Anda di halaman 1dari 14

AL-NASIKH DAN AL-MANSUKH DALAM AL-QUR’AN

OLEH
ARDIANSYAH LUBIS
22090112090
PROGRAM PASCASARJANA
UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur‟an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad

SAW untuk disampaikan kepada umatnya, yang berlaku hingga akhir zaman.

Sebagai umat Islam, maka wajib untuk mengamalkan isi atau ajaran yang ada

dalam Al-Qur‟an. Untuk memahaminya, diperlukan suatu ilmu agar apa yang

dimaksud Al-Qur‟an sesuai dengan pemahaman manusia. Salah satu ilmunya

adalah Nasakh dan Mansukh. Jika dilihat pada sejarah, para ulama terdahulu

memiliki pendapat yang berbeda terkait dengan Nasakh Mansukh, mulai dari ada

tidaknya ilmu tersebut, bentuknya, contohnya, dan lain-lain. Untuk itu, perlu

dipelajari kembali apa yang dimaksud dengan Nasakh Mansukh dan berbagai

macam hal yang terkait dengannya.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Nasakh dan al-Mansukh dalam Alqur‟an

1. Pengertian Nasakh

Secara etimologis, an-Nasakh memiliki banyak arti yang sering

digunakan dalam konsep yang berbeda. An-Nasakh dapat berarti ‫ اإلشاىخ‬artinya

1
“menghilangkan atau meniadakan”. Kata an-Nasakh juga berarti ‫اىزحـ٘يـو‬

artinya “pengalihan”, seperti pengalihan bagian harta warisan. Maksudnya

perpindahan harta warisan dari seseorang kepada orang lain. Kata an-Nasakh

juga berarti ‫ يـــو اىـزـجــــد‬artinya “mengganti atau menukar sesuatu dengan yang

lain”. An-Nasakh juga bisa berarti ‫ اىْــقـو‬artinya “menyalin, memindahkan

atau mengutip”.1

An-nasakh merupakan mashdar dari nasakha, yang secara harfiah

berarti menghapus, memindahkan, mengganti, atau mengubah. Dari kata

nasakha terbentuk kata an-nasikh dan al-masukh. An-nasikh merupakan isim

fa‟il artinya yang menghapus, yang mengganti, atau yang mengubah.

Sedangkan al-mansukh merupakan isim maf‟ul berarti yang dihapus, yang

digantikan, atau yang diubah.2

Menurut istilah, nasakh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum

syara‟ dengan dalil hukum (khitab) syara‟ yang lain.3

Quraish Shihab mendefinisikan nasakh sebagai ketentuan hukum yang

datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan

berakhirnya masa pemberlakuan hukum terdahulu, sehingga ketentuan hukum

yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir. Dengan kata lain, suatu hukum

yang telah ditetapkan bisa saja dibatalkan kemudian digantikan oleh hukum

lain. Atau suatu ayat yang telah diturunkan secara makna dan lafal bisa saja

dicabut kembali lafal, makna (hukumnya), atau lafal sekaligus maknanya.4

1
Abu Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung : Amzah, 2005), h. 47
2
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, Ed. II, 2016), h. 108
3
Herlina, Studi Al-Qur‟an, (Pekanbaru: Benteng Media, 2013), h. 58
4
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, Ed. II, 2016), h. 109

2
Dalam memaknai an-Nasakh secara terminologis, para ulama

mendefisikannya sebagai berikut.

a. Qadhi Abu Bakar

‫ َٗ ۡج ٍٔ ىَ ۡ٘ ََل ُٕيَ َنبَُ ثَب ِثزًب‬َٚ‫ة ۡاى َُزَقَدّ ًِِ َعي‬ َ ‫ذ ِث ۡبى ِخ‬
ِ ‫طب‬ ِ ‫ ۡاز ِرفَبعِ ۡاى ُح ۡن ٌِ اىثَّب ِث‬َٚ‫طبةُ اىد َّا ُّه َعي‬
َ ‫اخي ِٔ أَُِّّ ۡاى َخ‬
ِ ‫ٍَ َع ر ََس‬

ُْٔۡ ‫َع‬

“Nasakh ialah khitab (titah) yang menunjukkan terangkatnya

hukum yang ditetapkan dengan khitab terdahulu dalam bentuk seandainya

ia tidak terangkat tentu masih tetap berlaku di samping hukum yang

datang kemudian.”

b. Al-Amidi

‫ق‬
ٍ ِ‫سبث‬ ّ ‫ة ش َۡس ِع‬
َ ٍ‫ي‬ ٍ ‫طب‬ ۡ ِِ ٍِ ِ‫ش ِسعِ ۡاى ََبِّع‬
َ ‫اىسزَِۡ َس ِاز ٍَب ثَجَذَ ٍِ ِۡ ُح ۡن ٌِ ِخ‬ َّ ‫ة اى‬ َ ‫بزح ٌ َع ِۡ ِخ‬
ِ ‫طب‬ َ َ‫ِعج‬

“Ibarat dari titah pembuat hukum (syar’i) yang menolak

kelanjutan berlakunya hukum yang ditetapkan dengan titah terdahulu.”

c. Al-Syathibi dari kalangan ulama Maliki

‫ي ٍ ٍُزَأ َ ِ ّخ ٍس‬
ّ ‫ي ِ ِثدَ ِىي ٍو ش َۡس ِع‬ َّ ‫َز ۡف ُع ۡاى ُح ۡن ٌِ اى‬
ّ ‫ش ۡس ِع‬

“Mencabut hukum syar’i dengan dalil syar’i terkemudian.”

Dari beberapa defenisi yang berbeda tersebut, dapat disimpulkan

bahwa hakikat dari nasakh itu adalah :

1) Ada titah pembuat hukum yang menetapkan hukum untuk berlaku

terhadap suatu kejadian dalam suatu masa.

3
2) Secara terpisah datang titah pembuat hukum yang menetapkan hukum

terhadap kejadian tersebut yang berbeda dengan apa yang telah

ditetapkan sebelumnya.

3) Titah yang datang kemudian itu di samping menetapkan hukum baru,

sekaligus mencabut berlakunya hukum lama.5

B. Cara mengetahui al-Nasikh dan al-Mansukh

Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara

sebagai berikut:

1. Keterangan tegas dari nabi atau sahabat

2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu

mansukh

3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian dalam

perspektif sejarah.6

Nasakh tidak bisa ditentukan oleh seseorang sesuai dengan kehendaknya. Ia

mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut:

1. Hukum mansukh (yang dihapuskan) adalah hukum syara‟

2. Hukum yang terkandung pada nash an-nasikh bertentangan dengan hukum

yang terkandung dalam nash al-mansukh

3. Dalil al-mansukh harus muncul lebih awal dari dalil an-nasikh

4. Hukum al-mansukh harus hal-hal yang berkaitan dengan perintah, larangan,

dan hukuman

5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Edisi Revisi, (Jakarta : Kencana, 2014), h. 403
6
Abu Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung : Amzah, 2005), h. 53

4
5. Hukum al-mansukh tidak terbatas pada waktu tertentu, tetapi harus berlaku

disepanjang waktu

6. Hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh telah ditetapkan sebelum

munculnya nash an-nasikh

7. Status nash an-nasikh lebih kuat atau sama dengan nash al-mansukh.7

Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat

besar bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir, dan ahli ushul, agar

pengetahuan tentang hukum tidak kacau atau kabur.

Diriwayatkan, Ali RA pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya:

“Apakah kamu mengetahui yang nasikh dari yang mansukh?”, “Tidak,” jawab

hakim itu., maka kata Ali: “Celakalah kamu, dan kamu mencelakan orang lain.”8

C. Pendapat ulama tentang al-Nasikh dan al-Mansukh

Ada tidaknya nasakh mansukh dalam Al-Qur‟an sejak dahulu

diperdebatkan para ulama. Adapun sumber perbedaan pendapat tersebut adalah

berawal dari ayat 82 dari surat an-Nisa‟ yang berbunya:

‫افال يزد ثسُٗ اىقساُ ٗى٘ مبُ ٍِ عْد غيس هللا ى٘ جدٗا فئ اخزالفب مثيسا‬

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya

AlQuran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang

banyak di dalamnya.”

Ulama sepakat bahwa dalam Al-Qur‟an tidak terdapat wahyu yang

bertentangan secara hakiki. Maka, dalam menghadapi ayat yang sepintas dinilai

kontradiksi, ada dua pendapat ulama yang perlu diperhatikan.

7
Kadar M. Yusuf, Studi Alquran, (Jakarta: Amzah, Ed. II, 2016), h. 111
8
Herlina, op.cit, hal. 64-65. Diriwayatkan Ibn Jarir, Ibnul Munzir dan Abi Hatim, dari Ibn Abbas

5
1. Abu Muslim al-Asfahani dan yang sepaham dengannya

Golongan ini memandang bahwa nasakh dapat terjadi menurut logika,

tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara‟. Menurut Abu Muslim nasakh

tidak ada dalam Al-Qur‟an, yang ada hanyalah „am takhsis. Dalil yang

menjadi landasannya adalah Al-Qur‟an surat Fushshilat (41) ayat 42:

‫َليأرئ اىجبطو ٍِ ثيِ يدئ َٗل ٍِ خيفٔ رْصيو ٍِ حنيٌ حَيد‬

“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan

maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana

lagi Maha Terpuji.”

Menurut golongan ini, jika ada pembatalan (nasakh) hukum yang telah

diturunkan-Nya, maka akan muncul dua pemahaman, yaitu:

a. Allah tidak tahu kejadian yang akan datang, sehingga Dia perlu

mengganti/membatalkan suatu hukum dengan hukum yang lain

b. Jika itu dilakukan Allah, maka Dia melakukan kesia-siaan dan permainan

belaka.9

Menurut analisis saya, pendapat Abu Muslim tidak dapat dijadikan

hujjah. Nasakh mansukh terjadi disebabkan karena Al-Qur‟an diturunkan

secara berangsur-angsur. Dalam prosesnya, pasti akan terjadi perubahan

hukum sesuai dengan kondisi umat Islam saat itu. Dan ini tidak akan

menyebabkan Allah tidak tahu peristiwa yang akan datang. Namun ini

akan membuktikan kebesaran Allah dan ke-Maha Kuasa-an Allah. Untuk

lebih jelasnya akan dipaparkan melalui pendapat Jumhur Ulama.

9
Herlina, Studi Al-Qur‟an, (Pekanbaru: Benteng Media, 2013), h. 66

6
2. Jumhur ulama

Jumhur ulama mengakui adanya nasakh mansukh pada ayat yang memiliki

kontradiksi dalam Al-Qur‟an. Dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah

dalam surat al-Baqarah ayat 106

‫ٍب ّْسح ٍِ ايخ اٗ ّْسٖب ّأد ثخيس ٍْٖب اٗ ٍثيٖب اىٌ رعيٌ اُ هللا عو مو شيء قديس‬

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa

kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang

sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya

Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

Menurut pendapat segolongan ulama, Allah dapat berbuat secara mutlak.

Dia dapat menyuruh berbuat sesuatu dalam waktu tertentu, kemudian

melarangnya dalam waktu tertentu lainnya. Pendapat lain lagi menyatakan

bahwa perbuatan Allah itu mengikuti kemaslahatan dan menghindari

kemudharatan.

Para ulama ada yang berpendapat bahwa nasakh tidak ada dalam Al-

Qur‟an, mereka berusaha mengkompromikan dua ayat yang terlihat berbeda.

Sementara ulama lain mengakui adanya nasakh dalam Al-Qur‟an.

a. Pendapat ulama yang menolak nasakh

1) Hukum yang sudah berlaku tetap, mustahil untuk dicabut sedangkan

yang belum berlaku tetap, tidak perlu untuk dicabut.

2) Suatu hukum yang telah ditetapkan Allah adalah karena adanya

maslahat atau mafsadat pada sesuatu yang dikenai hukum itu. Sesuatu

7
yang mengandung maslahat tidak mungkin beralih menjadi mafsadat

begitu juga sebaliknya.

3) Bila nasakh disebabkan karena telah beakhirnya masa berlaku suatu

maslahat, maka masa berlakunya hukum berakhir dengan berakhirnya

masa berlaku maslahat itu. Hal ini adalah takhsis, bukan nasakh.

4) Kalam Allah itu bersifat qadim, sesuatu yang bersifat qadim tidak

mungkin dicabut.10

a. Pendapat ulama yang mengakui adanya nasakh

1) Menurut segolongan ulama, Allah berbuat secara mutlak dan tidak

tunduk kepada hikmah dan tujuan. Atas dasar pendapat ini, Allah

dapat saja menyuruh berbuat sesuatu dalam waktu tertentu, kemudian

melarangnya dalam waktu lain.

2) Dalil naqli yang kuat adalah firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat

106 :

ٌ ‫ ُم ِّو ش َۡي ٖء قَد‬ٰٚ َ‫ٱَّللَ َعي‬


ٔٓ١ ‫ِيس‬ ِ ‫س ۡخ ٍِ ِۡ َءايَ ٍخ أ َ ۡٗ ُّْ ِس َٖب ّ َۡأ‬
َّ َُّ َ ‫د ِثخ َۡي ٖس ِ ٍّ ْۡ َٖب ٓ أَ ۡٗ ٍِ ۡث ِي َٖ ۗٓب ٓ أَىَ ٌۡ ر َعۡ يَ ٌۡ أ‬ َ َّْ ‫ٍَب‬

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan

(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya

atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa

sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”11

10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Edisi Revisi, (Jakarta : Kencana, 2014), h . 423
11
Ibid, h. 426

8
D. Pembagian Nasakh dan contohnya

Adapun pembagian An-Naskh pada dalil Syar‟i dibagi menjadi empat bagian.

Yaitu:

1. Nasakh Al-Qur‟an dan Al-Qur‟an

Golongan ulama yang menyatakan dalam Islam sepakat menyatakan

bolehnya Al-Qur‟an di nasakh oleh Al-Qur‟an. Begitu pula boleh me-nasakh

sunah mutawatir dengan sunah mutawatir dan sunah ahad dengan sunah ahad

karena kesamaan kekuatannya sebagai dalil syara’.12

Contoh nasakh Al-Qur‟an dengan ayat Al-Qur‟an adalah surat Al-Anfal

ayat 65 :

َ َُٗ‫ ْاى ِقز َب ِه ۚ ِإ ُْ يَ ُن ِْ ٍِ ْْ ُن ٌْ ِع ْش ُس‬َٚ‫ض ْاى َُؤْ ٍِِْيَِ َعي‬


ٌْ ‫صب ِث ُسَُٗ يَ ْغ ِيجُ٘ا ٍِبئَزَي ِِْ ۚ َٗ ِإ ُْ يَ ُن ِْ ٍِ ْْ ُن‬ ُّ ‫يَب أَيُّ َٖب اىَّْ ِج‬
ِ ‫ي َح ِ ّس‬

)56( َُُٖ٘ َ‫ٍِبئ َخٌ يَ ْغ ِيجُ٘ا أ َ ْىفًب ٍَِِ اىَّرِيَِ َمفَ ُسٗا ِثأََّّ ُٖ ٌْ قَ ْ٘ ًٌ ََل يَ ْفق‬

Artinya : “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk

berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka

akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang

yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari

pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak

mengerti.”(Q.S. Al Anfal : 65)

Ayat diatas di-nasakh oleh surat Al-Anfal : 66

ٌ ‫صب ِث َسح ٌ َي ْغ ِيجُ٘ا ٍِبئَزَ ْي ِِ ۚ َٗ ِإ ُْ َي ُن ِْ ٍِ ْْ ُن ٌْ أ َ ْى‬


‫ف‬ َ ٌ‫ض ْعفًب ۚ فَئ ِ ُْ َي ُن ِْ ٍِ ْْ ُن ٌْ ٍِبئَخ‬
َ ٌْ ‫َّللاُ َع ْْ ُن ٌْ َٗ َع ِي ٌَ أ َ َُّ فِي ُن‬
َّ ‫ف‬ َ َّ‫ْاْلَُ َخف‬

َِ‫صب ِث ِسي‬
َّ ‫َّللاُ ٍَ َع اى‬ َّ ُِ ْ‫يَ ْغ ِيجُ٘ا أ َ ْىفَي ِِْ ِثئِذ‬
َّ َٗ ٓۗ ِ‫َّللا‬

Artinya : “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah

mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu


12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Kencana, 2008), h. 435

9
seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus

orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya

mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan

Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal : 66)

2. Naskh Al-Qur‟an dan Sunnah. Pada naskh jenis ini terbagi menjadi dua bagian

lagi. Yaitu:

a. Naskh Al-Qur‟an dengan Sunnah Ahadiyah (hadits Ahad)

Jumhur ulama berpendapat hadits ahad tidak bisa menaksahkan Al-

Qur‟an, karena Al-Qur‟an adalah nash mutawatir yang menunjukkan

keyakinan tanpa ada praduga atau dugaan. Sedangkan hadits ahad adalah

nash yang bersifat zhanni, maka tidak sah menghapus suatu yang sudah

diketahui dengan sesuatu yang bersifat dugaan/diduga.

b. Naskh Al-Qur‟an dengan Sunnah mutawatir

Para ulama berbeda pendapat, dimana Imam Malik, Imam Abu

Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbali dalam satu riwayat

membolehkannya karena keduanya dianggap wahyu. Dasar argumentasi

mereka ini terdapat pada firman Allah Swt.

)6( ٰٙ َ٘ ُ‫شدِيدُ ْاىق‬


َ ََُٔ َّ‫) َعي‬4( ٰٚ ‫ي يُ٘ َح‬
ٌ ْ‫إِ ُْ ٕ َُ٘ إِ ََّل َٗح‬

Artinya: Dan tidaklah yang ducapkan itu menurut kemauan hawa

nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan

kepadanya. (Q.S. An-Najm ayat 4-5).

10
Sementara menurut Imam Syafi‟i, Dzahariah dan Ahmad dalam

riwayat lain menolak naskh seperti ini. Mereka berargumentasi dengan

firman Allah SWT.

ٌ ‫ش ْيءٍ قَد‬
)605( ‫ِيس‬ ِ ْ ‫س ْخ ٍِ ِْ آيَ ٍخ أ َ ْٗ ُّ ْْسِ َٖب َّأ‬
َّ َُّ َ‫د ثِ َخي ٍْس ٍِ ْْ َٖب أ َ ْٗ ٍِثْ ِي َٖب ۗٓ أَىَ ٌْ ر َ ْعيَ ٌْ أ‬
َ ‫ ُم ِّو‬ٰٚ َ‫َّللاَ َعي‬ َ ْْ َّ ‫ٍَب‬

Artinya: Apa saja ayat yang kami naskhkan atau kami melupakannya

(kepada manusia), niscaya kami datangkan yang lebih baik atau

sebanding dengannya. (Q.S. Al Baqarah :106)

Dari dalil ini disimpulkan bahwa As sunnah tidaklah lebih baik

dari Al-Qur‟an dan juga tidak sebanding dengannya.13

Contoh nasakh Al-Qur‟an dengan sunnah, firman Allah SWT

dalam surat al-Baqarah ayat 180:

ٚ‫مزت عيينٌ إذا حضس أحدمٌ اىَ٘د إُ رسك خيسا اى٘صيخ ىي٘ىديِ ٗاَلقسثيِ ثبىَعسٗف حقب عي‬

ِ‫اىَزقي‬

Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu

kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,

berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini

adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah:

180).

Ayat tersebut dinasakh oleh sabda Rasulullah saw dari Umamah, menurut

riwayat empat perawi hadits, selain An-Nasa‟i, dinyatakan hadits tersebut

hadits hasan menurut Ahmad dan At-Turmudzi, yaitu sabda Rasulullah

SAW:

13
Abdur Rahman Malik, Abrogasi dalam Al Qur’an: Studi Nasikh dan Mansukh, Sekolah pasca sarjana
UIN Syarif Hidayatullah, Jurnal Studi Al Qur;an; Membangun Tradisi Berfikir Qur‟ani. Vol 12, No. 1 Tahun 2016.
Doi.org/10.21009/JSQ.012.1.05

11
“Sesungguhnya Allah SWT telah memberi bagian tertentu untuk yang

berhak, maka tidak boleh berwasiat kepada ahli waris”. (HR. Tirmidzi).14

3. Naskh Sunnah dengan Al-Qur‟an

Pada point ketiga ini jumhur ulama memperbolehkannya. Muhammad abu

zahrah memberikan contoh sunnah shalat menghadap baitul maqdis lalu

dinasakhkan dengan ayat tentang shalat mengadap ke arah masjidil haram.

Yang terdapat pada surah Al Baqarah ayat 150.15

ْ ‫ْث ٍَب ُم ْْز ُ ٌْ فَ َ٘ىُّ٘ا ُٗ ُج٘ َٕ ُن ٌْ ش‬


َُ٘‫َط َسُٓ ِىئ ََّال يَ ُن‬ ُ ‫َط َس ْاى ََس ِْج ِد ْاى َح َس ِاً ۚ َٗ َحي‬
ْ ‫ْث خ ََسجْ ذَ فَ َ٘ ِّه َٗجْ َٖلَ ش‬
ُ ‫َٗ ٍِ ِْ َحي‬

َُُٗ ‫اخش َْ٘ ِّي ٗ ِِل ُ ِر ٌَّ ِّ ْع ََ ِزي َعيَ ْي ُن ٌْ َٗ َى َعيَّ ُن ٌْ ر َ ْٖزَد‬ َ َِ‫بض َعيَ ْي ُن ٌْ ُح َّجخٌ ِإ ََّل اىَّرِي‬
ْ َٗ ٌْ ُٕ َْ٘ ‫ظيَ َُ٘ا ٍِ ْْ ُٖ ٌْ فَ َال ر َْخش‬ ِ َّْ‫ِىي‬

Artinya : “Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu

ke arah masjidil Haram dan dimana saja kamu berada maka palingkanlah

wajahmu kearahnya agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali

orang-orang dzalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada

mereka dan takutlah kepada-Ku, dan agar aku sempurnakan nikmat-Ku

atasmu dan suapaya kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Al Baqarah : 150)

4. Naskh sunnah dengan sunnah

Naskh ini pada hakikatnya adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan

sunnah di nasakhan dengan dalil sunnah pula, contoh tentang ziarah kubur

yang sebelumnya dilarang oleh Nabi Muhammad Saw lalu suatu saat Nabi

Muhammad memperbolehkan ummat untuk melaksanakan ziarah kubur.16

14
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’sum, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h.
193
15
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 193
16
Ahmad Hanafi, Ushul Fikih, (Jakarta: Aka Jakarta, 2009), h. 93

12
III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara umum, nasakh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara‟

dengan dalil hukum (khitab) syara‟ yang lain.

Nasakh memiliki persamaan dengan takhsis yaitu sama-sama menggunakan

dalil syara‟. Sedangkan perbedaannya ialah:

1. Nasakh menghilangkan hukum nash, sedangkan takhsis meringkaskan hukum

umum

2. Nasakh bisa terjadi pada masalah umum dan khas, sedangkan takhsis hanya

terjadi pada hukum umum saja

3. Ayat yang di-nasakh-kan harus muncul lebih awal dari ayat yang menasakh-

kan, sedangkan takhsis boleh bersamaan, dahulu atau kemudian.

Untuk mengetahui nasakh bisa dilakukan dengan tiga cara berikut :

1. Keterangan tegas dari nabi atau sahabat

2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu

mansukh

3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian dalam

perspektif sejarah.

Pembagian An Nasakh pada dalil Syar‟i yaitu :

1. Nasakh Al-Qur‟an dan Al-Qur‟an

2. Nasakh Al-Qur‟an dan Sunnah

3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur‟an

13
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah

B. Saran

Diharapkan kepada pembaca untuk lebih mencari tahu lagi pengetahuan

mengenai Nasakh Mansukh, dan sikap ulama terhadapnya. Jika terjadi perbedaan

itu wajar, sikap yang harus diambil adalah mengikuti yang lebih dekat kepada

yang benar dengan tidak mencela pendapat lain.

IV. DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung : Amzah, 2005

Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, Ed. II, 2016

Herlina, Studi Al-Qur‟an, Pekanbaru: Benteng Media, 2013

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Edisi Revisi, Jakarta : Kencana, 2014

Abdur Rahman Malik, Abrogasi dalam Al Qur’an: Studi Nasikh dan Mansukh,
Sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jurnal Studi Al Qur;an;
Membangun Tradisi Berfikir Qur‟ani. Vol 12, No. 1 Tahun 2016.
Doi.org/10.21009/JSQ.012.1.05

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008

Ahmad Hanafi, Ushul Fikih, Jakarta: Aka Jakarta, 2009

14

Anda mungkin juga menyukai