Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH FIQIH WANITA

DOSEN PENGAMPU :
A.Ghozali Syafe’i.Drs., M.Si

Kelompok 11

ZEKKI PAHRONI: 12240113309


M RIZAL IKRAM: 12240113217

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2023
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PEMBAHASAN ....................................................................................................

Pengertian fiqih Wanita………………………………………………………………

Fiqih kepemimpinan Wanita…………………………………………………………

BAB II PENUTUP.............................................................................................................

KESIMPULAN ……………………………………………………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSAKA………………………………………………………………………………………………………………….
BAB I

PEMBAHASAN

A.Pengertian Fiqih Wanita

Hukum – hukum amaliyah dalam melaksanakan syariat,misalnya masalah wali nikah bagi
kaum perempuan yang hendak melaksankan perkawakinan.fiqih perempuan adalah dalil –
dalil tentang kepemimpinan kaum perempuan.

Firman Allah Ta’ala dalam Surah An-Nisa ayat 1 yang berbunyi: ٰٓ


ْ‫ث ِم ْنهُ َما ِر َجااًل َكثِ ْيرًا َّونِ َس ۤا ًء ۚ َواتَّقُوا هّٰللا َ الَّ ِذي‬
َّ َ‫ق ِم ْنهَا َزوْ َجهَا َوب‬
َ َ‫س وَّا ِح َد ٍة َّو َخل‬ ٍ ‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْ ا َربَّ ُك ُم الَّ ِذيْ خَ لَقَ ُك ْم ِّم ْن نَّ ْف‬
‫تَ َس ۤا َءلُوْ نَ بِ ٖه َوااْل َرْ َحا َم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِ ْيبًا‬

1. Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri
yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah
kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.Berdasarkan ayat di
atas kita mendapatkan sebuah penekanan tersendiri

dari ayat ini, atas keberadaan jati diri dan eksistensi para wanita. Allah Ta’ala

secara khusus menyebutkan adanya para wanita dengan disebutkannya laki-laki

dan perempuan yang banyak. Maka penyebutan wanita secara khusus telah

memberikan isyarat yang kuat tentang keberadaan para wanita, dan tidak bisa

diabaikan begitu saja, untuk itu kita butuh kajian khusus tentang fikih wanita,

karena laki-laki tidak sama dengan wanita,

firman Allah Ta’ala dalam Surah Ali-Imran:36.

َ‫ْس ال َّذ َك ُر َكااْل ُ ْن ٰثى ۚ َواِنِّ ْي َس َّم ْيتُهَا َمرْ يَ َم َواِنِّ ْٓي اُ ِع ْي ُذهَا بِك‬ ْ ۗ ‫ض َع‬
َ ‫ت َولَي‬
‫هّٰللا‬
َ ‫ض ْعتُهَٓا اُ ْن ٰثىۗ َو ُ اَ ْعلَ ُم بِ َما َو‬ ْ َ‫ض َع ْتهَا قَال‬
َ ‫ت َربِّ اِنِّ ْي َو‬ َ ‫فَلَ َّما َو‬

‫َو ُذ ِّريَّتَهَا ِمنَ ال َّشي ْٰط ِن ال َّر ِجي ِْم‬


Maka ketika melahirkannya, dia berkata, “Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak
perempuan.” Padahal Allah lebih tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan
perempuan. ”Dan aku memberinya nama Maryam, dan aku mohon perlindungan-Mu
untuknya dan anak cucunya dari (gangguan) setan yang terkutuk.”

Pada hakikatnya, perempuan memiliki nilai lebih dibandingkan lelaki. Allah Swt telah
menganugerahkan kelebihan-kelebihan kepada perempuan berkaitan dengan status
keperempuanannya yang membedakannya dengan lelaki. Ciri khas perempuan yang dapat
hamil, melahirkan, dan menyusui, kasih sayang, ketabahan, dan kesabaran dalam mendidik
anak merupakan kelebihan perempuan.Berdasar pada batasan-batasan pengertian yang telah
dikemukakan, maka dalam pandangan penulis bahwa, fiqh perempuan memiliki beberapa
konsep makna. Pertama, fiqh perempuan adalah hukum-hukum amaliyah dalam
melaksanakan syariat, misalnya masalah wali nikah bagi kaum perempuan yang hendak
melaksanakan perkawinan. Kedua, fiqh perempuan adalah dalil-dalil tentang hukum tentang,
misalnya dalil tentang kepemimpinan kaum perempuan. Dari dua pengertian ini, maka
dirumuskan bahwa fiqh perempuan adalah pemahaman terhadap hukum dan dalil yang
berkenaan kaum perempuan dalam melakukan aktivitas.Karena fiqh perempuan berkaitan
dengan hukum syarah‟ dan dalil naqli maupun aqli, maka secara esensial fiqh perempuan
dalam artian pemahaman tentang eksistensi kaum perempuan merupakan hasil ijtihad yang
disebut dengan fiqh ijtihādiy. Oleh karena itu, tidak diherankan jika dalam memahami suatu
obyek hukum, hasil pemahaman (fiqh) yang dihasilkan oleh seorang mujtahid terkadang
bertentangan dengan dan atau berbeda dengan pemahaman (fiqh) yang diperoleh mujtahid
lainnya.
1.Wanita Haid

Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan
berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan membaca Al-Qur’an
dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan
media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan
dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.

Allah SWT berfirman


ُ ‫طهُرْ نَ فَِإ َذا تَطَهَّرْ نَ فَْأتُوه َُّن ِم ْن َحي‬
ُ ‫ْث َأ َم َر ُك ُم هّللا‬ ْ َ‫يض َوالَ تَ ْق َربُوه َُّن َحتَّ َى ي‬
ِ ‫وا النِّ َساء فِي ْال َم ِح‬
ْ ُ‫يض قُلْ ه َُو َأ ًذى فَا ْعت َِزل‬
ِ ‫َويَ ْسَألُونَكَ ع َِن ْال َم ِح‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu kotoran
(najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan).
Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah
bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada
kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)

2.Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan. Darah ini tentu
saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses
persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang
keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan
sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan
pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan
disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka
itu bukan nifas.

3.Hijab

Dari pengertian menurut bahasa dan istilah yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
jilbab adalah pakaian perempuan Islam yang dapat menutup aurat yang diwajibkan oleh agama
untuk menutupnya, guna kemaslahatan perempuan dan masyarakat dimana ia berada.Kontroversi
penggunaan jilbab ini tidak lepas dari perbedaan sudut pandang dalam memahami batasan aurat
yang harus ditutup oleh perempuan. Dalam Islam, batas aurat perempuan diatur berbeda-beda,
perbedaannya tergantung dengan siapa wanita itu berhadapan.

Aurat perempuan ketika berhadapan dengan Allah SWT adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan
telapak tangannya. Ketika berhadapan dengan yang bukan mahramnya ulama sepakat bahwa
batasan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan, dan kedua telapak
kaki. Berbeda dengan ketika berhadapan dengan mahramnya, menurut Syafi’iyyah aurat perempuan
adalah sama dengan laki-laki yaitu antara pusar sampai lutut. Dalam Al-Qur’an perintah penggunaan
jilbab termaktub pada QS.Al-Ahzab : 59

‫ك َأ ْدنَى َأ ْن يُ ْع َر ْفنَ فَاَل يُْؤ َذ ْينَ َو َكانَ هَّللا ُ َغفُورًا‬


َ ِ‫ك َونِ َسا ِء ْال ُمْؤ ِمنِينَ يُ ْدنِينَ َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َجاَل بِيبِ ِه َّن َذل‬
َ ِ‫يَا َأيُّهَا النَّبِ ُّي قُلْ َأِل ْز َوا ِجكَ َوبَنَات‬

Artinya :

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat di atas menggunakan kalimat berbentuk amr (perintah) yang menurut ilmu ushul fikih akan
dapat memproduk wajib ‘ainī ta’abbudī, yaitu suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap
pribadi orang yang beragama Islam dengan tanpa tanya mengapa. Siapa yang melaksakan kewajiban
itu akan mendapat pahala, karena ia telah melaksanan ibadah yang diwajibkan Allah Swt. dan siapa
yang tidak melaksanakannya ia akan berdosa
B. fiqih kepemimpinan wanita

Beberapa ulama fikih seperti Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal menyatakan
bahwa jabatan kehakiman dan termasuk juga kekuasaan pemerintahan harus diserahkan kepada
laki-laki dan tidak boleh diberikan kepada perempuan. Karena tingkat kecerdasan akal perempuan
masih berada di bawah kecerdasan laki-laki. Selain itu, perempuan dalam posisi tersebut akan
berhadapan dengan laki-laki.

Sementara itu, Ibnu Rabi’, Imam al-Juwaini, dan Imam al-Ghazali mensyaratkan bahwa seorang
pemimpin/kepala negara itu harus laki-laki yang merdeka dan dewasa . Pendapat mereka agaknya
dapat dimaklumi karena kondisi dan situasi saat itu memandang laki-laki masih lebih terdidik dari
perempuan.
Berdasarkan keterangan di atas, sudah dapat diduga bagaimana pendapat para ahli fikih Islam
mengenai posisi perempuan untuk jabatan kepala negara/presiden atau perdana menteri. Sampai
hari ini belum diketahui ada pendapat para ahli fikih terkemuka yang membenarkan perempuan
menjabat sebagai kepala negara.

Tentang kelebihan-kelebihan laki-laki terhadap perempuan agaknya mulai terbantahkan


dengan sendirinya melalui fakta-fakta yang nyata. Realitas sosial dan sejarah modern membuktikan
bahwa telah cukup banyak perempuan yang bisa melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap
sebagai hanya menjadi monopoli kaum laki-laki. Agaknya juga akhir akhir ini dapat dilihat sejumlah
perempuan yang menjadi kepala negara, kepala pemerintahan, gubernur, ketua parlemen, ketua
partai politik
BAB II

PENUTUP

KESIMPULAN

Fiqih wanita adalah Hukum – hukum amaliyah dalam melaksanakan syariat,misalnya


masalah wali nikah bagi kaum perempuan yang hendak melaksankan pekawakinan.fiqih
perempuan adalah dalil – dalil tentang kepemimpinan kaum perempuan
Konsekuensinya adalah bahwa dalam ilmu fiqih bahwa perempuan itu didudukan pada
posisi sebenarnya, serta memberi peranan dalam kehidupan rumah tangga
DAFTAR PUSAKA

Dzuhayatin, Siti Ruhaini, “Fiqh dan Permasalahan Perempuan Kontemporer,” Rekonstruksi Fiqh
Perempuan, Yogyakarta : Pusat Studi Islam UII,1996

Ciciek, Farha, “Idealnya Peran Perempuan sebagai Ibu dan Istri…! Menelusuri Problema Perempuan
di Sebuah Komunitas Revivalis Islam,” Tashwirul Afkar edisi no 5, Jakarta : Lakpsedam NU, 1999.

Salih, Su’ad Ibrahim, “Kedudukan Perempuan Dalam Islam,” Wanita Dalam Masyarakat
IIndonesia,,Yogyakrta, Sunan Kalijaga Press, 2001.

Anda mungkin juga menyukai