Anda di halaman 1dari 5

POLITIK HUKUM HAM PADA MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN JOKOWI

OLEH

Kaulan Syarida (190220027)

Indonesia adalah negara hukum,operasionalisasi dari konsep negara hukum indonesia dituangkan
dalam konstitusi negara yaitu UUD 1945 yang merupakan hukum dasar negara yang menempati
posisi sebagai hukum dasar negara tertinggi dalam tertib hukum Indonesia.Negara hukum
berkaitan dengan Hak Asasi Manusia(HAM),sebab salah satu ciri dari negara hukum adalah
adanya jaminan atas hak asasai manusia,oleh karena itu negara hukum bertanggung jawab atas
perlindungan dan penegakan pada hak asasi para warganya.Politik Hukum HAM adalah
kebijakan hukum HAM tentang penghormatan,pemenuhan dana perlindungan HAM.Terkait
dengan persoalan jaminan HAM bagi warga negara Indonesia oleh negara,maka pembicaraan
kita akan menuju pada politik hukum HAM yang sedang dilaksanakan pada masa pemerintahan
presidem Jokowi.. Salah satu misinya saat mencalonkan di periode kedua adalah menegakkan
sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Misi tersebut dibagi menjadi
beberapa poin yaitu: melanjutkan penataan regulasi; melanjutkan reformasi sistem dan proses
penegakan hukum; pencegahan dan pemberantasan korupsi; penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan HAM; dan mengembangkan budaya sadar hukum. Setelah satu tahun berlalu,
realisasi misi Jokowi-Ma’ruf jauh panggang dari api. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
dalam satu tahun terakhir justru memperlemah penegakan hukum dan hak asasi manusia,
pemberantasan korupsi, menghancurkan lingkungan, dan merampas ruang hidup masyarakat. Hal
tersebut dapat kita lihat dalam beberapa fakta berikut:

 Menyetujui dan Menandantangani Revisi UU KPK


Sebelumnya, YLBHI dalam catatan 100 hari Jokowi-Ma’ruf menyatakan bahwa
revisi Undang-undang KPK 2019 memperlemah KPK seperti adanya Dewan Pengawas,
adanya ketentuan SP3 untuk perkara yang tidak selesai disidik dalam waktu satu tahun
dan pegawai KPK diubah statusnya menjadi Aparatur Sipil Negara. Satu persatu indikasi
tersebut terbukti, pada bulan Juli lalu, PP 41 tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai
KPK menjadi Pegawai ASN disahkan. Selain itu integritas pimpinan KPK perlu
dipertanyakan. Ketua KPK, Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik dengan
menggunakan helikopter saat berkunjung ke Baturaja, Sumatera Selatan. Sementara
putusan etik Dewan Pengawas KPK hanya memberikan teguran tertulis kepada Ketua
KPK. Menurut ketua Dewan Pengawas, pelanggaran yang dilakukan tidak disadari oleh
Firli Bahuri. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa ketua KPK tidak memahami kode
etik lembaganya sendiri. Menyetujui dan Menandatangani Revisi UU Minerba
 Direvisinya UU Minerba
menguntungkan kelompok pengusaha tambang dan sebaliknya ancaman besar
bagi lingkungan hidup dan hidup masyarakat. Hal ini terlihat dari salah satu pasal yaitu
pasal 169 A terkait perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan. Maka, pemegang KK
dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 kali
perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masing-masing
paling lama selama 10 tahun.
 Menyetujui dan Menandatangani Revisi UU Mahkamah Konstitusi
Hanya dalam waktu 7 haru sejak pembahasan, revisi UU MK disahkan DPR RI
menjadi UU. DPR memaksakan revisi UU ini meski tidak masuk dalam Prolegnas
Prioritas tahun 2020. Tetapi, meski YLBHI bersama Koalisi meminta Presiden Joko
Widodo menolak revisi ini, Presiden malah terus menyetujui dan menandatangani revisi
ini.
 Mengusulkan dibuatnya Omnibus Law UU Cipta Kerja
Dengan diketoknya UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, maka paket agar
oligarki semakin berkuasa di Indonesia sudah lengkap. Diawali dengan revisi UU KPK
yang bertujuan agar memudahkan gerak dari para Oligarki, dilanjutkan dengan revisi UU
Minerba yang memperpanjang keistimewaan perusahaan tambang besar di Indonesia.
Kemudian dilanjutkan dengan revisi UU Mahkamah Konstitusi yang menjadi gula-gula
dalam memuluskan jalan para Oligarki. Lalu ditutup dengan disahkannya UU Cipta Kerja
yang bermasalah bahkan sebelum aturan ini lahir.

Pada periode sebelumnya LBH-YLBHI mencatat 6.128 orang mengalami


pelanggaran HAM saat menyampaikan pendapat di muka umum, ditambah penangkapan
21 orang buruh yang berdemonstrasi pada 16 Agustus 2019. Selama Januari-September
2020, YLBHI-LBH juga mencatat 24 kasus penyiksaan di 9 provinsi di Indonesia. [12.55,
7/5/2022] Kaulan: Tanda-tanda pemerintahan yang otoriter beriringan dengan kebijakan
pemerintah yang mengembalikan dwi fungsi aparat pertahanan-keamanan. Ini akan
bertentangan dengan TAP MPR VI/2000 yang sudah mencabut dwi fungsi ABRI.
Pemerintah Jokowi justru melibatkan TNI dan Polri dalam struktur pemerintahan. TNI
dan Polri menempati berbagai posisi di Kementerian/ Lembaga Negara mulai dari
Kementerian, Lembaga Negara, Badan Usaha Milik Negara hingga Duta Besar. Dwi
fungsi Polri semakin terlihat ketika terlibat dalam membuat kontra narasi penolakan
Omnibus Law Cipta Kerja pada 8 Oktober lalu.
Mengabaikan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu Menurut catatan
LBH-YLBHI tentang 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, Jokowi-Ma’ruf tidak
menjadikan HAM hal penting yang harus mewarnai seluruh kebijakannya. Hal ini terlihat
dari tidak adanya kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM
yang berat masa lalu. Dalam catatan Komnas HAM, masih ada 12 kasus pelanggaran
HAM yang berat yang sampai sekarang belum memiliki kepastian hukum. Dalam catatan
yang sama, Komnas HAM menyebutkan hanya tiga kasus yang ditindak lanjuti oleh
Jaksa Agung sampai tingkat pengadilan HAM. Tiga kasus tersebut adalah peristiwa
Timor-Timor, Tanjung Priok dan Abepura.Alih-alih menyelesaikan kasus pelanggaran
HAM berat tersebut, Pemerintah kini masih tetap mengirim militer ke Papua. Dugaan
pelanggaran HAM di Papua justru ditutupi oleh Indonesia dengan tidak adanya
keterbukaan informasi kepada publik. Kasus terbaru adalah ditembaknya Pendeta
Yeremia Zanambani, Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Hitadipa di Intan
Jaya, 19 September 2020. Pihak TNI menuding OPM sebagai pelaku penembakan,
sementara pihak OPM menganggap bahwa penembakan dilakukan oleh TNI. Tidak
terbukanya akses untuk mencari fakta tentang apa yang sebenarnya terjadi di Papua,
membuat informasi yang tersebar di publik menjadi simpang siur.Maka, tepat satu tahun
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, YLBHI menyatakan:
Memperingatkan Pemerintah bahwa Indonesia adalah negara hukum dan
pemerintahan terikat pada Konstitusi,Mendesak pemerintah mencabut kebijakan yang
tidak sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia;
Mendesak pemerintah menghormati hukum dan hak asasi manusia dan
melindungi warga negaranya.Jakarta, 20 Oktober 2020: Kondisi demokrasi di sepanjang
dua tahun kepemimpinan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, disebut organisasi HAM, mati
secara perlahan.Salah satunya dilihat dari negara yang dianggap semakin abai terhadap
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, menurut catatan
Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).Presiden Joko
Widodo yang tepat memasuki dua tahun menjabat presiden pada periode kedua pada
Rabu (20/10) ini dalam sejumlah kesempatan termasuk kampanye Pemilu lalu, berjanji
menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu.Korban pelanggaran HAM 1965
Bedjo Untung dan keluarga korban peristiwa Semanggi I tahun 1998, Sumarsih,
sependapat dengan penilaian Kontras.Mereka menyatakan kekecewaan dengan
kepemimpinan Jokowi yang menyerah pada tekanan terduga pelanggar HAM berat dan
tidak mampu menghadirkan pengadilan ad hoc.Mereka menyebut, Jokowi justru
menjamin dan melindungi para terduga pelaku dengan memberikan jabatan di
pemerintahan.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai koalisi pemerintahan,
menolak penilaian tersebut. Dia menyebut, kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa
lalu semakin "berkarat" dan mengalami kemunduran di era Jokowi - bahkan lebih
"meyeramkan" dibandingkan periode sebelumnya.Sajali mencontohkan, Jokowi
mengangkat para terduga pelanggar HAM berat masa lalu menjadi pejabat di
lingkarannya.

Seperti Prabowo Subianto yang diduga terlibat dalam penculikan aktivis tahun
1998 menjadi Menteri Pertahanan dan Wiranto yang diduga sebagai pelanggar HAM
berat pernah menduduki kursi Menko Polhukam."Kemudian, dalam dua tahun terakhir
ini, Jokowi memberikan gelar bintang jasa utama kepada Eurico Guterres yang diduga
terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Timor Leste. Lalu dua anggota Tim(penculik
aktivis 1998) direkrut sebagai pejabat eselon di Kementerian Pertahanan," kata
Sajali.Sajali juga mengatakan kini tidak ada lagi agenda penuntasan pelanggaran HAM
berat di Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021 - 2025 dan
Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa tak kunjung diratifikasi."Jadi kami
melihat sudah sangat kecil sekali ruang Presiden Jokowi mau menindaklanjuti penuntasan
pelanggaran HAM berat ke depan," katanya.Riset Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
dan Litbang Kompas tahun 2019 pernah mengungkapkan, mayoritas masyarakat menilai
pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin kesulitan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM masa lalu karena ingin menjaga harmonisasi politik atau nuansa
politis.Berdasarkan hasil riset itu, 73,9% responden menganggap nuansa politis menjadi
hambatan utama. Selain itu, 23,6% persen beranggapan presiden tidak memiliki
kemampuan untuk menyelesaikan masalah kasus HAM masa lalu, dan hanya 2,5% yang
menjawab tidak tahu.

KESIMPULAN :

Dari apa yang telah saya pelajari yaitu tentang politik hukum ham pada masa
pemerintahan presiden Jokowi-Ma’aruf.Bahwa sistem politik hukum yang saat ini di
Indonesia masih sangat disayangkan dengan apa yang dijanjikan dulu.Dibutuhkan
kolaborasi antara negara dan masyarakat dalam membangun sistem hukum yang
berintegritas.Mendekatkan produk kebijakan publik dengan kebutuhan masyarakat
merupakan jalan yang ideal agar substansi hukum mencerminkan kebutuhan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai