Anda di halaman 1dari 14

KELOMPOK 1

Aprilia Sukarno Putri 53020210021

Ahmad Zakaria 53020210079

Tema : Bersuci (QS. Al-Maidah ayat 6 dan QS. An-Nisa ayat 43)

Pendahuluan

Bersuci, atau thaharah dalam istilah Al-Qur’an dan sunnah, merupakan salah satu
masalah penting yang mendapat perhatian serius dalam islam. Islam sangat mementingkan
kebersihan dan bersuci dengan sifatnya yang umum, baik menyangkut kebersihan fisik dan
tempat tinggal, maupun kesucian jiwa, pikiran dan lain sebagainya. Bahkan islam menjadikan
kebersihan dan kesucian sebagai salah satu persyaratan bagi kesahan atau diterima atau
ditolaknya suatu amal ibadah semisal shalat, puasa dan lain sebagainya. Dalam pandangan
islam, hampir semua kitab Hadist selalu memulai pembahasan awalnya dengan bab Thaharah
(bersuci) yang memaparkan ihwal bersuci. Diantaranya ialah masalah wudhu, mandi, tayamum
seperti yang terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 6 dan surah An- Nisa 43

Rumusan Masalah

• Apa kandungan yang terdapat dalam QS. Al-Maidah ayat 6 dan QS. An-Nisa ayat 43?
• Bagaimana penjelasan tafsir dari masing-masing surah ?
• Bagaimana keterkaitan antara kedua surah tersebut ?

Pembahasan

A. QS. Al-Maidah : 6
‫س ُح ْوا بِ ُر ُء ْو ِسكُ ْم َوا َ ْر ُجلَكُ ْم اِلَى‬ َ ‫ق َوا ْم‬ ِ ِ‫صلوةِ فَا ْغ ِسلُ ْوا ُو ُج ْو َهكُ ْم َوا َ ْي ِديَكُ ْم اِلَى ا ْل َم َرا ف‬ َّ ‫ٰۤيـاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ٰۤ ْوا اِذَا قُ ْمت ُ ْم اِلَى ال‬
َ ِ‫سفَر ا َ ْو َجا ٓ َء ا َ َحد ِم ْنكُ ْم ِمنَ ْالغَآئِطِ ا َ ْو ل َم ْست ُ ُم الن‬
‫سا ٓ َء‬ َ ‫على‬ َ ‫ضى ا َ ْو‬ ٰۤ ‫ط َّه ُر ْوا ۗ واِ ْن كُ ْنت ُ ْم َّم ْر‬
َّ ‫ْالـ َك ْعبَي ِْن ۗ َواِ ْن كُ ْنت ُ ْم ُجنُبًا فَا‬
َ
‫ع َل ْي ُك ْم ِم ْن َح َرج َّولـك ِْن‬ ٰ ُ‫س ُح ْوا ِب ُو ُج ْو ِه ُك ْم َوا َ ْي ِد ْي ُك ْم ِم ْنهُ ۗ َما ي ُِر ْيد‬
َ ‫ّللاُ ِل َي ْج َع َل‬ َ ‫ص ِع ْيدًا‬
َ ‫ط ِيبًا َفا ْم‬ َ ‫َف َل ْم ت َِجد ُْوا َما ٓ ًء َفت َ َي َّم ُم ْوا‬
َ‫علَ ْيكُ ْم لَعَلَّكُ ْم ت َ ْشكُ ُر ْون‬ َ ُ‫ي ُِّر ْيدُ ِلي‬
َ ‫ط ِه َركُ ْم َو ِليُتِ َّم نِ ْع َمت َه‬
Yaaa ayyuhallaziina aamanuuu izaa qumtum ilash-sholaati faghsiluu wujuuhakum wa
aidiyakum ilal-maroofiqi wamsahuu biru-uusikum wa arjulakum ilal-ka’baiin, wa ing
kungtum junubang faththohharuu, wa ing kungtum mardhooo au ‘alaa safarin au jaaa-
a ahadum mingkum minal-ghooo-ithi au laamastumun-nisaaa-a fa lam tajiduu maaa-
ang fa tayammamuu sho’iidang thoyyibang famsahuu biwujuuhikum wa aidiikum min-
h, maa yuriidullohu liyaj’ala ‘alaikum min harojiw wa laakiy yuriidu liyuthohhirokum
wa liyutimma ni’matahuu ‘alaikum la’allakum tasykuruun
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat,
maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah.
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan
(debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu
dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”

Asbabun Nuzul
Istri Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, berkata, “Suatu hari kami bepergian
bersama Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Sesampai di Baida’ atau Zat al-Jaisy,
tiba-tiba kalungku putus (dan jatuh). Rasulullah dan rombongan lalu menghentikan
perjalanan untuk mencari kalungku. Tempat itu jauh dari mata air, dan di saat yang
sama mereka tidak membawa bekal air. Beberapa orang kemudian mendatangi Abu
Bakar as-Siddiq dan mengadu, ‘Tidakkah kaulihat apa yang telah diperbuat 'A Bakar
segera mendatangiku; ketika itu Rasulullah sedang tidur sambil berbaring dan
meletakkan kepalanya di pangkuanku. Abu Bakar berkata, ‘Engkau telah memaksa
Rasulullah dan rombongannya menghentikan perjalanan di tempat yang jauh dari mata
air, di saat mereka tidak membawa bekal air.’ Abu Bakar menegurku dengan kata-kata
bernada marah. Ia pun menusuk pinggangku dengan jarinya. Meski geli, aku tetap
bergeming karena tidak ingin Rasulullah sallallahu‘alaihi wasallam yang sedang
meletakkan kepalanya di pangkuanku terbangun. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam
lalu bangun pada malam itu dan hingga pagi harinya beliau tidak menemukan air. Allah
lalu menurunkan ayat tayamum; dan mereka pun bertayamum.
Usaid bin Hudair berkata kepadaku, ‘Ini bukan berkahmu yang pertama, wahai
putri Abu Bakar!’ Karena hendak melanjutkan perjalanan, kami membangunkan unta
yang sejak semula aku tunggangi. Tiba-tiba di bawah badan unta itu kami temukan
kalung yang kami cari.”

Kandungan ayat

Surat Al Maidah ayat 6 terdiri dari dua pokok bahasan yaitu anjuran berwudhu
sebelum sholat dan yang kedua, anjuran bertayamum jika tidak menjumpai air. Wudhu
adalah keharusan bagi seorang Muslim sebelum mengerjakan ibadah sholat. Orang
yang mendirikan sholat tanpa berwudhu, maka sholatnya dianggap tidak sah. Sebab,
wudhu merupakan salah satu dari syarat sah sholat.
Ayat wudhu ini diawali dengan sebuah syarat yaitu “apabila kalian hendak
mendirikan salat” . Syarat ini mengandung makna “keinginan berbuat sesuatu yang
perbuatan. Tentu, perbuatan tersebut belum dilakukan. Lafaz faghsilu (membasuh)
artinya mengalirkan air ke atas sesuatu untuk menghilangkan kotoran yang di ada di
atasnya.1
Secara definitif. “muka” adalah bagian dahi teratas hingga dagu yang paling
bawah secara vertikal dan secara horizontal antara ujung telinga dengan ujung telinga
kiri dan kanan. Secara umum, Ayat ini menjelaskan tentang hukum wudhu dan
tayamum. Artinya bila orang-orang yang beriman hendak mendirikan salat sementara
mereka dalam keadaan berhadas maka hendaklah mereka membasuh anggota tertentu
itu dengan air yang suci. Anggota yang dimaksud adalah wajah, telapak tangan hingga
siku mengusap kepala, membasuh kedua kaki hingga dua mata kaki.
Apabila kalian menghadapi hadas besar maka mandilah dengan air sementara
bila dalam keadaan sakit, musafir, berhadas kecil atau hubungan biologis sementara
tidak mendapatkan air maka hendaklah anda bertayamum dengan debu yang suci.
Usaplah wajah kalian dan tangan kalian hingga siku. Allah Swt tidak menghendaki
kesulitan dalam pengamalan agama tetapi Allah menghendaki mensucikan kalian dari
dosa dan noda dari kotoran dan najis Dia menyempurnakan nikmatnya kepada kalian
dengan menjelaskan syariat Islam Agar kalian mensyukuri nikmat tersebut.

1
Kajian QS Pemahaman terhadap Al-Maidah Ayat, “Elaborasi Wudhu Dalam Perspektif Lawn Tafsir Al-Ahkam:
Kajian Pemahaman Terhadap QS. Al-Maidah Ayat 6,” TAFSE: Journal of Qur’anic Studies 6, no. 2 (December
2021): 253–67, https://doi.org/10.22373/TAFSE.V6I2.11325.
Munasabah ayat
Ada dua janji antara seorang hamba dengan robb : janji rubiyyah dan janji
ketaatan. Setelah Allah memenuhi janji yang pertama kepada Hamba, yaiu dengan
menjelaskan yang halal dan yang haram dalam makanan dan perkawinan, maka Allah
meminta kepada Hamba untu memenuhi janji yang kedua, yaitu janji ketaatan. Ketaatan
yang paling besar setelah keimanan adalah shalat. Shalat tidak akan sah kecuali dengan
besuci (Thaharah). Oleh karena itu Allah menyebutkan Fardhu wudhu. Abu Daud,
Ahmad, dan Baihaqi meriwayatkan dari Jabir dari Nabi saw. Beliau bersabda yang
artinya :” kunci surga adalah shalat, kunci shalat adalah bersuci”.

Tafsir ayat
Pada ayat ini Allah mengawali dengan panggilan kepada orang-orang yang
beriman. Ini merupakan dalil bahwa yang taat kepada Allah untuk melaksanakan wudu
adalah orang yang beriman. Banyak keutamaan yang akan didapatkan oleh orang yang
beriman ketika berwudu. Di antaranya adalah gugurnya dosa-dosa bersamaan dengan
luruhnya air wudu dari anggota tubuhnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis :
“Siapa yang berwudu dengan cara wuduku ini, lalu salat dua rakaat dan tidak
berbicara di antara keduanya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang
telah lalu.” HR Al-Bukhari no. 1934 dan Muslim no. 226.
Dalam Tafsir al-Qusyairi, ia mengatakan bahwa dalam syariat diterangkan tidak
akan sah salat tanpa bersuci atau tidak akan menjadi salat yang benar tanpa ada
thaharah. Menurutnya, thaharah itu ada dalam perspektif lahir dan juga ada dalam
perspektif bathin. Artinya mensucikan badan dengan air hujan dan mensucikan hati
dengan air penyesalan dan malu kepada Allah sama-sama harus diimplementasikan.
Sebagaimana adanya keniscayaan untuk membasuh wajah ketika anda membuka salat,
demikian halnya yang membasuh dua tangan dalam bersuci yang dituntut juga
mensucikan keduanya dari hal yang haram dan syubhat, perintah mengusap kepala itu
juga dituntut menghadirkan sifat takwa kepada setiap orang membasuh dua kaki itu
juga bermakna Suci batin dari berjalan pada hal-hal yang tidak diridhai Allah Swt.
Adapun perbedaan qiraat antara Nafi’ Ibnu Amir, al-Kisa’I dan Hafsh. Beliau
membaca dengan ‫وأر ُجلَكُم‬
ْ yakni nashab ( mengusap) sedangkan Ibnu kastir, Abu Amr,
dan Hamzah membaca dengan jar ‫( َوأ ْر ُج ِلكُم‬membasuh) sedangkan al-Walid bin Muslim
mweriwayatkan dari Nafi’ bahwa beliau membaca dengan ‫وأر ُجلُكُم‬
ْ ini adalah qira’a Al-
Hasan dan al-‘Amasy Sulaiman.
Karena perbedaan qirâ’ât inilah orang-orang yang membaca ‫وأر ُجلَكُم‬
ْ nashab
dengan mereka menjadikan ighsiluu (basulah) sebagai amilnya. Oleh karena itu mereka
berpendapat bahwa yang diwajibkan untuk kedua kaki adalah membasuh, bukan
menyapu. Ini adalah mazhab mayoritas ulama.2 inilah yang ditetapkan dari perbuatan
Nabi dan dipastikan dari sabdanya. Beliau pernah melihat kaum yang berwudhu namun
tumitnya masih kering kemudia beliau menyeru dengan suara lantang. “Dari Abdullah
bin ‘Amr , ia berkata, kami pernah tertinggal dari Rasulullah saw dalam suatu shafar.
Kami lalu menyusul beliau dan krtinggalan shalat yaitu shalat Ashar. Kami berwudhu
hanya bagian kaki diusap (tidak di basuh) lalu beliau memanggil suara keras dan
berkata “celakalah tumit-tumit itu, berupa api neraka. Sempurnakanlah oleh kalian
wudhu.” (HR. Muslim).
Adapun orang membaca firman dengan jar, mereka menjadikan huruf ba, dalam
kata biru’usikum sebagai amilnya. Ibu ‘Arabi berkata “Para ulama sepakat tentang
diwajibkannya membasuh kedua kaki.”
Selain itu, fardhu wudhu sebagaimana disebutkan dalam ayat 4 yang artinya :
Maka basuh lah muka mu dan tangan mu sampai dengan siku, dan sapu lah kepala mu
dan (basuh) kaki mu sampai dengan kedua mata kaki. Yaitu :
1. Membasuh muka, yaitu mulai dari rambut sebelah muka atau dahi sampai
dengan dagu dan dari telinga kanan sampai telinga kiri.
2. Membasuh dua tangan dengan air bersih mulai dari ujung jari sampai dengan
siku.
3. Menyapu kepala, cukup menyapu sebahagian kecil dari kepala menurut Mazhab
syafi’i. (menurut Mazhab Maliki: Harus menyapu seluruh kepala ,menurut
Mazhab Hanafi : cukup menyapu seperempat kepala saja)
4. Membasuh kedua kaki mulai dari jari-jari sampai dengan dua mata kaki.
Kesemuanya itu dengan menggunakan air.3

2
Asna Fitria Ningsih, “Qirâ’ât Mutawatir Dan Pengaruhmya Dalam Tafsir Al-Qurthubi (Studi Analisis Surah Al-
Baqarah Ayat 184, 222, 233, Surah An-Nisa Ayat 19,43 Dan Surah Al-Maidah Ayat 6),” Institut Ilmu Al Quran
(IIQ) Jakarta, n.d.
3
Mirsan and Andi Abdul Hamzah, “PROBLEMATIKA WUDHU: (STUDI NASKAH TAFSIR AL-MUNIR KARYA
WAHBAH AL-ZUHAILI TERHADAP QS AL-MAIDAH/5: 6),” PAPPASANG 4, no. 1 (June 30, 2022): 93–110,
https://doi.org/10.46870/jiat.v4i1.198.
Setelah menjelaskan wajib menggunakan air dalam berwudhu dan mandi ketika
mau shalat, Allah menjelaskan bahwa kewajiban menggunakan air itu terikat dengan
dua hal: adanya air dan mampu menggunakan air tanpa menimbulkan bahaya. Jika
orang yang mau mengerjakan shalat dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan yang
tidak mendapatkan air, maka Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk
bertayammum lantaran hadast kecil dan hadast besar. . . . .dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamummlah dengan tanah
yang baik (besih); sapulah muka mu dan tanganmu dengan tanah itu.

Dalam ayat ini Allah menyebutkan 4 hal yang memperoleh tayamum :

1. Dalam keadaan sakit yang tidak bisa menggunakan air karena dikhawatirkan
akan memberatkan penyakit.
2. Dalam perjalanan yang tidak mendapatkan air (sebetulnya perjalanan itu tidak
dimaksud dalam ayat ini, karena biasanya dalam perjalanan orang sulit
mendapatkan air)
3. Dalam perjalanan berhadast kecil yang diungkapkan dengan kembali dari
tempat buang air (kakus)
4. Persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan, yang oleh Ali, Ibnu Abbas dan
lainnya dari kalangan sahabat, dan sebagian ulama fiqh diartikannya jima’ dan
oleh Umar dan Ibnu Mas’ud, dan sebagian ulama fiqh diartikan dengan
persentuhan kulit biasa.

Tayamum adalah dengan meletakkan telapak tangan kepada debu tanah yang
bersih lalu disapukan ke muka, kemudian meletakkan lagi kedua telapak tangan ke atas
debu bersih, lalu telapak tangan yang kiri menyapu tangan yang kanan mulai dari jari-
jari tangan terus kepergelangan tangan sampai dengan siku turun ke pergelangan tangan
lagi untuk menyempurnakan yang belum tersapu, sedangkan telapak tangan yang
sebelah kanan yang berisi debu di sapukan pula ke tangan sebelah kiri dengan cara yang
sama seperti menyapu tangan kanan. Demikian nabi bertayammum‫ز‬
B. An-Nisa : 43
ُ ‫َيا أ َ ُّيهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َال تَ ْق َر ُبوا الصَّالةَ َوأ َ ْنت ُ ْم‬
َ ‫سكارى َحتَّى ت َ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َوال ُج ُنبا ً ِإالَّ عا ِب ِري‬
‫س ِبي ٍل َحتَّى‬
‫ست ُ ُم النِسا َء فَلَ ْم ت َ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬
ْ ‫سفَ ٍر أ َ ْو جا َء أ َ َح ٌد مِ ْن ُك ْم مِ نَ ا ْلغائِطِ أ َ ْو ال َم‬
َ ‫سلُوا َوإِ ْن كُ ْنت ُ ْم َم ْرضى أ َ ْو عَلى‬ ِ َ ‫ت َ ْغت‬
ً‫غفُورا‬ َ ‫ع ُف ًّوا‬ َ َ‫َّللا كان‬ َ َّ َّ‫س ُحوا بِ ُو ُجو ِهكُ ْم َوأ َ ْيدِيكُ ْم إِن‬
َ ‫طيِبا ً فَا ْم‬
َ ً ‫صعِيدا‬ َ

“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu
dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula
(kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati
jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang
dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang
baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha
Pemaaf, Maha Pengampun”. Q.s An-Nisa (4) Ayat 43.

Mufradat
1. Pada kata ‫ست ُ ُم‬
ْ ‫ ال َم‬memiliki makna yang sama dengan kata massa. Dalam dua kata
ini memiliki 2 makna yaitu menyentuh dan mempergauli atau mencampuri.
2. Pada kata ً ‫صعِيدا‬
َ berasal dari kata sha’ada. Yang memiliki makna dasar
“terangkat” Ash-sha’id memiliki makna yaitu bimi yang agak tinggi. Adapun
pendapat ulama yang berbeda dalam memaknai kata sha’id yaitu As-syafi’i
“tanah yang mengandung debu” dan pemdapat ulama lain, menurut abu ishaq
yaitu permukaan bumi.
3. Pada kata ‫ عا ِب ِري‬yang berasal dari kata abara yang bermakna menyebrangi. Oleh
sebab itu kata abiri bermakna orang-orang yang menyebrangi jalan. Kemudian
juga dapat diartikan seorang musafir yang telah melewati banyak perjalanan.
dan adapula ulama yang memaknai dengan menyebrangi masjid.

Asbabun nuzul
Ayat ini muncul setelah menyatakan khamr sebagai haram. Ayat tersebut
diturunkan dalam konteks kejadian dimana seorang laki-laki meminum khamr
kemudian berdiri untuk memimpin shalat, menurut tafsir Imam al-Tafsir Qurtubi's Dia
menjadi mabuk karena khamr yang dia konsumsi, dan bacaannya ternyata tidak akurat.
Dia keliru saat membaca surah al-kafirun :
“katakanlah hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kalian
sembah, dan kami menyembah apa yang kalian sembah”.
Jika dilihat dari segi medis, psikologis dan ekonomi. Apabila dilihat dari bunyi
diatas maka anda berada dalam keadaan mabuk dalam praktek sholat, sholat merupakan
hal yang terpenting dalam islam. Nabi Muhammad SAW bersabda “shalat adalah tiang
agama”. Selain itu umar bin khattab menyampaikan kepada pekerjanya, “sesungguhnya
hal yang paling utama yang kalian lakukan untukku adalah shalat, dan barang siapa
yang menjaga shalatnya maka ia telah mengurus segala urusasn dan agamanya”. jika
mereka melewatkan shalat, akan lebih mudah baginya untuk meninggalkan semua
urusannya. Oleh karena itu sebagian ilmuan memandang seseorang yang berhenti shalat
dianggap sebagai seorang yang murtad.4

Munasabah ayat
َ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َال تَ ْق َربُوا الصَّالةَ َوأ َ ْنت ُ ْم سُكارى َحتَّى ت َ ْعلَ ُموا َما تَقُولُون‬
“ wahai orang-orang yang beriman, janaganlah kamu dekati shalat ketika kamu
sedang mabuk sehingga kamu mengetahui apa yang kamu katakan (sadar)”. Pecandu
alkohol tidak diizinkan untuk shalat, menurut Allah. Pembatasan ini tidak hanya
melarang sholat, tetapi juga menyatakan bahwa sholat yang diucapkan dalam keadaan
mabuk adalah batal. Ayat ini berhubungan langsung dengan larangan minum khamr,
sebagaimana tertera dalam sabab an-nuzul. Setelah kitab ini diturunkan, para sahabat
tetap meminum khamr, namun durasinya dibatasi agar mereka tidak mabuk saat shalat.
Akibatnya, orang masih bisa minum khamr setelah sholat Subuh karena mereka bisa
bangun dari mabuknya sebelum masuk waktu sholat zuhur. Hal yang sama berlaku
setelah sholat magrib, karena Anda mungkin terbangun dari mabuk Anda sebelum fajar
menyingsing. Setelah diturunkannya Surat Al-Ma'idah ayat 90-91, Khamr dilarang
sama sekali.5
‫سلُوا‬
ِ َ ‫سبِي ٍل َحتَّى ت َ ْغت‬
َ ‫َوال ُجنُبا ً إِالَّ عابِ ِري‬
“dan tidak pula orang yang sedang junub sehiingga kamu mandi kecuali orang
yang sedang dalam perjalanan”.

4
Hamidullah Mahmud, “Hukum Khamr Dalam Perspektif Islam,” MADDIKA : Journal of Islamic Family Law 1,
no. 1 (July 17, 2020): 28–47, https://doi.org/10.24256/MADDIKA.V1I1.1559.
5
Jurnal Pendidikan et al., “Larangan Sholat Bagi Orang Mabuk : Studi Penafsiran Ahkam Pada Q.S An-Nisa (4) :
43,” ANWARUL 2, no. 6 (December 30, 2022): 549–57, https://doi.org/10.58578/ANWARUL.V2I6.779.
Orang yang junub diperbolehkan shalat hanya setelah mandi. Namun, jika
seseorang bepergian dan tidak ada air, mereka masih diperbolehkan untuk sholat tanpa
mandi tetapi tayammum terlebih dahulu. Sebagian ulama mengklaim bahwa ayat ini
juga melarang orang memasuki masjid kecuali hanya sekedar lewat, selain larangan
shalat bagi yang sudah junub. Akibatnya, individu junub dapat memasuki masjid. Oleh
karena itu, tidak hanya dilarang untuk sholat, tetapi juga untuk memasuki masjid yang
merupakan tempat ibadah. Baris dari ayat “lataqrabush shalah” menyerukan hal
tersebut (jangan mendekati shalat). Oleh karena itu, tidak hanya orang yang mabuk dan
junub yang dilarang untuk shalat, tetapi juga dilarang memasuki tempat shalat.6
‫ست ُ ُم النِسا َء فَلَ ْم ت َ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬
ْ ‫سفَ ٍر أ َ ْو جا َء أَ َح ٌد ِم ْنكُ ْم ِمنَ ا ْلغائِطِ أ َ ْو ال َم‬
َ ‫َوإِ ْن كُ ْنت ُ ْم َم ْرضى أ َ ْو عَلى‬
َ ‫ع ُف ًّوا‬
ً‫غفُورا‬ َ َّ َّ‫س ُحوا ِب ُو ُجو ِهكُ ْم َوأ َ ْيدِيكُ ْم إِن‬
َ َ‫َّللا كان‬ ْ َ‫ط ِيبا ً ف‬
َ ‫ام‬ َ ً ‫صعِيدا‬
َ

“Orang yang mabuk, yang telah menyentuh lawan jenis, dan yang junub juga
dilarang shalat, kecuali mengikuti wudhu. Tayammum dapat digunakan sebagai tempat
wudhu jika tidak ada air atau jika ada air tetapi orang tersebut sakit dan tidak dapat
melakukannya karena sakit. Orang junub tidak perlu mandi jika tidak ada air;
sebaliknya, dia bisa berlatih tayammum. Serupa dengan ini, jika air tidak tersedia,
seorang musafir dengan sumber daya terbatas dapat melakukan tayammum di tempat
wudhu.” Ayat di atas tidak hanya menjelaskan bahwa tayammum diperbolehkan bagi
orang sakit dan orang yang bepergian tanpa udara, tetapi juga menonjolkan manfaat
tayammum. Beberapa ketentuan ini mengatur anggota tayammum, yaitu wajah dan dua
tangan, serta benda-benda yang berhubungan dengan tayammum. Hanya sya'id dan
thayyiban, sebagaimana ditentukan dalam ayat tersebut, yang diizinkan untuk
tayammum, menurut Al-Qur'an.
Seperti yang telah disebutkan dalam pengertian mufradat (kosa kata) di atas,
para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan istilah sya'idan.
Beberapa orang menerjemahkan istilah ini sebagai "bumi yang menyimpan debu".
Yang lain memahaminya untuk merujuk pada semua permukaan bumi, termasuk
daratan dan lautan. Mereka memiliki pemikiran yang berbeda tentang apa yang dapat
digunakan untuk tayammum berdasarkan pada bagaimana mereka memahami kata
tersebut secara berbeda. Tayammum menurut pendapat Abu Hanifah diperbolehkan
dengan menggunakan tanah, batu, atau bahan tanah lainnya. Dan menurut Imam Asy-

6
Ibid.
Syafi'i, tanah suci harus digunakan. Tayammum tidak sah jika tanahnya tidak
digunakan.
Sebagai akibat dari dalil di atas, perlu digarisbawahi bahwa surat An-Nisa' (4)
ayat 43 menjelaskan beberapa faktor yang jika diterapkan pada seseorang, melarangnya
untuk shalat. Ini termasuk mabuk, junub, hadas kecil, dan kontak dengan lawan jenis
yang bukan mahram. Jika seseorang telah mengalami salah satu dari empat pengalaman
di atas, dia tidak boleh shalat sampai dia sadar bagi yang mabuk, bersih bagi yang
junub, dan berwudhu bagi yang berhadas kecil dan telah lawan jenis.7

Tafsir ayat
Janganlah kalian melakukan shalat dalam keadaan mabuk, sehingga sebelum
melakukannya kalian benar-benar mengetahui apa yang akan dibaca dan dilakukan.
Yang demikian itu disebabkan keadaan mabuk tidak mungkin mendatangkan
kekhusyu’an ketundukan dan keberadaan bersama Allah dengan bermunajat dengn
kita-Nya, berzikir dan berdoa kepada-Nya.
Ini di arahkan kepada kaum muslimin sebelum mabuk agar mereka
menghindarkannya, apabila mereka bermaksud hendak melakukan shalat sehingga
mereka selalu berhati-hati lalu menghindarkannya di setiap waktu. Larangan ini
merupakan pendahuluan pengharaman mabuk secara tegas dan keras, sebab orang yang
takut bila datang waktu shalat, sedangkan dia dalam keadaan mabuk akan
meninggalkan “minum” sepenuh siang dan permulaan malam karena terpisah-pisahnya
waktu shalat yang lima waktu dan dalam tenggang waktu ini.8
Adapun larangan shalat dalam keadaan junub tidak mengandung larangan
berjunub sebelum shalat karena ia termasuk sunnah-sunnah fitrah. Itu hanya melarang
shalat dlam keadaan berjunub sampai mereka bersuci dengan mandi. Oleh karena itulah
hanya dikatakan junuban dan tidak dikatakan wa antum junuban.
Jangan kalian menghampiri mesjid dalam keadaan berjunub dalam keadaan
apapun, kecuali sekedar berlalu saja. Di riwayatkan bahwa bapak beberapa lelaki

7
Mohd Fazali et al., “Metodologi Pentafsiran HAMKA Terhadap Ayat-Ayat Hukum Dalam Tafsir Al-Azhar: The
Methodology of Quranic Exegesis by HAMKA on Jurisprudence Verses in Tafsir Al-Azhar,” Perspektif Jurnal
Sains Sosial Dan Kemanusiaan 9, no. 3 (December 6, 2017): 28–37,
https://ojs.upsi.edu.my/index.php/PERS/article/view/1764.
8
Muhammad ali al-shabuni, rawa-l’ul bayan tafsir ayat al-ahkam min al-qur’an (madinah, dar al-shabuni 1999)
hal 43
Anshar berada dimasjid, sedangkan mereka dalam keadaan junub dan tidak mempunyai
tempat berlalu kecuali dalam masjid itu. Maka, mereka diberi rukhshah dalam hal itu.
Nabi SAW tidak melarang supaya menutup pintu-pintu dan lubang-lubang angin,
kecuali pada akhir usianya; dan beliau hanya mengecualikan pintu kecil yang biasa
dilalui oleh Abu Bakar ra. Janganlah kalian melakukan shalat dalam keadaan berjunub
hingga kalian mandi, kecuali rukhshah yang diberikan kepada kalian, yakni sekedar
melalui masjid saja9.
Dengan penyakit, maksud adalah penyakit yang dikhawatirkan akan bertambah
dengan menggunakan air, seperti beberapa penyakit kulit dan luka, seperti cacar,
campak atau lain sebagainya. Safar (perjalanan) mencakup perjalanan jauh dan dekat.
Yang dimaksud ‘datang dari tempat buang air’ adalah berhadast kecil yang disebabkan
oleh keluarnya sesuatu dari salah satu diantara dua jalan, qubul dan dubur. Mula-
masatunisa’ : bercampur dengan istri.
Dalam keadaan-keadaan seperti ini (sakit, safar dan tidak mendapatkan air
sesudah mendapatkan air sesudah mempunyai hadast kecil yang mewajibkan wudhu
dan hadast besar yang mewajibkan mandi) hendaknya kalian berniat dan mencari
permukaan tanah yang suci dan bersih dari padanya, kemudian lakukanlah shalat.

KESIMPULAN
Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 6 menceritakan bahwa cara-cara
berwudhu. Dan apa saja ketentuan nya yang sesuai dengan kaedah yang ditentukan oleh
Allah SWT. Seperti:
1. Membasuh muka yaitu dari rambut sebelah muka atau dahi sampai dengan
dagu, dan dari telinga kanan sampai telinga kiri.
2. Membasuh kedua tangan dengan bersih mulai dari ujung jari sampai dengan dua
siku
3. Membasuh dua kaki mulai dari jari-jari samapi dengan dua mata kaki.
Initinya dalam setiap hendak shalat, umat di wajibkan untuk mensucikan diri terlebih
dahulu sebelum menghadap Allah swt. Dalam berwudhu ini juga ada berbagai macam
cara agar bisa mensucikan diri yang pertama dengan air, yang kedua bertayamum
dengan debu dan tanah yang bersih.

9
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa terjemaah tafsir Al-maraghi, (semarang:PT Karya toha putra, 1974) hal 22
Dalam Al-Qur’an surah An-Nisah ayat 43. Dapat disimpulkan bahwa:
1. Dilarang melakukan shalat dalam keadaan mabuk.
2. Orang sakit yang tidak boleh kena air, musafir, orang habis buang air besar, atau
buang air kecil bila tidak mendapatkan air untuk berwudhu maka ia boleh
bertayamum.
3. Orang yang buang air besar atau kecil bila tidak mendapatkan air untuk
bersucinya dapat menggunakan benda-benda suci yang bersih
DAFTAR PUSTAKA

Asna Fitria Ningsih, “Qirâ’ât Mutawatir Dan Pengaruhmya Dalam Tafsir Al-Qurthubi (Studi
Analisis Surah Al-Baqarah Ayat 184, 222, 233, Surah An-Nisa Ayat 19,43 Dan Surah
Al-Maidah Ayat 6),” Institut Ilmu Al Quran (IIQ) Jakarta, n.d.

Fazali, Mohd, Abdul Manas, Abd Rahman, Abd Ghani, & Mohd, and Noor Daud.
“Metodologi Pentafsiran HAMKA Terhadap Ayat-Ayat Hukum Dalam Tafsir Al-
Azhar: The Methodology of Quranic Exegesis by HAMKA on Jurisprudence Verses
in Tafsir Al-Azhar.” Perspektif Jurnal Sains Sosial Dan Kemanusiaan 9, no. 3
(December 6, 2017): 28–37.
https://ojs.upsi.edu.my/index.php/PERS/article/view/1764.

Hamidullah Mahmud, “Hukum Khamr Dalam Perspektif Islam,” MADDIKA : Journal of


Islamic Family Law 1, no. 1 (July 17, 2020): 28–47,
https://doi.org/10.24256/MADDIKA.V1I1.1559

Jurnal Pendidikan et al., “Larangan Sholat Bagi Orang Mabuk : Studi Penafsiran Ahkam Pada
Q.S An-Nisa (4) : 43,” ANWARUL 2, no. 6 (December 30, 2022): 549–57,
https://doi.org/10.58578/ANWARUL.V2I6.779.

Kajian QS Pemahaman terhadap Al-Maidah Ayat, “Elaborasi Wudhu Dalam Perspektif Lawn
Tafsir Al-Ahkam: Kajian Pemahaman Terhadap QS. Al-Maidah Ayat 6,” TAFSE:
Journal of Qur’anic Studies 6, no. 2 (December 2021): 253–67,
https://doi.org/10.22373/TAFSE.V6I2.11325.
Mahmud, Hamidullah. “Hukum Khamr Dalam Perspektif Islam.” MADDIKA : Journal of
Islamic Family Law 1, no. 1 (July 17, 2020): 28–47.
https://doi.org/10.24256/MADDIKA.V1I1.1559.

Mirsan and Andi Abdul Hamzah, “PROBLEMATIKA WUDHU: (STUDI NASKAH TAFSIR
AL-MUNIR KARYA WAHBAH AL-ZUHAILI TERHADAP QS AL-MAIDAH/5:
6),” PAPPASANG 4, no. 1 (June 30, 2022): 93–110,
https://doi.org/10.46870/jiat.v4i1.198.

Pendidikan, Jurnal, Dan Dakwah, Safria Andy, Ghita Kinanti, Pratiwi Sembiring, ; Wildan,
and Hamdani Nasution. “Larangan Sholat Bagi Orang Mabuk : Studi Penafsiran
Ahkam Pada Q.S An-Nisa (4) : 43.” ANWARUL 2, no. 6 (December 30, 2022): 549–
57. https://doi.org/10.58578/ANWARUL.V2I6.779.

Anda mungkin juga menyukai