“Mengangkat (menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab) syara` yang datang
kemudian”. (Abi Bakar Muhammad: 1982: 52)
Atas dasar itu, dalil yang datang kemudian disebut nasakh (yang menghapus). Sedangkan
hukum yang pertama disebut mansukh (yang terhapus). Sementara itu, penghapusan hukumnya
disebut nasakh. (Kahar Mansykur, 2002: 135) Berdasarkan pengertian itu, para ulama
mutaakhirin lebih mempersempit makna nasakh dengan mendefinisikannya sebagai amandemen
sebuah ketentuan hukum atau berakhirnya masa berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang
datang kemudian, sehingga hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi.
Sementara itu, menurut az-Zarqani, sebagaimana dinukil Moh. Nur Ichwan, yang
dimaksud dengan nasakh secara terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah
terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya
subtansi hukum itu sendiri. (Moh. Nor Ichwan, 2000: 108) Dalam arti bahwa semua ayat al-
Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat
atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak
berlaku lagi baginya tetap berlaku bagi orang lain yang sama dengan kondisinya dengan mereka.
3. Syarat-syarat Nasikh Mansukh
Masalah yang penting disoroti adalah sejauh manakah jangkauan nasakh itu? Apakah
semua ketentuan hukum di dalam syariat ada kemungkinan terjangkau nasakh? Dalam menjawab
hal ini, Abu Anwar memberikan batasan beberapa syarat yang diperlukan dalam nasakh, yaitu:
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara. Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan.
Nasakh tidak terdapat dalam akhlak, ibadah, akidah, dan juga janji dan ancaman Allah.
b. Dalil yang dipergunakan untuk penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar`i yang datang
kemudian.
c. Dalil yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu tertentu. Sebab, jika
demikian hukum akan berakhir dengan waktu tersebut. (Abu Anwar, 2009: 52)
Konsep ini seperti tertuang dalam firman Allah SWT. Pada surat al-Baqarah ayat 109:
ُّ ۖ œا تَبَيَّنَ لَهُ ُم ۡٱل َحœœ ِد َمœ ِهم ِّم ۢن بَ ۡعœ ِد أَنفُ ِسœ ِّم ۢن بَ ۡع ِد إِي ٰ َمنِ ُكمۡ ُكفَّارًا َح َس ٗدا ِّم ۡن ِعنœب لَ ۡو يَ ُر ُّدونَ ُكم
ق ِ َير ِّم ۡن أَ ۡه ِل ۡٱل ِك ٰت
ٞ َِو َّد َكث
ُٞوا َحتَّ ٰى يَ ۡأتِ َي ٱهَّلل ُ بِأَمۡ ِر ۗ ِٓۦه إِ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ۡي ٖء قَ ِديرœْ ٱصفَح ۡ وا َو ْ ُٱعف
ۡ َف
Artinya: Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri,
setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat tersebut tidak mansukh sebab dikaitkan dengan batas waktu, sedangkan nasakh
tidak dikaitkan dengan batas waktu. Dengan memperhatikan syarat di atas, maka jelas bahwa
nasakh tidak bisa ditetapkan sembarangan dan harus mematuhi syarat yang ada. Kecuali dalam
berita, tidak terjadi nasikh mansukh, karena mustahil Allah berdusta. Kemudian dua dalil yang
nampak kontradiksi itu datangnya tidak bersamaan, nasakh datang lebih akhir daripada mansukh.
Pada hakikatnya, nasakh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang ada
sebelumnya, yang mana ketentuan tersebut tidak dibatasi oleh waktu.
Quraish Shihab, menambahkan lagi syarat nasakh, bahwa nasakh baru dilakukan bila:
a. Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, serta tidak dapat lagi
dikompromikan.
b. Harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut. Yang lebih dahulu
dikatakan mansukh, dan yang datang kemudian disebut nasakh. (Moh. Nor Ichwan, 2000:
142)
Beberapa penjelasan mengenai pengertian dan syarat nasakh di atas, dapat disimpulkan
nasakh mempunyai empat rukun yaitu:
a. Nasakh, yaitu proses revisi atau penggantian hokum.
b. Nasakh, yaitu hukum pengganti, dalam hal ini Allah SWT, yang berhak secara mutlak untuk
merevisi atau mengganti hukum tersebut.
c. Mansukh, yaitu hukum yang direvisi.
d. Mansukh `anhu, yaitu orang yang dikenai hukum atau mukallaf. (Ishom Elsaha dan Saiful
Hadi, 2005: 555)
Artinya: “Laki-laki dan perempuan yang sudah tua apabila berzina, maka rajamlah
(lemparilah dengan batu) hingga mati sebagai balasan dari Allah, dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Qattan, 2004: 231)
Bacaan ayat ini sudah dihapus, tetapi hukumnya, yaitu rajam tetap berjalan.
b. Dari segi cakupan penghapusannya. Yaitu apakah dihapuskan semuanya atau sebagian saja,
maka naskh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Naskh kulli (pembatalan hukum syara’ yang datang sebelumnya secara keseluruhan)
Yaitu, pembuat dulu membatalkan hukum yang disyariatkan sebelumnya dengan
suatu pembatalan secara kulli (keseluruhan) dalam kaitannya dalam setiap individu para
mukallaf. Seperti membatalkan ‘iddah wanita yang ditinggalkan oleh suaminya selama satu
tahun dengan iddah-nya empat bulan sepuluh hari, sebagimana firman Allah SWT:
ۡ ۡ ٰ ۡ َ ٗ ِ َوٱلَّ ِذينَ يُتَ َوفَّ ۡونَ ِمن ُكمۡ َويَ َذرُونَ أَ ۡز ٰ َو ٗجا َو
ٖ ۚ َّمتَعًا إِلَى ٱل َح ۡو ِل غ َۡي َر إِخ َرœصيَّة أِّل ز ٰ َو ِج ِهم
اج
Artinya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Kemudian Allah berfirman:
َّصنَ بِأَنفُ ِس ِه َّن أَ ۡربَ َعةَ أَ ۡشه ُٖر َوع َۡش ٗر ۖا
ۡ َوٱلَّ ِذينَ يُتَ َوفَّ ۡونَ ِمن ُكمۡ َويَ َذرُونَ أَ ۡز ٰ َو ٗجا يَت ََرب
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-
isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui
apa yang kamu perbuat. (QS. [2] al-Baqarah; 234)
2) Naskh juz’i. yaitu pembatalan sebagian hukum syara’ yang umum sebelumnya oleh hukum
yang datang kemudian (Baidan, 2011: 173). Dengan kata lain membatalkan makna yang
bersifat umum dari suatu nash yang datang lebih dahulu, atau meng-qaid-kan (membatasi)
makna pernyataan yang bersifat mutlak, seperti firman Allah:
َّصنَ بِأَنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ قُر ُٓو ٖۚء ُ ََو ۡٱل ُمطَلَّ ٰق
ۡ ت يَتَ َرب
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
(suci) (QS Al-Baqarah [2]: 228).
Kemudian di ayat lain disebutkan pula
ِ َٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا إِ َذا نَ َك ۡحتُ ُم ۡٱل ُم ۡؤ ِم ٰن
اœَۖت ثُ َّم طَلَّ ۡقتُ ُموه َُّن ِمن قَ ۡب ِل أَن تَ َمسُّوه َُّن فَ َما لَ ُكمۡ َعلَ ۡي ِه َّن ِم ۡن ِع َّد ٖة ت َۡعتَ ُّدونَه
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya” (QS. Al-Ahzāb [33]: 49).
Nash (pernyataan) yang pertama bersifat umum, mencakup semua perempuan yang
ditalak, baik yang sudah pernah disetubuhi maupun yang belum. Sedang nash yang kedua
hanya ditujukan kepada perempuan yang belum disetubuhi.
Kemudian contoh selanjutnya adalah dinaskhnya hukuman jilid (cambuk) 80 kali
bagi orang yang menuduh zina tanpa mengajukan 4 (empat) orang saksi dalam QS An-Nūr
[24]: 4, yaitu:
د ۚاœٗ œَ ٰهَ َدةً أَبœوا لَهُمۡ َشœ
ْ œُ د َٗة َواَل ت َۡقبَلœُم ثَ ٰ َمنِينَ َج ۡلœۡدُوهœِٱجل ْ ُأتœۡ œَت ثُ َّم لَمۡ ي
ۡ َهَدَٓا َء فœ ِة ُشœوا بِأ َ ۡربَ َع ِ َ ٰنœص
َ ونَ ۡٱل ُم ۡحœœَوٱلَّ ِذينَ يَ ۡر ُم
ٓ
ََوأُوْ ٰلَئِكَ هُ ُم ۡٱل ٰفَ ِسقُون
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Pada ayat lain bagi suami istri dalam An-Nūr [24]: 6, yaitu:
َّ ٰ ت بِٱهَّلل ِ إِنَّهۥُ لَ ِمنَ ٱل
َص ِدقِين ِ ۢ ُم َولَمۡ يَ ُكن لَّهُمۡ ُشهَدَٓا ُء إِٓاَّل أَنفُ ُسهُمۡ فَ َش ٰهَ َدةُ أَ َح ِد ِهمۡ أَ ۡربَ ُع َش ٰهَ ٰ َدœَۡوٱلَّ ِذينَ يَ ۡر ُمونَ أَ ۡز ٰ َو َجه
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang
benar.
Naskh macam yang kedua ini tiada diperselisihkan oleh para ulama, baik nash yang
bersifat umum atau mutlak itu diturunkan lebih dahulu daripada yang bersifat khusus atau
diturunkan kemudian, atau baik yang diturunkan kemudian itu bersambung atau tidak, dan
baik kita mengikuti ulama yang menggunakan istilah “naskh” atau mengikuti ulama yang
menggunakan istilah “takhshish” atau “taqyid”.
c. Dari segi kejelasannya. Dari sisi ini naskh bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Naskh shārih. yaitu naskh yang jelas tentang berakhirnya suatu hukum.
Sebagai contoh adalah ayat tentang perubahan qiblat sembahyang dari menghadap
Bait al-Maqdis diubah menjadi menghadap ke Masjidil Haram (Ka’bah) sebagaimana
dinyatakan dalam ayat
ُم َش ۡط َرهœۡوا ُوجُوهَ ُك ُ ك َش ۡط َر ۡٱل َم ۡس ِج ِد ۡٱل َح َر ۚ ِام َو َح ۡي
ْ ُّث َما ُكنتُمۡ فَ َول ُ َو ِم ۡن َح ۡي
َ َث َخ َر ۡجتَ فَ َولِّ َو ۡجه
Artinya: Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram, dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 150).
2) Naskh dhimmi, yaitu naskh secara implisit (tersirat) yang tidak jelas.
Yaitu nasikh yang untuk mengisyaratkan hukum yang berlawanan dengan hukum
yang terdahulu darinya atau suatu nasakh dimana syar’i tidak menyebutkan secara terang
terangan dalam pensyariatannya yang terdahulu, akan tetapi ia mensyariatkan hukum baru
yang bertentangan dengan hukumnya yang terdahulu, padahal tidak mungkin untuk
mensintesakan antara kedua hukum itu, kecuali dengan membatalkan salah satu dari
keduanya, sehingga nash yang munyusul dengan me-naskh-kan terhadap yang terdahulu
secara kandungannya (dhimmi). (Muhammad Abu Zahrah, 2008: 295)
Nasakh dhimmi banyak terdapat dalam penetapan hukum Ilahi. Contohnya firman
Allah SWT.
ا َعلَىœًُّوف َحق ۡ ِ َربِينَ بœد َۡي ِن َوٱأۡل َ ۡقœِيَّةُ لِ ۡل ٰ َولœص
ِ œۖ ٱل َم ۡعرœ ِ رًا ۡٱل َوœ َركَ خ َۡيœَت إِن ت
ُ وœۡ َد ُك ُم ۡٱل َمœر أَ َحœَ œض
َ ب َعلَ ۡي ُكمۡ إِ َذا َح َ ُِكت
َۡٱل ُمتَّقِين
Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
(QS. [2] al-Baqarah:180)
Ayat di atas menunjukan bahwa apabila seseorang yang memiliki harta yang
banyak dan datang tanda-tanda maut, maka wajib berwasiat secara ma’ruf.
Kemudian datang firman Allah tentang pembagian warisan: (QS. an-Nisa: 11)
ِّ م ٱهَّلل ُ فِ ٓي أَ ۡو ٰلَ ِد ُكمۡۖ لِل َّذ َك ِر ِم ۡث ُل َحœُ صي ُك
ۚظ ٱأۡل ُنثَيَ ۡي ِن ِ يُو
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
(QS. an-Nisa [4]:11)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah menentukan bagian harta peninggalan
setiap pemilik harta kekayaan diantara para pewarisnya sesuai dengan sesuatu yang
dituntut oleh hikmahnya, dan pembagian tersebut tidak kembali sebagai hak orang yang
mewariskan sendiri. Hukum ini bertentangan dengan hukum yang pertama dalam padangan
jumhur Ulama
Mengingat pembagian nasakh dalam al-Quran ada beberapa pendapat yang dikemukakan
ulama. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh menasakh hukum tanpa nasakh tilawah dengan
alasan:
a. Yang dimaksud dengan bacaan ayat-ayat al-Quran adalah untuk menjelaskan adanya hukum.
Bacaan diturunkan untuk alasan tersebut. Sehingga tidak mungkin terjadi pencabutan hukum
sedangkan bacaannya masih ada, sebab akan hilang apa yang dimaksud dengan adanya
bacaan itu.
b. Suatu hukum apabila dinasakh dan masih tetap bacaannya akan menimbulkan dugaan masih
adanya hukum, hal yang demikian mendorong mukallaf meyakini suatu kebodohan. (Amir
Syarifuffin, 2007: 251)
Menanggapi hal itu, al-Qattan mengemukakan hikmah penghapusan hukum, sementara
tilawahnya tetap, di antaranya:
a. Al-Quran di samping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga akan
mendapatkan pahala karena membaca kalam Allah.
b. Pada umumnya nasakh itu meringankan, maka dengan tetap adanya tilawah, maka akan
meringankan nikmat dihapuskannya kesulitan (musyaqqah). (Al-Qaththan, 2004: 337)
2. Nasakh al-Quran dengan Sunnah
Ada perbedaan pendapat mengenai bentuk nasakh ini, menurut jumhur ulama, sunnah
tidak dapat menasakh al-Quran karena hadits bersifat dzanni, sementara al-Quran bersifat qath`i.
Al-Quran lebih kuat dari sunnah. Menurut asy-Syafi`i, sunnah tidak sederajat dengan al-Quran.
Pendapat ini didasarkan al-Quran surat al-Baqarah ayat 106.48, yaitu:
ِ نسهَا ن َۡأ
رœٌ ت بِخ َۡي ٖر ِّم ۡنهَٓا أَ ۡو ِم ۡثلِهَ ۗٓا أَلَمۡ ت َۡعلَمۡ أَ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ۡي ٖء قَ ِدي ِ َُما نَن َس ۡخ ِم ۡن َءايَ ٍة أَ ۡو ن
Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Sementara itu ulama Hanafiyah, Imam Malik dan Ahmad, membolehkan al-Quran
dinasakh dengan sunnah mutawatir dengan alasan sunnah itu wahyu, seperti firman Allah SWT.
dalam surat an-Najm ayat 3-4.
ُوح ٰى ٓ ٰ ق َع ِن ۡٱلهَ َو
َ ي يٞ ى إِ ۡن ه َُو إِاَّل َو ۡح ُ َو َما يَن ِط
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (Q.S. an-Najm: 3-4)”.
Memang secara syar`i terjadi nasakh dengan sunnah Nabi Muhammad saw. sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 180.
َُوف َحقًّا َعلَى ۡٱل ُمتَّقِين
ِ œۖ صيَّةُ لِ ۡل ٰ َولِد َۡي ِن َوٱأۡل َ ۡق َربِينَ بِ ۡٱل َم ۡعر
ِ ت إِن تَ َركَ خ َۡيرًا ۡٱل َو
ُ ر أَ َح َد ُك ُم ۡٱل َم ۡوœَ ض
َ ب َعلَ ۡي ُكمۡ إِ َذا َح
َ ُِكت
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah: 180).
Ayat tersebut dinasakh oleh sabda Rasulullah saw dari Umamah, menurut riwayat empat
perawi hadits, selain an-Nasa`i, dinyatakan hadits tersebut hadits hasan menurut Ahmad dan at-
Turmuzi, yaitu sabda Rasulullah. “Sesungguhnya Allah SWT telah memberi bagian tertentu
untuk yang berhak, maka tidak boleh berwasiat kepada ahli waris”. (HR. Tirmidzi)
3. Nasakh Sunnah dengan al-Quran
Muhammad Abu Zahrah, memberikan contoh sunnah tentang shalat menghadap ke Bait
al-Maqdis, dinasakh dengan ayat tentang shalat menghadap ke masjidil Haram, dalam surat al-
Baqarah ayat 150. (Muhammad Abu Zahrah, 2008: 193-142)
ُم َش ۡط َرهœۡوا ُوجُوهَ ُك ُ ك َش ۡط َر ۡٱل َم ۡس ِج ِد ۡٱل َح َر ۚ ِام َو َح ۡي
ْ ُّث َما ُكنتُمۡ فَ َول ُ َو ِم ۡن َح ۡي
َ َث َخ َر ۡجتَ فَ َولِّ َو ۡجه
Artinya: Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya
Contoh lain adalah berpuasa wajib pada hari asy-Syura yang ditetapkan berdasarkan
sunnah riwayat Bukhari-Muslim dari Aisyah, r.a., beliau berkata :
“Hari asy-Syura itu adalah wajib berpuasa. Ketika diturunkan (wajib berpuasa) bulan
Ramadhan, maka ada orang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa”. Puasa bulan asy-
Syura semula wajib hukumnya, tetapi setelah turun kewajiban puasa di bulan Ramadhan,
maka puasa asy-Syura tidak wajib lagi, ada yang berpuasa dan ada pula yang tidak
berpuasa”. (HR. Bukhari-Muslim).
Mengenai pembagian nasakh ini, asy-Syafi`i menolaknya dengan alasan. “Jika nabi
Muhammad saw menetapkan suatu ketentuan, kemudian turun ayat yang isinya bertentangan,
beliau pasti akan membuat ketentuan lain yang sesuai dengan al-Quran. Jika tidak demikian,
maka terbukalah pintu untuk menuduh bahwa setiap sunnah yang menjadi bayan al-Quran itu
telah dihapus. (Supiana dan M. Karman, 2002: 151)
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Nasakh ini pada hakikatnya adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan sunnah dinasakh
dengan dalil sunnah pula. Contoh tentang ziarah kubur yang sebelumnya dilarang oleh
Rasulullah saw, kemudian setelah itu Rasulullah malah menganjurkannya. (Muhammad Abu
Zahrah, 2008: 193-142)
Misalnya sabda Nabi:
“Aku pernah melarang kamu berziarah kubur, Ingatlah, ziarah ke kubur, karena sesungguhnya
ziarah kubur mengigatkan kamu akan kehidupan akhirat. (HR. Ibn Majah)
Dalam hadist tersebut dinyatakan asbab al-Wurud-nya bahwa suatu ketika Nabi Saw.
melarang umat Islam berkunjung ke kekuburan. Agaknya hal ini disebabkan oleh orang-orang
yahudi dan Nasrani, tetapi setelah kaum muslim menghayati arti tauhid dan larangan syirik
kekhawatiran tersebut menjadi sirna, dan ketika itu Nabi Saw. memperbolehkan bahkan
menganjurkan ziarah kubur. (Totok Jumantoto dan Syamsul Munir, 2005: 253) “Ziarahilah
kubur, karena hal tersebut dapat mengigatkan kalian kepada akhirat”
Dalam hadist lain di Rasulullah Saw bersabda:
“Aku melarang kamu menyimpan daging kurban hanyalah karena penumpukan. Ingatlah,
simpanlah daging itu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mun’im an-Namr. 1983. Ulum al-Qur’an al-Karim. Beirut, Lebanon: Dar al-Kitab.
Abi al-Fida` Isma`il ibn Katsir al-Qurasyiyyi al-Dimasyqi. 2000. Tafsir al-Qur`an al-Azhim. Beirut: al-
Maktabah al-`Ashriyyah.
Abi Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani. 1982. Al-`Itibar fî al-Nasikh wa al-Mansukh
min al-Atsar. Pakistan: Jami`ah al-Dirasat al-Islamiyyah Karatisyi.
Abu Anwar. 2009. Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Amzah.
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. 1996. Kairo: Mushthada al-Babi al-Halabi wa
Awladuhu.
Ahmad Izzan. 2009. Ulumul Quran, Telaah Tekstual dan Kontekstuals al-Quran. Bandung: Tafakur.
Ahmad Azhar Basyir. 1998. "Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan", dalam
Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualiasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka.
Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. 1998. Tafsir al-Qur`an al-Hakim. (Tafsir al-Manar). Kairo: Dar
al-Manar.
Ali Yafie. 1998. Antara Ketentuan dan Kenyataan?, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik
Reaktualiasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Amir Syarifuffin. 2007. Ushul Fiqh, jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Ishom Elsaha dan Saiful Hadi. 2005. Sketsa al-Quran : Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah dalam al-
Quran. Jakarta: Lista Fariska.
Manna Khalil al-Qattan. 2001. Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir Yogyakarta : Pustaka Lentera.
M. Quraish Shihab. 2004. Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan.
Bandung: Mizan.
Moh. Nor Ichwan. 2000. Studi Ilmu-Ilmu al-Quran. Semarang: RaSail Media Group
Muhammad Abd al-`Azhim al-Zarqani. 1957. Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an,. Kairo: `Isa al-Babi
al-Halabi.
Muhammad Abu Zahrah. 2008. Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma`sum, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Qaththan, Manna’ Khalil. 2004. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Riyadh: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits.