Anda di halaman 1dari 8

AL - DHARAR YUZAL

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:

“Qawa’id Fiqhiyah”

Dosen Pengampu:

Dr.H. Imam Annas Muslihin, M.H.I

Disusun oleh:

Lu’lu’atul Maghfiroh (21401097)


Yuli Fahimatus Zahra’ (21401098)
Elsha Fatmawati Nur Aini (21401099)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

Berbicara mengenai Usul Fiqih tidak terlepas dari pembahasan mengenai metode-
metode yang digunakan untuk proses istinbath hukum. Hal ini di karenakan Usul Fiqih
senantiasa berhubungan dengan masalah-masalah yang memerlukan penyelesaian dengan
benar dan akurat.

Apabila al- Qur’an telah secara eksplisit menyebutkan kedudukan hukum suatu
perbuatan atau masalah, maka tidak perlu adaanya kajian hukum terhadap kasus tersebut.
Akan tetapi apabila al- Qur’an tidak menjelaskan secara tegas, begitupun Hadits sebagai
sumber hukum kedua juga tidak memberikan solusi yang nyata, sudah seharusnya kasus
tersebut segera dicarikan pemecahnya. Kaidah-kaidah pokok yang perlu dijadikan sebagai
dasar atau landasan dalam proses penetapan hukum tersebut, baik kaidah yang berlaku secara
umum maupun khusus sehingga diharapkan hasil yang diambil dari proses tersebut dapat
memberikan mashlahah bagi semuanya.

Berangkat dari pemikiran tersebut, maka dalam makalah ini akan sedikit dipaparkan
mengenai implementasi salah satu kaidah Fiqhiyah yang berkenaan dengan hukum dalam
kondisi kemudharatan yaitu Al- Dharar Yuzal.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al- Dharar Yuzal “ ‫”اَلض َُّر ُريُ َزا ُُل‬


Dharar (‫ )ض َُّرر‬secara etimologi berasal dari kalimat “adh- Dharar” yang
artinya sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahan. Sedangkan secara
terminology menurut beberapa para ulama’ adalah:
1. Dharar adalah posisi pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu
dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Hal seperti ini memperbolehkan
melanggar sesuatu yang diharamkan dengan batas-batas tertentu.
2. Abu Baar Al- Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan
seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya, atau Sebagian anggota
badannya karena ia tidak makan”.1
3. Menurut Sebagian ulama’ dari Madzab Maliki, “Dharar adalah mengahawatirkan
dari dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”

Berdasarkan pendapat para ulama’ diatas dapat di simpukan bahwa Dharar


adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak
diselesaikan maka ia akan mengancam nyawanya.

Arti dari kata Al- Dharar Yuzal yaitu “Kemudharatan harus dihilangkan.”
Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang
menimbulkan kemadharatan maka keberadaannya wajib dihilangkan.2 Jadi konsep
kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tidak
menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain,dan tidak semestinya ia
menimbukkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Ahmad al- Nadwi
menyebutkan bahwa penerapan kaidah diatas meliputi lapangan yang luas didalam
fikih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari fiqih yang ada. Contoh-contoh dibawah
ini antara lain memunculkan kaidah diatas:

1
Al-jashas adalah salah seorang Imam fikih Hanafi pada abad ke 14 H, dan kitabnya Ahkam Al-Quran dipandang sebagai
kitab fikih terpenting, terutama bagi pengikut mazhab Hanafi.
2
Muhammad Mas’ud Zein, Sistematika Teori Hukum Islam (Qowa’id-Fiqhiyyah), (Jawa Timur: Al-Syarifah Al-
khadizah,2006), h.60

2
1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan
tersebut mengakibatkan kemudharatan bagi rakyat.
2. Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayat (hukum pidana Islam) adalah
juga untuk menghilangkan kemudharatan
3. Adanya aturan al- Hajr juga dimaksudkan untuk menghilangkan kemudharatan.
Demikian pula aturan hak syufi’ah.

Kaidah tersebut sering disebutkan dalam Hadits:

‫الضررًالضرار‬

“Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan “(H.R. Hakim dan
lainya dari Abu Sa’id Al khudri, H.R. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

B. Sumber Kaidah al- Dharar Yuzal


Kaidah ini didasarkan kepada nash-nash al-Qur’an dan Hadits sebagai berikut:3
1. Al- Qur’an
a. Q.S al- A’raf: 56

ْ ٍَ‫َي‬
ٍََْ‫َان ًُحْ ِس ِني‬ َ ٌَِّ ‫ط ًَعً ۗاا‬
ّ ِ ٌ‫َرحْ ًَتَ َهللاَِقَ ِريْب‬ َ ً‫اًَادْع ٌُْهَُخ ٌَْفً َّا‬
َ ‫ص ََل ِح َي‬ ْ ِ‫ًَ َالَت ُ ْف ِسذ ًُْاَف‬
ِ ‫ىَاالَ ْر‬
ْ ِ‫ضَبَ ْعذََا‬

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)


memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S Al-A’raf: 56)
b. Q.S al- Baqarah: 173

َ‫ًَ َالَ َعاَدٍَفَ َ َۤلَاِثْ َىَ َعهَ ْي ِو‬ ُ ‫ض‬


َّ ٍ‫ط َّرَ َغي َْرَبَاَغ‬ ْ ‫فَ ًَ ٍَِا‬

“Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa (memakanya) sedang ia tidak


menginginkannya dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa
baginya.” (Q.S. Al-Baqarah:173)

c. Q.S Al- Maidah: 105

َ‫ضمََّاِرَاَا ْىتَذَ ْيت ُ ْى‬


َ ٍَْ ‫َالَيَض ُُّر ُك ْىَ َّي‬

3
Muclis Usman, Kaidah- kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah- kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah). (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada,2002).

3
“Tidaklah orang yang sesat itu mampu memudharatkan kamu apabila kamu
telah mendapatkan petunjuk.” (Q.S. Al-Maidah :105)

2. Hadits
a. H. R. Muslim

‫حروَهللاَيٍَانًؤينيٍَديوًَياَنوًَعرضوًَاٌَاليضٍَاالَانخير‬

“Allah telah mengharamkan dari orang miskin, darahnya, hartanya, dan


kehormatanya, dan tidak menyangka kecuali dengan sangkaan yang
baik.”(H.R. Muslim)

b. H. R. Muslim
‫اٌَدياءكىًَايٌَنكىًَاعرضكىَحراو‬

“Sesungguhnya darah kamu semua, harta kamu semua, dan kehormatan kamu
semua, adalah haram diantara kamu semua.”(H.R. Muslim)

C. Penerapan Kaidah al- Dharar Yuzal


1. Penerapan Qaidah ‫ أَنض ََّر ُريُزَ ال‬dalam bidang muamalah
Kemudharatan wajib dihilangkan
a. Mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat dalam masa
khiyar diperbolehkan. Begitu pula larangan terhadap mahjur (orang yang
dilarang membelanjakan harta kekayaannya), muflis (yang jatuh pailit, yang
safih (orang dungu) untuk bertransaksi. Dasar pertimbangan diberlakukan
ketentuan tersebut untuk menghindarkan sejauh mungkin bahaya yang
merugikan pihak-pihak yang terlibat di dalam transaksi tersebut.
b. Jika seseorang meminjam uang dengan kadar tertentu, kemudian uang tersebut
tidak berlaku lagi karena penggantian uang, atau yang lainnya, maka menurut
Abu Yusuf (w.182 H) orang tersebut wajib mengembalikannya sesuai dengan
harga uang tersebut, yaitu pada hari akhir berlakunya uang pinjaman tersebut.
c. Hakim berhak mencegah orang yang berutang untuk bepergian (safar) atas
permintaan yang punya piutang sehingga ia menunjuk seorang wakil yang
mewakilinya dan tidak boleh ia memberhentikan wakilnya selama ia dalam
bepergian, untuk menghilangkan mudharata (bahaya) bagi yang punya
piutang.4

4
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin,
2015), hlm. 113-114.

4
2. Bidang Ubudiyah
Seseorang dibolehkan bertayammum jika tidak mungkin menggunakan air,
karena sakit atau kedinginan yang dapat membinasakan jiwa. Selama itu ia boleh
bertayammum. Bila telah memungkinkan memakai air, maka tayammumnya
batal sebab dhararnya telah hilang.
3. Bidang Siyasah
Korupsi di suatu negara. Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik,
baik politikus/ politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dalam
memperkaya diri dengan menyalahgunakan wewenang yang telah dipercayakan
oleh rakyat kepada mereka sebagai wakil rakyat tentu akan berdampak pada
berbagai sektor kehidupan dan keberlangsungan suatu negara. Sebagai contoh
dalam bidang hukum, sistem hukum tidak lagi berdasarkan pada prinsip-prinsip
keadilan hukum serta hilangnya kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dalam bidang ekonomi, pembangunan dan sumber-sumber ekonomi dikuasai
orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan serta hilangnya nilai moralitas
dalam kegiatan usaha yang merugikan pengusaha menengah dan kecil. Oleh
karena itu dampak dari korupsi ini dapat menyebabkan berbagai kemudharatan
yang harus dihilangkan dengan berbagai macam cara pemberantasan korupsi.
4. Bidang Jinayah
Adanya larangan membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-
orang yang tidak terlibat dalam peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk
menghilangkan kemudharatan.5

5
Mif Rohim, Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum). ( Jombang: LPPM Unhasy Tebuireng
Jombang, 2019), hlm. 104-105.

5
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus di
hilangkan. Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus
dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan
tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
Kaidah Adh-dhararu yuzalu adalah salah satu akidah assasiyah yang
menyatakan bahwa kemudharatan harus dihilangkan. Kaidah ini mencakup lapangan
yang luas dalam fiqh, atau bahkan mencakup pada seluruh aspek, seperti dalam hal
melaksanakan ibadah. Kaidah ini dapat menjadi pedoman bagi umat muslim untuk
mendapatkan keringanan atau kemudahan termasuk penghapusan hukum apabila
menghadapi keadaan tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai muslim karena
keadaan yang darurat dan menyangkut kemaslahatan.

6
DAFTAR PUSTAKA

A, Djazuli. (2006). Kaidah- kaidah Fikih. Jakarta: Kencana.

Azhari, F. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin: LPKU


Banjarmasin.

Rohim, M. (2019). Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi dan DasarPenetapan


Hukum). Jombang: LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG.

Usman, M. (2002). Kaidah- kaidah Istinbat Hukum Islam (Kaidah- kaidah


Ushuliyah dan Fiqhiyah). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Zein, M. M. (2006). Sistematik Teori Hukum Islam ( Qawa'id-Fiqhiyyah). Jawa


Timur: Al- Syarifah Al- Khadijah.

Anda mungkin juga menyukai