Anda di halaman 1dari 18

AHRUF SAB’AH DAN QIRA’AT

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Ilmu Qiraat”

Dosen Pembimbing :

Said AL Mubarok, S.Ag, M.S.I

Disusun Oleh :

Ahmad Ishom Kamali

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ISLAMIC CENTRE


CENTRE (STAI - IC) ISLAMIC CENTER DEMAK
TAHUN 2020

1
A. Pendahuluan
Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam, dan beriman kepadanya
tergolong salah satu Rukun Iman. Ia adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Mulai dari surat al-Fatihah sampai dengan akhir surat an-Nas. Menurut
Penulis interaksi manusia dengan Al-Qur’an adalah perjalanan penuh dengan cobaan,
anugerah dan mengharu biru1 yang wajib dilakukan oleh tiap Muslim. Salah satunya kita
belajar dan diskusi makalah ini.
Al-Qur’an adalah salah satu sumber hukum Islam yang menduduki peringkat teratas, dan
seluruh ayatnya diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah SWT. Dengan demikian,
autentisitas serta orsinilitas al-Qur’an benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, karena ia
merupakan wahyu Allah baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.
Kemudian didalam Al-Qur’an terdapat sejumlah riwayat yang secara eksplisit menyebutkan
bahwa Alqur’an diwahyukan dalam tujuh huruf. Keadaan ini pula yang menyebabkan
terjadinya unifikasi2 dalam bacaan al-Qur’an, disamping sebab-sebab lainnya.
Bangsa Arab ialah bangsa yang memiliki komunitas yang bermacam-macam dari berbagai
cara pelafalan dalam bentuk suara, huruf-huruf sehingga dibutuhkan suatu pembahasan yang
lebih rincin untuk mendalami perbedaan tersebut dengan penjelasan dan hubungan
komunikasi lebih dalam, yang secara thabi’i (alami) mereka tersebar diseluruh penjuru Arab
dengan dialek yang khas yang tidak dimiliki oleh komunitas lain selain Arab. Perbedaan
lahjah (dialek) itu tentunya sesuai juga dengan letak daerah dan kultur dari masing-masing
masyarakat. Namun mereka menggunakan bahasa Quraisy sebagai bahasa persatuan dalam
berkomunukasi antar sesama baik dalam berniaga, mengunjungi ka’bah, dan interaksi lainnya.
Dengan demikian halnya, wajarlah jika Al-Quran diturunkan dalam lahjah Quraisy kepada
Rasul sebagai bentuk politik pemersatu hati bagi bangsa Arab, pembenaran keindahan bahasa
Al-Quran tatkala bangsa Arab tidak dapat menandingi satu ayat pun yang semisal dengan isi
Al-Quran. Apabila bangsa Arab berbeda cara dalam mengungkapkan sesuatu makna dengan
beberapa tingkatan diantara mereka dari segi dialek bahasa, maka Al-Quran yang diwahyukan
kepada Rasullullah Saw menyempurnakan makna I’jaznya (keindahan) karena mencakup
semua huruf dan corak-corak bacaan pilihan. Dan ini merupakan salah satu sebab yang
memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.3
Menurut Abu Hatim Al-Sajastaniy tujuh dialek bahasa itu adalah : ‫ق ري ش‬, ‫هذي ل‬, ‫ت م يم‬, ‫داأل ز‬,
‫رب ي عة‬, ‫هوازن‬, ‫ ب كر ب ن س عد‬, meskipun ada tujuh macam dialek tersebut, namun mayoritas
ulama qira’at berpendapat bahwa tujuh macam huruf dalam masing-masing dialek bahasa dari
dialek-dialek Arab tersebut tetap intinya dengan makna yang satu.4
Bangsa Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku termaktub didalamnya.
Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-suku lainnya.
Perbedaan dialek inilah tentunya sesuai dengan kondisi alam yang ditemui, seperti letak

1
Faisal Hilmi, Qur’an Ku Maaf Kami Masih Sibuk : Motivasi Diri Agar Anda Ketagihan Membaca Al-
Qur’an (Cirebon: Salafiyyah Darurrohmah Foundation & Pusat Kajian Tafsir Qur’an (PKTQ), 2017), h. xviii.
2
Unifikasi secara Bahasa menurut KBBI adalah hal menyatukan; penyatuan; hal menjadikan seragam.
Lihat https://kbbi.web.id/unifikasi diakses terakhir 12/09/2017.
3
Manna’ Khalil Al-Qottan, Mabahits fi Ulumul Qur’an, (Mesir : Daarul Fikr, tp.t.th), h. 156.
4
Manna’ Khalil Al-Qottan, Mabahits fi Ulumul Qur’an, (Mesir : Daarul Fikr, tp.t.th), h. 158.
2
geografis dan sosio cultural pada tiap suku. Bangsa Arab memiliki bahasa persatuan,
Indonesia pun demikian. Mereka menjadikan bahasa Quraisy sebagai common language
(bahasa bersama) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan
bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami
alasan al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
Di sini, perbedaan-perbedaan lahjah itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam
bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’ah itu sendiri,
tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan
pelafalan al-Qur’an dengan berbagai macam qira’ah. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan
dengan menggunakan tujuh huruf (Unzila hadza al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf) dan hadis-hadis
lainnya yang sepadan dengannya.5
Walaupun Abu Syamah dalam kitabnya al-Qur’an dan al-Wajiz menolak muatan hadits itu
sebagai justifikasi qira’ah sab’ah, konteks hadis itu sendiri memberikan peluang al-Qur’an
dibaca dengan berbagai ragam qira’ah. Makalah ini akan membahas tentang hal tersebut.
Qira’at merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang
yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, Biasanya kalangan akademik.
Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan
langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari, tidak seperti ilmu fiqih,
hadis, dan tafsir misalnya, yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan
manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan
secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.

B. Ahruf Sab’ah
1. Definisi
Al-Quran sebagai pedoman utama umat islam, diturunkan kepada Rasulullah SAW dengan
bahasa arab. Sebagaimana difirmankan dalam QS. Yusuf ayat 2:

َ ُ ۡ َ ۡ ُ َّ َ َّ ّٗ َ َ ً ۡ ُ ُ َٰ َ ۡ َ َ ٓ َّ
٢ ‫إِنا أنزلنه قرَٰءنا عربِيا لعلكم تعقِلون‬
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.”
Dalam menafsirkan ayat di atas, Rasyid Ridha menyampaikan bahwa Al-Quran disampaikan
dengan bahasa Arab supaya dapat diketahui berbagai hal tentang agama, berita-berita dan
kisah para Rasul, ilmu dan hikmah, peradaban, serta politik. Turunnya Al-Quran dengan
bahasa Arab bertujuan untuk memberi informasi tentang apa yang dibutuhkan oleh manusia,
baik menyangkut urusan agama maupun urusan dunia.6

5
Hadits yang sepadan banyak dimuat dalam pembukaan Tafsir Ath-Thabari. Imam as-Suyuthi
menyatakan bahwa hadis-hadis ini didukung oleh 21 Sahabat dan disebarkan, menurut Abu Abaid dengan jalan
mutawatir. Lihat Manna’ al-Qathan, Mahabits fi Ulum al-Qur’an, (Mesir : Daarul Fikr, tp.t.th), h. 158.
6
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran, cet. ke-2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 130.
3
Akan ditemukan bahwa bahasa yang dipakai oleh masyarakat Arab memiliki beraneka lahjah
(dialek). Perbedaan itu terletak pada cara pengucapan ataupun penulisan. Setiap kabilah atau
suku mempunyai karakteristiknya sendiri-sendiri, kecuali suku Quraisy yang masih menjaga
kemurnian bahasa Arab mereka.7 Meskipun diturunkan dalam bahasa arab Quraisy, bukan
berarti tertutup terhadap dialek selain bahasa Quraisy. Karenanya, Allah menurunkan Al-
Quran tidak hanya dalam satu bahasa (dialek).
Dalam sebuah hadis yang mengemukakan mengenai turunnya Al-Quran dengan tujuh huruf.
Dari Abbas r.a, Rasulullah SAW berkata: ”Jibril membacakan (al-Quran) kepadaku dengan
satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan
ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.” (HR Bukhari-Muslim)8 Salah
satu alasan mengenai diturunkannya al-Quran dalam tujuh huruf ini adalah agar umat muslim
dapat membacanya dengan mudah sesuai dengan bahasa atau dialeknya masing-masing.
Banyak hadits yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf. Jadi, kalau
kalau hadits tersebut tidak dapat dibatasi maknanya maka kita mesti berupaya memahaminya
sejauh mungkin, tapi dengan makna yang tidak berlawanan dengan naql dan akal. Pendapat
yang lebih mendekati kebenaran, yakni yang tidak terlampau dangkal dan juga tidak
berlebihan yang berarti tujuh macam cara membaca yang diberikan Rasulullah sebagai
kelonggaran kepada umat Islam.

2. Perdebatan Seputar Ahruf Sab’ah


Sejumlah besar sarjana muslim telah berupaya untuk mengungkapkan dan menjelaskan
makna sab’ah ahruf yang terdapat dalam beberapa riwayat tersebut. Abu Hatim Muhammad
Ibnu Habban al-Busti (w.354 H), misalnya telah mengumpulkan antara 35 hingga 40 macam
penjelasan mengenai masalah ini. Bahkan Abu Syammah (w. 665 H) telah menulis sebuah
buku yang secara khusus menjelaskan tentang berbagai macam penjelasan mengenai sab’ah
ahruf ini.
Dari sekian banyak penjelasan, sedikitnya ada 6 persfektif yang berkembang, yaitu :
1) Bahwa yang dimaksud sab’ah ahruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa yang
terkenal dikalangan bangsa arab, tetapi maknanya tidak berbeda. Ketujuh bahasa itu
adalah Quraisy, Huzayl, Saqif, Hawazim, Kinanat, Tamim, dan Yaman.
2) Menurut sebagian ulama yang lain, bahwa yang dimaksud sab’ah ahruf adalah tujuh
macam bahasa dari bahsa-bahasa arab yang dengannya al-Qur’an diturunkan.
Artinya bahwa lafadz-lafadz dalam al-Qur’an secara keseluruhan tidak terlepas dari
tujuh bahasa yang terkenal dikalangan bangsa arab. Meskipun sebagian besarnya
adalah bahasa Quraisy, sebagian lagi dalam bahasa Huzayl, Saqif, Hawazin, Kinanat
dan Yaman.
3) Pendapat ulama yang lain adalah tujuh pintu atau segi yang dengannya al-Qur’an
diturunkan. Ketujuh segi tersebut adalah perintah (amr), larangan (nahy), halal,
haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal (perumpamaan).

7
Fahmi Amrullah, Ilmu Al-Quran untuk Pemula (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008), h. 55.
8
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1994), h. 226.
4
4) Pendapat lain mengatakan bahwa dalam hadits kata sab’ah ahruf tersebut tidak
diartikan dalam bilangan tertentu, akan tetapi menunjukan arti banyak.
5) Pendapat lain mengatakan bahwa sab’ah ahruf dimaknai sebagai al-qira’ah al-sab
(tujuh bacaan) yang secara khusus dihimpun oleh Ibnu Mujahid.
6) Yang dimaksud denga sab’ah ahruf adalah tujuh macam hal yang didalamnya terjadi
ikhtilaf (perbedaan). Adapun perbedaan yang dimaksud meliputi perbedaan kata
benda: baik dalam mufrad, jama’, mudzakkar maupun muannas, perbedaan dari segi
I’rab, tashrif, taqdim dan ta’khir, segi ibdal, segi bentuk penambahan dan
pengurangan, dan perbedaan lahjah, seperti bacaan tafhim dan tarqiq, fathah dan
imalah, idzhar dan idgham, dan lainnya.9

3. Sebab Munculnya Ahruf Sab’ah


Termasuk wacana kajian seputar ilmu Al-Qur'an yang sengit diperselisihkan adalah sebuah
hadits “Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf”. Walaupun sebenarnya hadits ini jelas
sahih dengan riwayat yang tergolong mutawatir, karna rawi yang meriwayatkannya mencapai
21 sahabat, bahkan sempat adanya sahadah (penyaksian banyak sahabat atas kebenarannya),
namun secara global hadits ini banyak menimbulkan kontroversi.
Diantaranya pula tiga hadis berikut yang menjadi dasar Ahruf Sab’ah :

‫أقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف‬

9
Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi Atas Persoalan Linguistik, cet:1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2002, h. 313.
Selain penjelasan tersebut, berikut penjelasan sab’ah ahruf lainnya :
1. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf al-Quran tersebut. Sehingga Ibn
Hayyan (dalam al-Qattan) mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga
puluh lima.” Namun kebanyakan pendapat-pendapat tersebut saling tumpang tindih.
2. Sebagian ulama memahami bahwa kata ‘tujuh’ disini tidak dimaksudkan dengan angka tujuh yang
sebenarnya. menurut mereka, tujuh disini hanya menunjukkan banyaknya kemungkinan cara membaca Al-
Quran yang diperbolehkan untuk memberi kemudahan bagi kaum muslim yang pada pokonya terdiri atas
orang-orang Arab yang menggunakan berbagai dialek ketika masa diturunkannya al-Quran. Angka tujuh disini
merupakan batas maksimal dari kemungkinan-kemungkinan bacaan Al-Quran yang diperbolehkan.
3. Maksud tujuh huruf adalah tujuh bentuk lafal yang berbeda tentang satu kata yang memiliki satu
makna sama. Sebagai contoh, kata perintah untuk datang dapat diungkapkan dengan menggunakan kata ،‫اق بل‬
،‫ ت عال‬،‫ عجل‬،‫ ا سرع‬،‫ن حوي ق صدي‬.
4. Ibn Qutaibah menafsirkan sab’ah ahruf dengan tujuh bentuk perubahan, yaitu:
(a) Perubahan harakat (tanda baca), (b) Perubahan pada kata kerja, (c) Perubahan pada lafal, (d) Perubahan
pada pergantian huruf yang sama makhraj-nya, (e) Perubahan dengang cara mendahulukan dan mengakhirkan,
(f) Perubahan dengan penambahan atau penguranga kalimat, (g) Perubahan dengan penggantian kata.
5. Pendapat yang menafsirkan sab’ah ahruf dengan tujuh bahasa (dialek) bagi tujuh kabilah bangsa
Arab. Sebagian ayat Al-Quran turun dalam bahasa Quraisy, sebagian yang lain dengan bahasa Tamim, bahasa
Huzail, bahasa Azd, bahasa Rabi’ah, bahasa Hawazin, dan bahasa Sa’d Ibn Bakr.
6. Sebagian ulama menafsirkan sab’ah ahruf dengan tujuh ashnaf (macam) istilah dalam Ushul Fiqh.
Ketujuh macam tersebut adalah amr (perintah), nahy (larangan), halal, haram, muhkam (jelas, kukuh),
mutasyabih (samar), dan amtsal (perumpaan).
7. Pendapat lain menafsirkan sab’ah ahruf dengan tujuh qiraat.
5
“Jibril membacakan kepadaku atas satu huruf, maka aku kembali kepadanya, maka aku
terus menerus minta dan ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai tujuh huruf”
(HR. Bukhori).

“Ketika Nabi berada didekat parit Bani Ghaffar, ia didatangi Jibril seraya
mengatakan: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu
dengan satu huruf’. Ia menjawab: ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan
maghfirah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu’. Kemudian
Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar
membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf’. Nabi menjawab: ‘Aku
memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat
melaksanakanya’. Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, dan berkata: ‘Allah
memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepadamu dengan tiga huruf’. Nabi
menjawab: ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak
kuat melaksanakanya’. Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya, dan
berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepadamu dengan
tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar.’” (HR.
Muslim).

“Umar ibn Khattab berkata: ‘Aku mendengar Hisyam ibn Hakim membaca surah al-
Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia
membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku,
sehingga hampir saja aku “melabraknya” pada saat sedang salat, tetapi aku sabar
menunggu sampai selesai salam (selesai salat). Begitu selesai aku tarik selendangnya
dan bertanya: ‘siapa yang membacakan surah ini kepadamu?’ Ia pun menjawab:
‘Rasulullah yang membacakan kepadaku’. Lalu aku berkata: ‘Engkau berdusta, demi
Allah Rasulullah pernah membacakan surah yang aku dengar tadi kepadaku, tetapi
bacaannya tidak seperti yang kau baca’. Kemudian aku bawa dia menghadap
Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa ‘Aku telah mendengar orang ini
membaca surah al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan
kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surah al-Furqan kepadaku’.
Maka Rasulullah berkata: ‘Lepaskan dia (Hisyam) wahai Umar. Bacalah surah tadi,
Hisyam’. Hisyam pun kemudian membacakan dengan bacaan seperti yang kudengar
waktu salat tadi. Maka Rasulullah berkata: ‘Begitulah surah ini diturunkan. Nabi
berkata lagi: ‘Bacakanlah wahai Umar’. Lalu aku membacanya dengan bacaan
sebagaimana yang diajarkan Rasulullah. Rasul pun menjawab: ‘Begitulah surah itu
diturunkan ‘. Dan Rasul berkata kembali: ‘Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan
dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya.’”
(HR. Bukhori)

Yang di maksud tujuh huruf adalah membaca Al-Qur'an dengan al-sinah as-sab'ah tujuh lisan
(bahasa). Namun tetap dengan makna dan artian sama. seperti kata Ta'al dan Halumma dua
lafadz sinonim yang memiliki satu arti “kemarilah”.
Tujuh huruf itu mempunyai derajat dalam perbedaannya. Ada yang berbeda dalam cara baca
dan qiro'ah-nya berupa mad dan lain sebagainya. Namun tidak berbeda dalam bentuk
tulisannya. Sebagian yang lain berbeda dalam bentuk tulisannya, namun sedikit sekali yang
seperti ini. Menurut Ibnu al-Jazari ulama kemuka dalam bidang tajwid berkomentar bahwa
6
perbedaan dalam masalah idzhar, idghom, raum, isymam, tafkhim, tarqiq, mad, qasr, imalah,
tahqiq, tashil, ibdal dan naql bukanlah perbedaan dalam lafadz dan ma'na akan tetapi sifat
yang berbeda dalam penyampaiannya saja yang tidak sampai keluar dari satu huruf yang telah
disepakati, seperti membaca imalah dalam lafadz “Musa” dan beberapa lafadz lain atau
bahkan semua lafadz yang berakhiran alif maqsuroh.
Perbedaan cara baca itu tidaklah sampai merusak arti Al-Qur'an, perbedaan itu hanya
mengenai dialek yang masih menjadi kebiasaan yang sukar diubah oleh beberapa Qabilah
Arab, hal ini terjadi tatkala setelah banyak Qabilah Arab yang berlainan lahjah memeluk
Islam. Tujuannya jelas untuk memberikan keringanan pada ummat dan “Tashil” memberikan
kemudahan kepada qabilah selain Quraisy dalam membaca Al-Qur'an. Sahabat Abdullah
mengatakan. Saya mendengar suatu bacaan kemudian aku temukan Mutaqoribain (kesamaan
satu sama lain). Maka bacalah sebagaimana yang kalian ketahui, jangan terlalu ketat dan
keras. karna hal itu seperti perkataan kalian Halumma, aqbil dan ta'al yang berarti
“kemarilah”.

4. Upaya Utsman Mengakomodir Ahruf Sab’ah


Sebagian besar ulama' mengatakan bahwa tujuh huruf itu masih ada dan tetap eksis sampai
sekarang. Kini popular dengan sebutan Qiroah Sab'ah. Inipun juga tidak berdasar kalau tujuh
huruf itu di artikan sedemikian, lalu bagaimana dengan qiro'ah asyroh yang tetap boleh
dibaca, sekalipun bukan tawatur apakah itu bukan Al-Qur'an?
Timbulnya Qira'ah Sab'ah adalah setelah masa tersebarnya mushaf yang disebarkan oleh
Sahabat Utsman RA di berbagai pusat negara Islam. Jadi bukan bermula pada masa hidupnya
Nabi, melaikan pada abad pertama dan tersiar setelah abad kedua.
Sahabat Utsman RA tidaklah melakukan penyatuan yang nyata dalam menulis mushafnya,
namun beliau masih menyisakan bacaan yang berbeda dalam segi qira'ah dan ada` yang
merupakan bagian dari salah satu tujuh huruf yang dimiliki Al-Qur'an. Karna memang
tulisannya tidak berbeda dan cocok dengan khot mushaf utsmani yang disepakati oleh
Sahabat.
Penulisan Mushaf Utsmani yang ketika itu dengan khot kufi, tanpa titik dan harakah adalah
untuk mengakomodasi terhadap sab'atu ahruf, agar huruf yang berbeda dengan dialek
Quraisy (dalam segi titik dan harakah) namun bentuk tulisannya sama, bisa dicakup, seperti
lafadz ‫ ن ن شزها‬yang dibaca ‫ن ن سزها‬, sedangkan yang berbeda hurufnya seperti lafadz ‫وو صى‬
dengan ‫ وأو صى‬maka ditulis dalam mushaf lain, seperti lafadz "‫" وب ال ك تاب ب ال زب ر‬
dengan tambahan ba' dalam mushaf yang dikirimkan ke kota Syam, dan lafadz "‫من ت جري‬
‫ " ت ح تها األن هار‬dengan tambahan huruf ‫ من‬di mushaf al-Makki. Oleh karena itu syarat untuk
bacaan shahih diharuskan sesuai dengan salah satu dari tujuh mushaf yang ditulis oleh
Sahabat Utsman RA tersebut dan bagi yang menyalahi maka dikatakan syadz karena
menyalahi tulisan yang sudah mujma' 'alaih (disepakati).
Imam Makki Bin Abi Thalib mengatakan bahwa qira'at yang kini masyhur dibaca dan
disahkan riwayatnya dari para imam itu adalah sebagian dari tujuh macam huruf yang sesuai
dengan huruf ketika Al-Qur'an diturunkan, namun bukan berarti yang dimaksud tujuh huruf
adalah tujuh qiraah ini melainkan sebagian atau diantaranya.
7
Menurut Abu Bakar Bin 'Arabi “Semua bahasa dan qira'ah gugur kecuali apa yang tertulis
dalam Mushaf Utsmani atas kesepakatan para sahabat sedang izin untuk membaca yang lain
sebelum itu telah habis”. Sedang Qurthubi dengan dukungan Nawawi dan Thabari
menyatakan bahwa “Kelonggaran dengan membaca tujuh huruf adalah disebabkan lemahnya
mereka untuk memaham dan membaca Al-Qur'an dengan bahasa lain karna mereka adalah
komunitas ummy jarang sekali ada yang bisa tulis menulis, sehingga sulit bagi mereka untuk
mempelajari bahasa asing maka mereka diberikan rekomendasi untuk membaca Al-Qur'an
dengan bahasa yang berbeda namun tetap dengan artian yang sama dan tentunya atas
didikan dan tuntunan Rasul. Setelah banyak dari mereka menguasai bahasa Quraisy maka
mereka tidak lagi diperkenankan membaca dengan bahasa yang berbeda”.
Ketika Utsman RA mengerahkan prajurit Syam dan Irak untuk memerangi penduduk Armenia
dan Adzribaijan, datang sahabat Hudzaifah bin Tsabit menghadap beliau dan menghabarkan
bahwa pasukan Muslimin berselisih mengenai bacaan Al-Qur'an, untuk itu dia menganjurkan
agar Kholifah mengirimkan mushaf yang pernah ditulis pada masa Abu Bakar ke berbagai
kota yang berselisih untuk disatukan (disamakan) bacaannya, supaya nantinya tidak sama
dengan kaum yahudi yang yang berselisih dalam urusan kitab mereka.
“Apabila kalian berselisih tentang suatu bacaan maka hendaklah kalian tulis dengan dialek
Quraisy, karna Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Quraisy,” begitulah pesan Utsman
kepada Juru Salin Mushaf, kemudian mushaf-mushaf itu di sebarkan ke kota Mekkah, Basrah,
Kufah, Syam dan satu beliau simpan sendiri (di Madinah) dan disebagian riwayat disebutkan
tujuh salinan, dua lainnya ke Yaman dan Bahrain. Pada waktu itu beliau memerintahkan agar
naskah Al-Qur'an yang sebelumnya dibakar agar menyatu pada satu mushaf yang asal,
sebelum diberikan rekomendasi membaca dengan berbagai macam dialek yang berbeda, yaitu
Al-Qur'an dengan dialek Quraisy yang dulunya tersimpan rapi dirumah Hafshah. Sekaligus
untuk meredam perselisihan antara ummat islam dalam membaca ayat Al-Qur'an.
Dari sini sebagian ulama mengatakan bahwa enam huruf selain dialek Quraisy itu kini telah
di-nasakh dengan sendirinya setelah hilangnya masyaqqah yang ada, karna rukhsoh, ketika
sabab-nya telah sirna, maka kembali pada hukum asal. Yaitu bacalah Al-Qur'an dengan satu
huruf, bahasa Quraisy tempat Nabi diutus dan Al-Qur'an diturunkan. Sebagaimana disebutkan
dalam hadits nabi “Qurasy afshahu lisanan” bahasa Quraisy adalah yang terfasih bahasanya.
Ulama' yang mengatakan terhapusnya huruf yang enam pun masih berselisih apakah
penghapusan terjadi pada masa Nabi atau setelahnya namun kebanyakan lebih condong
bahwa penghapusan itu terjadi pada masa Rasul.
“Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf,” begitulah sabda Nabi menyikapi berdebatan para
Sahabat yang berselisih dalam perbedaan bacaan ayat. Namun ketika mereka kembali
berselisih karna adanya tujuh huruf ini, maka para pemuka shahabat kala itu sepakat untuk
mengembalikannya pada satu huruf dan mengumpulkannya dalam mushaf yang sampai kini
terkenal dengan sebutan Mushaf Utsmani. Itulah Al-Qur'an yang sering dikoreksi oleh
malaikat jibril sekali dalam setahunnya tiap bulan ramadlan dan dua kali untuk yang terakhir
kali.

C. Qira’at
1. Definisi
8
Secara etimologis, lafad Qira’at (‫ )ق راة‬merupakan bentuk masdar dari (‫)ق رأ‬, yang artinya:
bacaan. Sedangkan secara terminologis tedapat berbagai ungkapan atau redaksi yang
dikemukaan oleh paran ulama sehubungan dengan pengertian Qira’at ini.
Imam al-Zarkasyi misalnya mengemukaan sebagai berikut, “Qira’at yaitu; perbedaan lafadz-
lafadz al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf
tersebut seperti takhfif, tasydid, dan lain-lain.” 10
Menurut pendapat al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli,
mengemukakan sebagai berikut, “Qira’at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui cara
pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, baik yang disepakati maupun di-ikhtilaf-kan oleh para
ahli qira’at, seperti: hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), tahrik (memberi
harakat), washl (menyambungkan huruf), ibdal (menggantikan huruf atau lafadz tertentu),
dan lain-lain yang diperoleh oleh indra pendengaran.”11
Senada dengan pernyataan al-Dimyathi diatas, Imam Syihabuddin al-Qushthalani
mengemukakan, “Qira’at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan
para ahli qira’at (tentang cara pengucapan lafadz- lafadz al-Qur’an), seperti menyangkut
aspek kebahasaan, I’rab, Hazf, Isbat, Fashl, Washl, yang diperoleh dengan cara
periwayatan.”
Menurut Az-Zarqani mendefinsikan Qiraah yaitu mazhab yang dianut oleh seorang Imam
Qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan
riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya. Baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf
ataupun bentuk-bentuk lainnya.12
Menurut Ibn al-Jazari adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata al-
Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.13

2. Sejarah Munculnya Qira’at


Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi. Namun pada saat itu Qira’at bukan
merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini,
yaitu suatu ketika Umar bin Khathab saat peristiwa perbedaan membaca dengan Sahabat
lainnya. Maka beliau menjawab dengan sabdanya, “Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan.
Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tuju huruf, maka bacalah oleh kalian apa
yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu,” 7

10
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an (Bandug : Pustaka Setia, 2000). h. 147
11
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), H: 112.
12
Muhamad ‘Abd al-Azhim az-Zarqani, Manhil al-Irfan, (Beirut : Daar al Fikr, tp.th), jilid I, h. 412.
13
Perbedaan cara pendefenisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu
bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi
Muhammad SAW. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga Qira’at yang dapat
ditangkap dari definisi diatas yaitu :
1) Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang Imam dan
berbeda cara yang dilakukan Imam-Imam lainnya.
2) Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi.
Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3) Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persolan Lughat, Hadzaf, I’rab, Itsbat, Fashl, dan
Washil.
9
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qira’at dimulai pada masa Tabi’in, yaitu
awal abad II Hijriyyah. Tatkala para Qari’ tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka
mengemukakan Qira’at gurunya daripada mengikuti Qira’at Imam-Imam lainnya. Qira’at-
Qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai kepada
Imam Qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.
Timbulnya sebab lain dengan penyebaran Qori’-Qori’ ke berbagai penjuru pada masa Abu
Bakar, maka muncul Qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi
bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arab, yang pada
akhirnya perbedaan Qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat.
Ahmad Khalil mengatakan perbedaan Qira’at itu bermula dari bagaimana seorang guru
membacakan Qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan kalau diruntun, cara membaca Al-
Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus Umar dengan Hisyam, dan itupun
diperbolehkan oleh Nabi sendiri. Hal itulah yang mendorong beberapa utama mencoba
merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara menghafalkan Al-Qur’an.
Tersebutlah tujuh orang Imam yang masyhur ahli Qira'at yang dikemudian hari terkenal
dengan Qiro'ah Assab'ah, karena masing-masing teliti dalam meriwayatkan qiro'ah yang
bermuara dari Nabi Muhammad. Sesungguhnya masih ada tiga lagi Imam yang lebih dikenal
dengan Qiraah Asyrah sekalipun riwayat mereka tidak mencapai derajah mutawatir namun
bacaan mereka tetaplah di akui. Berbeda dengan Qiroah Asyara yang dikenal dengan Qiroah
Syadznya, oleh sebab itu adanya Qiro'ah Sab'ah itu tidak ada sangkut pautnya dengan hadis
Nabi mengenai tujuh huruf dalam Al-Qur'an, melainkan memiliki dasar tersendiri.

C. Penyebab Perbedaan Qira’at


Sebab-sebab munculnya beberapa Qira’at yang berbeda adalah :
1. Perbedaan Qiraat Nabi. Artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para
sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi Qira’at. Misalnya Nabi pernah membaca
surat as-Sajadah ayat 17 sebagai berikut :
َ ُ َ ۡ َ ْ ُ َ َ َۢ َ ٓ َ َ ُ ۡ َ َّ ُ ُ َ ۡ ُ ٓ َّ ٞ ۡ َ ُ َ ۡ َ َ َ
َ ِ ‫فل تعلم نفس ما أخ‬
١٧ ‫ُي جزاء بِما َكنوا يعملون‬ ٖ ‫ِف لهم مِن قرة ِ أع‬
“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah
dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.”
Pada kata (‫ )ة‬dalam ayat ini, nabi membaca dengan “ta” (‫ )ت‬biasa.
2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum
Muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan
kata-kata di dalam al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan
Rasul “atta hin”. Padahal ia menghendaki “hatta hin”. Ada riwayat dari para sahabat
Nabi menyangkut berbagai versi Qira’at yang ada atau perbedaan riwayat dari para
Sahabat Nabi menyangkut ayat-ayat tertentu.
3. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya
al-Qur’an.
10
Perbedaan syakh, harakah atau huruf. Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 222.
َ ُ َُ َۡ ََ ۡ ٓ َ ْ ُ َ ۡ َ ّٗ َ َ ُ ۡ ُ ۡ َ َ َ َُ ََۡ
َٰ َّ ‫وه َّن َح‬
‫َّت َي ۡط ُه ۡرن‬ ‫يض وَل تقرب‬ ‫ح‬
ِ ِ َ
‫م‬ ‫ٱل‬ ‫ِف‬
ِ
َ
‫ء‬ ‫ا‬‫س‬ِ ‫ٱلن‬ ‫وا‬ ‫ل‬‫َت‬
ِ ‫ٱع‬ ‫ف‬ ‫ى‬ ‫ذ‬ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫يض‬ َ
ِ ِ ‫ويسلون ع ِن ٱل‬
‫ح‬ ‫م‬
َ َ َ ُ ۡ ُّ ُ َ َ َّ َّ ُّ ُ َ َّ َّ ُ َّ ُ ُ َ َ َ ُ ۡ َ ۡ َّ ُ ُ ۡ َ َ ۡ َّ َ َ َ َ
٢٢٢ ‫فإِذا تطهرن فأتوهن مِن حيث أمركم ٱلله إِن ٱلل ُيِب ٱتلوَٰبُِي وي ِحب ٱلمتط ِه ِرين‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh;
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.”
Kata yang digaris bawahi bisa dibaca “yathurna” dan bisa dibaca “yatthoh-har-na”. Jika
dibaca Qira’at pertama, maka berarti, “Jangalah kamu mendekati mereka (istri-istrimu)
sampai mereka suci (berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu).” Sedangkan Qira’at
kedua berarti, “Janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka bersuci
(berhenti dari haidh dan telah mandi wajib terlebih dahulu).”14

4. Parameter Qira’at yang Shahih


Untuk menangkal penyelewengan Qira’at yang sudah muncul, para ulama merumuskan
persyaratan-persyaratan bagi Qira’at yang dapat diterima. Untuk membedakan antara yang
benar dan Qira’at yang aneh (syadz). Ukuran (tolok ukur) dalam Kaidah Qira’at adalah
sebagai berikut15:
1. Kesesuaiannya dengan satu ragam dari beberapa macam ragam bahasa Arab. Sama
saja apakah ia ragam bahasa Arab yang fasih atau afshah (lebih fasih). Karena
Qira’at adalah sunnah yang diikuti, wajib untuk diterima dan jalan untuk mengarah
kepadanya adalah dengan menggunakan sanad, bukan dengan ra’yu (akal/rasio).
2. Qira’at tersebut sesuai dengan salah satu Mushaf ‘Utsmani, walaupun bersifat
kemungkinan (tidak secara pasti). Karena para Shahabat radhiyallahu ‘anhum di
dalam penulisan Mushaf ‘Utsmani mereka berijtihad dalam membuat rasm (bentuk
tulisan/khat) berdasarkan apa yang mereka ketahui dari bahasa-bahasa Qira’at.
Maka mereka menulis ‫ ال صراط‬misalnya dalam firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala, “‫ٱه ِدنَا ٱلصِّ َٰ َرطَ ۡٱل ُم ۡستَقِي َم‬
ۡ ” (QS. Al-Fatihah : 6).
Dengan menggunakan huruf ‫ ص‬-sebagai ganti dari huruf ‫س‬- mereka tidak
menggunakan huruf ‫ س‬yang ia adalah asal dari kata tersebut. Dan meskipun ia
menyelisihi rasm (tulisan) dari satu ragam, namun ia telah datang sesuai dengan

14
Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999), h. 99.
15
H. Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, cet 1, (Jakarta: Rajawali, 1993), h. 118.
11
asal mula kata tersebut secara bahasa yang telah dikenal. Sehingga keduanya
seimbang dan jadilah bacaan dengan isymam16 mungkin untuk dilakukan.
Dan yang dimaksud dengan kesesuaian yang bersifat kemungkinan adalah yang
ِ ‫( َٰ َملِ ِك يَ ۡو ِم ٱلد‬QS. Al-Fatihah : 4).
semisal denga hal di atas. Seperti dalam bacaan ‫ِّين‬
Maka sesungguhnya lafazh ‫ مال ك‬ditulis dalam semua mushaf al-Qur’an tanpa
menggunakan huruf Alif. Maka ia bisa dibaca ‫ك‬ َ َ‫ مك‬sehingga ia benar-benar sesuai
dengan tulisan di mushaf, dan juga ia bisa dibaca َ‫كمال‬َ sehingga ia sesuai dengan
mushaf namun bersifat kemungkinan. Dan demikian pula pada contoh-contoh yang
lain.
Dan contoh kesesuaian/kecocokan antara perbedaan Qira’at dengan rasm secara
pasti adalah dalam kata ‫تنوك لَْع‬, karena ia dibaca dengan Ta’ dan juga dengan Ya’.
Demikian juga kata ‫ل لك وك ْ ورفَرو‬, ia bisa dibaca dengan Ya’ dan Nun. Dan bacaan-
bacaan lain yang semisal dengan hal itu. Ketiadaan titik dan harakat dalam suatu
huruf ketika dihapus ataupun ditulis adalah salah satu hal yang menunjukkan
keutamaan agung yang dimiliki oleh para Shahabat radhiyallahu ‘anhum dalam
ilmu tentang ejaan, dan juga menunjukkan pemahaman mereka yang mendalam
dalam menerapkan setiap ilmu.
3. Qira’at tersebut harus shahih sanadnya. Karena Qira’at adalah sunnah yang diikuti,
yang didasarkan pada kebenaran penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali para
ahli bahasa Arab mengingkari suatu Qira’at di antara macam-macam Qira’at yang
ada dengan alasan keluarnya Qira’at tersebut dari aturan/kaidah bahasa Arab, atau
karena lemahnya ia dari sisi bahasa. Namun para imam Ahli Qira’at tidak
mengindahkan dan memeperhatikan pengingkaran tersebut (karena mereka lebih
mengedepankan keshahihan sanad.17
Itulah patokan untuk sebuah Qira’at yang shahih. Mak jika terpenuhi ketiga rukun;
Pertama, kecocokannya dengan bahasa Arab.
Kedua, Kecocokannya dengan mushaf
Ketiga, adalah shahihnya sanad qira’at tersebut.
Maka ia adalah Qira’at yang shahih. Kapan saja hilang salah satu rukun atau lebih dari rukun-
rukun tersebut, maka Qira’at tersebut dinamakan dengan Qira’at Dha’if, atau Syadz atau
Batil.

16
Isymam adalah memonyongkan kedua bibir seperti orang yang hendak mengucapkan dhommah
namun dampak dari pemonyongan bibir tidak tampak dalam ucapan.
17
Abu ‘Amr ad-Dani berkata,”Para imam Qurra’ tidak menetapkan sedikitpun dari huruf-huruf al-
Qur’an berdasarkan apa yang paling populer dalam bahasa Arab dan apa yang paling sesuai dengan Qiyas
(analogi) dalam bahasa Arab, akan tetapi berdasarkan yang paling valid dalam periwayatan dan paling shahih
dalam penukilan. Dan jika sebuah Qira’at telah valid maka qiyas bahasa Arab dan kepopuleran dialek tidak bisa
menolaknya. Karena Qira’at adalah sunah yang diikuti, wajib diterima dan dijadikan rujukan.”
Dari Zaid bin Tsabit berkata, ”Qira’at adalah sunah yang diikuti.” Imam al-Baihaqi berkata, ”Maksud
beliau adalah mengikuti orang-orang sebelum kita dalam masalah huruf-huruf al-Qur’an adalah sunnah yang
harus diikuti, tidak boleh menyelisihi mushaf yang ia adalah pedoman, dan tidak boleh pula menyelisihi Qira’at
yang masyhur sekalipun yang selain itu boleh di dalam kaidah bahasa Arab.”
12
Qira’at bukanlah hasil dari ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Rasulullah SAW.
Dengan perkataan lain, periwayatan yang bermuara kepada Nabi SAW merupakan sumber
asli serta sumber satu-satunya bagi Qira’at al-Qur’an. Karena itu jelaslah kiranya, bahwa
Qira’at al-Qur’an bersifat tawfiqiyah dan bukan bersifat ikhtiariyyat.18

5. Macam-Macam Qira’at
a. Qira’at Sab’ah
Yaitu tujuh versi Qira’at yang dinisbatkan kepada para Imam Qira’at yang berjumlah tujuh
orang yaitu: Ibnu Amir, Ibnu Kasir, ‘Ashim, Abu ‘Amr, Hamzah, Nafi’, dan al-Kisa’i.
Dengan demikian ragam qira’at sab’ah ada 7 macam, yaitu:
1. Qira’at Ibnu ‘Amir
2. Qira’at Ibnu Kasir
3. Qira’at ‘Ashim
4. Qira’at Abu ‘Amr
5. Qira’at Hamzah
6. Qira’at Nafi’
7. Qira’at al-Kisa’i.
Dari pendapat Dr. Subhi as-Shalih sama juga disebut dengan Tujuh Sistem Qira’at yang
dihimpun oleh Imam Besar Ibnu Mujahid.19
b. Qira’at Berdasarkan Sanad
As-Suyuuthi mengutip Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan Qira’at berdasarkan sanad
kepada 6 macam:

1) ‫ ال َ تْات ر‬: Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya
bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Dan inilah yang umum dalam
hal Qira’at.

2) ‫ ال َ شهْر‬: Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan
sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani, Serta terkenal pula dikalangan
para ahli qira’at sehingga karenanya tidak dikategorikan Qira’at yang salah atau
syadz.

18
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 123.
19
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu- ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990), cet 1, h. 324.
13
3) ‫ اآلح د‬: Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidah
bahasa Arab. Qira’at ini tidak termasuk Qira’at yang diamalkan bacaannya.

4) ‫ ال شاذ‬: Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti Qira’at ‫ن‬ َ ْ‫ مكك ْْو و ال ْد و‬, versi
َ ْ‫مالَ َك ْْو َو ال ْد‬.
qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: ‫ون‬

5) ‫ ال َْ ضْع‬: Qira’at yang tidak ada asalnya. Qira’at yang dibangsakan kepada
seseorang tanpa dasar, seperti Qira’ah yang dihimpun oleh Muhammad Ibnu Ja’far
Al-Khuzai.

6) ‫ ال َدرج‬: Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-
Qur’an, seperti Qira’ah Sa’d Ibn Abi Waqqash.20
d. Qira’at Asyrah (Qiraat Sepuluh)
Yang dimaksud Qiraat sepuluh adalah Qiraat tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah
tiga Qira’at sebagai berikut : Abu Ja’far (Yazid bin al-Qa’qa al-Makhzumi al-Madani),
Khallaf bin Hisyam. dan Ya’qub (Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-
Hadrani).
e. Qira’at Arba’at Asyarh (Qiraat Empat Belas)
Yang dimaksud Qiraat Empat Belas adalah Qira’at sepuluh sebagaimana yang telah
disebutkan di atas ditambah dengan empat qiraat lagi, yakni : al-Hasan al-Bashri (w. 110 H),
Muhammad bin Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi an-Nahwi al-
Baghdadi (w. 202 H), Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).21

6. Pengaruh Qira’at dalam Istinbath Hukum


Perbedaan satu Qira’at dan Qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, ataupun bentuk
kata susunan kalimat, I’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini
sudah tentu memiliki sedikit atau banyak perbedaan makna yang selanjutnya berpengaruh
terhadap hukum yang dihasilkan.

20
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 119.
21
Adapun hikmah secara umum dari adanya perbedaan Qira’at al-Qur’an, sementara ulama
mengemukakan sebagai berikut:
1) Untuk member kemudahan bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab dalam membaca al-Qur’an.
2) Mempersatukan umat Islam dikalangan bangsa Arab, yang relatif baru, dalam satu bahasa yang
dapat mengikat persatuan diantara mereka , yaitu bahasa Quraisyi yang dengannya al-Qur’an diturunkan dan
dapat mengakomodasi atau menampung unsur-unsur bahasa Arab dari kabilah-kabilah lainnya.
3) Menunjukkan kelebihan (keutamaan)umat Nabi Muhammad SAW dari umat Nabi-Nabi sebelumnya,
karena kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad SAW hanya terdiri atas satu versi
Qira’at.
4) Menunjukkan atau membuktikan terjaga serta terpeliharanya al-Qur’an dari adanya tabdil
(penggantian) dan tahrif (pengubahan), termasuk berbagai versi Qira’atnya.
5) Manna’al-Qththan dalam Mabahis fi ‘ulum al-Qur’an juga menyebutkan hikmah diwahyukannya al-
Qur’an dalam tujuh huruf, diantaranya Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi umat Islam, khususnya
bangsa Arab sebagai bangsa yang ummi.
7) Sebagai bukti kemu’jizatan al-Qur’an menurut naluri dasar kebahasaan orang Arab.
8) Sebagai kemu’jizatan al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum- hukumnya.
14
Karena itu, Al-Zarkasyi berkata, “Bahwa dengan perbedaan Qira’at timbullah perbedaan
dalam hukum. Karena itu, para ulama fiqh membangun hukum batalnya wudhu’ orang yang
disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira’at pada: “kamu sentuh”
dan kamu saling menyentuh”, demikian juga hukum bolehnya mencampuri perempuan yang
sedang haidh ketika terputus haidhnya dan tidak bolehnya hingga ia mandi (dibangun) atas
dasar perbedaan mereka dalam bacaan: “hingga mereka suci”.

D. Contoh Ayat-Ayat
Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat,
misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli”
(artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga
dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.
َ ۡ َ ۡ َ ۡ ََ
َ‫كَٰفِرين‬ ۡ َ ُ َّ ُ ُ َٰ َ َ ٓ َ َ ُ ُ ۡ َ َ ۡ ُ ۡ َ َّ َ ُ ُ ۡ َ َ َ ُ َ ۡ َ َ َّ
ِ ‫ٱَّلِين يبخلون ويأمرون ٱنلاس ب ِٱۡلخ ِل ويكتمون ما ءاتىهم ٱلل مِن فضلِهِۦ وأعتدنا ل ِل‬
ّٗ ‫َع َذ ّٗابا ُّمه‬
٣٧ ‫ينا‬ ِ
“(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan
menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami
telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.”

Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada
firman Allah surah Saba’ ayat 19 :
َ َٰ َ َّ َّ ُ ۡ َ َ ۡ َ َ ۡ ُ َ ُ َ ْ ٓ ُ َ َ َ َ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َّ َ ْ ُ َ َ
ِ ‫ج َعل َنَٰ ُه ۡم أ َحادِيث َو َم َّزق َنَٰ ُه ۡم ُك ُم َم َّز ٍۚق إِن ِِف ذل‬‫فقالوا ربنا بَٰعِد بُي أسفارِنا وظلموا أنفسهم ف‬
ُ َ ُ َ
١٩ ٖ‫ِك َص َّبارٖ شكور‬
ِ ‫تل‬ ٖ َٰ ‫ٓأَلي‬
“Maka mereka berkata: "Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami", dan
mereka menganiaya diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan
Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi
bersyukur.”
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id” karena statusnya fi’il
amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya
telah jauh.
Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak
berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5:
ُ ۡ ۡ َ ُ ۡ ُ ُ ََ
ِ ‫ٱۡل َبال كٱل ِع ۡه ِن ٱل َمنف‬
٥ ‫وش‬ ِ ‫وتكون‬
“Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.”

15
Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu
yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam
surah Qof ayat : 19, yang artinya “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”.
Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa ja’at sakrat al-haqq bin
al-maut. Ia menggeser kata “al-maut” ke belakang dan memasukkan kata “al-Haq”.
Sehingga jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah sekarat yang benar-
benar dengan kematian”. Contoh lainnya dapat dilihat di penjelasan sebelumnya.

E. Kaidah-Kaidah Tafsir yang Terkait


Quraish Shihab menjelaskan Kaidah Tafsir adalah ketetapan-ketetapan yang membantu
seorang Penafsir untuk menarik makna atau pesan-pesan al-Qur’an dan menjelaskan apa
yang musykil dari kandungan ayat-ayatnya.22
Jika ditilik dari Kaidah Tafsir, pembahasan Ahruf Sab’ah dan Qira’at tidak begitu dibahas
dan tidak begitu terkait dengan kaidah lainnya. Karena tema tersebut masuk kategori dan
dibahas dalam Ulumul Qur’an. Sepengamatan Penulis yang cukup terkait dan dapat dikaitkan
Kaidah Tafsir diantaranya bab Ta’wil, Nasekh, dan I’jaz Qur’an.

F. Kesimpulan
Banyak hadits yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf. Hadis
tersebut tidak dapat dibatasi maknanya maka kita mesti berupaya memahaminya sejauh
mungkin, tapi dengan makna yang tidak berlawanan dengan naql dan akal. Pendapat yang
lebih mendekati kebenaran, yakni yang tidak terlampau dangkal dan juga tidak berlebihan
yang berarti tujuh macam cara membaca yang diberikan Rasulullah sebagai kelonggaran
kepada umat Islam.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Qira’at yaitu
cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur’an sebagaimana yang diucapkan Nabi Muhammad
SAW atau sebagaimana diucapkan (oleh para sahabat) dihadapan Nabi SAW, lalu beliau
menetapkanny. Perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai Qira’at Qur’an mempunyai
hikmah tertentu khususnya bagi bangsa Arab sendiri dan tentunya tidak mengurangi
kemurnian al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi pedoman umat Islam.
Disamping itu adanya perbedaan qira’at dalam al-Qur’an juga berpengaruh terhadap istinbath
hukum. Karena perbedaan Qira’at akan berpengaruh pada makna al-Qur’an itu sendiri
sehingga tak lain akan menghasilkan hukum yang berbeda pula.
Dengan mengetahui tentang ilmu Qira’at, dapat diketahui sebab-sebab perbedaan qira’ah
yang berkembang hingga saat ini. Dapat diketahui pula tingkatan-tingkatan kualitas qira’ah
dan macamnya. Ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan
berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan
Rasulullah SAW. Para ahli Qira’at telah mencurahkan segala kemampuannya demi
22
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. cover.
16
mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an
terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur luar Islam yang
dapat merusak kemurnian al-Qur’an.

G. Daftar Pustaka
AF, Hasanuddin. Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-
Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Amrullah, Fahmi. Ilmu Al-Quran untuk Pemula. Jakarta: CV. Artha Rivera, 2008.

Anwar, Rosihin. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2006.

--------------------. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

al-Buchari, Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari. Juz III. Mesir : Dar al-Ihya’al-kutub al-
Arabiyah, t.th.

Al-Hajjaj, Abu Husain ibn Muslim, dan Muslim al-Qusyairi an-Nisaiburi. Shahih Muslim. Juz
I. Bairut: Dar al-Fikr, 1992.

al-Hasni, Muhammad bin Alwi al-Maliki (Penrj. Rosihan Anwar). Zubdan Al-Atqan fi Ulum
Al-Quran (Terj. Mutiara Ilmu-Ilmu Alquran). Cet. ke-1. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Hilmi, Faisal. Qur’an Ku Maaf Kami Masih Sibuk : Motivasi Diri Agar Anda Ketagihan
Membaca Al-Qur’an. Cirebon: Salafiyyah Darurrohmah Foundation & Pusat Kajian
Tafsir Qur’an (PKTQ), 2017.

Ismail, Sya’ban Muhammad (Penrj. Agil Husain al-Munawar), Al-Quran Ahkamuhu Wa


Masdaruhu (Terj. Mengenal Qira’at Al-Quran). Cet. ke-1. Semarang: Dina Utama,
1993.

Mardan. Al-Quran Sebuah Pengantar Memahami Alquran Secara Utuh. Cet. ke-1. Jakarta:
Pustaka Mapan, 2009.

Mohammad, Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi Atas Persoalan Linguistik.
Cet ke-1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Al-Qattan, Manna Khalil (Penrj. Mudzakir A.S). Mabahis fi Ulum Al-Quran (Terj. Studi
Ilmu-Ilmu Quran). Jakarta: Litera Antar Nusa, 1994.

Al-Qattan, Manna Khalil. Mabahis fi ‘ulum al-Qur’an. Mesir : Daarul Fikr, tp.t.th.

Quraish, Shihab. Membumikan Al-Qur’an. Cet ke-2. Bandung: Mizan, 1992.

Ramli, Abdul Wahid. Ulumul Qur’an. Cet ke-1. Jakarta: Rajawali, 1993.

17
As-Salahi, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

al-Shalih, Subhi, Mabahas fi al-Ulum Alquran (Terj. Membahas Ilmu-Ilmu Alquran). Cet. ke-
4. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

Quraish Shihab. Kaidah Tafsir. Jakarta: Lentera Hati, 2013.

Shihab, Quraish, dkk. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999.

Soleh, dan Dahlan. Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an).
Bandung: CV. Diponegoro, 2000.

Subkhi, as-Shalih. Membahas Ilmu- Ilmu Al-Qur’an. Cet ke-1. Jakarta: Pustaka Firdaus,1990.

Syafei, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Quran. Cet. ke- 2. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Internet
www.tongkronganislami.net

www.kbbi.web.id/unifikasi

www.pktafsirquran.com

18

Anda mungkin juga menyukai