Anda di halaman 1dari 3

TUGAS FIQH

Pemangku: Bpk. Hanany Naseh


Nama: Ahmad Danial Rizqi
NIM: 22104010089
Prodi: Pendidikan Agama Islam/A
Fakultas: Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Macam-Macam Qawaid Al-Fiqhiyyah

Ada banyak sekali kaidah fiqih yang dihasilkan oleh para ulama. Akan tetapi, ada lima kaidah
umum yang utama. Lima kaidah ini sering disebut sebagai al-qawaid al-fiqhiyah al-kubra. Menurut
sebagian ulama, bahwa seluruh masalah fiqih dikembalikan kepada kaedah yang lima tersebut,
yakni:
ِ َ‫( اَلُْأ ُم ْو ُر ب َِمق‬Semua perbuatan tergantung niatnya).
1. ‫اص ِد َها‬
Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

ْ ‫ َوِإ ن ََّما لِك ُِّل‬،‫ات‬


‫ام ِرٍئ َما ن َ َوى‬ ِ َّ‫ال بِالنِّي‬ ْ ‫ِإ ن ََّما اَأل‬
ُ ‫ع َم‬
“Sesungguhnya amal itu tergantung niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.”
(Hr. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Maksud kaedah ini adalah setiap perbuatan manusia, baik dalam hubungannya
dengan Allah maupun antara sesama makhluk yang ditentukan oleh niat dan tujuan
dilakukannya.
Dalam ibadah yang kaitannya dengan Allah Azza wa Jalla, niat adalah rukun,
sehingga menentukan sah-tidaknya suatu amal. Sedangkan dalam perbuatan yang kaitannya
dengan sesama makhluk, seperti muamalah, munakahah (pernikahan), jinayat (tindak
pidana), niat merupakan penentu; apakah perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah atau
sebaliknya, dan apakah sebagai perbuatan yang membawa dosa atau tidak.
Niat juga merupakan pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lain, seperti
ibadah yang fardhu dan yang sunah. Demikian juga merupakan pembeda antara ibadah atau
sekedar amal kebiasaan. Ini semua yang membedakannya adalah niat. Dan niat itu
tempatnya di hati; bukan di lisan.

2. ‫ِالش ِّك‬ ُ ‫( اَل ْيَ ِقيْ ُن ال َ يُ َز‬Keyakinan tidak dapat disingkirkan oleh keraguan)
َّ ‫ال ب‬
Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut,
« ‫استَيْقَ َن‬
ْ ‫عل َى َما‬ َّ ‫ِإ ذَا َش َّك َأ َح ُدك ُْم ِفى َصال َ ِت ِه َفل َْم يَ ْد ِر ك َْم َصلَّى ثَالَث ًا َأ ْم َأ ْربَ ًعا َفل ْيَ ْط َر ِح‬
َ ‫الش َّك َول ْيَبْ ِن‬
“Apabila salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, ia tidak ingat apakah
sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat, maka singkirkanlah keragu-raguan dan dasarilah
sesuai yang diyakini.” (HR. Muslim)
Yakin artinya maa kaana tsaabitan bin nazhar wad dalil, yakni sesuatu yang pasti,
dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil (bukti). Sedangkan syak (ragu-ragu)
artinya adalah keadaan yang tidak pasti, berada di tengah-tengah antara betul atau tidak
tanpa bisa dikalahkan salah satunya.
Maksud kaidah kedua adalah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan tidak dapat
digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang meragukan itu naik menjadi
yakin.
Contoh penerapan kaedah kedua adalah seorang yang telah berwudhu, kemudian
datang keraguan apakah ia telah berhadats, maka dalam hal ini ditetapkan yang telah
diyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadats.
ُ ِ‫جل‬
3. ‫ب التَّيْ ِسيْ َر‬ ْ َ‫( اَل َْم َشقَّ ُة ت‬Kesulitan mendatangkan kemudahan)
Dalil kaedah ini adalah firman Allah Ta’ala berikut,

ُ ‫يد الل َّ ُه ِبك ُْم ال ْيُ ْس َر َول َا يُ ِر‬


‫يد ِبك ُْم ال ُْع ْس َر‬ ُ ‫يُ ِر‬
“Allah menginginkan kemudahan untukmu dan tidak mengingikan kesulitan.”
(Qs. Al Baqarah: 185)
Para ulama menerangkan, bahwa dari kaedah di atas keluar segala bentuk rukhshah
atau keringanan. Di antaranya:
a) Ketika safar, seseorang boleh mengqashar (mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi
2), boleh berbuka, boleh mengusap khuff lebih dari sehari-semalam, dsb.

b) Ketika sakit, boleh shalat sambil duduk atau berbaring ketika tidak sanggup berdiri,
boleh tayammum ketika berbahaya menggunakan air, boleh berbuka puasa, dsb.
c) Ketika lupa, bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa
Ramadhan, atau salam sebelum selesai shalat, kemudian berbicara dengan sengaja
karena mengira shalatnya telah selesai, maka dia tidak batal shalatnya.
d) Ketika terpaksa (darurat), seseorang boleh memakan makanan yang diharamkan
agar dirinya tidak binasa.
e) Ketika jahil (tidak tahu), seperti berbicara ketika shalat karena tidak tahu hukumnya,
maka shalatnya tidak batal.
f) Ketika sulit atau umumul balwa (keadaan yang sulit dihindari), seperti shalat dengan
terkena najis yang sulit dihindari, adanya kotoran burung yang tersebar di masjid,
dsb.

4. ُ ‫َلض َر ُر يُ َز‬
‫ال‬ َّ ‫( ا‬Bahaya harus disingkirkan)
Dalil kaedah ini adalah hadits,
«‫»ل َا َض َر َر َول َا ِض َر َار‬
“Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Contoh penerapan kaedah ini dalam masalah muamalah adalah, diperbolehkan
mengembalikan barang yang telah dibeli jika ternyata ada cacat. Demikian pula dalam
transaksi jual beli karena terdapat perbedaan sifat yang tidak sesuai dengan yang telah
disepakati, disyariatkannya hajr (pencegahan melakukan transaksi pada harta) bagi orang
yang safih (dungu/kurang akal), anak yatim yang belum cerdas atau orang yang hilang
akalnya. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk
menghindarkan sejauh mungkin madharat (bahaya) yang merugikan pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya.
Dalam masalah jinayat, Islam menetapkan qishas (membalas serupa). Juga
ditetapkan hukuman hudud agar tidak terulang lagi perbuatan berbahaya yang dilakukan,
adanya kaffarat, mengganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa untuk menumpas
para pengacau keamanan dan menindak para pelaku kriminalitas, dsb.
Dalam masalah munakahat (pernikahan), Islam membolehkan perceraian dalam
situasi dan kondisi rumah tangga yang sudah tidak teratasi agar kedua suami istri tidak
mengalami penderitaan batin terus-menerus. Demikian pula dizinkan faskh (pembatalan
pernikahan) karena aib.

5. ‫حك َّ َم ٌة‬ َ ‫( اَل َْع‬Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum).


َ ‫اد ُة ُم‬
Dalil kaedah ini adalah pernyataan Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu,
«‫ون َح َسنًا ف َُه َو ِعن ْ َد الل َّ ِه َح َس ٌن‬
‫آه ال ُْم ْسلِ ُم َـ‬
ُ ‫»ما َر‬
َ
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal itu baik pula di sisi
Allah.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa adat dapat menjadi rujukan hukum dalam
beberapa keadaan. Sedangkan maksud‘adat' menurut para Ahli Fiqih adalah,
‫السلِيْ َم ِة‬ َّ ‫ع َّما يَ ْستَ ِق ُّر ِفي النُّفُ ْو ِس ِم َن الُْأ ُم ْو ِر ال ُْمتَك َِّر َر ِة ال َْم ْعقُ ْول َ ِـة ِعن ْ َد‬
َّ ‫الطبَاِئ ِع‬ َ َ‫ِعب‬
َ ٌ‫ارة‬
Istilah untuk sesuatu yang berulang kali yang telah menetap dalam jiwa karena sejalan
dengan akal menurut tabiat yang masih sehat.
Berdasarkan definisi di atas, adat merupakan perkara yang berulang-ulang
dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan
tabiat yang masih sehat. Adat menjadi hujjah adalah ketika bermanfaat dan tidak
bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, tidak termasuk adat sama sekali hal-hal yang
membawa kepada kerusakan, kemaksiatan, dan tidak ada faedahnya sama sekali, seperti
muamalah secara riba, berjudi, menyabung ayam, dan sebagainya meskipun perbuatan-
perbuatan itu menjadi kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasakan lagi
keburukannya.
Contoh penerapan kaedah di atas adalah tentang usia haidh dan baligh, batas
minimal darah haidh dan nifas, lamanya jeda yang bertentangan dengan muwalah
(berurutan) dalam wudhu, banyaknya gerakan menurut adat yang dianggap membatalkan
shalat, dsb. Dalam hubungannya dengan kaidah di atas, para Ahli Fiqih menyatakan,
ِ ‫َضاب َِط ل َُه ِفيْ ِه َوال َ ِفي الل ُّ َغ ِة يُ ْر َج ُع ِفيْ ِه ِإ ل َى ال ُْع ْر‬
‫ف‬ َّ ‫ك ُُّل َما َو َر َد ب ِِه‬
َ ‫الش ْر ُع ُم ْطلَقًا َوال‬
“Semua yang datang dari syara secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama
maupun bahasa, maka dikembalikan kepada uruf (adat yang berlaku).”
Contohnya ukuran nafkah kepada istri dan bentuk ihsan kepada kedua orang tua,
serta bentuk silaturrahim.
Setiap lima kaidah yang disebutkan di atas memiliki kaidah-kaidah turunan yang
tidak kami sebutkan di sini. Dan menurut Al Imam Izzuddin bin Abdussalam, bahwa hukum
fiqih seluruhnya kembali kepada kalimat ini,
‫اس ِد‬
ِ ‫ار ال َْم َصالِ ِـح َو َد ْر ُء ال َْم َف‬ ْ ِ‫ا‬
ُ َ‫ع ِتب‬
Memperhatikan (mendatangkan) maslahat dan menolak mafsadat (kerusakan/bahaya).
Itulah lima landasan umum atau kaidah fiqih pokok yang ada dalam agama Islam. Masing –
masing kaidah ini bisa diterapkan sesuai dengan waktu dan kondisi yang sesuai. Dengan memahami
kaidah fiqh, akan ada banyak manfaat yang bisa didapat. Salah satunya adalah menjadi lebih mudah
untuk menentukan hukum atau kebolehan suatu perkara.
Wallahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai