Anda di halaman 1dari 19

KAIDAH KEYAKINAN DAN DERIVASINYA

DISUSUN DALAM RANGKA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH AL-


QOWAID AL-FIQHIYYAH

Dosen Pengampu:

A. Samsul Ma’arif, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh:

Ahmad Bayu Fadhillah (175020500111007)

Gilang Kusuma Putra (175020501111005)

Deandra Rizky Aditya (175020507111018)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak sekali perkara – perkara fiqh yang dilandasi dengan kaidah keyakinan
tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kaidah ini memiliki kedudukan yang
cukup tinggi. Kaidah ini menjadi landasan dari berbagai permasalahan. Mulai dari
persoalan ibadah, muamalah, dan hal-hal yang berkaitan dengan hukuman bagi
pelaku kriminal yang biasa disebut dengan hudud. Dengan mempelajari kaidah ini
lebih dalam, maka kita bisa melihat kesempurnaan dari agama islam. Makna dari
kesempurnaannya adalah bahwa apabila kita benar-benar mengamalkan kaidah ini
pada perkara-perkara yang memang masih dalam koridornya, maka kita bisa
semakin yakin bahwa agama islam adalah agama yang membawa rahmat bagi
alam semesta.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana penjelasan cabang – cabang dari kaidah keyakinan?
1.3 Tujuan Penulisan’
a. Untuk memberikan penjelasan mengenai derivasi dari kaidah keyakinan
b. Untuk memberikan contoh-contoh dari kaidah keyakinan
c. Untuk membagi ilmu mengenai kaidah keyakinan

2
BAB II

ISI

A. Kedudukan Kaidah

Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung di dalam syariat Islam, dan banyak
permasalahan fikih yang dilandasi oleh kaidah ini. Kaidah ini meng-cover banyak
permasalahan, mulai dari masalah ibadah, muamalah, hingga hal-hal yang berkaitan
dengan hukuman bagi para pelaku kriminal atau yang dikenal dalam dunia fikih
dengan sebutan hudud.

Imam Suyuthi berkata, “Kaidah ini dapat diterapkan di semua bab-bab fikih, dan
permasalahan fikih yang dicakup kaidah ini mencapai tiga perempat permasalahan”
(Al-Asybah wan Nazhoir, hal.51)

Imam Nawawi berkata, “Kaidah ini merupakan kaidah yang umum (mencakup
banyak permasalahan), dan tidak keluar dari kaidah ini kecuali beberapa
permasalahan saja” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab juz.1 hal.258)

Kaidah ini juga menunjukkan kepada kita kesempurnaan agama Islam yang kita cintai
ini. Apabila kita menerapkan kaidah ini, maka kita akan semakin yakin bahwa Islam
adalah agama yang membawa rahmat bagi semesta alam, karena kita semua sadar
bahwa kehidupan kita tidak akan pernah terlepas dari kondisi yang disebut dengan
keraguan, yang mana dari keraguan ini dapat muncul was-was yang pada akhirnya
mengganggu kegiatan ibadah seseorang, terutama di dalam permasalahan taharah dan
salat. Akan tetapi Islam dengan segala kesempurnaannya memberikan jalan keluar
kepada umatnya, yaitu dengan adanya kaidah yang agung ini.

Imam Ibnu Abdil Bar berkata, “Para ulama sepakat bahwa barang siapa yang yakin
dia telah berhadas kemudian dia ragu-ragu apakah telah berwudu atau belum, maka
keraguannya ini tidaklah berfungsi sama sekali dan dia tetap wajib untuk berwudu
kembali. Hal ini menunjukkan bahwa ragu itu tidak dianggap menurut ulama sebab

3
yang menjadi ukuran adalah sesuatu yang meyakinkan. Ini merupakan pokok yang
sangat agung/esensial dalam permasalahan fikih.” (At-Tamhid juz.5 hal.27)

B. Makna Kaidah

ُ‫ اليَ ِقيْن‬secara bahasa adalah kemantapan hati, diambil dari kalimat bahasa Arab ُ‫يقن‬
‫الماء ُفي ُالحوض‬ “air itu tenang di dalam kolam”. Yakin juga dapat diartikan

dengan ilmu yang tidak ada keraguan di dalamnya. Adapun ‫الشك‬secara bahasa

artinya adalah keraguan. Maksudnya adalah keraguan dan kebimbangan terhadap dua
hal yang tidak bisa dikuatkan salah satu dari keduanya.

Jadi, makna kaidah diatas adalah:

“Bahwa suatu perkara yang diyakini telah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan dalil yang pasti dan meyakinkan. Dengan kata lain, tidak bisa dihilangkan
hanya dengan sebuah keraguan. Demikian pula sebaliknya, suatu perkara yang
diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi telah terjadi kecuali dengan dalil
yang meyakinkan pula.” (Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Al-Kubro oleh DR. Shalih bin
Ghanim As-Sadlan hal.101)

C. Dalil Kaidah

Kaidah ini dilandasi banyak ayat dalam Al-quran dan hadis Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, diantaranya:

Firman Allah Ta’ala:

‫ش ْيئًا‬
َ ُ‫ق‬ ْ َ‫َُّلُي ْغنِيُ ِمن‬
ِ ‫ُال َح‬ َّ ‫ظنًّاُإِ َّن‬
ُ َ ‫ُالظ َّن‬ َ ُ‫َو َماُيَتَّبِعُأ َ ْكثَره ْمُإِ ََّّل‬

4
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.”
(QS. Yunus: 36)

Firman Allah Ta’ala:

‫ُالظ ِنُإِثْ ُم‬


َّ ‫ض‬ َُّ َ‫اُمن‬
َ ‫ُالظ ِنُإِ َّنُبَ ْع‬ ِ ‫ير‬ً ِ‫واُاجتَنِبواُ َكث‬
ْ ‫يَاُأَيُّ َهاُالَّذِينَ ُآ َمن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari persangkaan,
sesungguhnya kebanyakan dari persangkaan itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12

Hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

ُ‫ش ْىءُأ َ ْمَُّلَُفَالَُ َي ْخر َج َّن‬ ِ ‫ش ْيئًاُفَأ َ ْش َك َلُ َعلَ ْي ِهُأَخ ََر َج‬
َُ ُ‫ُم ْنه‬ ْ ‫اُو َجدَُأ َ َحدك ْمُ ِفىُ َب‬
َ ُ‫ط ِن ِه‬ َ َ‫ِإذ‬
ِ َ‫ص ْوتًاُأ َ ْوُ َي ِجد‬
‫ُري ًحاُرواهُمسلم‬ ْ َ‫ِمن‬
َ ُ‫ُال َم ْس ِجدُِ َحتَّىُ َي ْس َم َع‬
Artinya: “Apabila salah seorang dari kalian merasakan sesuatu dalam perutnya,
kemudian dia kesulitan untuk memastikan apakah telah keluar sesuatu (kentut) atau
belum, maka janganlah dia keluar dari masjid (membatalkan salatnya) hingga dia
mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim: 362)

Hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

ُ‫سلَّ َم‬
َ ‫ُو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ُّللا ُ َعلَ ْي ِه‬ َ ُ ‫ع ْن ُ َع ِم ِه ُأَنَّه‬
َ ‫ش َكا ُ ِإلَى‬
َُّ ‫ُرسو ِل‬
َ ُ ِ‫ُّللا‬ َ ُ ‫َع ْن ُ َعبَّا ٍد ُب ِْن ُت َ ِم ٍيم‬
ُ‫َّل ُيَ ْنفَتِ ْل ُأ َ ْو ََُّل‬:
َ ‫ص َالةِ ُفَ َقا َل‬ َّ ‫الرجل ُالَّذِي ُي َخيَّل ُ ِإلَ ْي ِه ُأَنَّه ُيَ ِجد ُال‬
َّ ‫ش ْي َء ُفِي ُال‬ َّ
ِ َ‫ص ْوتًاُأ َ ْوُيَ ِجد‬
‫ُري ًحاُرواهُالبخاريُومسلم‬ َ ُ‫فُ َحتَّىُيَ ْس َم َع‬ َ ‫يَ ْن‬
ْ ‫ص ِر‬
Artinya: Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya berkata, “Bahwasanya ada seseorang
yang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia merasakan
seakan-akan ingin kentut di dalam salatnya. Maka Rasulullah bersabda, “Janganlah
dia membatalkan salatnya hingga dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR.
Bukhari: 137 dan Muslim: 361)

5
Hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

ْ َ‫صلَّى ُثَالَثًا ُأ َ ْم ُأ َ ْربَعًا ُفَ ْلي‬


َّ ‫ط َرحِ ُال‬
ُ‫ش َّك‬ َ ُ ‫إِذَا ُش ََّك ُأ َ َحدك ْم ُفِى‬
َ ُ ‫صالَتِ ِه ُفَلَ ْم ُيَ ْد ِر ُ َك ْم‬
ًُ ‫صلَّىُخ َْم‬
ُ‫سا‬ َ ُ ‫َو ْل َيب ِْن ُ َعلَىُ َماُا ْست َ ْيقَنَ ُث َّم ُيَ ْسجد‬
َ ‫س ْجدَتَي ِْن ُقَ ْب َل ُأ َ ْن ُي‬
َ ُ َ‫س ِل َم ُفَإ ِ ْن ُ َكان‬
ُ‫ان ُرواه‬
ِ ‫ط‬ َّ ‫صلَّى ُ ِإتْ َما ًما ُأل َ ْربَعٍ ُ َكانَتَا ُت َ ْر ِغي ًما ُ ِلل‬
َ ‫ش ْي‬ َ ُ َ‫ُو ِإ ْن ُ َكان‬ َ ُ ‫شفَ ْعنَ ُلَه‬
َ ‫صالَتَه‬ َ
‫مسلم‬
Artinya: “Apabila salah seorang dari kalian ragu-ragu dalam salatnya, sehingga dia
tidak tahu sudah berapa rakaat dia salat, maka hendaklah dia mengabaikan
keraguannya dan melakukan yang dia yakini kemudian hendaklah dia sujud dua kali
sebelum salam. Seandainya dia salat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa
menggenapkan salatnya, dan jikalau salatnya telah sempurna maka kedua sujud itu
bisa membuat setan marah dan jengkel” (HR. Muslim: 571)

Tidak hanya dalil-dalil dari Al-quran dan sunnah saja yang melandasi kaidah ini, akan
tetapi para ulama pun telah sepakat tentang penerapan kaidah ini. Imam Al-Qorofi
berkata: “Kaidah ini telah disepakati oleh para ulama, dan bahwasanya setiap hal
yang diragukan dianggap seperti tidak ada.” (Al-Furuq juz.1 hal.222)

D. Derivasi Kaidah
1. “Asal itu tetap sebagaimana semula, bagaimanapun keberadaannya.”

Maksud kaidah ini adalah bahwa asal atau pokok dari suatu perkara yang telah berada
pada kondisi tertentu dimasa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama
tidak ada dalil, bukti atau argumen lain yang bisa mengubahnya. Namun, sebagian
ulama memaknai kaidah ini bahwa dasar atau tolak ukur dalam memutuskan
persoalan yang baru adalah berdasarkan pada keputusan yang telah lalu. Akan tetapi,
jika putusan hukum yang telah berlaku sebelumnya bertentangan dengan kenyataan
yang sekarang atau bertentangan dengan syariat maka hukum tersebut tidak bisa
diteruskan, tetapi harus diperbaharui dengan hukum hasil ijtihad yang baru. Misalnya,

6
Jika pasangan suami istri sudah lama mengarungi bahtera rumah tangga. Kemudian
istri mengklaim bahwa suaminya tidak memberikan nafkah. Maka perkataan yang
dibenarkan adalah klaim istri selama tidak ada bukti dari suaminya. Dan sang istri
juga diharuskan bersumpah.

Kaidah tersebut cabang dari kaidah asal berikut;“Al Yakiinu La Yuzalu Bi Syak”
“Keyakinan Tidak Hilang dengan Keraguan”

‫“ اليَقِنَُّلَُيﺰَالُبِالشَّﻙ‬Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”

Kata yakin (‫ )يقين‬merupakan isim mashdar yang berasal dari ,‫يقن – ييقن – يقنا‬
yang bermakna ‫( األمر‬jelas dan pasti). ُ‫ اليَ ِقيْن‬secara bahasa adalah kemantapan hati

atas sesuatu,

adapun yang dimaksud dengan ُ‫ ال َي ِقيْن‬:

‫اليقين ُهو ُما ُكان ُثابتا ُبالنظر ُوالدليل‬ “Sesuatu yang menjadi tetap dengan

karena penglihatan atau dengan adanya dalil”

atau keteguhan hati yang bersandar pada dalil qath’i (petunjuk pasti).

Maksud yakin di sini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu obyek hukum
yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang
mantap atau persepsi yang kuat (dzan).

Sedangkan yang dimaksud (syak) ialah:

ُ‫الشك ُهو ُما ُكان ُمتردداُبين ُالثبوت ُوعدُمه ُمعُتساوي ُطرفي ُالصواب‬
‫والخطإُدونُترجيحُأحدهماُعلىُاألخر‬ “Sesungguhnya pertentangan

antara tetap dan tidaknya, di mana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran
dan kesalahan, tanpa ditarjihkan salah satunya”.

7
Jadi maksud kaidah ini ialah: apabila seseorang telah meyakini terhadap suatu
perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan
(hal-hal yang masih ragu-ragu). Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-
Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:

 Keragu-raguan yang berasal dari haram.


 Keragu-raguan yang berasal dari mubah.
 Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.

Dari uraian di atas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang
bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai

penjelasan lebih lanjut ‫( األصلُبراءةُالذمة‬hukum asal sesuatu itu adalah terbebas


seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu
yang terbebankan.

kondisi hati dalam 5 (lima) bagian sebagai berikut:

 Yaqin, yakni keteguhan hati yang bersandar pada dalil qath’i (petunjuk
pasti).
 I’tiqad, yakni keteguhan hati yang tidak bersandar pada dalil qath’i.
 Dzan, yakni persepsi atau asumsi hati terhadap dua hal berbeda, dimana
salah satunya lebih kuat.

Maksudnya, apabila salah satu dari dua hal ada yang dapat diunggulkan berdasarkan
dalil dan dalil tersebut bisa mengantarkan kepada kemungkinan yang lain, maka
disebut dzan (dugaan). Jika dugaan adanya kemungkinan makna lain itu hilang,
sehingga tidak ada interpretasi lain, maka disebut dzan al-ghalib (dugaan kuat).

Dzan al-ghalib (dugaan kuat) tingkatannya sama dengan al-yakin (yakin) dalam
tasyri’(pembentukan hukum). Dengan demikian, adanya dzan al-ghalib (dugaan kuat)
disini maka seseorang bisa terlepas atau terhindar dari adanya keragu-raguan.

8
Syak, yaitu sebentuk prasangka terhadap dua hal tanpa mengunggulkan salah satu
diantara keduanya.

ُُّ ‫ الش‬secara bahasa artinya adalah bimbang atau ragu-ragu. Maksudnya


Adapun kata ‫َك‬

adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa
memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah

ُُّ ‫الش‬.
satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan ‫َك‬

Dasar Hukum

Al-Quran (Yunus :36)

َّ ‫ش ْيئًاُ ِإ َّن‬
ُ‫ُّللاَ ُ َع ِليم ُ ِب َما‬ َ ُ‫ق‬ ْ َ‫يُمن‬
ِ ‫ُال َح‬ َّ ‫ظنًّاُ ِإ َّن‬
ِ ‫ُالظ َّن َُّلُي ْغ ِن‬ َ ُ‫َو َماُ َيتَّبِع ُأ َ ْكثَرهُ ْم ُ ِإَّل‬
َُ‫َي ْف َعلون‬
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka/dugaan saja,
sesungguhnya prasangka/dugaan tidak sedikit pun berguna menyangkut kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Adapun maksud kata ( ‫ ) ظن‬pada ayat di atas, dzan berarti dugaan baik yang sangat
kuat sehingga mendekati keyakinan maupun yang rapuh. Namun, pada umumnya ia
digunakan untuk menggambarkan dugaan pembenaran yang melampaui batas syak.

Kata (‫ ) شك‬syak (ragu) menggambarkan persamaan antara sisi pembenaran dan


penolakan. Harus dicatat bahwa sebagian besar hukum-hukum Islam berdasarkan
dzan, yakni dugaan yang melampaui batas syak (ragu). Sedikit sekali yang bersifat
qath’i atau pasti. Allah Subhanahu wa Ta’ala. mentoleransi hukum-hukum yang
ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, walaupun dalam batas “dugaan” yang
memiliki dasar. Dengan demikian, ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa orang
lebih banyak mengikuti dugaan dan mengingatkan orang yang ikut-ikutan tanpa

9
argumen yang jelas, sehingga diharapkan bisa menyadari lemahnya kepercayaan yang
dimiliki.

Hadis dari Rasulullah Saw. berbunyi:

ِ ‫ط ِن ِه ُشَيأ ً ُفَا َ ْش َك َل ُ َعلَ ْي ِه ُاَخ َر َج‬


ِ ‫ُمنه ُا َ ْم ََُّل ُفَ َال ُيَحر َج َّن‬
ُ َ‫ُمن‬ ْ ‫َو َجدَا َ َحدك ْم ُ ِفي ُ َب‬

ِ َ‫ص ْوتًاُاَو َي ِجد‬


‫ُري ًحا‬ َ ُ‫ال َم ْس ِجدُِ َحتىُ َي ْس َمع‬
“Apabila seseorang di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian
sanksi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar
masjid sehingga mendapatkan baunya”.

‫ُُماُثبتُباليقينَُّلُيرتفعُإَّلُباليقين‬
“segala sesuatu yang ditetapkan melalui hal yang sudah yakin dan pasti tidak bisa
dihilangkan kecuali dengan hal yang sudah yakin dan pasti.”

Contoh konkrit dari kaidah turunan ini ialah apabila seorang laki-laki yang
ragu tentang apakah ia sudah menceraikan istrinya atau belum, maka dihukumi
dengan tidak terjadinya thalaq atau cerai. Karena sesungguhnya pernikahan itu
ditetapkan dengan hal yang sudah yakin atau pasti. Maka pernikahan itu tidak bisa
dibatalkan kecuali dengan hal yang sudah yakin atau pasti juga. Contoh lain dari
kaidah ini adalah ketika seseorang telah berwudhu dan kemudian ia ragu apakah
wudhunya sudah batal atau belum karena buang angin atau hal lainnya, maka selama
ia ragu akan batalnya wudhu tersebut ia dianggap masih memiliki wudhu dan tidak
perlu memperbaharui wudhunya apabila waktu sholat selanjutnya telah tiba.

Hal di atas sudah sesuai dengan kaidah utama “al yaqiinu laa yazuulu bisy
syakk” karena hakikat keyakinan yang sama-sama diangkat secara eksplisit. Dalam
hal ini keraguan memang ditinggalkan apabila kita yakin pada suatu hal.

2. “Pada hakikatnya segala sesuatu yang tidak asli itu tidak ada”

10
Contoh dari pengertian kaidah fiqih di atas adalah ketika ada seorang yang membeli
mobil baru kemudian ia menemukan ‘aib atau cacat produksi pada mobil tersebut,
kemudian pada saat mobil dibawakan kepada penjual dan si penjual tidak mengakui
cacat pada mobil tersebut maka perkataan yang paling benar yang dijadikan pegangan
adalah perkataan si penjual sampai pembeli tersebut mendatangkan bukti cacat mobil
tersebut.

3. “ Segala sesuatu pada hakikatnya itu boleh”

Contoh pada turunan kaidah ini ialah ditujukan kepada hewan yang tidak jelas dalam
artian tidak disebutkan dalam Al-qur’an dan dari segi hukumnya. Dimisalkan pada
jerapah yang hukumnya menjadi boleh untuk dimakan menurut As-Suyuti.

4. “Hakikat dari kemaluan itu haram (terlindungi)”

Contoh dari kaidah turunan ini ialah apabila ada seorang laki-laki yang menceraikan
salah satu istrinya, namun pada suatu kondisi ia lupa istri yang mana yang ia
ceraikan, lalu ia menebak-nebak salah satu istrinya tersebut ia ceraikan tanpa adanya
keyakinan dalam dirinya, dan laki-laki tersebut menggauli istrinya yang lain maka hal
tersebut tidak diperbolehkan karena hakikat kemaluan itu terlindungi (haram dari
zina). Karena laki-laki tersebut masih ragu yang pada artinya menimbulkan
ketidakjelasan status yang bisa mengarah kepada zina.

5. “Perkiraan yang salah atau mengada-ada”

Andaikan ada orang yang tidak mengetahui arah kiblat untuk sholat itu di mana,
maka ia tidak boleh menebak arah kiblat secara sembarangan tanpa melakukan usaha
dan ijtihad untuk menentukan arah kiblat itu sendiri.

6. “kemungkinan yang muncul dari sebuah dalil yang sudah pasti dilalahnya itu
tidak dianggap.”

Apabila seseorang sedang sibuk dalam urusannya, kemudian ia tidak menyadari


waktu telah masuk waktu sholat dan terdengar suara adzan, lalu ia beranggapan dan

11
mengelak tentang kumandang adzan tersebut dengan alasan-alasan maka alasan yang
ia lontarkan tidak akan dianggap karena hakikat sebuah dalil itu pasti, bukan sebuah
kemungkinan.

7. Al ashlu baro’atu dzimmah “Pada dasarnya (seseorang) bebas dari tanggung


jawab (atas hak orang lain)”. Dalam bahasa Arab, al-ashlu memiliki
beberapa arti. Di antaranya yaitu dasar, pokok dan kaidah. Adapun al-
ashlu yang dimaksudkan di sini adalah kaidah asal yang terus berlaku.
Sementara bara`ah dalam bahasa Arab juga memiliki beberapa arti. Di antara
maknanya yaitu keselamatan dan terhindar dari suatu aib dan yang tidak
dinginkan. Bara`ah bisa juga berarti berlepas diri dan pemutusan hubungan,
sebagaimana yang terdapat pada awal surat at-Taubah.
Sedangkan dzimmah secara etimologi bermakna janji, pemberian keamanan, dan
pertanggungjawaban. Dalam terminologi ahli fikih, dzimmah dimaknai dengan
sifat syar’i pada seseorang yang dengannya ia memiliki ahliyyah (kecakapan)
mengurus haknya sendiri dan hak orang lain yang ada padanya. Secara lebih
detail, dzimmah mereka definisikan sebagai suatu ahliyyah yang dimiliki
manusia untuk mengemban suatu pertangungjawaban atas beberapa akad syar’i
atau pola transaksi yang terjadi antara ia dan orang lain.
Secara harfiyah, sebagaimana yang dicantumkan di atas, arti kaidah tersebut
adalah “pada dasarnya (seseorang) bebas dari tanggung jawab (atas hak orang
lain)”.
Adapun makna dari kaidah tersebut adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak
disibukkan dengan hak orang lain, atau tidak dibebani dengan hak orang lain,
kecuali bisa ditunjukkan bukti yang menyatakan sebaliknya. Hal ini karena setiap
manusia yang terlahir di dunia terbebas dari tanggung jawab apa pun terhadap hak
orang lain. Ia baru memiliki tanggung jawab terhadap orang lain manakala
terdapat bukti—baik secara lisan, tulisan, atau perbuatan yang menunjukkan
tanggung jawab tersebut.
DALIL KAIDAH

12
a. Dasar-Dasar Pengambilan Kaidah
Para ulama berpendapat bahwa anak buangan yang diketemukan
orang, dipandang anak merdeka, bukan anak budak, sebab kemedekaannya itu
menjadi asal. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam:

ُ‫سانه ُفَائَبَ َواه ُي َه ِودَانِ ِه ُأ َ ْو‬ ْ ‫ك ُّل ُ َم ْولو ِد ُي ْولَد ُ َعلَى ُال ِف‬
َ ‫ط َرةِ ُ َحتَّى ُيَ ْعر‬
َ ‫ب ُ َع ْنه ُ ِل‬
ُ‫سا ِن ِه‬ ِ ‫ص َرا ِن ِهُأ َ ْوُي‬
َ ‫مج‬ ِ َ ‫يت‬
“Semua anak dilahirkan atas dasar kesucian/kebersihan (dari segala dosa) dan
pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang
tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi yahudi,nasrani atau
majusi”.(HR. Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin
Sari’)[6]Dan berdasarkan firman Allah dalam surah An-Najm ayat 38:

‫ُو ْز َرُا ْخ َرى‬ َ ‫ُا َ ََّّلُت َ ِﺰر‬


ِ ‫ُو ِاز َرة‬
“(yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain”.(QS. An-Najm: 38)[7]
Dari dalil yang disebutkan diatas, terlihat bahwa fitrah manusia lahir dalam
keadaan bebas dari tanggung jawab dan bersih dari dosa.
b. Uraian Kaidah
Berdasarkan kaidah ini, sebagai contoh terjadi perselisihan dalam
masalah ganti rugi barang titipan yang rusak. Maka dalam hal ini, yang dititipi
barang tidak dibebani ganti rugi jika ia berani bersumpah tidak merusak
barang titipan tersebut[8]. Keputusan ini sesuai dengan konstruksi kaidah ini,
berasal dari hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam:

‫البينةُعلىُالمدعيُواليمينُعلىُالمدعىُعليه‬
“Mendatangkan bukti wajib atas orang yang mendakwa, sedangkan sumpah
wajib atas orang yang didakwa”. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).
Dengan hadis ini, menjadi jelas bahwa, tuntutan seorang pendakwa

(‫)المدعي‬ terhadap terdakwa (‫)المدعي ُعليه‬ tidak dibenarkan selama

13
pendakwa tidak mampu menunjukkan bukti dan menghadirkan saksi. Karena
itu, jika bukti dan saksi tidak ada, maka pihak yang dibenarkan ucapannya
adalah terdakwa beserta sumpahnya. Sebab jika menilik hukum-asal,
terdakwa adalah pihak yang bebas dari tanggungan apapun.
Sementara kewajiban bersumpah bagi terdakwa didasarkan pada
argumen pokok bahwa dia adalah pihak yang “meniadakan” (menafikan
tuntutan pendakwa). Sementara orang yang meniadakan suatu hal tidak dapat
dituntut untuk mendatangkan saksi ataupun bukti. Karenanya, terdakwa hanya
diwajibkan bersumpah saja. Berbeda dengan pihak penuntut, ia harus
mendatangkan saksi dan bukti karena ia berposisi sebagai pendakwa yang
ingin mendapat legitimasi hukum atas dakwaannya.
APLIKASI KAIDAH
 Jika seorang laki-laki mendakwa seorang wanita baligh yang masih
perawan bahwa walinya telah menikahkannya pada laki-laki tersebut
sebelum meminta izin darinya. Yang tatkala kabar pernikahan tersebut
sampai padanya, ia hanya diam; tidak menyetujui atau menolaknya.
Akan tetapi kemudian wanita itu lalu berkata bahwa ia telah menolak
pernikahan tersebut. Dalam kasus ini, yang dijadikan acuan adalah
perkataan wanita tersebut, bahwa ia menolak pernikahannya. Karena
dengan adanya penolakan wanita tersebut maka status bahwa ia bukan
istri siapa pun tetap terus berlaku.
 Apabila seseorang yang menyerahkan sejumlah uang kepada orang
lainnya berselisih; orang yang menyerahkan uang mengklaim bahwa
uang itu untuk melunasi hutangnya, sementara yang menerima uang
mengaku bahwa uang itu hanya pemberian. Dalam kasus ini yang
dijadikan acuan adalah perkataan orang yang menerima uang yang
disertai sumpah, jika orang yang menyerahkan uang tidak bisa
menunjukkan bukti. Ini karena orang yang menerima uang mengaku
bebas dari tanggungan, dan kaidah asal menyatakan bahwa seseorang
bebas dari tanggungan apa pun atas hak orang lain.

14
 Manakala penjual dan pembeli berselisih mengenai harga suatu yang
barang setelah rusaknya barang tersebut, atau telah berpindah dari
tangan penjual namun belum sampai pada tangan pembeli, maka yang
dijadikan acuan adalah harga barang yang diklaim oleh pembeli. Akan
tetapi jika mereka berdua berselisih ketika barang yang telah dibeli
belum rusak, atau masih di tangan penjual, maka yang dijadikan acuan
adalah harga yang diklaim oleh pihak penjual.
 Demikian juga, jika antara penyewa dan yang menyewakan berselisih
mengenai harga sewa setelah barang yang disewa telah dimanfaatkan,
maka klaim harga yang dijadikan acuan adalah klaim dari pihak yang
menyewa. Kecuali jika barang yang disewa belum dimanfaatkan,
maka dalam kondisi tersebut yang dijadikan acuan adalah klaim dari
pihak yang menyewakan.
 Apabila seseorang merusak atau menghilangkan barang milik orang
lain, lalu keduanya berselisih terkait harga barang tersebut, maka yang
klaim harga yang dijadikan acuan adalah dari pihak yang merusak atau
menghilangkan. Ini karena pihak yang merusak atau menghilangkan
mengklaim tidak ada tambahan harga dari barang yang telah dirusak
atau dihilangkannya. Sementara hukum asal adalah seseorang terbebas
dari tambahan harga tanggungan apa pun.
 Jika seseorang didakwa membunuh atau mencuri, sementara
pendakwa tidak bisa menunjukkan bukti bahwa ia telah membunuh
atau mencuri, maka pihak terdakwa tidak boleh dijatuhi hukuman apa
pun. Karena pada asalnya seseorang bebas dari tindak pembunuhan
dan pencurian.
8. Hukum asal segala sesuatu adalah suci dan mubah.

Jika seorang muslim ragu mengenai najisnya sesuatu misal pada air, pakaian, tempat,
atau lainnya, maka asalnya hukumnya adalah suci. Begitu pula ketika seseorang itu

15
yakin suci dan ragu-ragu apakah berhadats ataukah tidak, maka hukum asalnya
adalah suci.

Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seseorang yang biasa
merasakan sesuatu dalam shalatnya,

ِ َ‫ص ْوتًاُأ َ ْوُيَ ِجد‬


‫ُري ًحا‬ َ ُ‫فُ َحتَّىُيَ ْس َم َع‬ َ ‫َّلَُيَ ْن‬
ْ ‫ص ِر‬

“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” (HR. Bukhari

no. 177 dan Muslim no. 361).

9. Hukum asalnya adalah menyandarkan kejadian pada sebab terdekat

Beberapa contoh penerapan kaidah :

 Seorang laki-laki yang mimpi basah dan menjumpai ada air mani yang telah
mengering di celananya, namun dia ragu dia mimpi basah kapan. Misalnya,
dia melihat air mani di celananya selasa sore, namun dia ragu apakah
mimpinya di malam selasa atau malam senin atau bahkan malam-malam
sebelumnya lagi. Maka saat itu dia memilih malam selasa, karena sebab yang
paling dekat adalah karena tidur pada malam selasa, walaupun pada
kenyataannya mimpinya adalah pada malam senin. Sehingga apabila dia
menyadarinya di hari selasa sore, maka dia cukup mengulangi dua shalat yaitu
shalat shubuh dan dhuhurnya hari selasa, adapun shalat yang di hari senin
tidak perlu diulangi.
 Seorang wanita yang keguguran setelah perutnya dipukul oleh seorang laki-
laki jahat. Sebelum dipukul, perempuan tersebut juga melakukan sebab-sebab
yang bisa menggugurkan kandungannya, seperti mengangkat barang-barang
yang berat. Lantas penyebab kegugurannya disandarkan ke siapa, apakah
karena perempuan itu sendiri atau laki-laki tadi? Jawabannya adalah ke laki-
laki tadi, karena dia yang melakukan penyebab terdekat dari waktu
keguguran, walaupun sebenarnya diantara penyebab utamanya juga adalah

16
karena perempuan itu sendiri yang telah melakukan pekerjaan berat
sebelumnya

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kaidah keyakinan merupakan salah satu kaidah yan cukup agung dalam
islam. Hal ini dikarenakan di dalamnya dapat diambil ilmu dan hokum secara
meluas. Untuk itu, adalah hal yang baik ketika seorang muslim dapat
memahami kaidah ini. Kaidah keyakinan memiliki posisi yang cukup tinggi
dalam konteks kaidah karena memang dari satu kaidah tersebut dapat
diturunkan menjadi beberapa kaidah cabangnya, sehingga ini dapat
memperluas konteks pengambilan keputusan
B. Saran
 Pembaca agar memperluas ilmu mengenai kaidah keyakinan melalui
referensi lain
 Pembaca agar menanyakan hal-hal yang kurang jelas mengenai kaidah
keyakinan kepada yang lebih berilmu
 Pembaca dapat memberikan kritik yang membangun kepada penulis
yang terkait dengan penulisan makalah ini

18
References
Andirja, F. (2018, Desember 26). Al Qawaid Al Fiqhiyyah Al Kubra - Kesulitan Mendatangkan
Kemudahan.Retrieved from Firanda.com : https://firanda.com/2446-al-qawaid-al-
fiqhiyyah-al-kubra-kesulitan-mendatangkan-kemudahan-kaidah-3.html

Issa, B. (2016). Mindmeister. Retrieved from Mindmeister:


https://www.mindmeister.com/483996815/_?fullscreen=1

19

Anda mungkin juga menyukai