Anda di halaman 1dari 21

Prof. Dr. H.

Abdul Karim
Amrullah
(Buya Hamka)

Oleh :
• Arief
Fahriansyah
(11909023)
• Farhan Alma
Yahya
(11909017)
Mengenal Buya
Hamka
Beliau bernama lengkap H. Abdul
Dari pihak kakeknya tercatat nama
Syekh Guguk Kuntur atau Abdullah
Malik Karim Amrullah, lahir 17 Februari,
Saleh, beliau adalah putra menantu dari
1908. putra seorang ulama besar Syekh
Syekh Abdul Arif yang terkenal sebagai
Abdul Karim Amrullah atau yang sering
ulama penyebar agama Islam di Padang
disebut Haji Rosul sejak kecil hidup
Panjang pada permulaan abad XIX
dalam keluarga yang taat melaksanakan
Masehi dan juga terkenal sebagai salah
ajaran agama Islam. Apabila ditelusuri
seorang dari pahlawan perang Paderi.
dari silsilah nenek moyangnya, maka
Syekh Abdul Arif yang bergelar Tuanku
HAMKA termasuk keturunan orang-orang
Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Tua.
yang terpandang dan tokoh agama Islam
pada zamannya.
Abdul Malik, panggilan HAMKA di waktu kecil, ia mengawali masa pendidikannya dengan belajar
membaca al-Qur’an di rumah bersama orang tuanya sampai khatam. Kemudian mereka sekeluarga
pindah dari
Maninjau ke Padang Panjang yang merupakan basis pergerakan kaum muda Minangkabau pada tahun
1914 M.

Usia 7 tahun HAMKA dimasukkan ke sekolah desa. Pada tahun 1916, ketika Zainuddin Labai el-
Yunusi mendirikan sekolah Diniyah (sore) di Pasar Usang Padang Panjang, HAMKA dimasukkan oleh
ayahnya ke sekolah tersebut. Maka pagi ke sekolah desa, sore Madrasah Diniyah, malam belajar
mengaji. Begitulah rutinitas di masa kecilnya.

Pada tahun 1918, di saat HAMKA baru berusia 10 tahun ayahnya kembali dari perlawatan pertamanya
ke tanah Jawa, surau Jembatan Besi tempat ayahnya memberikan pelajaran agama dengan sistem lama
diubah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan nama Thawalib School. Dengan harapan agar
kelak anaknya menjadi ulama sepertinya, Syaikh Abdul Karim Amrullah memasukkan HAMKA ke
Thawalib School dan berhenti dari sekolah desa.
Di Thawalib School, kurikulum dan materi
pembelajaran masih menggunakan metode lama.
Buku-buku lama dengan keharusan menghafal tidak tumbuh dari dalam, tetapi dipaksakan dari luar,
masih merupakan ciri utama sekolah ini. Hal hal ini yang kemudian membuat HAMKA melakukan
inilah yang membuat HAMKA cepat bosan, pelarian hingga akhirnya HAMKA menenggelamkan
meskipun dia tetap naik kelas. Setelah belajar diri di sebuah perpustakaan yang didirikan oleh
selama empat tahun hingga duduk di bangku kelas Zainuddin Labai el-Yunusi dan Bagindo Sinaro, yang
empat, mungkin karena sikap kritis dan jiwa diberi nama Perpustakaan Zainaro. Pelarian ini
pemberontak yang dimilikinya, HAMKA tidak merupakan hal yang positif karena banyak
lagi tertarik untuk menyelesaikan pendidikan di memberikan andil bagi perkembangan imajinasi di
sekolah yang didirikan oleh ayahnya itu. Keadaan masa kanak-kanak serta kemampuan bercerita dan
belajar yang diterapkan seperti di Thawalib menulis di belakang hari.
School itu memang tidak menarik, karena
keseriusan belajar
HAMKA juga pernah dikirim untuk belajar di
sekolah Syaikh Ibrahim Musa Parabek, di
Parabek Bukit Tinggi, namun ini juga tidak
berlangsung lama karena pada tahun 1924,
HAMKA meninggalkan Ranah Minang dan
berangkat ke Yogyakarta. Secara keseluruhan
masa pendidikan formal yang pernah di tempuh
HAMKA hanya sekitar tujuh tahun lebih, yaitu
antara tahun 1916 sampai tahun 1924.
Menginjak usia 29 tahun, Buya HAMKA Buya HAMKA juga merupakan tokoh yang
memulai aktifitas kerjanya dengan menjadi aktif di bidang media massa. Dia pernah
seorang guru agama di perkebunan Tebing menjadi wartawan di beberapa media
Tinggi. HAMKA kemudian meneruskan seperti Pelita Andalas, Seruan Islam,
karirnya sebagai seorang pengajar di Bintang Islam, dan Seruan
Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah. Pada tahun 1928,
Muhammadiyah di Padang Panjang dari HAMKA pernah menjadi editor majalah
tahun 1957 sampai tahun 1958. Setelah itu Kemajuan Masyarakat. Dan pada tahun
dia dilantik sebagai seorang rektor 1932, dia menjadi editor dan menerbitkan
Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan juga majalah al-Mahdi di Makassar. Selain itu,
menjabat sebagai guru besar di Universitas dia juga menjadi editor majalah seperti
Mustopo Jakarta. Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat,
dan Gema Islam.

It’s composed of hydrogen and


Jum’at, tanggal 24 Juli 1981 bertepatan Ramadhan
1401 dengan seutas senyum terakhir dari beliau
adalah hari berkabung keluarga Prof. Dr. Hamka.

Selama tujuh hari, sepuluh orang anak yang telah dewasa, seorang isteri,
delapan menantu dan 22 orang cucu, ditambah dengan anggota keluarga lain
terdekat datang di Rumah Sakit pada akhir hayat suami dan ayah serta datuk
mereka yang telah berumur 73 tahun. Tepat jam 10.41 pagi jum’at itulah
hembusan nafas terakhir dari sosok Buya Hamka.
Latar Belakang Penulisan Tafsir
Al-Azhar
Dalam genealogi intelektual, setiap pemikiran selalu merupakan aksi sekaligus reaksi
terhadap wacana yang sudah ada. Pernyataan tersebut tersebut ketika dikaitkan dengan Tafsir al-
Azhar, akan menciptakan satu pertanyaan. Mengapa dan apa motivasi Hamka dalam menyusun
karya tafsir tersebut?

Jika dirunut ke belakang, kandungan Tafsir Al-Azhar, sebenarnya berasal dari ceramah
atau kuliah subuh Hamka yang disampaikannya di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, sejak tahun
1959.17 Kupasan Hamka mengenai tafsir al-Qur’an setelah shalat subuh tersebut kemudian
dimuat secara teratur dalam majalah Gema Islam yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman dan
Kolonel Muchlas Rowi

Venus has a b
name, but i
Pada Senin, 12 Rabi’ul Awwal 1383/27 Januari 1964, HAMKA ditangkap penguasa
Orde Lama dengan tuduhan bahwa ia berkhianat terhadap tanah airnya sendiri dan dipenjara
selama 2 tahun 7 bulan (27 Januari 1964-21 Januari 1967).19 Di sinilah HAMKA
memanfaatkan waktunya untuk menulis dan menyempurnakan tafsir 30 juznya.

ASDFA
Dengan keinsyafan dan rasa syukur yang tinggi, ia
menyatakan penghargaannya terhadap berbagai
dukungan yang telah diberikan padanya dari para ulama,
para utusan dari Aceh, Sumatera Timur, Palembang,
ulama’ dari Mesir, ulama’ di al-Azhar, Syaikh
Muhammad al-Ghazali, Syaikh Ahmad Sharbasi, dari
Makassar, Banjarmasin, Jawa Timur, Nusa Tenggara
Barat dan lain-lain. Pada tahun 1967, akhirnya Tafsir al-
Azhar pertama kali diterbitkan.
Tafsir ini merupakan pencapaian dan Namun semangat tersebut menurutnya tidak
sumbangan terbesar HAMKA dalam diimbangi dengan penguasaan bahasa Arab yang
membangun pemikiran dan mengangkat tradisi cukup. Kedua, banyaknya Muballigh atau ustaz
ilmu yang melahirkan sejarah penting dalam dakwah yang ‘bergentayangan’ saat itu, namun
penulisan tafsir di Nusantara. Ada beberapa masih canggung dalam menyampaikan dakwah
poin yang menjadi kegelisahan mereka. Disatu sisi retorika mereka cukup bagus,
akademikmasyarakat yang sangat mendesak namun ilmu umum dan alQur’an masih menjadi
Hamka dalam menulis karya tafsir ini. Pertama, pertanyaan. Begitu juga sebaliknya. Kedua entitas
meningkatnya semangat dan minat anak muda ini, tutur Hamka, menjadi sasaran utama dan
Indonesia (daerah Melayu) dalam mendalami alasan penulisan Tafsir al-Azhar sebagaimana
agama Islam saat itu, terutama kajian tentang yang ia katakan tertera dalam muqaddimah tafsir
kandungan al-Qur’an. Al Azhar.
Sistematika Kitab Tafsir Al-Azhar

1. Susunan penafsirannya, Buya HAMKA 3. Penyajiannya ditulis terdiri dari beberapa ayat
menggunakan metode tartib Mushaf Utsmani –satu sampai lima ayat– dengan terjemahan
atau disebut metode tafsir tahlili. bahasa Indonesia bersamaan dengan teks
Arabnya. Kemudian penjelasan panjang, yang
mungkin terdiri satu sampai lima belas halaman.
2. Dalam setiap surah dicantumkan sebuah
pendahuluan dan bagian akhir dari tafsirnya, 4. Terkadang disebutkan pula kualitas
Buya HAMKA memberi ringkasan pesan
nasehat agar pembaca bisa mengambil ibrah- hadis yang dicantumkan untuk
ibrah memperkuat tafsirannya tentang suatu
pembahasan
a. Al-Fatihah sebagai
5. Dalam tiap surah, HAMKA
rukun sembahyang
menambahkan tema-tema
b. Di antara jahr dan sirr
tertentu dan mengelompokkan
c. Dari hal “amin”
beberapa ayat yang menjadi
d. Al-Fatihah dengan
bahan bahasan. Contohnya dalam
Bahasa Arab
Surah al-Fatihah terdapat tema
antara lain:
7. Di dalam Tafsir al-Azhar, nuansa Minang pengarangnya yang tampak sangat kental.
Sebagai contoh ketika Buya HAMKA menafsirkan surah ‘Abasa ayat 31-32, yaitu:

ِ ‫اعاِلَك ُْم َولِأَن ْ َع‬


)32( ‫امك ُْم‬ ً َ‫) َمت‬31( ًّ‫َوفَا ِك َهة َِوأًَبّـا‬
Artinya: dan buah-buahan serta rumput-rumputan (31) untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-binatang ternakmu (32).

Buya HAMKA menafsirkan ayat di atas dengan:

“Berpuluh macam buah-buahan segar yang dapat dimakan oleh manusia, sejak dari delima,
anggur, apel, berjenis pisang, berjenis mangga, dan berbagai buah-buahan yang tumbuh di
daerah beriklim panas sebagai pepaya, nenas, rambutan, durian, duku, langsat, buah sawo, dan
lain-lain, dan berbagai macam rumput-rumputan pula untuk makanan binatang ternak yang
dipelihara oleh manusia tadi”.
e to d e da n
M ir Al-
T a fs 2. Menurut Susunan Penafsirannya Buya
Aliran ar HAMKA menggunakan metode tahlîlî karena
Azh dimulai dari Surah al-Fatihah hingga surah al-
Nas.

1. Menurut Sumber Penafsirannya 3. Menurut Cara Penjelasannya Buya HAMKA


Buya HAMKA menggunakan metode tafsir bi al- menggunakan metode muqarin yaitu tafsir berupa
Iqtiran karena penafsirannya tidak hanya penafsiran sekelompok ayat-ayat yang berbicara
menggunakan al-Qur’an, hadis, pendapat sahabat dalam suatu masalah dengan membandingkan antara
dan tabi’in, serta riwayat dari kitab-kitab tafsir al- ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis, dan dengan
mu’tabarah saja, tetapi juga memberikan penjelasan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu antara
secara ilmiah (ra’yu). objek yang dibandingkan dengan cara memasukan
penafsiran dari ulama tafsir yang lain.
4. Menurut Keluasan Penjelasan Buya 5. Corak yang Dipakai
HAMKA menggunakan metode Corak yang mendominasi dalam
tafshili yaitu tafsir yang penafsiran HAMKA adalah lawn
penafsirannya terhadap al-Qur’an adabii wa ijtima’i yang nampak
berdasarkan urutan-urutan ayat secara terlihat dari latar belakang
ayat per ayat, dengan suatu uraian HAMKA sebagai seorang
yang terperinci tetapi jelas dan ia sastrawan sehingga ia berupaya
menggunakan bahasa yang sederhana agar menafsirkan ayat dengan
sehingga dapat dikonsumsi bagi oleh bahasa yang dipahami semua
masyarakat awam maupun intelektual. golongan dan bukan hanya di
tingkat akademisi atau ulama.
Contoh Penafsiran
‫هم‬
ْ ْ‫ِعل َي‬
َ ‫غيْر ِال َْم ْغضوب‬
َ ......
“Bukan jalan mereka yang dimurkai atasnya...”
‫اِ َّن ال َّ ِذيْ َن يَ ْشتَ ُر ْو َن ِب َع ْه ِد الل ّ ٰ ِه َواَي ْ َما ِن ِه ْم ثَ َمنًا َقلِيْل ًا‬
Tafsirannya: Siapakah yang dimurkai Tuhan? Ialah ‫خل ََاقل َُه ْم ِفى الْا ٰ ِخ َر ِة َول َا يُكَلِ ّ ُم ُه ُم الل ّ ٰ ُه‬ َ ‫اُول ٰۤ ِـٕىِٕ َكل َا‬
orang yang telah diberi kepadanya petunjuk, telah diutus ‫َول َا يَن ْ ُظ ُر اِل َيْ ِه ْم يَ ْو َم ال ْ ِقيٰ َم ِة َول َا ي ُ َز ِك ّيْ ِه ْم ۖ َول َُه ْم‬
kepadanya Rasul-Rasul telah diturunkan kepadanya
kitab-kitab wahyu, namun ia masih saja
ٌ‫اباَلِيْم‬
ٌ ‫ع َذ‬. َ
memperturutkan hawa nafsunya. Telah ditegur berkali- “Sesungguhnya orang-orang yang memperjualbelikan
kali, namun teguran itu tidak diperdulikannya. Ia merasa janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga
murah, mereka itu tidak memperoleh bagian di
lebih pintar daripada Allah, Rasul-rasul dicemoohnya, akhirat, Allah tidak akan menyapa mereka, tidak akan
petunjuk Tuhan diletakkannya ke samping, perdayaan memperhatikan mereka pada hari Kiamat, dan tidak
setan diperturutkannya. Ayat tersebut ditafsiri dengan akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang
pedih.”
Surah Ali ‘Imran ayat 77:
Dan seperti itulah, tidak diajak bercakap
oleh Tuhan, tidak dipandang oleh Tuhan,
Orang yang telah sampai
seakan-akan Tuhan dalam bahasa umum
kepadanya kebenaran agama, lalu
“membuang muka” apabila berhadapan
ditolak dan ditantangnya. Dia
dengannya. Begitulah nasib orang yang
lebih berpegang kepada pusaka
dimurkai.
nenek-nroyang, walaupun dia
Orang yang dimurkai ialah yang sengaja
telah tahu bahwa itu tidak berat.
keluar dari jalan yang benar karena
Maka siksaan azablah yang akan
memperturutkan hawanafsu, padahal dia
dideritanya.
sudah tahu..
Sedangkan contoh penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat
(ra’y) sendiri Buya Hamka pemakaian kalimat “Tuhan” dalam kata
sehari-hari terpisah menjadi dua; Tuhan khusus untuk Allah dan tuan
untuk menghormati sesama manusia. Untuk raja disebut Tuanku.
Yang terpenting terlebih dahulu adalah memupuk perhatian yang
telah ada dalam dasar jiwa, bahwa Zat Yang Maha Kuasa itu mustahil
berbilang. Adapun tentang pemakaian bahasa terhadap-Nya dengan
nama apa Dia mesti disebut, terserahlah kepada perkembangan
bahasa itu sendiri.
Selain dari pemakaian bahasa Melayu tentang Tuhan itu, sebagian bangsa
kitapun memakai juga kalimat lain untuk Allah itu. Dalam bahasa Jawa
terhadap Allah disebut dengan Gusti Allah, padahal dalam bahasa Melayu
Banjar, Gusti adalah gelar orang bangsawan. Demikian juga kalimat Pangeran
untuk Allah dalam bahasa Sunda, padahal di daerah lain Pangeran adalah gelar
bangsawan atau anak raja. Dalam bahasa Bugis dan Makassar disebut Poang
Allah Ta‘ala. Padahal kepada raja atau orang tua yang dihormati mereka
pengucapkan Poang juga.

Wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai