Anda di halaman 1dari 6

Belajar Khusyu’ dari ‘Abbad Bin Bisyr

“Ketika aku sedang shalat tadi, aku membaca beberapa ayat Al-Qur’an yang sangat
mengharukan hatiku, sehingga aku tidak ingin memutuskannya. Demi Allah, kalau bukan
karena takut menyia-nyiakan pos penjagaan yang ditugaskan Rasul kepada kita,
sungguh aku lebih suka mati daripada memutuskan bacaan ayat-ayat yang sedang
kubaca.”

Khusyu’ itu bukanlah perkara yang sederhana, kecuali bagi orang-orang yang bisa
memaknai suatu amalan dengan baik. Itulah kesimpulan yang aku dapat ketika mengikuti jam
dirosah di Ahad sore. Menurutku perkara khusyu’ ini tidak semua orang bisa melakukannya,
bahkan untuk diriku juga. Sulit rasanya. Mungkin kita bisa lihat dari keseharian kita. Contohnya
saja sholat. Memang, kita melaksanakan sholat 5 waktu dengan baik dan tepat waktu. Sesuai
dengan tatacara juga. Tapi masih banyak juga diantara kita yang sholatnya masih terburu-buru,
membaca bacaan sholat dengan cepat, kaki masih goyang-goyang ketika berdiri menghadap
Allah. Masih banyak pr yang harus kita tuntaskan.
Dan lagi, Apa sih makna sebenarnya dari khusyu’ tersebut? Apakah khusyu’ itu hanya
sekedar dalam sholat saja? Dan bagaimana caranya agar kita bisa menjadi hamba-hamba Allah
yang khusyu’? Mari kita belajar bersama mengenai hal ini.
Secara bahasa, khusyu’ memiliki makna ‫ السكون‬yang berarti diam atau tenang, dan ‫التذلل‬
yang berarti merendahkan diri. 2 sifat ini berasal dari hati manusia yang apabila dia memilikinya,
itu bisa terpancar kepada anggota tubuhnya.
Para ulama pun berbicara mengenai definisi Khusyu’ ini.
Salah satunya, Imam Ibnu Rajab berkata: “Asal (sifat) khusyu’ adalah kelembutan, ketenangan,
ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia (kepada Allah Ta’ala). Tatkala Hati
manusia telah khusyu’ maka semua anggota badan akan ikut khusyu’, karena anggota badan
(selalu) mengikuti hati, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Ketahuilah,
sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka
akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh
tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”.
Jadi, ketika kita mau melaksanakan suatu ibadah kita harus dalam kondisi tenang dan siap
serta menata hati kita agar bisa menghadap Allah dengan rasa penuh ketundukkan. Nah, disini
lah letak ujiannya. Ketika kita harus khusyu’ dan fokus dalam beribadah, setan pastinya tidak
tinggal diam bukan? Pastinya dia terjun langsung ke lapangan untuk mengganggu kita. Karena
sulit itulah Allah menghibur kita dengan firman-nya di dalam Al-Qur’annya. Diantaranya :

‫ِإ َّن ا ْل ُم ْس ِلِم يَن َو ا ْل ُم ْس ِل َم ا ِت َو ا ْل ُم ْؤ ِم ِن يَن َو ا ْل ُم ْؤ ِم َنا ِت َو ا ْل َق ا ِنِت يَن َو ا ْل َق ا ِن َتا ِت َو الَّص ا ِد ِق يَن َو الَّص ا ِد َق ا ِت َو الَّص ا ِب ِر يَن‬

‫َو الَّص ا ِب َر ا ِت َو ا ْل َخ ا ِش ِع يَن َو ا ْل َخ ا ِش َع ا ِت َو ا ْل ُم َت َص ِّد ِق يَن َو ا ْل ُم َت َص ِّد َق ا ِت َو الَّص ا ِئِم يَن َو الَّص ا ِئ َم ا ِت َو ا ْل َح ا ِفِظ يَن ُف ُر و َج ُه ْم‬
‫َو ا ْل َح ا ِف َظ ا ِت َو ال َّذ ا ِك ِر يَن ال َّل َه َك ِث يًر ا َو ال َّذ ا ِكَر ا ِت َأ َع َّد ال َّل ُه َل ُه ْم َم ْغ ِفَر ًة َو َأ ْج ًر ا َع ِظ ي ًم ا‬

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang
mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang
benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan
yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS al-Ahzaab:
35).

‫َقْد َاْفَلَح اْلُم ْؤ ِم ُنْو َن ۙاَّلِذ ْيَن ُهْم ِفْي َص اَل ِتِهْم ٰخ ِش ُعْو َن‬
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang
khusyu’ dalam shalatnya” (QS al-Mu’minuun: 1-2)”.

Jika dilihat dari ayat yang diatas, khusyu’ di sini konteksnya untuk ibadah sholat.
Mengapa demikian? Menurut tadabbur yang aku dapat, Sholat adalah ibadah yang paling utama
dan di akhirat perkara sholat duluanlah yang akan dihisab, sebagaimana sabda Nabi:

‫ فإن صلحت صلح سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله‬،‫أول ما يحاسب عليه العبد يوم القيامة الصالة‬

“Amal ibadah yang pertama yang akan dihisab oleh Allah pada hari kiamat adalah
shalatnya, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya yang lain dan jika shalatnya
rusak maka rusaklah seluruh amalannya yang lain “ [HR Thabrani, dishahihkan oleh syaikh
Albani].
Dari sini kita tahu, bahwa tolak ukur segala amalan kita bisa dilihat dari sholat kita. Dan,
sholat yang baik itu adalah sholat yang dikerjakan dengan khusyu’. Nah, bagaimana amalan
sehari-hari kita bisa baik kalau ternyata sholat kita masih belum khusyu’? Masih banyak yang
harus kita benahi dalam kehidupan kita.
Terdapat sebuah kisah tentang seorang sahabat Nabi ‫ ﷺ‬yang bernama ‘Abbad Bin
Bisyr Radhiyallahu Anhu. Suatu ketika pasca peperangan Dzatur Riqa’, Rasulullah bersama para
sahabat berhenti sejenak di suatu daerah untuk beristirahat. Di sana Rasulullah membuat
beberapa pos untuk berjaga. Salah satu pos tersebut beranggotakan ‘Abbad Bin Bisyr dan
Ammar Bin Yasir.
Ketika tiba waktu malam, ‘Abbad ingin menunaikan sholat malam. Beliau pun
memanfaatkan waktunya untuk sholat sekaligus berjaga dan menyuruh Ammar Bin Yasir
beristirahat terlebih dahulu, agar bisa bergantian nantinya bila ‘Abbad selesai sholat.
‘Abbad pun berdiri menunaikan sholat malam, beliau membaca ayat-ayat Qur’an dengan pelan
lagi khusyu’. Beliau sangat menikmati sholatnya. Namun, di tengah kekhusyu’annya
melantunkan ayat-ayat Qur’an, tiba-tiba sebatang panah menancap lengan ‘Abbad. Darah pun
bercucuran mengalir dari lengannya. Tapi, apa yang dilakukan sahabat mulia ini? Beliau tidak
membatalkan sholatnya, malah dengan tenang dia mencabut panah yang menancap di lengannya
dan terus melanjutkan bacaan Qurannya .
Tak lama dari kejadian tadi, lagi-lagi ‘Abbad harus menerima lemparan panah yang
menancap tubuhnya. Tapi, beliau tetap melanjutkan sholat dengan tenang. Ketika sujud, beliau
menarik-narik Ammar yang sedang tertidur di sampingnya sampi terbangun. ‘Abbad
melanjutkan sholatnya sampai salam dan meminta tolong Ammar agar bisa menggantikannya
berjaga.
Ammar yang saat itu melihat kondisi ‘Abbad langsung panik dan suasana sempat menjadi
gaduh. Sayangnya orang yang dikejar telah kabur. Ammar pun menghampiri ‘Abbad dan
bertanya, “subhanallah, kenapa tadi saya tidak segera dibangunkan?”, ‘Abbad pun menjawab
dengan kalimat yang luar biasa, “Ketika aku sedang shalat tadi, aku membaca beberapa ayat Al-
Qur’an yang sangat mengharukan hatiku, sehingga aku tidak ingin memutuskannya. Demi Allah,
kalau bukan karena takut menyia-nyiakan pos penjagaan yang ditugaskan Rasul kepada kita,
sungguh aku lebih suka mati daripada memutuskan bacaan ayat-ayat yang sedang kubaca.”
Maasya Allah, begitu kuat kekhusyu’an ‘Abbad Bin Bisyr, sampai mampu menahan sakit
karena panah yang menancap di tubuhnya. Apasih yang membuat beliau sampai sedemikian
tidak mau membatalkan sholatnya? Apasih yang menjadi faktor besarnya khusyu’ beliau
walaupun dalam keadaan diserang?
Itu semua bisa dilakukan karena kecintaan beliau kepada Allah dan ilmu beliau yang
bermanfaat. Bagaimana ilmu beliau tidak bermanfaat, beliau mampu membaca ayat-ayat suci Al-
Quran dengan takzim. Bukankah Al-Qur’an itu termasuk ilmu?
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah berdoa: “Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak
khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan”10.
Dalam hadits yang agung ini, Rasulullah ‫ ﷺ‬menggandengkan empat perkara yang tercela
ini, sebagai isyarat bahwa ilmu yang tidak bermanfaat memiliki tanda-tanda buruk, yaitu hati
yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan, nu’uudzu
billahi min dzaalik.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa ilmu yang tidak
menimbulkan (sifat) khusyu’ dalam hati maka ini adalah ilmu yang tidak bermanfaat”.
Maka menunjukkan bahwa sifat khusyu’ adalah buah yang manis dan agung dari ilmu yang
bermanfaat.
Oleh karena itu, Kembali lagi. Kita harus banyak-banyak belajar dan mencari ilmu serta
mengamalkannya dengan baik, agar kita bisa beribadah dengan khusyu’ dan tawadhu’.
Dan perlu diketahui juga, khusyu’itu tidak dikerjakan ketika sholat saja. Amalan-amalan lain pun
bisa kita kerjakan dengan penuh kekhusyu’an.
Nah, bagaimana agar hati kita bisa khusyu’? Apa yang harus kita lakukan agar bisa
meraih kekhusyu’an? Beberapa Ulama berkata tentang hal ini. Salah satunya Imam Ibnu Rajab
al-Hambali. Beliau memaparkan hal ini dalam ucapan beliau:
“Asal (sifat) khusyu’ yang terdapat dalam hati tidak lain (bersumber)
dari ma’rifatullah (mengenal Allah Ta’ala dengan memahami nama-nama-Nya yang maha indah
dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna), mengenal keagungan-Nya, kemuliaan-Nya dan
kesempurnaan-Nya. Sehingga barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka dia akan lebih
khusyu’ (kepada-Nya).
Sifat khusyu’ dalam hati manusia dalam hati manusia bertingkat-tingkat
(kesempurnaannya) sesuai dengan bertingkat-tingkatnya pengetahuan (dalam) hati manusia
terhadap Zat yang dia tunduk kepada-Nya (Allah Ta’ala) dan sesuai dengan bertingkat-
tingkatnya penyaksian hati terhadap sifat-sifat yang menumbuhkan kekhusyu’an (kepada
Allah Ta’ala).
Ada hamba yang (meraih) khusyu’ (kepada-Nya) karena penyaksiannya yang kuat
terhadap kemahadekatan dan penglihatan-Nya (yang sempurna) terhadap apa yang tersembunyi
dalam hati hamba-Nya, sehingga ini menimbulkan rasa malu kepada Allah Ta’ala dan selalu
merasakan pengawasan-Nya dalam semua gerakan dan diamnya hamba tersebut.
Ada juga yang (meraih) khusyu’ karena penyaksiannya terhadap kemahasempurnaan dan
kemahaindahan-Nya, sehingga ini menjadikannya tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya serta
kerinduan untuk bertemu dan memandang wajah-Nya.
(Demikian pula) ada yang meraih khusyu’ karena penyaksiannya terhadap kerasnya
siksaan, pembalasan dan hukuman-Nya, sehingga ini membangkitkan rasa takutnya kepada
Allah.
Maka Allah Ta’ala Dia-lah yang memperbaiki hati hamba-hamba-Nya yang tanduk dan
remuk hatinya kepada-Nya. Allah Ta’ala maha dekat kepada hamba-Nya yang bermunajat
kepada-Nya dalam shalat dan menempelkan wajahnya ke tanah ketika sujud, sebagaimana Dia
maha dekat kepada hamba-Nya yang berdoa, memohon dan meminta ampun kepada-Nya atas
dosa-dosanya di waktu sahur. Dia maha mengabulkan doa hamba-Nya serta memenuhi
permohonannya, dan tidak ada sebab untuk memberbaiki kekurangan seorang hamba yang lebih
agung dari kedekatan dan pengabulan doa dari-Nya”
Pemaparan imam Ibnu Rajab di atas merupakan makna firman Allah Ta’ala:
‫ِإ َّن َم ا َي ْخ َش ى ال َّل َه ِم ْن ِع َب ا ِد ِه ا ْل ُع َل َم ا ُء‬
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-
orang yang berilmu (mengenal Allah Ta’ala)” (QS Faathir:28).

Jadi, kembali lagi. Jika kita mau khusyu’, kita harus memiliki ilmu serta Ma’rifatullah
kita harus baik, agar kita bisa meraih kekhusyu’an dalam beribadah. Apalagi di posisiku yang
mau menjadi guru. Aku tidak boleh beribadah tanpa kekhusyu’an, karena ibadah dengan khusyu’
itu pintuku untuk meraih kedekatan dengan Allah ‫ﷻ‬
Semoga kita semua Allah berikan Taufik dan kekhusyu’an dalam setiap ibadah.
Aamiin...

Anda mungkin juga menyukai