Anda di halaman 1dari 5

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 2

Nama Mahasiswa : Alfiansyah Putra Nur Sahaya

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 044190756

Kode/Nama Mata Kuliah : ADPU4332/Hukum Administrasi Negara

Kode/Nama UPBJJ : 80/Makassar

Masa Ujian : 2022/23.1 (2022.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
1. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum
diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya tersebut. Merujuk dari
penjelasan ini, terdapat 4 (empat) unsur yang harus dibuktikan keberadaannya jika ingin
menggugat berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum, yaitu:

• Perbuatan melawan hukum


Unsur ini menekankan pada tindakan seseorang yang dinilai melanggar kaidah hukum yang
berlaku di masyarakat. Sejak tahun 1919, pengertian dari kata “hukum” diperluas yaitu
bukan hanya perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi juga setiap
perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antara
sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.

• Kesalahan
Menurut ahli hukum perdata Rutten menyatakan bahwa setiap akibat dari perbuatan
melawan hukum tidak bisa dimintai pertanggungjawaban jika tidak terdapat unsur
kesalahan.[2] Unsur kesalahan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu
kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kesalahan karena kekurang hati-hatian
atau kealpaan. Dalam hukum perdata, baik kesalahan atas dasar kesengajaan ataupun
kekurang hati-hatian memiliki akibat hukum yang sama.

• Kerugian
Kerugian dalam hukum perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yakni kerugian
materil dan/atau kerugian immateril. Kerugian materil adalah kerugian yang secara nyata
diderita. Adapun yang dimaksud dengan kerugian immateril adalah kerugian atas manfaat
atau keuntungan yang mungkin diterima di kemudian hari.

• Hubungan kausal.
Ajaran kausalitas dalam hukum perdata adalah untuk meneliti hubungan kausal antara
perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku dapat
dimintakan pertanggungjawaban.[5] Unsur ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban
perlu dibuktikan terlebih dahulu hubungan sebab-akibat dari pelaku kepada korban.

Negara sebagai penyelenggaran pemerintahan sering dihadapkan dengan kondisi darurat yang
mengharuskan negara mengambil tindakan yang merugikan masyarakat. Contoh tindakan hukum
negara yang sebenarnya tak melawan hukum namun membawa kerugian bagi warganya adalah
mengizinkan pendirian bandara di tanah rakyat yang harus dilepas rakyat dengan harga yang
murah.
Negara adalah penyelenggara negara. Negara memiliki kewenangan untuk menyupayakan
kesejahteraan rakyatnya. Namun dalam titik tertentu, misalnya dalam kondisi darurat, negara
bisa mengambil tindakan yang sebenarnya tak melawan hukum namun membawa kerugian bagi
rakyat baik itu jangka pendek maupun jangka panjang.
2. Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III
BW, pada bagian “Tentang perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, dalam menentukan suatu
perbuatan dapat dikualifikasi sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Dalam konteks hukum pidana, “melawan hukum” (Wederrechtelijk) dibedakan menjadi:


1. Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang.
2. Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan walaupun tidak dengan tegas dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum yang
terdapat di dalam lapangan hukum (algemen beginsel).

Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 168,
berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di dalam rumusan delik yang menjadi
bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus” (contoh Pasal 372 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum” sebagai unsur yang tidak disebut
dalam rumusan delik tetapi menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum
secara umum” (contoh Pasal 351 KUHP). Hal ini benar-benar diterapkan dalam hukum positif di
Indonesia, contohnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 2 UU Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3 UU
Tipikor tidak dicantumkan unsur “melawan hukum”. Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2
UU Tipikor disebutkan:
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Perbedaan perbuatan “melawan hukum” dalam konteks Hukum Pidana dengan konteks Hukum
Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan
Hukum Perdata yang bersifat privat. Menurut pendapat dari Munir Fuady dalam
bukunya Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), yang menyatakan:
“Hanya saja yang membedakan antara perbuatan (melawan hukum) pidana dengan perbuatan
melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka
dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin juga
kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum (perdata) maka yang
dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.”

3. Konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Adiministrasi Negara (“HAN”) yaitu:


1. Detournement de pouvoir atau melampaui batas kekuasaaan;
2. Abuse de droit atau sewenang-wenang

Larangan penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 17 dan 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun


2014 tentang Administrasi Pemerintahan meliputi larangan melampaui wewenang, larangan
mencampuradukkan wewenang, dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang.
Pengawasan dan penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang terlebih dahulu
dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Jika merasa dirugikan oleh hasil
pengawasan APIP, dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk
menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang.
Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan, jika ditemukan niat jahat yang dilakukan
badan/pejabat pemerintahan tersebut, maka ini termasuk dalam ranah pidana.

Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui wewenang
atau secara sewenang-wenang tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.[1]
Sedangkan, keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan
mencampuradukkan wewenang dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap.[2]

Aspek Hukum Administrasi Negara dan Pidana dalam Penyalahgunaan Wewenang


Bersumber dari artikel UU Administrasi Pemerintahan “Trigger” Berantas Korupsi.
Guru Besar Hukum Administrasi Universitas Hasanuddin Prof Guntur Hamzah menyatakan
bahwa pelanggaran administrasi yang merugikan uang negara bisa selesai di tingkat administrasi
pemerintahan, tetapi jika ditemukan niat jahat masuk wilayah pidana (korupsi).

Selain itu, Prof Zudan Arif Fakhrulloh memaparkan bahwa masyarakat masih bisa melaporkan
dugaan penyalahgunaan kewenangan kepada aparat penegak hukum dan berkoordinasi dengan
aparat pengawas internal pemerintah. Beliau menambahkan, kalau laporan itu bersifat
administratif diselesaikan melalui pengawasan internal pemerintah, tetapi kalau ada indikasi
pidana tetap ditangani aparat penegak hukum.

Merujuk Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan pada artikel


Penyalahgunaan Wewenang Ditinjau dari Hukum Administrasi Negara, berdasarkan Pasal 20
UU 30/2014, maka pengawasan dan penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang
terlebih dahulu dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Hasil pengawasan
APIP dapat berupa tidak terdapat kesalahan, terdapat kesalahan administratif, atau terdapat
kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang merasa kepentingannya dirugikan oleh hasil
pengawasan APIP dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang.[3]
PTUN berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus permohonan ada atau tidaknya
penyalahgunaan wewenang sebelum dilakukan proses pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam
Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang (“Perma 4/2015”).

Anda mungkin juga menyukai