Anda di halaman 1dari 8

Presiden dan DPR RI Harus Segera Menghapus

Pasal-Pasal Anti Demokrasi Dalam RKUHP

Pemerintah dan DPR berencana mengesahkan RKUHP dalam waktu dekat. YLBHI dan 18
LBH Kantor bersama Walhi Yogyakarta dan Aliansi Rakyat Bergerak menilai bahwa RKUHP
saat ini masih disusun berdasarkan paradigma hukum yang menindas serta diskriminatif. Apabila
masih dipaksakan, paradigma hukum yang demikian akan memunculkan satu masalah besar,
yakni ancaman over-kriminalisasi kepada rakyat. Simpulan tersebut tercermin dari muatan-
muatan pasal anti demokrasi yang masih dipaksakan.
Persoalan serius yang menjadi sorotan utama adalah RKUHP dapat menjadi instrumen yang
mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. Pasal mengenai ancaman pidana terhadap
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218 sampai Pasal 220), pasal penghinaan
terhadap pemerintahan yang sah, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga
negara (Pasal 349 sampai Pasal 351), pasal mengenai pencemaran nama baik, hingga pasal
ancaman pidana kepada penyelenggaraan aksi demonstrasi yang tidak didahului dengan
pemberitahuan (Pasal 256), menjadi contoh konkret ancaman yang dapat digunakan untuk
menghantam suara-suara kritis rakyat terhadap penyelenggaraan Negara yang ditujukan kepada
penguasa. Bahkan, pasal-pasal tersebut berpotensi digunakan secara serampangan, mengingat
rendahnya etika pejabat negara saat ini. Terutama, karena lebih sering memprioritaskan
kepentingan oligarki, ketimbang kepentingan publik. Ada beberapa catatan preseden buruk
Hukum dalam kitab RUU KUHP II bahwasanya Aliansi Rakyat Bergerak mencatat bersama
jaringan yang tergabung dalam aliansi dari segi:

1. Aspek Demokrasi 
a. Penghinaan Presiden
Primus Inter Pares, salah satu frasa latin yang sering digaungkan berarti pertama diantara
yang sederajat. Implementasi asas atau prinsip ini kental terkandung dalam Pasal 218 Buku II
RKUHP. Dalam naskah akademik RKUHP disebutkan bahwa, “dirasakan janggal kalau
penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang
kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana;
sedangkan penghinaan terhadap Presiden tidak; terlebih status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas
Presiden berbeda dengan orang biasa, dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketatanegaraan.”
Status atau posisi Presiden yang kemudian memiliki harkat dan martabat sepenuhnya diberikan
atas kedaulatan rakyat melalui pemilu, sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD NRI
1945. Kemudian, dirasa janggal apabila orang biasa yang mencoba untuk mengkritik kepada
orang yang diberikan “kekuatan” olehnya, seperti apa yang dikemukakan oleh John Locke yang
status kekuasaan didasari pada konsep trust oleh masyarakat, namun dikategorikan sebagai
hinaan lalu dipidanakan. 1Dalam hal ini, memang ada perbedaan diantara kekuasaan
umum/pemerintah, namun asas proporsionalitas dan asas rasional untuk membentuk
pemerintahan yang baik (Good governance) tetap harus diperhatikan dalam konteks pasal a quo.

b. Persamaan Hukum

1
BEM KM UGM. 2022. Akhir Jalan RKUHP:  Jatuh ke Jurang atau Sampai Tujuan? . Onigiri #12
Demikian pula dengan pasal kontroversial yang lain, tiadanya kerugian yang dialami dalam
aspek kenegaraan menempatkan pasal-pasal kontroversi di luar equality before the law
(persamaan di mata hukum), kerugian yang dialami hanya terdapat dalam lingkup privat, sama
seperti apa yang ingin dilindungi oleh pasal penghinaan pada umumnya. Menurut Muntoha, ahli
hukum tata negara FH UII, hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh
ditentukan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Jelas, hal ini
bertentangan dengan prinsip demokrasi, hukum tidak bertujuan hanya untuk menjamin
kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi
setiap orang sehingga negara hukum yang dikembangkan bukan negara hukum yang absolut
(absolute rechtsstaat), tetapi negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat). 

d. Penghinaan dan Kritik


Dalam negara demokrasi, kritik merupakan sesuatu yang melekat pada jalannya
pemerintahan. Namun, sebuah kritik sangat rentan berubah menjadi penghinaan. Rentannya
kritik berubah menjadi penghinaan dikarenakan sifat kritik merupakan “Prima facie” atau
bersifat pandangan atau kesan pertama. Pasal-pasal kontroversial tentang penghinaan terhadap
kekuasaan umum dan pemerintah bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid)
karena amat rentan pada tafsir yang beragam. Lebih lanjut, delik penghinaan tidak boleh
digunakan sebagai alat menghambat “kritik” dan “protes” karena dapat membelenggu
demokrasi.
Kritik sebagai hak menyatakan pendapat (freedom of opinion and expression) merupakan
hak konstitusional semua warga negara Republik Indonesia. Hak tersebut juga merupakan bagian
dari hak sipil politik yang juga disebut hak negatif (negative rights). Disebut hak negatif karena
negara harus abstain, diam atau tidak melakukan campur tangan untuk merealisasikan hak-hak
tersebut. Secara yuridis, hak tersebut tercantum dalam Pasal 18-21 International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu salah satunya hak atas kebebasan mempunyai dan
menyampaikan pendapat. Pembatasan dalam hak ini bisa dilakukan, namun harus memiliki
alasan rasional seperti: berdasarkan hukum (by law); alasan yang sah (legitimate aim);
diperlukan dalam masyarakat demokratis (necessary in a democratic society).2

2. Partisipasi
a. Meaningful Particiption
Situasi dan kondisi demokrasi Indonesia pada status quo salah satunya dapat terlihat pada
proses penyusunan serta substansi yang ada dalam RKUHP. Secara formil, dapat dinilai pada
tahun 2022 proses pembentukkan RKUHP sangatlah jauh dari kata ideal. Mengutip Zainal Arifin
Mochtar, seharusnya meaningful participation yakni right to be heard, considered, & explained
dapat diterapkan pada proses penyusunan RKUHP. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 96 UU
13/2022, partisipasi tersebut seharusnya dapat diterapkan dalam setiap tahapan pembentukkan
undang-undang.3 Juga, pada ayat 4 dan 5 Pasal a quo, dijelaskan bahwa masyarakat berhak atas
akses yang mudah terhadap naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangan
dan pembentuk peraturan perundang-undangan wajib untuk menginformasikan pembentukkan
peraturan perundang-undangan kepada masyarakat.4 Namun, nyatanya hearing dan sosialisasi
terkait RKUHP baru dilaksanakan di 12 provinsi berdasarkan pernyataan Wamenkumham RI,

2
 Ibid.
3
 Lihat Pasal 96 UU 13/2022
4
 Ibid.
Edward O.S. Hiariej. Secara materiil, menurut ICJR, terdapat 73 pasal pada buku I dan buku II
dalam draft RKUHP terbaru.5 Beberapa pasal diantaranya berpotensi dapat membelenggu
demokrasi di Indonesia karena adanya ancaman pidana terhadap batasan-batasan hak
menyatakan pendapat yang tidak adil. Ancaman terhadap demokrasi dapat dilihat pada beberapa
pasal sebagai berikut: pasal penghinaan presiden; pasal penghinaan lembaga; pasal tentang
demonstrasi; dan lain-lain. Dapat ditafsirkan, politik hukum dan original intent dari RKUHP
adalah kepentingan pejabat negara untuk berlindung dari kritik melalui suatu produk hukum
yang mengikat ke setiap orang.

3. Lingkungan (Pasal 344-345 dihapus)


a. Tidak adanya pidana minimum khusus
Rancangan Kitab Hukum Pidana (RKUHP) yang masih mengandung banyak permasalahan
akan kembali dibahas pada masa sidang Agustus-September 2022. Bahkan RKUHP berpotensi
mengancam perlindungan lingkungan hidup dan memundurkan pengaturan lingkungan. ICEL,
WALHI, dan Prof Andri G. Wibisana (Guru Besar Hukum Lingkungan FHUI) mencatat paling
tidak ada tiga hal yang membuat beberapa rumusan di RKUHP berpotensi mengancam
perlindungan lingkungan hidup, yaitu: ketentuan tindak pidana lingkungan hidup,
pertanggungjawaban pidana korporasi, dan pasal-pasal mengenai kebebasan dan demokrasi.
 Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G. Sembiring menyebutkan: "Pengaturan tindak pidana
lingkungan hidup yang diatur pada pasal 344 dan 345 RKUHP merupakan suatu kemunduran
dalam pengaturan tindak pidana lingkungan hidup yang berpotensi sulit untuk dibuktikan dan
tidak menjerakan pelaku. Hal ini karena rumusan pasal tersebut mengandung 1) unsur melawan
hukum yang erat kaitannya dengan pembuktian izin, 2) pengaturan baku mutu lingkungan yang
tidak jelas apakah ambien atau efluen, 3) pengaturan kumulatif antara pencemaran dan
kerusakan, 4) ketiadaan sanksi pidana minimal dan rendahnya ancaman sanksi pidana. Selain itu,
pengaturan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP akan menjadi tidak efisien karena
membutuhkan pengaturan teknis yang tidak mungkin diatur dalam RKUHP.”
Kemudian, Guru Besar Hukum Lingkungan FHUI, Prof. Dr. Andri Gunawan Wibisana,
S.H., LL.M mencatat pengaturan pertanggungjawaban korporasi masih mengandung masalah
dan berpotensi mengkriminalisasi orang. Pemidanaan korporasi (Pasal 45-50 RKUHP) sebagai
subjek hukum belum memudahkan atribusi kesalahan pada korporasi. Hal ini karena RKUHP
masih membatasi atribusi kesalahan korporasi pada agen korporasi. “Rumusan
pertanggungjawaban korporasi yang sekarang akan menyulitkan pembuktian kesalahan
korporasi. Alih-alih mengatur pemidanaan agen korporasi,  RKUHP justru mengatur
pertanggungjawaban pengganti individual/individual vicarious liability (Pasal 37 huruf b
RKUHP) yang berpotensi mengkriminalisasi orang. Terakhir, ketentuan pidana tambahan
korporasi berpotensi tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Hal ini karena sanksinya meliputi
sanksi administratif yang akan terhambat dengan hukum acara. Sehingga RKUHP masih perlu
diharmonisasikan secara cermat dengan berbagai undang-undang lain", jelas Andri.
  Sementara, WALHI mengkritisi RKUHP yang mencerminkan pelemahan penegakan
hukum lingkungan dan mengandung banyak pasal-pasal yang mengancam pejuang lingkungan,
mempersulit rakyat untuk menuntut kondisi lingkungan yang sehat dan baik sebagaimana yang
diamanatkan pada Konstitusi UUD 1945 Pasal 28H, dan memperparah konflik sumber daya alam

5
Nicholas Ryan Aditya, “ICJR temukan 73 Pasal Bermasalah di dalam RKUHP”,
https://nasional.kompas.com/read/2022/08/11/11284341/icjr-temukan-73-pasal-bermasalah-di-dalam-rkuhp?
page=all, diakses pada 13 Agustus 2022
dan perampasan wilayah kelola rakyat di Indonesia. Pasal-pasal tersebut tidak hanya anti-
demokrasi, tetapi rentan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang
memperjuangkan hak atas lingkungan hidupnya. Pada tahun 2021 saja WALHI mencatat
setidaknya terdapat 58 orang dan/atau lembaga yang dikriminalisasi ketika memperjuangkan
lingkungan hidup. “Pasal-pasal tersebut berpotensi menghambat partisipasi bermakna
masyarakat dalam perlindungan lingkungan hidup” ungkap Puspa Dewy WALHI Eksekutif
Nasional.  

5. Kriminalisasi Pers
a. Contempt of Court (Kolektif)
Contempt Of Court mengatur perihal penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap
dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan
kehormatan badan peradilan.6 Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) Dio Anshar mengatakan delik contempt of court
memang sudah diatur dalam KUHP. Namun, konsep contempt of court dalam RKUHP memiliki
tafsir berbeda yang justru lebih menyasar pengkritik peradilan.7 

6. Hukuman Mati
a. Masa Tunggu 10 Tahun {ENRILLE}
Di tengah pro-kontra negara-negara dunia terkait eksistensi pidana mati, Indonesia melalui
RKUHP mengambil suatu "jalan tengah" yang disebut oleh Wamenkumham, Prof. Edward Omar
Sharif Hiariej, sebagai Indonesian way. Jalan tengah yang dimaksud ialah dengan
mengkategorikan pidana mati sebagai pidana khusus bukan pidana pokok, serta memasukkan
rumusan masa percobaan selama 10 tahun untuk dapat menjadi pidana seumur hidup atau
sementara. 
Meskipun rumusan tersebut didasarkan pada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi,
RKUHP yang digadang-gadang sebagai produk hukum revolusioner karya terbaik anak bangsa
seharusnya mampu memberikan hukum yang lebih berkeadilan dari rumusan ini. Rumusan masa
percobaan ini pun mendapatkan banyak kritik, salah satunya berasal dari Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR). ICJR mengatakan bahwa pemberian masa percobaan pada terpidana mati
memberikan konsekuensi berupa efek deret tunggu. Tentunya efek deret tunggu ini merupakan
suatu bentuk penyiksaan tersendiri bagi terpidana mati, khususnya dalam penyiksaan psikis.
Belum lagi kemungkinan akan terpidana mati tetap dipidana mati setelah melewati masa
percobaan selama 10 tahun. Rumusan mengenai masa percobaan pidana mati selama 10 tahun
kami nilai terlalu lama dan tidak manusiawi, sehingga kami menolak adanya rumusan pasal ini
pada RKUHP saat ini.

7. Tipikor
a. Pengurangan hukuman tindak pidana
Harapan masyarakat Indonesia akan hadirnya hukuman berat, menjerakan, dan memiskinkan
koruptor belakangan ini semakin mengemuka. Harapan tersebut tidak henti-hentinya disuarakan
6
Pangaribuan, Luhut M.P, 1996, Advokat dan Contempt of Court: satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi.
DJAMBATAN, Jakarta, hlm.32.
7
Taher, A., 2022. Pasal 'Contempt of Court' dalam RKUHP Bisa Kriminalisasi Wartawan. Tersedia :
https://tirto.id/pasal-contempt-of-court-dalam-rkuhp-bisa-kriminalisasi-wartawan-ehnD
berbagai kalangan masyarakat, baik oleh mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, dan pers.
Namun, kini harapan tersebut ibarat fatamorgana yang tampaknya indah namun hanya sebuah
angan yang sulit diwujudkan. Melalui Pasal 607 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal
2 ayat (1) UU Tipikor. Aturan ini ternyata memuat penurunan pidana badan dari 4 tahun,
menjadi 2 tahun penjara. Tidak cukup itu, denda minimalnya pun serupa, turun dari Rp 200 juta
menjadi hanya Rp 10 juta.8 
Pandangan mengenai tujuan tindak pidana maupun implikasi moral pernah diklasifikasikan
oleh Herbert L Packer menjadi pandangan retributive (retributive view) dan pandangan
Utilitarian (Utilitarian view).9 Pandangan retributive menyatakan pemidaan adalah sebagai
ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang masyarakat sedangkan pandangan utilitarism
menganggap pemidanaan sebagai upaya untuk memperbaiki sikap terpidana sekaligus tindakan
preventif untuk orang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Menyadari hal tersebut,
pengurangan waktu pidana bukanlah sebuah keputusan yang tepat ditengah maraknya kasus
korupsi dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan kasus korupsi.

8. Multitafsir dalam Tindak Pidana terhadap Agama dalam Pasal 348-350 menurut
Koalisi Lintas Isu

Dalam kajian hukum pidana dan hak kebebasan beragama, “penghinaan” terhadap agama
sulit untuk diukur secara materil, sehingga pembuktiannya sangat sulit untuk dilakukan, karena
hal ini akan tergantung subyektifitas seseorang. Dalam pasal 348 disebutkan bahwa “Setiap
orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama di Indonesia, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III”.
Subyektifitas seseorang ini menjadi sangat berbahaya dalam konteks hukum pidana, karena
bersifat “karet” dan dapat disalahgunakan hal-hal di luar kepentingan hukum.10 
Saat ini, ketentuan tindak pidana terhadap agama, dalam hal penistaan agama di beberapa
Negara sudah dihapuskan, salah satunya adalah Belanda. “Tuhan tidak butuh perlindungan dari
Negara”, hal tersebut yang menjadi salah satu alasan bahwa ketentuan mengenai penistaan
agama tidak diperlukan. 

Hal yang seharusnya diatur adalah ketentuan mengenai hate speech/siar kebencian. Yang
terdiri dari 2 aspek, 
a) tindakan kebencian dari mayoritas ke minoritas karena berpotensi memprovokasi massa
untuk melakukan kejahatan berdasarkan SARA. 
b) perlakuan berdasarkan kekuasaan atau tindakan dari kelompok mayoritas terhadap
kelompok minoritas yang berpotensi memunculkan gejolak bahkan tindakan kekerasan yang
lebih masif. 

Hal tersebut yang seharusnya diatur dalam KUHP yang baru nantinya karena perbuatan
tersebut merupakan kejahatan yang dapat menimbulkan konflik sosial. Kategorisasi siar
kebencianya itu wajib dilarang seperti genocide, yang dapat dilarang seperti serangan kepada

8
RKUHP: Hukuman koruptor makin enteng, 'korupsi makin marak' - BBC News Indonesia, 2022. Diakses pada
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49589230
9
Ketut Mertha. 2014. Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi pidana. Bali : Udayana Press
10
Muhammad Hafiz, Catatan dan Dim terhadap R KUHP terkait Tindak pidana agama, Januari 2016
individu untuk individu dan berulang-ulang, dan yang tidak boleh dilarang berupa
toleransi/dakwah karena merupakan bentuk manifestasi keagamaan. 

Lalu dalam pasal 349 disebutkan bahwa,


“(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau
gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar
oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348, dengan maksud
agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun
sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan
hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf g.”

Jika dilihat Tujuan dari tindakan dalam pasal tersebut juga harus diperjelas, agar tidak
disalahgunakan. Tindakan-tindakan yang mengacu pada Pasal 348 akan dikaitkan dengan unsur
menyiarkan, yang merupakan wilayah manifestasi. Pembatasan hak setiap orang harus
memenuhi syarat substantif. Instrumen pokok hak asasi manusia yang mengatur jaminan
kebebasan beragama/berkeyakinan adalah UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, khususnya pasal 18 angka 3 yang mencakup:
kebebasan untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh
ketentuan berdasarkan hukum, dan hanya apabila diperlukan untuk melindungi keamanan,
ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Terkait pasal 350, disebutkan “Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk
apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori IV. “ Dalam doktrin kebebasan beragama, penyebaran agama adalah suatu hal yang sah
dan dijamin secara moral. Untuk itu, Pasal 350 ini harus ditekankan pada ajakan atau hasutan
untuk meninggalkan agama tertentu dengan cara-cara yang tidak benar dan etis yang
menyebabkan hilangkan kesadaran atau kemampuan obyek untuk memilih atas apa yang
diyakininya secara bebas dan sadar. Untuk itu, yang dilihat bukan ajakan untuk meninggalkan
agama, namun tindakan atau hasutan yang manipulatif dan menyebabkan orang (sasaran ajakan)
tidak mampu memilih kecuali mengikuti apa yang dikehendaki oleh penghasut, baik karena
faktor ekonomi, hubungan kerja atasan-bawahan, dll. Dalam rumusan delik Pasal 350, masih
terdapat kalimat “agama yang sah”. Tidak ada “agama yang sah” dan “tidak sah”. Apabila itu
ada maka akan menimbulkan diskriminasi terhadap ajaran yang dianggap bukan agama yang sah.
Selain itu, padaPasal 348, setiap orang dapat dipidana apabila melakukan penghinaan terhadap
agama. Dalam hal ini akan sulit penerapannya karena penentuan siapa yang merepresentasi
agama. Pasal ini juga bermasalah karena melanggengkan kriminalisasi hak beragama. Terlebih
pada prakteknya, ketentuan penodaan yang sebelumnya mencakup juga penafsiran agama,
merupakan wilayah forum internum.11

11
Tindak pidana agama dalam kehidupan beragama dalam RKUHP, Aliansi Nasional Reformasi RKUHP
Bagi YLBHI dan 18 LBH kantor, pemaksaan pasal-pasal anti demokrasi tersebut
bertentangan dengan tujuan politik-hukum pemidanaan yang ditetapkan. Pemerintah dan DPR
beragumentasi bahwa RKUHP hadir untuk mendekolonialisasi KUHP yang merupakan warisan
kolonial. Namun, hal demikian terbantahkan dengan sendirinya karena sifat kolonial justru
berasal dari pasal-pasal yang anti demokrasi dan masih diakomodir oleh penguasa. Maka jauh
panggang dari api, sah kita menyebut RKUHP sebagai produk hukum yang justru linear dengan
politik-hukum pemerintahan kolonial di masa lampau. Alih-alih mendekolonialisasi, RKUHP
justru merekolonialisasi politik hukum pemidanaan Indonesia.
Kami juga menganggap bahwa produk hukum ini diskriminatif karena subjek pengaturan
pidana hanya ditujukan kepada rakyat dengan segala ketentuan batasan dan larangan-
larangannya. Oleh karena itu, ancaman over-kriminalisasi yang terkandung dalam RKUHP
menyebabkan #SemuaBisaKena.
Masyarakat sipil juga dipertontonkan dengan sikap anti demokrasi oleh wakil rakyat.
Respon Bambang Wuryanto, Ketua Komisi III DPR RI kepada Aliansi Reformasi KUHP, pada
saat forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) beberapa waktu lalu menunjukan, bahwa
DPR memilih menutup mata dan telinga terhadap banyaknya kritik dan masukan dari
masyarakat. Upaya kejar terget anggota DPR tersebut menunjukkan rendahnya etika pejabat
publik. Hal ini menegaskan indikasi RKUHP berpotensi digunakan secara serampangan karena
buruknya budaya hukum pejabat publik. Hal tersebut makin membuat terang bahwa tidak ada
keberpihakan wakil-wakil rakyat kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Bahkan, kondisi ini
menegaskan bahwa kemunduran demokrasi dan lemahnya pemenuhan HAM adalah buah dari
demokrasi keterwakilan Indonesia yang masih berwatak feodalistik.

Berangkat dari uraian diatas, YLBHI dan 18 LBH Kantor bersama Aliansi Rakyat Bergerak
mendesak kepada Presiden dan DPR RI untuk:

1.Menunda pengesahan RKUHP hingga tidak ada lagi pasal-pasal bermasalah yang
diakomodir di dalamnya;
2. Menghapus pasal-pasal anti demokrasi dalam RKUHP;
3. Memastikan proses pembahasan yang transparan dan partisipatif; dan
4. Mendengarkan dan menerima masukan, aspirasi dan kritik dari masyarakat sipil.

Hormat kami
1. Pengurus YLBHI
2. LBH Banda Aceh
3. LBH Pekanbaru
4. LBH Medan
5. LBH palembang
6. LBH Padang
7. LBH Lampung
8. LBH Jakarta
9. LBH Bandung
10. LBH Semarang
11. LBH Yogyakarta
12. LBH Surabaya
13. LBH Bali
14. LBH Kalimantan Barat
15. LBH Samarinda
16. LBH Palangkaraya
17. LBH Makassar
18. LBH Manado
19. LBH Papua
20. WALHI Yogyakarta
21. Aliansi UNY Bergerak
22. Aliansi UGM
23. Aliansi UMY
24. Aliansi Unisa
25. BEM KM UGM
26. BEM FH UMY
27. HMI UMY
28. IMM AR Jogja
29. KPR
30. FAMJ
31. LSS
32.

Anda mungkin juga menyukai