Anda di halaman 1dari 67

KABI DON IA

POTRET DUA TAHUN KEPEMIMPINAN JOKOWI

“Jokowi adalah seorang demokrat yang terjebak dalam otoritarianisme.


Orientasi ekonominya liberal tapi praktiknya adalah proteksionisme.
Dia mencitrakan diri sebagai rakyat, tapi dikelilingi elite. Jokowi terlihat
menjunjung keberagaman, tapi dia berlindung di balik kelompok konservatif.”

Kompilasi kalimat yang ditulis Ben Bland dalam bukunya

“Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia”


Tertanda,

Kementerian Kajian Strategis

BEM KM UNNES 2021


PROLOG

Dalam sistem pemerintahan presidensiil seperti yang dianut oleh Indonesia


presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan (chief of executive) juga
sebagai kepala negara (chief of state) ketentuan ini tertulis dalam konstitusi Pasal
4 ayat (1) yang berisi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan ini memberikan
presiden kekuasaan yang luas yakni kekuasaan administrasi, kekuasaan legislatif,
kekuasaan yudikatif hingga kekuasaan diplomatik. Konsekuensi yuridisnya adalah
presiden memiliki tanggung jawab yang besar yakni mewujudkan tujuan negara
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD NRI
Tahun 1945 alinea ke empat. Meskipun kewajiban untuk mewujudkan tujuan
negara merupakan tanggung jawab semua lembaga negara dan juga seluruh
bangsa Indonesia, namun secara riil kekuasaan eksekutif yang mengemban
kewajiban tersebut untuk diwujudkan.1
Saat ini Indonesia tengah dipimpin oleh Presiden Joko Widodo yang dalam
proses kampanye menampilkan diri sebagi “wong cilik” yang seolah paham akan
problematika bangsa, Jokowi menawarkan optimisme menjawab segala
permasalahan di berbagai bidang yang belum diselesaikan oleh presiden
sebelumnya. Kini dua tahun kepemimpin Presiden Joko Widodo (periode 2019-
2024) berlalu, namun faktanya masih banyaknya masyarakat Indonesia yang
masih belum mendapatkan perlindungan, kejahteraan, keadilan pendidikan dan
hak lainnya sesuai cita-cita nasional. Data terbaru hasil survey Research and
Consulting (SMRC) pada bulan Juni 2021 tentang tingkat kepuasan masyarakat
terhadadap kinerja Jokowi terus menurun. Di survey sebelumnya (28 Februari-8
Maret 2021)

1
Sudirman, Kedudukan Presiden Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial, Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Hal 11
responden yang merasa sangat puas dengan kinerja Jokowi secara umum 16,05
persen, sedangkan pada survey terbaru hanya 12,6 persen responden yang
mengaku sangat puas pada kinerja Jokowi.2
Menurunnya kepuasan masyarakat ini tidak terlepas dari fenomena pandemi
yang masih membelenggu negara Indonesia. Bahkan hasil survey Research and
Consulting (SMRC) menunjukan bahwa 30,6 responden kurang puas atas kinerja
Jokowi atau pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.3 Kegagapan
pemerintah dalam menghadapi Covid-19 berimbas pada semua tatanan dan bidang
di kehidupan masyarakat.
Dua tahun kepemimpinan Jokowi yang jatuh pada 20 Oktober seharusnya
menjadi kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk berefleksi sekaligus
menyuarakan berbagai permasalahan yang belum terselesaiakan selama Jokowi
menjabat. Dengan dilambungkannya berbagai tagar seperti #2021GantiPresiden
dan #JokowiEndGame hingga #LastCallJokowi sejatinya merupakan ekspresi
keresahan masyarakat atas akumulasi permasalahn yang tak kunjung diselesaikan
dan justru terus bertambah.

2
Fitria Chusna Farisa, 2021, "Survei: Kepuasan Masyarakat terhadap Kinerja Jokowi Turun,
Jadi 75,6 Persen", Kompas.com diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/13/19270071/survei-kepuasan-masyarakat-terhadap-
kinerja-jokowi-turun-jadi-756-persen pada 26Agustus 2021 pkl 22.08 wib
3
Ibid
BAGIAN I

BIDANG HUKUM, HAM, PEMBERANTASAN KORUPSI

A. Diproduksinya Beberapa Undang-Undang yang Bermasalah

Dalam perspektif Marxisme, hukum dibuat tidak untuk melindungi


kepentingan seluruh masyarakat, tapi untuk melindungi kepentingan kelompok
elit. Menurut Marx, hukum adalah alat kaum kapitas untuk melindungi
kepentingannya dalam melakukan kegiatan bisnis, dan alat penguasa untuk
mempertahankan kekuasaannya. Hukum berpihak kepada pihak yang berkuasa
dan kaum kapitalis. Sementara itu menurut Nonet dan Selznick dalam bukunya
Hukum Responsive menggambarkan hukum sebagai alat yang mudah diutak atik,
siap dipakai untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas hingga
mengamankan hak-hak istimewa dan memenangkan kepatuhan.4
Maka tak heran jika produk legislasi sering kali tidak berorientasi pada
keadilan namun sebagai alat segelintir orang yang berkuasa untuk
mempertahankan kekuasaannya. Dalam kurundua tahun Jokowi menjabat telah
banyak pengesahan produk legislasi yang ramah terhadap oligarki dan cenderung
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat kebanyakan. Bahkan ditengah
pandemi Covid-19, DPR RI dan Presiden seharusnya mengeluarkan produk
legislasi yang berbasis kebutuhan masyarakat, yakni fokus terhadap pemulihan
dan penyelamatan warga negara ditengah wabah. Namun para legislator dan
pemerintah justru mengesahkan beberapa produk legislasi yang bermasalah baik
secara formil maupun materiil.

Dalam perspektif politik hukum, hukum dapat dipahami sebagai produk dari
kekuasaan politik dan karenanya setiap produk hukum hampir merupakan hasil

4
Nonet, Philippe dan Philipe Selznick. 2018. Hukum Responsif. Bandung: Nusamedia.
dari kekuasaan politik tertentu .5. Oleh sebab itu membaca suatu peraturan
perundang-undangan tidak bisa hanya sebatas membaca pasal per pasal saja.
Perlu identifikasi lebih lanjut untuk lebih memahami tujuan dan kearah mana
sebenarnya peraturan perundang-undangan tersebut akan membawa masyarakat.
Karena sebuah konfigurasi politik maupun ide pemikiran tertentu akan
terkristalisasi dalam suatu produk hukum tertentu6

1. Undang-Undang Mineral dan Batu Bara

Contoh pertama adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara yang disahkan oleh pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat RI pada rapat paripurna 12 Mei lalu telah menuai penolakan
dari masyarakat kebanyakan. Mayrakat meyakini bahwa revisi Undang-Undang
Minerba lahir dari konsolidasi kepentingan elite yang memanfaatkan situasi
pandemi. Hal ini kemudian diperkuat oleh sejumlah fakta bahwa sejak proses
pembentukan di parlemen, Undang-Undang Minerba dianggap telah
mengabaikan asas-asas pembentukan peraturan perundangan yang baik. Selain
itu sejumlah catatan kritis juga ditujukan terhadap beberapa substansi atau
muatan yang terdapat di dalam Undang-Undang Minerba (materiel).
Proyek revisi terhadap Undang-Undang Minerba sebenarnya sudah dimulai
sejak tahun 2015 lalu. Dimana RUU Minerba telah masuk dalam prolegnas
prioritas 2015-2019. Dalam aksi masa bertajuk Reformasi Dikorupsi RUU
Minerba merupakan salah satu RUU yang ditentang oleh sejumlah pihak. Mulai
dari aktivis lingkungan, akademisi hinga mahasiswa menyuarakan penolakan
atas RUU Minerba tersebut. Setelah pergantian masa jabatan DPR RI
memutuskan RUU Minerba sebagai salah satu RUU Carry-Over yang masuk
prolegnas

5
Syahriza Alkohir Anggoro, Politik Hukum Mencari Sejumlah Penjelasan, Jurnal Cakrawala
Hukum, 2019,Volume 10 Nomor 01, 2019 halaman 77.
6
Dalam Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, halaman 11.
prioritas tahun 2020.
Pembahasan RUU Minerba ini terbilang cepat. Pada 13 Februari, pemerintah
dan DPR melakukan rapat kerja untuk melanjutkan pembahasan/pembicaraan
tingkat I yakni Pembahasan RUU dan pembahasan sejumlah 938 Daftar
Inventarisasi Masalah serta menetapkan Tim Panitia Kerja (Panja). Terdapat
sebanyak 235 DIM yang disepakati dengan rumusan tetap sehingga langsung
disetujui, dan ada 703 DIM yang dibahas dalam panja. Pembahasan dilakukan
dari mulai Februari sampai dengan bulan Mei 2020 artinya 703 DIM dibahas
kurang lebih tiga bulan. Pada 12 Mei 2020 DPR RI resmi mengesahkan RUU
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara menjadi Undang-Undang. Langkah tersebut tetap diambil
DPR meski terdapat satu Fraksi dari 9 Fraksi di komisi VII DPR RI yang
menolak yakni Fraksi partai Demokrat.
Disahkannya Revisi Undang-Undang Minerba mendapat penolakan dari
berbagai kalangan. Beberapa ahli membuat sejumlah kajian yang pada intinya
mempertanyakan konstitusionalitas Undang-Undang Minerba yang baru karena
syarat akan permasalahan baik secara formiil maupun materiel.

Dari segi formiil, pembentukan Undang-Undang Minerba dianggap tidak


sesuai dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pertama, Undang-Undang Minerba dianggap tidak memenuhi ketentuan Carry-
Over yang diatur di dalam Undang-Undang. Carry Over dapat diartikan sebagai
mekanisme ‘pewarisan’ RUU pada lintas periode, dibanyak Negara istilah Carry
over lebih dikenal secara a contrario dengan sebutan legislaltive discontinuity.
RUU minerba dianggap menabrak ketentuan Carry Over yang diaturdi dalam
pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Ttahun 2019 tentang Perubahan Atas
Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Dimanadalam pasal tersebut secara jelas mensyarakatkan
adanya pembahasan DIM dari RUU yang akan dilakukan Carry Over harus telah
dibahas terlebih dahulu di periode sebelumnya.7

RUU Minerba merupakan RUU inisitaif DPR yang telah disusun hingga
periode 2014-2019 berakhir, namun faktanya DPR periode tersebut belum
melakukan pembahasan Daftar Invetarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba. Hal
ini dapat diketahui dari surat ketua pimpinan Komisi VII DPR RI 8 kepada
pimpinan DPR RI yang berisi bahwa DIM RUU Minerba dari pemerintah baru
diserahkan kepda DPR RI pada tanggal 25 september 2019 atau lima hari
menjelang masa jabatan DPR periode 2014-2019 selesai, sehingga belum
dilaksanakannya pembahasan DIM. Seharusnya RUU Minerba tidak dapat
dilanjutkan pembahasan (carry over).Selanjutnya revisi Undang-Undang
Minerba dianggap menciderai amanah konstitusi serta Undang-Undang yang
mengamanatkan adanya pelibatan DPD dalam membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya. Dalam putusan MK
Nomor 92/PUU/PUU-X/ 2012 disebutkan secara jelas bahwa DIM diajukan oleh
Presiden dan DPD apabila RUU berasal atau insiatif dari DPR. Namun faktanya
tidak ada DIM yang disusun oleh DPD9.

7
Rasdiana Izzaty, Urgensi Ketentuan Carry-Over dalam Pembentukan Undang-Undang di
Indonesia, Jurnal Ham, Vol. 11 Nomor 1, 2020, halaman 1-14.
8
Surat bernomor LG/000733/DPR RI/I/2020 dari pimpinan Komisis VII kepada Pimpinan DPR RI
dan PimpinanBadan Legislasi DPR RI
9
Disampaikan oleh Ahmad Redi dalam FGD daring bertema “Revisi Undang-Undang Minerba,
yang untungsiapa?”, BEM Fakultas Hukum UNNES 2020
Undang-Undang pun dianggap menabrak sejumlah asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik salah satunya adalah asas keterbukaan
yang terdapat dalam pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asas keterbukaan adalah
bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus bersifat
transparan dan terbuka.18 Namun kenyataanya proses pembentukan UU minerba
ini sangat tertutup dan non partisipatif.

Pembahasan sampai pengesahan RUU Minerba dilakukan dikala pandemi


Covid-19 sedang melanda yang menyebabkan hak masyarakat untuk
memberikan aspirasi tidak dapat dilakukan dengan maksimal. Seharusnya RUU
Minerba dipublikasikan dan dilakukan diseminasi, akan tetapi pembahasan RUU
Minerba dilakukan secara tertutup bahkan sangat minim stakeholder yang
terlibat di dalamnya. Padahal partisipasi publik dalam pembentukan sebuah
peraturan perundang-undangan merupakan sesuatu yang fundamental karena
termasuk dari sendi negara demokrasi. Seperti apa yang yang disampaikan oleh
Prof. Susi Dwi Harijanti bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan
yang sesuai dengan prinsip negara hukum setidaknya harus memenuhi
subtantive due process of law dan procedural due process of law. ketika hak-
hak prosedural tidak terpenuhi maka muatan substansi perturan perundang-
undangan tersebut tidak akan mencerminkan keadilan.
Dengan adanya sejumlah permasalahan formiil tersebut faktanya telah
melahirkan muatan atau materiil yang bermasalah pula. Terdapat beberapa pasal
yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, diantaranya10:
i. pasal 1 angka (13a) yang mengatur tentang Surat Izin Penambangan Batuan
atau SIPB. Oleh beberapa aktivis pasal ini disanggap hanya akan membuka
celah ruang rente baru.
ii. Pasal 4 ayat (2) yang mana pasal ini mengatur bahwa Penguasaan Mineral
dan Batubara oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. Padahal
dalam UU Minerba lama telah memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah. nemun dengan adanya pasal ini penguasaan mineral dan batubara
menjadi tersentralisasi ke pusat sehingga bertolak belakangan dengan
semangat desentralisasi.
iii. Dihapusnya ketentuan Pasal 165 dalam Undang-undang yang lama. padahal
pasal 165 ini mengatur tentang ketentuan pidana bagi para pejabat yang
melakukan korupsi dan menyalahgunakan kewenangannya dalam
memberikan IUP, IPR atau IUPK. Maka dengan dihapusnya pasal tersebut
akan membuka celah yang sangat lebar bagi para koruptor untuk melakukan
korupsi di bidan mineral dan batubara.
iv. Pasal 169A yang mengatur tentang perpanjangan kontrak karya (KK) dan
Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa harus melalui
lelang.

10
Diarti Utami, Deretan Pasal Kontrovesi UU Mineba, diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/1341732/deretan-pasal-kontroversi-uu-minerba/full&view=ok
pada 27 Oktober 2020 pkl 12:05 wib.
2. Undang-Undang Cipta Kerja

Contoh selanjutnya adalah Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law).


Sejak awal rencana pembentukan omnibus lawa menuai sejumlah kritikan karena
metode Omnibus merupakan jenis produk hukum yang baru di Indonesia
sehingga menimbulkan sejumlah konsekuensi ketika akan diterapkan seperti bagi
publik cenderung membingungkan, bagi pembuat UU (Legislatif Bersama
Eksekutif) membutuhkan proses waktu yang lama, karena banyaknya pasal yang
dibahas, pemangku kepentingan yang dilibatkan serta akibat hukum yang
ditimbulkan. Selain itu pembentukan omnibus law juga membutuhkan metode
khusus11(di beberapa negara seperti Jerman dan Kanada, metode Omnibus Law
dipakai namun dengan aturan main yang koheren, misalnya tidak memuat terlalu
banyak kluster atau isu). Namun faktanya para pembuat UU tidak
mempertimbangkan konsekuensi tersebut sehingga dalam pembentukkannya
syarat akan permasalahan seperti:
i. Proses pembahasan cenderung tertutup Pasal 5 huruf g Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan diatur bahwa dalam membentuk peraturan
perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik salah satunya
adalah “AsasKeterbukaan”.
ii. Pembentukan secara ugal-ugalan, dikebut dalam kurun waktu yang
sangat singkat yaitu kurang lebih 6 bulan dengan hanya dibahas
sebanyak 64 kali. Sangat berbeda dengan proses pengesahan RUU
yang tidak menguntungkan oligarki, seperti RUU PKS.
iii. Tidak partisipatif. Padahal dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
mengamanatkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan

11
Ocean justice initiative, 2020, “Sistem dan Praktik Omnibus Law di Berbagai Negara dan
Analisis RUU CiptaKerja dari Perspektif Good Legislation Making”
secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Terutama masyarakat yang mempunyai
kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-
Undangan. Artinya the right to be heard dan right to be considered
masyarakat tidak terpenuhi.
iv. Ketidak konsitenan informasi naskah UU yang disampaikan kepada
masyarakat secara jelas melanggar moralitas hukum dan demokrasi
Seperti metafor hukum amerika Fruit of the poisonous tree bahwa suatu
peraturan perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan proses formil yang
bermasalah maka akan menghasilkan substansi muatan yang bermasalah pula.
Terbukti Omnibus Law Cipta Kerja memuatan pasal-pasal yang bermasalah
seperti:
i. PHK dipermudah. Dalam pasal 154A UU Cipta Kerja diatur
bahwasanya perusahaan dapat melakukan PHK dengan alasan
perusahaan melakukan peleburan, penggabungan, pengambilalihan atau
pemisahan perusahaan, efisiensi, tutup karena rugi, force
majeur,menunda utang, dan pailit
ii. Upah cuti haid dan melahirkan menghilang. Dalam UU No 13 tahun
2003 diatur mengenai cuti haid dan melahirkan, akan tetapi dalam
ketentuan UU Cipta Kerja pemeberian upah berdasarkan satuan waktu
atau per jam menghilangkan mekanisme cuti haid atau melahirkansebab
apabila buruh perempuan tidak masuk maka tidak mendapatkan upah.
iii. Menghapus Batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan
outsourcing. UU Cipta Kerja menghapus pasal 64 dan 65 UU
Ketenagakerjaan tentang lima jenis pekerjaan yang boleh outsourcing.
iv. Penghapusan upah minimum kota/Kab. pasal 88C yang menghapuskan
upah minimum Kota/Kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minimum
pekerja. Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang
dipukul rata di semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya
hidup setiap daerah.
Disahkannya Omnibus Law ini telah membawa dampak yang siginifikan
terhadap rakyat salah satunya adalah PHK Massal Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat terdapat 29,12 juta orang yang terdampak pandemi Corona. Semua
yang terdampak ini masuk ke dalam penduduk usia kerja. Dari angka tersebut,
sebanyak 2,56 juta orang yang menjadi pengangguran. Sebanyak 24,03 juta
orang bekerja dengan pengurangan jam kerja Sedangkan, Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemanker) mencatat, sepanjang 2020, sebanyak 386.877
pekerja terkena PHK. Angka ini 20 kali lipat dibandingkan dengan 2019.
Selain itu beberapa aturan turunan dari Omnibus Law sudah mulai disahkan
seperti PP No.34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, PP No.
35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu
Kerja dan Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, PP No. 36 Tahun 2021
tentang Pengupahan, PP No. 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Kesemua Peraturan Pemerintah tersebut
dianggap tidak memberikan keadilan terhadap kaum buruh yang selama ini sulit
mendapat kesejahteraan

Lantas kenapa Jokowi ikut disalahkan, bukannya membentuk Undang-


Undang adalah kewenangan legislatif? Sebagaimana yang kita ketahui dalam
sistem pemerintahan presidensiil yang dianut oleh Indonesia, selain memegang
kekuasaan eksekutif Presiden juga mempunyai wewenang dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUD NRI
Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengajukan
rancangan undang-undang kepada DPR, selain itu terdapat juga delegasi
kewenangan, yaitu pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-
undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undanganyang lebih tinggi
kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan
tersebut dinyatakan dengan tegas ataupun tidak Selain itu Pasal 20 ayat (2) (3)
dan (4), pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan:
Pasal 20

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan


Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untukmenjadi undang-undang.
Pasal 22

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak


menetapkan peraturanpemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Dari norma pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kekuasaan presiden


di bidangPerundang-Undangan sangatlah luas. Presiden turut berbagi kekuasaan
dengan lembaga legislatif dalam membuat Undang-Undang. Disamping itu,
Presiden berwenang membuat peraturan undangan sendiri baik atas dasar
kewenangan mandiri maupun yang didasarkan pada pelimpahan dari suatu
Undang-Undang.Kewenangan mandiri dalam membentuk peraturan perundang-
undangan ada yang bersifat normal atau biasa dan ada pula yang bersifat tidak
normal atau luar biasa. Jadi lahirnya presiden mempunyai peran yang besar
dibalik lahirnya beberapa produk legislasi yang bermasalah seperti yang
dijelaskan sebelumnya

B. Tidak adanya Political Will untuk Menyelesaikan Kasus HAM Masa


Lalu

Selanjutnya adalah permasalahan dalam penyelesaian kasus-kasus


pelanggaran HAM masa lalu yang mandek dan seolah jalan di tempat pada era
Jokowi. Pemerintah seolah tidak serius menuntaskan kasus dugaan pelangaran
HAM masa lalu dan terkesan mengabaikan hak-hak korban. Padahal
menuntaskan kasus HAM masa lalu merupakan salah satu janji kampanye
Jokowi, namun faktanya pemerintah hanya berkutat pada wacana belaka. Hal ini
menandakan adanya impunitas yang kuat dengan mengabaikan pengusutan
kasus. Setidaknya berdasarkan penyidikan pro justisia Komnas HAM masih
terdapat sembilan kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu yang masih belum
terselesaikan.

Bukan hal yang baru, sebelumnya Jokowi pernah berjanji untuk menuntaskan
kasus-kasus tersebut dan masuk dalam Nawacita Pemerintahan Jokowi-JK,
namun hingga masa jabatan berakhir hasilnya nihil, tidak ada satu pun kasus
yang menemui titik terang. Errare Humanum Est, Trupe In Errore
Perseverare. Sehingga dapat disimpulkan penuntasan kasus pelanggaran HAM
berat masa lalu hanya dijadikan sebagai wacana pencitraan dan alat komoditi
politik untuk mendapatkan jabatan.

Terbaru justru Jokowi diketahui akan membentuk Unit Kerja Presiden untuk
Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat melalui
Mekanisme Nonyudisial (UKP- PPHB). Pembentukan itu rencananya akan diatur
dalam Perpres yang saat ini rancangannya masih dalam pembahasan. Dalam
Draft R-perpres bagian konsideran menimbang ditRulis bentuk mekanisme
nonyudisial yang dimaksud adalah "upaya pemulihan dan rekonsiliasi" yang
bertujuan "mewujudkan perdamaian dan kesatuan bangsa." Namun faktanya R-
Perpres UKP- PPHB ditolak oleh para keluarga korban karena hanya akan
memperkuat impunitas dan hanya akan menyelamatkan para pelaku dari jeratan
pidana. Bahkan penyusunan draft R-Perpres tersbut tidak melibatkan pihak
korban maupun masyarakat sipil, sehingga patut dicurigai instrument hukum
tersebut hanya akan menjauhkan pihak korban dari keadilan substantif.

Draft aturan UKP-PPHB dianggap sebagai upaya lepas tangan pemerintah


untuk melakukan mekanisme pengungkapan kebenaran (truth seeking) sesuai
yang diharapkan pihak korban dan masyarakat sipil. Pun secara peraturan
pembentukan perundang-undangan Perpres tersebut jika disahkan nantinya akan
bermasalah karena tidak dibentuk berdasarkan Undang- Undang. Terlebih
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi sudah dibatalkan MK. Artinya pembentukan perpres tersebut patut
dicurigai sebagai penyelundupan hukum dan bentuk pengingkaran pemerintah
terhadap hak-hak korban.
Dengan tidak adanya political will dari pemerintah untuk menuntaskan
pelanggaran HAM Berat masa lalu maka sangat pantas jika dibidang ini Jokowi
diberikan nilai rendah jauh dari standar yang diharapkan korban dan masyarakat.
Karena faktanya pasca reformasi hingga saat ini tak ada kemajuan signifikan
yang dilakukan negara dalam menjalankan kewajibannya untuk mengungkap
kebenaran, penegakan hukum dan reformasi kelembagaan untuk penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu.

C. Kemunduran Pemberantasan Korupsi

Dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, keberadaan lembaga


antikorupsiyang bertindak secara agresif dan memiliki kinerja yang baik sering
kali dilihat sebagai ancaman terhadap keseimbangan politik nasional. Hal
tersebut membuat lembaga-lembaga antikorupsi dipaksa melunakkan diri, lebih
luwes serta keberadaannya “tidak mengancam” pergerakan pasar dan bisnis
nasional. Di Indonesia, aktor-aktor demokrasi yang telah dibesarkan dalam
sistem ekonomi- politik yang korup dengan bebas dapat bekerjasama dengan
kepentingan- kepentingan bisnis yang secara alami digerakkan oleh profit
oriented behaviour.
Pihak-pihak yang diharapkan mampu menjadi mitra pendukung hadirnya tata
kelola pemerintahan yang bersih, termasuk partai politik, lembaga penegak
hukum hingga presiden sekalipun, mengalami pembusukan, pelemahan
komitmen, hingga bernegosiasi dan melakukan penyesuaian dengan tarik ulur
kepentingan di sekitarnya. John S.T. Quah menyatakan bahwa pemberantasan
korupsi akan selalu membutuhkan dukungan dari presiden, perdana menteri,
kanselir, atau pimpinan politik tertinggi suatu negara Keberpihakan dan
dukungan yang memadai dari pemimpin politik tertinggi akan memberikan
proteksi dan perlindungan yang memadai bagi lembaga dan aktor-aktor
antikorupsi, baik dalam konteks keselamatan jiwa, kelancaran investigasi,
ketersediaan sumber daya logistik, efektivitas sistem pencegahan, hingga
pendanaan lembaga antikorupsi. Without political will of the top political
leader, anti- corruption is nothing
Sistem yang korup tersebut tercermin dengan keberadaan KPK seolah selalu
dianggap merepotkan dan mengancam oleh para stakeholders politik di negeri ini
diama saat negara membutuhkan taring dan kuku tajam KPK untuk menerkam
lawan dan kompetitor politik mereka, penguatan KPK dioptimalkan. Penguatan
tersebut dijalankan untuk mendapatkan figur-figur kuat, sangar, agresif dan tak
gentar oleh kekuasaan. Namun pada realisasinya, saat KPK dianggap
merepotkan, figur-figur yang “slow” justru ditempatkan sebagai nahkoda KPK.
Karena itu, tidak relevan lagi menilai KPK sebagai lembaga super-power. Hal
tersebut berimplikasi pada kinerja KPK yang hanya akan berorientasi pada
kepentingan golongan tanpa memandang integritas KPK sebagai lembaga
antikorupsi.
Presiden Joko widodo pernah menjanjikan bahwa akan memperkuat sistem
dan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia. Penguatan tersebut termasuk
dalam sembilan agenda prioritas dalam Nawacita Jokowi-JK pada Pilpres 2014.
Janji terkait antikorupsi itu ada di poin nomor 4 bahwa “Kami akan menolak
negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum
yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya”. Selanjutnya pada Pilpres
2019, Presiden Joko Widodo kembali memberikan janji terkait pemberantasan
korupsi di dalam visi beliau nomor enam yang berbunyi “Penegakan sistem
hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya”. Namun, janji-jani
tersebut perlu
dilihat kembali realisasinya. Pada implementasinya janji-janji tersebut
melenceng jauh dari apa yang diharapkan dan dapat dikatakan bahwa Presiden
Jokowidodo sebagai pemimpin tertinggi negara Indonesia telah ingkar janji atas
apa yang beliau sampaikan pada saat kampanye pemilihan Presiden. Hal tersebut
dapat dilihat dengan adanya beberapa kasus dan sikap negara dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Di era Jokowi lah revisi undang-undang KPK disahkan padahal revisi
Undang-Undang KPK malah menggembosi kewenangan dan independensi KPK
sebagai lembaga antikorupsi. UU KPK No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 19/2019), sudah menuai kontroversi
sejak awal pembahasannya. Revisi tersebut bukan saja merusak independensi
KPK, karena menempatkan KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif, tetapi
juga merusak mekanisme internal penindakan korupsi di KPK. Dalam segi
penindakan, revisi UU KPK telah menunjukkan caruk maruknya substansi yang
ada di dalamnya. Hal tersebut terlihat dalam kasus operasi tangkap tangan
terhadap Wahyu Setiawan, Komisioner KPU 2017-2022.
Perkara yang juga melibatkan buronan KPK, politikus PDIP Harun Masiku,
telah menunjukkan betapa rumitnya proses perizinan untuk melakukan
penggeledahan. Alhasil, hingga saat ini, KPK tak kunjung melakukan
penggeledahan di Kantor PDIP dan gagal menangkap kembali Harun Masiku.
Kegagalan tersebut buntut adanya keberadaan Dewan Pengawas sebagai organ
baru dalam UU 19/2019 yang malah memperlambat kinerja penindakan KPK.
Hambatan tersebut bukan saja terjadi pada perkara Wahyu Setiawan-Harun
Masiku, tapi juga perkara lain yang mengharuskan proses yang cepat dalam
keadaan mendesak.
Tidak lepas dari ingatan kita revisi UU KPK yang menyebutkan bahwa
seluruh pegawai KPK beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) telah
meruntuhkan independensi kepegawaian KPK. Dengan mekanisme
pengangkatan pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang
dimana terdapat unsur SARA dalam soal pertanyaan di dalamnya dan sarat akan
konflik kepentingan yang menunjukkan bahwa persoalan kompetensi, integritas
dan antikorupsi bukan menjadi prioritas pada pengujian tersebut. Kebijakan
TWK diduga merupakan upaya terselubung yang didorong oleh Ketua KPK, Firli
Bahuri, melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021
(Perkom 1/2021). Padahal, dalam Korupsi UU 19/2019 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi
Pemberantasan Tindak Korupsi Korupsi Menjadi Aparatur Sipil Negara (PP
41/2020) tidak ada klausul mengenai TWK. Terlebih, putusan Mahkamah
Konstitusi juga sudah menegaskan bahwa peralihan status kepegawaian KPK
menjadi ASN tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK. Selain itu, adanya
unsur kesengajaan dan paksaan agar hasil TWK dijadikan dasar untuk
memberhentikan puluhan pegawai KPK itu juga melanggar UU
Ketenagakerjaan. Tentu seluruh regulasi itu harus dipatuhi oleh KPK sebagai
lembaga negara dengan tidak mengakomodir hasil TWK.

Peralihan status kepegawaian menjadi ASN ini sebenarnya melanggar prinsip


awal pembentukan KPK. Dengan konsep ASN tersebut sudah barang tentu akan
mengganggu prinsipindependensi. Hal ini telah diatur secara rinci dalam United
Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dan Jakarta Statement on
Principles for Anti-Corruption Agencies bahwa salah satu syarat Lembaga
Antikorupsi adalah memiliki pegawai independen. Jadi, baik alih status sebagai
ASN maupun TWK telah bertentangan dengan banyak regulasi, baik hukum
positif Indonesia maupun kesepakatan-kesepakatan internasional. Peralihan
status kepegawaian menjadi ASN melalui TWK sebagai suatu ukuran
(measurement), mengakibatkan seseorang kehilangan pekerjaan karena
menyatakan suatu pendapat dalam proses seleksi sehingga bertentangan dengan
prinsip non-
diskriminasi dalam Discrimination (Employment and Occupation) Convention
1958.

Prinsip non-diskriminasi merupakan salah satu turunan dari prinsip perlakuan


yang layak dan adil dalam hubungan kerja. Terlebih, pada kenyataannya terdapat
indikator yang digunakan dalam TWK seperti pandangan terhadap revisi UU
KPK, keharusan untuk patuhan terhadap pimpinan yang memerintahkan untuk
mengintervensi penanganan kasus korupsi, penolakan terhadap calon pimpinan
yang bermasalah secara etik serta indikator lain yang justru bertentangan dengan
semangat Pasal 3 UU Nomor 19/2019 yangmasih menekankan indepedensi KPK.
Presiden Jokowi juga bertanggung jawab atas polemik KPK, sebab persoalan
KPK merupakan buah kebijakan Presiden yang telah memilih Pimpinan KPK
kontroversi seperti Firli Bahuri dan regulasi yang mengakomodir alih status
kepegawaian KPK melalui UU 19/2019. Jadi, segala persoalan yang timbul
akibat dari kekeliruan kebijakan politik hukum pemberantasan korupsi itu mesti
diletakkan sebagai tanggungjawab dari Presiden.
Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah bahwa Presiden Jokowid
dalam masa kepemimpinannya gagal dalam mewujudkan penguatan lembaga
penegak hukum pemberantasan korupsi. Janji-janji dan visi yang beliau
sampaikan selama kampanye nampaknya hanyalah bualan semata melihat realita
yang terjadi sekarang ini. Dengan adanya polemik pelemahan KPK,
membuktikan bahwa terjadi problematika sistem hukum dimana Legal Substance
(Substansi Hukum) dan Legal Structure (Struktur Hukum) mengalami
ketidaksinambungan dengan prinsip pemberantasan korupsi.
Produk hukum yang diharapkan mampu menguatkan KPK sebagai lembaga
pemberantasan korupsi yang independen, namun haltersebut bertolak belakang
dengan subsntasi yang diundangkan yang justru malah membatasi kewenangan
dan menghilangkan independensi KPK. Ketidaksinambungan tersebut semakin
tampak dengan adanya struktur hukum dalam hal ini Pimpinan KPK yang
terindikasi kuat membawa kepentingan politik dan berimplikasi pada arah gerak
dan integritas KPK dalam upaya menciptakan birokrasi yang bersih dan jauh dari
KKN. Seharusnya Presiden sebagai memiliki komitmen yang kuat, karena
komitmen Presiden merupakan faktor yang sangat penting dan sangat
menentukan bagi kesuksesan maupun kegagalan agenda antikorupsi.
BAGIAN II

BIDANG ENERGI, PANGAN, SUMBER DAYA ALAM, DAN


LINGKUNGAN HIDUP

A. Meningkatnya Impor Migas


Ketahanan energi menjadi isu esensial yang menjadi public discourse bukan
hanya saat ini namun juga beberapa waktu kebelakang dan mungkin akan menjadi
isu yang terus dibahas ketika permasalahan ini tidak segera menemui titik terang.
Bukan tanpa dasar ketika isu mengenai ketahanan energi menjadi persoalan serius
yang harus dihadapi, mengingat sektor energi baik berupa minyak, gas, maupun
olahan lainnya merupakan sarana primer saat ini dalam memenuhi kebutuhan
industri komersial hingga rumah tangga. Salah satu persoalan yang menjadi
perbincangan hangat terkait ketahanan energi adalah “kecanduannya” Indonesia
dalam mengimpor Liquified Petroleum Gas (LPG), data yang dirilis oleh
Handbook of energy & economic statistics of Indonesia, Kementerian ESDM
pada tahun 2019 menunjukkan sejak tahun 2014 produksi LPG Indonesia tidak
pernah tembus dari 2 juta ton, padahal konsumsi LPG Indonesia sejak 2014 selalu
mengalami kenaikan mencapai angka 9 juta ton, akibatnya impor besar-besaran
akan LPG menjadi pilihan untuk mencukupi kebutuhan tercatat periode 2019
impor LPG menembus angka 14 juta ton pertahun. Masih dari sumber yang sama,
dalam kurun waktu satu tahun Indonesia bisa mengimpor LPG lebih dari US$ 3
miliar. Artinya, dengan asumsi kurs Rp 14.000/US$ maka RI harus merogoh
kocek sekitar Rp 42 triliun untuk mendatangkan LPG dari luar negeri.
Inilah yang menjadi penyebab tekornya neraca dagang migas RI.
Konsekuensi lanjutannya adalah bengkaknya transaksi berjalan yang memicu
depresiasi nilai tukar rupiah terhadap greenback. Di sisi lain, LPG merupakan
salah satu bahan bakar yang disubsidi oleh pemerintah. Angka subsidi LPG dari
APBN juga terus membengkak. Bahkan pada 2018 pemerintah menggelontorkan
Rp 64 triliun untuk subsidi LPG. Dalam kalkulasinya, kementerian ESDM
memproyeksikan bahwa impor juga akan terus terkerek naik. Selama kurun waktu
empat tahun ke depan, konsumsi LPG nasional diproyeksikan bakal menyentuh
angka nyaris 12 juta ton,
meningkat hampir 36% dari tahun 2019. Impor juga akan melonjak menjadi 10,01
juta ton atau meningkat 46,3% dibanding 2020. Bahkan dalam perhitungannya
kementerian ESDM merincikan bahwa rasio impor LPG terhadap kebutuhan LPG
dalam negeri pada tahun 2024 akan tembus 83% atau naik sekitar 6% dari tahun
ini. Angka tersebut tentu akan semakin membebani APBN ditengah resesi
ekonomi global saat ini. Sementara disisi lain LPG sendiri merupakan salah satu
kebutuhan dasar masyarakat bahkan hingga lapisan bawah, akan menjadi
konsekuensi logis ketika nilai dan volume impor terus naik sedangkan tidak
adanya jaminan perlindungan pemerintah dalam melindungi masyarkat akan
potensi naiknya harga LPG maka tidak menutup kemungkinan beban tersebut
akan disandarkan kepada masyarakat secara langsung.
Persoalan dalam bidang energi tidak hanya meliputi bagaiaman ketersediaan
dan pengelolaan energi yang ada namun juga bagaimana akses masyarakat
terhadap energi tersebut. Secara normative yuridis dalam amanat konstitusi Pasal
33 Ayat 3 dijelaskan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Amanat tersebut mendudukkan bahwa kekayaan alam dalam
hal ini termasuk energi yang terkandung dalam bumi Indonesia haruslah
dimuarakan pada kesejahteraan rakyat tanpa terkecuali. Sehingga menjadi sebuah
kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhi amanat norma tertinggi tersebut
bahwa masyarakat haruslah memiliki akses yang berkeadilan terhadap energi
yang ada. Namun sepertinya amanat tersebut hanya terkurung dalam dimensi
pemahaman dan jauh dari implementasi, dalam tulisannya Maxensius Tri
Sambodo seorang peneliti senior dari LIPI menuturkan bahwa masyarakat
Indonesia masih kekurangan energi listrik dan energi bersih untuk memasak.
Upaya untuk mengatasi persoalan tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh
pemerintah tapi penelitian saya menemukan bahwa upaya itu sebenarnya belum
berhasil karena tidak memenuhi standar dunia. Sejak tahun 2017, pemerintah
telah membagi-bagikan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi atau LTSHE bagi
masyarakat di pedesaan yang belum mendapatkan akses listrik Paket LTSHE
mencakup tenaga surya dengan kapasitas 20-watt, 4 lampu hemat energi, bateri,
biaya instalasi, dan jasa pelayanan purna jual selama
tiga tahun. Saat ini, pengguna LTSHE sudah mencapai 360.429 rumah tangga.
Sayangnya, LTSHE belum memenuhi standar yang diharapkan oleh Badan Energi
Dunia. Ini karena LTSHE hanya sebatas memberikan penerangan dan pengisian
daya telepon genggam, belum mampu digunakan untuk peralatan elektronik
lainnya, seperti radio, televisi, kipas angin, dan kulkas. Hal ini karena rata-rata
konsumsi listrik per per tahun per keluarga pengguna LTSHE baru sekitar 389
kWh, masih jauh di bawah standar dari Badan Energi Dunia 1.250 kWh per
rumah tangga. Akibatnya kondisi kesenjangan besaran konsumsi energi kian
melebar12.
Oleh sebab itu, pemerintah mengatakan program ini sebagai ‘pre-
electrification’, kondisi transisi sebelum mendapatkan listrik yang layak atau
pantas. Meski demikian, ratusan ribu pengguna LTSHE masuk dalam kategori
rumah tangga berlistrik tanpa memperhatikan keberlanjutan dan kualitas dari
akses dari program tersebut. Hal tersebut dapat dipahami bahwa dalam
menciptakan pengelolaan dan pendistribusian energi yang berbasis keadilan
paradigma yang diusung bukanlah hanya soal tersedia atau tidak tersedia tapi juga
menyangkut keberlanjutan serta kualitas dari energi yang disediakan itu.
Paradigma yang tidak lengkap atau bahkan keliru seperti yang dilakukan
pemerintah dalam program LTSHE nya pada akhirnya justru akan menimbulkan
beban baru atau kesia-sian program tersebut.
Belum lagi terkait persoalan minimnya akses energi bersih dan berkualitas
untuk memasak. Merujuk data yang dimuat dalam the conversation pada tahun
2018, memperlihatkan hampir 30% desa di seluruh Indonesia atau lebih dari
25,000 desa, masih menggunakan kayu bakar. Hingga saat ini, desa-desa tersebut
tidak memiliki akses energi bersih, misalkan untuk beralih ke listrik, gas, ataupun
biogas untuk desa-desa tersebut. Hal ini sejatinya merupakan kompleksitas dari
berbagai permasalahan mulai dari daya beli masyarakat yang rendah, infrastruktur
pendistribusian yang minim, bahkan tidak tersedianya pasokan energi bersih itu

12
Maxensius Tri Sambodo. Riset: Masyarakat Indonesia mash kekurangan energi listrik dan energi
bersih utuk memasak. Riset: Masyarakat Indonesia masih kekurangan energi listrik dan energi
bersih untuk memasak (theconversation.com)
sendiri. Hadirnya pemerintah melalui berbagai badan atau lembaga yang bekerja
disektor energi seharusnya mampu untuk mendorong terciptanya akses energi
yang berkeadilan sebagai bentuk pelaksanaan amanat konstitusi dan bagian dari
upaya pembangunan kualitas sumber daya manusia. Uraian diatas secara
sederhana menunjukkan bahwa carut marutnya ketersediaan dan pengelolaan
energi sebagai sektor esensial yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak
menunjukkan akan kegagalan pemerintah dalam menjamin ketersediaan energi
serta akses energi yang berkeadilan bagi masyarakat dengan tetap meperhatikan
aspek kualitas dan keberlanjutan.

B. Masalah Ketahanan Pangan Masyarakat


Isu kedua adalah mengenai pangan, selain ketahanan energi ketahanan
pangan menjadi salah satu bidang primer dalam menjamin pemenuhan kebutuhan
konsumsi dan kesejahteraan masyarakat. Indonesia sebagai negara dengan tingkat
heterogenitas tinggi serta kondisi geografisnya yang sangat beragam mulai dari
pegunungan, dataran luas, hingga kepulauan menjadikan kondisi sosio-kultural
masyarakat Indonesia dalam berbagai keberagaman. Termasuk dalam hal pangan,
antara satu komunal dengan komunal yang lain memiliki konsumsi jenis pangan
yang berbeda karena disesuaikan dengan kondisi geografis tiap daerahnya. Fakta
tersebutlah yang menunjukkan kekayaan Indonesia akan berbagai sumber daya
pangan dengan didukung kondisi geologis yag sangat subur. Namun menjadi
sebuah paradoks ketika negara sebesar Indonesia dengan kekayaan alam
melimpah serta tanahnya yang subur masih belum mampu menjamin ketahanan
pangan masyarakatnya. Dilansir dari IDXChannel dalam rilis “Economy Outlook
Ketahanan Pangan di Indonesia” setidaknya ada 5 faktor yang mengakibatkan
mengapa ketahanan pangan di Indonesia begitu sulit untuk dicapai diantaranya13:

13
Ferry Sandi. 76 Tahun Merdeka RI Masih terbelenggu impor pangan. 76 Tahun Merdeka, RI
Masih Terbelenggu Impor Pangan Ini (cnbcindonesia.com)
a. Peningkatan permintaan pangan yang berasal dari pertumbuhan jumlah
penduduk,
b. Urbanisasi yang berimplikasi pada rendahnya produktivitas pertanian di
pedesaan,
c. Meningkatya harapan peningkatan kualitas dari pangan,
d. Buruknya infrastruktur pertanian,
e. Mahalnya biaya produksi.

Kelima faktor tersebut yang pada akhirnya menjadi batu ujian atau tantangan
dalam menjaga ketahanan pangan baik dalam hal ketersediaan maupun dalam hal
kualitas pangan yang disediakan. Secara normative yuridis, pengaturan mengenai
pangan dapat dipahami melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan dimana dimuat didalamnya bahwa Pangan adalah kebutuhan dasar
manusia paling utama, karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak
asasi individu. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan
air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan
dan atau pembuatan makanan dan minuman.

Pemenuhan atas kebutuhan serta kualitas pangan menjadi aspek


fundamental dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas disisi lain
pemenuhan kebutuhan akan pangan memiliki peran penting dalam menjaga
kestabilan ekonomi, sosial dan politik. Secara historis sejenak melihat kebelakang
dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno yang akhirnya jatuh pada tahun
1965 salah satu penyebabnya adalah membumbungnya harga pangan, khususnya
beras hal ini ditandai dengan salah satu tuntutan Tritura saat itu yaitu tutunkan
harga-harga barang kebutuhan pokok. Selain itu pada masa pemerintahan presiden
Soeharto yang lengser pada tahun 1998 selain karena faktor politis tidak dapat
dipungkiri bahwa kesusahan masyarakat saat itu akan pemenuhan kebutuhan
energi dan pangan menjadi salah satu pendorong masyarakat menuntut presiden
Seharto lengser. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tataran historis pangan
memiliki
peranan penting dalam mendukung terciptanya kestabilan kehidupan berbangsa
dan bernegara, sehingga sudah menjadi konsekuensi logis ketika pemerintah
melalui lembaga-lembaga yang dimilikinya harus bekerja keras dalam menjamin
pemenuhan kuantitas dan kualitas pangan masyarakat Indonesia.

Namun nampaknya fakta berkata lain, merujuk pada laporan indeks


ketahanan pangan Kementerian Pertanian pada tahun 2019 menunjukkan bahwa
sebanyak 71 Kabupaten, 5 Kota, dan 6 Provinsi memerlukan prioritas penanganan
kerentanan pangan yang komperhensif. Permasalahan kerentanan pangan tersebut
diindikasikan juga terpaut dengan permasalahan lain seperti tingginya prevalensi
balita stunting, tingginya penduduk miskin, termasuk tingginya rumah tangga
tanpa akses air bersih. Masih dari data yang sama ketimpangan akses pangan
sangat terlihat di wilayah Indonesia timur, 2 provinsi dengan indeks ketahanan
pangan dibawah 6 persen yaitu Papua dan Papua Barat menjadi wilayah dengan
ancaman kerentanan pangan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan
pangan yang meliputi ketersedian, akses, dan kualitas menjadi isu serius untuk
segera ditangani terlebih dalam memastikan bahwa setiap lapisan masyarakat
Indonesia tidak ada yang kekurangan pangan.

Merujuk data lain yang dirilis oleh Global Food Security Index pada tahun
2019 menunjukkan bahwa terjadi kenaikan peringkat pembangunan ketahanan
pangan dari peringkat 65 pada tahun 2018 menjadi 62 pada tahun 2019. Namun
menduduki peringkat 62 dari 113 negara sejatinya bukanlah sebuah prestasi yang
dapat diagungkan, Indonesia masih menempati posisi menengah dalam hal
pembangunan ketahanan pangan, dengan jumlah penduduk dan wilayah Indonesia
yang sangat luas maka peningkatan usaha dalam membangun ketahanan pangan
dengan menjamin ketersedian, akses yang berkeadilan serta keamanan dan
kualitas pangan yang baik perlu untuk terus digalakkan.

Selain persoalan pemerataan pangan, isu ketersediaan pangan juga menjadi


bidang strategis untuk segera diselesaikan permasalahannya. Bertambahnya
jumlah penduduk berbanding lurus dengan bertambahnya jumlah pangan yang
harus
disediakan, namun disisi lain produktivitas pangan dalam negeri yang fluktuatif
dan tidak memberi jaminan akan memenuhi kebutuhan pangan nasional pada
akhirnya mengalihkan kebijakan pemerintah untuk melakukan impor kebutuhan
pangan. Data yang dirilis oleh BPS pada tahun 2021 menunjukkan bahwa pada
kuartal I impor tahun 2021 terjadi kenaikan impor gula sebesar 1,93 juta ton atau
42,96 persen dari tahun 2020, bahkan selama maret 2021 volume impor gula
lebih dari
700.000 ton selain itu dalam bahan pangan yang lain misalnya, pada kuartal I
2021 terjadi peningkatan impor daging sapi dari Brasil serta impor garam
sebanyak 379.910 ton atau naik 19,6 persen dibanding dengan kuartal I 2020,
demikian juga dengan impor kedelai yang meningkat hingga 22,43 persen dan
terjadi peningkatan pula pada impor jagung, bawang putih, serta adaya
peningkatan realisasi impor garam pada Maret 2021 ini terjadi peningkatan yang
mencapai 275 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Menjadi persoalan serius ketika negara dengan kekayaan alam melimpah


seperti Indonesia tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan pangan
masyarakatnya secara mandiri dan terus menggantungkan pemenuhan
kebutuhannya pada pasar impor. Dalam jangka panjang kebijakan tersebut tentu
bukanlah opsi terbaik karena menyandarkan kebutuhan pangan pada pasar dunia
yang tidak pasti berpotensi menimbulkan rasa ketergantungan terhadap pangan
impor serta perhatian terhadap potensi pangan dalam negeri semakin memudar.
Selain itu, menjadi sebuah paradoks ketika negara dengan kekayaan alam
melimpah, memiliki garis pantai yang terbentang luas, serta mayoritas
masyarakatnya yang bergerak dibidang agraris namun pada realitasnya
pemerintah tidak cukup mampu menjamin ketahanan pangan masyarkatnya secara
mandiri.

Selain soal ketersediaan dan akses pangan yang masih menuai berbagai
permasalahan, harga pangan juga menjadi bagian dari ketahanan pangan yang
tidak bisa dipisahkan. Menurut data yang dilansir oleh Pusat Informasi Harga
Pangan Strategis menunjukkan bahwa pada agustus 2021 terjadi kenaikan harga
beberapa komoditas pangan antara lain beras, telur, daging ayam, produk cabai,
hingga bawang putih. Untuk produk beras kualitas super mengalami lonjakan
harga
sebesar Rp 50 atau 0,38 persen menjadi Rp 13.050 per kilogram. Lalu untuk
produk telur ayam ras segar juga naik sebesar Rp 200 atau 0,77 persen, menjadi
Rp 26.050 per kilogram. Kemudian untuk produk bawang putih ukuran sedang
juga naik sebesar Rp 300 atau 0,97 persen menjadi Rp 31.100 per kilogram.
Produk cabai seperti cabai merah besar dan cabai rawit hijau juga harganya ikut
melambung. Harga rata-rata cabai merah besar kini dijual Rp 31.950 per
kilogram. Harga ini telah naik sebesar Rp 200 atau sekitar 0,63 persen. Hal serupa
juga terjadi pada komoditas cabai rawit hijau yang mengalami kenaikan sebesar
Rp 550 atau 1,39 persen menjadi Rp 40.150 per kilogram. Persoalan tersebut
semakin miris ketika ditengah pandemic Covid-19 dimana terjadi kesulitan
ekonomi yang dialami masyarakat diandai dengan turunnya daya beli dan
pendapatan masyarakat kelas bawah namun kebutuhan akan pangan tidak turun
dan cederung bertambah dan justru dibarengi dengan naiknya harga-harga pangan.

C. Kebijakan Pembangunan yang Mengancam Ekologis


Tata Kelola sumber daya alam menjadi salah satu isu strategis ditengah
gencarnya kampanye pemerintah dalam mendorong investasi dan pembangunan
infrastruktur. Jokowi dalam pidatonya di konferensi tingkat tinggi climate
adaption summit pada 25 januari 2021 lalu menyampaikan bahwa ada empat poin
penting guna menangani perubahan iklim: pertama, negara-negara harus
memenuhi kontribusi nasional bagi penanganan perubahan iklim (National
Determined Contribution); kedua, menggerakkan seluruh potensi masyarakat guna
menumbuhkan kesadaran dalam menangani perubahan iklim; ketiga, menguatkan
kemitraan global; keempat, melanjutkan pembangunan hijau. Namun yang
menjadi persoalan, sebagai pihak yang mengajak negara-negara lain dalam
memperbaiki krisis ekologi dan sumber daya alam apakah Indonesia sendiri sudah
cukup mampu atau konsisten dalam menjalankan point-point penting tersebut?
Dalam tataran historis, sejak era kemerdekaan sumber daya alam Indonesia
yang begitu melimpah menjadikan Indonesia sebagai target sasaran ekspansi
negara-negara kapitalis. Hal tersebut didorong selain karena melimpahnya sumber
daya alam Indonesia utamanya sumber daya alam ekstraktif seperti minyak bumi,
batu bara, gas, emas dll ketersediaan tenaga kerja yang murah dan paradigma
yang memandang bahwa Indonesia tidak cukup mampu mengelola sumber daya
alamnya sendiri pada akhirnya menjadikan eksploitasi besar-besaran terjadi pada
bidang sumber daya alam. Kemudian berlanjut hingga saat ini, permasalahan
sumber daya alam dan lingkungan masih menjadi persoalan yang terus marak
terjadi dan minim rasanya perhatian pemerintah akan hal tersebut.
Dalam Catatan Akhir Tahun 2020 Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA)
tercatat telah terjadi peningkatan konflik agraria selama pandemi Covid-19. Pada
periode April-September 2019, KPA mencatat ekonomi Indonesia tumbuh sebesar
5,01 persen dan konflik agraria hanya 133 kasus. Memasuki periode yang sama
pada 2020, ekonomi minus 4,4 persen, tapi konflik agraria mencapai 138 kasus.
Bahkan sepanjang 2020, KPA mencatat terdapat 241 kasus perampasan tanah dan
penggusuran di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 KK menjadi korban atas
hilangnya tanah seluas 624.272,711 hektar. Sektor Perkebunan menjadi penyebab
letusan konflik agraria tertinggi sebanyak 122 letusan konflik, kedua Sektor
Kehutanan (41), disusul Pembangunan infrastruktur (30), Bisnis properti (20),
Pertambangan (12), Fasilitas militer (11), Pesisir dan Pulau-pulau kecil (3) dan
Agribisnis (2).14
Fakta tersebut menunjukkan bahwa dewasa ini persoalan dalam bidang
sumber daya alam dan lingkungan masih begitu massif terjadi dan cenderung
meningkat. Hal tersebut semakin menjadi ironi ketika Jokowi dalam
pernyataannya bahwa ia mendambakan petani menjadi profesi yang
menyejahterakan sehingga menarik generasi muda. Sebab ia mencatat, profesi
petani masih didominasi kelompok usia 45 tahun ke atas, dimana jumlahnya
mencapai 71 persen sedangkan yang dibawah usia 45 tahun hanya 29 persen. Ia
juga berharap agar kelompok petani berperan dalam pengolahan pasca-panen;
berjibaku merancang manajemen pemasaran, menyiapkan kemasan produk,
hingga perdagangan produk lintas negara. Sehingga potensi pendapatan petani
menjadi lebih besar.

14
Dimas jarot bayu. KPA: Eskalasi konflik agraria di era Jokowi meningkat. KPA: Eskalasi
Konflik Agraria di Era Jokowi Meningkat - Nasional Katadata.co.id
Apa yang disampaikan oleh Jokowi jelas berbanding terbalik dengan fakta di
lapangan, ketika ia mengharapkan dan mendorong masyarakat untuk menekuni
profesi sebagai petani dan berharap agar sektor pertanian digerakkan pada arah
yang lebih modern namun political will itu seolah angin lalu yang setelah
diutarakan tidak jelas bagaimana implementasinya. Mengutip pendapat Sekretaris
Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai anjuran
Jokowi terdengar ironis. Sebab, pemerintah belum mampu meningkatkan
kesejahteraan hidup petani dan menyelesaikan berbagai persoalan terkait
pertanian, seperti ketimpangan penguasaan tanah, konflik agraria, penggusuran
lahan usaha tani, korporasi pertanian, impor pangan, impor benih, diskriminasi
berserikat, dan kemiskinan desa.15
Persoalan mengenai konflik agraria serta kesejahteraan petani merupakan
lingkup kecil dari kompleksnya permasalahan sumber daya alam dan lingkungan.
Dalam tataran legislasi misalnya, munculnya instrument yuridis yang berpotensi
nir-enviromental approach juga menjadi persoalan besar yang harus dihadapi.
Secara normative yuridis, konstitusi sebagai norma tertinggi mengamanatkan
melalui Pasal 33 Ayat 2, 3 dan 4 bahwa (2) Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
Prinsip tersebut dengan jelas mendudukkan bahwa negara harus memiliki
peran yang maksimal dengan berbasis pada kepentingan rakyat. Selain itu dalam
pembangunan ekonomi paradigma keadilan, berkelanjuran, berwawasan

15
Avit hidayat. Masifnya kerusakan lingkungan akibat tambang. Masifnya Kerusakan Lingkungan
Akibat Tambang - Berita Utama - koran.tempo.co
lingkungan juga menjadi aspek mutlak yang harus dipenuhi oleh pemerintah
sebagai organ yang berwenang. Namun dalam UU Minerba yang disepakati oleh
Pemerintah dan DPR tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa pemerintah
mencoba untuk lalai dan mengabaikan amanat konstitusi tersebut dan dengan jelas
mendukung eksploitasi tiada henti bagi perusahan-perusahan tambang perusak
lingkungan tanpa mempertimbangkan prinsip keadilan, berkelajutan, berwawasan
lingkungan dan kesejahteraan rakyat.
Begitu kompleksnya permasalahan dalam bidang sumber daya alam dan
lingkungan mulai dari produk legislasi yang justru mengamini terjadinya
kerusakan alam Indonesia hingga dalam tataran praksis maraknya konflik agraria
bahkan diantaranya mendegradasi keberadaan masyarakat adat menjadi persoalan
serius yang dihadapi diusia Indonesia yang ke 76 ini. 7 tahun sudah Jokowi
berkuasa sebagai presiden namun justru kian hari permasalahan dalam bidang
sumber daya alam dan lingkungan malah semakin menjadi-jadi, oleh karena itu
wajar rasanya ketika public menanti keseriusan pemerintah dalam menyelamatkan
sumber daya alam dan lingkungan serta memberikan penilaian bahwa
pembangunan yan selama ini dilakukan pemerintah hanyalah semu karena
menihilkan keselamatan sumber daya alam dan lingkungan.16

16
Lusia Arumningtyas. Menanti Keseriusan Pembenahan Tata Kelola Lingkungan pada Periode
Kedua Jokowi. mongabay.co.id
BAGIAN III

PENDIDIKAN, KESEHATAN, DAN KETENAGAKERJAAN

A. Komersialisasi Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang sangat vital dalam pembentukan sumber daya
manusia dalam mengembangkan potensi dan keterampilan untuk keperluan
individu dan masyarakat di masa yang akan datang. Menurut Aristoteles,
pendidikan adalah alah satu fungsi dari suatu negara, dan dilakukan, terutama
setidaknya, untuk tujuan negara itu sendiri. Negara adalah institusi sosial tertinggi
yang mengamankan tujuan tertinggi atau kebahagiaan manusia. Sebagaimana
sudah dimandatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI), salah satu tujuan bernegara adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti negara, dalam hal ini pemerintah,
harus mengambil peran besar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini
dikarenakan pendidikan adalah aspek dasar dalam pencapaian sektor
pembangunan baik pada sektor ekonomi, sektor politik, sektor hukum, sektor
sosial budaya, dan perangkat sektor lainnya yang berkaitan dengan pembangunan
kerakyatan dalam pelaksanaan pemerintahan kenegaraan.

Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi setiap warga negara telah
dijamin oleh konstitusi yaitu pada Pasal 31 ayat (1) dan (3) UUD NRI 1945 yang
memandatkan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar serta pemerintah wajib
membiayainya”. Selain itu terdapat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan
jaminan hak atas pendidikan. Pasal 60 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999) memperkuat dan
memberikan perhatian khusus pada hak anak untuk memperoleh pendidikan
sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya. Penegasan serupa tentang hak
warga negara atas pendidikan
juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003).

Di era rezim kepemimpinan Presiden Joko Widodo, bidang pendidikan


mengalami kemunduran dengan sering gonta-gantinya kebijakan mengenai
pendidikan yang diakibatkan adanya reshuflle kabinet. Selain itu permasalahan
pokok yang sangat dirasakan oleh segenap

elemen masyarakat yaitu adanya praktik privatisasi dan komersialisasi di


dalam dunia pendidikan, dimana hanya golongan menengah ke atas yang dapat
menikmati pendidikan layak dan bermutu serta mengesampingkan kesamaan hak
atas pendidikan yang dimiliki oleh golongan menengah ke bawah. Hal ini cukup
pelik mengingat bahwa pemerintah adalah pihak yang berkewajiban untuk
memenuhi hak konstitusi bangsa yang telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD
NRI 1945 dan ditegaskan kembali dalam Pasal 31 UUD NRI 1945 yang
menentukan bahwa “(1) tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; dan
(2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
nasional, yang diatur dengan undang-undang”.

Di tingkat perguruan tinggi, permasalahan pokok privatisasi dan


komersialisasi pendidikan dapat ditemui pada besaran Uang Kuliah Tunggal
(UKT) yang dibebankan kepada mahasiswa. Sistem UKT diatur dalam Peraturan
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 39 Tahun 2016 tentang
Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi Negeri di
Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dimana UKT
merupakan bagian dari Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang dasarnya menggunakan
sistem subsidi silang, yang artinya setiap mahasiswa yang memiliki kemampuan
ekonomi yang beragam dapat membayar beban UKT sesuai dengan kemampuan
finansialnya. Namun pada tataran pengimplementasiannya, terdapat missmatch
antara kondisi mahasiswa yang sebenarnya dengan data pokok sehingga berimbas
pada masuknya mahasiswa yang kurang mampu secara finansial ke kelompok
atau golongan UKT yang tinggi.

Ditambah lagi dengan adanya perubahan perguruan tinggi yang beralih


statusnya menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH).
Universitas yang berstatus PTN BH mempunyai otonomi yang lebih luas dalam
pengelolaan dan mencari dana dari masyarakat. PTN BH diperbolehkan untuk
menentukan sendiri sistem biaya pendidikan tingginya tanpa melalui penetapan
Menteri. Di dalam PTN BH, pungutan yang mereka lakukan tidak disetor ke kas
negara (karena memiliki otonomi pengelolaan dan kekayaan yang dipisahkan dari
negara). Hal tersebut mengindikasikan terjadinya pungutan di luar standar layanan
perguruan tinggi (pungli). Tidak adanya tanda terima yang sah, dan pungutan
yang dilakukan tidak ada dalam standar layanan yang idealnya hal tersebut
diketahui mahasiswa beserta biaya-biayanya merupakan salah satu dampak
apabila perguruan tinggi diberikan otonomi sendiri dalam mengelola dana
sehingga perguruan tinggi seakan hilang arah dalam tujuannya memberikan
kualitas pendidikan yang baik dengan biaya yang terjangkau. Dampak dari adanya
komersialisasi pendidikan tinggi ini berimbas pada mahalnya biaya pendidikan.
Menurut survei HSBC (Hongkong and Shanghai Banking Corporation) pada
tahun 2018 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 13 negara dengan
biaya pendidikan termahal di dunia.

Perguruan tinggi acap kali dijadikan oknum-oknum tertentu untuk


meningkatkan elektabilitasnya. Hal tersebut dapat kita lihat dengan beberapa
kasus praktik pemberian gelar doktor HC (Honoris Causa) yang cenderung
transaksional, sebagaimana penelusuran TEMPO beberapa waktu yang lalu bahwa
banyak elit politik yang mendapatkan gelar tersebut tanpa dasar pertimbangan
yang jelas. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai prestise yang dimiliki oleh
perguruan tinggi. Universitas yang kehadirannya sebagai penerang dari kegelapan,
komunitas kaum intelektual, pembela demokrasi dan kemanusiaan dari
diktatorisme dan otoritarianisme kekuasaan serta tempat menyuarakan kebenaran
dan pembawa perubahan bukan justru sebaliknya. Bukan tempat untuk
mendamba kekuasaan,
memperjualbelikan gelar kehormatan dan melanggengkan kezaliman serta
kebodohan yang menindas kemanusiaan.

Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang sampai sekarang ini belum mereda
di Indonesia, Kemendikbud mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional
Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, namun pada implementasi UKT yang dialokasikan
ke dalam instrumen Biaya Langsung tidak dapat dinikmati sepenuhnya oleh
mahasiswa karena kuliah tidak dilaksanakan secara luring. Padahal di masa
pandemi sekarang ini, merujuk pada Policy Brief: Education during COVID-19
and beyond bulan Agustus 2020 yang menjelaskan bahwa pandemi berdampak
pada resesi ekonomi dan secara tidak langsung pihak penanggung jawab biaya
mahasiswa (orang tua) juga terdampak. Dalam Pasal 9 ayat (4) Permendikbud No.
25 Tahun 2020 yang menjelaskan persoalan UKT, dalam hal mahasiswa, orang
tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa mengalami penurunan
kemampuan ekonomi, antara lain dikarenakan bencana alam dan/atau non-alam,
mahasiswa dapat mengajukan pembebasan sementara UKT, pengurangan UKT,
perubahan kelompok UKT atau pembayaran UKT secara mengangsur. Regulasi
ini tidak menjelaskan secara rinci mengenai skema keringanan UKT yang
diberikan dan berimbas pada implementasinya di lapangan. Kelengkapan
persyaratan administratif dalam keringanan UKT dinilai tidak menjamin
pengajuan keringanan diterima serta tidak dijelaskan secara rinci dalam hal
kriteria-kriteria orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa
yang dapat menerima keringanan

B. Carut Marutnya Penanganan Pandemi Covid-19

Sudah setahun lamanya Indonesia telah dilanda Pandemi Covid-19 namun


penanganan pandemi ini belum menunjukkan dampak yang progresif. Terhitung
pada 18 Agustus 2021, kasus positif virus corona (Covid-19) bertambah 15.768
sehingga jumlah total kasus positif Covid-19 sejak awal pandemi masuk mencapai
angka 3.908.247 kasus. Kasus kematian yang diakibatkan Covid-19 sejak Juli
2021 belum melandai hingga saat ini dengan catatan jumlah kematian 1.000 orang
per hari dalam kurun waktu beberapa minggu terakhir. Dengan adanya data
tersebut, patut dipertanyakan bagaimana keseriusan pemerintah dalam
menanggulangi dan memberantas virus Covid-19.

Melihat ke belakang, virus Covid-19 pada awalnya dianggap sebuah lelucon


oleh para pejabat negeri bahkan pada saat pertama kali kasus Covid-19
terkonfirmasi di Indonesia, tanggapan dari pemerintah seolah terus menyangkal
bahwa Covid-19 telah masuk ke Indonesia, hal inilah yang disebut Zizek sebagai
tahap denial atau penyangkalan. Dengan tidak bijak dan tanggapnya pemerintah
dalam menyikapi pandemi ini mengakibatkan Covid-19 telah menyebar dengan
cepat di Indonesia. Dengan penyebaran virus yang semakin masif, pemerintah
hingga kini mengeluarkan beberapa kebijakan, diantaranya:

1. Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19;


2. Kampanye #dirumahaja;
3. Perintah Melaksanaan Protokol Kesehatan;
4. Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB);
5. Wacana New Normal;
6. Larangan Mudik; dan
7. Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Namun, kebijakan-kebijakan tersebut belum membuahkan hasil yang


optimal. Sampai sekarang ini pemerintah terkesan buru-buru untuk memperoleh
pengakuan bahwa mereka berhasil menanggulangi pandemi Covid-19, yang pada
kenyataannya pemerintah malah mengesampingkan permasalahan-permasalahan
yang saat ini terjadi selama pandemi. Permasalahan tersebut dapat kita lihat antara
lain kontroversi penurunan testing dan tracing, adanya keputusan yang tidak
menggunakan indikator kematian, hingga adanya perpanjangan PPKM yang
berjilid-jilid. Permasalahan ini semakin kompleks, tatkala berlakunya kebijakan
kartu vaksinasi yang sampai detik ini pendistribusiannya belum merata.
Tingkat testing dan tracing yang menurun mengindikasikan bahwa
pemerintah mulai letih dalam menangani pandemi ini. Pada awalnya pemerintah
melalui Kementerian Kesehatan menerapkan kebijakan dimana pada satu kasus
positif akan dilakukan testing dan tracing terhadap 15 orang. Namun, lambat laun
kebijakan ini mulai melemah dengan tren penurunan kasus Covid-19 yang tidak
disertai dengan peningkatan jumlah testing dan tracing. Padahal konsep dari
kebijakan ini pada awalnya sangat baik, dimana jika semakin banyak jumlah
testing dan tracing maka semakin riil jumlah data penularan dengan kondisi
penularan sebenarnya di lapangan, dan juga peningkatan pemeriksaan di
masyarakat dilakukan untuk mendeteksi kasus-kasus baru yang mungkin belum
terungkap. Pemerintah beralasan kebijakan ini tidak dapat berjalan maksimal
karena kurangnya tenaga kesehatan dan juga banyak masyarakat yang menolak
untuk dilakukan proses tracing. Hal ini tentu menguntungkan pemerintah dimana
dapat mengklaim bahwa berhasil dalam usaha penurunan Covid-19, masyarakat
yang menolak untuk dilakukan test dan tracing dianggap memiliki kondisi
kesehatan yang normal atau dengan kata lain tidak terpapar virus Covid-19.
Padahal yang sebenarnya terjadi adalah mulai tidak maksimalnya pemerintah
dalam menerapkan kebijakan sehingga memunculkan gelombang baru
peningkatan Covid-19.

Permasalahan semakin pelik tatkala pemerintah mulai tidak


mempertimbangkan data kematian Covi-19 dalam mengevaluasi kebijakan PPKM
level 4 dan 3 di beberapa daerah yang mengisyaratkan bahwa dalam pelaksanaan
PPKM setelah tanggal 16 Agustus 2021, evaluasi tidak didasarkan pada angka
kematian Covid-19. Pemerintah berargumen bahwa dengan tidak validnya data
kematian harian, kebijakan PPKM yang diberlakukan pada suatu daerah dianggap
tidak tepat. Anggapan ini tentu saja merupakan salah satu blunder yang dilakukan
pemerintah, dimana pemerintah mengiyakan adanya kesalahan data dan
penginputan yang tidak benar yang seharusnya hal tersebut merupakan tugas dari
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dibentuk pemerintah. Hal ini
berimbas pada data kasus angka kematian Covid-19 tidak terinci dengan benar
dan jelas. Menurut pernyataan Lembaga Pemantau Independen terdapat 19.000
kematian yang merupakan selisih data pemerintah daerah dengan pusat. Dengan
pengabaian indikator kematian dalam proses evaluasi PPKM maka bukan hal
yang tidak mungkin kebijakan yang selanjutnya dapat terjerumus dengan
pengambilan keputusan dan perencanaan yang salah.

Kebijakan vaksinasi yang tidak terencana semakin menambah


kompleksnya permasalahan penanganan Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan data
Kementerian Kesehatan pada 12 Agustus 2021, menunjukkan jumlah masyarakat
yang sudah mendapatkan vaksin dengan dosis lengkap yaitu 26.144.162 orang
(12,55%) kurang 57,45% dari target yang ditetapkan yaitu sebesar 70%. Target
tersebut direncanakan rampung pada bulan November 2021. Pemberian vaksin ini
bertujuan untuk menciptakan herd immunity dan kekebalan komunal di
masyarakat. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan
kartu vaksin di dalam kegiatan masyarakat. Kartu vaksin yang di dalamnya juga
terlampir sertifikat vaksin menjadi salah satu syarat bagi masyarakat untuk
mengakses layanan publik (transportasi, pusat perbelanjaan, dll). Namun
kebijakan kartu vaksin ini dianggap merupakan salah satu bentuk ketidakadilan
sosial. Hal ini didasarkan pada penduduk yang memiliki penyakit penyerta
(komorbid) yang tidak dapat melaksanakan vaksinasi. Kekurangan stok vaksin
dan pendistribusiannya yang tidak merata juga mengakibatkan penduduk seperti
di daerah Banten, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat,
dan sebelumnya Jawa Tengah kesulitan dalam melaksanakan aktivitas bekerja
karena membutuhkan kartu vaksin yang dijadikan syarat untuk bekerja. Hal
tersebut menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam menerapkan kebijakan
kartu vaksin ini. Berbagai kebijakan kontroversial yang dikeluarkan pemerintah
semata-mata merupakan kebutuhan untuk segera melakukan pelonggaran aktivitas
di masyarakat, terutama sektor ekonomi. Sejak pandemi Covid-19 melanda
Indonesia sampai bulan Juli 2021, pemerintah sudah menggelontorkan dana
Penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC PEN) yang
menghabiskan biaya yang tidak sedikit yaitu Rp 885,28 triliun.
Kebijakan-kebijakan yang telah diambil pemerintah menunjukkan bahwa
dalam penanganan Covid-19 ini tidak ada perencanaan yang jelas. Sebab,
Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwasannya pemerintahan ini dikelola
tanpa kejelasan konsep penanganan pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo
juga memberikan arahan kepada Kementerian Kesehatan untuk menyiapkan peta
jalan (roadmap), apabila virus Covid-19 tak kunjung pergi dalam waktu lama.
Pemerintah akan segera menerapkan kembali konsep New Normal Tahap II atau
hidup berdampingan kembali dengan virus Covid-19. Dari kebijakan sebelum-
sebelumnya dapat kita lihat bahwa pemerintah hanya mengeluarkan kebijakan
yang hanya berjangka pendek dan hal tersebut juga menimbulkan kekhawatiran di
masyarakat yang dapat membawa mereka ke dalam labirin penanganan Covid-19
yang tak akan usai. Hal ini juga akan membahayakan keseluruhan aktivitas
masyarakat di berbagai bidang. Maka dari itu, pemerintah harus memikirkan
perencanaan jangka panjang dan matang yang tidak hanya memberikan
kebermanfaatan yang instan namun kebermanfaatan yang dapat dinikmati
selamanya.

C. Hak-hak Tenagakerja yang Kian diabaikan

Pada 5 Oktober 2020, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang kemudian
disusul dengan mengundangkan 51 aturan pelaksana UU Cipta Kerja yang terdiri
dari 47 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres). Dalam
peraturan turunan tersebut, terdapat 4 PP yang berkaitan dengan klaster
ketenagakerjaan. Namun, keempat PP tersebut menuai tanggapan negatif dari
masyarakat terutama kaum buruh. Empat PP turunan yang ditolak buruh yaitu PP
PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA), PP Nomor 35
tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu
Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), PP Nomor 36
tahun 2021 tentang Pengupahan, serta PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang
Jaminan Kehilangan
Pekerjaan. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai pengesahan
peraturan turunan tersebut tidak menghormati proses hukum yang ada dimana
proses judicial review atau uji formil dan uji materiil UU Cipta Kerja di
Mahkamah Konstitusi masih berlangsung. Adapun judicial review terhadap UU
Cipta Kerja yaitu sebanyak enam perkara pengujian yang diantaranya Perkara
Nomor 91/PUU- XVIII/2020, Perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020, Perkara
Nomor 105/PUU- XVIII/2020, Perkara Nomor 107/PUU-XVIII/2020, 4/PUU-
XIX/2021, dan Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021.

PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA), mekanisme


pengawasan terhadap TKA yang sebelumnya menggunakan surat izin tertulis dari
Menteri Ketenagakerjaan untuk bisa bekerja di Indonesia di dalam PP ini dihapus
dan digantikan dengan pengesahan dalam bentuk Rencana Penggunaan TKA
(RPTKA). Hal ini berimplikasi pada tidak adanya alat kontrol oleh negara
terhadap potensi banyaknya buruh kasar TKA yang akan masuk dan bekerja di
Indonesia sehingga dapat mengancam lapangan pekerjaan bagi buruh atau pekerja
lokal yang ada di Indonesia. Padahal di dalam konstitusi UUD NR1 1945
menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan
kehidupan yang layak.

Pada PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu


(PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) mendapat sorotan tajam dari masyarakat, pasalnya PP ini membuka
peluang adanya praktik oustourching. Dalam beleid PP ini PKWT berdasarkan
jangka waktu dapat dilaksanakan selama 5 tahun. Perusahaan dapat
memperpanjang PKWT yang sudah berakhir maksimal selama 5 tahun. Namun
dalam PP ini tidak mengatur periode perjanjian, hal tersebut berbeda dengan
Undan-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan) dimana PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu
dapat diadakan paling lama 2 tahun, perpanjangan maksimal 1 tahun, dan
pembaruan maksimal 2 tahun setelah melewati masa tenggang 30 hari. Dengan
perbedaan tersebut ketentuan yang ada pada PP 35/2021 ini berpotensi
menimbulkan durasi kerja yang panjang dan menyengsarakan buruh.
Mengenai alih daya atau outsourching, ketentuan dalam PP 35/2021 ini
dinilai merugikan buruh karena tidak adanya pembatasan dalam jenis kegiatan
yang dapat dialih dayakan yang sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan jenis
pekerjaan yang dapat diserahkan ke perusahaan lain sifatnya harus sifatnya harus
penunjang dan tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Hal ini
menegaskan bahwa dalam PP ini alih daya dapat dilakukan untuk semua jenis
kegiatan. Praktik outourching yang menyengsarakan buruh semakin nampak
tatkala ketentuan dalam UU Cipta Kerja dan PP 35/2021yang mengakomodir
jangka waktu istirahat panjang yang dapat dinikmati buruh serta kompensasi PHK
yang jauh lebih rendah dibandingkan kompensasi dalam UU Ketenagakerjaan.

PP Nomor 36 tahun 2021 yang mengatur tentang Pengupahan turut menuai


tanggapan negatif dimana dalam beleid PP ini menghapus upah minimum sektoral
sama halnya ketentuan di dalam UU Cipta Kerja. Hal tersebut menimbulkan
adanya ketidakadilan upah minimum yang diberikan antar industri sebab upah
minimum dipatok sama besarannya untuk seluruh sektor industri. Seharusnya,
perlu adanya pembedaan antara upah minimum bagi industri besar yang padat
modal ddengan industri kecil. Disisi lain, rumusan perhitungan upah minimum
yang rumit dan tidak riil, dimana seharusnya dalam perhitungan upah minimum
mengacu pada komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang terdiri berbagai
barang kebutuhan buruh setiap hari.

Permasalahan PP turunan UU Cipta Kerja juga dapat ditemukan dalam PP


Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan
Pekerjaan (JKP). Ketentuan yang ada pada PP ini dinilai akan mengurangi
manfaat buruh dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan
Kematian (JKM). Pasalnya, sumber pendanaan program JKP diambil dari
rekomposisi iuaran program JKK dan JKM yang akan memunculkan
kekhawatiran apabila dana yang dikelola untuk JKP tidak sanggup untuk
membayar klaim JKK dan JKM.

Regulasi yang tidak berpihak pada buruh serta kondisi pandemi yang
mencekik segala sektor di Indonesia menambah pelik kesejahteraan buruh di
negeri
ini. Menurut data dari Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) menyebutkan bahwa
terdapat 19,10 juta orang (9,30 persen penduduk usia kerja) yang terdampak
Covid-
19. Terdiri dari pengangguran karena Covid-19 (1,62 juta orang), Bukan
Angkatan Kerja (BAK) karena Covid-19 (0,65 juta orang), sementara tidak
bekerja karena Covid-19 (1,11 juta orang), dan penduduk bekerja yang mengalami
pengurangan jam kerja karena Covid-19 (15,72 juta orang). Walaupun terjadi
peningkatan di tahun 2021, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada
tanggal 7 Agustus 2021 merilis data angka pekerja yang terkena PHK mencapai
538.305 orang dengan rata-rata pekerja yang terkena PHK tiap bulannya sebanyak
76.900 pekerja. Apabila dikalikan 12 bulan maka jumlahnya mencapai angka
922.800 pekerja hingga akhir 2021. Angka tersebut melebihi proyeksi awal Badan
Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kemenaker yaitu
memproyeksikan pekerja yang terkena PHK hingga akhir tahun 2021 berjumlah
894.579 pekerja.

Kemenaker menyiasati permasalahan PHK buruh dengan memberikan


bantuan berupa subsidi gaji/upah bagi pekerja/buruh (BSU). Bantuan tersebut
diharapkan dapat mencegah terjadinya PHK akibat pandemi Covid-19. Dalam hal
ini korban PHK masih dimungkinkan untuk mendapatkan BSU selama BPJS
Ketenagakerjaannya masih aktif. Dana yang diberikan sebesar Rp 500.000 per
bulannya yang pencairannya dilakukan secara sekaligus sehingga dalam satu kali
pencairan maka pekerja atau buruh mendapatkan subsidi Rp 1.000.000.
BAGIAN IV

IDEOLOGI, PERTAHANAN DAN KEAMANAN

A. Kontroversi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila


Salah satu perhatian penting dalam masa kepemimpinan Presiden Joko
Widodo adalah memperkuat ideologi bangsa yaitu pancasila dalam menumpas
gerakan radikalis di Indonesia. Perwujudan janji kampanye Jokowi tersebut
akhirnya dimanifestasikan dengan mendirikan BPIP (Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila). BPIP didirikan dengan tujuan untuk membantu Presiden dalam
merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan
koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara
menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi
pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta
memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau
regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara,
kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan
komponen masyarakat lainnya17.
Akan tetapi pembentukan BPIP tersebut menuai kontroversi karena dinilai
hanya menjadi badan politis Pemerintahan saja. Hal ini bisa dibuktikan dengan
jabatan ketua dewan pengarah yang merupakan jabatan tertinggi dalam struktur
organisasi BPIP berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 201818 yang
dijabat oleh ketua partai politik yang berafiliasi kuat dengan Pemerintah yaitu
Megawati Soekarnoputri. Sebagai sebuah organisasi otonom yang merdeka dari
segala bentuk kepentingan politis, penunjukan Megawati sebagai dewan pengarah
sangat dipertanyakan lantaran bisa menimbulkan konflik kepentingan karena
dirinya juga seorang ketua partai politik yang memiliki pengaruh besar dalam
Pemerintahan. Seyogyanya jabatan penting tersebut harusnya diberikan kepada

17
Profil Badan Pembinaan Ideologi Bangsa. diakses dari
https://bpip.go.id/bpip/profil/440/profil.html
18
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Struktur Organisasi BPIP
orang yang sudah berkecimpung lama dalam penelitian ideologi pancasila dan
juga tidak terikat dengan jabatan politis tertentu. Selain polemik yang ditimbulkan
soal penunjukan dewan pengarah dalam struktur organisasi BPIP yang dinilai
syarat akan konflik kepentingan politis, sepak terjang BPIP ternyata juga
menimbulkan banyak kecaman di masyarakat karena kerap kali mengeluarkan
kebijakan yang kontroversi.
Pertama, yaitu ketika ketua BPIP yaitu Yudian Wahyudi pada tahun 2020
mengeluarkan statement yang menyebutkan bahwa agama merupakan musuh
pancasila19. Pernyataan ketua BPIP tersebut merujuk pada manuver kelompok
yang menggunakan istilah ijma’ ulama yang digunakan dalam kegiatan atau
kepentingan politik tertentu seperti dalam menentukan calon yang akan didukung
dalam kontestasi Pemilihan Presiden . Akan tetapi menurut pakar sosiologi hukum
dan filsafat pancasila yaitu Prof Suteki, pernyataan ketua BPIP tersebut
merupakan blunder besar karena bisa menimbulkan polemik dan memancing
keributan di masyarakat. Sehingga menurut Prof Suteki, Pemerintah seharusnya
membubarkan BPIP atau memecat Yudian Wahyudi sebagai ketua BPIP sebagai
buntut pernyataan kontroversi tersebut yang dinilai ahistoris karena pada faktanya
penyusunan pancasila pun juga melibatkan tokoh-tokoh agama20.
Kedua, yaitu terkait besaran gaji pejabat BPIP yang dinilai tidak masuk akal
dan berbanding terbalik dengan kinerja BPIP yang pada faktanya justru
menimbulkan banyak kontroversi. Besaran gaji pejabat BPIP diperinci dalam
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas
Lainnya Bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila. Adapun posisi dan besaran gaji atau hak keuangan pejabat BPIP
berdasarkan Perpres 42/2018 akan dijelaskan sebagai berikut :

19
Deden Gunawan (Feb, 2020). “Kepala BPIP Sebut Agama Jadi Musuh Terbesar Pancasila”.
diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4895595/kepala-bpip-sebut-agama-jadi-musuh-
terbesar-pancasila
20
Dedy Priatmojo (Feb, 2020). “Sebut Agama Musuh Pancasila, Kepala BPIP Ahistoris”. diakses
dari https://www.viva.co.id/berita/nasional/1263982-sebut-agama-musuh-pancasila-kepala-bpip-
ahistoris?page=all&utm_medium=all-page
a. Ketua Dewan Pengarah menerima hak keuangan sebesar Rp. 112.
548. 000, 00
b. Anggota Dewan Pengarah menerima hak keuangan sebesar Rp.
100. 811. 000, 00
c. Kepala menerima hak keuangan sebesar Rp. 76. 500. 000, 00
d. Wakil Kepala menerima hak keuangan sebesar Rp. 63. 750. 000, 00
e. Deputi menerima hak keuangan sebesar Rp. 51. 000. 000, 00
f. Staff Khusus menerima hak keuangan sebesar Rp. 36. 500. 000, 00
Dengan besaran gaji yang fantastis tersebut sangat wajar jika pada akhirnya
publik mempertanyakan kinerja pegawai BPIP yang sangat tidak sesuai dengan
besaran gaji dan fasilitas yang diberikan negara dan cenderung merupakan bentuk
penghambur-hamburan anggaran negara dalam APBN.
Ketiga, pada Mei 2020, BPIP kembali berulah saat menggelar konser amal
bersama MPR dan BNPB dengan tanpa menggunakan protokol kesehatan yang
ketat lantaran penyelenggaraannya dilakukan ditengah outbreak pandemi Covid-
19. Konser amal tersebut pada akhirnya disorot publik dan mendapat beragam
tanggapan negatif dari masyarakat karena dinilai mencontohkan perilaku yang
buruk dan tidak menunjukan empati terhadap masyarakat. Ditengah ancaman
gelombang outbreak pandemi Covid-19 di Indonesia, masyarakat sipil yang
kedapatan melanggar protokol kesehatan dihukum dengan denda dan kurungan
sedangkan para pejabat yang hadir didalam konser amal serta disiarkan live
hampir diseluruh TV nasional justru memberikan contoh yang sangat buruk
dengan tidak menaati segala bentuk protokol kesehatan yang digunakan untuk
meminimalisir penyebaran outbreak pandemi Covid-19 di Indonesia. Merespon
atas kejadian tersebut, pada akhirnya Ketua MPR yaitu Bambang Soesatyo
meminta maaf pada publik karena pada saat pegelaran konser amal tersebut tidak
menggunakan protokol kesehatan yang ketat21.

21
BPIP Masih Menjadi Kontroversi, Besaran Gaji, Hingga Lomba Hari Santri. diakses dari
https://fin.co.id/2021/08/18/bpip-masih-jadi-kontroversi-besaran-gaji-hingga-lomba-hari-santri/
Terakhir, kasus yang baru saja terjadi hari-hari belakangan ini yaitu terkait
kompetisi menulis artikel nasional yang diinisiasi oleh BPIP dalam menyambut
Hari Santri dengan tema ‘Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’ dan
‘Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam’. Dua tema yang
diajukan oleh BPIP dalam kompetisi menulis artikel nasional dalam menyambut
Hari Santri tersebut tentu menuai kontroversi dan cenderung mengarah pada
islamofobik dan provokasi lantaran tema tersebut seolah menggambarkan adanya
pertentangan antara islam dan pancasila22. Seharusnya BPIP lebih bijak dalam
memilih tema serta tidak perlunya antara agama dan pancasila dibenturkan satu
sama lain karena keduanya saling melengkapi. Membenturkan antara agama dan
pancasila pada akhirnya akan membuat BPIP mendapatkan minim simpati dari
masyarakat dan seolah hanya menjadi badan atau organisasi negara yang gemar
mengeluarkan kontroversi alih-alih mempromosikan nilai-nilai pancasila secara
sportif dan juga moderat.
Selain kontroversi BPIP, polemik Pemerintahan Presiden Jokowi dalam
bidang ideologi lainnya yaitu dengan wacana mengundangkan RUU Haluan
Ideologi Pancasila menjadi Undang-Undang. RUU HIP ini merupakan buah
usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat kepada Pemerintah. Draft RUU HIP
memuat 10 bab dengan rincian : Ketentuan Umum; Haluan Ideologi Pancasila;
Haluan Ideologi Pancasila sebagai Pedoman Pembangunan Nasional;
Haluan Ideologi Pancasila sebagai Pedoman Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi. Juga Haluan Ideologi Pancasila sebagai Pedoman Sistem Nasional
Kependudukan dan Keluarga; Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila; Partisipasi
Masyarakat; Pendanaan; Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup. Adapun
pasal-pasal dalam draft RUU HIP yang masih menjadi kontroversi dan polemik di
masyarakat antara lain terdiri dari :
a. Adanya konsep trisila dan ekasila dalam pasal yang diatur dalam draft
RUU HIP yang termaktub dalam bab II pasal 7 ayat (2) yang
berbunyi,

22
Kumparan (Aug, 2021). “Lomba Tulis BPIP Bertema ‘Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’
Dinilai Islamofobik”. diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/lomba-tulis-bpip-
bertema- hormat-bendera-menurut-islam-dinilai-islamofobik-1wKqgkydYJw/2
“Ciri pokok pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme,
sosio- demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan”. Dan juga
pasal 7 ayat (3) yang berbunyi, “Trisila sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong”. Banyak
pihak menyoroti bunyi pasal tersebut karena dianggap mencoba
mendegradasi ketentuan dan ketetapan yang sudah ada di pancasila
dan telah disepakati bersama oleh para founding fathers Indonesia.
Sehingga dalam kaitannya terhadap masalah tersebut lima sila yang
sudah termaktub didalam pancasila merupakan satu kesatuan yang
utuh dan tidak dapat dipisahkan apalagi diringkas kedalam trisila
maupun ekasila, walaupun dalam sejarah Bung Karno menyebut trisila
dan ekasila sebagai bentuk ringkasan dari lima sila pancasila agar
masyarakat mengetahui tentang apa itu pancasila yang merupakan
ideologi bangsa, akan tetapi tetap bahwa pancasila yang diakui secara
resmi adalah pancasila dengan lima butir silanya.
b. Tidak adanya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966
Tidak dimasukannya TAP MPRS/1966 Tentang Larangan Ajaran
Komunisme, Marxisme, dan Lenimisme yang oleh sebagian
masyarakat menganggap bahwa negara mengizinkan ideologi-ideologi
tersebut untuk hidup dan berkembang di Indonesia dan bisa menjadi
ancaman yang sangat serius bagi keberlangsungan ideologi pancasila.
Tidak adanya TAP MPRS/1966 didalam draft RUU HIP juga
mendapat penolakan dari dua ormas agama terbesar di Indonesia yaitu
NU dan Muhammadiyah serta beberapa fraksi partai di DPR 23.
Sehingga melihat respon dari berbagai masyarakat dan ormas agama
yang menolak beberapa ketetapan yang diatur dalam draft RUU HIP
akhirnya Pemerintah memutuskan untuk menunda pembahasan dan
merubahnya menjadi RUU BPIP. Perubahan RUU HIP menjadi RUU

23
Kompas.com (Jun, 2020). “Apa Isi RUU HIP yang Masih Tuai Kontroversi?”. diakses dari
https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/25/055000265/apa-isi-ruu-hip-yang-masih-tuai-
kontroversi?page=all
BPIP disampaikan secara langsung oleh Mahfud MD selaku Menko
Polhukam dan juga Puan Maharani selaku Ketua DPR pada bulan Juli
2020. Dalam penjelasannya RUU BPIP akan berbeda dengan RUU
HIP yang sebelumnya memuat pasal kontroversi seperti penafsiran
pancasila menjadi trisila dan ekasila. Selain itu juga dalam dfraft RUU
BPIP, Pemerintah juga akan kembali memasukan TAP MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 Tentang Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme,
dan Lenimisme. Hal tersebut dilakukan sebagai respon Pemerintah
terhadap penolakan yang terjadi terhadap draft RUU HIP sebelumnya
yang menimbulkan kontroversi di masyarakat 24. Pemerintah juga
berjanji bahwa dalam melakukan pengkajian dan pembahasan RUU
BPIP ini tidak dilakukan secara terburu-buru untuk meminimalisir
adanya penolakan yang serupa dengan RUU HIP sebelumnya.

B. Kontroversi Komponen Cadangan


Komponen cadangan yang selanjutnya disingkat komcad adalah Pasukan
Komponen Cadangan Militer yang dibentuk melalui dasar hukum Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk
Pertahanan Negara (PSDN) serta aturan pelaksanaannya yakni PP Nomor 3 Tahun
2021 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Dalam pasal 1
angka 9 UU PSDN dijelasakan bahwa yang dimaksud komponen cadangan adalah
sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi
guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama.
Dalam Pasal 28 UU PSDN, komponen cadangan terdiri dari warga negara,
sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional. Bagi
warga yang terlibat komponen cadangan, dianggap sebagai suatu pengabdian
dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela.

24
Bbc.com (Jul,2020). “RUU HIP : Pemerintah dan DPR sepakat ubah RUU HIP menjadi RUU
BPIP”. diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53426123
Sedangkan keterlibatan sumber daya alam hingga sarana dan prasarana
nasional dianggap sebagai pemanfaatan dalam usaha pertahanan negara. Pasal 30
Ayat (1) UU PSDN menyebut bahwa pengelolaan komponen cadangan dilakukan
melalui kegiatan: “a. Pembentukan dan penetapan; b. Pembinaan; serta c.
Penggunaan dan pengembalian.” Pasal 31 UU PSDN, menyebutkan bahwa
komponen cadangan dikelompokkan menjadi tiga matra atau tiga bagian. Yaitu
komponen cadangan matra darat, laut dan udara. Adapun syarat-syarat umum
pendaftaran komponen cadangan (komcad) yang tertuang dalam pasal 33 UU
PSDN adalah :” a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, b. Setia
pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Berusia
minimal 18 (delapan belas) tahun dan maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun; d.
Sehat jasmani dan rohani; serta e. Tidak memiliki catatan kriminalitas yang
dikeluarkan secara tertulis oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.” Calon
komponen cadangan yang lulus mengikuti latihan dasar kemiliteran diangkat dan
ditetapkan menjadi Komponen Cadangan yang dilaksanakan oleh menteri. Masa
pengabdian komponen cadangan yang tertuang dalam pasal 44 ayat (1), bahwa
masa pengabdian komponen cadangan pada saat mengikuti pelatihan penyegaran
dan pada saat mobilisasi. Adapun pembahasan mengenai komponen cadangan
dalam system pertahanan menjadi kontroversi dan menuai berbagai polemik
negatif akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Tidak Adanya Urgensitas Yang Mendesak Dalam Pembentukan
Komponen Cadangan
Salah satu yang menjadi konsideran daripada pembentukan komponen
cadangan ini antara lain tertuang pada Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pasal 1 ayat (6) yang
pada intinya menekankan pada aspek keamanan rakyat semesta
dengan dilibatkannya seluruh elemen masyarakat dalam upaya
mempertahankan keutuhan wilayah dari segala ancaman25. Komponen

25
Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
cadangan sendiri merupakan salah satu bentuk pengabdian dalam
bidang keamanan negara yang bersifat sukarela26, akan tetapi apabila
calon komponen cadangan dinyatakan lolos seleksi, maka diwajibkan
untuk mengikuti pelatihan dasar kemiliteran selama 3 bulan27. Setelah
calon komponen cadangan selesai melaksanakan pelatihan militer
selama 3 bulan, maka calon komponen cadangan tersebut akan
digunakan untuk perbantuan dalam melakukan mobilisasi. Dalam
melakukan mobilisasi, komponen cadangan tidak diperkenankan
menolak atau membuat alasan agar terhindar dari perintah mobilisasi
karena memenuhi panggilan mobilisasi adalah suatu kewajiban yang
harus dipenuhi oleh anggota komponen cadangan tanpa terkecuali 28.
Pembentukan komponen cadangan sebagai reformasi sektor
pertahanan pun perlu dipertanyakan. Terlebih setelah perang dunia I
dan II selesai terjadi perubahan paradigma pertahanan dan keamanan
negara dari yang sebelumnya bersifat national state security yang
menitikberatkan pada penggunaan angkatan bersenjata besar-besaran
dalam menghalau ancaman dari negara lain berubah menjadi sistem
human security yang menitik beratkan pada aspek perlindungan hak
setiap individu dalam sebuah negara khususnya tentang jaminan
penegakan HAM untuk setiap masyarakat dalam negara. Sehingga,
merujuk pada perubahan sistem keamanan national state security
menjadi human security, penambahan atau mobilisasi komponen
cadangan bukanlah langkah yang bijak. Justru apabila masyarakat sipil
diangkat menjadi anggota komponen cadangan dan dipersenjatai
lengkap dan dibiarkan saja dalam melakukan mobilisasi maka konflik
horizontal akan sering terjadi. Selain itu memakai jumlah atau alasan
pembentukan komponen

26
Lemhamnas, 2020, “Bela Negara adalah Roh Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta”.
diakses dari http://www.lemhannas.go.id/index.php/berita/berita-utama/841-bela-negara-adalah-
roh-sistempertahanan-keamanan-rakyat-semesta
27
Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019
28
Pasal 41 huruf g Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 yang didalamnya termaktub salah satu
kewajiban anggota komponen cadangan adalah memenuhi panggilan mobilisasi
cadangan dengan dalih sedikitnya jumlah militer yang aktif di
Indonesia juga merupakan hal yang salah atau tidak tepat. Merujuk
pada data Global Firepower tahun 2019, jumlah militer aktif di
Indonesia berada diurutan 12 di dunia dengan total 400.000 29 personel
militer aktif. Sehingga dengan banyaknya jumlah militer tersebut
apabila dimaksimalkan dengan baik maka jumlah tersebut lebih dari
cukup terlebih ancaman negara yang bersifat militer di era globalisasi
dan keterbukaan sekarang ini jarang terjadi dengan begitu
penambahan komponen cadangan dalam mendukung tugas TNI dalam
bidang pertahanan-keamanan sama sekali tidak diperlukan.
b. Cakupan Pengaturan Komponen Cadangan Terlalu Luas
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang PSDN,
pembentukan komponen cadangan disiapkan untuk dikerahkan
melalui mobilisasi guna memperbesar kekuatan dan kemampuan
komponen utama dalam menghadapi ancaman militer dan hibrida 30.
Penjelasan tentang ancaman hibrida dalam Undang-Undang ini tidak
disebutkan dengan jelas, sehingga menimbulkan konotasi yang multi-
tafsir karena tidak ada penjelasan yang konkret didalam
UndangUndang tentang apa dan seperti apa ruang lingkup dari
ancaman hibrida itu sendiri. Selain itu merujuk pada raison d’etre
militer pelibatan komponen cadangan seharusnya hanya digunakan
untuk urusan perang31. Akan tetapi pembatasan perlibatan komponen
cadangan dalam hal selain perang sesuai dengan prinsip raison d’etre
tidak diatur secara mendetail. Dalam pasal 4 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2019 hanya menyebutkan ruang lingkup keterlibatan
komponen cadangan yaitu dalam sektor ancaman militer, non-militer,
dan hibrida tanpa disertai adanya pembatasan tugas, sehingga hal
tersebut akan memunculkan kesewenang-wenangan para anggota
komponen cadangan untuk ikut

29
Global Firepower 2019: “Jumlah Personel Militer Aktif Indonesia di Peringkat ke-12 Dunia”.
30
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019
31
Samuel Huntington,"New Contingencies, Old Roles", Joint Forces Quarterly, 1993)
campur dalam urusan sipil yang muaranya akan sering terjadinya
konflik horizontal.
c. Tidak Dianutnya Conscientious Objection dalam Komponen
Cadangan
Sejak pertengahan abad ke-19, terminologi conscientious objection
sudah sering digunakan untuk menunjuk orang-orang yang menolak
mengikuti wajib militer karena alasan hati nurani. Salah-satu
publikasi mengenai conscientious objection pada masa itu adalah
New York Assembly Committee on the Militia and Public Defense
Report No. 170, 4 Maret 1841. Kata “conscience” dalam Concise
Oxford English Dictionary (twelfth ed.) diartikan sebagai “Pendirian
moral seseorang tentang benar dan salah”. Conscientious objection
tidak hanya berlaku di bidang kemiliteran, tapi juga berbagai bidang
profesi lain yang menuntut putusan moral seperti bidang hukum,
medis, pengembangan teknologi nuklir untuk kepentingan
pertahanan (dalam beberapa kasus terdapat ilmuwan yang berhenti
untuk terlibat dalam program senjata nuklir karena sadar akan akibat
kemanusiaan dari senjata nuklir yang diciptakannya ), dsb. Namun
sejak awal abad ke- 20, terminologi conscientious objection dalam
bahasa inggris, digunakan khusus untuk merujuk pada sikap
penolakan terhadap wajib militer berdasarkan pertimbangan hati
nurani dan atau kepercayaan. Hal ini secara implicit diatur dalam
pasal 18 Universal Declaration of Human Rights dan pasal 18
kovenan Hak Sipil dan Politik sebagai tafsir progresif atas kebebasan
berpikir, berkeyakinan dan beragama. Bahkan komisi tinggi HAM
PBB Office High Commisioner of Human Rights (OHCHR) juga
telah mengeluarkan resolusi mengenai adanya hak untuk menolak
partisipasi wajib individual atas agenda wajib militer melalui
resolusi PBB No.77 Tahun 1998. Indonesia memiliki sejarah yang
panjang dengan wajib militer karena amat terkait dengan sejarah
perjuangan kemerdekaan Indonesia dan doktrin pertahanan semesta
sebagaimana yang
termaktub dalam UUD 1945. Namun dalam sejarah wajib miltier itu
belum ditemukan jejak conscientious objection yang berarti
mengingat kuatnya konsepsi wajib bela negara dalam doktrin
pertahanan semesta sehingga perdebatan seputar conscientious
objection kurang mendapat tempat. PP No. 3 tahun 2021 tentang
Pelaksanaan UU No. 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara ternyata tidak
mengakomodir asas Conscientious Objections. Dalam hal proses
perekrutan anggota komponen cadangan prinsip Conscientious
Objection tidak diadopsi secara penuh. Dalam pasal 28 ayat 2
memang dijelaskan bahwa komponen cadangan merupakan bentuk
pengabdian yang bersifat sukarela, akan tetapi setelah calon anggota
komponen cadangan diterima menjadi anggota komponen cadangan
maka setiap anggota diwajibkan ikut dalam pelatihan dasar militer
selama tiga bulan (pasal 35 ayat 1) dan juga diwajibkan ikut dalam
melakukan mobilisasi (pasal 41 huruf g). Padahal Conscientious
Objections merupakan hak setiap orang untuk melakukan penolakan
mengikuti dinas militer atau mobilisasi dengan menitikberatkan pada
keberatan hati nurani32. Jadi pada dasarnya pengerahan mobilisasi
militer demi alasan apapun tidak diperbolehkan untuk dipaksakan
kepada setiap orang karena pandangan atau perspektif setiap orang
tentang bentuk dan tujuan mobilisasi tentu berbeda-beda sehingga
menyebabkan pertentangan batin dan nurani untuk ikut dalam
melakukan mobilisasi, sehingga otoritas penyelenggara pertahanan
negara harus menghargai dan tidak boleh memaksakan kehendak
setiap orang untuk ikut dalam perintah mobilisasi militer.

C. Besarnya Alokasi APBN untuk Pertahanan

32
Pasal 1 Resolusi HAM PBB No. 77 Tahun 1998
Merujuk pada laporan RAPBN Tahun 2020, porsi Kementerian Pertahanan
memiliki penambahan anggaran yang paling besar dari APBN tahun sebelumnya
yaitu mencapai 21,6 triliun rupiah menjadi 131 triliun rupiah dalam tahun
anggaran 2020. Menurut keterangan Dirjen Anggaran Kemenkeu penambahan
besaran angaran dalam sektor pertahanan digunakan untuk melakukan pemenuhan
alat utama system persenjataan (alutsista) yang sangat dibutuhkan negara dalam
menangkal segala bentuk serangan dari pihak luar yang ingin mengganggu
kedaulatan NKRI33. Dalam RAPBN tahun 2021 alokasi anggaran Kementerian
Pertahanan kembali mengalami kenaikan menjadi 136,9 triliun rupiah. Adapun
anggaran Kemenhan yang diajukan Jokowi untuk belanja tahun anggaran 2021
meningkat sebesar 18,76% dari belanja Kemenhan tahun 2019 yang hanya
mencapai 115,35 triliun rupiah34. Besarnya anggaran yang dialokasikan dalam
RAPBN tiap tahunnya bertujuan untuk melakukan pembelian dan perawatan
alutsista. Dalam tahun anggaran 2021, Kemeneterian Pertahanan akan
menggunakan besaran anggaran yang didapat dari APBN tahun 2021 untuk
mendukung proyek prioritas nasional, pemeliharaan dan pengadaan Alutsista TNI
Tahun Anggaran 2021 dan kesejahteraan Prajurit TNI dan PNS, juga dialokasikan
untuk mengantisipasi masih berlanjutnya penanganan pandemi Covid-1935.
Dalam hal pengadaan alutsista, kebijakan Menteri Pertahanan Prabowo
Subianto tengah mengalami sorotan publik lantaran besaran dana yang diminta
oleh Menhan dalam melakukan pengadaan alutsista adalah sebesar 1,7 kuadriliun
rupiah atau setara 1.750 miliar rupiah. Nilai pengadaan tersebut termuat dalam
Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Pertahanan
dan Keamanan

33
Agatha Olivia Victoria (Sept, 2019). “APBN 2020, Kemenhan Kantongi Tambahan Anggaran
Paling Besar Rp 21,6 T”. diakses dari
https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/5e9a4e6bea175/apbn-2020-kemenhan-kantongi-
tambahan-anggaran-paling-besar-rp-216-t
34
Cantika Adinda Putri (Aug, 2020). “Anggaran Kemenhan Rp 136,9 T, Ini Daftar Belanja
Prabowo Tahun 2021”. diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200814185000-4-
180011/anggaran-kemenhan-rp-1369-t-ini-daftar-belanja-prabowo-2021
35
Menhan Sampaikan Kebijakan Pertahanan Negara Tahun 2021, Diantaranya Melanjutkan
Penanganan Covid-19. diakses dari https://www.kemhan.go.id/2021/01/13/menhan-sampaikan-
kebijakan-pertahanan-negara-tahun-2021-diantaranya-melanjutkan-penanganan-covid-19.html
Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024.
Dalam skema yang termaktub dalam Raperpres tersebut pengadaan alutsista dapat
menggunakan peminjaman dana asing atau hutang36.
Hal ini tentu menjadi masalah serius karena dana yang diajukan dilain sisi
sangat membebani sektor APBN negara kemudian disisi lain skema yang
digunakan dengan mengandalkan hutang juga akan semakin memperbesar jumlah
tunggakan negara yang harus dibayarkan kepada pihak kreditur. Terlebih menurut
data yang dihimpun oleh Kementerian Keuangan mencatatkan posisi hutang
Pemerintah Indonesia hingga akhir Juni 2021 tercatat sebesar Rp. 6. 554, 56
triliun. Besaran hutang tersebut setara dengan 41,3% dari rasio utang Pemerintah
terhadap PDB37. Dan apabila skema pengadaan alutsista Kemenhan dilakukan
dengan mengandalkan pinjaman luar negari atau hutang maka secara eksplisit
beban keuangan negara akan semakin timpang terlebih dengan melihat kondisi
negara sekarang ini yang masih berpacu dengan waktu dalam menangani pandemi
Covid- 19.

36
Kompas.com (Jun, 2021). “Polemik Pengadaan Alutsista Rp 1,7 Kuadriliun dan Pentingnya
Argumentasi Kemenhan”. diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/03/09285261/polemik-pengadaan-alutsista-rp-175-
kuadriliun-dan-pentingnya-argumentasi?page=all
37
Anisyah Al Faqir (Jul, 2021). “Utang Indonesia bengkak Rp. 6. 554 Triliun, Ini Rinciannya”.
diakses dari https://www.merdeka.com/uang/utang-indonesia-bengkak-rp6554-triliun-ini-
rinciannya.html
BAGIAN V

EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

A. Pemulihan Ekonomi yang Lamban


Kritik dibidang ekonomi sebenarnya bukan hal yang baru bagi Presiden
Jokowi. Sejak periode pertama Jokowi dinilai belum mampu membawa perubahan
yang signifikan bagi perekonomian Indonesia, di lima tahun periode pertama
pemerintahan Presiden Joko Widodomisalnya, capaian ekonomi jauh dari janji
yang diiming-imingkan pada masa kampanye Pilpres 2014. Alih-alih mencapai
pertumbuhan 7 persen, ekonomi Indonesia justru mentok di kisaran 5 persen. Di
akhir periode pertama pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi Indonesia
justru mengalami perlambatan dan hanya bertumbuh sebesar 5,02 persen. Di
samping meleset dari target APBN 2019, yang dipatok sebesar 5,2 persen,
pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun lalu juga merupakan yang terburuk
dalam kurun empat tahun terakhir38.

Di tahun pertama dari lima tahun masa jabatan pada masa periode kedua,
Jokowi-Maruf harus dihadapkan dengan kemunculan virus corona penyebab
Covid-19 yang mewabah di seluruh dunia. Pandemi Covid-19 tidak hanya
menjadi ancaman bagi kesehatan dan keselamatan rakyat Indonesia, tetapi juga
turut memberi dampak bagi perekonomian nasional. Untuk menambal defisit
pemerintahan Jokowi mau tidak mau kembali memperbesar utang nasional.
Berdasarkan data International Debt Statistics 2021 yang dikeluarkan Bank
Dunia, Indonesia tercatat menempati urutan ke-7 tertinggi di antara negara
berpendapatan menengah dan rendah dalam Utang Luar Negeri (ULN). Jumlah
utang Indonesia adalah 402 miliar dollar Amerika Serikat, jauh lebih besar dari
pada Argentina, Afrika Selatan dan Thailand. Sehingga setiap satu orang
penduduk Indonesia di era pemerintahan Jokowi-Maa’ruf Amin tercatat
menanggung utang Rp 20,5 juta.

38
Friana, Hendra. 2019. Nasib Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi: Gagal Meroket, Mentok di
5%: https://tirto.id/exhx
Perhitungan itu didapat dari total utang pemerintah sebesar Rp 5.594,9 triliun per
Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk.

Di sisi lain, terjadi penurunan level inflasi Indonesia, yang menjadi terlalu
rendah karena adanya tekanan pada daya beli masyarakat. Deflasi bahkan terjadi
dalam beberapa bulan dengan inflasi inti (core inflation) hanya 1,86 persen per
September 2020. Inflasi yang rendah berakibat pada harga jual barang yang tidak
sesuai dengan ongkos produksi dari produsen. Bahkan, tidak sedikit produsen
yang menawarkan harga diskon agar stok tahun sebelumnya bisa habis terjual. 39

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sepanjang tahun 2020
mencapai 1,68 persen. Angka ini menjadi inflasi terendah sejak 2014 lalu atau
selama enam tahun kebelakang. Inflasi 2020 sebesar 1,68 persen merupakan yang
terendah sejak angka ini pertama kali dirilis. Pelemahan inflasi terjadi karena
penurunan daya beli masyarakat yang tertekan selama pandemi Covid-19. Inflasi
selama 2020 disumbang oleh harga bergejolak sebesar 0,36 persen, lalu harga
yang diatur pemerintah 0,06 persen, dan inflasi inti yang menggambarkan daya
40
beli masyarakat 0,03 persen. Menurunnya daya beli masyarakat di masa
pandemic juga dapat dikaitkan dengan kurang meratanya serta terhambatnya
program BLT (Bantuan Langsung Tunai) sehingga daya beli kurang terdorong
dengan optimal dan konsumsi rumah tangga atau masyarakat tidak terangkat.
Padahal semestinya jika konsumsi masyarakat terangkat otomatis aktivitas
perekonomian akan kembali pulih dan sektor industri juga dapat meningkatkan
kapasitas produksinya.

Selain masalah di atas, pada masa Jokowi juga terdapat beberapa kebijakan
ekonomi yang menuai kontroversi. Salah satunya yaitu kebijakan terkait pajak
sembako dan Pendidikan. Wacana pengenaan PPN terhadap sembako dan sektor
jasa pendidikan dimuat dalam draf revisi Undang-Undang No. 6 Tahun 1983

39
Rizal, Jawahir Gustav. 2020. Setahun Jokowi-Ma'ruf, Berikut Ini Catatan dari Sektor
Ekonomi: https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/20/160757265/setahun-jokowi-maruf-
berikut-ini-catatan-dari-sektor-ekonomi?page=all.
40
Inflasi 2020 Jadi yang Terendah Akibat Daya Beli Masyarakat Tertekan Pandemi :
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4448521/inflasi-2020-jadi-yang-terendah-akibat-daya-beli-
masyarakat-tertekan-pandemi
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang terakhir kali digubah
dengan UU No. 16 Tahun 2009.Dengan adanya kebijakan tersebut, sangat
disayangkan karena tentu akan menyusahkan masyarakat dengan ekonomi
menengah kebawah dan memperlihatkan ketidakberpihakan pemerintan terhadap
rakyat kecil. Kebijakan tersebut jelas sangat tidak adil dan manusiawi dimana
masyarakat menengah kebawah yang sangat terhubung dengan sekolah dan
sembako malah dikenai pajak sedangkan orang kaya atau konglomerat diberikan
kebijakan tax amnesty juga pajak nol persen untuk PPnBM.

Kebijakan pemerintah ini menuai banyak protes dari para ahli dan akademisi,
seharusnya bukan hanya terpaku pada pemenuhan pajak di masa pandemi, tetapi
melakukan inovasi agar dapat melakukan kewajibannya melindungi,
memakmurkan, dan mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah
seharusnya membantu rakyat lantaran pandemi Covid-19 mengakibatkan daya
beli dan daya bayar masyarakat menurun drastic.

B. Keadaan Sosial yang Semakin Jauh dari Sejahtera


Salah satu tujuan negara Indonesia berdiri adalah untuk memajukan
kejahteraan umum, ketentuan ini tertera secara jelas dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar. Secara historis kita dapat membaca maksud negara yang ingin
dibentuk (pada waktu itu) oleh bangsa Indonesia yakni negara kesejahteraan.
Kesejahteraan rakyat hendak menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia Merdeka
yang ringkasnya pada tercapainya keadilan masyarakat atau keadilan sosial.41

Dalam Teori Democratische-sozialrechtstaat dapat dipahami bahwa para


pendiri bangsa mengkonsepsikan negara Indonesia sebagai negara yang
berdasarkan hukum, negara yang demokratis yang berkedaulatan rakyat dan
berkeadilan sosial. Maka tujuan bernegara bangsa Indonesia terbagi menjadi dua
yakni tujuan umum dan khusus. Adapun tujuan umumnya yakni mewujudkan

41
Azhary, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentnag Unsur-unsurnya, UI-Pers,
Jakarta, 1995, Hal 16
masyarakat yang adil dan makmur (res publica atau kepentingan umum) bangsa
Indonesia.42

Maka pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya mengacu


pada konsep negara kesejahteraan dan mengamanatkan tanggung jawab
pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Namun sayang konsepsi
negara kesejahteraan yang dianut oleh Indonesia sampai saat ini belum terealisasi
secara penuh baik pada masa orde baru hingga pasca reformasi pembanguna
keadilan dan kesejahteraan sosial hanya sebatas wacana semata, maka tak heran
isu kesejahteraan selalu menjadi perhatian di setiap periode pemerintahan,
termasuk pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo.

Didalam proses kampanye Presiden Joko Widodo pernah memberikan janji di


bidang kesejahteraan sosial untuk mewujudkan keadilan ekonomi dan pemerataan
kesejahteraan sosial. Melalui beberapa program dijanji politiknya, Jokowi
mencoba menawarkan optimisme terutama kepada masyarakat menengah ke
bawah untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan ekonomi
mereka. Salah satunya melalui program kartu-kartu sakti yang dianggap oleh
beberapa pakar justru hanya menjadi solusi kesejahteraan sosial dalam jangka
pendek dan belum bisa menyentuh masyarakat rentan miskin.43

Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistika menunjukan persentase


penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 9,78 persen, meningkat 0,56 persen
poin terhadap September 2019 dan meningkat 0,37 persen poin terhadap Maret
2019. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang,
meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta
orang terhadap Maret 2019. Sedangkan jika dibagi berdasarkan wilayah,
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2019 sebesar
6,56 persen, naik menjadi 7,38 persen pada Maret 2020. Sementara persentase
penduduk miskin di daerah

42
Ibid
43
CNN Indonesia "Ekonom Sebut Tiga Kartu Sakti Jokowi Cuma Solusi Sesaat" selengkapnya di
sini: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190411150844-532-385368/ekonom-sebut-tiga-
kartu-sakti-jokowi-cuma-solusi-sesaat.diakses 20 Oktober 2021 pkl 00.13 wib
perdesaan pada September 2019 sebesar 12,60 persen, naik menjadi 12,82 persen
pada Maret 2020.44

Meski pada 2021 terjadi penurunan kemiskinan sebanyak 0,04%, namun


jumlah penduduk yang tergolong miskin di Indonesia masih berjumlah 27,54 juta
jiwa.45 Masih tingginya angka
kemiskinan Indonesia tak lepas dari pengaruh pandemi Covid-19 yang masih
melanda Indonesia. Penanggulangan covid yang carut marut telah berimbas pada
penurunan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat seperti meningkatnya
pengangguran dan pemutusan hubungan kerja. Menurut catatan Badan Pusat
Statistik, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terbesar berada pada penduduk
usia 20-24 tahun sebesar 17,66% pada Februari 2021, meningkat 3,36%
dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 14,3%.
Peningkatan TPT terbesar kedua ada pada penduduk usia 25-29 tahun. Pada
Februari 2021, TPT kelompok usia ini sebesar 9,27%, meningkat 2,26%
dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 7,01%46.

44
Badan Pusat Statistika, “Persentase Penduduk Miskin Maret 2020 naik menjadi 9,78 persen”
diakses dari https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/07/15/1744/persentase-penduduk-miskin-
maret-2020-naik-menjadi-9-78-persen.html pada 18 Oktober 2021 pkl 1.11 wib
45
Badan Pusat Statistika, diakses dari
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/15/jumlah-penduduk-miskin-indonesia-capai-
2754-per-maret-2021pada pada 18 Oktober 2021 pkl 1.17 wib
46
Hafil, Muhammad. (21 Oktober 2020). Kinerja Satu Tahun Jokowi dalam Catatan Indonesia
Indicator. Republika. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/qij8ei430/kinerja-satu-tahun-jokowi-
dalam- catatan-indonesia-indicator
TUNTUTAN

Berdasarkan pada uraian permasalahan diatas, maka dengan ini Badan


Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Semarang 2021 menuntut:

1. Jamin kebebasan akademik, Biaya pendidikan yang berkeadilan,


Pendidikan aman dari Kekerasan Seksual, serta Tegakan marwah akademik.

2. Percepat pemulihan ekonomi dengan prioritas komitmen kesejahteraan


rakyat.

3. Cabut Revisi UU KPK, UU Minerba, UU Cipta Kerja dan segala aturan


turunannya.

4. Revisi pasal-pasal bermasalah UU ITE yang mengancam kebebasan


berpendapat dan berekspresi.

5. Tuntaskan pelanggaran berat HAM, berkomitmen, melindungi, dan


menghormati Hak Asasi Manusia.

6. Hentikan segala bentuk pembungkaman demokrasi dan jamin kebebasan


sipil.

7. Penuhi Hak-hak Tenaga Kesehatan dan Tuntaskan penanganan pandemi


serta permasalahan kesehatan lainnya.

8. Hentikan segala bentuk Proyek Strategis Nasional yang bermasalah.

9. Deklarasikan Darurat Iklim dan Wujudkan Reforma Agraria Sejati.

10. Evaluasi total kabinet Indonesia Maju.


DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, Syahriza Alkohir. “Politik Hukum Mencari Sejumlah Penjelasan.”


Jurnal Cakrawala Hukum 10, no. 1 (2019).
Arumningtyas, Lusia. “Menanti Keseriusan Pembenahan Tata Kelola Lingkungan
pada Periode Kedua Jokowi.” mongabay, 2019.
Azhary. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentnag Unsur-
unsurnya. UI Press, 1995.
Bayu, Dimas Jarot. “KPA: Eskalasi konflik agraria di era Jokowi meningkat.”
katadata.co.id, 2019.
Bbc. “RUU HIP : Pemerintah dan DPR sepakat ubah RUU HIP menjadi
RUU BPIP.” bbc.com, 2020. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
53426123.
BPIP. “Profil Badan Pembinaan Ideologi Bangsa.” bpip.go.id, n.d.
https://bpip.go.id/bpip/profil/440/profil.html.
Dzulfaroh, Ahmad Naufal. “Apa Isi RUU HIP yang Masih Tuai Kontroversi?”
kompas.com, 2020.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/25/055000265/apa-isi-ruu-hip-
yang-masih-tuai-kontroversi?page=all.
Faqir, Anisyah Al. “Utang Indonesia bengkak Rp. 6. 554 Triliun, Ini Rinciannya.”
merdeka.com, 2021.
Farisa, Fitria Chusna. “Survei: Kepuasan Masyarakat terhadap Kinerja Jokowi
Turun, Jadi 75,6 Persen.” kompas.com, 2021.
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/13/19270071/survei-kepuasan-
masyarakat-terhadap-kinerja-jokowi-turun-jadi-756-persen.
Firepower, Global. “Jumlah Personel Militer Aktif Indonesia di Peringkat ke-12
Dunia.” katadata.co.id, 2019.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/16/global-firepower-
2019-jumlah-personil-militer-aktif-indonesia-di-peringkat-ke-12-dunia.
Friana, Hendra. “Nasib Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi: Gagal Meroket,
Mentok di 5%.” tirto.id, 2020. https://tirto.id/nasib-pertumbuhan-ekonomi-
era-jokowi-gagal-meroket-mentok-di-5-exhx.
Gunawan, Deden. “Kepala BPIP Sebut Agama Jadi Musuh Terbesar Pancasila.”
detik.com, 2020.
Hafil, Muhammad. “Kinerja Satu Tahun Jokowi dalam Catatan Indonesia
Indicator.” republika.co.id, 2020.
https://www.republika.co.id/berita/qij8ei430/kinerja-satu-tahun-jokowi-
dalam-catatan-indonesia-indicator.
Hidayat, Ayit. “Masifnya kerusakan lingkungan akibat tambang.” tempo, 2021.
https://koran.tempo.co/read/berita-utama/461781/masifnya-kerusakan-
lingkungan-akibat-tambang.
Huntington, Samuel P. “New Contingencies, Old Roles.” globalsecurity.org, 1993.
https://www.globalsecurity.org/military/library/report/1993/jfq0702.pdf.
Indonesia, CNN. “Ekonom Sebut Tiga Kartu Sakti Jokowi Cuma Solusi Sesaat.”
CNN Indonesia, 2019.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190411150844-532-
385368/ekonom-sebut-tiga-kartu-sakti-jokowi-cuma-solusi-sesaat.
Initiative, Ocean justice. Sistem dan Praktik Omnibus Law di Berbagai Negara
dan Analisis RUU Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation Making,
2020.
Izzaty, Risdiana. “Urgensi Ketentuan Carry-Over dalam Pembentukan Undang-
Undang di Indonesia.” Jurnal HAM 11, no. 1 (2020).
https://doi.org/10.30641/ham.2020.11.85-98.
Kumparan. “Lomba Tulis BPIP Bertema ‘Hormat Bendera Menurut Hukum
Islam’ Dinilai Islamofobik.” kumparan.com, 2021.
https://kumparan.com/kumparannews/lomba-tulis-bpip-bertema-hormat-
bendera-menurut-islam-dinilai-islamofobik-1wKqgkydYJw.
Lemhanas. “Bela Negara adalah Roh Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat
Semesta.” lemhanas.go.id, 2020.
http://www.lemhannas.go.id/index.php/berita/berita-utama/841-bela-negara-
adalah-roh-sistem-pertahanan-keamanan-rakyat-semesta.
MD, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Rajawali Pers, 2009.
Nonet, Philippe, dan Philipe Selznick. Hukum Responsif. Bandung: Nusamedia,
2018.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Struktur Organisasi BPIP, n.d.
Priatmojo, Dedy. “Sebut Agama Musuh Pancasila, Kepala BPIP Ahistoris.”
viva.co.id, 2020.
Putra, Dwi Aditya. “Inflasi 2020 Jadi yang Terendah Akibat Daya Beli
Masyarakat Tertekan Pandemi.” liputan6.com, 2021.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4448521/inflasi-2020-jadi-yang-
terendah-akibat-daya-beli-masyarakat-tertekan-pandemi.
Putri, Cantika Adinda. “Anggaran Kemenhan Rp 136,9 T, Ini Daftar Belanja
Prabowo Tahun 2021.” cnbcindonesia, 2020.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200814185000-4-180011/anggaran-
kemenhan-rp-1369-t-ini-daftar-belanja-prabowo-2021.
Redi, Ahmad. “Revisi Undang-Undang Minerba, yang untung siapa?” 2020.
Resolusi HAM PBB No. 77 Tahun 1998, n.d.
RI, Kemhan. “Menhan Sampaikan Kebijakan Pertahanan Negara Tahun 2021,
Diantaranya Melanjutkan Penanganan Covid-19.” kemhan.go.id, 2021.
https://www.kemhan.go.id/2021/01/13/menhan-sampaikan-kebijakan-
pertahanan-negara-tahun-2021-diantaranya-melanjutkan-penanganan-covid-
19.html.
Rizal, Jawahir Gustav. “Setahun Jokowi-Ma’ruf, Berikut Ini Catatan dari Sektor
Ekonomi.” kompas.com, 2020.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/20/160757265/setahun-jokowi-
maruf-berikut-ini-catatan-dari-sektor-ekonomi?page=all.
Ronie. “BPIP Masih Menjadi Kontroversi, Besaran Gaji, Hingga Lomba Hari
Santri.” fin.co.id, 2021. https://fin.co.id/2021/08/18/bpip-masih-jadi-
kontroversi-besaran-gaji-hingga-lomba-hari-santri/.
Sambodo, Maxensius Tri. “Riset: Masyarakat Indonesia mash kekurangan energi
listrik dan energi bersih utuk memasak.” thecoversation, 2020.
https://theconversation.com/riset-masyarakat-indonesia-masih-kekurangan-
energi-listrik-dan-energi-bersih-untuk-memasak-135734.
Sandi, Ferry. “76 Tahun Merdeka RI Masih terbelenggu impor pangan.”
cnbcindonesia, 2021.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210816093414-4-268671/76-tahun-
merdeka-ri-masih-terbelenggu-impor-pangan-ini.
Statistik, Badan Pusat. “Persentase Penduduk Miskin Maret 2020 naik menjadi
9,78 persen.” bps.go.id, 2020.
https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/07/15/1744/persentase-penduduk-
miskin-maret-2020-naik-menjadi-9-78-persen.html#:~:text=Persentase
penduduk miskin pada Maret,persen poin terhadap Maret 2019.
Sudirman. “Kedudukan Presiden Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial.”
Jurnal FH Universitas Brawijaya, 2014.
Surat bernomor LG/000733/DPR RI/I/2020 dari pimpinan Komisis VII kepada
Pimpinan DPR RI dan Pimpinan Badan Legislasi DPR RI (n.d.).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, n.d.
Utami, Diarti. “Deretan Pasal Kontrovesi UU Mineba.” tempo, 2020.
https://nasional.tempo.co/read/1341732/deretan-pasal-kontroversi-uu-
minerba/full&view=ok.
UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, n.d.
Victoria, Agatha Olivia. “APBN 2020, Kemenhan Kantongi Tambahan Anggaran
Paling Besar Rp 21,6 T.” katadata.co.id, 2019.
https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/5e9a4e6bea175/apbn-2020-
kemenhan-kantongi-tambahan-anggaran-paling-besar-rp-216-t .
Yahya, Ahmad Nasrudin. “Polemik Pengadaan Alutsista Rp 1,7 Kuadriliun dan
Pentingnya Argumentasi Kemenhan.” kompas.com, 2021.
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/03/09285261/polemik-pengadaan-
alutsista-rp-175-kuadriliun-dan-pentingnya-argumentasi?page=all.

Anda mungkin juga menyukai