Anda di halaman 1dari 24

FIQIH IBADAH

THAHARAH BERSUCI DARI NAJIS

MAKALAH
Disampaikan Dalam Presentasi, Pada Presentasi Mata Kuliah Fiqih Ibadah
Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwalul Syakhsiyyah Semester Empat (IV)
IAIN Manado Tahun Akademik 2016/2017

OLEH :

Ikram Hassan
15.1.1.039

Yunitha Malondo
15.1.1.027

Dosen Pembimbing

“Nur Azizah Rahman M.HI”

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN MANADO)


TAHUN 2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Segala puji bagi Allah, kami memujinya, memohon pertolongannya

dan berlindung kepadanya dari keburukan kami. Aku bersaksi bahwa tidak

ada tuhan yang berhak di sembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya,

dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Utusan-Nya,

semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepadanya. Amma ba’du.

Saya berusaha Menghimpun dari sejumlah buku berkaitan dengan

Thaharah bersuci dari najis, dan tata caranya.

Thaharah merupakan hal yang paling utama untuk beribadah.

Terutama dalam hal shalat. Apabila kita melakukan sholat tanpa adanya

thaharah terlebih dahulu, karena diantara syarat-syarat telah ditetapkan bahwa

harus suci badannya, pakaiannya serta tempatnya dari hadats maupun najis.

Padahal dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti tidak luput dari hadats dan

najis. Sehingga thaharah sangat kita perlukan sebelum kita melakukan

ibadah.

Akhirnya, pembaca yang budiman, tulisan ini hanya merupakan hasil

usaha kami, tentunya tidak terlepas dari kekurangan yang perlu di benarkan

dan di luruskan. Hal inilah yang kami harapkan dari pembaca.

A. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dan dasar hukum thaharah?

2. Bagaimana pembagian air bersuci?

3. Apa macam-macam najis dan tata cara menyucikan najis?

4. Apa benda-benda yang termaksuk najis?

5. Bagaimana adab buang air kecil dan besar?


II. PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Thaharah

Yang dinamakan thaharah atau suci dalam bahasa arab ialah:

“Bersih dan terhindar dari semua yang kotoran dan daki, baik yang

dapat dilihat ataupun tidak”.1

Lawan thaharah ialah annajaasah. Menurut bahasa arabnya ialah: “Tiap

kotoran, baik yang dapat dilihat atau tidak.”

Thaharah menurut arti bahasa adalah bersih dan suci dari kotoran

atau najis/hissi/yang dapat terlihat seperti kencing atau lainnya, dan najis

ma’nawi/yang tidak kelihatan zatnya) seperti aib dan maksiat.

Imam an-Nawawi mendefinisikan thaharah sebagai kegiatan

mengangkat hadats atau menghilangkan najis atau yang serupa dengan

kedua kegiatan itu, dari segi bentuk atau maknanya.2

Arti Thaharah menurut istilah syara’ ialah mengerjaan pekerjaan

yang membolehkan shalat, berupa: wudhu, mandi, tayamum dan

menghilangkan (mencuci) najis.

Dalam hukum Islam, soal bersuci dan segala seluk-beluknya

termaksuk bagian ilmu dan amalan yang penting, terutama karena

diantara syarat-syarat shaat telah ditetapkan bahwa seseorang yang

mengerjaan shalat diwajibkan suci dari hadas dan suci pula badan,

pakaian, dan tempatnya dari najis.

Firman Allah swt :


1
Kahar Masyhur, Shalat wajib, Jakarta: Pt Rineka Cipta, 1995, Hal 30
2
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu,Terjemahan, Jakarta: Gema Insani, 2010,
Hal 202
‫ين آ َمنُوا إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى الصَّال ِة فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
‫وس ُك ْم َوأَرْ ُجلَ ُك ْم إِلَى ْال َك ْعبَي ِْن‬ ِ ‫ق َوا ْم َسحُوا بِ ُر ُء‬ ِ ِ‫َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْال َم َراف‬
‫ضى أَ ْو َعلَى َسفَ ٍر أَ ْو َجا َء‬ َ ْ‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوا َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمر‬
‫أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِم َن ْال َغائِ ِط أَ ْو ال َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِج ُدوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬
‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوا ِب ُوجُو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ِم ْنهُ َما ي ُِري ُد هَّللا ُ لِيَجْ َع َل‬ َ
‫ج َولَ ِك ْن ي ُِري ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم‬
ٍ ‫َعلَ ْي ُك ْم ِم ْن َح َر‬
٦( ‫ُون‬ َ ‫تَ ْش ُكر‬

”Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak

melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke

siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua

mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau

dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau

menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air,

bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan

tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi

Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya

bagimu, agar kamu bersyukur” (Al-Maidah: 6)

Firman Allah swt :

‫وا َما‬ْ ‫صالَةَ َوأَنتُ ْم ُس َكا َرى َحتَّ َى تَ ْعلَ ُم‬ ْ ‫وا الَ تَ ْق َرب‬
َّ ‫ُوا ال‬ ْ ُ‫ين آ َمن‬ َ ‫يا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
‫ضى‬ َ ْ‫وا َوإِن ُكنتُم َّمر‬ ْ ُ‫يل َحتَّ َى تَ ْغتَ ِسل‬
ٍ ِ‫ون َوالَ ُجنُبا ً إِالَّ َعابِ ِري َسب‬ َ ُ‫تَقُول‬
‫أَ ْو َعلَى َسفَ ٍر أَ ْو َجاء أَ َح ٌد ِّمن ُكم ِّمن ْال َغآئِ ِط أَ ْو الَ َم ْستُ ُم النِّ َساء فَلَ ْم‬
َ ‫ُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم إِ َّن هّللا‬ْ ‫طيِّبا ً فَا ْم َسح‬
َ ً‫ص ِعيدا‬ َ ‫وا‬ْ ‫وا َماء فَتَيَ َّم ُم‬ ْ ‫تَ ِج ُد‬
‫ان َعفُ ّواً َغفُورا‬ َ ‫َك‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati

shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa

yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam

keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan

jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat

buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak

mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik

(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha

Pema'af lagi Maha Pengampun” (An-Nisa: 43)

Firman Allah swt :

‘‫ب‘ ا‘ ْل‘ ُم‘ تَ‘ طَ‘ ه‘ِّ ِر‘ ي‘ َ‘ن‬ ‘ُّ ‘‫إِ‘ َّن‘ هَّللا َ‘ يُ‘ ِح‬
‘ُّ ‘‫ب‘ ا‘ل‘تَّ‘ َّو‘ ا‘بِ‘ ي‘ َ‘ن‘ َو‘ يُ‘ ِح‬
“Sesunguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan

menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)3

1. Perihal bersuci meliputi beberapa perkara berikut:

a. Alat bersuci, seperti air, tanah, dan sebagainya.

b. Kaifiat/cara bersuci.

c. Macam dan jenis–jenis najis najis yang perlu disucikan.

d. Benda yang wajib disucikan.

e. Sebab-sabab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.

2. Bersuci ada dua bagian

a. Bersuci dari hadas. Bagian ini khusus untuk badan, seperti mandi,

berwudhu, dan tayamamum.

3
Diambil dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah: 222
b. Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan

tempat.4

B. Pembagian air bersuci

1. Air yang suci dan mensyucikan

Air yang demikian boleh diminum dan sah dipakai untuk

menyucikan (membersihkan) benda yang lain. Yaitu air yang jatuh dari

langit atau terbit dari bumi dan masih tetap (beum berubah) keadaannya,

seperti air hujan, air laut, air sumur, air es yang sudah hancur kembali, air

embun, dan air yang keluar dari mata air.

Firman Allah Swt :

‘ِ‫ َ‘و‘ يُ‘نَ‘ ِّز‘ ُل‘ َع‘ لَ‘ ْي‘ ُك‘ ْم‘ ِم‘ َ‘ن‘ ا‘ل‘ َّس‘ َم‘ ا‘ ِء‘ َم‘ ا‘ ًء‘ لِ‘ يُ‘طَ‘ ه‘ِّ َر‘ ُك‘ ْم‘ بِ‘ ه‬ 
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk

menyucikan kamu dengan hujan itu.” (Al-Anfal: 11)

Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya

“suci menyucikan” walaupun perubahan itu terjadi pada salah satu dari

semua sifatnya yang tiga (warna, rasa dan baunya) adalah sebagai berikut:

a. Berubah karena tempatnya. Seperti air yang tergenang atau mengalir di

batu belerang.

b. Berubah karena lama tersimpan , seperti air kolam.

c. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah

disebabkan ikan atau kiambang.

4
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Pt sinar baru Algensindo, 2006, Hal 13
d. Berubah karena tanah yang suci, begitu juga segala perubahan yang sukar

memeliharanya, misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari

pohon-pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat air itu.

2. Air suci, tetapi tidak menyucikan

Menurut ulama Hanafi, air ini dapat menghilangkan najis dari

pakaian dan badan, tetapi tidak dapat menyucikan hadats.5 Zatnya suci,

tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk dalam

bagian ini ada tiga macam air, yaitu:

a. Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan

suatu benda yang suci, selain dari perubahan yang tersebut diatas, seperti

air kopi, teh, dan sebagainya.

b. Air sedikit, kurang dari dua kulah, sudah terpakai untuk menghilangkan

hadas atau menghilangkan hukum najis, sedangkan air itu tidak berubah

sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.

c. Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari

tekukan pohon kayu (air nira), air kelapa dan sebagainya.

3. Air yang bernajis

Air yang termaksuk bagian ini ada dua macam:

a. Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai

lagi, baik airnya sedikit ataupun banyak, sebab hukumnya seperti najis.

b. Air bernajis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit

berarti kurang dari dua kulah tidak boleh dipakai lagi, bahkan hukumnya

sama dengan najis.

5
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2010, Hal 229
Kalau air itu banyak, berarti dua kulah atau lebih6, hukumnya tetap

suci dan menyucikan.

Sabda Rasulullah Saw :

َ َ‫اَ ْل َما ُءاَل يُنَجِّ ُسهُ َش ْي ٌءاِاّل َما َغل‬


َ ‫ب َعلَى‬
‫(رواه ابن‬ ‫ط ْع ِم ِه اَ ْولَ ْونِ ِه اَ ْو ِر ْي ِح ِه‬
)‫ماجه والبيهقى‬
“Air itu tak dinajisi sesuatu, kecuali apabila berubah rasa, warna,

baunya.” (Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi)

Sabda Rasulullah Saw :

)‫(رواه الخمسه‬ .‫ان ْال َما ُءقُلَّتَي ِْن لَ ْم يُنَ ِّج ْسهُ َش ْي ٌء‬
َ ‫اِ َذا َك‬
“Apabila air cukup dua kulah,tidaklah di najisi oleh suatu apa

pu.” (Riwayat Lima Ahli Hadis)

4. Air yang suci lagi menyucikan yang makruh dipakainya

Yaitu air yang terjemur di terik matahari (dalam wadah yang suka

berkarat. Seperti : besi,timah, kaleng dsb, kalau sudah dingin lagi tak

makruh.7

Rasulullah SAW bersabda :

‫صلَّى‬ ِ ‫ف ال َّش ْم‬


َ َ‫س فَق‬
َ ‫ال‬ ِ ‫ت َما ًء‬ ْ َ‫ض َى هللاُ َع ْنهَااَنَّهَا َس َّخن‬ ِ ‫َع ْن َعائِ َس ِة ِر‬
‫(رواه‬ .‫ص‬ َ ‫ث ْالبَ َر‬ ُ ‫يَا ُح َمي َْرا ُء فَاِنَّهُ ي ُْو ِر‬ ‫هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لَهَااَل تَ ْف َعلِى‬
)‫البىهقى‬
“Dari Aisyah. Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada

cahaya matahari, maka Rasulullah SAW berkata kepadanya. "Janganlah


6
Banyak air dua kulah adalah: kalau tempatnya empat persegi panjang, maka
panjangnya 1 ¼ hasta, lebar 1 ¼ hasta. Kalau tempatnya bundar, maka garis tengahnya 1 hasta,
dalam 2 ¼ hasta, dan keliling 3 1/7 hasta.
7
Moch Anwar,Fiqih islam tarjamah matan taqrib, Bandung: Pt Alma’rif, 1991, Hal 15
engkau berbuat demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu

dapat menimbulkan penyakit sopak." (Riwayat Baihaqi).  8

C. Macam-macam najis dan tata cara menyucikan najis

Untuk najis-najis berupa darah , nanah, luka infeksi, nanah bisul

dan muntah dapat di hilangkan tempat yang terkena najis itu dengan

mencucinya satu kali dengan air. Jika hilang najis tersebut, maka tempat

tersebut telah (bersih). Bila dicuci tiga kali, maka lebih baik dan lebih

utama.

Adapun air yang dibolehkan untuk bersuci harus memenuhi syarat

bahwa air tersebut tidak berubah dari tekstur aslinya, yaitu air yang jernih

dan mengalir. Oleh karena itu, bila air berubah dari keadaan jernih

menjadi keruh, maka tidak baik dijadikan sebagai salah satu alat untuk

bersuci.

Rasulullah SAW bersabda :

ٍ ‫أَيُّ َما إِهَا‬.


َ ‫ب ُدبِ َغ فَقَ ْد‬
‫طه َُر‬
“Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah menjadi

suci.” (Hadits dari Ibnu Abbas)

Kecuali kulit anjing, babi, atau keturunan dari keduanya, atau

keturunan salah satu dari keduanya dengan hewan yang suci, maka

kulitnya tidak suci walaupun disamak. Adapun hewan-hewan potong yang

boleh dimakan, maka kulitnya adalah suci.9

8
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Hal 14-16
9
Syaikh Abbas Kararah, Shalat menurut empat madzhab, Jakarta: Pustaka Azam, 2003,
Hal 24-25
Untuk melakukan kaifiat/mencuci benda yang kena najis, terlebih

dahulu akan diterangkan bahwa najis terbagi atas tiga bagian:

1. Najis mugallazah/berat, yaitu anjing. Benda yang kena najis ini,

hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali daripadanya hendaklah airnya

dicampur dengan tanah.

Sabda Rasululloh SAW :

ُ‫ طَه ُْو ُراِنَا ِءاَ َح ِد ُك ْم اِ َذا َولَ َغ فِ ْي ِه ْال َك ْلب‬: ‫ص َّل هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬َ ‫ال النَّبِ ُّي‬َ َ‫ق‬
ِ ‫ت اَ ْواَل هُ َّن بِالتُّ َرا‬
‫ب‬ ٍ ‫اَ ْن يَ ْغ ِسلَهُ َس ْب َع َمرَّا‬
“Cara mencuci bejana seseorang dari kamu, apabila dijilati

anjing hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah

dicampur dengan tanah.” (Riwayat Muslim)

2. Najis mukhaffafah/ringan, seperti kencing anak laki-laki yang belum

makan makanan selain susu. Kaifiat/mencuci benda yang kena najis ini

dengan memercikkan air atas benda itu meskipun tidak mengalir.

Adapun kencing anak-anak perempuan yang belum makan selain susu,

kaifiat mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir di atas

benda itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, sebagaimana mencuci

kencing orang dewasa.

Sabda Rasulullah SAW :


‫ص ِغي ٍْر لَ ْم يَأْ ُك ِل اطَّ َعا َم فَاَجْ لَ َسهُ َرس ُْو ُل‬ ‘ْ ‫س َجا َء‬
َ ‫ت ِباِب ٍْن لَهَا‬ ٍ ‫اِ َّن اُ َّم قَ ْي‬
ُ‫ض َحه‬ َ َ‫ص َّل هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِى حُجْ ِر ِه فَب‬
َ َ‫ال َعلَ ْي ِه فَ َد َعا بِ َما ٍء فَن‬ َ ِ‫هللا‬
ُ‫َولَ ْم يَ ْغ ِس ْله‬
“Sesungguhnya Ummu Qais telah datang kepada Rasulullah

SAW beserta anaknya laki-laki kecil yang belum makan makanan

selain susu. Sesampainya didepan Rasulullah beliau dudukkan anak itu

dipangkuan beliau, kemudian dikencinginya, lalu beliau meminta air,

lantas beliau percikkan air itu pada kencing kanak-kanak tadi, tetapi

beliau tidak membasuh kencing itu.” (Riwayat Bukhari 223 dan

Muslim)

Sabda Rasulullah SAW :

ُ ‫صلَّى هَّللا‬
َ ِ ‫قال َرس ُْو ُل هَّللا‬
َ : ‫ال‬ َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ق‬
ِ ‫ح َر‬ ِ ‫َو َع ْن أَبِي ال ّس ْم‬
ِ ‫ ((يُ ْغ َس ُل ِم ْن بَ ْو ِل ْال َج‬: ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ِ ‫ وي َُرشُّ ِم ْن بَ ْو ِل ال ُغ‬،‫اريَ ِة‬
.))‫الم‬
‫ وصححه الحاك ُم‬،‫أخرجه أبو داود والنسائي‬

“Kencing anak-anak perempuan dibasuh dan kencing anak-

anak laki-laki diperciki.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa-i dan

telah di-shahih-kan oleh Al Hakim).

3.  Najis mutawassithah/sedang, yaitu najis yang lain daripada kedua

macam yang tersebut

a. Dinamakan najis hukmiah/najis yang tidak ada warna, rasa, dan

baunya, yaitu yang kita yakini adanya tetapi tidak nyata zat, bau, rasa

dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga

sifat-sifatnya telah hilang. Cara mencuci najis ini cukup dengan

mengalirkan air diatas benda yang kena itu.


b. Najis ‘ainiyah/najis yang ada warna, bau atau rasanya, yaitu yang

masih ada zat, warna, rasa, atau baunya, terkecuali warna atau bau

yang sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara mencuci

najis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, warna dan

baunya.10

D. Benda-benda yang termaksuk najis

Suatu barang (benda) menurut hokum aslinya adalah suci selama

tak ada dalil yang menunjukan bahwa benda itu najis. Benda najis itu

banyak diantaranya:

1. Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia.

Adapun binatang laut dan bangkai binatang darat yang tidak

berdarah ketika masa hidupnya seperti belalang serta mayat manusia,

semuanya suci.

Firman Allah Swt.: 

‘ْ ‘‫َع‘ لَ‘ ْي‘ ُك‘ ُم‘ ا‘ ْل‘ َم‘ ْي‘ تَ‘ ةُ‘ ُح‘ ‘ِّر َم‬
‘‫ت‬

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (Al-Maidah:3)

Adapun bangkai ikan dan binatang darat yang tidak berdarah

begitu juga mayat manusia, tidak masuk dalam arti bangkai yang umum

dalam ayat tersebut karena ada keterangan lain. Bagian bangkai, seperti

daging, kulit, tulang , bulu, urat dan lemaknya, semuanya itu najis menurut

mazhab Syafi’i. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, yang najis hanya

yang mengandung roh (bagian-bagian yang bernyawa) saja seperti daging

10
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Hal 21
dan kulit. Bagian-bagian tulang, kuku, tanduk dan bulu, semuanya suci.

Begitupun bagian-bagian yang tidak bernyawa dari anjing dan babi pun

tidak najis.

Dalil kedua mazhab tersebut adalah: mazhab pertama mengambil

dalil dari makna umum bangkai dalam ayat tersebut, karena bagian

tersebut tersusun dari bagian-bagian tersebut. Mazhab kedua beralasan

dengan hadis Maimunah.

Sabda Rasul Saw.:

َ َ‫اح ُر َم اَ ْكلُه‬
‫اوفِى ِر َوايَ ِة لَحْ ُمهَا‬ َ ‫اِنَّ َم‬

“Sesungguhnya yang haram ialah memakannya.” Pada riwayat

yang lain ditegaskan bahwa yang haran ialah “dagingnya” (Riwayat

Jamaaah ahli hadist).

Berdasarkan hadis ini mereka berpendfapat bahwa menurut

pengertian hadis tersebut selain dari daging tidaklah haram. Lagi pula

mazhab kedua ini berpendapat bahwa yang dinamakan bangkai itu adalah

bagian-bagian yang tadinya mengandung roh; bagian-bagian yang tadinya

tidak bernyawa tidak dinamai bangkai.

2. Darah
Segala macam darah itu najis selain hati dan limpa.
Firman Allah Swt:

‘ْ ‘‫َ‘و‘ لَ‘ ْ‘ح‘ ُم‘ ا‘ ْل‘ ِ‘خ‘ ْن‘ ِز‘ ي‘ ِر‘ ا‘ ْل‘ َم‘ ْي‘ تَ‘ ةُ‘ َو‘ ا‘ل‘ َّد‘ ُم‘ َع‘ لَ‘ ْي‘ ُك‘ ُم‘ ُح‘ ِّر‘ َم‬
‘‫ت‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging

babi.” (Al-Maidah:3)

Sabda Rasul saw.:

‫ك َو ْال َج َر ُد َو ْال َكبِ ُد َوالطِّ َحا ُل‬


ُ ‫ اَل َّس َم‬: ‫ان‬ ‘ْ َّ‫اُ ِحل‬
ِ َ‫ت لَنَا َم ْيتَت‬
ِ ‫ان َو َد َم‬
“Telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam

darah: ikan dan belalang, hati dan limpa.” (Riwayat Ibnu Majah)

Dikecualikan juga darah yang tertinggal di dalam daging binatang

yang sudah di sembelih, begitu juga darah ikan. kedua macam darah ini

suci atau dimaafkan, artinya diperbolehkan atau dihalalkan.

3. Nanah

Segala macam nanah itu najis, baik yang kental maupun yang

cair, karena nanah itu merupakan darah yang sudah busuk.

4. Segala benda cair yang keluar dari dua pintu (dua pintu tempat buang

air kecil dan air besar)

Semua itu najis selain dari mani (Mani diwajibkan untuk mandi),

baik yang biasa -seperti tinja, air kencing- ataupun yang tidak biasa,

seperti mazi (mazi adalah cairan yang keluar dari kemaluan laki-laki ketika

ada syahwat yang sedikit, iya hanya mengambil air wudhu saja), baik dari

hewan yang halal dimakan ataupun yang tidak halal dimakan.

Sabda Rasulullah SAW :

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لَ َّما ِجى َءلَهُ بِ َح َج َري ِْن َو َر ْوثَ ٍة لِيَ ْستَ ْن ِجى بِهَا‬َ ُ‫اِنَّه‬
ٌ‫ال هَ ِذ ِه ِر ْكس‬
َ َ‫الح َج َر ْي ِن َو َر َّدالر َّْوثَةَ َوق‬
َ ‫اَ َخ َذ‬
"Sesungguhnya Rasulullah SAW diberi dua biji batu dan sebuah

tinja keras untuk dipakai istinja'. Beliau mengambil dua batu saja,

sedangkan tinja, beliau kembalikan dan berkata, "Tinja itu

najis." (Riwayat Bukhari).

Sabda Rasulullah SAW :

‫ال ااْل َ ْع َرابُ فِى ْال َمس ِج ِد‬


َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِحي َْن ب‬
َ ‫ال النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ق‬
‫صب ُّْوا َعلَ ْي ِه ُذنُ ْوبًا ِمن َما ٍء‬َ
"Ketika orang Arab Badui buang air kecil di dalam masjid, beliau

bersabda,"Tuangilah olehmu tempat kencing dengan setimba

air." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Sabda Rasulullah SAW :

ِ‫ْت اَ ْن اَسْأ َ َل َرس ُْو َل هللا‬ُ ‫نت َر ُجاًل َم َّذا ًء فَا ْستَحْ يَي‬ ُ ‫ ُك‬: ‫ال‬ َ َ‫َع ْن َعلِ ٍّى ق‬
َ َ‫ت ْال ِم ْق َدا َد فَ َسأَلُهُ فَق‬
ُ‫ال يَ ْغ ِس ُل َذ َك َره‬ ُ ْ‫ص َّل هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَأ َ َمر‬َ
ُ ‫َويَتَ َوضَّأ‬
"Dari Ali. Ia berkata, "Saya sering keluar mazi, sedangkan saya

malu menanyakannya kepada Rasulullah SAW. Maka saya suruh Miqdad

menanyakannya. Miqdad lalu bertanya kepada beliau. Jawab beliau,

"Hendaklah ia basuh kemaluannya dan berwudhu." (Riwayat Muslim)

5. Arak, Setiap minuman keras yang memabukkan

Firman Allah SWT :

‫ان‬
ِ ‫ط‬ َ ‫اِنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َمي ِْس ُر َوااْل َ ْن‬
َ ‫صابُ َوااْل َ ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِّم ْن َع َم ِل ال َّش ْي‬
"Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk)

berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk

perbuatan setan." (Al-Maidah : 90)

6. Anjing dan babi

Semua hewan suci, kecuali anjing dan babi.

Rasulullah SAW bersabda :

ٍ ‫اولَ َغ فِ ْي ِه ْال َك ْلبُ اَ ْن يَ ْغ ِسلَهُ َس ْب َع َمرَّا‬


‫ت اَ ْواَل هُ َّن‬ َ ‫طَه ُْو ُراِنَا ِءاَ َح ِد ُك ْم اِ َذ‬
ِ ‫بِالتُّ َرا‬
‫ب‬
"Cara mencuci bejana seseorang dari kamu apabila dijilat anjing,

hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan

tanah." (Riwayat Muslim).

Cara mengambil dalil dengan hadis tersebut ialah, dalam hadis ini

kita disuruh mencuci bejana yang dijilat anjing. Mencuci sesuatu

disebabkan tiga perkara : (1) karena hadas,  (2) karena najis, (3) karena

kehormatannya. Di mulut anjing sudah tentu tidak ada hadas, tidak pula

kehormatan. Oleh sebab itu, pencuciannya hanya karena najis. Babi

dikiaskan (disamakan) dengan anjing karena keadaannya lebih buruk

daripada anjing.

Firman allah swt :

‘ُ‫ط‘ َع‘ ُم‘‘‘‘ ه‬ ْ ‘َ‫ط‘ ا‘ ِع‘ ٍ‘م‘ ي‬


َ ‘‫ي‘ ُم‘ َ‘ح‘ َّر‘ ًم‘ ا‘ َع‘ لَ‘ ٰ‘ى‬ ‘َ ‘‫قُ‘ل‘ اَل أَ‘ ِج‘ ُد‘ فِ‘ ي‘ َم‘ ا‘ أُ‘و‘ ِ‘ح‬
َّ ‘َ‫ي‘ إِ‘ ل‬
‘ُ‫إِ‘ اَّل أَ‘ ْ‘ن‘ يَ‘ ُك‘ و‘ َ‘ن‘ َم‘ ْي‘ تَ‘ ةً‘ أَ‘ ْ‘و‘ َد‘ ًم‘ ا‘ َم‘ ْ‘س‘‘ فُ‘و‘ ًح‘ ا‘ أَ‘ ْ‘و‘ لَ‘ ْ‘ح‘ َم‘ ِخ‘ ْن‘ ِز‘‘ي‘‘ ٍر‘ فَ‘ إِ‘نَّ‘ ه‬
‘ٍ‫‘ض ‘ طُ‘ َّر‘ َغ‘ ْي‘‘ َر‘ بَ‘‘ ا‘غ‬ ‘ْ ‫س‘ أَ‘ ْ‘و‘ فِ‘ ْس‘ قً‘ ا‘ أُ‘ ِه‘ ل‘َّ‘ لِ‘ َغ‘ ْي‘ ِر‘ هَّللا ِ‘ بِ‘ ِه‘ فَ‘ َم‘ ِ‘ن‘ ا‬ ‘ٌ ‘‫ِر‘ ْ‘ج‬
‘‫ك‘ َغ‘ فُ‘و‘ ٌر‘ َر‘ ِح‘ ي‘ ٌم‬ ‘َ ‘َّ‫َ‘و‘ اَل َع‘ ا‘ ٍد‘ فَ‘ إِ‘ َّن‘ َر‘ ب‬
Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang

diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak

memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang

mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau

binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang

dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak

(pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun

lagi Maha Penyayang". (Qs. Al-An-am: 145)11

7. Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selagi hidup

Hukum bagian-bagian binatang yang diambil selagi hidup ialah

seperti bangkainya. Maksudnya, kalau bangkainya najis, maka yang

dipotong itu juga najis. Kalau yang bangkainya suci, yang dipotong

sewaktu hidupnya pun suci pula, seperti yang diambil dari ikan hidup.

Dikecualikan bulu hewan yang halal dimakan, hukumnya suci.

Firman Allah Swt.:

‘‫ارهَٓااَثَاثًا‬
ِ ‫بارهَا َواَ ْش َع‬
ِ ‫اواَ ْو‬
َ َ‫َو ِم ْن اَصْ َوا فِه‬
"Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta, dan bulu

kambing, alat-alat rumah tangga." (An-Nahl : 80)

Semua najis tidak dapat dicuci, kecuali arak.Jika ia sudah menjadi

cuka dengan sendirinya, maka ia menjadi suci apabila cukup syarat-

syaratnya. Begitu juga kulit bangkai, dapat menjadi suci dengan cara

disamak.12

11
Abu Malik Kamal ibnu as-Sayyid Salim, Fiqih sunnah Waninta(terj), Depok: Madina
Pustaka, 2011 Hal 7
12
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Hal 16-20
E. Adab Buang Air Kecil dan Besar

1. Sunat Mendahulukan kaki kiri ketika masuk kakus, dan mendahulukan

kaki kanan, tatkala keluar; sebab sesuatu yang mulia hendaklah dimulai

dengan kanan, dan sebaliknya setiap yang hina dimulai dengan kiri.

2. Janganlah berkata-kata selama di dalam kakus itu, kecuali berdoa dikala

masuk kakus, sebab apabila Rasulullah saw. Masuk kakus, beliau

mencabut cincin beliau yang berukir Muhammad Rasulullah. (riwayat

Ibnu Hibban)

3. Hendaklah memakai cepatu, terompah, atau sejenisnya, karena

Rasulullah Saw, apabila masuk kakus, beliau memakai cepatu.

(Riwayat Baihaqi)

4. Hendaklah Jau dari orang sehinga bau kotoran tidak sampai kepadanya,

supaya jangan menggangu orang lain.

5. Jangan berkata-kata selama di dalam kakus, kecuali apabila ada

keperluan yang sangat penting yang tidak dapat di tanguhkan, sebab

Rasulullah Saw. Melarang yang demikian. (Riwayat Hakim)

6. Jangan buang air kecil atau besar di air yang tenang, kecuali apabila air

tenang itu banyak menggenangnya, seperti tebat; sebab Rasulullah Saw.

Melarang kencing di air tenang. (Riwayat Muslim)

7. Jangan buang air kecil (kencing) di lubang-lubang tanahkarena

kemungkinan ada binatang yang akan tersakiti dalam lubang itu, dan

Rasulullah Saw. Melarang yang demikian. (Riwayat Abu Dawud)

8. Jangan buang air kecil dan besar di tempat pemberhentian, karena

mengganggu orang yang berhenti.13

13
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Hal 23
9. Tidak buang air kecil di tempat mandi, tidak juga di air yang tidak

mengalir, atau bahkan di air yang mengalir. Abdullah bin Mugaffal r.a.

menceritakan bahwa Rasulullah saw, berkata,

“Janganlah salah seorang dari kalian buang air kecil di tempat

pemandiannya, lalu ia berwudhu di sana karena keragu-raguan (rasa

waswas) muncul dari tempat itu”

Jabir r.a juga menceritakan bahwa Rasulullah saw. Melarang seseorang

untuk buang air kecil di air yang tidak mengalir. Sementara itu Ibnu

Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Melarang seseorang

untuk buang air kecil di air yang mengalir.

10. Tidak buang air kecil sambil berdiri karena hal itu bertentangan

dengan etika, sopan-santun, dan adat istiadat . Hal itu juga bisa

menyebabkan percikan-percikan dari air kencing menyebar. Jika tidak

ada kekhawatiran atas hal itu, maka seseorang boleh saja buang air

kecil sambil berdiri . Aisyah r.a berkata “Janganlah percaya kepada

orang yang mengatakan bahwa Rasulullah buang air kecil sambil

berdiri. Rasulullah saw. Tidak pernah buang air kecil, kecuali sambil

duduk. “Tirmidzi mengatakan bahwa perkataan Aisyah ini merupakan

dalil yang paling kuat dalam persoalan ini, Aisyah berbicara dengan

berdasar kepada sesuatu yang di ketahui. Apa yang di katakana oleh

Aisyah tidak bertentangan dengan riwayat Hudzaifah r.a ia berkata

“Rasulullah saw. Mendekati gundukan tanah dan buang air kecil

sambil berdiri. Aku mendekat, beliau berkata,

‫قريبا‬
“Mendekatlah”
Kemudian akan mendekati beliau hingga tiba di depan beliau.

Lalu beliau berwudhu dan mengusap kedua khuf (sepatu musim

dingin) beliau. Imam Nawawi mengatakan, “buang air kecil sambil

duduk lebih aku suka dari pada buang air kecil sambil berdiri, meski

keduanya sama-sama di perbolehkan. Keduanya sama-sama dilakukan

oleh Rasulullah saw.

11. Membersihkan diri setelah buang air dengan batu atau benda yang

sejenis dengan itu; benda padat yang suci dan bisa menghilangkan

najis, serta bukan benda yang dimuliakan. Selain itu, memberishkan

diri setelah buang air juga dapat di lakukan dengan air. Aisyah r.a.

menceritakan bahwa Rasulullah bersabda :

َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬


‫إِ َذا‬:‫ال‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ض َي هللاُ َع ْنهَا أَ َّن النَب‬
ِ ‫َع ْن َعائِ َشةَ َر‬
ُ‫ئ َع ْنه‬ ُ ‫ فَاِنَّهَا تُجْ ِز‬،‫ار‬ ٍ ‫ فَ ْليَ ْذهَبْ بِثَالَثَ ِة أَحْ َج‬،‫ب اَ َح ُد ُك ْم إِلَى ْال َغائِ ِط‬
َ َ‫َذه‬
)‫– (رواه أبو داود‬
“Jika salah seorang dari kalian hendak buang air besar,

maka bersucilah dengan tiga batu, dan itu sudah cukup”

Anas r.a. juga menceritakan bahwa Rasulullah saw, pergi

kekamar kecil dan aku bersama seorang anak sebayaku membawakan

seember air untuknya. Lalu beliau membersihkan diri dengan air itu.

12. Tidak bersuci dengan tangan kanan karena untuk menjaga tangan itu

dari kotoran. Abdurrahman bin Zaid menceritakan, “Suatu ketika

Salman ditanya, ‘Nabi kamu telah mengerjakan segala hal, termasuk

kotoran,’ Kata Salman, ‘Benar. Beliau melarang kami untuk

menghadap kiblat ketika buang air, bersuci dengan tangan kanan,


bersuci dengan paling sedikit tiga batu, tidak bersuci dengan benda

najis, atau dengan tulang.”Hafshah r.a menceritakan bahwa

Rasulullah saw, makan, minum, mengenakan pakaian, memberi atau

menerima sesuatu dengan tangan kanan. Sementara itu, tangan kiri di

pakai untuk melakukan sesuatu yang lain.

13. Mengusap tangan dengan tanah usai bersuci, atau membilasnya

dengan sabun dan sejenisnya. Hal itu di maksudkan untuk

menghilangkan bau yang tidak sedap, Abu Hurairah r.a. berkata,

“Setiap kali Rasulullah saw, hendak buang air, aku membawakan

beliau air dalam wadah besi atau kulit. Beliau bersuci dengan air itu ,

lalu beliau membasuh tangan beliau dengan tanah.

14. Membilas kemaluan dan celana (pakaian) dengan air setelah buang air

kecil. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan rasa waswas. Jika

kemudian seseorang menemukan sesuatu yang basah, ia bisa berkata,

“Jika Rasulullah saw, buang air kecil, beliau lalu berwudhu dan

menyirami (pakaian) beliau dengan air. Riwayat lain menyebutkan

bahwa Rasulullah saw, menyirami kemaluan beliau usai buang air

kecil. Ibnu Umar juga melakukan hal yang serupa usai buang air kecil

hingga pakaianya basah.14

14
Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Hal 43-46
III.PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Thaharah menurut arti bahasa adalah bersih dan suci dari kotoran atau

najis hissi (yang dapat terlihat) seperti kencing atau lainnya, dan najis

ma’nawi (yang tidak kelihatan zatnya) seperti aib dan maksiat.

2. Pembagian Air Bersuci

a. Air yang suci dan mensyucikan

Air yang demikian boleh diminum dan sah dipakai untuk menyucikan

(membersihkan) benda yang lain.

b. Air suci, tetapi tidak menyucikan

Menurut ulama hanafi, air ini dapat menghilangkan najis dari pakaian

dan badan, tetapi tidak dapat menyucikan hadats

c. Air yang bernajis

Air yang termaksuk bagian ini ada dua macam:

1. Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis.

2. Air bernajis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya.

d. Air yang suci lagi menyucikan yang makruh dipakainya

Yaitu air yang terjemur di terik matahari (dalam wadah yang suka

berkarat. Seperti : besi,timah, kaleng dsb, kalau sudah dingin lagi tak

makruh

3. Macam-macam najis

a. Najis mugallazah/berat, yaitu anjing. Benda yang kena najis ini,

hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali daripadanya hendaklah airnya

dicampur dengan tanah.


b. Najis mukhaffafah/ringan, seperti kencing anak laki-laki yang belum

makan makanan selain susu. Kaifiat mencuci benda yang kena najis

ini dengan memercikkan air atas benda itu meskipun tidak mengalir.

c. Najis mutawassithah/sedang, yaitu najis yang lain daripada kedua

macam yang tersebut

4. Benda-benda yang termaksuk najis yaitu Bangkai binatang darat yang

berdarah selain dari mayat manusia,Darah,Nanah,Segala benda cair

yang keluar dari dua pintu (dua pintu tempat buang air kecil dan air

besar),Arak; Setiap minuman keras yang memabukkan,Anjing dan babi

dan Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selagi hidup

5. Adab-adab buang air besar yaitu : Sunat Mendahulukan kaki kiri ketika

masuk kakus, dan mendahulukan kaki kanan, tatkala keluar, janganlah

berkata-kata selama di dalam kakus, hendaklah memakai cepatu,

hendaklah jau dari orang sehinga bau kotoran tidak sampai kepadanya,

jangan berkata-kata selama di dalam kakus, dan jangan buang air kecil

atau besar di air yang tenang,.

B. Saran

Dalam kehidupan sehari-hari tentu umat muslim tidak terlepas dari

thaharah atau bersuci yang didalamnya terdapat macam-macamnya, untuk

itu aplikasikan ilmu sesuai dengan syariat islam, dan tentunya

menyempurnakan ibadah kita terhadap Allah swt.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Moch,Fiqih islam tarjamah matan taqrib, Bandung: Pt Alma’rif, 1991,

Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu,Jakarta: Gema Insani,2010

Ibnu as-Sayyid Salim, Abu Malik Kamal Fiqih sunnah Waninta(terj), Depok:

Madina Pustaka, 2011

Kararah, Syaikh Abbas, Shalat menurut empat madzhab, Jakarta: Pustaka Azam,

2003

Masyhur, Kahar, Shalat wajib: Menurut madzhab yang empat, Jakarta: Pt Rineka

Cipta, 1995

Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Pt sinar baru Algensindo, 2016

Sayyid Sabiq, Muhammad, Fiqih Sunnah, Jakarta: Cempaka Putih,2011

Anda mungkin juga menyukai