Anda di halaman 1dari 25

Risalah Kewanitaan

Mengupas Problematika Kewanitaan


Langkah Menjadi Wanita Sholihah

Disusun oleh:
Tim Materi Keagamaan 2023
PSDR LUMAJANG

1
MUQODDIMAH

Haidl layaknya menjadi sebuah penghalang bagi diri seorang wanita.


Lantaran haidl, Sebagian ibadah yang semestinya dikerjakan harus rela
ditinggalkan. Hal ini merupakan satihan dan cobaan yang diberikan Allah Swt.
pada kaum wanita sebab peristiwa Ibu Hawa yang melukai sebuah pohon,
sehingga pohon itu berdarah. Akibat peristiwa inilah maka Allah menghukum ibu
Hawa dengan firman-Nya:
َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ ْ َّ َ
)‫ج َرة‬‫ت ه ِذهِ الش‬
ِ ‫(و ِعز ِِت وجَل ِِل َلد ِمين ِك كما أدمي‬
“Demi kemuliaan dan keagunganku, aku akan mengeluarkan darah darimu
sebagaimana engkau mengeluarkan darah dari pohon ini.”
Dengan peristiwa ini, maka Allah menghukum para keturunan ibu Hawa
dengan berbagai macam cobaan. Seperti halnya haidl, nifas, melahirkan, iddah,
tidak diperkenankan menjadi wali nikah ataupun berbagai macam ketentuan lain
yang membatasi ruang lingkup wanita dalam permasalahan syariat.
Meski demikian, seyogyanya halangan ini tidaklah menjadi halangan
seorang wanita yang sholihah untuk bermalas-malasan dalam masalah ketaatan
dan ibadah. Sebab, wanita Sholihah adalah sosok yang tinggi derajatnya di sisi
Allah Swt. Bahkan dalam keluarga sebagai ibu yang harus lebih dimuliakan oleh
anak dibanding ayah.
Dengan tanpa mengabaikan kodrat kewanitaannya, meski haidl pernah
menjadi alasan intimidasi terhadap wanita di zaman jahiliyah. Yang dengan
datang dan berkembangnya islam berbagai macam intimidasi yang ada
dihilangkan oleh Nabi Muhammad Saw. Hingga wanita dalam Islam menjadi
sosok sentral yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, sebab seorang
wanitalah yang menjadi madrasah pertama untuk buah hatinya.
Dengan demikian patutlah kiranya bagi seorang wanita untuk membekali
dirinya dengan ilmu. Terlebih ilmu yang berkaitan dengan langsung dengan
dirinya. Sebagai upaya menjaga kelangsungan hubungan yang sesuai dengan
aturan syara’. Dan tidaklah berlebihan bila mempelajari ilmu tentang haidl,
istihadlah dan nifas menjadi hal yang Fardlu ‘Ain bagi seorang wanita.

2
Sehingga, semoga dengan hadirnya seminar dan buku ini, menjadi sebuah
langkah penting untuk mewujudkan pribadi Muslimah yang memiliki
penguasaan mendalam terhadap keilmuan. Hingga akhirnya mengantarkan ia
menjadi seorang wanita yang shalihah. Semoga.

Penyusun

3
DAFTAR ISI
Bab I Haidl
A. Pengertian haidl ………………………………
B. Dalil seputar Haidl…………………………………
C. Hukum belajar ilmu tentang haidl……………………..
D. Usia haidl…………………………………………….
E. Ketentuan-ketentuan haidl
-syarat……………………………….
-minimal-maximal masa haidl……………………….
F. Hal-hal yang harus dilakukan ketika datangnya haidl……………….
G. Hal-hal yang perlu diperhatikan ……………………………..
H. Apakah getah vagina …………………………………………
Bab II Nifas
1. Pengertian Haidl………………………………………….
2. Masa nifas………………………………………………………………..
Bab III Hukum-hukum yang berkaitan dengan Haidl dan Nifas
1. Larangan-larangan……………………………………………………………………….
2. Qhodo sholat
3. Qhodo puasa
Bab IV Istihadlah
1. Pengertian istihadlah
2. Sifat dan warna darah
3. Pembagian wanita Istihadlah
4. Tata cara shalat wanita istihadlah
Bab V Tambahan
1. Contoh tabel bulanan
2. Catatan

4
BAB I
HAIDL

A. Pengertian Haidl
Haidl adalah darah yang dikeluarkan perempuan yang sudah berumur 9
tahun kurang 16 hari kurang sedikit dengan keluar secara alami (tabiat
perempuan) dalam keadaan sehat, bukan karena sakit atau melahirkan.

B. Dalil Tentang Haidl


Haidl adalah kodrat wanita yang tidak bisa dihindari dan sangat erat
kaitannya dengan aktivitas ibadahnya sehari-hari. Sebagaimana firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 222:
َ َ َ َ َ َ ُ ُ‫اء ِف ال ْ َمحيض َو ََل َت ْق َرب‬ َ َ ِّ ُ َْ َ ًَ َُ ُْ َ ْ ‫ك َعن ال‬ َ َ َُ ْ َ َ
‫وه َّن َح ََّّت ي ْط ُه ْرن ف ِإذا ت َط َّه ْرن‬ ِ ِ ِ ‫َتلوا النس‬ ِ ‫اع‬ ‫ف‬ ‫ى‬ ‫ذ‬ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫يض‬ ِ ‫ح‬
ِ ‫م‬ ِ ‫}ويسألون‬
ِّ َ ُ ْ
َ ‫ُيب المت َطهر‬ُّ ُ َ
َ ‫اتل َّوابني‬
َّ ‫ُيب‬ُّ ُ
َّ
َّ
َ ‫اَّلل َّ إن ا‬ ُ َ َ ُ ْ
ُ ‫وه َّن ِمن حيث أم َرك ُم‬َ ْ ُ ُ‫فَأْت‬
{‫ين‬ ِ ِ ‫و‬ ِ ِ ‫َّلل‬ ِ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah: haidl itu
adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidl dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Seseungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan
orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-baqarah; 222)

Dan hadits Nabi:


ََ ََ ََ ُ َََُ ٌ ْ َ َ َ
‫ات أد َم‬
ِ ‫هذا شيئ كتبه اَّلل لَع بن‬
Artinya: “Haidl ini merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan Allah kepada
cucu-cucu wanita Adam. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Pada masa Jahiliyah haidl dianggap sesuatu yang menjijikkan yang dipikul
oleh kaum wanita. Pada masa itu, orang yahudi tidak memperlakukan secara
manusiawi terhadap istrinya yang sedang haidl, mereka mengusirnya dari
rumah, tidak mau mengajak tidur, dan makan bersama. Sementara orang
nasrani mempunyai kebiasaan menggauli istrinya di kala haidl.1 Hal ini

1
al Hawi al Kabir I/456

5
mendorong para sahabat untuk menanyakan tentang hukum-hukum haidl,
sehingga turunlah ayat di atas. Dari sinilah kemudian para ulama
merumuskan hukum-hukum yang terkait dengan permasalahan haidl.
Dalam merumuskan dan menyimpulkan hukumnya Imam as-Syafi’i tidak
hanya berlandaskan al-Qur’an dan hadist, namun beliau juga melakukan
Istiqra’ (penelitian) terhadap berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus wanita
dari berbagai daerah dan taraf ekonomi yang berbeda-beda.2

C. Hukum Mempelajari Ilmu Tentang Haidl


1. Fardlu Ain
Mempelajari ilmu tentang haidl dihukumi fardlu Ain diperuntukkan bagi
wanita yang sudah baligh artinya wajib bagi setiap wanita yang sudah baligh
untuk belajar dan mengerti permasalahan yang berhubungan dengan haidl,
nifas, dan istihadloh. Sebab mempelajari hal-hal yang menjadi syarat
keabsahan suatu ibadah adalah fardlu ain.
2. Fardlu Kifayah
Hukum fardlu Kifayah ini diperuntukkan bagi kaum laki-laki, mengingat
permasalahan haidl tidak bersentuhan langsung dengan rutinitas ibadah
kaum laki-laki. Sebab mempelajari ilmu yang tidak bersentuhan langsung
dengan amaliyah ibadah yang dilakukan hukumnya adalah fardlu kifayah.
Hal ini untuk menegakkan ajaran agama dan untuk keperluan ifta’ (fatwa).3

D. Batas Usia Wanita Haidl


Minimal usia seorang wanita ketika mengeluarkan darah bisa dihukumi
darah haidl adalah saat usia 9 tahun kurang 16 hari kurang sedikit (8 tahun
11 bulan 14 hari lebih sedikit). Sehingga, ketika masih berumur 9 tahun
kurang 17, 18, 19, 20 hari dan seterusnya atau ketika keluar darah yang
disebabkan penyakit ataupun disebabkan melahirkan maka tidak dinamakan
darah haidl.4
Dalam penghitungan usia ini yang digunakan bukanlah penanggalan
Masehi, melainkan penanggalan Hijriyah. Sehingga, dalam mencatat tanggal
2 Al-Majmu’ syarah Muhadzab hal 373 juz II
3 Ta’lim Muta’allim 4 & I’anatuth Thalibin IV/181
4 Al Bajuri I/113

6
kelahiran bayi, disamping mencatat penanggalan Masehinya sangat
dianjurkan mencatat tanggal hijriyyahnya.
Sedangkan, jika darah sebagian keluar sebelum usia haidl dan sebagian
keluar saat sudah mencapai usia wanita haidl, maka hukumnya tafsil :
1. Darah yang keluar saat belum mencapai usia wanita haidl hukumnya
adalah darah istihadloh.
2. Darah yang keluar saat sudah mencapai usia wanita haidl hukumnya
adalah darah haidl jika keluarnya mencapai 24 jam.
Contoh: seorang wanita umur 9 tahun kurang 20 hari mengeluarkan darah
selama 10 hari, maka darah 4 hari awal lebih sedikit hukumnya darah
istihadloh sebab keluarnya darah saat belum mencapai usia wanita haidl,
sedangkan darah 6 hari akhir kurang sedikit disebut darah haidl, karena
keluar saat sudah mencapai usia wanita haidl.
Pada umumnya wanita selalu mengalami haidl tiap bulan secara rutin
sampai masa menopause (usia tidak keluar haidl) yang umumnya adalah 62
tahun. Namun, para ulama menjelaskan bahwa usia berapapun bila wanita
mengeluarkan darah yang telah memenuhi syarat-syarat haidl, maka
dihukumi haidl, dan wanita lanjut usiapun masih mungkin mengalami
haidl5.Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi haidl pada usia senja,
sebab tidak ada masa maksimal wanita mengalami haidl.6

E. Ketentuan Darah Haidl


Warna, sifat, kuat dan lemahnya darah tidaklah menjadi acuan dalam
menentukan darah haidl. Sebab, hal tersebut hanya diperhitungkan bagi
wanita yang mengalami istihadloh (keluar darah lebih dari 15 hari 15
malam). Dengan demikian, meskipun warna dan sifat darah berubah-ubah,
jika masih dalam Batasan hari haidl, maka tetap dihukumi haidl.
Seorang wanita saat mengeluarkan darah dihukumi haidl apabila
memenuhi 4 syarat sebagai berikut:
1. Darah keluar dari Rahim seorang wanita yang usianya minimal 9 tahun
kurang 16 hari kurang sedikit;

5
Al Fiqh al Islami I/456-457
6 As Syarqowiy I/147

7
2. Darah yang keluar minimal sehari semalam jika keluar terus menerus,
atau berjumlah 24 jam apabila keluar secara terputus-putus dan masih
pada waktu 15 hari dari keluarnya darah haidl yang pertama;
3. Tidak lebih dari 15 hari 15 malam jika keluar terus menerus;
4. Keluar setelah masa minimal suci yakni 15 hari 15 malam dari haidl
sebelumnya.
Dari persyaratan diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa paling sedikitnya
masa haidl (aqall al-haidl) adalah sehari semalam (24 jam) dan Paling
lamanya masa haidl (aktsar al-haidl) adalah 15 hari 15 malam;
Pada umumnya setiap bulan wanita mengeluarkan haidl selama 6 atau 7
hari, sehingga masa sucinya 23 atau 24 hari. Namun, ada juga wanita yang
haidl kurang atau lebih dari masa tersebut. Adapula yang mengalami haidl
tiap 5 bulan atau satu tahun sekali. Bahkan ada yang selama hidupnya tidak
pernah mengalami haidl seperti yang dialami Sayyidah Fathimah al-Zahra7.
Paling sedikit jarak masa yang memisah antara haidl satu dengan haidl
sebelumnya (aqall al-thuhri) adalah 15 hari 15 malam. Sehingga tidak
menutup kemungkinan dalam satu bulan wanita mengalami haidl dua kali.
Contoh: Keluar darah 2 hari (tanggal 1 & 2)
Berhenti selama 16 hari
Keluar darah lagi selama 3 hari (tanggal 19, 20, & 21)

Maka, 2 hari pertama dihukumi haidl dan 3 hari yang akhir saat keluar
darah juga dihukumi haidl, sebab keluarnya setelah melewati masa suci 15
hari. Sedangkan 16 waktu berhenti darah dihukumi masa suci yang memisah
dua haidl.

Sedangkan, Jika masa pemisah antara haidl satu dengan haidl sebelumnya
kurang dari 15 hari, maka ditafsil (diperinci):
a. Bila darah pertama dan kedua masih dalam rangkaian waktu 15 hari, maka
semuanya dihukumi haidl termasuk masa berhenti diantara dua darah
tersebut8.

7 Al Bajuri I/112
8
Bugyah al Mustarsyidin 31

8
Contoh: Keluar darah 3 hari
Berhenti selama 3 hari
Keluar darah lagi selama 5 hari

maka keseluruhan hari termasuk ketika darah berhenti di hukumi haidl.


Sebab masih dalam masa 15 hari.
b. Bila darah kedua di luar masa 15 hari dari permulaan darah pertama (darah
pertama ditambah pemisah tidak kurang dari 15 hari), sementara jumlah
masa pemisah ditambah darah kedua tidak lebih 15 hari, maka darah kedua
dihukumi darah kotor/fasad9.
Contoh: Keluar darah pertama 6 hari
Berhenti selama 9 hari
Keluar darah kedua selama 2 hari

maka, 6 hari pertama dihukumi haidl, berhenti 9 hari dihukumi masa suci
dan 2 hari terakhir dihukumi darah kotor (fasad) yang dihukumi sebagai
masa suci.10
c. Bila jumlah masa suci pemisah ditambah darah kedua melebihi 15 hari, maka
sebagian darah kedua dihukumi darah fasad (untuk meneyempurnakan
masa suci 15 hari) dan sisanya dihukumi darah haidl yang kedua bila
memenuhi syarat-syarat haidl11.
Contoh 1: Keluar darah pertama 3 hari
Berhenti selama 12 hari
Keluar darah kedua selama 6 hari

Maka, 3 hari pertama adalah haidl, berhenti 12 hari adalah masa suci. 3
hari darah kedua adalah darah kotor yang dihukumi masa suci
(penyempurna suci 15 hari). Sedangkan 3 hari akhir adalah haidl yang kedua.

9 Tuhfah al Muhtaj I/656, Bughyah al Mustarsyidin 31


10 Al Majmu’ II/521
11 Bugyah al Mustarsyidin 31

9
Contoh 2: Keluar darah pertama 10 hari
Berhenti selama 10 hari
maka, 10 hari pertama adalah haidl. 10 hari ketika berhenti ditambah 5
hari darah kedua (penyempurna 15 hari) dihukumi masa suci. Dan 5 hari
terakhir dari keluar darah kedua adalah haidl yang kedua.

d. Bila masa keluar darah kedua setelah dikurangi untuk menyempurnakan


15 hari (masa minimal suci) sisanya melebihi dari 15 hari, maka wanita
tersebut dihukumi mustahadloh.
Contoh: Keluar darah pertama 10 hari
Berhenti selama 10 hari
Keluar darah kedua selama 25 hari

maka, 10 hari pertama adalah haidl. 10 hari berhenti ditambah 5 hari


darah kedua adalah masa suci. Sedangkan 1 hari setelah itu dihukumi haidl
yang kedua dan sisanya dihukumi istihadloh.
Hal ini, jika ia seorang wanita yang pertama kali mengeluarkan darah haidl
dan ia tidak bisa membedakan kuat dan lemahnya darah (mustahadloh
mubtadi’ah ghayru mumayyizah). Namun, jika ia sudah pernah haidl
(mu’tadah ghairu mumayyizah), maka haidl dan sucinya disamakan dengan
kebiasaannya (adat bulanannya). Misal, kebiasaan haidlnya 5 hari, maka
untuk contoh diatas, yang 10 hari pertama adalah haidl. 10 hari berhenti
ditambah 5 hari darah kedua adalah masa suci. Sedang 5 hari setelah itu
adalah haidl kedua (mengikuti kebiasaannya). Dan sisanya dihukumi
istihadloh.12

12
Bugyah al Mustarsyidin 31

10
Catatan penting!!
 Bagi wanita yang kesulitan melakukan beberapa ketentuan diatas, maka
hendaknya mengikuti madzhab Malikiyyah yang cukup simpel dalam
permasalahan haidl. Yakni ketika darah berhenti maka dihukumi suci
dan jika darah keluar maka dihukumi haidl.13

F. Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Saat Datangnya Haidl


Saat darah keluar, seorang wanita wajib menghindari hal-hal yang
diharamkan sebab haidl. Apabila darah yang keluar telah berhenti, maka jika
darah yang keluar belum mencapai 24 jam (batas minimal haidl), maka ia
cukup membersihkan farjinya dan berwudlu’ bila ingin melakukan ibadah
(tidak wajib mandi).
Jika darah yang keluar sudah mencapai 24 jam maka sewaktu-waktu
darah berhenti ia wajib mandi dan melakukan rutinitas ibadah. Bila
kemudian darah keluar lagi, maka ia diwajibkan kembali menghindari hal-
hal yang diharamkan bagi wanita haidl. Jika darah berhenti lagi ia wajib
mandi lagi, demikian seterusnya selama masih dalam masa 15 hari14.
Semua ibadah yang dilakukan pada waktu terputusnya darah tidak
dihukumi sah, dikarenakan ternyata dilakukan pada waktu yang dihukumi
haidl, dan ibadah yang dilakukan hanya untuk hati-hati saja.
Kemudian darah dihukumi berhenti, bila seandainya diusap dengan cara
memasukkan semisal kapuk sudah tidak ada cairan yang sesuai dengan sifat
dan warna darah (hanya berupa cairan bening)15. Namun, bila masih ada
cairan yang berwarna keruh dan kuning, terjadi perbedaan diantara ulama,
ada yang mengatakan masih di hukumi darah haidl (qaul yang kuat) karena
menganggap masih berwarna darah, disamping memandang hukum asal,
bahwa cairan itu keluar pada masa imkanul haidl (waktu mungkin untuk
mengalami haidl). Ada yang berpendapat bukan darah haidl, karena
menganggap cairan itu tidak berwarna darah16.

13
Tadzkir Al-Naas hal. 60
14
al Muhadzdzab I/39
15
al Fiqh al Islami I/458
16 al Mughni al Muhtaj I/113

11
Wanita yang darahnya berhenti dan memiliki kebiasaan keluar lagi sesuai
adat bulan sebelumnya, para ulama madzhab Syafi’I berbeda pendapat
dalam menghukuminya:
1) Menurut imam ar-Rafi’, tidak wajib baginya melakukan thaharah dan
shalat setiap berhentinya darah, cukup menunggu sampai pada kebiasaan
berhentinya haidl;
2) Menurut imam an-Nawawi, wajib baginya untuk melakukan thaharah dan
shalat setiap kali darah berhenti.17

G. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Saat Haidl


a) Sunah untuk tidak memotong kuku, rambut, dan lain-lain dari anggota
badan saat haidl. Karena ada keterangan kelak di akhirat anggota badan
yang belum disucikan akan kembali ke pemiliknya masih dalam keadaan
jinabat (belum disucikan). Akan tetapi bila terlanjur dipotong, maka yang
wajib dibasuh adalah tempat (bekas) anggota yang dipotong, bukan
potongan dari anggota itu18. Tetapi sebaiknya tetap ikut dimandikan
supaya tidak mendapat ancaman diatas.
b) Saat darah berhenti, wanita diperbolehkan mulai niat melaksanakan
puasa sekalipun belum mandi. Karena haramnya puasa itu, disebabkan
haidl bukan hadats. Hukum puasa wanita yang haidlnya telah berhenti
dan belum mandi besar adalah sah. Akan tetapi disunahkan baginya
untuk mandi besar sebelum fajar supaya dapat melakukan puasa dalam
keadaan suci.
Dan ini berbeda dengan sholat, sebab penghalangnya adalah hadats. Dan
juga berbeda dengan bersetubuh, sebab ada nash hadits yang secara jelas
melarang menggauli istri sebelum bersuci19.
c) Bagi wanita yang darah haidlnya berhenti dan belum sempat mandi jika
ingin tidur, makan, atau minum disunnahkan membersihkan farjinya
kemudian wudlu’. Dan bila meninggalkan hal ini, hukumnya makruh20.

17 Tuhfah Al-Muhtaj & hasyiyah as-syarwani hal. 655-657 juz 1


18
An-Nihayah Zain 31
19 Al-Muhadzdzab I/38
20
Hamisyi I’anah at Thalibin I/79

12
d) Biasanya, menjelang atau di saat haidl, wanita mengalami gangguan
kesehatan. Di antaranya (berdasarkan hasil polling):
1. Payudara mengencang dan teras sakit;
2. Pegal-pegal, lemah dan lesu;
3. Perut terasa sakit/mulas;
4. Mudah emosi.
Hal-hal tersebut tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Sebab itu
hanyalah dampak dari keluarnya darah secara wajar. Biasanya akan
hilang di saat berhentinya darah haidl, bahkan terkadang hal itu hanya
berlangsung sebentar.

H. Hukum Getah Vagina & Keputihan


Dalam kitab-kitab fiqh dijelaskan bahwa, haidl adalah darah yang
keluar dari urat (otot) yang pintunya terdapat pada penghujung uterus
(pangkal rahim/aqso al-rohmi) yang punya warna, sifat dan masa yang
khusus. Sedangkan istihadloh adalah darah yang keluar dari urat di bawah
uterus (adna al-rohmi) di luar masa haidl.21
Dengan demikian getah vagina dan keputihan, bukanlah darah haidl
dan istihadloh. Karena keluar dari luar anggota tersebut. Yang dalam istilah
fiqih dikategorikan Ruthubatul Farji (cairan farji), dan hukumnya
sebagaimana berikut:22
1. Bila keluar dari balik liang farji (anggota farji bagian dalam yang tidak
terjangkau penis saat bersenggama), maka hukumnya najis dan
menyebabkan batalnya wudlu, sebab keluar dari dalam tubuh.
2. Bila keluar dari liang farji (anggota farji yang tidak wajib dibasuh ketika
istinja’ dan masih terjangkau penis saat bersenggama), maka hukumnya
suci menurut sebagian ulama’.
3. Bila keluar dari liang farji (anggota farji yang tampak ketika jongkok),
maka hukumnya suci.

21 Referensi : I’anah al-Thilibin Juz I hal : 71 - 72


22 Referensi
1. I’anah al-tholibin Juz I hal : 86
2. Hasyiyah al-qulyubi ‘ala al-mahali Juz I hal : 71

13
Dengan demikian, karena keputihan dan cairan yang keluar dari farji
bukan darah haidl, maka tidak mewajibkan mandi. Namun bila cairan
tersebut dihukumi najis (keluar dari dalam tubuh), maka harus disucikan
saat hendak melaksanakan wudlu dan sholat. Dan jika terus menerus keluar,
maka hukumnya seperti istihadloh dan tata cara bersuci serta ibadahnya
akan dijelaskan dalam fasal mustahadloh. 23

23 Raferensi :
a) al-mahali juz I hal : 101 – 102
b) Tuhfah al-Muhtaj Juz I hal : 645 - 646

14
BAB II
NIFAS

A. Pengertian Nifas
Yang dinamakan nifas adalah darah yang dikeluarkan wanita setelah
melahirkan atau belum melebihi 15 hari setelahnya.
Adapun darah yang dikeluarkan pada saat terasa akan melahirkan dan darah
yang dikeluarkan bersamaan dengan bayi hukumnya diperinci sebagaimana
berikut:
a. Jika bersambung dengan haidh sebelumnya serta mencapai masa
minimalnya haidl yaitu 24 jam, maka dihukumi darah haidh.
Contoh: seorang wanita hamil mengeluarkan:
Darah pertama (haidl) 3 hari
Kemudian melahirkan
Darah terus keluar selama 20 hari

Maka, 3 hari dihukumi haidl, dan 20 hari setelah melahirkan dihukumi nifas.
b. Dan jika tidak bersambung, maka dihukumi darah istihadlah.
Contoh: seorang wanita hamil mengeluarkan:
Darah pertama (haidl) 5 hari
Berhenti selama 1 hari
Kemudian melahirkan
Darah terus keluar selama 20 hari

maka darah yang keluar selama 5 hari pertama disebut darah


haidh dan darah yang keluar saat melahirkan dan keluar bersamaan
dengan bayi disebut darah istihadhoh. Untuk darah yang keluar setelah
melahirkan selama 20 hari disebut darah nifas, sedangkan 1 hari masa
tidak keluar darah dihukumi suci yang memisah diantara haidh dan nifas.

15
B. LAMA WAKTU NIFAS
Minimal nifas adalah 1 tetes (sebentar), walaupun basahnya darah tidak
sampai mengalir. Umumnya nifas adalah 40 hari. Sedangkan batas maksimal
nifas adalah 60 hari 60 malam dihitung mulai dari lahirnya sang buah hati.
Contoh:
Seorang wanita melahirkan pada tanggal 1, mulai keluar darah tanggal 11.
Maka perhitungan genapnya 60 hari terhitung mulai dari tanggal 1 (tidak dari
tanggal 11). Sedangkan yang dihukumi nifas (yang diharamkan sholat dan lain
sebagainya) mulai tanggal 11. Dan masa antara melahirkan dan keluar darah
dihukumi suci, sehingga dia tetap diwajibkan sholat, boleh berhubungan badan
dan lain sebagainya.

BAB III
HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN HAIDL DAN NIFAS

A. Hal-Hal Yang Dilarang Bagi Wanita Haidl dan Nifas


Ketika darah yang keluar bisa dikategorikan haidl atau nifas, maka ada
beberapa hal yang diharamkan, yaitu:
1. Sholat (wajib maupun sunnah)
Rasulullah bersabda: َ
َ َ َّ ْ ََ ُ َ َْ ََْ َ
‫اْليضة فد ِِع الصالة‬ ‫ت‬
ِ ‫إِذا أقبل‬
Artinya: “Jika kamu (wanita) menghadapi (mengalami) haidl, maka
tinggalkanlah Sholat.” (HR. Bukhari)
Sholat yang ditinggalkan selama masa haidl tidak wajib diqodlo’. Sebab
tidak ada perintah qodlo’ dari syara’, disamping hal itu dianggap akan
menimbulkan kesulitan (masyaqqah), mengingat kewajiban sholat sehari
semalam sebanyak lima kali. Namun bagi kaum wanita tidak usah khawatir
akan hilangnya pahala dengan larangan sholat baginya, sebab jika dalam
meninggalkan sholat karena haidl diniati tunduk dan mengikuti perintah
Allah, maka ia akan tetap mendapat pahala24.

24
al Mahalliy I/100

16
Adapun apabila bersikeras mengqodloi sholat yang ia tinggalkan saat
haidl atau nifas, maka menurut imam al-Baidlowi hukumnya haram, serta
makruh menurut ‘ulama lain, dan menurut kedua pendapat ini sholat qodlo'
yang dilakukan tidak sah, sesuai dengan kaidah fiqih :
ْ َ َْ َْ ْ َ ْ ُ َْ ُ ْ َ َُ َ َْ
‫ال ِعبادة حيث لم تطلب لم تنع ِقد‬
Artinya: “Ibadah yang tidak dianjurkan tidak sah dilakukan.”
2. Sujud syukur dan tilawah
Pada dasarnya kedua sujud ini hukumnya sunnah dilakukan bila ada
sebab-sebab yang menuntut sujud tersebut. Namun, karena syarat sah kedua
sujud ini sama dengan syarat sah sholat, maka bagi wanita yang mengalami
haidl tidak sah dan haram melakukannya.25
3. Puasa (wajib maupun sunnah)
Rasulullah bersabda: َ َ
ْ ُ َ ْ َ ِّ َ ُ ْ َ ُ َ ْ ‫اض‬
َ َ َ َ َْ
‫ت الم ْرأة لم تصل َولم تصم‬ ِ ‫أليس إِذا ح‬
Artinya: “Bukankah perempuan apabila sedang haidl tidak boleh sholat dan
puasa?” (H.R. Bukhari-Muslim).
Berbeda dengan sholat, puasa yang ditinggalkan wajib diqodlo’i mengingat
puasa hanya sekali (satu bulan) dalam setahun, sehingga dianggap tidak
timbul masyaqqah. Namun, jika haidl atau nifas telah berhenti maka boleh
untuk melakukan puasa meskipun belum mandi besar.
4. Thawaf (wajib maupun sunnah)
Semua ibadah (manasik) haji boleh dilakukan oleh wanita haidl kecuali
thawaf dan sholat sunnah thawaf, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan
oleh sayyidah ‘Aisyah RA.:
ُّ َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ ََ َ ْ
ُّ َّ‫ال انل‬
َ َ َ ْ َّ َ
‫اْلاج‬ ‫ِب صلعم ا ِفع ِِل ما يفعل‬ ِ ‫ق‬ ‫ف‬ ‫ت‬ ‫ِض‬‫ح‬ ‫ف‬ ‫َس‬
ِ ‫جئن ا‬ ِ ‫ لما‬: ‫عن اعئشة ريض اهلل عنها قالت‬
ْ ُ ْ َ َ‫َ َْ َ ْ َ َ ُ ْ ْ َْْ َ ى‬
.‫ت حّت تطه ِري‬ ِ ‫غْي أن ال تطو ِِف بِاْلي‬
Artinya: Dari A’isyah Ra. dia berkata “ketika kami sampai di sarif, saya
mengalami haidl”, maka Nabi saw bersabda: “Lakukanlah semua hal yang
harus dilakukan oleh orang yang haji tetapi engkau tidak boleh thawaf di
Baitullah sehingga engkau suci (dari haidl).” (H.R. Bukhari-Muslim)

25
I’anah at Thalibin I/209-210

17
5. Membaca al Qur-an
Maksudnya melafalkan dengan lisan yang sampai bisa didengar oleh dirinya
sendiri. Sehingga apabila dibaca didalam hati, dibaca dengan niat dzikir/do’a
atau dibaca tanpa niat apapun (mutlaq) maka diperbolehkan26. semisal
membaca basmalah ketika akan minum sebagai doa untuk mendapat barakah.
Keharaman ini bersumber dariً hadistْ Rasulullah:
ْ
ْ ُْ َ ْ َ ُ َ ََ ُ ُُ َ َْ
ِ ‫ال يقرأ ِاْلنب وال اْلا ِئض شيأ مِن القر‬
‫آن‬
Artinya: “Tidak diperbolehkan bagi orang yang junub dan wanita yang sedang
haidl membaca sesuatu (ayat) dari al Qur-an.” (H.R. al-Turmudzi).
6. Menyentuh dan membawa mushaf (al Qur-an).
Yang dimaksud mushaf adalah setiap sesuatu yang ditulisi lafaz al Qur-an,
dengan tujuan dirosah (dibaca) meskipun kurang dari satu ayat.
Allah berfirman:
ٌ ْ َ َ ُ َّ َ ُ ْ َّ ُ ُّ َ َ َ
َ ‫يل م ِْن َر ِّب الْ َعالَم‬ ُ ْ َ َ ٌ َ ٌ َ ْ ُ َ ُ َّ
‫ي‬ ِ ‫ْن‬
ِ ‫ ت‬،‫ ال يمسه إِال المطهرون‬،‫ون‬ٍ ‫اب مكن‬ٍ ‫ ِِف كِت‬،‫إِنه لقرءان ك ِريم‬
Artinya: “Sesungguhnya al Qur-an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada
kitab yang terpelihara (lauh al-mahfuzh), tidak (boleh) menyentuhnya
kecuali hamba-hamba yang disucikan, diturunkan dari Tuhan semesta alam.”
(QS. Al Wâqi’ah; 77-80)
Namun, apabila yang disentuh atau yang dibawa adalah al-Qur’an yang
ditafsiri maka tidak diharamkan selama tafsrnya lebih banyak dari ayat al-
Qur’annya. Seperti tafsir Jalalain, tafsir Munir dan lain-lain.27
7. Berdiam diri atau lewat di dalam masjid.
Nabi bersabda: ُ
‫ب‬
ُُ َ َ َ َ ‫إ ِّّن ال أح ُِّل ال ْ َم ْس‬
ٍ ‫جد ِْلائ ٍِض وال جن‬
ِ ِ
Artinya: “Saya tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haidl dan
tidak pula bagi orang yang junub.” (HR. Abu Daud)
Khusus untuk keharaman lewat dalam masjid jika memang dikhawatirkan
ada darah yang mengenai masjid.28

26
Hasyiyah al Bujairimi ‘alaa Khatib I/356-358
27
Fath al-Muin hal
28
Hasyiyah al-Jamal juz 1 hal. 237

18
8. Dicerai.
Seperti halnya puasa, keharaman ini berlaku ketika darah haidl masih
mengalir, berbeda ketika sudah terputus (mampet). Hal ini diharamkan, sebab
bila sang istri dicerai saat haidl, maka akan menajdi penyebab bertambah
lamanya masa ‘iddah (penantian untuk memastikan kosongnya rahim)29. Dan
yang mendapatkan dosa keharaman ini adalah sang suami bukan istri.
9. Melakukan hubungan badan.
Keharaman ini merujuk pada firman Allah Swt.:
َ ُ ْ َ َّ َ َّ ُ ُ ْ َ َ َْ ْ َ
َ ‫اع ََتلُوا النِّ َس‬
.‫ِيض َوال تق َربوهن حّت يطه ْرن‬
ِ ‫اء ِِف المح‬ ِ ‫ف‬
Artinya: “Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidl, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.”
(QS. Al Baqoroh: 222)
Menurut para ulama, berhubungan badan saat istri sedang haidl adalah
termasuk dosa besar, walaupun tidak sampai mewajibkan kafarat.
Kemudian, bagi seseorang yang sudah terlanjur menyetubuhi wanita disaat
haidl disunahkan untuk bersedekah sebanyak satu dirham (3,88 gram emas)
apabila persetubuhan dilakukan saat-saat awal darah haidl keluar. Apabila
persetubuhan dilakukan saat-saat akhir darah haidl keluar, maka sunah
bersedekah setengah dinar (2,94 gram emas).30
Hanya saja jika ada kekhawatiran terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan
seperti berzina, maka diperbolehkan menyetubuhi istri yang sedang dalam
masa haidl. Hal ini mengacu pada sebuah kaidah fiqh:
‫إذا تعارض مفسدتان روِع أعظمهما رضرا بارتكاب أخفهما‬
"Jika ada dua mafsdah bertentangan, maka yang lebih dijaga adalah yang
lebih besar dampaknya dengan memilih dampak yang lebih ringan".
Dengan demikian, jika persetubuhan dilakukan dalam kondisi tersebut,
maka tidak lagi disunahkan bersedekah sebagaimana diatas.31

29
Al-Mahally juz 1 hal. 100
30
Fiqhul islami I/475 & Fathul qodir 19
31
Hasyiyah Syibromalisi 'ala nihayah al-muhtaj,juz 3 hal.109

19
10. Bersentuhan kulit pada anggota tubuh antara lutut dan pusar.
Imam Abu Dawud meriwayatkan:
َ َ َ
َ َ َ َْ َ َ ََ ٌ َ َ َ َْ ُ َ ‫َ ْ ُ َ ْ َ َ َّ ُ َ َ َّ َّ َ َ ُّ ى‬
ِ ‫ ما فوق ا ِِلز‬: ‫ ما َيِل ل ِلرج ِل م ِِن امرأت ِ ِه و ِِه حائ ِض؟ فقال‬: ‫ِب‬
‫ار‬ ِ ‫عن معا ِذ ب ِن جب ٍل أنه سأل انل‬
Artinya: diceritakan dari sahabat Mu’adz bin Jabal, bahwa ia bertanya kepada
Nabi saw “apa yang halal dilakukan seorang suami pada istrinya di saat
haidl?” Rasulullah menjawab: “persentuhan kulit pada selain anggota antara
lutut dan pusar”. (HR. Abu Daud)
Selain hadist Nabi tersebut, hal ini juga dikarenakan menyentuh anggota di
antara pusar dan lutut walaupun dengan tanpa syahwat bisa mendorong
suami melakukan hubungan badan.

B. Shalat Yang Harus Diqadla’ Sebab Datang Dan Berhentinya Haidl Dan
Nifas
Dalam kitab-kitab kuning para ulama salaf mengategorikan haidl dan nifas
sebagai mawani’ as-shalat (sesuatu yang mencegah shalat). Datang dan
berhentinya mawani’ as-shalat bisa mengakibatkan hutang shalat yang harus
diqadla’. Dan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Jika haidl dan nifas terjadi setelah masuknya waktu yang cukup untuk
digunakan untuk melakukan shalat, maka setelah suci ia wajib mengqadla;
shalat yang belum sempat dikerjakan saat datangnya haidl dan nifas.
Contoh:
Darah haidl keluar pukul 13.00 WIB,. Sementara ia belum melakukan
shalat Dzuhur, maka setelah darah berhenti (suci) wajib mengqadla’
shalat dzuhur.
2. Jika haidl dan nifas terjadi setelah masuknya waktu shalat sampai batas
minimal masih bisa melakukan takbiratul ihram, maka ia harus
melakukan shalat pada waktu tersebut serta shalat yang bisa diqadla
dengan shalat tersebut.
Contoh:
Darah haidl berhenti pukul 16.00 WIB. Maka ia wajib melaksanakan shalat
Ashar dengan ada’ dan juga shalat Dzuhur dengan qadla’ sebab Dzuhur
merupakan shalat yang bisa dijama dengan Ashar.

20
C. Puasa Yang Harus Diqadla’ Sebab Datang Dan Berhentinya Haidl Dan
Nifas
Bila haidl dan nifas terjadi di bulan Ramadan, maka semua puasa yang
ditnggalkan wajib diqadla’ termasuk masa darah berhenti yang masih
dihukumi haidl atau nifas. Hal ini biasanya terjadi pada wanita yang haidl atau
nifas secara terputus-putus.
Contoh:
Awal Ramadan keluar darah haidl selama 2 hari, kemudian berhenti selama 3
hari dan ia melakukan puasa. Kemudian ternyata keluar darah lagi selama 5
hari. Baru setelah itu suci sampai akhir bulan Ramadan.
Maka, puasa yang harus diqadla’ adalah 10 hari dari awal Ramadan. Sebab
semua dihukumi haidl , termasuk 3 hari tidak keluar darah, sehingga puasa
yang dilakukan tidak sah.

BAB IV
ISTIHADLOH
A. Pengertian Istihadlah
Secara istilah syara' istihadloh adalah darah penyakit yang keluar dari
alat kelamin wanita yang tidak sesuai dengan ketentuan darah haidl dan
darah nifas.
B. Warna dan Sifat Darah
Dalam membahas masalah istihadloh, yang perlu diperhatikan
terlebih dahulu adalah mengetahui sedetail mungkin antara kuat dan
lemahnya darah. Kuat dan lemahnya darah dipengaruhi oleh warna dan sifat
darah sebagaimana berikut: 32
1. Warna darah:
1) Hitam
2) Merah
3) Merah kekuning-kuningan
4) Kuning
5) Keruh

32
Hasyiyatul bujairomi alal khotib juz 1 hlm 341

21
2. Sifat-sifat darah:
1) a. Kental
b. Cair
2) a. Berbau busuk/anyir
b. Tidak berbau
Warna nomor 1 lebih kuat dari pada nomor 2. Dan warna nomer 2 lebih
kuat dari pada nomer 3, begitu seterusnya. Jika kedua darah sama-sama
memiliki sifat atau warna yang mendorong kearah kuat, maka yang dihukumi
darah kuat adalah yang lebih banyak ciri-ciri yang mendorong ke arah kuat.33
C. Pembagian Mustahadlah
Pembagian wanita yang mengalami istihadlah ini berdasarkan apakah ia
sudah pernah haidl atau belum (mubtadi’ah atau mu’tadah), apakah ia bisa
membedakan kuat dan lemahnya darah atau tidak (mumayyizah atau ghoiru
mumayyizah), apakah ia mengingat kebiasaan haid bulanannya atau tidak
(dzakirah li’adatiha atau ghoiru dzakirah li’adatiha). Sehingga wanita yang
mengalami istihadloh di bagi menjadi 7 (tujuh) kelompok:
1. Mubtadi’ah mumayyizah
2. Mubtadi’ah ghoiru mumayyizah
3. Mu’tadah mumayyizah
4. Mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha qadran wa waqtan
5. Mu’tadah ghoiru mumayyizah nasiyah li ‘adatiha qadran wa waqtan
6. Mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha qadran la waqtan
7. Mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha waqtan la qadran

Nb: Keterangan selebihnya tentang istihadloh dapat anda baca dalam buku
“uyunul masa-il linnisa” terbitan Pon-Pes Lirboyo.

33
Al mahalli ma’a hasyiyatu al qulyubi juz 1 hlm 102-103

22
TATA CARA SHOLAT BAGI WANITA MUSTAHADHOH
Wanita yang istihadhoh dan orang yang beser air seni tetap diwajibkan
sholat, puasa dan amaliah syariat yang wajib baginya, serta ia diperbolehkan
membaca Al-Qur’an, berhubungan badan dengan suaminya dan lain-lain sebab ia
dihukumi orang yang suci (bukan haid).
Namun sebelum berwudhu', ia harus mengikuti aturan berikut:
1. Harus mencuci alat kelaminnya dari najis yang keluar.
2. Menyumbat alat kelamin dengan kapas atau yang sejenis. Hal ini dilakukan,
jika tidak timbul rasa sakit saat disumbat. Dan jika dia sedang berpuasa,
maka hal itu harus dihindari pada waktu siang hari karena akan
menyebabkan batalnya puasa.
Dalam penyumbatan ini, tidak dianggap cukup bila penyumbatan hanya
dimasukkan pada alat kelamin yang tidak wajib disucikan pada waktu istinja'.
Namun harus dimasukkan ke bagian dalam alat kelamin, agar ketika sholat tidak
dihukumi membawa sesuatu yang terkena najis. Dan jika darah yang keluar
terlalu banyak sehingga tembus keluar penyumbat, maka diperkenankan
membalut bagian luar alat kelaminannya saja dikarenakan dlorurot.
Semua ketentuan diatas, mulai mencuci alat kelamin sampai mengerjakan
shalat harus dilakukan dengan segera. Dalam artian jika setelah wudlu tidak
segera melaksanakan shalat untuk kepentingan selain kemaslahatan shalat,
seperti makan, minum dan lain sebagainya, maka tidak sah. Sedangkan jika tidak
segera shalat karena kemaslahatan shalat, seperti menutupi aurat, menanti
jamaah, menjawab adzan dan lainsebagainya, maka hukumnya diperbolehkan
(tidak perlu mengulangi bersuci kembali).

Catatan:
 Jika darahnya keluar karena kurang kuatnya pembalut, maka bersucinya
batal dan pembalutnya harus dilepas dan bersuci dimulai dari awal lagi.
Bagi wanita yang kesakitan memakai penyumbat dan wanita yang berpuasa
meskipun puasa sunnah, maka dia tidak wajib memakainya. Sebab
memakai penyumbat dapat membatalkan puasanya.

23
 Mereka dalam berwudlu tidak boleh berniat untuk menghilangkan hadats
atau bersuci dari hadats. Hal ini karena hadatsnya tidak pernah putus. Akan
tetapi harus berniat agar diperbolehkan menjalankan ibadah fardlu atau
agar diperbolehkan shalat, seperti:
‫نويت الوضوء الستباحة الصالة فرضا هلل تعال‬
"Nawaitul wudhuu-a listibahatish sholaati fardhon lillahi ta'ala".
 Semua ketentuan diatas, mulai mencuci alat kelamin sampai berwudlu
harus dikerjakan setelah masuk waktu shalat dan setiap akan melakukan
shalat fardlu.
 Setiap kali akan berwudlu harus mengganti pembalut dengan yang baru
dan yang rapat.

Peringatan:
1. Bagi orang yang selalu dalam keadaan berhadats (orang yang istihadhoh dan
beser) jika melakukan sholat dengan cara duduk maka hadatsnya tidak
keluar. Maka dia diwajibkan sholat dengan cara duduk dan setelah sehat
tidak wajib mengulangi (I'adah).
2. Bagi orang yang selalu dalam keadaan berhadats dan dia mempunyai dugaan
kuat bahwa di akhir waktu sholat ada selang / tenggang waktu terputusnya
hadats yang sekira cukup untuk bersuci dan sholat, maka diwajibkan
mengakhirkan sholatnya agar dapat mengerjakan sholat dalam keadaan suci
yang sempurna.
3. Orang beser hukumnya sah (boleh) menjadi imam sholat, walaupun
makmumnya tidak beser. Dan seorang wanita yang istihadhoh yang yakin
bahwa darah yang keluar itu adalah darah istihadhoh (ghoiru mutahayyiroh
/ tidak kebingungan), dia juga sah (boleh) menjadi imam sholat walaupun
makmumnya tidak istihadhoh. Sedangkan wanita istihadhoh yang
kebingungan (mutahayyiroh) apakah darah yang dikeluarkan itu dihukumi
darah haid atau istihadhoh (mutahayyiroh), maka tidak boleh menjadi imam
walaupun makmumnya juga mutahayyiroh.

24

Anda mungkin juga menyukai