Anda di halaman 1dari 11

BIOGRAFI BUYA HAMKA

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan


julukan HAMKA adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus yang sangat
terkenal di Indonesia. Buya HAMKA juga seorang pembelajar yang otodidak dalam bidang
ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun
Barat. Hamka lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908.
HAMKA juga diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang
berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang
dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji
Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari
Makkah pada tahun 1906. Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil
HAMKA dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum
adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan
dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Putra HAMKA
bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI Jakarta. Anak Angkat Buya
Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk Islam.

A. RIWAYAT PENDIDIKAN HAMKA


HAMKA di SD Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya
telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari
agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di
surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad
Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi
gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang
gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM
Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training
pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.

B. RIWAYAT KARIER HAMKA


HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi,
Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di
Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957
- 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan
Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.

Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya


sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu
HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.

Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama
oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti
Ali, melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian
meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah
Indonesia.

C. RIWAYAT ORGANISASI HAMKA


HAMKA aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid’ah,
tarekat dan kebatinan sesat di Padan g Panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang
Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929 HAMKA mendirikan pusat latihan
pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah
di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di
Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada
tahun 1946. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat
Muhammadiyah.

D. AKTIVITAS POLITIK HAMKA


Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota
partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya
penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan
di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional,
Indonesia.
Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan
menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran HAMKA
sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai
beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam
pidatonya di Konstituante, HAMKA menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila
dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya sesuai
yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh
sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa
dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada
1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski
begitu, HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika Sukarno wafat,
justru HAMKA yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang
mempertanyakan sikap HAMKA. “Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak
perlu disalatkan, namun HAMKA tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang dilakukannya atas
dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno adalah seorang muslim.

Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden
Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-
Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA
diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota
Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.

Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah.


Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk
mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi
kebiasaan.

Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah
Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama.
Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap keras HAMKA
kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya.
Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat
itu pula HAMKA memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.

E. AKTIVITAS SASTRA HAMKA


Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang
wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan
beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan
Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.
Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar.
HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan
Gema Islam.

HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan
cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada 1950, ia mendapat
kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu,
HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah
Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia
telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan
roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan
Singapura. Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat
terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.

F. AKTIVITAS KEAGAMAAN
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total
berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji
Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik
Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi
ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.

HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-
kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman
atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam.

Ada satu yang sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya memegang
prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap
independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada zaman pemerintah
Soekarno, HAMKA berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno.
Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti
di situ saja, HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu
itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan
majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan
tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi
kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika
tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA lebih banyak diisi
dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.

G. WAFATNYA HAMKA
Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan
pengaruhnya masih terasa hingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan
sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan
jasanya di seantero Nusantara, ter masuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
H. PENGHARGAAN
Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu
Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa
dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pengeran
Wiroguno dari pemerintah Indonesia

I. PANDANGAN HAMKA TENTANG KESASTRAAN


Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo
Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya
HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya
khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan;
dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.

J. BUAH PENA BUYA HAMKA


Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA. Tafsir Al-Quran
30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya HAMKA semasa hidupnya.
Tafsir tersebut dimulainya tahun 1960.

HAMKA meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi banyak


bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila),
sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau
Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu keislaman
(Tashawwuf Modern).

K. DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah
http://vakho.multiply.com/journal/item/2/Biografi_HAMKA
http://luluvikar.wordpress.com/2005/08/01/biografi-buya-hamka/
http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=23
http://semangatbelajar.com/biografi-buya-hamka/
BIOGRAFI IMAM MALIK BIN ANAS

Dalam perjalanan sejarah Islam, kodifikasi hadits merupakan salah satu bagian
terpenting yang berfungsi menjaga kemurnian agama. Selama 1400 tahun lebih, para ulama
mempelajari teks hadits, berusaha mengenali orang-orang yang meriwayatkannya,
menetapkan status keabsahan hadits, dan kemudian menyebarkannya ke tengah umat dengan
lisan mereka atau melalui usaha pembukuan. Sebuah usaha yang tidak sederhana yang
membedakan teks-teks syariat Islam dibanding dengan teks ajaran lainnya.

Salah seorang ulama yang memiliki jasa besar dalam perkembangan dan pembukuan
hadis adalah imam besar umat ini yang berasal dari Kota Madinah, ia adalah Malik bin Anas
rahimahullah. Beliau adalah orang pertama yang membukukan hadits dalam kitabnya al-
Muwatta.

A. Nasab dan Masa Pertumbuhannya

Beliau adalah Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-
Harits bin Ghuyman bin Khutsail bin Amr bin Harits. Ibunya adalah Aliyah bin Syarik al-
Azdiyah. Keluarganya berasal dari Yaman, lalu pada masa Umar bin Khattab, sang kakek
pindah ke Kota Madinah dan menimba ilmu dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sehingga menjadi salah seorang pembesar tabi’in.

Imam Malik dilahirkan di Kota Madinah 79 tahun setelah wafatnya Nabi kita
Muhammad, tepatnya tahun 93 H. Tahun kelahirannya bersamaan dengan tahun wafatnya
salah seorang sahabat Nabi yang paling panjang umurnya, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
Malik kecil tumbuh di lingkungan yang religius, kedua orang tuanya adalah murid dari
sahabat-sahabat yang mulia. Pamannya adalah Nafi’, seorang periwayat hadis yang
terpercaya, yang meriwayatkan hadis dari Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan
sahabat-sahabat besar lainnya, radhiallahu ‘anhum. Dengan lingkungan keluarga yang utama
seperti ini, Imam Malik dibesarkan.

Awalnya, saudara Imam Malik yang bernama Nadhar lebih dahulu darinya dalam
mempelajari hadits-hadits Nabi. Nadhar mendatangi para ulama tabi’in untuk mendengar
langsung hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari para sahabat. Kemudian Imam Malik
pun mengikuti jejak saudaranya dalam mempelajari hadits. Beberapa waktu berlalu, Imam
Malik melangkahi saudaranya dalam ilmu hadits. Kecemerlangannya semakin tampak karena
Malik juga menguasai ilmu fiqh dan tafsir.

B. Perjalanan Menuntut Ilmu dan Menjadi Ulama Madinah

Ibu Imam Malik adalah orang yang paling berperan dalam memotivasi dan
membimbingnya untuk memperoleh ilmu. Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik,
sang ibu juga mengajarkan anaknya adab dalam belajar. Ibunya selalu memakaikannya
pakaian yang terbaik dan merapikan imamah anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya
mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah, contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil
ilmu darinya.”

Imam Malik belajar dari banyak guru, dan ia memilih guru-guru terbaik di zamannya
agar banyak memperoleh manfaat dari mereka. Di antara pesan dari gurunya yang selalu
beliau ingat adalah untuk tidak segan mengatakan “Saya tidak tahu” apabila benar-benar
tidak mengetahu suatu permasalahan. Salah seorang guru beliau yang bernama Ibnu Harmaz
berpesan, “Seorang yang berilmu harus mewarisi kepada murid-muridnya perkataan ‘aku
tidak tahu’.

Setelah mempelajari ilmu-ilmu syariat secara komperhensif, Malik bin Anas mulai
dikenal sebagai seorang yang paling berilmu di Kota Madinah. Beliau menyampaikan
pelajaran di Masjid Nabawi, di tengah-tengah penuntut ilmu yang datang dari penjuru negeri.

Salah satu hal yang menarik dari kajian fiqih yang beliau sampaikan adalah
penafsiran-penafsiran hadits dan pendapat-pendapat beliau banyak dipengaruhi oleh aktifitas
yang dilakukan penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, praktik-praktik yang dilakukan
penduduk Madinah di masanya tidak jauh dari praktik masyarakat Madinah di zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penduduk Madinah juga mempelajari Islam dari
para leluhur mereka dari kalangan para sahabat Nabi. Jadi kesimpulan beliau, apabila
penduduk Madinah melakukan suatu amalan yang tidak bertentangan dengan Alquran dan
sunnah, maka perbuatan tersebut dapat dijadikan sumber rujukan atau sumber hukum. Inilah
yang membedakan Madzhab Imam Malik disbanding 3 madzhab lainnya.

C. Sifat dan Karakter Imam Malik

Dari segi fisik, Imam Malik dikarunia fisik yang istimewa; berwajah tampan dengan
perawakan tinggi besar. Mush’ab bin Zubair mengatakan, “Malik termasuk seorang laki-laki
yang berparas rupawan, matanya bagus (salah seorang muridnya mengisahkan bahwa bola
mata beliau berwarna biru), kulitnya putih, dan badannya tinggi.” Abu Ashim mengatakan,
“Aku tidak pernah melihat ahli hadits setampan Malik.”

Selain Allah karuniai fisik yang rupawan, Imam Malik juga memiliki kepribadian
yang kokoh dan berwibawa. Orang-orang yang menghadiri majlis ilmu Imam Malik sangat
merasakan wibawa imam besar ini. Tak ada seorang pun yang berani berbicara saat ia
menyampaikan ilmu, bahkan ketika ada seorang yang baru datang lalu mengucapkan salam
kepada majlis, jamaah hanya menjawab salam tersebut dengan suara lirih saja. Hal ini bukan
karena Imam Malik seorang yang kaku, akan tetapi aura wibawanya begitu terasa bagi murid-
muridnya. Demikian juga saat murid-muridnya berbicara dengannya, mereka merasa segan
menatap wajahnya tatkala berbicara. Wibawa itu tidak hanya dirasakan oleh para penuntut
ilmu, bahkan para khalifah pun menghormati dan mendengarkan nasihatnya.

Imam Syafii yang merupakan salah seorang murid Imam Malik menuturkan, “Ketika
melihat Malik bin Anas, aku tidak pernah melihat seoarang lebih berwibawa dibanding
dirinya.” Demikian juga penuturan Sa’ad bin Abi Maryam, “Aku tidak pernah melihat orang
yang begitu berwibawa melebihi Malik bin Anas, bahkan wibawanya mengalahkan wibawa
para penguasa.”

Imam Malik juga dikenal dengan semangatnya dalam mempelajari ilmu, kekuatan
hafalan, dan dalam pemahamannya. Pernah beliau mendengar 30 hadits dari Ibnu Hisyam az-
Zuhri, lalu ia ulangi hadits tersebut di hadapan gurunya, hanya satu hadits yang terlewat
sedangkan 29 lainnya berhasil ia ulangi dengan sempurna. Imam Syafii mengatakan,

‫ فمالك النجم الثاقب‬،‫إذا جاء الحديث‬

“Apabila disebutkan sebuah hadits, Malik adalah seorang bintang yang cerdas
(menghafalnya pen.).
Malik sangat tidak suka dengan orang-orang yang meremehkan ilmu. Apabila ada
suatu permasalahan ditanyakan kepadanya, lalu ada yang mengatakan, ‘Itu permasalahan
yang ringan.” Maka Imam Malik pun marah kepada orang tersebut, lalu mengatakan, “Tidak
ada dalam pembahasan ilmu itu sesuatu yang ringan, Allah berfirman,

‫يل‬ َ ‫سنُ ْل ِقي‬


‫علَيْكَ قَ ْو اًل ث َ ِق ا‬ َ ‫إِنَّا‬

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-
Muzammil: 5)

Semua permasalahan agama itu adalah permasalahan yang berat, khususnya permasalahan
yang akan ditanyakan di hari kiamat.”

Imam Malik juga seorang yang sangat perhatian dengan penampilannya dan ini
adalah karakter yang ditanamkan ibunya sedari ia kecil. Pakaian yang ia kenakan selalu rapi,
bersih, dan harum dengan parfumnya. Isa bin Amr mengatakan, “Aku tidak pernah melihat
seorang yang berkulit putih ataupun merah yang lebih tampan dari Malik. Dan juga ian
seseorang yang lebih putih dari pakaiannya.” Banyak riwayat-riwayat dari para muridnya
yang mengisahkan tentang bagusnya penampilan Imam Malik, terutama saat hendak
mengajarkan hadits, namun satu riwayat di atas kiranya cukup untuk menggambarkan
kebiasaan beliau.

demikianlah seorang muslim, terlebih seseorang yang memiliki pengetahuan agama.


Seorang muslim harus berpenampilan rapi, bersih, dan jauh dari bau yang tidak sedap. Sering
kita lihat saudara-saudara muslim yang dikenal sebagai orang yang taat, mereka
berpenampilan lusuh, pakaian tidak rapi karena jarang distrika atau karena lama tidak diganti,
dan keluar bau tidak sedap dari tubuh atau pakaiannya, ironisnya ini terkadang terjadi saat
shalat berjamaah. Agama kita sangat menganjurkan kebersihan dan Allah mencintai
keindahan.

D. Firasat Yang Tajam

Sering kita dapati ketika membaca biografi orang-orang shaleh bahwasanya mereka memiliki
firasat yang tajam. Demikian juga dengan Imam Malik bin Anas rahimahullah. Imam Syafii
mengisahkan tentang gurunya ini sebuah kisah yang menunjukkan kuatnya firasat sang guru.
Kata Imam Syafii, “Ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Malik, kemudian ia
mendengarkan ucapanku. Ia memandangiku beberapa saat dan ia berfirasat tentangku.
Setelah itu ia bertanya, ‘Siapa namamu?’ Kujawab, ‘Namaku Muhammad.’. Ia kembali
berkata, ‘Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah, jauhilah perbuatan maksiat, karena
aku melihat engkau akan mendapatkan suatu keadaan (menjadi orang besar pen.).”

E. Wafatnya Imam Malik

Imam Malik rahimahullah wafat di Kota Madinah pada tahun 179 H/795 M dengan usia 85
tahun. Beliau dikuburkan di Baqi’. Semoga Allah merahmati Imam Malik dan
menempatkannya di surganya yang penuh dengan kenikmatan.

Berikut profil dan biografi singkat dari Imam malik. Ia bernama lengkap Abu
Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman
bin Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi, lahir diMadinah pada tahun 712-796 M. Berasal dari
keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya islam
maupun sesudahnya, tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya
menganut islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya Abu Amir adalah anggota keluarga
pertama yang memeluk agama islam pada tahun ke dua Hijriah.

dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah, oleh sebab itu, sejak
kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau
merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama ulama besarnya.
Imam Malik menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman pamannya juga pernah
berguru pada ulama ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu
Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin Munkadir,
Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far AsShadiq.

Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam


dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun
Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama ulama besar Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya, menurut sebuah riwayat
disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri
pengajaran Imam malik adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap
gurunya.
F. Karya-karya Imam Malik
Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha’ yaitu kitab fiqh yang
berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan, menurut beberapa riwayat mengatakan bahwa
buku Al Muwatha’ tersebut tidak akan ada bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al
Mansur sebagai sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu
mengumpulkan hadis hadis dan membukukannya, Awalnya imam Malik enggan untuk
melakukannya, namun setelah dipikir pikir tak ada salahnya melakukan hal tersebut Akhirnya
lahirlah Al Muwatha’ yang ditulis pada masa khalifah Al Mansur (754-775 M) dan selesai di
masa khalifah Al Mahdi (775-785 M), semula kitab ini memuat 10 ribu hadis namun setelah
diteliti ulang, Imam malik hanya memasukkan 1.720 hadis. Selain kitab tersebut, beliau juga
mengarang buku Al Mudawwanah Al Kubra.

Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan Mazhab
fiqhinya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki, Mazhab ini sangat
mengutamakan aspek kemaslahatan di dalam menetapkan hukum, sumber hukum yang
menjadi pedoman dalam mazhab Maliki ini adalah Al Quran, Sunnah Rasulullah, Amalan
para sahabat, Tradisi masyarakat Madinah, Qiyas dan Al Maslaha Al Mursal ( kemaslahatan
yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu.

Anda mungkin juga menyukai