Anda di halaman 1dari 8

Sifat Melawan Hukum

BY DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI AUGUST 8, 2013

Terminologi sifat melawan hukum dapat ditemukan sebagai salah


satu unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun
1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Tegasnya pasal tersebut menyatakan: setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dan paling banyak Rp.
1.000.000.000 (satu milyar Rupiah)
Kata melawan hukum dalam pasal tersebut kemudian dalam
penjelasannya, mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tidak tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Sebenarnya istilah melawan hukum materil dalam Pasal 2 ayat 1 UU
No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tidak dapat
dipergunakan lagi Pasca Putusan MK No. 003/ PUU- IV/ 2006 tanggal
25 Juli 2006 yang menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat 1
tersebut dinyatakan telah bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Meskipun demikian, pasca putusan MK tersebut, praktiknya MA
tetap
menganut
ajaran
perbuatan
melawan
hukum

materil (materele wederrechtelijkheid). Bisa diamati misalnya dalam


Putusan MA RI No. 2064 K/ Pid/ 2006 tanggal 8 Januari 2007 atas
nama terdakwa H. Fahrani Suhaimi. (Lilik Mulyadi: 2011)

Sumber: cikarangonline.com

Argumentasi dari hakim tersebut masih menggunakan perbuatan


melawan hukum materil sebagai berikut:
1.

Bahwa putusan MK No. 003/ PUU- IV/ 2006 tanggal 25 Juli 2006
yang menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun
1999 jo UU No. 20 tahun 2001 dinyatakan telah bertentangan
dengan UUD NRI 1945 dan telah dinyatakan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sehinga unsur melawan hukum
tersebut tidak menjadi jelas rumusannya. Oleh kerana itu
berdasarkan
doktrin Sen-Clair atau La
Doctrine
do
Sen
Clair hakim harus melakukan penemuan hukum.
2. Bertitik tolak aspek tersebut di atas, Majelis Hakim MA RI
memberi makna unsure melawan hukum dalam ketentuan Pasal
2 ayat 1 UU N0 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 akan
memperhatikan
doktrin
dan
Yurisprudensi
MARI
yang
berpendapat bahwa unsur melawan hukum dalam tindak pidana
korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukkum dalam arti
materil, dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti
materil juga meliputi fungsi positif dan fungsi negatif dengan
berpedoman bahwa tujuan diperluas unsur perbuatan melawan
hukum adalah untuk mempermudah pembuktian di persidangan

sehingga suatu perbuatan dipandang oleh masyarakat sebagai


melawan hukum secara materil atau tercela perbuatannya,
dapatlah dihukum pelakunya melakukan tindak pidana korupsi,
meskipun perbuatan itu tidak melakukan perbuatan melawan
hukum secara formal. Kemudian pengertian melawan hukum
menurut penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3 Tahun 1971,
tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan
mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan
atau kepatutan dalam pergaualan masyarakat atau dipandang
tercela oleh masyarakat. Selain itu berdasarkan butir 2 Surat
Menteri Kehakiman RI tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar
diajukannya RUU No 3 Tahun 1971 dapat disimpulkan
pengerttian perbuatan melawan hukum secara materil adalah
dititikberatkan pada pengertian yang diperoleh dari hukum tidak
tertulis, hal ini tersirat dalam surat tersebut yang pada pokoknya
berbunyi maka untuk mencakup perbuatan yang sesungguhnya
bersifat koruptif, tetapi sukar dipidana, karena tidak didahului
suatu kejahatan atau pelanggatran dalam RUU ini dikemukakan
sarana melawan hukum dalam rumusan tindak pidana korupsi,
yang pengertiannya juga meliputi perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk
bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun haknya
dan akhirnya sejalan dengan politik hukum untuk memberantas
korupsi dalam Putusan MA RI No 275 K/ Pid/ 1983 tanggal 28
Desember 1983, untuk pertama kalinya dinyatakan secara tegas
bahwa korupsi secara materil melawan hukum karena perbuatan
tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela dan
menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan memakai
tolok ukuran asas-asas hukum yang bersifat umum dan menurut
kepatutan dalam masyarakat.
Tentunya dari putusan MARI di atas memunculkan pertanyaan
sebagai berikut:

1.

Jika sudah dibatalkan oleh MK penjelasan perbuatan melawan


hukum materil, kenapa masih digunakan oleh MA, apakah masih
dibolehkan MA menggunakan unsur perbuatan melawan hukum
materil tersebut dengan melakukan penemuan hukum kembali?
2. Apakah mesti MARI tunduk pada putusan MK yang sudah
membatalkan pengertian perbuatan melawan hukum materil
itu ?
Kedua pertanyaan tersebut, sebenarnya lahir dari satu konsep atau
asas hukum yang kita anut saat ini yaitu asas legalitas yang
sederhananya terdapat dalam Pasal 1 KUHP Tidak ada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali undang-undang mengaturnya
lebih dahulu. Olehnya itu dalam hukum pidana sangat dilarang
penggunaan analogi.
Terdapatnya unsur perbuatan melawan hukum materil dalam UU No.
31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 merupakan kontradiksi
antara dianutnya asas legalitas dalam hukum pidana ataukah tidak,
atau dalam kalimat yang lain apakah masih dimungkinkan hakim
melakukan analogi ataukah penafsiran ekstensif. Dalam konteks ini
menurut saya hakim dapat melakukan penafsiran hukum, perlu
diketahui bahwa analogi dan penafsiran ekstensif merupakan
penemuan hukum dari metode konstruksi, bukan penafsiran an
sich (lih. Achamd Ali: 2002).
Sepanjang hakim itu melakukan penafsiran terhadap maksud Pasal
2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001, tidak
mengubah maksud dari pasal tersebut, tetap dimungkinkan.
Misalnya dengan berpatokan pada adanya unsur kerugian Negara
dan ternyata bertentangan dengan nilai keadilan yang dianut dalam
masyarakat tetap dapat dipidana. Tapi kalau tidak melanggar nilai
keadilan yang dianut dalam masyarakat, orang yang merugikan
keuangan Negara itu bisa lepas dari tuntutan pidana.
Sebuah contoh sederhana, seorang kepala daerah mencairkan dana
bantuan bencana alam, namun dari bantuan tersebut masih ada
sisanya, sisanya kemudian ia anggarkan lagi untuk pembangun

jalan dan jembatan, dimungkinkan terjadi kerugian Negara, tetapi


terpenuhinya memperkaya diri sendiri baik itu sebuah korporasi
tidak ada, dalam penggunaan anggaran sisa itu karena tidak
diperuntukan untuk yang demikian. Berarti tidak terpenuhilah
perbuatan korupsinya. Inilah yang dimaksud perbuatan Sifat
melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif. Perbuatan
tersebut terpenuhi melanggar undang-undang namun dalam tataran
substantif, oleh masyarakat bukan dipandang sebagai perbuatan
pidana.
Kalau kita membuka RUU KUHP Pasal 1 ayat 1 dan ayat 3, kelihatan
sudah menganut istilah melawan hukum materil berfungsi positif
dan berfungsi negatif.
Tegasnya pasal tersebut berbunyi (1) tiada seorang pun dapat
dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan
telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, selanjutnya
pada ayat 3 nya dinyatakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 tidak mengurangi tidak berlakunya hukum yang hidup
dalam masyarakat yang menentukan bahwa seorang patut dpidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Sepertinya di masa mendatang, asas legalitas yang dianut di
Indonesia tidak lagi bersifat absolut, karena secara tersirat sudah
diakui hukum yang tidak tertulis dalam masyarakat.
Kalau kita mencari dasar konstitusioanalnya asas legalitas dalam
UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat 3 negara Indonesia
berdasarkan atas hukum, tidak ada embel-embel konsep Negara
hukum rechstaat ataukah konsep Negara hukum rule of law yang
kita gunakan, berarti dengan tidak adanya embel-embel tersebut
dilakukan secara sengaja, dengan tujuan memberi tempat yang luas
pada pemenuhan rasa keadilan (the rule of law). Artinya demi

tegaknya keadilan, seyogianya perbuatan yang tidak wajar, tercela,


atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dapat
dipidana secara formal tidak ada hukum tertulis yang melarangnya
(konsep Negara hukum prismatic dalam Mahfud: 2006)
Agar tercipta kejelasan dalam pemahaman pengertian melawan
hukum mari kita lihat pembagiannya dalam hukum pidana. Sifat
melawan hukum adalah suatu frase yang memiliki empat makna
(Hiariej: 2006)
1. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum
dapat dipidananya suatu perbuatan atau dengan kata lain
merupakan syarat tertulis untuk dipidananya suatu perbuatan
2. Sifat melawan hukum khusus biasanya kata melawan hukum
dicantumkan dalam rumusan delik.
3. Sifat melwan hukum formil mengandung arti semua bagian
(unsur-unsur ) dari rumusan delik itu telah terpenuhi
4. Sifat
melawan
hukum
materil
menganut
dua
pandangan, Pertama sifat melawan hukum materil dilihat dari
sudut perbuatannya, yang mana mengandung arti perbuatan
yang melanggar atau yang membahayakan kepenting hukum
yang hendak dilindungi atau pembuat undang-undang dalam
rumusan tertentu. Kedua, sifat melawan hukum materil dlihat
dari sudut hukumnya, hal ini mengandung makna yang
bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang
hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan, atau nilai-nali
keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya sifat melawan hukum materil itu
masih dibagi lagi menjadi dua yaitu sifat melawan hukum materil
dalam fungsinya yang berfungsi negatif dan sifat melawan hukum
materil dalam fungsinya yang berfungsi positif
Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif
diartikan bahwa meskipun perbuatan tersebut memenuhi unsur
delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat,
maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Sedangkan sifat melawan

hukum materil berfungsi positif, mengadung arti bahwa meskipun


perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun
jika perbuatan tersebut dianggap tidak tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Pertanyaan sekarang, kira-kira yang dibatalkan oleh MK, perbuatan
melawan hukum material dalam arti yang bagaimana ? kalau
diartikan bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti tidak boleh
menggunakan analogi, karena dianutnya asas legalitas dalam
hukum pidana sepertinya kurang tepat, karena untuk konteks
sekarang cara kita menerapakan asas legalitas tidak lagi absolute,
bahkan dengan diberikanya hak bagi hakim untuk menggali nilai
nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat berdasarkan UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menunjukan ada indikasi
dapat diterapkannya perbuatan melawan hukum materil yang
terbagi atas dua itu (berfungsi negatif dan berfungsi positif).
Kalau dikatakan ini melanggar hak tersangka/ terdakwa karena bisa
sewenang-wenang terhadap perlakuan hukum terhadap terdakwa,
maka jawabanya tidak juga. Bukankah dari dianutnya dua pembagin
perbuatan melawan hukum materil itu, terdakwa bisa tidak di
pidana, bisa juga dipidana. Yang dilarang sebenarnya dalam hukum
pidana, dalam perspektif saya, kalau hakim itu menggunakan
analogi yang diartikan tidak lagi berpijak pada satu ketentuan
hukum dalam sebuah pasal yang diterapkan itu. Tetapi penerapan
perbuatan melawan hukum materil berfungsi positif dan berfungsi
negatif diakui bersama masih berpijak pada unsure-unsur tindak
pidana korupsi seperti terjadinya kerugian Negara, memperkaya diri
sendiri ataukah sebuah korporasi. Kalau begitu dalam penelaahan
asas, hingga teori dan tujuan hukum (tidak melihat sasaran utama
putusan MK sebagai putusan yang final and binding). Maka
perbuatan melawan hukum materil yang berfungsi positif dan

berfungsi negative, masih layak diterapkan oleh hakim dalam


memeriksa perkara tindak pidana korupsi.
Berbeda halnya kalau berbicara persoalan ranah kewenangan MK
dan sasaran dari pada putusannya, karena MK yang bertindak
sebagai judicial court (bukan justice court), yang mana MK bertindak
seolah-olah sebagai UUD sebagai landasan tertinggi dari UU, maka
mau tidak mau Pengadilan Umum dan jajarannya harus tunduk pada
putusan MK tersebut.
Di sinilah kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dengan hadirnya
MK, karena putusan MK tidak dikenal lagi upaya hukum untuk
menganulir putusannya. Satu-satunya cara adalah dengan merivisi
UU tersebut melalaui pembahasan kembali di legislatif.

Anda mungkin juga menyukai