TUGAS 2
• Kesalahan
Menurut ahli hukum perdata Rutten menyatakan bahwa setiap akibat dari perbuatan
melawan hukum tidak bisa dimintai pertanggungjawaban jika tidak terdapat unsur
kesalahan.[2] Unsur kesalahan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu
kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kesalahan karena kekurang hati-hatian
atau kealpaan. Dalam hukum perdata, baik kesalahan atas dasar kesengajaan ataupun
kekurang hati-hatian memiliki akibat hukum yang sama.
• Kerugian
Kerugian dalam hukum perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yakni kerugian
materil dan/atau kerugian immateril. Kerugian materil adalah kerugian yang secara nyata
diderita. Adapun yang dimaksud dengan kerugian immateril adalah kerugian atas manfaat
atau keuntungan yang mungkin diterima di kemudian hari.
• Hubungan kausal.
Ajaran kausalitas dalam hukum perdata adalah untuk meneliti hubungan kausal antara
perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku dapat
dimintakan pertanggungjawaban.[5] Unsur ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban
perlu dibuktikan terlebih dahulu hubungan sebab-akibat dari pelaku kepada korban.
Negara sebagai penyelenggaran pemerintahan sering dihadapkan dengan kondisi darurat yang
mengharuskan negara mengambil tindakan yang merugikan masyarakat. Contoh tindakan hukum
negara yang sebenarnya tak melawan hukum namun membawa kerugian bagi warganya adalah
mengizinkan pendirian bandara di tanah rakyat yang harus dilepas rakyat dengan harga yang
murah.
Negara adalah penyelenggara negara. Negara memiliki kewenangan untuk menyupayakan
kesejahteraan rakyatnya. Namun dalam titik tertentu, misalnya dalam kondisi darurat, negara
bisa mengambil tindakan yang sebenarnya tak melawan hukum namun membawa kerugian bagi
rakyat baik itu jangka pendek maupun jangka panjang.
2. Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III
BW, pada bagian “Tentang perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, dalam menentukan suatu
perbuatan dapat dikualifikasi sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 168,
berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di dalam rumusan delik yang menjadi
bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus” (contoh Pasal 372 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum” sebagai unsur yang tidak disebut
dalam rumusan delik tetapi menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum
secara umum” (contoh Pasal 351 KUHP). Hal ini benar-benar diterapkan dalam hukum positif di
Indonesia, contohnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 2 UU Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3 UU
Tipikor tidak dicantumkan unsur “melawan hukum”. Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2
UU Tipikor disebutkan:
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Perbedaan perbuatan “melawan hukum” dalam konteks Hukum Pidana dengan konteks Hukum
Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan
Hukum Perdata yang bersifat privat. Menurut pendapat dari Munir Fuady dalam
bukunya Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), yang menyatakan:
“Hanya saja yang membedakan antara perbuatan (melawan hukum) pidana dengan perbuatan
melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka
dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin juga
kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum (perdata) maka yang
dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.”
Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui wewenang
atau secara sewenang-wenang tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.[1]
Sedangkan, keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan
mencampuradukkan wewenang dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap.[2]
Selain itu, Prof Zudan Arif Fakhrulloh memaparkan bahwa masyarakat masih bisa melaporkan
dugaan penyalahgunaan kewenangan kepada aparat penegak hukum dan berkoordinasi dengan
aparat pengawas internal pemerintah. Beliau menambahkan, kalau laporan itu bersifat
administratif diselesaikan melalui pengawasan internal pemerintah, tetapi kalau ada indikasi
pidana tetap ditangani aparat penegak hukum.
Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang merasa kepentingannya dirugikan oleh hasil
pengawasan APIP dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang.[3]
PTUN berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus permohonan ada atau tidaknya
penyalahgunaan wewenang sebelum dilakukan proses pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam
Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang (“Perma 4/2015”).