merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim, sekaligus sebagai bentuk
akhlak seorang muslim. Muslim yang baik, akan memberikan porsi terhadap akalnya yakni berupa
penambahan pengetahuan dalam sepanjang hayatnya. Sebuah hadits Rasulullah SAW menggambarkan :
(‫مسلم )رواه ابن ماجه طلب العلم فريضة على كل‬
Artinya : “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Seorang mu’min, tidak hanya mencari ilmu dikarenakan sebagai satu kewajiban, yang jika telah
selesai kewajibannya maka setelah itu sudah dan berhenti. Namun seorang mu’min adalah yang
senantiasa menambah dan menambah ilmunya, kendatipun usia telah memakan dirinya. Menuntut ilmu
juga tidak terbatas hanya pada pendidikan formal akademis namun dapat dilakukan di mana saja, kapan
saja dan dengan siapa saja.

b. Memiliki Spesialisasi Ilmu yang dikuasai

Setiap muslim perlu mempelajari hal-hal yang memang sangat urgen dalam kehidupannya.
Menurut Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi (1993 : 48), hal-hal yang harus dikuasai setiap muslim adalah :
Al-Qur'an, baik dari segi bacaan, tajwid dan tafsirnya; kemudian ilmu hadits; sirah dan sejarah para
sahabat; fikih terutama yang terkait dengan permasalahan kehidupan, dan lain sebagainya. Setiap
muslim juga harus memiliki bidang spesialisasi yang harus ditekuninya. Spesialisasi ini tidak harus
bersifat ilmu syariah, namun bisa juga dalam bidang-bidang lain, seperti ekonomi, tehnik, politik dan
lain sebagainya. Dalam sejarahnya, banyak diantara generasi awal kaum muslimin yang memiliki
spesialisasi dalam bidang tertentu.

c. Mengajarkan Ilmu pada Orang Lain

Termasuk akhlak muslim terhadap akalnya adalah menyampaikan atau mengajarkan apa yang
dimilikinya kepada orang yang membutuhkan ilmunya.
Firman Allah SWT :

Artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu
kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui” (An-Nahl:43)

d. Mengamalkan Ilmu dalam Kehidupan

Diantara tuntutan dan sekaligus akhlak terhadap akalnya adalah merealisasikan ilmunya dalam
“alam nyata.” Karena akan berdosa seorang yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya.
Firman Allah SWT :
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.” (QS. As-Shaff)

3. Berakhlak terhadap jiwa

i
a. Bertaubat dan Menjauhkan Diri dari Dosa Besar

Taubat adalah meninggalkan seluruh dosa dan kemaksiatan, menyesali perbuatan dosa yang telah
lalu dan berkeinginan teguh untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa tersebut pada waktu yang akan
datang.[8][7] Allah SWT berfirman :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat
yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah
tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mu'min yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar
di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah
bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu." (QS. At-Tahrim : 8)

Adapun yang termasuk dosa-dosa besar diantaranya :[9][8]


1) Syirik
2) Kufur
3) Nifak
4) Riddah
5) Fasik
6) Berzina dan menuduh orang berzina
7) Membunuh manusia
8) Bersumpah palsu

b. Bermuraqabah
Muraqabah adalah rasa kesadaran seorang muslim bahwa dia selalu diawasi oleh Allah SWT.
Dengan demikian dia tenggelam dengan pengawasan Allah dan kesempurnaan-Nya sehingga ia merasa
akrab, merasa senang, merasa berdampingan, dan menerima-Nya serta menolak selain Dia.[10][9]
Firman Allah SWT :
‫علَ ْي ُك ْم َر ِقي ًبا‬
َ َ‫اِنَّ هللا‬
Artinya : “Sesungguhnya Allah itu maha mengawasimu.” (QS. An-Nisa : 1)

c. Bermuhasabah
Yang dimaksud dengan muhasabah adalah menyempatkan diri pada suatu waktu untuk
menghitung-hitung amal hariannya. Apabila terdapat kekurangan pada yang diwajibkan kepadanya
maka menghukum diri sendiri dan berusaha memperbaikinya. Kalau termasuk yang harus diqadha maka
mengqadhanya. Dan bila ternyata terdapat sesuatu yang terlarang maka memohon ampun, menyesali
dan berusaha tidak mengulangi kembali. Muhasabah merupakan salah satu cara untuk memperbaiki diri,
membina, menyucikan, dan membersihkannya.[11][10]
Firman Allah SWT :

i
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr : 18)

d. Mujahadah
Mujahadah adalah berjuang, bersungguh-sungguh, berperang melawan hawa nafsu. Hawa nafsu
senantiasa mencintai ajakan untuk terlena, menganggur, tenggelam dalam nafsu yang mengembuskan
syahwat, kendatipun padanya terdapat kesengsaraan dan penderitaan. Jika seorang Muslim menyadari
bahwa itu akan menyengsarakan dirinya, maka dia akan berjuang dengan menyatakan perang kepadanya
untuk menentang ajakannya, menumpas hawa nafsunya.
Firman Allah SWT :
Artinya : “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf : 53)

C.Cara Memelihara Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Cara untuk memelihara akhlak terhadap diri sendiri antara lain[12] :

1. Sabar, yaitu perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan
penerimaan terhadap apa yang menimpanya. Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah
, menjauhi larangan dan ketika ditimpa musibah. .
2. Syukur, yaitu sikap berterima kasih atas pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya.
Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah
dengan bacaan alhamdulillah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan
memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan aturan-Nya.
3. Tawaduk, yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua, muda, kaya
atau miskin. Sikap tawaduk melahirkan ketenangan jiwa, menjauhkan dari sifat iri dan dengki yang
menyiksa diri sendiri dan tidak menyenangkan orang lain.
4. Shidiq , artinya benar atau jujur. Seorang muslim harus dituntut selalu berada dalam keadaan benar
lahir batin ,yaitu benar hati ,benar perkataan dan benar perbuatan. .
5. Amanah, artinya dapat dipercaya. Sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman. Semakin menipis
keimanan seseorang, semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya. Antara keduanya terdapat ikatan
yang sangat erat sekali. Rosulullah SAW bersabda bahwa “ tidaj (sempurna) iman seseorang yang tidak
amanah, dan tidak (sempurna) agama orang yang tidak menunaikan janji . ”( HR . Ahmad
) .
6. Istiqamah, yaitu sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi
berbagai macam tantangan dan godaan. Perintah supaya beristiqamah dinyatakan dalam Al-Quran pada
surat Al- Fushshilat ayat 6 yang artinya “ Katakanlah bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti
kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka
istiqamahlah menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah

i
bagi orang-orang yang bersekutukan-Nya” .
7. Iffah, yaitu menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik dan memelihara kehormatan diri dari segala
hal yang akan merendahkan, merusak, dan menjatuhkannya. Nilai dan wibawa seseorang tidak
ditentukan oleh kekayaan dan jabatannya dan tidak pula ditentukan oleh bentuk rupanya, tetapi
ditentukan oleh kehormatan dirinya.
8. Pemaaf, yaitu sikap suka member maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci
dan keinginan untuk membalas. Islam mengajarkan kita untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain
tanpa harus menunggu permohonan maaf dari yang bersalah.

D.Manfaat Akhlak Terhadap Diri Sendiri

1. Berakhlak terhadap jasmani


a. jauh dari penyakit karena sering menjaga kebersihan
b. tubuh menjadi sehat dan selalu bugar
c. menjadikan badan kuat dan tidak mudah lemah

2. Berakhlak terhadap akalnya


a. memperoleh banyak ilmu
b. dapat mengamalkan ilmu yang kita peroleh untuk orang lain
c. membantu orang lain
d. mendapat pahala dari Allah SWT

3. Berakhlak terhadap jiwa:


a. selalu dalam lindungan Allah SWT
b. jauh dari perbuatan yang buruk
c. selalu ingat kepada Allah SWT

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan

Akhlak terhadap diri sendiri adalah sikap seseorang terhadap diri pribadinya baik itu jasmani
sifatnya atau rohani. Kita harus adil dalam memperlakukan diri kita, dan jangan pernah memaksa diri
kita untuk melakukan sesuatu yang tidak baik atau bahkan membahayakan jiwa.
Cara untuk memelihara akhlak terhadap diri sendiri yaitu dengan sabar, shidiq, tawaduk, syukur,
istiqamah, iffah, pemaaf dan amanah.

B.Saran
Demikian makalah ini kami susun, semoga dengan membaca makalah ini dapat dijadikan pedoman
kita dalam melangkah dan bias menjaga akhlak terhadap diri sendiri. Apabila ada kekurangan dalam
penulisan makalah ini, kami mohon maaf yang setulus-tulusnya.

i
BAB II

PEMBAHASAN

A. Akhlak Bernegara
Definisi akhlak Bernegara
a. Akhlak
Akhlak berasal dari kata “akhlaq” yang merupakan jama’ dari “khulqu” dari bahasa Arab
yang artinya perangai, budi, tabiat dan adab. Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan
, bahwa Akhlak merupakan sikap / tabiat dari seseorang. Dalam bahasa Indonesia pengertian
akhlak dalam kehidupan sehari-hari biasanya disamakan dengan budi pekerti atau kesusilaan.
Dalam akhlak bernegara , tentunya menggambarkan sikap seseorang terhadap bangsa dan
negaranya, sikap tersebut menunjukkan jati diri dari orang tersebut. Dalam akhlak bernegara
ini, sikap dan perilaku seseorang akan terlihat pada saat , misalnya melakukan musyawarah .
Tentunya dalam menyelesaikan suatu masalah akan diperlukan musyawarah untuk mufakat
, yakni suatu sistem yang telah digunakan oleh Nabi Muhammad SAW sejak dahulu untuk
menyelesaikan persoalan , dalam pendalaman pembahasan ini kami akan memperlihatkan cara
– cara bermusyawarah yang baik dan benar menurut tuntunan Al-Qur’an dan Hadist .
Akhlak maupun syariah pada dasarnya mengajarkan perilaku manusia, yang berbeda di
antara keduanya adalah obyek materia. Syariah melihat perbuatan manusia dari segi hukum,
yaitu wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram. Sedangkan akhlak melihat perbuatan manusia
dari segi nilai atau etika, yaitu perbuatan baik dan buruk.
Akhlak merupakan bagian yang sangat penting dalam ajaran agama islam, karena perilaku
manusia merupakan objek utama ajaran islam. Bahkan maksud diturunkan agama adalah
untuk membimbing sikap dan perilaku manusia agar sesuai dengan fitrahnya. Agama
menyuruh manusia agar meninggalkan kebiasaan buruk dan menggantikannya dengan ikap
dan perilaku yang baik. Agama menuntun manusia agar memelihara an mengembangkan
kecenderungan mental yang bersih dan jiwa yang suci. Karena itulah rasul bersabda “tiadalah
aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak dan perilaku manusia”
Ruang Lingkup Akhlak

i
1. Akhlak terhadap diri sendiri meliputi kewajiban terhadap dirinya disertai dengan
larangan merusak, membinasakan dan menganiyaya diri baik secara jasmani (memotong
dan merusak badan), maupun secara rohani (membirkan larut dalam kesedihan).
2. Akhlak dalam keluarga meliputi segala sikap dan perilaku dalam keluarga, contohnya
berbakti pada orang tua, menghormati orang tua dan tidak berkata-kata yang
menyakitkan mereka.
3. Akhlak dalam masyarakat meliputi sikap kita dalam menjalani kehidupan soaial,
menolong sesama, menciptakan masyarakat yang adil yang berlandaskan Al-Qur’an dan
hadis.
4. Akhlak dalam bernegara meliputi kepatuhan terhadap Ulil Amri selama tidak
bermaksiat kepada agama, ikut serta dalam membangun Negara dalam bentuk lisan
maupun fikiran.
5. Akhlak terhadap agama meliputi berimn kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya,
beribadah kepada Allah. Taat kepada Rasul serta meniru segala tingkah lakunya.
a. Negara
Pengertian negara menurut dalam ensiklopedi Pouler Politik Pembangunan Pancasila
(1983: 224) dijelaskan secara etimologis bahwa istilah negara berasal dari nagari atau
nagara (sansakerta) yang berarti kota,desa,daerah,wilayah,atau tempat tinggal seorang
pangeran. Negara merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang
berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut dan berdiri secara independent. Negara
dalam bahasa inggris sering disebut state atau staat dalam bahasa Belanda. Kata state
berasal dari bahasa latin stato. Istilah stato digunakan pertama kali oleh Machiaveli untuk
menyebut wilayah negara atau pemerintahan yang dikuasai. Sedangkan menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia ber-negara diartikan sebagai mempunyai negara dan menjalankan
pemerintahan negara.
Seperti yang telah diungkapkan oleh beberapa tokoh ilmu negara, terdapat pengertian
negara yang beraneka ragam. Salah satunya yang tela dikutip oleh Miriam Budiardjo
(2007:39-40)
1. Roger H. Soltau menyatakan bahwa negara adalah alat atau wewenang yang menatur
atau mengendalikan persoalan bersama, atas nama masyarakat.

i
2. Max Weber mengemukakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah
Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa negara adalah suatu organisasi
di antara sekelompok atau beberapa kolompok manusia yang bersama-sama mendiami
suatu wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata
tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi. Negara adalah
organisasi yang memiliki wilayah,rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat serta
mempunyai hak istimewa, seperti hak memaksa, hak monopoli, hak mencangkup semua,
yang bertujuan untuk menjamin perlindungan, keamanan, keadilan, serta tercapainya
tujuan bersama.
b. Akhlak Bernegara
Akhlak islam dalam kehidupan bernegara dilandasi atas nilai ideology, yaitu
menciptakan”baladtun tayyibatun warabbun ghafur”, (negeri yang sejahtera dan sentosa)
maka cita-cita kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat akan terwujud sesuai
dengan janji Allah, hal tersebut dapat dicapai dengan akhlak yang baik,iman dan amal yang
bermakna bahwa manusia harus mengikuti kebenaran yang dibawa Rasulullah SAW.
Sesungguhnya , akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang
mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap,
natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan manusia,
maka perintah beramal shalih pun mencakup semua sektor kehidupan manusia.
Tentunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak
bernegara ini untuk membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan
menggoda iman kita , dalam melaksanakan bakti kita kepada negara.
B. Contoh Akhlak Bernegara
1. Musyawarah
Kata ( ‫ ) شورى‬Syûrâ terambil dari kata ( ‫ إستشاورة‬-‫ مشاورة‬-‫ )شاورة‬menjadi ( ‫ ) شورى‬Syûrâ. Kata
Syûrâ bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan
satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari
serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (‫ )شرت العسل‬saya mengeluarkan madu
dari wadahnya.

i
Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah
upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun
yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah
dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah adalah
surah Al-Syura ayat 38:
َ‫صالة َ َوأَقَا ُموا ِل َر ِب ِه ْم ا ْست َ َجابُوا َوالَّذِين‬
َّ ‫ورى َوأ َ ْم ُر ُه ْم ال‬
َ ‫ش‬ َ ِ ‫يُ ْن ِفقُونَ َرزَ ْقنَا ُه ْم َّما‬
ُ ‫َوم َب ْي َن ُه ْم‬
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka;
dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-
Syura: 38)
Dalam ayat diatas , syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam
dituturkan setelah iman dan shalat . Menurut Taufiq asy-Syawi , hal ini memberi pengertian
bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah ibadah terpenting , yakni shalat , sekaligus
memberi pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya
sama dengan shalat dan zakat . Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai
masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah .
Memang, musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang paling baik
disamping untuk memperkokoh rasa persatuan dan rasa tanggung jawab bersama . Ali Bin
Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu ,
mengambil kesimpulan yang benar , mencari pendapat , menjaga kekeliruan , menghindari
celaan , menciptakan stabilitas emosi , keterpaduan hati , mengikuti atsar.
a. Hal – Hal yang Boleh di Musyawarahkan
Islam memberikan batasan–batasan hal–hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan. Karena
musyawarah adalah pendapat orang, maka apa–apa yang sudah ditetapkan oleh nash (Al –
Qur’an dan As-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan , sebab pendapat orang tidak boleh
mengungguli wahyu.
Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal – hal yang bersifat Ijtihadiyah . Para sahabat
pun kalau dimintai pendapat mengenai suatu hal , terlebih dahulu mereka bertanya kepada
Rasulullah SAW . Apakah masalah yang dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah atau

i
merupakan Ijtihad Nabi . Jika pada kenyataannya adalah ijtihad Nabi , maka mereka
mengemukakan pendapat .
Masalah–masalah ijtihadiyah diungkapkan dalam Al–Qur’an dengan kata Al–Amr. Istilah
amruhum disini berarti masalah bersama atau ‘common problems’ , yaitu masalah –
masalah yang menyangkut kepentingan nasib atau anggota masyarakat yang bersangkutan.
b. Perilaku yang harus dimiliki saat musyawarah
1. Semua anggota harus mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan
pribadi maupun golongan.
2. Semua anggota harus memahami masalah yang dimusyawarahkan dengan baik.
3. Semua anggota harus menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.
4. Semua anggota harus menerima secara ikhlas dan terbuka setiap kritik, usul, dan saran
dalam musyawarah.
5. Semua anggota harus menyadari bahwa keputusan yang dihasilkan adalah keputusan
terbaik demi kepentingan bersama.
6. Semua anggota harus mampu menahan diri agar tidak memaksakan kehendak bila
pendapatnya tidak diterima.
c. Tata Cara Musyawarah
Rasulullah mempunyai tata cara bermusyawarah yang sangat bervariasi ;
1. Kadang kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau, lalu beliau melihat
pendapat itu benar, maka beliau mengamalkannya
2. Kadang–kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau tiga orang saja
3. Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara
perwaklian .
Dari beberapa tata cara bermusyawarah Rasulullah diatas kita dapat menyimpulkan bahwa
tatacara musyawarah, anggota musyawarah bias selalu berkembang sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman, tetapi hakekat musyawarah harus selalu tegak
ditengah masyarakat dan Negara .
Adapun hal–hal yang harus dimusyawarahkan dengan seluruh umat, baik langsung maupun
lewat perwakilan, dan ada hal–hal yang cukup dimusyawarahkan dengan pemimpin (ulil
amri), ulama, cendekiawan, dan pihak-pihak berkompeten lainnya, tetapi tetap dan tidak

i
boleh tidak harus dengan semangat kebenaran dan kejujuran. Yang dicari dalam
musyawarah adalah kebenaran bukan kemenangan .
d. Sikap Bermusyawarah
Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan , firman Allah
dalm surat Ali Imran ayat 159 :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran : 159)
Dapat kita lihat Allah SWT mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan
dalam bermusyawarah, yaitu sikap lemah lembut, pemaaf , dan memohon ampunan Allah
SWT .
1. Lemah Lembut
Seseorang yang melakukan musyawarah , apalagi sebagai pimpinan harus menghindari
tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala , karena jika tidak , mitra musyawarah
akan tidak menghormati pemimpin musyawarah.
2. Pemaaf
Setiap orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia
member maaf. Karena mungkin saja ketika musyawarah terjadi perbedaan pendapat,
atau keluar kalimat–kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila itu masuk kedalam
hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi musyawarah berubah menjadi
pertengkaran .

3. Mohon Ampunan Allah SWT


Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah , hubungan dengan Tuhan pun
harus harmonis . Oleh sebab itu , semua anggota musyawarah harus senantiasa
membersihkan diri dengan cara memohon ampun kepada Allah SWT baik untuk diri
sendiri , maupun anggota musyawarah lainnya .
2. Menegakkan Keadilan

i
Menegangkan Keadilan Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (Bahasa Arab), yang
mempunyai arti antara lain sama dan seimbang. Dalam pengertian pertama, keadilan dapat
diartikan sebagai membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-
orang atau kelompok. Dengan status yang sama. Misalnya semua pegawai dengan kompetensi
akademis dan pengalaman kerja yang sama berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang
sama. Semua warga negara sekalipun dengan status sosial–ekonomi–politik yang berbeda-
beda mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum.
Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang
dengan kewajiban, atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya orang tua
yang adil akan membiayai pendidikan anak-anaknya sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-
masing sekalipun secara nominal masing-masing anak tidak mendapatkan jumlah yang sama.
Dalam hukum waris misalnya, anak laki-laki ditetapkan oleh Al-Qur’an (QS. An-Nisa’ 4:11)
mendapatkan warisan dua kali bagian anak perempuan. Hal itu karena anak laki-laki setelah
berkeluarga menanggung kewajiban membiayai hidup isteri dan anak-anaknya, sementara
anak perempuan setelah berkeluarga dibiayai oleh suaminya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil diartikan (1) tidak berat sebelah; tidak
memihak; (2) berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; dan (3) sepatunya;
tidak sewenang-wenang. Beberapa pengertian ini tetap berangkat dari dua makna kata adil
diatas. Dengan prinsip persamaan seorang yang adil tidak akan memihak kecuali kepada yang
benar. Dan dengan azas keseimbangan seorang yang adil berbuat atau memutuskan sesuatu
dengan sepatunya dan tidak bertindak sewenang-wenang.
a. Perintah Berlaku Adil
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku
adil dan menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus
dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
(QS. An-Nahl 16:90)
Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (QS.
An-Nisa’ 4: 58); adil dalam mendamaikan conflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil terhadap

i
musuh (QS. Al-Maidah : 8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ 4:3 dan 129); dan adil
dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).
b. Keadilan Hukum
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat
dalam hukum, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial,
ekonomi, politik dan lain sebagainya. Allah menegaskan :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. An-Nisa’4:58).
Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri, atau terhadap keluarga
dan orang-orang yang dicintai. Tatkala seorang sahabat yang dekat dengan Rasulullah
SAW meminta “keistimewaan” hubungan untuk seorang wanita bangsawan yang mencuri,
Rasulullah menolaknya dengan tegas
Rasulullah SAW bersabda dari tiga orang hakim dua akan masuk neraka dan hanya satu
yang masuk surga.
Hakim yang masuk neraka adalah
1). Hakim yang menjatuhkan hukuman dengan cara yang tidak adil, bertentangan dengan
hati nuraninya, bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sedang dia sendiri
mengetahui dan menyadari perbuatannya itu
2). Hakim yang menjatuhkan hukuman yang tidak adil karena kebodohannya. Hakim yang
3). Hakim yang masuk surga adalah hakim yang menjatuhkan hukuman berdasarkan
keadilan dan kebenaran.
c. Keadilan Dalam Segala Hal
1. Adil terhadap diri sendiri
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu. Jika ia (terdakwa atau tergugat itu) kaya atau miskin, maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti bawa nafsu kamu ingin
menyimpang dari kebenaran...”(QS. An-Nisa’4:135)

i
2. Adil terhadap isteri dan anak-anak
“Kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga, atau empat. Tapi jika kamu
khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...”(QS. An-Nisa’
4:3).
3. Adil dalam mendamaikan perselisihan
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada
perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(QS. Al-Hujurat 49:9).
4. Adil dalam berkata
“...Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah
kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu, diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am 6:152)
5. Adil terhadap musuh sekalipun
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-
Maidah 5:8)
Tentu masih banyak nash Al-Qur’an dan Sunnah tentang keadilan dalam seluruh aspek
kehidupan yang belum penulis sebutkan dalam fasal ini karena keterbatasan ruangan,
tapi cukuplah kita menyimpulkan bahwa Islam menginginkan keadilan yang
komprehensif, yang mencakup keadilan politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya.

3. Amar Ma’ruf Nahi mungkar

i
Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bi ‘l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-munkar)
berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
a. Ma’ruf dan munkar
Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang
tidak dikenal. Menurut Muhammad ‘Abduh, ma’ruf adalah apa yang dikenal (baik) oleh
akal sehat dan hati nurani (ma ‘arafathu al-‘uqul wa ath-thaba’ as-salimah), sedangkan
munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani (ma ankarathu al-‘uqul wa
ath-thaba’ as-salimah).
Berbeda dengan Abduh, Muhammad ‘Ali ash-Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan “apa
yang diperintahkan syara’ (agama) dan dinilai baik oleh akal sehat” (ma amara bibi asy-
syara’ wa ‘stabsanahu al-‘aqlu as-salim), sedangkan munkar adalah “apa yang dilarang
syara’ dan dinilai buruk oleh akal sehat” (ma naha ‘anhu asy-syara’ wa’staqbahahu al-‘aqlu
as-salim).

b. Nahi Munkar
Dibandingkan dengan amar ma’ruf, nahi munkar lebih berat karena berisiko tinggi, apalagi
bila dilakukan terhadap penguasa yang zalim. Oleh karena itu Rasulullah SAW sangat
memuliakan orang-orang yang memiliki keberanian menyatakan kebenaran di hadapan
penguasa yang zalim. Beliau bersabda:
“Jihad yang paling utama ialah menyampaikan al-baq terhadap penguasa yang zalim.”
(HR. Abu Daud, Trimizi dan Ibn Majah)
Nahi munkar dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bagi yang mampu
melakukan dengan tangan (kekuasaannya) dia harus menggunakan kekuasaannya itu,
apalagi tidak bisa dengan kata-kata, dan bila dengan kata-kata juga tidak mampu paling
kurang menolak dengan hatinya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
“Barangsiapa diantara kamu melihat kemunkaran, hendaklah dia merobahnya dengan
tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka robahlah) dengan lisannya. Dan
apabla tidak sanggup (dengan lisan), maka robahlah dengan hatinya. Yang demikian itu
adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).

i
Jika umat Islam mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar, maka hal itu tidak hanya akan
membuat mereka kehilangan posisi yang kokoh diatas permukaan bumi, tapi juga akan
mendapat kutukan dari Allah SWT

C. Akhlak Pemimpin Dan Rakyat


Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu
pendekatan linguistik, (kebahasaan) dan pendekatan terminologik (peristilahan).
1. Akhlak Rakyat kepada Pemimpin
a. Patuh dan taat
Perintah untuk menaati pemimpin sangat banyak, di antaranya Al-Qur’an surat An-Nisa’
ayat 59 :
ََ ‫َّللاَ أ َ ِطيعُوا آ َمنُوا الَّذِينَ اأَيُّ َها‬
َّ ‫سو َل َوأ َ ِطيعُوا‬ َّ ‫ْن ُك ْمَِم ْاأل َ ْم ِر َوأُو ِلي‬
ُ ‫الر‬
“Wahai orang orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan
ulil amri di antara kamu”
Ketaatan kepada pemimpin tersebut bukan tanpa batas. Menurut keterangan yang diperoleh
dari hadits-hadits Nabi, paling tidak ada dua persyaratan kewajiban mentaati pemimpin :
1). Pemimpin yang ditaati itu adalah pemimpin yang sah (legal) menurut aturan syari’at
Islam. Yaitu pemimpin yang diangkat berdasarkan kehendak dan pilihan masyarakat,
bukan melalui kudeta, ataupun pemaksaan.
2). Pemimpin tersebut tidak memerintahkan berbuat maksiat. Jika ia menyuruh membangun
tempat-tempat maksiat atau melestarikan perzinaan atau memperbolehkan narkoba, maka
haram untuk diikuti.
b. Menasehati dan meluruskan pemimpin jika salah
Sebagaimana sabda Nabi :
َ ‫ل أَنْ ه َُري َرْة َ أ َ ِبي‬
ْ‫عن‬ َْ ‫سو‬ ِْ ‫صلى‬
ُ ‫ّللا َر‬ ْ ‫علَي ِْه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سل َْم‬
َ ‫ل َو‬ َْ َ‫ي ث َ ََلثًا مْ ُُلَك ك َِرْه‬
َْ ‫ّللا ِإنْ قَا‬ ِ ‫ي ث َ ََلثًا لَ ُكمْ َو َر‬
َْ ‫ض‬ ِ ‫َُول ت َعبُدُوْهُ أَنْ لَ ُكمْ َر‬
َْ ‫ض‬ َ ‫َوأَنْ شَيئًا ِب ِْه تُش ِر ُكوا ا‬
‫َص ُموا‬
ِ ‫ل ت َعت‬ ِْ ‫ص ُحوا َوأَنْ َجمِ يعًا‬
ِْ ‫ّللا بِ َحب‬ َ ‫ل لَكُمْ َوك َِرْهَ اْلَم ِْر ل ُِو ََلةِْ ت َن‬ َْ ‫ع ْةَ َْوقَا‬
َْ ‫ل قِي‬ َ ‫ضا‬ ِْ ‫ال َوكَث َرْة َ ال َم‬
َ ِ‫ال َوإ‬ ِْ ‫أحم رواه الس َُّؤ‬

dari Abu Hurairah, dia berkata; Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
Bersabda: "Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal pada kalian dan membenci tiga hal dari
kalian; kalian sembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, kalian
berpegang teguh dengan tali Allah semuanya, dan Allah suka jika kalian menasehati para
pemimpin. Dan Allah membenci dari kalian; adu domba, menyia-nyiakan harta dan
banyak tanya." (HR Ahmad no 7984)

i
Dalam penyampaiannya seorang muslim tetap dituntut supaya tidak menyalahi
koridor agama. Oleh sebab itu, di dalam hadits disebut sebagai kalimatu ‘adl, berarti
tidak mengeluarkan kata-kata kotor, penghinaan, dan melecehkan hak-hak orang lain.
c. Mendoakan pemimpin
Ketika kaum muslimin diuji oleh Allah ta’ala dengan ditimpakan pemimpin yang zhalim,
pemerintahan yang tidak adil, berbuat semena-mena, maka hendaknya mereka berdoa
agar Allah ‘azza wa jalla memperbaiki urusan mereka. Karena baiknya urusan negeri
akan berdampak baik terhadap penduduknya.
ُْ‫سمِ عت‬
َ ‫ل‬
َْ ‫سو‬ ِْ ‫صلى‬
ُ ‫ّللا َر‬ ْ ‫علَي ِْه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سل َْم‬
َ ‫ل َو‬ ُْ َ‫صلُّونَْ َويُحِ بُّونَكُمْ ونَ ُهمْ ُُُتُحِ ب الذِينَْ أَئِمتِ ُكمْ خِ ي‬
ُْ ‫ار يَقُو‬ َ َْ‫صلُّون‬
َ ُ ‫علَي ِهمْ َوت‬ َ ُ‫علَي َوي‬ َ ُْ‫ار ُكم‬ ُْ ‫أَئِمتِ ُكمْ َوش َِر‬
َْ‫مسلم رواه َويَلعَنُونَ ُكمْ َوت َلعَنُونَ ُهمْ َويُب ِغضُونَ ُكمْ تُب ِغضُونَ ُهمْ الذِين‬

Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik


pemimpin kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian
mendo'akan mereka dan mereka mendo'akan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin
kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, kalian mengutuk
mereka dan mereka pun mengutuk kalian." (HR Muslim no 3448)

d. Bersabar tatkala diberikan pemimpin tidak baik


ُْ‫سمِ عت‬
َ َْ‫عباسْ ابن‬
َ ‫ي‬
َْ ‫ض‬
ِ ‫ّللاُ َر‬
ْ ‫عن ُه َما‬
َ ْ‫عن‬
َ ِ‫ي‬
ْ ِ‫صلى النب‬ ْ ‫علَي ِْه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سل َْم‬ َْ ‫يرِْه مِ نْ َرأَى َمنْ ْقَا‬
َ ‫ل َو‬ ِ ِ‫عل فَليَصبِرْ يَك َرهُ ْهُ شَيئًا أَم‬ َ َُ ‫ارقَْ َمنْ فَإِن ْهُ ي ِْه‬
َ َ‫ف‬
َ‫ع ْة‬ ً ً
َ ‫بخاري رواه َجا ِهلِي ْة مِ يت َ ْة َماتَْ إَِلْ فَ َماتَْ شِب ًرا ال َج َما‬

Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda; "Siapapun


yang melihat sesuatu dari pemimpinnya yang tak disukainya, hendaklah ia bersabar
terhadapnya, sebab siapa yang memisahkan diri sejengkal dari jama'ah, kecuali dia mati
dalam jahiliyah. (HR Bukhari 6530)

2. Akhak Pemimpin kepada Rakyat


a. Tawadhu.
Secara harfiyah tawadhu artinya rendah hati, lawannya adalah tinggi hati atau sombong.
Hal ini karena seorang pemimpin membutuhkan nasihat, masukan, saran, bahkan kritik.
Kalau ia memiliki sifat sombong, jangankan kritik, saran dan nasihatpun tidak mau
diterimannya. Akibat selanjutnya adalah ia akan memimpin dengan hawa nafsunya
sendiri dan ini menjadi sangat berbahaya. Karena itu kesombongan menjadi kendala
utama bagi manusia untuk bisa masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah Swt sangat
murka kepada siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para pemimpin.
Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa dimata
rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui dakwah yang
dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as.

i
b. Mengharap Kritik dan Saran.
Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan mulia dihadapan orang lain, ia
pun mendapatkan penghormatan dari banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan
pengawalan yang ketat dan setiap ucapannya didengar orang sedangkan apapun yang
dilakukannya mendapatkan liputan media massa yang luas. Dari sinilah banyak
pemimpin sampai mengkultuskan dirinya sehingga ia tidak suka dengan kritik dan saran.
Hal itu ternyata tidak berlaku bagi Khalifah Abu Bakar, maka sejak awal
kepemimpinannya, ia minta agar setiap orang mau memberikan kritik dan saran dengan
membetulkan setiap kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan kalimat:
"Bila aku bertindak salah, betulkanlah".
c. Berkata dan Berbuat Yang Benar.
Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia akan dapat memimpin dengan
tenang, karena kebohongan akan membuat pelakunya menjadi tidak tenang sebab ia takut
bila kebohongan itu diketahui oleh orang lain yang akan merusak citra dirinya.
Disamping itu, kejujuran akan membuat seorang pemimpin akan berusaha untuk terus
mencerdaskan rakyatnya, sebab pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila rakyatnya
cerdas, karena kecerdasan membuat orang tidak bisa dibohongi.
d. Memenuhi Hak-Hak Rakyat.
Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya, bahkan bila
hak-hak mereka dirampas oleh orang lain, maka seorang pemimpin itu akan berusaha
untuk mengembalikan kepadanya.
e. Memberantas Kezaliman.
Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan
kekuatan suatu bangsa dan negara. Karena itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan
kezaliman terus berlangsung. Ini berarti, seorang pemimpin bukan hanya tidak boleh
bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi justeru kezaliman yang dilakukan oleh orang lain
kepada rakyatnyapun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas. Karenanya bagi
Khalifah Abu Bakar, sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan
dianggap sebagai kecil dan lemah, dalam pidato yang mencerminkan akhlak seorang
pemimpin.

i
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kepemimpinan merupakan sesuatu yang sangat penting dan sangat esensial dalam sikap yang
ditunjukkan dalam Akhlak Bernegara ini . Adapun kriteria pemimpin yang sangat dibutuhkan
disini adalah pemimpin yang ideal , dimana kriteria pemimpin ideal telah diungkapkan dalam
surat Al – Maidah ayat 55 , yang tentunya menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri
tauladan kepemimpinan yang terbaik .
Dalam memahami materinya , hendaknya kita memahami secara keseluruhan tidak secara
terpisah . Dikarenakan materi ini sangat terkait satu sama lain dan saling mendukung . Seorang
Pemimpin yang baik dan mempunyai Akhlak adalah Pemimpin yang suka bermusyawarah ,
perbuatan dan tindakannya Ma’ruf Nahi Mungkar , senantiasa menegakkan keadilan , dan
tentunya mempunyai hubungan yang baik dengan bawahannya .

i
BAB II
PEMBAHASAN

A. TAZKIYATUN NAFS
1. Pengertian Tazkiyatun Nafs
Tazkiyatun nafs berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata tazkiyah dan nafs.
Secara bahasa (etimologi) tazkiyah berasal dari kata zaka yang artinya suci atau bersih
sedangkan nafs artinya diri atau jiwa. Dengan demikian makna tazkiyatun nafs adalah
membersihkan jiwa dari noda-noda dosa kepada Allah SWT dan dosa terhadap manusia[1].
Tazkiyatun nafs sangat diperlukan bagi setiap mukmin yang menginginkan jiwa, hati, dan
perbuatannya tetap bersih karena kebersihan jiwa dapat menguntungkan bagi pelakunya,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-A’la ayat 14 yang berbunyi :
‫قَدْ أ َ ْفلَ َح َمن ت َزَ َّك َٰى‬
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). (QS Al’Alaa ayat
14)
Dengan demikian, Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk mensucikan
jiwanya dan menjaganya dari hal-hal yang membuat jiwa kotor. Mengutip pendapat imam
qatadah tentang pengertian mensucikan jiwa adalah taat kepada Allah melalui amal sholeh dan
ketaqwaan dengan sifat seperti ini maka akan menyebabkan hati menjadi lapang dan lega,
sebaliknya dengan melakukan dosa-dosadan maksiyat maka hati akan semakin sempit dan
tertutup dari ilmu Allah[2].

2. Tujuan Tazkiyatun Nafs


Berdasarkan makna diatas bahwa tazkiyatun nafs mempunyai tujuan untuk membawa
kualitas jiwa seseorang menjadi hamba Allah yang selalu taat beribadah kepada Allah sesuai
dengan tuntunan Allah dan Rosulnya. Dengan nilai takwa maka seseorang telah melakukan
pembersihan jiwa, karena kebersihan jiwa tidak dapat terlaksana tanpa ada rasa taqwa kepada
Allah SWT. Hal ini telah Allah SWT sampaikan melalui firmannya yang berbunyi :
‫َاب َمن دَسَّاهَا‬ َ ‫ فَأ َ ْل َه َم َها فُ ُج‬. ‫س َّواهَا‬
َ ‫ َوقَدْ خ‬. ‫ قَدْ أ َ ْفلَ َح َمن زَ َّكاهَا‬. ‫ورهَا َوت َ ْق َواهَا‬ َ ‫َونَ ْف ٍس َو َما‬

i
“ Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(perilaku) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan
sungguh merugi orang yang mengotorinya” (QS. Asy-Syams/91 : 7-10)

Ayat ini menerangkan bahwa untuk membersihkan jiwa seseorang harus bertaqwa kepada
Allah SWT. Dalam ayat lain Allah berfirman :
‫ الَّذِي يُؤْ تِي َمالَهُ َيتَزَ َّكى‬. ‫سيُ َج َّنبُ َها اْألَتْقَى‬
َ ‫َو‬

Dan orang yang paling bertakwa akan dijauhkan dari api neraka, yaitu orang yang
menginfakkan hartanya serta menyucikan dirinya. (QS. Al-Lail 92: 17-18).

Imam AL-Ghazali dalam ihya ulumudin mengatakan ada beberapa tujuan tazkiyatun nafs
sebagai berikut :
a. Pembentukan manusia yang bersih akidahnya, suci jiwanya, luas ilmunya, dan seluruh
aktivitas hidupnya bernilai ibadah.
b. Membentuk manusia yang berjiwa suci dan beakhlak mulia dalam pergaulan dengan
sesamanya, yang sadar akan hak dan kewajiban, tugas seta tanggung jawabnya.
c. Membentuk manusia yang berjiwa sehat dengan terbebasnya jiwa dari perilaku tercela yang
membahayakan jiwa itu sendiri.
d. Membentuk manusia yang berjiwa suci dan berakhlak mulia, baik terhadap Allah, diri
sendiri maupun manusia sekitarnya.

3. Upaya – Upaya Melakukan Tazkiyatun Nafs


Berikut ini upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rangka tazkiyatun nafs menurut ibnu
tamiyyah yaitu[3] :
a. Iman dan Tauhid Kepada Allah SWT
Untuk memenuhi pilar pertama, seseorang harus melakukan pengesaan kepada
Allah (tauhid al-ibadah), pengesaan dalam kepatuhan (tauhid al-inkiyad), pengesaan total
kepada syari’at-Nya dan memiliki rasa hina (tazalul) serta cinta kepada
Allah (mahabbah). Selanjutnya secara argumentative ibnu tamiyyah menjelaskan :

i
“Hati seseorang tidak akan lepas dari ketergantungan dengan makhluk manakala dia dapat
menjadikan Allah sebagai pemimpinnya dan dia tidak menyembah kecuali hanya kepada-
Nya, tidak meminta kecuali kepada-Nya, tidak berserah diri kecuali kepada-Nya, tidak
bergembira kecuali kepada yang diridhoi-Nya, tidak benci kecuali kepada yang dimurkai
dan di benci-Nya, tidak mengasihi kecuali yang dikasihi-Nya, tidak memusuhi kecuali yang
dimusuhi-Nya, tidak mencintai kecuali karena-Nya, tidak membenci karena-Nya, tidak
memberi kecuali karena-Nya, tidak menolak kecuali karena-Nya. Manakala keikhlasan
kepada agama Allah telah kuat, maka akan menjadi sempurnalah ibadahnya kepada Allah
dan ketidakterikatnya dengan makhluk serta kesempurnaan ibadah dengan Allah maka dia
akan terbebas dari sifat sombong dan syirik yang mengotori keimanan dan
ketauhidannya.”[4]

Tauhid dan iman kepada Allah merupakan tazkiyatun nafs yang utama sebagaimana
syirik merupakan pengotoran batin yang utama pula. Tazkiyatun nafs juga di lakukan
dengan malaksanakan amal-amal kebaikan sebagai perwujudan dari iman dan tauhid kepada
Allah.

b. Mengikuti Rasulullah
Tazkiyatun nafs dengan mengikuti rasulullah adalah mengikuti ucapan, perbuatan,
dan akhlanya karena semua kehidupan nabi rasulullah merupakan perbuatan yang baik bagi
tazkiyatun nafs. Kehadiran rosulullah dibumi merupakan anugerah bagi manusia sebab tanpa
kehadiran rosulullah manusia akan rusak dan tetap jahiliyah, selain itu rasulullah juga
membawa umat manusia kepada kesucian baik iman maupun akhlaq. Sebagaimana firman
Allah SWT yang berbunyi :

‫وا ِمن‬ َ َ ‫وا َعلَ ْي ِه ْم َءا َٰيَتِِۦه َويُزَ ِكي ِه ْم َويُعَ ِل ُم ُه ُم ْٱل ِك َٰت‬
۟ ُ‫ب َو ْٱل ِح ْك َمةَ َوإِن كَان‬ ۟ ُ‫وال ِم ْن أَنفُ ِس ِه ْم يَتْل‬
ً‫س ا‬ َ َ‫ٱّلِلُ َعلَى ْٱل ُمؤْ ِمنِينَ إِذْ بَع‬
ُ ‫ث فِي ِه ْم َر‬ َّ ‫لَقَدْ َم َّن‬
َٰ َ ‫قَ ْب ُل لَ ِفى‬
ٍ ِ‫ضلَ ٍۢ ٍل ُّمب‬
‫ين‬

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada

i
mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka
adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS Ali Imron Ayat 164)
Dengan merujuk ayat-ayat di atas, ibnu taimiyyah memastikan bahwa mengikuti
rasulullah merupakan salah satu upaya untuk tazkiyatun nafs dengan cara mengikuti ucapan,
perbuatan, dan akhlaqnya sesuai dengan salah satu misi rasul yaitu mensucikan umat
manusia.

c. Melaksanakan Kewajiban-kewajiban Agama


Seperti diketahui bahwa kewajiaban-kewajiban agama islam termasuk hal-hal yang
disunnahkan pada ujung-ujungnya adalah untuk tazkiyatun nafs manusia. Bahkan semua
perintah agama, wajib maupun sunnah, demikian pula larangan agama sangat berpengaruh
terhadap penyucian jiwa. Contoh kewajiban agama yang dapat mensucikan jiwa adalah
sholat, puasa, zakat, haji.

Upaya-upaya tazkiyatun nafs menurut imam al-ghazali sebagai berikut :


a. Mensucikan hati secara total dari selain Allah (tathir al-qalb bil kulliyah amma siwalah)
b. Secara total zikir kepada Allah (al-istigraq bi dzirillah)
Fungsi dzikir adalah sebagai alat pencuci jiwa (tazkiyatun nafs). Al-ghazali
mengatakan sebagaimana yang dikutib oleh Musthafa Zuhri, menyebutkan tazkiyatun nafs
menghindari segala sifat-sifat yang tercela, guna menuju makrifat Allah SWT. Yang
dimaskud sifat-sifat tercela meliputi hasad, su’udzan, riya’, ghibah dll, sifat tercela semacam
itulah yang mendominasi batin dan perilaku manusia yang hendak dihilangkan dengan dzikir
kepada Allah. Sebab dzikrullah menempati sentra amaliah jiwa hamba Allah yang beriman.
Dzikir yang mengandung syifa’ itu mampu menenangkan perasaan dan menenangkan qalbu.
Sebagai hasil dari dzikir hati pun menjadi suci atau bersih sehingga ia akan cenderung pada
Allah Semata. Allah SWT berfirman :
‫صلَّ َٰى‬
َ َ‫قَدْ أ َ ْفلَ َح َمن ت َزَ َّك َٰى َوذَك ََر ٱس َْم َربِِۦه ف‬

Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia
ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. (QS Al-A’laa ayat 14-15)

i
Ayat ini mengingatkan bahwa kesucian hati itu menjadi bagian dari hidup orang yang
beriman, akan tetapi belum cukup hanya dengan mengetahui dan merasakan saja.
Hendaknya diikuti oleh pembersihan dengan terapi dzikrullah.

c. Lebur (fana) kedalam zat Allah


Fana’ secara bahasa, berasal dari kata fayana, yang artinya musnah atau lenyap. Ibnu
Arabi memeberikan 2 pengertian tentang fana’ yaitu :
1. Fana’ dalam pengertian mistik yaitu hilangnyaketidaktahuan dan tinggallah pengetahuan
sejati yang diperoleh melalui intuisitentang kesatuan esensial[5] keseluruhan itu.
2. Fana’ dalam pengertian metafisika yaitu hilangnya bentuk-bentuk dunia fenomena dan
berlangsungnya substansi universal yang satu.
Abu Bakr Al-kalabadzi (w. 378/988 M) mendefinisikan fana’ dengan hilangnya
semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia,
sehingga ia kehilangan segala perasaannyadan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan
ia telah menghilangkan kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Fana’ mempunyai beberapa pengertian :
a. Fana’ ash-shifat, yaitu Lenyapnya sifat tercela, berganti dengan baqa’ (tetapnya sifat baik
atau terpuji)
b. Fana’ al-iradah yaitu Fana’nya manusia dari kehendakNya berganti dengan tetapnya
Tuhan pada dirinya.
c. Fana’ an-nafs yaitu hilang kesadaran manusia terhadap dirinya berganti dengan tetapnya
kesadaran tentang Allah pada diri sufi.
Diantara tahapan paling dominan dalam fana’ adalah pemusnahan jiwa pendukung
kejahatan (An-Nafs Al-Ammarah), pemusnahan jiwa yang tercela (An Nafs Al-Lawwamah),
kemudian kedudukannya menjadi jiwa yang damai (An-nafs Al-Muthma’innah).

4. Metode –Metode Peyucian Tazkiyatun Nafs


Metode-metode penyucian an-nafs yang harus dilakukan untuk mencapai tingkatan
kesucian hati sebagai berikut :
a. Metode Muhasabah (instropeksi). Kita melakukan perhitungan baik dan buruk terhadap
perbuatan yang sudah dilakukan.

i
b. Metode Mu’aqabah (sanksi terhadap pelanggaran). Bila kita melakukan keburukan
kemudian kita mengecam diri kita, mempersoalkannya dan kemudian menghukumnya.
c. Metode Muhasanah (memperbaiki situasi masa kini) kita berjanji untuk membiasakan
perbuatan baik atau menghindari keburukan.
d. Metode Mujahadah (optimlisasi) kita berjuang keras untuk mengoptalisasikan segala yang
baik.
e. Metode Istiqomah (disiplin) kita menjaga kesenambungan untuk terus menerus dalam
kebaikan.
f. Metode Muraqoba (merasakan pengawasan Allah)
g. Metode Mukasyafah atau musyahadah (terbukanya tabir diri dengan Allah)

B. GHAZWUL FIKRI
1. Pengertian Ghazwul Fikri
Ghazwul fikri berasal dari kata ghazwul dan al-fikr, yang secara harfiah dapat diartikan
“Perang Pemikiran”. Maksudnya ialah upaya-upaya gencar pihak musuh-musuh Allah untuk
meracuni pikiran umat Islam agar jauh dari Islamnya, lalu akhirnya membenci Islam, dan pada
tingkat akhir Islam diharapkan habis sampai ke akar-akarnya.
Secara istilah, Ghazwul Fikri adalah penyerangan dengan berbagai cara terhadap pemikiran
umat islam guna merubah apa yang ada didalamnya sehingga tidak lagi bisa mengeluarkan
darinya hal – hal yang benar karena telah tercampur aduk dengan hal – hal yang tidak islami.

2. Sejarah Ghazwul Fikri


Sejarah Ghazwul Fikri (GF) sudah ada setua umur manusia, makhluk yang pertama kali
melakukannya adalah iblis laknatullah ketika berkata kepada Adam as., “ Sesungguhnya Allah
melarang kalian memakan buah ini supaya kalian berdua tidak menjadi malaikat dan tidak dapat
hidup abadi. “ (Q.S.Al – A’Raaf:20)
Dalam perkataannya ini iblis tidak menyatakan bahwa Allah tidak melarang
kalian…karena itu akan bertentangan dengan informasi yang telah diterima oleh Adam as., tetapi
iblis mengemas dan menyimpangkan makna perintah Allah SWT. Sesuai dengan keinginannya,
yaitu dengan menambahkan alas an pelarangan Allah yang dibuat sendiri. Iblis tahu bahwa Adam
as tidak punya pengetahuan tentang sebab tersebut. Demikianlah para murid–murid iblis dimasa

i
kini selalu berusaha melakukan ghazwul fikri dengan menyimpangkan fakta dan informasi yang
ada sesuai dengan maksud jahatnya. Setan melakukannya dengan cara yang sangat halus dan
licin. Akibatnya, hanya orang–orang yang dirahmati Allah SWT yang mampu mengetahuinya.

3. Tujuan Ghazwul Fikr


Tujuan dilakukan ghazwul fikr agar kaum muslimin menjadi condong sedikit terhadap
gaya, perilaku dan pola pikir barat, seperti dalam Q.S. Al Israa:73 yang artinya “ Dan
sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah kami wahyukan
kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami, dan kalau sudah begitu
tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. “ Q.S. Al Israa:74 yang artinya “ Dan
kalau kami tidak memperkuatkan (hati)mu, niscaya kamu hampir condong sedikit kepada
mereka.” Q.S. Al Israa:75yang artinya “ Kalau terjadi demikian, benar – benarlah kami akan
rasakan kepadamu (siksaan) berlipat – lipat ganda didunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat
ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap kami.”
Dan Q.S.Al Israa:76 yang artinya “Dan sesungguhnya benar – benar mereka hamper membuatmu
gelisah di negeri (mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya
sepeninggalmu mereka tidak tinggal sebentar saja.”
Setelah kaum muslimin condong sedikit, tahapan selanjutnya adalah agar kaum muslimin
mengikuti sebagian dari gaya, perilaku dan pola pikir mereka. Sebagaimana disebutkan
dalam Q.S.Ad-Dukhan: 25 yang artinya “ Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka
tinggalkan.” Dan Q.S.Ad Dukhan:26 yang artinya “ Dan kebun – kebun serta tempat – tempat
yang indah – indah.”
Pada tahap ini diharapkan kaum muslimin beriman pada sebagiannya ayat – ayat Al –
Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, tetapi kafir terhadap sebagian yang lainnya. Sebagaimana
dalam Q.S.Al Baqarah: 85 yang artinya “ Kemudian kamu (bani israil) membunuh dirimu
(saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari pada kamu dari kampong halaman. Kamu
bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan tetapi jika mereka
dating kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka. Padahal mengusir itu (juga) terlarang
bagimu. Apakah kamu beriman pada sebagian Al Kitab (taurat) dan ingkar terhadap sebagian
yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan

i
dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat
berat, Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
Pada tahap akhir, mereka menginginkan agar generasi kaum muslimin mengikuti syahwat
dan meninggalkan shalat. Sebagaimana dalam Q.S.Maryam:59 yang artinya “ Maka datanglah
sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia – nyiakan shalat dan memperturutkan hawa
nafsu, maka mereka akan menemui kesesatan.”

4. Pengaruh Ghazwul Fikri


a. Pendidikan
Pendidikan adalah aspek penting yang menentukan maju atau mundurnya suatu bangsa.
Oleh sebab itu, bidang pendidikan merupakan target utama dari ghazwul fikri (GF). Ghazwul
fikri (GF) yang dilakukan dibidang pendidikan, diantaranya dengan membuat sedikitnya porsi
pendidikan agama di sekolah – sekolah umum (hanya 2 jam sepekan).
Hal ini berdampak fatal pada fondasi agama yang dimiliki oleh para siswa. Dengan
lemahnya basis agama mereka, maka terjadilah tawuran, seks bebas pelajar yang
meningkatkan AIDS, penyalahgunaan narkoba, vandalism, dan sebagaimananya. Ini adalah
dampak jangka pendek. Sedangkan dampak jangka panjangnya lebih berbahaya, yaitu
rendahnya kualitas pemahaman agama para calon pemimpin bangsa dimasa depan.Ghazwul
fikri (GF) lainnya dibidang ini adalah pada teknis belajarnya yang campur baur antara pria
dan wanita yang jelas tidak sesuai dan banyak menimbulkan pelanggaran terhadap syariat.

b. Sejarah
Sejarah yang diajarkan perlu ditinjau ulang dan disesuaikan dengan semangat islam.
Materi tentang sejarah dunia dan ilmu pengetahuan telah ghazwul fikri (GF) habis–habisan
sehingga egara tidak ditemui sama sekali pemaparan tentang sejarah para ilmuan islam dan
sumbangannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam sejarah yang dibahas hanyalah ilmuan kafir yang pada akhirnya membuat
generasi muda menjadi silau dengan tokoh – tokoh kafir dan minder terhadap sejarahnya
sendiri. Ketika berbicara tentang sejarah islam, di benak mereka hanyalah terbayang sejarah
peperangan dengan pedang dan darah sebagaimana yang selalu digambarkan dalam kaca mata
barat.

i
Hal ini lebih diperparah dengan sejarah nasional dan penamaan perguruan tinggi,
gedung – gedung, perlambangan, penghargaan dan pusat ilmu lainnya dengan bahasa Hindu
Sanksekerta, sehinga semakin hilanglah mutiara kegemilangan islam dihati para generasi
muda.

c. Ekonomi
Ghazwul fikri (GF) yang terjadi dibidang ekonomi adalah konsekuensi dari motto
ekonomi yaitu, mencari keuntungan sebesar – besarnya dengan pengorbanan sekecil –
kecilnya. Ketika motto ini ditelan habis – habisan tanpa dilakukan filterisasi, maka tidak lagi
memperhatikan halal atau haram, yang penting adalah bagaimana supaya untung sebesar –
besarnya.
Hal lain yang perlu dicermati dalam system ekonomi kapitalisme, yaitu monopoli, riba
dan pemihakan elit kepada para konglomerat. Mengenai monopoli sudah tidak perlu dibahas
lagi, cukup jika dikatakan bahwa Amerika Serikat sendiri telah diberlakukan UU anti –
trust (bagaimana di Indonesia?). Tentang riba dan haramnya bunga bank rasanya bukan pada
tempatnya jika dibahas disini, cukup dikatakan bahwa munculnya dan berkembangnya bank
tanpa bunga (bagi hasil), fatwa MUI, fatwa Universita Al Azhar Mesir, kesepakatan para
ulama islam dunia membuktikan bahaya bunga bank dan haramnya dalam islam. Tentang
keberpihakan kepada para konglomerat, semoga dengan perkembangan era reformasi saat ini
dapat diperbaiki.

d. Ilmu alam dan negara


Ghazwul fikri (GF) yang terjadi dibidang ekonomi adalah konsekuensi dari motto
ekonomi yaitu, mencari keuntungan sebesar – besarnya dengan pengorbanan sekecil –
kecilnya. Ketika motto ini ditelan habis – habisan tanpa dilakukan filterisasi, maka tidak lagi
memperhatikan halal atau haram, yang penting adalah bagaimana supaya untung sebesar –
besarnya. Hal lain yang perlu dicermati dalam system ekonomi kapitalisme, yaitu monopoli,
riba dan pemihakan elit kepada para konglomerat. Mengenai monopoli sudah tidak perlu
dibahas lagi, cukup jika dikatakan bahwa Amerika Serikat sendiri telah diberlakukan UU anti
– trust (bagaimana di Indonesia?). Tentang riba dan haramnya bunga bank rasanya bukan
pada tempatnya jika dibahas disini, cukup dikatakan bahwa munculnya dan berkembangnya

i
bank tanpa bunga (bagi hasil), fatwa MUI, fatwa Universita Al Azhar Mesir, kesepakatan para
ulama islam dunia membuktikan bahaya bunga bank dan haramnya dalam islam. Tentang
keberpihakan kepada para konglomerat, semoga dengan perkembangan era reformasi saat ini
dapat diperbaiki.

e. Bahasa
Ghazwul fikri (GF) dibidang bahasa adalah dengan tidak diajarkannya bahasa Al–
Qur’an di sekolah–sekolah karena menganggapnya tidak perlu. Hal yang nampaknya remeh
ini sebenarnya sanagt besar akibatnya dan menjadi bencana bagi kaum muslimin Indonesia
secara umum. Dengan tidak memahami Al–Qur’an, mayoritas kaum muslimin menjadi tidak
mengerti apa kandungan Al–Qur’an, seperti firman Allah dalam surah Al Baqarah: 78 artinya
“ Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al–Kitab (taurat), kecuali
dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga–duga “. Akibatnya, Al–Qur’an
menjadi sekedar bacaan tanpa arti (Al–Qur’an hanya dinikmati iramanya seperti layaknya
lagu – lagu dan nyayian belaka, yang akhirnya ditinggalkan seperti yang disebutkan dalam
surah Al Furqaan:30 yang artinya “ Berkata Rasul: Ya tuhanku, sesungguhnya kaumku
menjadikan Al–Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan “ dan surah Al Furqaan:31 yang artinya
“ Dan seperti itulah, setelah kami adakan bagi tiap–tiap nabi, musuh dari orang–orang yang
berdosa dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.“).
Dampak lain dari kebodohan terhadap bahasa Al–Qur’an adalah terputusnya hubungan
kaum muslimin dengan perbendaharaan ilmu–ilmu keislaman yang telah disusun dan
dibukukan selama egara 1000 tahun oleh para pakar dan ilmuwan islam terdahulu yang
jumlahnya mencapai jutaan judul buku, mencakup bidang – bidang akidah, tafsir, hadist, fiqih,
sirah, tarikh, ulumul qur’an, tazkiyyah dan sebagainya.

f. Hukum
Ghazwul fikri (GF) pada aspek egar adalah penggunaan acuan negara warisan negaral
yang masih dipertahankan sebagai egar yang berlaku, reduksi, dan penghapusan egar Allah
SWT dan Rasul–Nya. Rasa takut dan alergi terhadap segala yang berbau syariat islam
merupakan keberhasilan ghazwul fikri (GF) dibidang ini. Penggambaran potong tangan bagi
pencuri dan rajam bagi penzina selalu ditonjolkan saat pembicaraan–pembicaraan tentang

i
kemungkinan adopsi terhadap beberapa egar islam. Mereka melupakan bahwa egar islam
berpihak (melindungi) korban kejahatan, sehingga hukuman keras dijatuhkan kepada pelaku
kejahatan agar perbuatannya tidak terulang dan orang lain takut untuk berbuat yang sama.
Sebaliknya, egar barat berpihak (melindungi) pelaku kejahatan, sehingga dengan hukuman
tersebut memungkinkannya untuk mengulang lagi kejahatannya karena ringannya hukuman
tersebut.

g. Pengiriman pelajar dan mahasiswa ke Luar Negeri


Ghazwul fikri (GF) dibidang ini terjadi dalam dua aspek, yaitu : Brain drain dan Brain
Washing. Brain drain adalah pelarian para intelektual dari negara–negara islam ke negara–
negara maju karena insentif yang lebih besar dan fasilitas hidup yang lebih mewah bagi para
pekerja disana. Hal ini menyebabkan lambatnya pembangunan di egara – egara islam dan
semakin cepatnya kemajuan di negara–negara barat.
Data penelitian tahun 1996 menyebutkan bahwa perbandingan SDM bergelar doctor
(S3) di Indonesia baru 60 per sejuta penduduk, di Amerika Serikat dan Eropa antara 2500–
3000 orang per sejuta, dan di Israel mencapai 16.000 per sejuta penduduk. Sementara brain
washing (cuci otak) dialami oleh para intelektual yang sebagian besar berangkat ke egara–
egara barat tanpa dibekali dengan dasar–dasar keislaman yang cukup. Akibatnya, mereka
pulang dengan membawa pola egar dan perilaku yang bertentangan dengan nilai–nilai islam.
Bahkan secara sadar atau tidak, mereka ikut andil dalam membantu melanggengkan
kepentingan barat di egara mereka.

h. Media Massa
Berbicara mengenai ghazwul fikri (GF) yang terjadi dalam media massa, maka dapat dipilah
pada aspek – aspek sebagai berikut :
1) Aspek kehadirannya
Terjadinya perubahan penjadwalan kegiatan sehari – hari dalam keluarga muslim,
missal TV. Dulu selepas maghrib, anak – anak biasanya mengaji dan belajar agama.
Sekarang, selepas maghrib anak – anak menonton acara – acara TV yang kebanyakan
merusak dan tidak bermanfaat. Sementara bagi para remaja dan orang tua dibandingkan

i
dating ke pengajian dan majlis – majlis taklim, mereka lebih senang menghabiskan
waktunya dengan menonton TV.
Sebenarnya TV dapat menjadi srana dakwah yang luar biasa (sesuai dengan teori
komunikasi yang menyatkan bahwa media audio – visual memiliki pengaruh yang tertinggi
dalam membentuk kepribadian baik pada tingkat individu maupun masyarakat) asal
dikemas dan dirancang sesuai dengan nilai – nilai islam.

2) Aspek Isinya
Berbicara mengenai isi yang ditampilkan oleh media massa yang merupakan produk
ghazwul fikri (GF) diantaranya adalah mengenai penokohan – penokohan atau orang –
orang yang diidolakan. Media massa yang ada tidak berusaha ikut mendidik bangsa dan
masyarakat dengan menokohkan para ulama, ilmuwan, dan orang – orang yang dapat
mendorong membangun bangsa agar mencapai kemajuan IMTAK dan IPTEK sebagaimana
yang digembar–gemborkan. Tetapi sebaliknya, justru tokoh yang terus menerus diekspos
dan ditampilkan adalah para selebriti yang menjalankan gaya hidup borjuis, menghambur –
hamburkan uang (tabdzir), jauh dari memiliki IPTEK apalagi nilai – nilai agama.
Hal ini jelas besar dampaknya pada generasi muda dalam memilih dan menentukan
gaya hidup, cita – citanya dan tentunya pada kualitas bangsa dan Negara. Rpoduk lain
darighazwul fikri (GF) yang menonjol dalam media TV, misalnya porsi film – film islami
yang dapat dikatakan tidak ada. Film yang diputar 90% adalah film bergaya barat, sisanya
adalah film nasional (yang juga bergaya barat), film – film mandarin, dan film – film india.

i
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tazkiyatun Nafs berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata tazkyat dan nafs. Secara
kebahasaan (etimologi) tazkiyat berarti menyucikan, menguatkan dan mengembangkan. Sedangkan
Nafs adalah diri atau jiwa seseorang. Dengan demikian istilah tazkiyatun nafsi memiliki makna
mensucikan, menguatkan dan mengembangkan jiwa sesuai dengan potensi dasarnya (fitrah) takni
potensi iman, islam, dan ihsan kepada Allah.
Upaya - upaya Tazkiyatun Nafs menurut Ibnu Taimiyyah :
a. Iman dan Tauhid Kepada Allah SWT
b. Mengikuti Rasulullah
c. Melaksanakan Kewajiban – kewajiban Agama
Menurut Imam Al-ghazali :
a. Mensucikan hati secara total dari selain Allah (tathir al-qalb bil kulliyah amma siwalah)
b. Secara total zikir kepada Allah (al-istigraq bi dzirillah)
c. Lebur (fana) kedalam zat Allah
Metode-metode penyucian An-Nafs :
a. Muhasabah
b. Mu’aqabah
c. Muhasanah
d. Mujahadah
e. Istiqomah
f. Muraqabah
g. Mukasyafah atau musyahadah

Efek globalisasi semakin terasa terasa, begitupun ghazwul fikri semakin terasa terutama
di beberapa aspek di antaranya aspek pendidikan, politik, pemerintahan, ekonomi dan sosial.
Oleh karena itu, kita sebagai generasi muda islam hendaklah memahami akan bahaya dan aspek-
aspek yang mempengaruhi kepribadian, moral bahkan aqidah.

i
Dengan asas pemahaman pendidikan agama yang benar, yang menghasilkan akhlak, budi
pekerti yang baik sehingga menjadikan keluarga, lingkungan dan negara bangkit dari
keterpurukan penjajahan ideologis yang mengancam semua muslim indonesia.
Generasi islam merupakan generasi penerus bangsa yang di tangannya terdapat cita-cta
perbaikan bangsa, generasi muda adalah para pemimpin masa depan yang harus dapat membaca
situasi dan kondisi atas permasalahan saat ini dengan pengendalian di jalan islam.
Dengan kata lain generasi mudalah yang harus ada dibarisan pertama dalam menentang
ghazwul fikri terhadap muslim indonesia karena generasi muda mempunyai potensi seperti
berfikir positif, peluang, kemauan keras, kemampuan untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran
yang variatif

Anda mungkin juga menyukai