Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Segala perbuatan manusia tidak akan lepas dari genggaman


hukum. Baik itu berupa perbuatan, ucapan, bahkan gerak hati. Tidak
semua hukum dijelaskan secara terang benderang oleh nash. Bahkan
mayoritas hukum yang ada merupakan hasil ijtihad para ulama. Dalam
proses istinbath hukum, ilmu ushul fiqh merupakan salah satu komponen
pentingnya. Ushul fiqh didefinisikan sebagai ‘dalil-dalil fiqh’. Hal ini
mengindikasikan bahwa dalil (syar’i) merupakan kajian utama ushul fiqh.
Dilihat dari sumber pengambilannya, dalil ada yang bersifat
naqliyah dan aqliyah. Dalil yang termasuk naqliyah yaitu: Al-Qur’an,
Hadis, Ijma, Urf, Syar’u man qoblana, dan Madzhab Shahabi. Sementara
yang termasuk dalil aqliyyah yaitu: Qiyas, Maslahah-mursalah, Istihsan,
Istishab, dan saddudzari’ah.
Dari dalil-dalil tersebut tidak semua dalil disepakati eksistensinya oleh
ulama. Dalil yang disepakati (muttafaq alaih) ada empat yakni: Al-Qur’an,
Hadis, Ijma’ ,dan Qiyas. Sedang dalil yang diperselisihkan (mukhtalaf fih)
yakni: Istihsan, Maslahah-mursalah (isthilah), Urf, Madzhab Shahabi,
Syar’u Man Qoblana, dan Saddudzari’ah.1
Dalam penerapan hukum tak dapat dipungkiri bahwa ketaatan umat
berbanding lurus dengan kekuatan dalil yang dijadikan pijakan hukum
tersebut. Namun tak sedikit umat yang melanggar hukum dengan dalih,
yang dipilih adalah keputusan yang dianggap lebih baik dibanding
ketentuan hukum tersebut. Makalah ini akan mengurai penjelasan
mengenai salah satu dalil yang dianggap kurang kuat untuk dijadikan

1
Wahbah zuhaili, al-wajiz, h./;.’.
1
pijakan hokum, yakni istihsan, mulai dari pengertian, macam-macam,
kehujjahan, serta ikhtilaf ulama tentang kehujjahannya.
B, Rumusan masalah
1. Apa itu istihsan?
2. Apa saja macam istihsan?
3. Bagaimana argumen ulama tentang kehujjahan istihsan?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Lafad istihsan secara bahasa diambil dari akar kata ُ‫ ال َح َسن‬yang berarti baik,
lalu diikutkan pada bab al-istif’al dengan tambahan tiga huruf yaitu hamzah
washal, siin, dan ta, menjadi ُ‫ اِإل ْستِحْ َس=ان‬yang artinya hal menganggap baik2.
Ulama tidak berselisih pendapat mengenai penggunaan lafad istihsan 3.
Sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an surat Azzumar ayat 18 :

ُ‫الَّ ِذ ْينَ يَتَّبِعُوْ نَ ْالقَوْ َل فَيَتَّبِعُوْ نَ َأحْ َسنَه‬

“(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang


paling baik diantaranya.”

Dan juga muncul dalam Hadis yang diriwayakan oleh Ibnu Mas’ud

‫َما َرآهُ ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن‬

“apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam maka juga dianggap baik
oleh Allah.”

Istihsan menurut istilah syara’, ulama berbeda pendapat dalam


mendefinisikannya.

Sebagaimana dinukil dari kitab Mustashfa karya Al Ghazali beliau


mengatakan, bahwa hal yang dianggap baik oleh mujtahid sesuai akalnya
termasuk istihsan4. Mengenai hal ini, ulama sepakat untuk menolaknya karena
pendapat tentang agama yang hanya didasari oleh keinginan akal tidak dapat
diterima. Namun pendapat ini didasarkan pada makna hakikat istihsan yaitu

2
Ahmad warson munawwir,Almunawwir kamus arab-indo,h.265
3
Wahbah zuhaili, ushul fiqh islami, h.18. diambil dari syarhul isnawi juz 3
4
Imam Al-Ghazali, mustashfa, h.271
3
digunakan untuk hal yang disenangi oleh manusia dan membuatnya condong
pada hal itu sekalipun hal tersebut dianggap jelek dari sudut pandang yang lain.

Definisi istihsan menurut Abdul Wahhab Khallaf5 adalah

‫س َخفِ ٍّي َأوْ ع َْن ُح ْك ٍم ُكلِّ ٍّي ِإلَى ُح ْك ٍم ا ْستِ ْثنَاِئ ٍّي لِ َدلِي ٍْل‬ َ َ‫س َجلِ ٍّي ِإلَى ُم ْقت‬
ٍ ‫ضى قِيَا‬ ٍ ‫ضى قِيَا‬ َ َ‫ُع ُدوْ ُل ْال ُمجْ تَ ِه ِد ع َْن ُم ْقت‬
‫َّح لَ َد ْي ِه هَ َذا ْال ُع ُدوْ َل‬
َ ‫ا ْنقَ َد َح فِ ْي َع ْقلِ ِه َرج‬

“Berpalingnya mujtahid dari kehendak qiyas jali ke qiyas khofi atau dari
hukum kulli ke hukum pengecualian karena ada dalil yang muncul dari akal
mujtahid itu sendiri dan dapat mengunggulkannya.”

Qiyas jaliy adalah qiyas yang didasarkan atas illat yang mansush (jelas karena
ada nashnya), atau didasarkan atas illat mustanbathah (alasan hokum yang
digali dari kasus asal), tetapi dipastikan tidak ada fariq (hal yang membedakan)
antara kasus asal dan kasus baru, atau ada fariq namun tidak signifikan.
Sedangkan qiyas khafi merupakan qiyas yang didasarkan pada illat yang
mustanbathah tetapi antara kasus asal dan kasus baru terdapat fariq yang
signifikan6.

Definisi istihsan menurut Ibnu Arabiy adalah

َ َ‫ْض ُم ْقت‬
‫ضيَاتِ ِه‬ ِ ‫ارضُ بِ ِه فِي بَع‬
ِ ‫ض ِة َما يُ َع‬
َ ‫ار‬ ِ ‫ْق اِإْل ْستِ ْثنَا ِء َوالتَّ َر ُّخ‬
َ ‫ص لِ ُم َع‬ َ َ‫ك ُم ْقت‬
ِ ‫ضى ال َدلِ ْي ِل َعلَى طَ ِري‬ ُ ْ‫تَر‬

“Meninggalkan kehendak dalil dengan memilih hukum pengecualian dan


mengambil kemudahan yang mana hal itu bertentangan dengan sebagian
kehendak dalilnya.”

Definisi istihsan menurut Imam Malik adalah

‫العمل بأقوالدليلين أو األخذ بمصلحة جزئية في مقابلة دليل كلي‬

5
Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul al fiqh,h.79
6
Afifuddin muhajir, membangun nalar islam moderat,h.83
4
“Beramal (memberi kebijakan) dengan menggunakan dalil yang lebih kuat
diantara dua dalil yang ada, atau mengambil maslahat hukum pengecualian
yang berkebalikan dengan dalil kulli.”

Definisi istihsan menurul Ibnu Rusydi7 adalah

ِ ‫ْض ْال َم َوا‬


‫ض ِع لِ َم ْعنًى يَُؤ ثِّ ُر‬ ِ ‫س يَُؤ دِّيْ ِإلَى ُغلُ ٍّو فِي ْال ُح ْك ِم َو ُمبَالَ َغ ٍة فِ ْي ِه فَيَ ْع ُد ُل َع ْنهُ فِ ْي بَع‬
ٍ ‫طرْ حًا لِقِيَا‬َ َ‫َأ ْن يَ ُكوْ ن‬
ِ ْ‫ك ْال َمو‬
‫ض ُع‬ َ ِ‫فِي ْال ُح ْك ِم يَ ْختَصُّ بِ ِه َذل‬

“Meninggalkan qiyas yang mengindikasikan ketatnya hukum dan berpaling


darinya di sebagian keadaan karna ada makna yang berpengaruh dalam
hukum yang khusus digunakan pada keaadaan itu”.

Definisi istihsan menurut Abu Husen Al-Bisri8 adalah

ِ َّ‫ك َوجْ ٍه ِم ْن ُوجُوْ ِه اِإْل جْ تِهَا ِد غير شامل شمول اَأْل ْلفَا ِظ لِ َوجْ ٍه هُ َو َأ ْق َوى ِم ْنهُ َوه َُو فِ ْي ُح ْك ِم الط‬
‫ارِئ َعلَى‬ ُ ْ‫تَر‬
‫اَأَل َّو ِل‬

“Meninggalkan satu jalan dari beberapa jalan ijtihad yang tidak mencakup
terhadap ketercakupan lafad, karena ada satu jalan yang lebih kuat darinya,
sementara hukum yang terbentuk dari jalan itu bertentangan dengan hukum
awal”.

Definisi istihsan menurut Al-Karakhi9 adalah

ِ َ‫َأ ْن يَ ْع ُد َل اِإْل ْن َسانُ ع َْن َأ ْن يَحْ ُك َم فِي ْال َم ْسَألَ ِة بِ ِم ْث ِل َما ُح ِك َم بِ ِه فِ ْي نَظَاِئ ِرهَا ِإلَى ِخاَل فِ ِه لِ َوجْ ٍه َأ ْق َوى يَ ْقت‬
‫ضي‬
‫ْال ُع ُدوْ َل ع َِن اَأْل َّو ِل‬

“Menghukumi suatu masalah dengan hukum yang semisal dan sesuai dengan
rasionalitas mujtahid yang mana hukum tersebut menyalahi hukum yang
pertama karna ada dalil yang lebih kuat yang menghendakinya.”

7
Wahbah Zuhaili, ushul fiqh islami,h.19
8
Ibid, diambil dari Al-Amidi juz 3,h.137
9
Ibid
5
Dari beberapa paparan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat
istihsan adalah cara kerja yang dipilih oleh mujtahid dengan berpaling dari
hukum yang seharusnya berlaku dan berpegang pada hukum yang bertentangan
dengan hukum awal karena hal itu dinilai sebagai kebijakan yang tepat
disamping ada dalil yang menguatkan dan menghendakinya demikian.

B. Macam-macam istihsan dan contohnya

Dari pengertian istihsan menurut Abdul Wahab Khallaf, istihsan dibagi


menjadi dua, yaitu menguatkan qiyas khofiy atas qiyas jaliy dan menguatkan
hukum juz’i istisna’i (hukum pengecualian) atas hukum kulliy (ketentuan
umum).

1. Menguatkan qiyas khofiy atas qiyas jaliy karena ada dalil yang
menghendaki.
Pada dasarnya didalam istihsan ada dua qiyas, yang pertama jaliy
(jelas) tetapi pengaruhnya lemah (dloif atsar), inilah yang disebut qiyas
yang sebenarnya. Sementara yang kedua adalah qiyas khofiy tetapi
pengaruhnya kuat, ini yang disebut dengan istihsan. Dari masalah ini, yang
diutamakan adalah pengaruh, karenanya mujtahid memilih menggunakan
qiyas khofiy (istihsan) dibanding menggunakan qiyas jaliy.
Contoh: Dalam masalah hukum air bekas minum burung buas (seperti
elang dan gagak), dalil nash tidak menyebutkan hukumnya, lalu mujtahid
mengqiyaskan dengan air bekas jilatan binatang buas. persamaan illatnya
adalah dagingnya haram dimakan. Hewan yang dagingnya haram
dimakan, air liurnya dianggap tidak bersih (najis). Karenanya, air tersebut
dihukumi mutanajjis.
Sementara menurut istihsan airnya dihukumi bersih (suci), karena
diqiyaskan kepada burung biasa yang mana burung-burung itu minum
menggunakan paruhnya sehingga air minum tidak bersentuhan langsung
dengan air liurnya.
2.
6
3. Menguatkan hukum pengecualian atas ketentuan umum.
Seharusnya apabila masih ada ketentuan umum maka hukum
pengecualian tidak boleh diberlakukan. Namun terkadang ketentuan ini
tidak dapat diterapkan dan harus dirubah karena berhadapan dengan
persoalan yang khusus. Karenanya, mujtahid memilih hukum
pengecualian dibanding ketentuan umum.
Contoh: menurut ketentuan umum, hukuman bagi pencuri adalah potong
tangan. Hal ini sesuai firman Allah dalam surah Al Maidah ayat 138
ِ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوْ آ َأ ْي ِديَهُ َما َج َزآ ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هللا‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan
dan sebagai siksaan dari Allah.”

Namun, bila pencurian dilakukan pada masa panceklik atau kelaparan


(hukum pengecualian), maka hukuman ini tidak berlaku. Sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar Bin Khattab pada masanya.

Syekh Ibnu Araby membagi istihsan menjadi empat:


1. Meninggalkan dalil karena adanya adat
2. Meninggaklkan dalil karena untuk kemaslahatan
3. Meninggalkan dalil karena mengambil kemudahan dan menolak
kesulitan
4. Meninggalkan dalil karena kesepakatan para ulama’10

Wahbah Zuhaily membagi istihsan dari aspek dalil yang menetapkannya.


Dalam hal ini, dalil yang digunakan ada enam, yaitu nash, ijma’, dlarurat,
qiyas khofiy, ‘urf, dan mashlahat11.

1. Istihsan bi an-nash (Istihsan berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadis)


10
Imam nahe’I dan Wawan Juandi, revitalisasi ushul fiqh,h.116
11
Wahbah zuhaili, al wajiz,h.86
7
Ada dalil Nash yang menyebutkan hukum sebuah masalah yang
berkebalikan dengan hukum umum yang ditetapkan oleh dalil atau kaidah
umum.
 Contoh nash Al-Qur’an: masalah wasiat.
Menurut kehendak qiyas atau kaidah umum, wasiat tidak diperbolehkan
karena hal itu merupakan kepemilikan yang didasarkan pada masa tidak
adanya kepemilikan (bagi pemberi wasiat). Karena pada saat itu ia sudah
meninggal dunia dan secara otomatis kepemilikannya sudah tidak ada.
Namun, ada nash yang mengecualikan hal ini dari kaidah umum yaitu
Al-Qur’an surah An Nisa’ ayat 12
‫ص ْينَ بِهَا َأوْ َد ْي ٍن‬ ِ ‫ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ْ‫صيَّ ٍة يُو‬
“setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah
dibayar) hutangnya.”

 Contoh nash hadist: Hukum tetapnya puasa ketika seseorang makan atau
minum karena lupa.
Kehendak kaidah umum puasanya batal karena ada sesuatu yang sampai
ke perutnya. Tetapi puasa dalam kasus ini dihukumi tidak batal, karena
ada hadis yang menjelaskan hukumnya yaitu
ْ ‫صوْ َمهُ فَِإنَّ َما َأ‬
ُ‫ط َع َمهُ هللاُ َو َسقَاه‬ َ ‫ب نَا ِسيًا فَ ْليُتِ َّم‬
َ ‫َم ْن َأ َك َل َأوْ َش َر‬
“barang siapa yang makan atau minum karena lupa maka
hendaknya ia menyempurnakan puasanya, hanyasanya Allah telah
memberinya makan dan minum.”
2. Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang didasarkan pada kesepakatan yang
terjadi diantara para ulama).
Mujtahid berfatwa mengenai suatu masalah yang menyalahi kaidah umum
yang berlaku atau mujtahid diam mangenai perbuatan seseorang dan tidak
mengingkarinya.
Contoh : ijma’ mengenai kebolehan akad istishna’, yaitu transaksi yang
dilakukan oleh tukang pembuat barang dan pelanggannya. Si pelanggan

8
meminta dibuatkan suatu barang oleh tukang dengan harga yang sudah
ditentukan. Menurut qiyas, akad ini dihukumi batal karena pada dasarnya
saat akad terjadi barang yang ditransaksikan tidak ada. Namun ulama
sepakat (ijma’) membolehkannya karena kerjasama manusia dalam hal ini
sudah terjadi di setiap zaman disamping memelihara kebutuhan.
3. Istihsan bi al-urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku
umum)
Mujtahid berpaling dari qiyas atau kaidah umum karena ada adat istiadat
yang sudah dipraktikkan dan dikenal masyarakat sejak dahulu.
Contoh: masalah toilet umum yang disewakan kepada halayak dengan
biaya tertentu tanpa mempertimbangkan seberapa banyak air dan seberapa
lama waktu yang digunakan penyewa didalam toilet. Qiyas tidak
membolehkannya karena hal ini termasuk akad sewa menyewa (ijarah)
yang mengandung ketidakjelasan (jahalah) namun hal itu diperbolehkan
karena sudah menjadi kebiasaan dalam lingkungan masyarakat disamping
ada kebutuhan serta tidak menyusahkan orang lain.
4. Istihsan bi al-dlarurah (istihsan karena adanya darurat).
Mujtahid meninggalkan ketentuan qiyas karena berhadapan dengan
kondisi darurat, dan mujtahid berpegang kepada hukum yang
mengharuskan pemenuhan hajat dan penolakan darurat.
Contoh: sumur yang kemasukan benda najis.
Kehendak qiyas adalah sumur tersebut harus disucikan dengan cara
mengeluarkan seluruh air darinya. Namun, ulama memilih untuk
meninggalkan qiyas dan menghukumi air didalam sumur itu suci cukup
dengan memasukkan beberapa liter air dengan alasan bahwa kebijakan itu
dianggap sebagai keputusan yang lebih tepat memandang adanya kesulitan
yang akan dihadapi, yaitu mengeluarkan air dari sumur dan
mengeringkannya , sementara air secara terus menerus keluar dari sumber
yang ada didalam sumur itu.

9
5. Istihsan bi al-qiyas al-khofiy (istihsan berdasarkan qiyas yang samar).
Mujtahid berpaling dari qiyas jaliy kepada qiyas khofiy
Contoh: pewakafan lahan pertanian.
Qiyas jaliy menghendaki wakaf itu diserupakan dengan akad jual beli
karena dua akad tersebut sama-sama menggugurkan kepemilikan dari
pemilik awal. Oleh karenanya, hak mengambil manfaat (irtifaq) semisal
berjalan diatasnya dan membuat irigasi melalui tanah itu tidak termasuk
kedalam akad wakaf kecuali sudah ditegaskan oleh si pewakaf
sebagaimana dalam akad jual beli. Sementara qiyas khafiy menghendaki
wakaf diserupakan dengan akad sewa menyewa. Karena faidah dari kedua
akad tersebut sama, yaitu mengambil manfaat dari lahan pertanian yaag
diwakafkan. Oleh karenanya, hak irtifaq masuk dalam akad wakaf
sekalipun tidak ditegaskan oleh pewakaf sebagaimana dalam akad sewa
menyewa. Qiyas kedua diunggulkan atas qiyas yang pertama, karena
maksud wakaf adalah semata mata mengambil manfaat dari lahan tersebut.
6. Istihsan bi al-mashlahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).
Mujtahid berpaling dari dalil atau kaidah umum karena ada maslahat yang
menghendaki pengecualian pada suatu masalah. Maslahah yang dapat
dijadikan pijakan adalah maslahah yang sesuai dengan tujuan syara’
berupa terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda12.
Contoh: wasiat mahjur alaih13 kategori safih (idiot) dijalan kebaikan.
Kaidah umum mengatakan tabarru’ mahjur alaih tersebut tidak sah,
karena hal tersebut dianggap menghambur-hamburkan harta. Namun,
maslahat berkehendak sebaliknya, karena dimungkinkan si mahjur alaih
akan mendapatkan pahala dari wasiat yang dilakukan, dan terhindarnya ia
dari bahaya semasa hidupnya.

B. Argumen Ulama Tentang Istihsan dan Kehujjahannya

12
Afifuddin Muhajir, Fiqh tata Negara,h.176
13
Orang yang di embargo/dicegah untuk menggunakan hartanya
10
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa istihsan merupakan salah satu
dalil syar’i, Namun, dalam hal ini para ulama tidak sepenuhnya sependapat
tentang kelayakan istihsan sebagai dalil syar’i. Ada sebagian ulama yang
mendukung, ada juga yang menentang. Berikut adalah penjelasan tentang
kedua pendapat tersebut beserta dalil dari masing-masing pendapat.
1. Kelompok Yang Menerima Istihsan Sebagai Dalil Syar’i
Diantara ulama yang mendukung istihsan sebagai dalil syar’i
adalah Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hambali. Mereka merujuk
pada hadist nabi
‫ َما َرآهُ ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن‬.
“Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam baik juga disisi Allah”

Selain itu, mereka juga memiliki alasan lain dalam mendukung istihsan,
diantaranya :
a. Istihsan memudahkan sesuatu yang sulit. Yang mana, hal ini selaras
dengan dasar agama yang telah difirmankan oleh Allah dalam surah Al
Baqoroh ayat 175
‫ي ُِري ُد هللاُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َوالَ ي ُِر ْي ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر‬
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”
b. Dalil yang digunakan untuk menetapkan istihsan hanyalah dalil yang
disepakati yang adakalanya diambil dari nash, ijma’, dlarurah, qiyas
khafi, urf, ataupun mashlahah. Setiap dalil tersebut mengunggulkan
qiyas khofiy daripada qiyas jali, dan mengunggulkan hukum
pengecualian dari pada hokum umum14.

2. Kelompok Yang Menentang Istihsan Sebagai Dalil Syar’i

14
Wahbah Zuhaili,Al wajiz,h.90
11
Diantara ulama yang menentang kelayakan istihsan sebagai dalil
syar’i adalah Imam Syafi’i, Dzahiriyyah, dan Syi’ah 15.
Beberapa alasan mereka adalah:
a. Dalam menghukumi persoalan yang belum ditemukan hukumnya,
Rasulullah tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu
turunnya wahyu16.
b. Tidak boleh menghukumi sesuatu yang tidak berlandaskan pada nash
atau tidak berlandaskan qiyas yang disandarkan pada nash. Karena hal
itu dinilai sebagai perbuatan membuat hukum berdasarkan hawa nafsu.
Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 41
‫َواَ ِن احْ ُك ْم بَ ْينَهُ ْم بِ َما َأ ْن َز َل هللاُ َواَل تَتَّبِ ْع َأ ْه َوآ َءهُ ْم‬
“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti
keinginan mereka.”
c. Dasar dari istihsan adalah akal, di dalamnya ada potensi menyamakan
antara yang ditahui dan tidak. Sehingga dimungkinkan adanya
pembuatan hukum baru oleh manusia.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa Al-Qur’an saja sudah cukup
untuk dijadikan landasan hukum. Sehingga menurut beliau istihsan
tidaklah dibutuhkan dikarenakan cenderung mengikuti kesimpulan
pribadi mujtahid yang bisa saja dipengaruhi hawa nafsu. Bahkan beliau
mengatakan:
‫َم ِن ا ْستَحْ َسنَ فَقَ ْد َش َّر َع‬
Yang artinya barang siapa yang menggunakan istihsan sebagai dalil
hukum ia dianggap membuat-buat syari’at baru.
Dengan melakukannya seseorang akan dianggap kufur (jika meyakini
kebolehan pemakaiannya) atau paling tidak orang tersebut akan

15
Wahbah Zuhaili,Ushul fiqh islami,h.28
16
Ibid,h.30
12
dianggap telah melakukuan dosa besar (jika tidak meyakini
kebolehannya)17.
Akan tetapi pada kenyataannya istihsan diamalkan oleh hampir
semua ulama fiqih, termasuk juga Imam Syafi’i. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh para pengikutnya. Berikut beberapa masalah yang
didalamnya Imam Syafi’i menggunakan istihsan sebagai dalil:
 Dalam masalah bersumpah dengan mushaf, Imam Syafi’i
mengatakan: “saya melihat sebagian hakim bersumpah
menggunakan mushaf, ini adalah baik.”
 Dalam masalah diskon angsuran akad kitabah18. Imam Syafi’i
mengatakan: “aku menganggap baik tentang disisakannya
angsuran akad kitabah (agar bisa dijadikan modal untuk si
budak).”
 Dalam penentuan kadar mut’ah19. Beliau berkata: “saya
menganggap baik bahwa kadar mut’ah adalah tiga dirham.”
 Penentuan masa syuf’ah20. Beliau berkata: “saya menganggap
baik bahwa masa syuf’ah adalah tiga hari.”21

17
Prof Dr sahal mahfud,Thariqatul hushul,h.460
18
Akad kitabah adalah akad yang terjadi diantara tuan dengan budak yang menyicil
kemerdekaannya (budak mukatab)
19
Mut’ah adalah pemberian suami kepada istri saat terjadi perceraian
20
Hak syuf’ah adalah hak kepemilikan secara paksa oleh syarik awal atas syarik yang baru
21
Darul Azka dan Nailul Huda, Terjemah lubb al ushul ,h.592
13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Istihsan adalah cara kerja yang dipilih oleh mujtahid dengan berpaling dari
hukum yang seharusnya berlaku dan berpegang pada hukum yang
bertentangan dengan hukum awal karena hal itu dinilai sebagai kebijakan yang
tepat disamping ada dalil yang menguatkan dan menghendakinya demikian.
Tujuan dari penyimpangan ini adalah semata-mata untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menolak mafsadat dari hukum yang akan diputuskan.
Karena pada dasarnya, hukum dibentuk bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan.

Pembagian istihsan bermacam-macam, diantaranya adalah pembagian istihsan


berdasarkan dalil yang digunakan untuk menetapkannya, yaitu:

1. Istihsan bi al-nash
2. Istihsan bi al-ijma’
3. Istihsan bi al-‘urf
4. Istihsan bi al-dlarurah
5. Istihsan bi al-qiyas al-khofiy
6. Istihsan bi al-mashlahah

Melihat argumen para ulama yang berbeda-beda mengenai eksistensi


istihsan sebagai dalil, ulama yang menolaknya hanya bertujuan untuk bersikap
lebih berhati-hati dalam memutuskan suatu hukum, juga agar mujtahid tidak
terjerumus untuk memilih kerasionalan akalnya dibandingkan nas-nas yang
ada, dan tentunya hal ini sudah disangkal dengan penjelasan-penjelasan
sebelumnya mengenai istihsan. Dalam kata lain, pendukung pendapat ini

14
hanya menolak istihsan yang didasarkan pada hasil pemikiran semata tanpa
dilandasi oleh dalil.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, haramain, 2004.

Abi Yahya Zakaria Al-Anshori, Thariqah Al-Hushul , 2018.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustahfa, dar kutub


ilmiyah,tt.

Afifuddin Muhajir, Fiqh Tata Negara, DIVA Press, 2017.

Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat, Tanwirul Afkar, 2018.

Ahmad Warson Munawwir, Almunawwir kamus arab-indo, Pustaka Progressif,


cet.14,1997.

Darul Azka dan Nailul Huda,terjemah Lubb Al Ushul, Santri Salaf Press, 2014.

Imam Nahe’I dan Wawan Juandi, Revitalisasi Ushul Fiqh, Ibrahimi Press, 2010.

Wahbah Zuhaili, Al Wajiz Fi Ushul Al Fiqh, tt.

Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, Darul fikr, 2006.

15

Anda mungkin juga menyukai