Anda di halaman 1dari 19

ILMU NASIKH DAN MANSUKH

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


1. Secara Etimologi
Quraish Shihab, melalui penelitiannya menemukan kata nasakh di dalam al-Quran dalam
berbagai bentuk sebanyak empat kali, yaitu : Q.S. al-Baqarah: 106, al-A`raf: 154, al-Hajj: 52,
dan al-Jatsiyah: 29. (M. Quraish Shihab, 2004: 143), sebagai berikut:
ِ ‫َما نَن َس ۡخ ِم ۡن َءايَ ٍة أَ ۡو نُن ِسهَا ن َۡأ‬
‫ت بِخ َۡي ٖر ِّم ۡنهَٓا أَ ۡو ِم ۡثلِهَ ۗٓا أَلَمۡ ت َۡعلَمۡ أَ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ۡي ٖء قَ ِدي ٌر‬
Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al-Baqarah:
106)
َ‫ة لِّلَّ ِذينَ هُمۡ لِ َربِّ ِهمۡ يَ ۡرهَبُون‬ٞ ‫ضبُ أَخَ َذ ٱأۡل َ ۡل َوا ۖ َح َوفِي نُ ۡس َختِهَا ه ُٗدى َو َر ۡح َم‬
َ ‫َولَ َّما َسكَتَ عَن ُّمو َسى ۡٱل َغ‬
Artinya: Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu;
dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada
Tuhannya. (QS. Al-A’raf)
‫ُول َواَل نَبِ ٍّي إِٓاَّل إِ َذا تَ َمنَّ ٰ ٓى أَ ۡلقَى ٱل َّش ۡي ٰطَنُ فِ ٓي أُمۡ نِيَّتِ ِهۦ فَيَن َس ُخ ٱهَّلل ُ َما ي ُۡلقِي ٱل َّش ۡي ٰطَنُ ثُ َّم ي ُۡح ِك ُم‬
ٖ ‫َو َمٓا أَ ۡر َس ۡلنَا ِمن قَ ۡبلِكَ ِمن َّرس‬
‫يم‬ٞ ‫ٱهَّلل ُ َءا ٰيَتِ ِۗۦه َوٱهَّلل ُ َعلِي ٌم َح ِك‬
Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang
nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-
godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan
Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-
Hajj: 52)
َ‫نس ُخ َما ُكنتُمۡ ت َۡع َملُون‬ ِّ ۚ ‫ق َعلَ ۡي ُكم بِ ۡٱل َح‬
ِ َ‫ق إِنَّا ُكنَّا ن َۡست‬ ُ ‫ٰهَ َذا ِك ٰتَبُنَا يَن ِط‬
Artinya: (Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan
benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan".
Pengertian naskh secara etimologis memiliki beberapa pengertian, yaitu:
penghapusan/pembatalan (al-izalah atau al-ibthal), pemindahan (al-naql),
pengubahan/penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-tahwil atau al-intiqal). (Al-Zarqani, 1957:
175)
Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka nasikh (isim fa`il) diartikan sesuatu yang
membatalkan, menghapus, memindahkan, dan memalingkan. Sedangkan mansukh (isim maful)
adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, diganti, dan dipalingkan.
2. Secara Terminologi
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin dalam
mendefinisikan nasakh secara terminologis. Perbedaan pendapat tersebut bersumber pada
banyaknya pengertian nasakh secara etimologi sebagaimana dijelaskan di atas.
Cakupan makna yang ditetapkan ulama mutaqoddimin di antaranya:
a. Pembatalan hukum yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian/pengkhususan hukum bersifat `am/umum oleh hukum yang lebih khusus yang
datang setelahnya
c. Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. (Moh. Nor Ichwan, 2000:
108)
Berdasarkan pada paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara terminologis mengusung
makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas pada berakhir atau terhapusnya suatu hukum baru
yang ditetapkan. Namun interprestasi nasakh yang diusung oleh mereka juga menyangkut yang
bersifat pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian.
Sementara menurut ulama mutaakhirin, nasakh adalah dalil yang datang kemudian,
berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama. (M. Quraish Shihab,
2004: 143) Dengan demikian mereka mempersempit ruang lingkup nasakh dengan beberapa
syarat, baik yang menasakh maupun yang dinasakh. Lebih lanjut ulama mutaakhirin
mendefinisikan nasakh sebagai berikut:

“Mengangkat (menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab) syara` yang datang
kemudian”. (Abi Bakar Muhammad: 1982: 52)
Atas dasar itu, dalil yang datang kemudian disebut nasakh (yang menghapus). Sedangkan
hukum yang pertama disebut mansukh (yang terhapus). Sementara itu, penghapusan hukumnya
disebut nasakh. (Kahar Mansykur, 2002: 135) Berdasarkan pengertian itu, para ulama
mutaakhirin lebih mempersempit makna nasakh dengan mendefinisikannya sebagai amandemen
sebuah ketentuan hukum atau berakhirnya masa berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang
datang kemudian, sehingga hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi.
Sementara itu, menurut az-Zarqani, sebagaimana dinukil Moh. Nur Ichwan, yang
dimaksud dengan nasakh secara terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah
terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya
subtansi hukum itu sendiri. (Moh. Nor Ichwan, 2000: 108) Dalam arti bahwa semua ayat al-
Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat
atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak
berlaku lagi baginya tetap berlaku bagi orang lain yang sama dengan kondisinya dengan mereka.
3. Syarat-syarat Nasikh Mansukh
Masalah yang penting disoroti adalah sejauh manakah jangkauan nasakh itu? Apakah
semua ketentuan hukum di dalam syariat ada kemungkinan terjangkau nasakh? Dalam menjawab
hal ini, Abu Anwar memberikan batasan beberapa syarat yang diperlukan dalam nasakh, yaitu:
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara. Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan.
Nasakh tidak terdapat dalam akhlak, ibadah, akidah, dan juga janji dan ancaman Allah.
b. Dalil yang dipergunakan untuk penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar`i yang datang
kemudian.
c. Dalil yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu tertentu. Sebab, jika
demikian hukum akan berakhir dengan waktu tersebut. (Abu Anwar, 2009: 52)
Konsep ini seperti tertuang dalam firman Allah SWT. Pada surat al-Baqarah ayat 109:
ُّ ۖ œ‫ا تَبَيَّنَ لَهُ ُم ۡٱل َح‬œœ‫ ِد َم‬œ‫ ِهم ِّم ۢن بَ ۡع‬œ‫ ِد أَنفُ ِس‬œ‫ ِّم ۢن بَ ۡع ِد إِي ٰ َمنِ ُكمۡ ُكفَّارًا َح َس ٗدا ِّم ۡن ِعن‬œ‫ب لَ ۡو يَ ُر ُّدونَ ُكم‬
‫ق‬ ِ َ‫ير ِّم ۡن أَ ۡه ِل ۡٱل ِك ٰت‬
ٞ ِ‫َو َّد َكث‬
ٞ‫ُوا َحتَّ ٰى يَ ۡأتِ َي ٱهَّلل ُ بِأَمۡ ِر ۗ ِٓۦه إِ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ۡي ٖء قَ ِدير‬œْ ‫ٱصفَح‬ ۡ ‫وا َو‬ ْ ُ‫ٱعف‬
ۡ َ‫ف‬
Artinya: Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri,
setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat tersebut tidak mansukh sebab dikaitkan dengan batas waktu, sedangkan nasakh
tidak dikaitkan dengan batas waktu. Dengan memperhatikan syarat di atas, maka jelas bahwa
nasakh tidak bisa ditetapkan sembarangan dan harus mematuhi syarat yang ada. Kecuali dalam
berita, tidak terjadi nasikh mansukh, karena mustahil Allah berdusta. Kemudian dua dalil yang
nampak kontradiksi itu datangnya tidak bersamaan, nasakh datang lebih akhir daripada mansukh.
Pada hakikatnya, nasakh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang ada
sebelumnya, yang mana ketentuan tersebut tidak dibatasi oleh waktu.
Quraish Shihab, menambahkan lagi syarat nasakh, bahwa nasakh baru dilakukan bila:
a. Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, serta tidak dapat lagi
dikompromikan.
b. Harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut. Yang lebih dahulu
dikatakan mansukh, dan yang datang kemudian disebut nasakh. (Moh. Nor Ichwan, 2000:
142)
Beberapa penjelasan mengenai pengertian dan syarat nasakh di atas, dapat disimpulkan
nasakh mempunyai empat rukun yaitu:
a. Nasakh, yaitu proses revisi atau penggantian hokum.
b. Nasakh, yaitu hukum pengganti, dalam hal ini Allah SWT, yang berhak secara mutlak untuk
merevisi atau mengganti hukum tersebut.
c. Mansukh, yaitu hukum yang direvisi.
d. Mansukh `anhu, yaitu orang yang dikenai hukum atau mukallaf. (Ishom Elsaha dan Saiful
Hadi, 2005: 555)

B. Klasifikasi Nasikh dan Mansukh


Dari segi nasakh atau yang berhak menghapus sebuah nash (dalil/hukum), nasakh
dikelompokkan dalam 4 bagian (Rachmat Syafe`i. 2006: 88), yaitu:
1. Nasakh al-Quran dengan al-Quran
Adapun nasakh dalam al-Quran dapat ditinjau dari beberapa segi. Yaitu:
a. Dari segi hukum dan bacaannya. Menurut az-Zarqaniy (Az-Zarqāni, 2001: 214-215), di dalam
al-Qur’an terdapat tiga macam naskh. Yaitu:
1) Naskh (penghapusan) bacaan dan hukumnya.
Dengan adanya naskh ini bacaan dan tulisan ayat tidak ada lagi, termasuk hukum
ajarannya telah terhapus dan terganti dengan hukum baru. (Abdul Mun’im an-Namr; 1983:
118) Secara umum memuat nasikh hukum dengan sendirinya, nasikh hukum beserta
bacaannya dan pendapat ini yang banya dipilih oleh Jumhur Ulama’. (Rasyid Ridha, 1998:
336-337)
Sebagaimana model ini diikuti oleh imam al-Tabari, Zamakhsari, dan Tabarsi,
beliau tidak terpaku pada satu model saja seperti di atas, namun beliau semua lebih
memilih dalam perkara naskh ini, ada yang memilih dua atau tiga model naskh sekaligus,
yaitu naskh al-hukm duna al-tilawah dan naskh hukm wa al-tilawa, sebagaimana yang
dipilih oleh Tabari, sedangkan menurut Imam Zamakshari dan Tabarsi, memilih ketiga
model naskh sekaligus, yaitu: naskh hukm wa al-tilawa dan naskh al- tilawa duna al-hukm.
(Syamsuri dan Kusmana, 2004: 1)
Contoh: Seperti yang telah diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah “semula
diturunkan bahwa sepuluh kali susuan, yang jelas dapat menyebabkan haram (untuk
dikawini), kemudian dihapus dengan lima kali susuan yang jelas”. Tilawah (bacaan) ayat
tersebut sudah tidak ada dalam mushaf Usman, demikian pula hukum yang terkandung di
dalamnya. Sedangakan dalil yang menunjukkan terjadinya nasikh macam ini yaitu (Abdul
Mun’im an-Namr; 1983: 118):
“Dari ‘Aisyah r.a berkata: termasuk ayat al-Qur’an yang dinuzulkan (ayat yang
menerangkan) sepuluh kali susuan yang diketahui itu menjadikan mahram (haram
dikawini), lalu dinaskh lima kali susuan yang nyata. Maka menjelang wafat Rasulullah,
ayat-ayat itu yang termasuk yang dibaca dari al-Qur’an.”
2) Naskh (penghapusan) hukumnya saja, sedang tilawah (bacaan)nya tetap.
Maksudnya, ada beberapa ayat al-Quran yang hukumnya sudah tidak berlaku,
sedangkan bacaannya masih tetap dalam al-Quran. Contoh: sanksi pezina yang mulanya
dikurung di rumah sampai mati, berdasarkan firman Allah surat an-Nisa ayat 15:
ِ ‫و‬œœُ‫ ُكوه َُّن فِي ۡٱلبُي‬œ‫ُوا فَأَمۡ ِس‬
‫ت َحتَّ ٰى‬ ْ ‫ ِهد‬œ‫إِن َش‬œَ‫ة ِّمن ُكمۡۖ ف‬œ ْ ‫ٱست َۡش ِهد‬
ٗ œ‫ُوا َعلَ ۡي ِه َّن أَ ۡربَ َع‬ ۡ َ‫َو ٰٱلَّتِي يَ ۡأتِينَ ۡٱل ٰفَ ِح َشةَ ِمن نِّ َسٓائِ ُكمۡ ف‬
ُ ‫يَتَ َوفَّ ٰىه َُّن ۡٱل َم ۡو‬
‫ت أَ ۡو يَ ۡج َع َل ٱهَّلل ُ لَه َُّن َسبِياٗل‬
Artinya: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada
empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah
memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.
Hukum dalam ayat tersebut tidak berlaku lagi dengan turunnya surat an-Nur ayat 2
di bawah ini:
‫ُوا ُك َّل ٰ َو ِح ٖد ِّم ۡنهُ َما ِماْئَةَ َج ۡلد ٖ َۖة‬
ْ ‫ٱجلِد‬
ۡ َ‫ٱل َّزانِيَةُ َوٱل َّزانِي ف‬
Artinya: ‘‘Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera ...”. (Q.S. an-Nur : 2).
Contoh lain adalah tentang masa iddah isteri yang ditinggal mati oleh suami, yang
semula tinggal di rumah suami selama satu tahun dinasakh dengan ayat tentang masa iddah
empat bulan sepuluh hari. Seperti surat Al-Baqarah ayat 240:
َ ‫اج فَإِ ۡن‬ ۡ ۡ ٰ ۡ َ ٗ ِ ‫َوٱلَّ ِذينَ يُتَ َوفَّ ۡونَ ِمن ُكمۡ َويَ َذرُونَ أَ ۡز ٰ َو ٗجا َو‬
َ œَ‫خَر ۡجنَ فَاَل ُجن‬
‫اح‬œ ٖ ۚ ‫ َّمتَعًا إِلَى ٱل َح ۡو ِل غ َۡي َر إِخ َر‬œ‫صيَّة أِّل ز ٰ َو ِج ِهم‬
‫يم‬ٞ ‫َزي ٌز َح ِك‬ ِ ‫ُوف َوٱهَّلل ُ ع‬ ٖœۗ ‫َعلَ ۡي ُكمۡ فِي َما فَ َع ۡلنَ فِ ٓي أَنفُ ِس ِه َّن ِمن َّم ۡعر‬
Artinya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah
(sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan
mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Ayat tersebut bacaannya masih utuh, namun hukumnya tidak berlaku lagi dengan
adanya hukum iddah dalam surat al-Baqarah ayat 234:
... ‫َّصنَ بِأَنفُ ِس ِه َّن أَ ۡربَ َعةَ أَ ۡشه ُٖر َوع َۡش ٗر ۖا‬
ۡ ‫َوٱلَّ ِذينَ يُتَ َوفَّ ۡونَ ِمن ُكمۡ َويَ َذرُونَ أَ ۡز ٰ َو ٗجا يَت ََرب‬
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-
isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari…”. (Q.S. al-Baqarah : 234)
3) Naskh (penghapusan) bacaannya saja, sedang hukumnya tetap, seperti ayat ar-rajm.

Artinya: “Laki-laki dan perempuan yang sudah tua apabila berzina, maka rajamlah
(lemparilah dengan batu) hingga mati sebagai balasan dari Allah, dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Qattan, 2004: 231)
Bacaan ayat ini sudah dihapus, tetapi hukumnya, yaitu rajam tetap berjalan.
b. Dari segi cakupan penghapusannya. Yaitu apakah dihapuskan semuanya atau sebagian saja,
maka naskh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Naskh kulli (pembatalan hukum syara’ yang datang sebelumnya secara keseluruhan)
Yaitu, pembuat dulu membatalkan hukum yang disyariatkan sebelumnya dengan
suatu pembatalan secara kulli (keseluruhan) dalam kaitannya dalam setiap individu para
mukallaf. Seperti membatalkan ‘iddah wanita yang ditinggalkan oleh suaminya selama satu
tahun dengan iddah-nya empat bulan sepuluh hari, sebagimana firman Allah SWT:
ۡ ۡ ٰ ۡ َ ٗ ِ ‫َوٱلَّ ِذينَ يُتَ َوفَّ ۡونَ ِمن ُكمۡ َويَ َذرُونَ أَ ۡز ٰ َو ٗجا َو‬
ٖ ۚ ‫ َّمتَعًا إِلَى ٱل َح ۡو ِل غ َۡي َر إِخ َر‬œ‫صيَّة أِّل ز ٰ َو ِج ِهم‬
‫اج‬
Artinya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Kemudian Allah berfirman:
‫َّصنَ بِأَنفُ ِس ِه َّن أَ ۡربَ َعةَ أَ ۡشه ُٖر َوع َۡش ٗر ۖا‬
ۡ ‫َوٱلَّ ِذينَ يُتَ َوفَّ ۡونَ ِمن ُكمۡ َويَ َذرُونَ أَ ۡز ٰ َو ٗجا يَت ََرب‬
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-
isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui
apa yang kamu perbuat. (QS. [2] al-Baqarah; 234)

2) Naskh juz’i. yaitu pembatalan sebagian hukum syara’ yang umum sebelumnya oleh hukum
yang datang kemudian (Baidan, 2011: 173). Dengan kata lain membatalkan makna yang
bersifat umum dari suatu nash yang datang lebih dahulu, atau meng-qaid-kan (membatasi)
makna pernyataan yang bersifat mutlak, seperti firman Allah:
‫َّصنَ بِأَنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ قُر ُٓو ٖۚء‬ ُ َ‫َو ۡٱل ُمطَلَّ ٰق‬
ۡ ‫ت يَتَ َرب‬
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
(suci) (QS Al-Baqarah [2]: 228).
Kemudian di ayat lain disebutkan pula
ِ َ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا إِ َذا نَ َك ۡحتُ ُم ۡٱل ُم ۡؤ ِم ٰن‬
‫ا‬œَۖ‫ت ثُ َّم طَلَّ ۡقتُ ُموه َُّن ِمن قَ ۡب ِل أَن تَ َمسُّوه َُّن فَ َما لَ ُكمۡ َعلَ ۡي ِه َّن ِم ۡن ِع َّد ٖة ت َۡعتَ ُّدونَه‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya” (QS. Al-Ahzāb [33]: 49).
Nash (pernyataan) yang pertama bersifat umum, mencakup semua perempuan yang
ditalak, baik yang sudah pernah disetubuhi maupun yang belum. Sedang nash yang kedua
hanya ditujukan kepada perempuan yang belum disetubuhi.
Kemudian contoh selanjutnya adalah dinaskhnya hukuman jilid (cambuk) 80 kali
bagi orang yang menuduh zina tanpa mengajukan 4 (empat) orang saksi dalam QS An-Nūr
[24]: 4, yaitu:
‫د ۚا‬œٗ œَ‫ ٰهَ َدةً أَب‬œ‫وا لَهُمۡ َش‬œ
ْ œُ‫ د َٗة َواَل ت َۡقبَل‬œ‫ُم ثَ ٰ َمنِينَ َج ۡل‬œۡ‫دُوه‬œِ‫ٱجل‬ ْ ُ‫أت‬œۡ œَ‫ت ثُ َّم لَمۡ ي‬
ۡ َ‫هَدَٓا َء ف‬œ‫ ِة ُش‬œ‫وا بِأ َ ۡربَ َع‬ ِ َ‫ ٰن‬œ‫ص‬
َ ‫ونَ ۡٱل ُم ۡح‬œœ‫َوٱلَّ ِذينَ يَ ۡر ُم‬
ٓ
َ‫َوأُوْ ٰلَئِكَ هُ ُم ۡٱل ٰفَ ِسقُون‬
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Pada ayat lain bagi suami istri dalam An-Nūr [24]: 6, yaitu:
َّ ٰ ‫ت بِٱهَّلل ِ إِنَّهۥُ لَ ِمنَ ٱل‬
َ‫ص ِدقِين‬ ِ ۢ ‫ُم َولَمۡ يَ ُكن لَّهُمۡ ُشهَدَٓا ُء إِٓاَّل أَنفُ ُسهُمۡ فَ َش ٰهَ َدةُ أَ َح ِد ِهمۡ أَ ۡربَ ُع َش ٰهَ ٰ َد‬œۡ‫َوٱلَّ ِذينَ يَ ۡر ُمونَ أَ ۡز ٰ َو َجه‬
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang
benar.
Naskh macam yang kedua ini tiada diperselisihkan oleh para ulama, baik nash yang
bersifat umum atau mutlak itu diturunkan lebih dahulu daripada yang bersifat khusus atau
diturunkan kemudian, atau baik yang diturunkan kemudian itu bersambung atau tidak, dan
baik kita mengikuti ulama yang menggunakan istilah “naskh” atau mengikuti ulama yang
menggunakan istilah “takhshish” atau “taqyid”.
c. Dari segi kejelasannya. Dari sisi ini naskh bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Naskh shārih. yaitu naskh yang jelas tentang berakhirnya suatu hukum.
Sebagai contoh adalah ayat tentang perubahan qiblat sembahyang dari menghadap
Bait al-Maqdis diubah menjadi menghadap ke Masjidil Haram (Ka’bah) sebagaimana
dinyatakan dalam ayat
ُ‫م َش ۡط َره‬œۡ‫وا ُوجُوهَ ُك‬ ُ ‫ك َش ۡط َر ۡٱل َم ۡس ِج ِد ۡٱل َح َر ۚ ِام َو َح ۡي‬
ْ ُّ‫ث َما ُكنتُمۡ فَ َول‬ ُ ‫َو ِم ۡن َح ۡي‬
َ َ‫ث َخ َر ۡجتَ فَ َولِّ َو ۡجه‬
Artinya: Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram, dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 150).
2) Naskh dhimmi, yaitu naskh secara implisit (tersirat) yang tidak jelas.
Yaitu nasikh yang untuk mengisyaratkan hukum yang berlawanan dengan hukum
yang terdahulu darinya atau suatu nasakh dimana syar’i tidak menyebutkan secara terang
terangan dalam pensyariatannya yang terdahulu, akan tetapi ia mensyariatkan hukum baru
yang bertentangan dengan hukumnya yang terdahulu, padahal tidak mungkin untuk
mensintesakan antara kedua hukum itu, kecuali dengan membatalkan salah satu dari
keduanya, sehingga nash yang munyusul dengan me-naskh-kan terhadap yang terdahulu
secara kandungannya (dhimmi). (Muhammad Abu Zahrah, 2008: 295)
Nasakh dhimmi banyak terdapat dalam penetapan hukum Ilahi. Contohnya firman
Allah SWT.
‫ا َعلَى‬œًّ‫ُوف َحق‬ ۡ ِ‫ َربِينَ ب‬œ‫د َۡي ِن َوٱأۡل َ ۡق‬œِ‫يَّةُ لِ ۡل ٰ َول‬œ‫ص‬
ِ œۖ ‫ٱل َم ۡعر‬œ ِ ‫ رًا ۡٱل َو‬œ‫ َركَ خ َۡي‬œَ‫ت إِن ت‬
ُ ‫و‬œۡ ‫ َد ُك ُم ۡٱل َم‬œ‫ر أَ َح‬œَ œ‫ض‬
َ ‫ب َعلَ ۡي ُكمۡ إِ َذا َح‬ َ ِ‫ُكت‬
َ‫ۡٱل ُمتَّقِين‬
Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
(QS. [2] al-Baqarah:180)
Ayat di atas menunjukan bahwa apabila seseorang yang memiliki harta yang
banyak dan datang tanda-tanda maut, maka wajib berwasiat secara ma’ruf.
Kemudian datang firman Allah tentang pembagian warisan: (QS. an-Nisa: 11)
ِّ ‫م ٱهَّلل ُ فِ ٓي أَ ۡو ٰلَ ِد ُكمۡۖ لِل َّذ َك ِر ِم ۡث ُل َح‬œُ ‫صي ُك‬
ۚ‫ظ ٱأۡل ُنثَيَ ۡي ِن‬ ِ ‫يُو‬
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
(QS. an-Nisa [4]:11)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah menentukan bagian harta peninggalan
setiap pemilik harta kekayaan diantara para pewarisnya sesuai dengan sesuatu yang
dituntut oleh hikmahnya, dan pembagian tersebut tidak kembali sebagai hak orang yang
mewariskan sendiri. Hukum ini bertentangan dengan hukum yang pertama dalam padangan
jumhur Ulama
Mengingat pembagian nasakh dalam al-Quran ada beberapa pendapat yang dikemukakan
ulama. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh menasakh hukum tanpa nasakh tilawah dengan
alasan:
a. Yang dimaksud dengan bacaan ayat-ayat al-Quran adalah untuk menjelaskan adanya hukum.
Bacaan diturunkan untuk alasan tersebut. Sehingga tidak mungkin terjadi pencabutan hukum
sedangkan bacaannya masih ada, sebab akan hilang apa yang dimaksud dengan adanya
bacaan itu.
b. Suatu hukum apabila dinasakh dan masih tetap bacaannya akan menimbulkan dugaan masih
adanya hukum, hal yang demikian mendorong mukallaf meyakini suatu kebodohan. (Amir
Syarifuffin, 2007: 251)
Menanggapi hal itu, al-Qattan mengemukakan hikmah penghapusan hukum, sementara
tilawahnya tetap, di antaranya:
a. Al-Quran di samping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga akan
mendapatkan pahala karena membaca kalam Allah.
b. Pada umumnya nasakh itu meringankan, maka dengan tetap adanya tilawah, maka akan
meringankan nikmat dihapuskannya kesulitan (musyaqqah). (Al-Qaththan, 2004: 337)
2. Nasakh al-Quran dengan Sunnah
Ada perbedaan pendapat mengenai bentuk nasakh ini, menurut jumhur ulama, sunnah
tidak dapat menasakh al-Quran karena hadits bersifat dzanni, sementara al-Quran bersifat qath`i.
Al-Quran lebih kuat dari sunnah. Menurut asy-Syafi`i, sunnah tidak sederajat dengan al-Quran.
Pendapat ini didasarkan al-Quran surat al-Baqarah ayat 106.48, yaitu:
ِ ‫نسهَا ن َۡأ‬
‫ر‬œٌ ‫ت بِخ َۡي ٖر ِّم ۡنهَٓا أَ ۡو ِم ۡثلِهَ ۗٓا أَلَمۡ ت َۡعلَمۡ أَ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ۡي ٖء قَ ِدي‬ ِ ُ‫َما نَن َس ۡخ ِم ۡن َءايَ ٍة أَ ۡو ن‬
Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Sementara itu ulama Hanafiyah, Imam Malik dan Ahmad, membolehkan al-Quran
dinasakh dengan sunnah mutawatir dengan alasan sunnah itu wahyu, seperti firman Allah SWT.
dalam surat an-Najm ayat 3-4.
‫ُوح ٰى‬ ٓ ٰ ‫ق َع ِن ۡٱلهَ َو‬
َ ‫ي ي‬ٞ ‫ى إِ ۡن ه َُو إِاَّل َو ۡح‬ ُ ‫َو َما يَن ِط‬
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (Q.S. an-Najm: 3-4)”.
Memang secara syar`i terjadi nasakh dengan sunnah Nabi Muhammad saw. sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 180.
َ‫ُوف َحقًّا َعلَى ۡٱل ُمتَّقِين‬
ِ œۖ ‫صيَّةُ لِ ۡل ٰ َولِد َۡي ِن َوٱأۡل َ ۡق َربِينَ بِ ۡٱل َم ۡعر‬
ِ ‫ت إِن تَ َركَ خ َۡيرًا ۡٱل َو‬
ُ ‫ر أَ َح َد ُك ُم ۡٱل َم ۡو‬œَ ‫ض‬
َ ‫ب َعلَ ۡي ُكمۡ إِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah: 180).
Ayat tersebut dinasakh oleh sabda Rasulullah saw dari Umamah, menurut riwayat empat
perawi hadits, selain an-Nasa`i, dinyatakan hadits tersebut hadits hasan menurut Ahmad dan at-
Turmuzi, yaitu sabda Rasulullah. “Sesungguhnya Allah SWT telah memberi bagian tertentu
untuk yang berhak, maka tidak boleh berwasiat kepada ahli waris”. (HR. Tirmidzi)
3. Nasakh Sunnah dengan al-Quran
Muhammad Abu Zahrah, memberikan contoh sunnah tentang shalat menghadap ke Bait
al-Maqdis, dinasakh dengan ayat tentang shalat menghadap ke masjidil Haram, dalam surat al-
Baqarah ayat 150. (Muhammad Abu Zahrah, 2008: 193-142)
ُ‫م َش ۡط َره‬œۡ‫وا ُوجُوهَ ُك‬ ُ ‫ك َش ۡط َر ۡٱل َم ۡس ِج ِد ۡٱل َح َر ۚ ِام َو َح ۡي‬
ْ ُّ‫ث َما ُكنتُمۡ فَ َول‬ ُ ‫َو ِم ۡن َح ۡي‬
َ َ‫ث َخ َر ۡجتَ فَ َولِّ َو ۡجه‬
Artinya: Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya
Contoh lain adalah berpuasa wajib pada hari asy-Syura yang ditetapkan berdasarkan
sunnah riwayat Bukhari-Muslim dari Aisyah, r.a., beliau berkata :
“Hari asy-Syura itu adalah wajib berpuasa. Ketika diturunkan (wajib berpuasa) bulan
Ramadhan, maka ada orang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa”. Puasa bulan asy-
Syura semula wajib hukumnya, tetapi setelah turun kewajiban puasa di bulan Ramadhan,
maka puasa asy-Syura tidak wajib lagi, ada yang berpuasa dan ada pula yang tidak
berpuasa”. (HR. Bukhari-Muslim).
Mengenai pembagian nasakh ini, asy-Syafi`i menolaknya dengan alasan. “Jika nabi
Muhammad saw menetapkan suatu ketentuan, kemudian turun ayat yang isinya bertentangan,
beliau pasti akan membuat ketentuan lain yang sesuai dengan al-Quran. Jika tidak demikian,
maka terbukalah pintu untuk menuduh bahwa setiap sunnah yang menjadi bayan al-Quran itu
telah dihapus. (Supiana dan M. Karman, 2002: 151)
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Nasakh ini pada hakikatnya adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan sunnah dinasakh
dengan dalil sunnah pula. Contoh tentang ziarah kubur yang sebelumnya dilarang oleh
Rasulullah saw, kemudian setelah itu Rasulullah malah menganjurkannya. (Muhammad Abu
Zahrah, 2008: 193-142)
Misalnya sabda Nabi:

“Aku pernah melarang kamu berziarah kubur, Ingatlah, ziarah ke kubur, karena sesungguhnya
ziarah kubur mengigatkan kamu akan kehidupan akhirat. (HR. Ibn Majah)
Dalam hadist tersebut dinyatakan asbab al-Wurud-nya bahwa suatu ketika Nabi Saw.
melarang umat Islam berkunjung ke kekuburan. Agaknya hal ini disebabkan oleh orang-orang
yahudi dan Nasrani, tetapi setelah kaum muslim menghayati arti tauhid dan larangan syirik
kekhawatiran tersebut menjadi sirna, dan ketika itu Nabi Saw. memperbolehkan bahkan
menganjurkan ziarah kubur. (Totok Jumantoto dan Syamsul Munir, 2005: 253) “Ziarahilah
kubur, karena hal tersebut dapat mengigatkan kalian kepada akhirat”
Dalam hadist lain di Rasulullah Saw bersabda:

“Aku melarang kamu menyimpan daging kurban hanyalah karena penumpukan. Ingatlah,
simpanlah daging itu.

C. Perbedaan antara Nasikh dan Takhshish


Dikalangan ulama’ terdahulu (al-Muataqqimin) arti naskh lebih umum dari apa yang telah
dipakai oleh ulma ushul. Pemberlakuan muqayyad terhadap mutlaq atau muqayyad, mereka anggap
juga sebagai nasikh, men-takhshish kan lafadz umum mereka anggap juga naskh, baik dengan dalil
yang terpisah maupun dalil yang bersambungan. Mereka juga memasukan bayan terhadap lafazd
mujmal atau muhkam sebagai naskh. Pencabutan hukum syara’i yang datang belakanganpun
mereka artikan dengan naskh. Dalam pengertian ahli ushul, yang terakhir ialah yang mereka sebut
dengan naskh. Yaitu: (Amir Syarifuffin, 2007: 254)
1. Taqyid dan muqayyad
Memang pengamalan dalil yang datang belakangan sebagai pengganti pengamalan dalil
yang terdahulu, juga terlihat pada taqyid, lafadz mutlak pada lahirnya seperti ditinggalkan.
Dengan demikian, maka kemutlakan lafadz itu tidak digunakan lagi karena yang digunakan
adalah apa yang dimaksud oleh lafad muqayyad, sehingga kedudukan muqayyad terhadap
mutlaq ibarat kedudukan nasikh terhadap mansukh.
2. Bada’
Dari segi munculnya kitab kedua (yang datang belakangan) yang membawa hukum baru
setelah ada hukum lama yang ditetapkan dengan kitab pertama (terdahulu), ada anggapan yang
menyamakannya dengan bada’ yaitu munculnya sesuatu setelah sebelumnya tidak diketahui.
(Az-Zarqāni, 2001: 180-181).
Dalam kata bada’ tergantung arti negatif yaitu kejahilan (ketidaktahuan) pembuat hukum
tentang apa yang akan terjadi kemudian sehingga ia merasa perlu untuk mencabutnya kembali,
karena bada’ itu tidak bisa dinisbatkan kepada Allah sebagai pembuat hukum, karena Allah
maha tahu apa yang akan terjadi, dengan demikian naskh bukanlah bada’. (Az-Zarqāni, 2001:
256).
Menurut Ibnu Hazm menyatakan bahwa bada’ itu seperti seseorang menyuruh melakukan
suatu perbuatan, sedangkan ia tidak tahu keadaan yang akan terjadi yang mungkin akan
menyebabkan ia harus mengubah suruhannya. Sedangkan naskh berarti menyuruh seseorang
melakukan sesuatu perbuatan, dan ia sendiri mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, juga
mengetahui pada sewaktu waktu ia akan mencabut suruhannya untuk menggantinya dengan
suruhan lain. Dari keterangan di atas, maka jelaslah bahwa sesuai dengan sifat Allah swt., naskh
itu berbeda dengan Bada’, meskipun dari luar kelihatan sama.
3. Istisna’
Dalam naskh juga terdapat bentuk pengecualian, yaitu pengecualian bagi masa kedua dari
pemberlakuan perintah untuk selamanya. Namun antara naskh dengan istisna terdapat perbedaan.
Istisna (pengecualian) adalah sebagiannya (dari lafadz umum, kemudian dikecualikan dengan
sebagiannya. Jumlah pengecualian itu (al-Mutsanna) adalah sebagian dari lafadz umum,
sehingga tidak ada keharusan untuk memberlakukan secara umum, kecuali apa yang tertinggal
setelah dikecualikan. Dalam naskh keadaannya tidaklah demikian, sesuatu yang dilarang
melakukannya pada hari ini memang. Sudah dimaksud meninggalkannya dari hari kemarin. Kita
tidak diberikan beban hukum terhadap apa yang waktu ini telah di-nasakh. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa nasakh itu semacam pengecualian. Setiap nasakh ada pengecualian tetapi
tidak setiap pengecualian adalah nasakh. (Az-Zarqāni, 2001: 257).
4. Takhshis
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk didalam
lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang tidak
dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm. Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadz
khas, tidak bisa terlepas dari thaksis. Menurut ulama ushul fiqih, thaksis adalah penjelasan
sebagian lafadz ‘amm bukan seluruhnya. Atau dengan kata lian, menjelaskan sebagian dari
satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘amm dengan dalil (Maman abd djaliel. 2008: 206)
Nasakh  dan takhsis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaanya antara lain,
terletak pada fungsinya, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya berfungsi
untuk menghususkan sebagian kandungan dari suatu lafadz. Hanya saja, takhsis lebih khusus
pada pembatasan berlakunya hukum yang umum, sedangkan nasakh menekankan pembatasan
suatu hukum pada masa tertentu.
Adapun perbedaan diantara keduanya adalah: takhsis merupakan penjelasan mengenai
kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang
dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan
hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku. (Al-Bukhari : 876)
Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan di antara
keduanya: (Al-Ghazali: 71, Al-Amidi : 165)
a. Takhsis bisa dilakukan terhadap lafadz yang belakangan dan bisa pula terhadap lafadz yang
datang beriringan (datang belakangan). Sedangkan nasakh mutlaq  hanya bisa dilakukan
melalui lafadz yang datang kemudian.
b. Takhsis bisa dilakukan baik dengan dalil naqli maupun dengan dalil
aqli,  sedangkan nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli  saja.
c. Takhsis tidak berlaku pada perintah (amr) yang mengandung suatu perintah saja, seperti
“Berilah si fulan:, sedangkan nasakh  bisa dilakukan dapa kasus seperti itu.
d. Lafadz yang umum tetap ada sesuai keumumanya walaupun setelah di-
takhsis,  sedangkan lafadz yang di-nasakh tidak berlaku lagi.
e. Dibolehkan men-takhsis lafadz yang qath’i dengan qiyas hadis ahad, dan dalil-dalil syara’ 
lainya (pendapat ini masih diperselisihkan dikalangan  para ulama). Sedangkan
dalam nasakh tidak boleh men-takhsis suatu lafadz yang qath’i, kecuali dengan lafadz
yang qath’i  pula.
Pada dasarnya naskh berlaku terhadap seluruh satuan pengertian (afrad) yang terkandung
dalam mansukh, namun ada pula nasakh yang hanya mengenai sebagian afrad, sehingga lafadz
tersebut masih berlaku terhadap sebagian afrad lain yang tidak di-nasakh. Dengan demikian
timbul kemiripannya dengan takhsis yang hanya mengeluarkan sebagian afrad lafad umum.
Meskipun demikian antara nasakh dengan takhsis terdapat perbedaan; di antara perbedaan
terpokok adalah: (Az-Zarqāni, 2001: 284).
a. Naskh adalah mengeluarkan hukum setelah hukum itu berlaku, sedangkan yang dikeluarkan
pada takhsis dan tidak diberlakukan lagi dari lafadz umum adalah hukum yang belum pernah
berlaku sama sekali.
b. Takhshis itu menjelaskan bahwa apa yang keluar keumuman lafadz, tidak dimaksudkan untuk
memberi petunjuk lafad itu, sementara nasakh menjelaskan bahwa pada aspek yang keluar
dari keumuman suatu lafad tidak bermaksud menciptakan beban hukum, meskipun dari segi
lafadnya memang menunjukan demikian.
c. Naskh tidak akan terjadi kecuali dengan khitab pembuat hukum, baik dalam bentuk nash al-
Qur’an maupun hadist Nabi, sedangkan takhshis dapat terjadi dengan qiyas dan dalil aqli
lainnya.
d. Takhshis itu tidak dapat menentukan ayat yang mengandung perintah, juga tidak berlaku pada
ayat yang mengandung larangan, sedangkan nasikh bertujuan untuk menentukan ayat-ayat
yang bersifat perintah dan larangan, dengan demikian maka dapat menasakh sebagian hukum-
hukum yang sudah ditentukan oleh Rasulullah saw. (Az-Zarqāni, 2001: 284)

D. Perbedaan Pendapat Tentang Ayat-Ayat Mansukh


1. Pro Kontra Nasikh Mansukh
Konsep nasikh mansukh dalam Al-Qur’an menimbulkan polemik para ulama. Adapun
sumber perbedaan itu berawal dari pemahaman ulama tafsir tentang Al-Qur’an surat an-Nisa ayat
82. (Subhi as-Shalih, 2004: 369)
ٗ ِ‫ٱختِ ٰلَ ٗفا َكث‬
‫يرا‬ œْ ‫أَفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ۡٱلقُ ۡر َء ۚانَ َولَ ۡو َكانَ ِم ۡن ِعن ِد غ َۡي ِر ٱهَّلل ِ لَ َو َجد‬
ۡ ‫ُوا فِي ِه‬
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini keberadaanya oleh setiap muslim,
namun sebagian yang lain ada yang berpendapat bahwa dalam menghadapi ayat-ayat al-Quran
yang secara dhahir menunjukkan akan kontradiksinya.
Menurut Yusuf Qardhawi, setidaknya ada tiga kecenderungan dalam masalah nasakh,
yaitu:
a. Ada yang meluaskan diri dalam mengklaim adanya nasakh dalam al-Quran dan berpendapat
bahwa sekian dalam surat sekian dinasakh, sementara tidak ada dalil yang kuat terhadap
penasakhan itu.
b. Sebagai antithesis dari mereka, ada yang mengingkari sama sekali adanya nasakh dalam al-
Quran.
c. Ada pendapat pertengahan yang mengakui adanya nasakh, jika dalil yang sahih dan jelas,
yang meyakinkan akal dan menenangkan hati. (Yusuf Qardhawi, 1999: 467)
Berikut adalah pendapat dari golongan yang menerima dan menolak nasakh mansukh:
a. Nasakh Mansukh dalam Perspektif Pendukungnya
Salah satu ayat yang menjadi basis pembangunan teori nasakh adalah firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 106:
ِ ‫َما نَن َس ۡخ ِم ۡن َءايَ ٍة أَ ۡو نُن ِسهَا ن َۡأ‬
‫ت بِخ َۡي ٖر ِّم ۡنهَٓا أَ ۡو ِم ۡثلِهَ ۗٓا أَلَمۡ ت َۡعلَمۡ أَ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ۡي ٖء قَ ِدي ٌر‬
Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Ayat tersebut dijadikan dasar naqli bagi mayoritas ulama yang mendukung adanya
nasakh dalam al-Quran. Mayoritas ulama tanpa keraguan menetapkan ayat-ayat yang
termasuk nasakh dan mansukh tetap berlaku, akan tetapi segi hukum yang berlaku
menyeluruh sampai waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali oleh syara. Jadi menurut
mereka, nasikh mansukh bisa diterima oleh akal dan telah terjadi dalam hukum syara` sesuai
dalil di atas.
Selain dalil naqli di atas, jumhur ulama pendukung nasakh juga mendasarkan dalil
naqli. Mereka berpandangan perbuatan Allah itu mutlak, tidak tergantung pada alasan dan
tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu
yang lain. Ini karena, Allah lebih mengetahui kepentingan hambanya. (Manna Khalil al-
Qattan, 2001: 331)
Pendapat lain yang mendasari mayoritas ulama tentang teori nasakh adalah penetapan
perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam al-Quran yang menurut Rosihan
Anwar, ada yang bersifat sementara dan ketika keadaan berubah perintah tersebut dihapus dan
diganti dengan perintah baru lainnya. Namun, karena perintah-perintah itu kalam Allah, harus
dibaca sebagai bagian dari al-Quran. (Rosihan Anwar, 2007: 163)
Ulama yang melopori konsep nasakh mansukh dalam al-Quran menurut Ahmad Izzan,
adalah asy-Syafi`i, al-Suyuti, al-Nahas, dan al-Syaukani. (Ahmad Izzan. 2009: 187) Persoalan
nasakh bagi kelompok pendukungnya merupakan salah satu cara menyelesaikan beberapa
dalil tersebut. Apabila tidak bisa dikompromikan, salah satunya dinasakhan atau dibatalkan.
Di samping itu, mereka berpendapat bahwa dalam al-Quran secara implisit memang
mengandung konsep nasakh. Oleh karena itu jika seseorang ingin menafsirkan al-Quran,
menurut M. Abu Zahrah, harus terlebih dahulu mengetahui tentang nasikh dan mansukh.
(Muhammad Abu Zahrah, 2008: 120)
Menurut kelompok ini keberadaan nasakh dalam al-Quran selain memiliki dasar dari
al-Quran, secara praktis juga nyata dalam sejarah Islam, dan naskh disebut secara eksplisit di
dalam al-Quran. Rachmat Syafe`i memberikan batasan terhadap ayat yang dinasakh, yaitu:
1) Ayat al-Quran yang konsekwensi hukumnya saling bertolak belakang dan tidak dapat
dikompromikan.
2) Harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut, yang lebih dahulu
ditetapkan sebagai mansukh dan yang datang kemudian sebagai nasikh. (Rachmat Syafe`I,
2006: 94)
Salah satu pemikir Indonesia, Munawir Sjadzali juga sependapat dengan kelompok
yang menyatakan adanya naskh, sehingga ia menggunakan metode klasik yang disebut
dengan naskh tersebut. Namun dalam praktiknya, Munawir Sadjali menggunakannya dengan
cara yang berbeda dengan ulama klasik, sehingga menghasilkan pemahaman yang radikal dan
memberikan peran yang luas kepada akal untuk melakukan reinterpretasi terhadap hukum
atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis nabi Muhammad saw.
(Munawir Sjadzali, 1997: 47)
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam pandangan ulama klasik nasakh dimaksudkan
dengan penghapusan atau penangguhan ayat yang turun lebih dahulu oleh ayat yang turun
belakangan. Selain ulama tafsir di atas, beberapa ulama tafsir yang namanya sudah membumi
di Indonesia juga sependapat adanya naskh di dalam al-Quran. Ibnu Katsir misalnya, dalam
tafsirnya "Tafsir al-Quran al-`Azhim (Ibnu Katsir)" menyatakan: “Sesungguhnya menurut
rasio tidak terdapat sesuatu yang menolak adanya nasakh (pembatalan) dalam hukum-hukum
Allah”. (Abi al-Fida` Isma`il ibn Katsir al-Qurasyiyyi al-Dimasyqi. 2000: 131)
Selain Ibnu Katsir, Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya "Tafsir al-Maraghi"
menyatakan: “Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia, dan
kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan zaman dan tempat. Maka apabila suatu
hukum diundangkan pada waktu di mana memang dirasakan kebutuhan adanya hukum itu,
kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu
dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu yang terakhir”. (Ahmad Mushthafa al-
Maraghi, Tafsir al-Maraghi, 1996: 187)
Adapun Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya "Tafsir al-Manar" menyatakan:
”Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan zaman, tempat, dan situasi.
Kalau satu hukum diundangkan pada saat dibutuhkannya hukum, kemudian kebutuhan itu
tidak ada lagi, maka suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu dan menggantikannya
dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu yang belakangan itu.” (Al-Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha. 1998: 414).
Sejalan pendapat di atas Sayyid Quthb dalam tafsirnya "Tafsir fi Zhilal al-Qur'an"
berpendapat bahwa ayat 106 dari surat al-Baqarah itu diturunkan sebagai sanggahan terhadap
tuduhan orang-orang yahudi bahwa Nabi tidak konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat
dari masjid al-Aqsha ke Masjid al-Haram, maupun perubahan petunjuk, hukum dan perintah
yang terjadi akibat pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta kondisi mereka yang
terus berkembang. (Sayyid Quthb. 1994: 101-102)
Wahyu-wahyu Allah itu tidak turun ke dunia yang vakum, melainkan kepada suatu
kelompok manusia atau masyarakat dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan tertentu,
serta tingkat kecerdasan tertentu. Oleh sebab itu wajar kiranya kalau ajaran Islam yang pada
dasarnya bersifat universal itu disampaikan oleh wahyu kepada masyarakat tertentu, dalam hal
ini bangsa Arab, dengan memperhatikan situasi dan kondisi lapangan serta kekhususan
budaya masyarakat untuk siapa Islam itu diajarkan, yang antara lain dilihat dari adanya naskh
dalam al-Quran dan Sunnah Nabi.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa naskh (pergeseran atau
pembatalan hukum/petunjuk) itu dapat terjadi tidak hanya pada zaman nabi Muhammad saw.
tetapi juga sepeninggal beliau kalau memang kondisi dan situasinya telah berubah. Di
samping itu akal budi manusia juga dapat berperan sebagai alat yang dapat menaskh wahyu
atau membatalkan/menggeser hukum baik yang termaktub dalam ayat-ayat al-Quran maupun
Hadis Nabi saw. selama hal tersebut berkaitan dengan masalah mu'amalah (kemasyarakatan).
Dengan demikian, bukan berarti al-Quran dan Hadits yang diubah, bukan pula syari'at yang
diubah, tetapi penerapannya yang dapat diubah. (Munawir Sjadzali. 1997: 87)
Pandangan Munawir Sadzali, yang menyatakan bahwa naskh dapat terjadi sepeninggal
nabi Muhammad saw., ini jelas-jelas bertentangan dengan ulama yang berpegang pada
pandangan klasik yang menyatakan bahwa naskh hanya terjadi pada masa nabi Muhammad
saw. atau masa tasyri'. Demikian juga pendapatnya yang membolehkan akal budi (rasio)
manusia sebagai alat yang dapat menaskh wahyu Allah bertentangan dengan pendapat umum.
Karena pemahaman yang telah mapan menyatakan bahwa akal manusia tidak
berwenang menghapus hukum Allah, sebab Allah adalah musyarri`, bukan manusia. Ahmad
Azhar Basyir, salah seorang tokoh Muhammadiyah misalnya mengatakan bahwa yang berhak
menaskh hukum-hukum Allah hanya Allah sendiri. Selain Allah tidak berhak menasakh
hukum-hukum Allah. Setelah al-Quran selesai diwahyukan, nasikh mansukh sudah berhenti.
Semua pernyataan fuqaha' dan mufassirin tentang kemungkinan terjadinya naskh, tertuju pada
kurun waktu semasa al-Quran belum selesai diwahyukan. Oleh karenanya jalan naskh tidak
dapat dipergunakan untuk membahas kemungkinan reaktualisasi ajaran Islam, setelah al-
Quran diturunkan empat belas abad yang lalu. (Ahmad Azhar Basyir, 1998: 92)
Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Ali Yafie salah seorang tokoh Nahdlatul
Ulama yang menyatakan bahwa perubahan hokum-hukum (taghayyur al-ahkam) melalui jalur
naskh terjadi pada tingkat syariah (al-Quran dan Sunnah) saja. Dengan berakhirnya periode
tasyri (dengan wafatnya penerima wahyu yaitu Rasulullah saw.) maka perubahan-perubahan
hukum Islam melalui jalur naskh, sudah berakhir juga. Maka merujuk kepada naskh dalam
rangka upaya revision of the law dalam hukum Islam tidak pada tempatnya. (Ali Yafie, 1998:
100)
Berbeda dengan dua tokoh di atas, mengenai kemungkinan beralih dari ayat satu ke
ayat yang lain dan keterlibatan manusia dalam permasalahan naskh, M. Quraish Shihab,
mengatakan: "Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah "pergantian" seperti yang
dikemukakan di atas, maka agaknya di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan
pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam
al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi sosial
atau kenyataan objektif masing-masing orang. Ada tiga ayat hukum yang berbeda
menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan
perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi
yang dihadapinya. (M. Quraish Shihab. 2004: 149-150)
Berdasarkan pernyataan di atas, tampaknya M. Quraish Shihab memperbolehkan
adanya pergantian hukum (naskh) oleh manusia terhadap kasus yang dihadapinya dengan
beralih pada ayat hukum yang dianggap cocok sesuai kasus yang dihadapinya. Semua ayat al-
Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi
masyarakat/orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Ayat hukum yang tidak lagi berlaku
baginya, tetapi dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka
semula. Lebih lanjut M. Quraish Shihab ketika memahami kata "kami" dalam QS. al-Nahl
(16): 101 menyatakan:
َ‫َوإِ َذا بَ َّد ۡلنَٓا َءايَ ٗة َّم َكانَ َءايَ ٖة َوٱهَّلل ُ أَ ۡعلَ ُم بِ َما يُن َِّز ُل قَالُ ٓو ْا إِنَّ َمٓا أَنتَ ُم ۡفت ۢۚ َِر بَ ۡل أَ ۡكثَ ُرهُمۡ اَل يَ ۡعلَ ُمون‬
Artinya: Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan
mereka tiada mengetahui.
"Kata 'kami' di sini, sebagaimana halnya secara umum kata 'kami' yang menjadi
pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan adanya keterlibatan selain Tuhan
(manusia) dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini
berarti ada keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya dari sekian
banyak alternatif yang ditawarkan ayat-ayat al-Quran yang mansukh atau diganti itu". (M.
Quraish Shihab. 2004: 150)
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami manusia sebagai makhluk Tuhan
yang telah diberikan akal (rasio) juga mempunyai peran dalam mengupayakan adanya nasikh
dan mansukh dalam al-Quran. Atas dasar paparan di atas, Sahiron Syamsuddin,
mengemukakan bahwa konsep naskh di dalam al-Quran, mempunyai wawasan luas dan
pandangan jauh ke depan. Sebab, dapat menunjukkan bahwa ajaran Islam senantiasa relevan
di segala situasi dan kondisi, serta mampu menjawab tantangan zaman. (Sahiron Syamsuddin,
2010: 5)
Sungguhpun demikian, suatu hal yang tidak dapat dilupakan bahwa untuk
menggunakan konsep tersebut kiranya tidaklah mudah. Sebab untuk menggunakannya
diperlukan kemampuan memahami secara tepat kondisi dan situasi lingkungan serta maslahat
yang dimaksudkan sehingga menghasilkan hukum muamalah yang benar-benar bisa
dipertanggungjawabkan dan disepakati bersama. Di samping itu pendapatnya bertentangan
dengan pendapat ulama ushul fikih yang menyatakan bahwa naskh tidak mungkin terjadi
sepeninggal Nabi Muhammad saw. Lebih tegas lagi Abdullahi Ahmed An-Naim, seorang
pemikir Islam asal Sudan (dikutip Sahiron Syamsuddin) mengatakan; bahwa proses naskh itu
bersifat tentatif sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya, ayat mana yang dibutuhkan pada masa
tertentu, maka itulah yang diberlakukan (muhkam); sedangkan ayat yang tidak diperlukan,
(karena tidak relevan dengan perkembangan kontemporer), dihapuskan atau ditangguhkan
(mansukh) penggunaannya. (Sahiron Syamsuddin, 2010: 5)
b. Nasakh dan Mansukh dalam Perspektik Penolaknya
Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran berusaha
mengkompromikan ayat-ayat yang kelihatan bertentangan sehingga tidak perlu dinasakh.
Kelompok penolak yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahani nama aslinya Muhammad
ibn Bahr seorang mufassir kondang beraliran Mu`tazilah, wafat 332 H, kitabnya yang terkenal
adalah Jam` al-Takwil. Menurut Rachmat Syafe`i, sebenarnya kita sangat sulit menemukan
buku/kitab karya Abu Muslim, yang ada adalah pendapat orang tentang pemikiran Abu
Muslim (Rachmat Syafe`I, 2006: 87) yang menyatakan bahwa dalam al-Quran tidak terdapat
nasakh. Jika mengakui adanya nasakh berarti mengakui adanya kebatilan dalam al-Quran.
Abu Muslim al-Isfahani mendasarkan argumentasinya pada al-Quran surat Fushilat ayat 42:
ۡ ۡ ۡ
ٖ‫يل ِّم ۡن َح ِك ٍيم َح ِميد‬ ِ ‫اَّل يَأتِي ِه ٱل ٰبَ ِط ُل ِم ۢن بَ ۡي ِن يَد َۡي ِه َواَل ِم ۡن َخلفِ ِۖۦه ت‬
ٞ ‫َنز‬
Artinya: Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Hukum-hukum yang dibawa al-Quran bersifat abadi dan universal. Jadi tidak layak
kalau di dalam al-Quran terdapat naskh. Lebih lanjut abu Muslim al-Isfahani, sebagai mana
dikutip Amir Syarifuddin, mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
1) Suatu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah karena adanya maslahat atau
mafsadat pada sesuatu yang dikenai hukum itu. Sesuatu yang mengandung maslahat tidak
mungkin beralih menjadi mafsadat.
2) Kalam itu bersifat qadim, dalam arti telah ada sejak dahulu (azali) sesuatu yang bersifat
qadim tidak mungkin dicabut. (Amir Syarifuffin, 2007: 229)
Sehingga jelas, al-Isfahani tidak setuju adanya nasakh. Al-Isfahani setuju
menginterpretasikan ayat yang secara zhahir terjadi kontradiksi dengan jalan taksis
(pengkhususan), untuk menghindari adanya nasakh atau pembatalan, al-Isfahani berpendapat
bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan kemustahilan-Nya, yaitu:
1) Ketidaktahuan, sehingga perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum
lainnya.
2) Jika itu dilakukan Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan permainan belaka. (M.
Quraish Shihab. 2004: 144)
Berbeda dengan al-Isfahani yang cenderung kepada takhsis, Muhammad Abduh
menolak adanya nasakh, dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (dalam
pengertian: pengalihan, pemindahan ayat hukum dengan ayat hukum lainnya). Dalam arti
bahwa semua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pengaliha
hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. (Rachmat Syafe`I,
2006: 88)
Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku baginya, tetap berlaku bagi orang
lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka. Dalam perspektif hikmah, pemahaman
semacam ini menurut Quraish Shihab akan sangat membantu dakwah islamiyah, sehingga
ayat-ayat hukum yang bertahap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama dengan
kondisi umat Islam pada awal masa Islam. (M. Quraish Shihab, 2004: 148)
Berdasarkan paparan tersebut, perbedaan nasakh mansukh didasarkan pada perbedaan
dalam menginterpretasikan dalil-dalil hukum yang kontradiksi atau bertentangan. Jumhur
ulama menyetujui adanya nasakh dalam arti penghapusan, sementara Abu Muslim al-Isfahani
menyepakati adanya taksis, sedangkan Muhammad Abduh lebih setuju jika nasakh diartikan
dengan al-Tabdil yaitu menggantikan.
4. Pedoman Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ada tiga metode untuk mengetahui nasakh
mansukh. Ketiga metode tersebut adalah:
a. Berdasarkan informasi yang jelas (al naql al-Sharih) yang didapat dari nabi Muhammad saw
dan sahabat. Hal ini seperti telah diungkapkan dalam sebuah hadits: “Aku dulu melarang
berziarah kubur, sekarang berziarahlah”.
b. Berdasarkan Ijma ulama bahwa hukum ini telah terjadi nasakh mansukh
c. Berdasarkan studi sejarah tentang mana ayat-ayat yang turun terlebih dahulu (al-mutaqaddam)
dan mana yang terkemudian (al-mutaakhir). (Abu Anwar, 2009: 53)
Menurut al-Qattan, nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad atau berdasarkan
pendapat mufassir, atau berdasarkan dali-dalil yang secara zhahir nampak kontradiktif. (Supiana
dan M. Karman. 2002: 150) Ketiga persyaratan itu merupakan faktor yang sangat menentukan
adanya nasakh dan mansukh dalam al-Quran. Jadi berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami
bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum, dan tidak termasuk penghapusan
yang bersifat asal (pokok).
Sedangkan kedudukan nasakh merupakan salah satu bentuk interpretasi hukum dalam
upaya menghadapi ayat atau hadits yang tampak kontradiktif selain dari tarjih atau taksis dalam
disiplin ilmu ushul Fiqh. Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan
hukum tersebut. Faktor azbabun nuzul ada dalam tingkat ini untuk mengetahui mana ayat yang
datang terdahulu dan ayat yang datang kemudian.
Di kalangan ulama yang menyatakan adanya naskh mansūkh dalam al-Qur’ān telah
terjadi ketidaksepakatan mengenai berapa jumlah dan mana saja ayat-ayat yang telah di-naskh.
Ada yang memperbanyak dan ada juga yang menyedikitkan. Sebagian mereka ketika menjumpai
ayat-ayat yang tampak saling bertentangan (ta’ārudl) menyimpulkannya telah terjadi naskh
mansūkh,, sebaliknya bagi yang mengketatkannya berusaha keras mengkompromikannya.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa Al-Nahhās (w. 388 H) menetapkan ayat-ayat yang
mansūkhat itu sebanyak 100 ayat lebih. Kemudian As-Sūyūthī (w. 911 H) setelah menyesuaikan
ayat-ayat yang tampaknya bertentangan, ia menetapkan bahwa tinggal 20 ayat yang tak dapat
disesuaikan. Artinya sebanyak ayat itulah yang tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil untuk
menetapkan hukum. Datang kemudian al-Syawkānī (w. 1250 H), ia menyatakan bahwa ayat-ayat
yang tidak bisa dikompromikan yang semula 20 ayat akhirnya tinggal 8 ayat (Ash-Shiddieqy,
1980: 123).
Banyak ayat yang semula dimasukkan dalam kategori telah di-naskh, kemudian dapat
dikompromikan dengan jalan takhshish atau taqyīd atau takwil atau dengan cara lain (Baidan,
2011: 178-180). Dapat dicontohkan disini apa yang telah ditulis oleh as-Sūyūthī, bahwa ayat
(As-Suyūtiy, 1429 H: 466-467).
ِ ِ‫ُوا بِأَمۡ ٰ َولِ ُكمۡ َوأَنفُ ِس ُكمۡ فِي َسب‬
ِ ۚ ‫يل ٱهَّلل‬ œْ ‫ُوا ِخفَ ٗافا َوثِقَااٗل َو ٰ َج ِهد‬
ْ ‫ٱنفِر‬
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat…” QS. At-Taubah [9] :
41). telah di-nasakh oleh ayat-ayat ‘udzur, yaitu ayat:

‫ۗج‬ٞ ‫يض َح َر‬ ۡ


ِ ‫ج َواَل َعلَى ٱل َم ِر‬ٞ ‫ج َح َر‬
‫أۡل‬ ‫أۡل‬
ِ ‫ج َواَل َعلَى ٱ َ ۡع َر‬ٞ ‫س َعلَى ٱ َ ۡع َم ٰى َح َر‬
َ ‫لَّ ۡي‬
“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang
sakit (apabila tidak ikut berperang)….” (QS. al-Fath [48]: 17).
dan ayat 91 serta 122 surat at-Taubah:
َ ‫س َعلَى ٱلضُّ َعفَٓا ِء َواَل َعلَى ۡٱل َم ۡر‬
‫ض ٰى َواَل َعلَى ٱلَّ ِذينَ اَل يَ ِج ُدونَ َما يُنفِقُونَ َح َر ٌج‬ َ ‫لَّ ۡي‬
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang
sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan” (QS. At-
Taubah [9] : 91).
ۚ ْ
‫َو َما َكانَ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ لِيَنفِر‬
‫ُوا َكٓافَّ ٗة‬
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). (QS. At-Taubah [9] :
122)”.
Cara mengkompromikan ayat pertama dengan ayat-ayat ‘udzur berikutnya adalah dengan
jalan takhshish. Makna ayat yang pertama adalah umum, sedang ayat-ayat ‘udzur berikutnya
adalah khusus, hanya ditujukan kepada orang buta, orang yang lemah, orang yang sakit dan
orang-orang yang menuntut ilmu. Mereka diperbolehkan tidak berangkat berperang.
Menguatkan hal ini Ar-Raziy dalam tafsirnya menyatakan bahwa para ulama telah
sepakat bahwa ayat pertama itu diturunkan pada waktu perang Tabuk, dan telah disepakati pula
bahwa Nabi Muhammad saw. membiarkan para wanita dan beberapa orang laki-laki tetap tinggal
di rumah. Hal ini memberikan pengertian bahwa kewajiban berperang itu bukanlah wajib ‘ain,
melainkan fardhu kifayah. Dengan pertimbangan inilah ia menetapkan bahwa tidak ada naskh
pada ayat tersebut (ar-Rāziy. 1981: IV/566).
Dari contoh tersebut tampak bahwa takhshish oleh sebagian ulama dimasukkan dalam
definisi naskh, dan oleh ulama yang lain dikeluarkannya menjadi salah satu cara kompromi
(taufiq) bagi nash-nash yang tanpak saling bertentangan (ta’ārudl). Menggarisbawahi hal ini
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa, ulama mutaqadimin memaknai naskh dengan pembatalan
hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang di tetapkan kemudian, atau pengecualian
hukum yang bersifat umum (‘am) oleh hukum yang lebih khusus yang datang setelahnya
(khas/takhshish), bayan (penjelasan) yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar,
ataupun penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. Dengan kata lain,
makna naskh tidak terbatas pada berakhirnya atau terhapusnya suatu hukum, disebabkan adanya
hukum baru yang di tetapkan, namun juga menyangkut hukum yang bersifat pembatasan atau
pengkhususan bahkan pengecualian (Qardhawi, 2006: 333).
Definisi yang sangat luas tersebut kemudian dipersempit oleh ulama muta’akhirin.
Menurutnya definisi yang dibuat ulama mutaqaddimin terlalu luas dan menimbulkan kerancuan
antara makna naskh, takhshish, qayad, istisna’ bahkan bada’. Padahal, antara naskh dan yang
tersebut di atas mempunyai perbedaan yang mendasar. Naskh dengan takhshish misalnya, letak
perbedaan antara keduanya ada pada “pembatalan”. Jika naskh merupakan proses eliminasi suatu
hukum oleh hukum yang datang setelahnya, maka takhshish hanyalah sebuah spesifikasi hukum
tanpa menanggalkan eksistensi ayat sebelumnya. Atau naskh dengan bada’, letak perbedaan
antara keduanya ada pada “pengetahuan” sang subyek atas obyek (naskh mansūkh). Karena,
bada’ merupakan proses peniadaan hukum dengan tanpa adanya faktor kesengajaan, atau dengan
kata lain, sang subjek belum mengetahui akan adanya penghapusan hukum tersebut (Qardhawi,
2006: 333).
Oleh karenanya, para ulama muta’akhirin mempersempit cakupan makna naskh dengan
mendefinisikannya sebagai amandemen sebuah ketentuan hukum atau berakhirnya masa
berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang datang kemudian. Naskh hanya terbatas pada
ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku
adalah yang ditetapkan terakhir (Shihab, 1992: 114).
Selain mempersempit definisi naskh yang berdampak pada penyempitan ruang terjadinya
naskh mansūkh dalam al-Qur’ān, sebagian ulama juga memperketat persyaratan terjadinya naskh
mansūkh dalam al-Qur’ān. ‘Abd Wahhāb al-Khallāf menyatakan bahwa tidak semua nash dalam
al-Qur’ān atau Hadits pada masa Rasulullah dapat di-naskh-kan. Diantara ciri-ciri yang tidak
dapat di-naskh-kan ialah:
a. Nash-nash yang berisi hukum-hukum pokok yang tidak berubah oleh perubahan keadaaan
manusia, baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kewajiban percaya kepada
Allah, Rasul dan kitab sucinya, hari akhirat dan yang menyangkut dengan pokok-pokok
akidah dan ibadah lainnya. Demikian juga nash-nash yang menentukan pokok-pokok
keutamaan seperti menghormati orang tua, jujur, adil, menunaikan amanat kepada yang
berhak menerimannya dan sebagainya. Demikian pula nash-nash yang menunjukkan kepada
pokok-pokok keburukan seperti syirik, membunuh orang tanpa hak, durhaka kepada orang
tua, dusta, aniaya dan seterusnya.
b. Nash-nash yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan
berlaku selamanya. Misalnya tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an) untuk
selamanya sebagaimana ditegaskan dalam
ٓ ْ ُ‫ت ثُ َّم لَمۡ يَ ۡأت‬
œَ œِ‫د ۚا َوأُوْ ٰلَئ‬œٗ œَ‫ ٰهَ َدةً أَب‬œ‫وا لَهُمۡ َش‬œ
‫ك‬œ ْ œُ‫ُم ثَ ٰ َمنِينَ َج ۡلد َٗة َواَل ت َۡقبَل‬œۡ‫ٱجلِدُوه‬
ۡ َ‫وا بِأ َ ۡربَ َع ِة ُشهَدَٓا َء ف‬ ِ َ‫ص ٰن‬
َ ‫َوٱلَّ ِذينَ يَ ۡر ُمونَ ۡٱل ُم ۡح‬
َ‫هُ ُم ۡٱل ٰفَ ِسقُون‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka itulah orang-orang yang fasik (QS. an-Nūr [24]: 4)”.
c. Nash-nash yang menunjukkan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau.
Misalnya berita bangsa Tsamud, dan ‘Ād. Me-naskh-kan yang demikian berarti mendustakan
berita tersebut. (Khallāf, 1968: 226-227) Secara lebih ketat, diantara ulama menyatakan
bahwa bentuk khabariyah (berita) itu tidak dapat di-nasakh (Ridha, 1373: 139). Jadi tidak
terbatas pada berita-berita tentang masa lampau saja, tetapi mencakup semua bentuk
khabariyah.
Senada dengan Khallāf, Muhammad Abū Zahrah menetapkan syarat-syarat nash-nash
yang dapat di-naskh-kan adalah: 1
a. Hukum yang di-naskh-kan tidak menunjukkan berlaku abadi.
b. Hukum yang di-naskh-kan bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang
baiknya atau buruknya. Misalnya kejujuran (baik), aniaya (buruk) dan lain-lain.
c. Haruslah ayat nāsikhat datang kemudian dari mansūkhat.
d. Keadaan kedua nash tersebut saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan satu sama
lain (Zahrah, 1958: 150-151).
Ulama yang menyempitkan definisi naskh dan memperketat syarat terjadinya naskh
mansūkh dalam al-Qur’ān telah melakukan sintesa terhadap dialektika pro-kontra naskh
mansūkh dalam al-Qur’ān. Dengan penyempitan definisi maka takhshish dan taqyid menjadi
bagian dari cara kompromi (taufiq) dalam prosedur penyelesaian persoalan ta’ārudl al-adillah.
Dimana persoalan ta’ārudl telah dapat diselesaikan pada prosedur yang lebih awal, sebelum
menuntut diterapkannya naskh mansūkh. Begitu juga dengan syarat yang ketat, ia akan
menjadi pendorong bagi pencarian jalan dari berbagai jalan kompromi (taufiq). Bila
persyaratannya tidak terpenuhi, nash-nash yang tampak saling kontradiksi (ta’ārudl) tidak bisa
ditetapkan sebagai naskh mansūkh.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mun’im an-Namr. 1983. Ulum al-Qur’an al-Karim. Beirut, Lebanon: Dar al-Kitab.

Abi al-Fida` Isma`il ibn Katsir al-Qurasyiyyi al-Dimasyqi. 2000. Tafsir al-Qur`an al-Azhim. Beirut: al-
Maktabah al-`Ashriyyah.

Abi Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani. 1982. Al-`Itibar fî al-Nasikh wa al-Mansukh
min al-Atsar. Pakistan: Jami`ah al-Dirasat al-Islamiyyah Karatisyi.
Abu Anwar. 2009. Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Amzah.

Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. 1996. Kairo: Mushthada al-Babi al-Halabi wa
Awladuhu.

Ahmad Izzan. 2009. Ulumul Quran, Telaah Tekstual dan Kontekstuals al-Quran. Bandung: Tafakur.

Ahmad Azhar Basyir. 1998. "Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan", dalam
Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualiasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka.

Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. 1998. Tafsir al-Qur`an al-Hakim. (Tafsir al-Manar). Kairo: Dar
al-Manar.

Ali Yafie. 1998. Antara Ketentuan dan Kenyataan?, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik
Reaktualiasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Amir Syarifuffin. 2007. Ushul Fiqh, jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Az-Zarqāni. 2001. Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān. Al-Qāhirah: Dār al-Hadīs

Ishom Elsaha dan Saiful Hadi. 2005. Sketsa al-Quran : Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah dalam al-
Quran. Jakarta: Lista Fariska.

Kahar Mansykur. 2002. Pokok-pokok Ulumul Qur`an. Jakarta: Rineka Cipta.

Maman abd djaliel. 2008. Ilu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia. 2008.

Manna Khalil al-Qattan. 2001. Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir Yogyakarta : Pustaka Lentera.

M. Quraish Shihab. 2004. Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan.
Bandung: Mizan.

Moh. Nor Ichwan. 2000. Studi Ilmu-Ilmu al-Quran. Semarang: RaSail Media Group

Muhammad Abd al-`Azhim al-Zarqani. 1957. Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an,. Kairo: `Isa al-Babi
al-Halabi.

Muhammad Abu Zahrah. 2008. Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma`sum, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Munawir Sjadzali. 1997. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina.

Qaththan, Manna’ Khalil. 2004. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Riyadh: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits.

Rachmat Syafe`i. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia.

Rosihan Anwar. 2007. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai