Ada banyak sekali kaidah fiqih yang dihasilkan oleh para ulama. Akan tetapi, ada lima kaidah
umum yang utama. Lima kaidah ini sering disebut sebagai al-qawaid al-fiqhiyah al-kubra. Menurut
sebagian ulama, bahwa seluruh masalah fiqih dikembalikan kepada kaedah yang lima tersebut,
yakni:
ِ َ( اَلُْأ ُم ْو ُر ب َِمقSemua perbuatan tergantung niatnya).
1. اص ِد َها
Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
2. ِالش ِّك ُ ( اَل ْيَ ِقيْ ُن ال َ يُ َزKeyakinan tidak dapat disingkirkan oleh keraguan)
َّ ال ب
Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut,
« استَيْقَ َن
ْ عل َى َما َّ ِإ ذَا َش َّك َأ َح ُدك ُْم ِفى َصال َ ِت ِه َفل َْم يَ ْد ِر ك َْم َصلَّى ثَالَث ًا َأ ْم َأ ْربَ ًعا َفل ْيَ ْط َر ِح
َ الش َّك َول ْيَبْ ِن
“Apabila salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, ia tidak ingat apakah
sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat, maka singkirkanlah keragu-raguan dan dasarilah
sesuai yang diyakini.” (HR. Muslim)
Yakin artinya maa kaana tsaabitan bin nazhar wad dalil, yakni sesuatu yang pasti,
dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil (bukti). Sedangkan syak (ragu-ragu)
artinya adalah keadaan yang tidak pasti, berada di tengah-tengah antara betul atau tidak
tanpa bisa dikalahkan salah satunya.
Maksud kaidah kedua adalah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan tidak dapat
digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang meragukan itu naik menjadi
yakin.
Contoh penerapan kaedah kedua adalah seorang yang telah berwudhu, kemudian
datang keraguan apakah ia telah berhadats, maka dalam hal ini ditetapkan yang telah
diyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadats.
ُ ِجل
3. ب التَّيْ ِسيْ َر ْ َ( اَل َْم َشقَّ ُة تKesulitan mendatangkan kemudahan)
Dalil kaedah ini adalah firman Allah Ta’ala berikut,
b) Ketika sakit, boleh shalat sambil duduk atau berbaring ketika tidak sanggup berdiri,
boleh tayammum ketika berbahaya menggunakan air, boleh berbuka puasa, dsb.
c) Ketika lupa, bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa
Ramadhan, atau salam sebelum selesai shalat, kemudian berbicara dengan sengaja
karena mengira shalatnya telah selesai, maka dia tidak batal shalatnya.
d) Ketika terpaksa (darurat), seseorang boleh memakan makanan yang diharamkan
agar dirinya tidak binasa.
e) Ketika jahil (tidak tahu), seperti berbicara ketika shalat karena tidak tahu hukumnya,
maka shalatnya tidak batal.
f) Ketika sulit atau umumul balwa (keadaan yang sulit dihindari), seperti shalat dengan
terkena najis yang sulit dihindari, adanya kotoran burung yang tersebar di masjid,
dsb.
4. ُ َلض َر ُر يُ َز
ال َّ ( اBahaya harus disingkirkan)
Dalil kaedah ini adalah hadits,
«»ل َا َض َر َر َول َا ِض َر َار
“Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Contoh penerapan kaedah ini dalam masalah muamalah adalah, diperbolehkan
mengembalikan barang yang telah dibeli jika ternyata ada cacat. Demikian pula dalam
transaksi jual beli karena terdapat perbedaan sifat yang tidak sesuai dengan yang telah
disepakati, disyariatkannya hajr (pencegahan melakukan transaksi pada harta) bagi orang
yang safih (dungu/kurang akal), anak yatim yang belum cerdas atau orang yang hilang
akalnya. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk
menghindarkan sejauh mungkin madharat (bahaya) yang merugikan pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya.
Dalam masalah jinayat, Islam menetapkan qishas (membalas serupa). Juga
ditetapkan hukuman hudud agar tidak terulang lagi perbuatan berbahaya yang dilakukan,
adanya kaffarat, mengganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa untuk menumpas
para pengacau keamanan dan menindak para pelaku kriminalitas, dsb.
Dalam masalah munakahat (pernikahan), Islam membolehkan perceraian dalam
situasi dan kondisi rumah tangga yang sudah tidak teratasi agar kedua suami istri tidak
mengalami penderitaan batin terus-menerus. Demikian pula dizinkan faskh (pembatalan
pernikahan) karena aib.