Anda di halaman 1dari 6

NAMA : NURHALIZAH (0310191007)

PRODI / SEMESTER : TADRIS BIOLOGI-1 / II (DUA)


MATA KULIAH : FIQH / USHUL FIQH
DOSEN PEMBIMBING : ENNY NAZRAH PULUNGAN, M.Ag.

RESUME KAEDAH-KAEDAH FIQHIYYAH

A. Pengertian Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah


Kaidah fiqhiyyah berasal dari bahasa Arab yaitu al-qawa’id dan al-
fiqhiyyah. Al-qawa’id merupakan bentuk jamak dari kata qa’idah, dalam
istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata ‘kaidah’ yang secara etimologi
berarti dasar, asas atau fondasi. Kata al-fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang
berarti ilmu dari hukum-hukum syari’ah yang bersifat amaliyah yang digali
dari sumber-sumber yang terperinci.1 Sedangkan secara terminologi fiqh
menurut al-jurjani al-hanafi berarti :
‫العلم باالحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي واالجتهاد‬
‫ويحتاج فيه الى النظر والتأمل‬
"ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara yang amaliyah yang diambil
dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang
memerlukan analisa dan perenungan".
Menutur Ibnu khaldun dalam muqaddimah al-mubtada wal khabar fiqh
berarti :
‫الفقه معرفة احكام هللا تعالى فى افعال المكلفين بالوجوب والحظر والندب والكراهة‬
‫واالباحة وهي متلقاة من الكتاب والسنة وما نصبه الشارع لمعرفتهامن األدلة‬
‫فإذااتسخرجت األحكام قيل لها فقه‬
"Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan
dengan segala perbuatan Mukallaf, (diistinbathkan) dari al-Qur'an dan as-
Sunnah dan dari dalil-dalil yang ditegaskan berdasarkan syara', bila

1
Nurhayati dan Ali Imran, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2018), h.67.
dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-dalil maka
terjadilah apa yang dinamakan fiqh."2
Secara terminologi, menurut Mustafa al-Zarqa sebagaimana dikutip oleh
Abd. Rahman Dahlan menyatakan bahwa kaidah fiqhiyah adalah dasar-dasar
fiqh yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang
berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum
yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.3
Abu Zahra menta’rifkan kaidah fiqh dengan “kumpulan hukum-hukum
yang serupa yang kembali kepada sam qiyas yang mengumpulkannya atau
kembali kepada prinsip fiqh yang mengikatnya.”4
Kaidah fiqhiyyah berfungsi untuk memudahkan mujtahid mengistinbatkan
hukum yang bersesuai dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia.5

B. Kaidah Asasiyah
Kaidah asasiyah terdiri atas panca (lima) kaidah dasar. Lima kaidah
tersebut digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui nash Al-Qur’an dan
al-Sunnah maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan
atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqh. Lima
kaidah dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Segala sesuatu tergantung tujuannya
Kaidah hukum ini menjelaskan bahwa suatu perkara yang timbul
dan perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada
maksud dan tujuan perkara tersebut. Contoh memakan bangkai tanpa
adanya rukhsan (dispensasi hukum) status hukumnya adalah haram.
Sebagaimana firman Allah surah al-Maidah (5) ayat 3 :
ُ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْي َت ُة َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َمٓا ا ُ ِه َّل لِ َغي ِْر هّٰللا ِ ِبهٖ َو ْال ُم ْن َخ ِن َق ُة َو ْال َم ْوقُ ْو َذة‬ ْ ‫حُرِّ َم‬
‫َو ْال ُم َت َر ِّد َي ُة َوال َّنطِ ي َْح ُة َو َمٓا اَ َك َل ال َّس ُب ُع ِااَّل َما َذ َّك ْي ُت ۗ ْم‬

2
Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), h.25.
3
Nurhayati dan Ali Imran, loc.cit.
4
Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h.11.
5
Nurhayati dan Ali Imran, loc.cit.
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan
(daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik,
yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.”
Kaidah ini didasarkan pada firman Allah SWT surah al-Bayyinah
(98) ayat 5:
َّ ‫َو َمٓا ا ُ ِمر ُْٓوا ِااَّل لِ َيعْ ُب ُدوا هّٰللا َ م ُْخلِصِ ي َْن لَ ُه ال ِّدي َْن ەۙ ُح َن َف ۤا َء َو ُيقِ ْيمُوا الص َّٰلو َة َوي ُْؤ ُتوا‬
‫الز ٰكو َة‬
َ ِ‫َو ٰذل‬
‫ك ِديْنُ ْال َق ِّي َم ۗ ِة‬
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas
menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar
melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus (benar).”
Rasulullah bersabda:

‫ت وإِنَّما لِ ُك ِّل امري ٍء ما ن ََوى‬


ِ ‫إنَّ َما األع َمال بالنِّيَّا‬
“Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya
bagi seseorang hanyalah apa yang ia niatkan”6
2. Kemudharatan itu dapat dihilangkan
Arti dari kaidah itu adalah kemudharatan atau kesulitan harus
dihilangkan, jadi konsepsinya kaidah ini memberikan pengertian bahwa
harus dijauhkan dari idhar (tidak menyakiti) baik oleh dirinya maupun
orang lain, dan tidak semestinya menimbulkan bahaya bagi orang lain.7
Contoh seandainya ada pohon besar dengan buah yang banyak.
Buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat
dibawahnya sehingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka
berdasarkan kaidah tersebut pohon ini harus di tebang.
Dasar kaidah tersebut adalah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan
oleh Imam Malik:

6
Ibid, h.68
7
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Amzah, 2011),
h.45.
‫ من ضر ضره هللا ومن شق شق هللا ءليه‬m‫ وال ضرار‬m‫الضرر‬
“Tidak boleh memudaratkan dan dimudaratkan, barangsiapa yang
memudaratkan, maka Allah SWT akan memudaratkannya, dan siapa saja
yang menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya.”8
3. Tradisi dapat menjadi hukum
Kaidah tersebut memberi pengertian bahwa untuk menentukan
hukum yang berdasarkan dari hasil penalaran dapat diterima sebagai salah
satu bentuk menentukan hukum melalui adat istiadat.
Suatu adat atau ‘urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan syariat
b. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan
c. Telah berlaku pada umumnya orang Muslim
d. ‘Urf tersebut sudah memasyarakat
Dasar kaidah tersebut adalah firman Allah dalam surah al-Hajj
(22):78:

ِ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِى ال ِّدي‬


‫ْن مِنْ َح َر ۗ ٍج‬
“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.”9
4. Kesulitan menimbulkan kemudahan
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka
syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya
tanpa kesulitan dan kesukaran.
Contoh: Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan
tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat,
maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak
mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup
untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan
pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu

8
Nurhayati dan Ali Imran, op.cit, h.72
9
Ibid.
termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan
sholat pada waktu sholat tersebut.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an dalam
surah al-Baqarah (2): 185:
‫ي ُِر ْي ُد هّٰللا ُ ِب ُك ُم ْاليُسْ َر َواَل ي ُِر ْي ُد ِب ُك ُم ْالعُسْ َر‬
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”
Dan firman Allah dalam surah al-Hajj (22): 78:

ِ ‫ه َُو اجْ َت ٰبى ُك ْم َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِى ال ِّدي‬


‫ْن مِنْ َح َر ۗ ٍج‬
“Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” 10
5. Yakin tidak hilang karena adanya keraguan
Kaidah ini berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap atau yang
sealur dengannya, yaitu sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan oleh
keraguan yang muncul sebagai bentuk kontradiktifnya, akan tetapi ia
hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi kuat yang menyatakan
sebaliknya. Artinya keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keraguan.
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih
ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus
berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih  punya
wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya
wudhu’ kita telah batal.
Dalil yang menjadi acuan kaidah tersebut adalah firman Allah
dalam surah Yunus (10): 36:
‫ ۗا اِنَّ هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم ِۢب َما َي ْف َعلُ ْو َن‬Nًٔ‫الظنَّ اَل ي ُْغنِيْ م َِن ْال َح ِّق َش ْئـ‬
َّ َّ‫َو َما َي َّت ِب ُع اَ ْك َث ُر ُه ْم ِااَّل َظ ًّن ۗا اِن‬

“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan


itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”11

10
Asyamuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang,
1976), h.34.
11
Nurhayati dan Ali Imran, op.cit, h.69.
DAFTAR PUSTAKA

As-siddiqy, Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Amzah, 2011.


Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Nurhayati dan Ali Imran, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Prenadamedia

Group, 2018.

Rahman A. Asyamuni, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Anda mungkin juga menyukai