1
Nurhayati dan Ali Imran, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2018), h.67.
dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-dalil maka
terjadilah apa yang dinamakan fiqh."2
Secara terminologi, menurut Mustafa al-Zarqa sebagaimana dikutip oleh
Abd. Rahman Dahlan menyatakan bahwa kaidah fiqhiyah adalah dasar-dasar
fiqh yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang
berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum
yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.3
Abu Zahra menta’rifkan kaidah fiqh dengan “kumpulan hukum-hukum
yang serupa yang kembali kepada sam qiyas yang mengumpulkannya atau
kembali kepada prinsip fiqh yang mengikatnya.”4
Kaidah fiqhiyyah berfungsi untuk memudahkan mujtahid mengistinbatkan
hukum yang bersesuai dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia.5
B. Kaidah Asasiyah
Kaidah asasiyah terdiri atas panca (lima) kaidah dasar. Lima kaidah
tersebut digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui nash Al-Qur’an dan
al-Sunnah maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan
atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqh. Lima
kaidah dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Segala sesuatu tergantung tujuannya
Kaidah hukum ini menjelaskan bahwa suatu perkara yang timbul
dan perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada
maksud dan tujuan perkara tersebut. Contoh memakan bangkai tanpa
adanya rukhsan (dispensasi hukum) status hukumnya adalah haram.
Sebagaimana firman Allah surah al-Maidah (5) ayat 3 :
ُت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْي َت ُة َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َمٓا ا ُ ِه َّل لِ َغي ِْر هّٰللا ِ ِبهٖ َو ْال ُم ْن َخ ِن َق ُة َو ْال َم ْوقُ ْو َذة ْ حُرِّ َم
َو ْال ُم َت َر ِّد َي ُة َوال َّنطِ ي َْح ُة َو َمٓا اَ َك َل ال َّس ُب ُع ِااَّل َما َذ َّك ْي ُت ۗ ْم
2
Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), h.25.
3
Nurhayati dan Ali Imran, loc.cit.
4
Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h.11.
5
Nurhayati dan Ali Imran, loc.cit.
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan
(daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik,
yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.”
Kaidah ini didasarkan pada firman Allah SWT surah al-Bayyinah
(98) ayat 5:
َّ َو َمٓا ا ُ ِمر ُْٓوا ِااَّل لِ َيعْ ُب ُدوا هّٰللا َ م ُْخلِصِ ي َْن لَ ُه ال ِّدي َْن ەۙ ُح َن َف ۤا َء َو ُيقِ ْيمُوا الص َّٰلو َة َوي ُْؤ ُتوا
الز ٰكو َة
َ َِو ٰذل
ك ِديْنُ ْال َق ِّي َم ۗ ِة
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas
menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar
melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus (benar).”
Rasulullah bersabda:
6
Ibid, h.68
7
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Amzah, 2011),
h.45.
من ضر ضره هللا ومن شق شق هللا ءليهm وال ضرارmالضرر
“Tidak boleh memudaratkan dan dimudaratkan, barangsiapa yang
memudaratkan, maka Allah SWT akan memudaratkannya, dan siapa saja
yang menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya.”8
3. Tradisi dapat menjadi hukum
Kaidah tersebut memberi pengertian bahwa untuk menentukan
hukum yang berdasarkan dari hasil penalaran dapat diterima sebagai salah
satu bentuk menentukan hukum melalui adat istiadat.
Suatu adat atau ‘urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan syariat
b. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan
c. Telah berlaku pada umumnya orang Muslim
d. ‘Urf tersebut sudah memasyarakat
Dasar kaidah tersebut adalah firman Allah dalam surah al-Hajj
(22):78:
8
Nurhayati dan Ali Imran, op.cit, h.72
9
Ibid.
termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan
sholat pada waktu sholat tersebut.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an dalam
surah al-Baqarah (2): 185:
ي ُِر ْي ُد هّٰللا ُ ِب ُك ُم ْاليُسْ َر َواَل ي ُِر ْي ُد ِب ُك ُم ْالعُسْ َر
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”
Dan firman Allah dalam surah al-Hajj (22): 78:
10
Asyamuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang,
1976), h.34.
11
Nurhayati dan Ali Imran, op.cit, h.69.
DAFTAR PUSTAKA
Group, 2018.