Anda di halaman 1dari 18

Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang

dilakukan oleh Kepala Lingkungan

Frenklyn Sertu Junrich Siahaan1, Besty Habeahan2, July Esther Napitupulu3


1,2,3
Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan, Indonesia

ABSTRAK
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam hubungan-
hubungan hukum yang berada didalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
dalam hal ini adalah “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Yang Dilakukan Oleh Kepala Lingkungan (Studi Putusan No.XY/Pid.Sus-
TPK/2019/PN.Mdn)”. Seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
melakukan pungutan liar sama halnya dengan korupsi yang memeras yaitu korupsi
yang memaksa seseorang memberikan sesuatu karena kekuasaannya dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimanakah penerapan hukum terhadap kepala lingkungan yang
melakukan tindak pidana korupsi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dalam
penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala
lingkungan sesuai dengan Putusan Pengadilan No.XY/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Mdn
sesuai dengan pasal yang dikenakan yaitu pasal 12 huruf e Undang-Undang nomor 20
tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dijatuhi hukuman
minimal. Akan tetapi tidak adanya pidana pemberatan sesuai pasal 52 KUHP yang
bilamana seseorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan pidana memakai
kekuasaannya pidananya ditambah sepertiga.

Kata kunci : Korupsi, Penegakan hukum, Tindak pidana.

1. PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, yang mengatur segala kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai negara
hukum yang menganut falsalah Pancasila dan berdasarkan UUD 1945, Indonesia memiliki
cita-cita, ingin mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, secara menyeluruh
bagi seluruh rakyat. Dalam mencapai cita-cita bangsa tersebut tidaklah merupakan suatu hal
yang mudah. Kenyataan menunjukan bahwa didalam masyarakat banyak terjadi tindakan
melawan hukum dan merugikan keuangan negara maupun merugikan kepentingan
masyarakat sendiri yang disebut tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana ini
dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial, ekonomi masyarakat, politik bahkan dapat pula merusak nilai-nilai
demokrasi serta moralitas karena semakin lama tindak pidana ini sudah menjadi budaya dan
ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang melakukan pungutan liar sama halnya
dengan korupsi yang memeras (extortive corruption) yaitu jenis korupsi dimana pihak
pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya,
kepentingannya, atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya. Banyak istilah lain yang

63
sering dipergunakan oleh masyarakat mengenai pungutan liar adalah pengenaan biaya
ditempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut dilokasi atau pada kegiatan
tersebut tidak sesuai ketentuan. Hal ini dapat diartikan bahwa kegiatan memungut biaya atau
meminta uang secara paksa oleh seseorang terhadap pihak lain merupakan sebuah praktek
kejahatan atau perbuatan pidana. Pemerasan ini diatur dalam pasal 12 huruf e Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan defenisi pungutan liar yang berbunyi:
“Suatu perbuatan yang dilakukan pegawai negeri atau penyelenggara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaanya memaksa sesseorang memberikan sesuatu, membayar,
atau menerima pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri”.
Setiap orang dapat melakukan pungutan liar tidak terkecuali pejabat negara maupun
swasta atau penyelenggara pemerintah ditingkat terendah sekalipun seperti Kepala
Lingkungan. Kepala Lingkungan adalah sebagai perpanjangan tangan Lurah dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat baik itu membantu masyarakat untuk pengurusan
administrasi di Kelurahan maupun terhadap masalah lainnya. Berkenaan dengan Kepala
Lingkungan sebagai perpanjangan tangan Lurah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat dan membantu masyarakat dalam pengurusan adminitrasi menjadi kesempatan
bagi Kepala Lingkungan tersebut untuk melakukan pemerasan terhadapat masyarakat
lingkungannya. Hal tersebut tentu merupakan perbuatan melawan hukum karena akibatnya
tersebut dapat merugikan kepentingan-kepentingan masyarakatnya.
Kasus tindak pidana korupsi telah terjadi dimana-mana. Contohnya hal ini dapat
diketahui dari putusan perkara Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan Nomor
XY/Pid.Sus-TPK/PN Mdn.
Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penegakan
hukum terhadap Kepala Lingkungan yang melakukan tindak pidana korupsi (Studi Putusan
Nomor XY/Pid.Sus-TPK/2019/PN Mdn), dengan tujuan untuk mengetahui bagaimanakah
penegakan hukum terhadap Kepala Lingkungan yang melakukan tindak pidana korupsi.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum
2.1.1. Pengertian penegakan hukum
Utrech, E, menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian
hukum dalam pergaulan manusia, yakni kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam
atau dari hukum.1 Menurut Daliyo hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,
yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh
badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibatkan
diambilnya tindakan dengan hukuman tertentu.2 Penegakan hukum disuatu negara
dipengaruhi oleh sistem hukum itu sendiri, dimana Indonesia menganut sistem hukum Civil
Law, maka penegakan hukum di Indonesia cenderung merujuk kepada hukum tertulis seperti
undang-undang dan lain-lain.

1
Nurul Qamar, Muhammad Syarif, Sosiologi Hukum (Sociology Of Law), Mitra Wacana Media,
Jakarta, 2016, Hal 27
2
Hasaziduhu Moho, Jurnal Warta Edisi : 59, Penegakan Hukum Di Indonesia Menurut Aspek
Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan, Januari 2019, Hal 02
Pengertian penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum
sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika
terjadi pelanggaran hukum kemudian memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya
ditegakkan kembali.3 Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan
menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna
menjamin penataan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto
Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum (yaitu pikiran-pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam
peraturan hukum) menjadi kenyataan.4
Tugas utama penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan, karena dengan adanya
penegakan hukum itulah hukum menjadi kenyataan. Tanpa penegakan hukum, maka hukum
tak ubahnya hanya rumusan tekstual yang tidak bernyali atau disebut juga dengan hukum
yang mati. Maka demikian dalam penegakan hukum menuntut agar semua nilai yang ada
dibalik norma hukum turut ditegakkan tanpa kecuali. Dalam menegakan hukum ada tiga
aspek yang harus diperhatikan yaitu: kepastian hukum (rechtssichercheit), keadilan
(gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmssigkeit).
2.1.2. Pengertian Penegakan Hukum Pidana
Menurut Wirjono Prodjodikoro hukum pidana adalah hukum peraturan hukum mengenai
pidana.5 Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan
oleh negara pada seseoang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas
perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.6 Adapun tujuan dari pidana
tersebut ialah: reformation, restraint, retribution, dan deterrence. Penjatuhan pidana terhadap
seseorang yang melanggar hukum pidana merupakan suatu cara dari penegakan hukum
pidana.
Penegakan hukum pidana adalah suatu usaha menanggulangi kejahatan secara rasional,
memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap
berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana
pidana maupun non hukum pidana, yang dapat di integritaskan satu dengan yang lainnya.7
Penegakan hukum pidana merupakan salah satu bentuk dari upaya penanggulangan
kejahatan.8
Penegakan hukum secara pidana merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) sebagai hukum acara atau hukum formil untuk menegakan hukum pidana
itu sendiri. Adapun lembaga yang menaungi penegakan hukum pidana meliputi, POLRI,
Jaksa, KPK, dan Hakim, serta wilayah peradilan meliputi, Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, dan Pengadilan Tingkat Kasasi, serta pengadilan-pengadilan khusus seperti
pengadilan anak, pengadilan tipikor.
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum

3
Faisal Santiago, Pagaruyung Law Journal, Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh
Penegak Hukum Untuk Terciptanya Ketertiban Hukum, Volume 1 No.1, Juli 2017, Hal 36
4
Safaruddin Harefa, Law Journal UBELAJ, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di
Indonesia Melalui Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam, Volume 4 Number 1, April 2019,
Hal 38
5
July Esther, Anastasia Reni Widiastuti, Op.Cit, Hal 02
6
Ibid, Hal 19
7
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hal 109
8
Vivi Ariyanti, Jurnal Yuridis, Kebijakan Penegakan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Vol 6 No 2, Desember 2019, Hal 37
Dalam hal penegakan hukum tentu saja dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang
memepengaruhi penegakan hukum tersebut. Setidaknya menurut Soerjono Soekanto terdapat
5 (lima) faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai
berikut: faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang), faktor penegak hukum, faktor sarana
atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, dan faktor budaya.
Berdasarkan hal-hal diatas, dapat disimpulkan bahwa jaminan adanya keadilan dan
kepastian hukum dalam penegakan hukum (law enforcement) dapat terlaksana dengan baik
harus memenuhi setidaknya 3 syarat yaitu :
1. Adanya peraturan perundang-undangan
2. Adanya aparat dan lembaga yang akan menjalankan peraturan dengan baik yaitu polisi,
jaksa, dan, hakim
3. Adanya kesadaran hukum dari masyrakat yang terkena peraturan.9

2.1.4. Upaya-upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi


Penegakan hukum tindak pidana korupsi merujuk kepada UU No. 20 Tahun 2001
sebagai hukum materil dan Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum
acara atau hukum formil untuk menegakan hukum pidana itu sendiri. Hal tersebut merupakan
upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi disertai instansi-instansi dalam
menegakan hukum tindak pidana korupsi. Adapun instansi-instansi yang menangui tindak
pidana korupsi meliputi POLRI, Kejaksaan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Dan
Hakim di Pengadilan Tipikor.

2.2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi


2.2.1. Pengertian tindak pidana korupsi
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum belanda yaitu
“strafbaar feit”. Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat
dihukum.10 Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahsa Latin Corruption atau
Corruptus, kemudian bahwa Corruption berasal dari kata corrumpere, kemudian turun ke
bahasa seperti corruption, corrupt (Inggris), corruption (Prancis), corruptie, korruptie
(Belanda).11
Beberapa pengertian yang berkaitan tentang korupsi menurut para sarjana, antara lain:
a. Menurut A.L.N Kramer SR sebagaimana dikutip oleh Djaja Ermanjah mengartikan kata
korupsi sebagai busuk, rusak, dapat disuap.12
b. Menurut Elwi Danil, tindak pidana korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatu
bentuk kejahatan asministrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Disamping itu, tindak pidana korupsi juga dapat dilihat
sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma sosial
lainnya.13
c. Menurut Alatas, korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi.14

9
Vivi Ariyanti, Jurnal Yuridis, Op. Cit, Hal 43
10
Junaidi Abdullah, Yudisia, Op.Cit, Hal 103
11
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Pidana Nasional Dan Internasional, Rajawali
Pers, Jakarta, 2012, Hal 04
12
Djaja Ermansyah, Memberantas Korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hal 4-5
13
Elwi Danil, Korupsi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 70
14
Alatas, Korupsi, LP3ES, Jakarta, 1987, Hal 01
2.2.2. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Chidir Ali mengatakan bahwa lazimnya dalam hukum dan pergaulan hukum dikenal
dengan istilah subjek hukum (subjectum juris). Tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek
hukum, karena masih ada subjek hukum lainnya yaitu segala sesuatu yang menurut hukum
dapat mempunyai hak dan kewajiban, termasuk ini apa yang dinamakan badan hukum
(Rechtspersoon).15 Subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimuat dalam
pasal 20 Jo Pasal 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 yaitu orang dan korporasi .
a. Subjek Hukum Orang
Orang sebagai subjek tindak pidana korupsi yang disebutkan secara umum dalam
rumusan tindak pidana korupsi menggunakan istilah ‘setiap orang’, seperti terdapat pada
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 21 dan Pasal 22 dan juga di sebutkan secara khusus
status atau kualitas orang yang mampu dipidana sebagai pelaku tindak pidana korupsi dalam
UU PTPK.
b. Subjek Hukum Korporasi
Pasal 1 ke-1 UU RI No. 31 Tahun 1999 Jo. UU RI No. 20 Tahun 2001 yang dimaksud
dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2.2.3. Unsur-unsur tindak pidana korupsi


Unsur-unsur tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 terdapat pada Pasal 2
dan Pasal 3 sebagai berikut :
Pasal 2 TIPIKOR berbunyi :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan meemperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit RP. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliyar rupiah).
Rumusan tindak pidana korupsi diatas bila dirincikan terdapat unsur-unsur sebagai berikut
setiap orang, secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, dapat merugikan keuangan negara atau perkenomian
negara.16
Penjelasan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, menyebutkan yang
dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat
dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak
pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan
keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan soisal yang
meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana
korupsi.17

15
Henry Donald Lumbantoruan, Jurnal RechtsVinding, Pertanggungjawaban Pidana Korupsi
Korporasi, Volome 3 Nomor 3, Desember 2014, Hal 399
16
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Prenada Media
Groub, Jakarta, 2014, Hal 373
17
Ibid, Hal 41
Pasal 3 TIPIKOR berbunyi :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntugkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perkenomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliyar rupiah)”

Rumusan tindak pidana korupsi diatas bila dirincikan terdapat unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi
2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau
kedudukan
3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana korupsi yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan, maka setiap pelaku baik seseorang maupun korporasi
melakukan perbuatan yang memenuhi kriteria atau rumusan delik diatas, maka kepadanya
akan diberikan sanksi sesuai dengan ketetuan perundang-undangan yang berlaku. Unsur-
unsur tindak pidana korupsi tersebut sangat penting untuk diketahui dikarenakan dengan
tidak dipenuhinya unsur-unsur tersebut maka pelakunya akan bebas dari segala tuntutan
pidana dan menjadi penyebab seorang terdakwa korupsi bebas dari jeratan pidana karena
tidak terpenuhinya unsur-unsur tersebut.

2.2.4. Jenis-jenis tindak pidana korupsi


Tindak pidana korupsi dikelompokan menjadi 7 kelompok, yaitu :18
a. Perbuatan merugikan negara.
b. Suap menyuap.
c. Penyalahgunaan jabatan.
d. Pemerasan.
e. Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan.
f. Korupsi yang berhubungan dengan kecurangan.
g. Korupsi yang berhubungan dengan gratifikasi (hadiah).

2.3. Tinjauan Umum Tentang Kepala Lingkungan


2.3.1. Pengertian kepala lingkungan
Kepala Lingkungan yang lebih dikenal dengan sebutan Kepling adalah nama lain dari
Rukun Warga (RW) merupakan lembaga kemasyarakatan dan mitra Pemerintah Kelurahan
yang memiliki peranan dalam memelihara dan melestarikan nilai-nilai kehidupan
kemasyarakatan yang berdasarkan swadaya, kegotongroyongan dan kekeluargaan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan, ketentraman dan ketertiban dalam kehidupan
masyarakat.19
Kepala Lingkungan sebagai unsur pelaksana tugas kepala kelurahan dengan wilayah
kerja tertentu atau Pegawai Negeri yang diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota

18
Junaidi Abdullah, Yudisia, Op.Cit, Hal 106
19
Samuel S. A. Parera, Jurnal Administrasi Publik, Profesionalisme Kepala Lingkungan Di
Kecamatan Lembeh Selatan Kota Bitung, Vol 4 No 47
atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1, dengan memperhatikan syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan kepegawaian sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang
berlaku.20
Kepala Lingkungan memiliki SK (surat keterangan) dari Lurah dan diketahui oleh
Camat, namun secara substantif dipilih dan diangkat masyarakat melalui pemilhan
demokratis. Artinya Kepala lingkungan sebenarnya adalah pemimpin lokal transisi atau
penghubung antara kepentingan pemerintah disatu sisi dan kepentingan masyarakat di sisi
lain.

2.3.2. Tugas, fungsi dan wewenang kepala lingkungan


Tugas Lembaga Kemasyarakatan (RT/RW/Lingkungan) menurut pasal 11 Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahuh 2005 adalah membantu Lurah dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan dan pemberdayaan.21 Lembaga
Kemasyarakatan (RT/RW/Lingkungan) berwenang dalam Pasal 15 dijabarkan dalam fungsi
sebagai berikut:
a. Pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan lainnya.
b. Pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga.
c. Pembuatan gagasan dalam pelaksanaan pembangunan dengan mengembangkan aspirasi
swadaya murni masyarakat; dan
d. Penggerak swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di wilayahnya.22

3. METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian bertujuan untuk membatasi permasalahan dalam penelitian
sehingga tidak mengambang. Adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui penegakan hukum terhadap Kepala Lingkungan yang melakukan tindak pidana
korupsi (Studi Putusan No.XY/Pid.Sus-TPK/2019/PN Mdn)
3.2. Jenis Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.23Jenis
penelitian hukum dalam penelitian ini adalah hukum normatif atau doctrinal. Menurut Terry
Hutchinson sebagaimana yang dikutip Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa
penelitian hukum doctrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan
yang mengatur suatu kategori hukum tertentu.24
3.3. Sumber Bahan Hukum
Dalam penilitian ini sumber bahan hukum yang diperoleh melalui bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
a. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan-bahan yang mengikat, dalam hal ini penulis akan menggunakan
undang-undang dan putusan pengadilan negeri medan nomor XY/Pid.Sus-TPK/2019/PN
Mdn.
b. Bahan Hukum Sekunder

20
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa
21
Samuel S. A. Parera, Jurnal Administrasi Publik, Op.Cit
22
Ibid
23
Peter Mahmud Marzuki “Penelitian Hukum” Kencana, Jakarta, 2005, Hlm 35
24
Ibid
Merupakan bahan-bahan yang diperoleh buku-buku hukum yang menyangkut tentang
penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala lingkungan dengan
cara memeras.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu yang memberikan informasi lebih lanjut data primer dan data
sekunder seperti kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia dan situs internet yang
berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Penelitian ini menggunakan metode penelititan kualitatif yang mengacu pada norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara kualitatif yaitu
penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan dan
menelaah terhadap putusan pengadilan nomor XY/Pid.Sus-TPK/2019/PN Mdn tentang
penegakan hukum tindak pidana korupsi. Kemudian dilakukan pembahasan dan penafsiran
terhadap kasus yang diteliti sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan terhadap
masalh-masalah yang diteliti.

4. PEMBAHASAN
4.1. Kronologis Kasus
Bahwa terdakwa KK selaku Kepala Lingkungan A Kel. Pangkalan Mansyur Kec.
Medan Johor Kota Medan, berdasarkan keputusan Camat Medan Johor Tanggal 01 Maret
2018 , pada hari Jumat tanggal 07 September 2018 sekira pukul 12.00 Wib atau setidak-
tidaknya pada waktu lain pada tahun 2018, bertempat di Jl. A.H. Nasution Kelurahan
Pangkalan Mansyur Kecamatan Medan Johor Kota Medan atau setidak-tidaknya pada suatu
tempat lain yang berdasarkan Pasal 5 Jo pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun
2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan berdasarkan Pasal 1, Pasal 3 ayat (2)
dan Pasal 4 Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 022/KMA/SK/II/2011 tanggal
07 Pebruari 2011 tanggal 07 Februari 2011 tentang Pengoperasian Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan yang berwenang memeriksa dan
mengadilinya, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain yaitu
terdakwa KK meminta uang sejumlah Rp30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) kepada saksi
RT dalam proses pengurusan ganti rugi tanah milik saksi RT untuk kepentingan terdakwa,
secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya yaitu perbuatan
terdakwa yang melakukan pungutan atau menerima pembayaran dalam pengurusan ganti rugi
tanah milik saksi RT merupakan perbuatan yang bertentangan dengan tugas terdakwa selaku
Kepala Lingkungan A Kel. Pangkalan Mansyur Kec. Medan Johor Kota Medan berdasarkan
PERDA Kota Medan Nomor 9 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan Lingkungan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Lingkungan, memaksa seseorang memberikan
sesuatu yaitu terdakwa meminta saksi RT untuk memberikan uang sejumlah Rp.30.000.000,-
(tiga puluh juta rupiah) dengan jaminan buku tabungan milik saksi RT yang apabila saksi RT
tidak memberikan uang tersebut maka terdakwa tidak akan membantu pengurusan pencairan
ganti rugi tanah milik saksi RT dan uang ganti rugi tersebut tidak dapat dicairkan, yang
dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut :
- Bahwa pada Tahun 2013 hingga Tahun 2017 Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman
dan Penataan Ruang Kota Medan telah melakukan Pembebasan Tanah Jalan Karya Wisata
Kota Medan Tahap I dan Tahap II yang bertujuan untuk memperlebar Jalan Karya Wisata
karena Jalan tersebut sudah sangat macet untuk dilalui sehingga perlu pelebaran jalan.
Selanjutnya Tahap I dimulai sejak Tahun 2013 yang dimulai dari simpang Jalan AH.
Nasution Kota Medan sampai dengan simpang Jalan Karya Kasih Kota Medan dengan
panjang sekitar 800 Meter dan lebar lebih dari 6 Meter (3 Meter kiri dan 3 Meter kanan)
dan kemudian dilanjutkan ke Tahap II Tahun 2016 dengan pembebasan dimulai dari
simpang Jalan Karya Kasih Kota Medan sampai dengan simpang Jalan Eka Warni Kota
Medan dengan panjang sekitar 1.000 Meter dan lebar lebih dari 6 Meter (3 Meter kiri dan
3 Meter kanan).
- Bahwa pihak-pihak yang bertugas untuk pembebasan Jalan Karya Wisata tersebut adalah:
Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, PPTK, PPK, dan Pengguna Anggaran Dinas
Perumahan, Kawasan Permukiman dan Penataan Ruang Kota Medan.
- Bahwa pada saat tahap sosialisasi, tahap konsultasi publik, dan tahap pertemuan tentang
besarnya ganti rugi tanah antara Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Penataan
Ruang Kota Medan dan Masyarakat di Kantor Camat Medan Johor baik itu pada Tahap I
dan Tahap II, bahwa dalam pengurusan ganti rugi tanah yang terkena pelebaran Jalan
Karya Wisata tidak ada biaya yang dibebankan kepada warga;
- Bahwa nilai ganti rugi yang diberikan kepada warga atas ganti rugi tanah yang terkena
pelebaran Jalan karya Wisata ditetapkan dalam Keputusan Walikota Medan Nomor :
593.83/1149.K/2016 tanggal 1 Desember 2016 tentang Penetapan Besaran Harga Ganti
Rugi Tanah Bangunan dan Tanaman Bagi Pelebaran Jalan Karya Wisata (Mulai dari Jalan
Karya Kasih Sampai Dengan Jalan Eka Warni) Terletak di Kelurahan Pangkalan Mashyur
dan Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor, yang menetapkan harga ganti rugi
tanah yang diberikan kepada masyarakat dengan harga per meter sebesar Rp.4.292.000,-
/m2 . Johor, yang menetapkan harga ganti rugi tanah yang diberikan kepada masyarakat
dengan harga per meter sebesar Rp.4.292.000,- /m2 .
- Bahwa pada bulan Maret 2016 terdakwa selaku Kepala Lingkungan A Kel. Pangkalan
Mansyur mengantarkan surat undangan kepada saksi RT untuk hadir di Kantor Camat
Medan Johor dalam rangka sosialisasi ganti rugi untuk pelebaran jalan di Jl. Karya Wisata
Tahap II oleh Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Penataan Ruang Kota Medan
dan Camat Medan Johor karena tanah milik saksi RT seluas 1600 m² yang terletak di
Jalan Karya Wisata Lingk. A Kel. Pangkalan Mansyur Kec. Medan Johor dijadikan untuk
pelebaran jalan tersebut, dan sehubungan dengan undangan tersebut selanjutnya saksi RT
datang dan hasil sosialisasi memberitahukan bahwa tanah milik saksi RT yang terkena
pelebaran jalan di Jl. Karya Wisata Tahap II seluas 68 m² dari tanah seluas 1600 m² yang
termasuk dalam SHM Nomor 2342 dan SHM Nomor 2343.
- Bahwa setelah sosialisasi tersebut, beberapa hari kemudian saksi RT melengkapi
persyaratan yang diperlukan untuk pengajuan ganti rugi, lalu saksi RT kembali ke Kantor
Camat Medan Johor dan kemudian menyerahkan persyaratan dimaksud kepada pihak
Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Penataan Ruang Kota Medan, namun
walaupun persyaratan tersebut sudah dilengkapi ternyata sekitar 1 tahun lebih ganti rugi
tanah milik saksi RT tersebut tidak juga dapat dicairkan oleh Dinas Perumahan, Kawasan
Permukiman dan Penataan Ruang Kota Medan.
- Bahwa dikarenakan saksi RT belum juga mendapat kepastian pencairan ganti rugi
tanahnya, saksi RT menghubungi terdakwa KK selaku Kepala Lingkungan A Kel.
Pangkalan Mansyur Kec. Medan Johor Kota Medan dan menanyakan kepada terdakwa
mengenai ganti rugi tanah milik saksi tersebut.
- Selanjutnya terdakwa datang ke rumah saksi RT dan terdakwa mengatakan kepada saksi
RT bahwa untuk mencairkan ganti rugi tanah tersebut harus ada tim khusus yang
mengurus dan dikenakan biaya namun saat itu terdakwa belum memberitahukan berapa
biayanya namun saat itu juga saksi RT mengatakan bahwa untuk pengurusan ganti rugi
tersebut tidak ada dikenakan biaya.
- Kemudian terdakwa mengajak saksi RT ke kantor Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman
dan Penataan Ruang Kota Medan dengan alasan untuk menjumpai tim ganti rugi
pembebasan tanah dan sesampainya di Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan
Penataan Ruang Kota Medan, saksi RT mendapat penjelasan bahwa saksi RT belum bisa
mendapatkan uang ganti rugi karena tanah yang terkena pelebaran jalan di luar sertifikat.
- Bahwa selanjutnya terdakwa menghubungi saksi RT untuk bertemu dengan terdakwa di Jus
Kopi di Jl. A.H.Nasution Kota Medan, dan dalam pertemuan tersebut terdakwa
mengatakan kepada saksi RT “jika saksi RT ingin uang ganti rugi tersebut dicairkan,
maka saksi RT harus bersedia membagi dua bagian uang yang diterima saksi RT
sedangkan setengahnya menjadi bagian Tim khusus”, lalu saksi RT memohon untuk
diberi keringanan namun terdakwa mengatakan “Tim-nya banyak, Jika Tidak Bisa Bagi
Dua, Minimal sepertigalah,” lalu saksi RT menjelaskan ia tidak dapat mengambil
keputusan dan akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan keluarga.
- Bahwa pada hari Senin tanggal 27 Agustus 2018 sekira pukul 11.00 WIB terdakwa datang
menjumpai saksi RT di rumah dengan membawa Surat Pernyataan Penguasaan Fisik
Bidang Tanah, lalu menyuruh saksi RT untuk menandatangani surat tersebut, dan setelah
surat tersebut ditandatangani, terdakwa mengatakan bahwa agar uang ganti rugi dapat
dicairkan, maka saksi RT harus memberikan uang sebesar Rp. 30.000.000,- dan
sebagai jaminan agar uang tersebut akan diberikan oleh saksi RT, maka saksi RT harus
menyerahkan buku tabungan miliknya kepada terdakwa, dan jika uang sudah
dicairkan maka terdakwa dan saksi RT akan bertemu di Bank dan kemudian saksi RT
menarik uang dari Bank lalu menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa, selanjutnya
terdakwa meminta saksi RT untuk datang ke kantor Dinas Perumahan, Kawasan
Permukiman dan Penataan Ruang Kota Medan pada tanggal 30 Agustus 2018 dengan
membawa buku tabungan milik saksi RT dan menyerahkan buku tabungan tersebut
kepada terdakwa sebelum Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Menerima
Ganti Rugi ditandatangani.
- Bahwa dikarenakan adanya permintaan dana dalam proses pencairan ganti rugi tanah milik
saksi, kemudian saksi RT melaporkan hal tersebut ke SABERPUNGLI Pusat dengan
mengirimkan melalui call center 1193 dan pada hari Kamis tanggal 30 Agustus 2018
laporan saksi RT mendapat respon dari call center SABERPUNGLI pusat dengan ucapan
“Terima Kasih telah menghubungi SABERPUNGLI Nomor aduan Anda adalah
9gvND4zt”.
- Bahwa sesuai dengan arahan dari terdakwa sebelumnya, pada hari Kamis tanggal 30
Agustus 2018 sekira pukul 12.30 WIB saksi RT dan terdakwa bertemu di Pos Jaga yang
terletak di bagian pintu masuk kantor Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan
Penataan Ruang Kota Medan, lalu terdakwa meminta saksi RT menyerahkan buku
tabungan saksi RT kepada terdakwa, yang apabila buku tabungan tersebut tidak
diserahkan maka Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Menerima Ganti
Rugi tidak boleh ditandatangani sehingga uang ganti rugi tidak dapat dicairkan kemudian
ia menyerahkannya.
- Bahwa pada tanggal 05 September 2018 saksi RT melaporkan ke Satgas Saber Pungli
Polrestabes Medan adanya pungutan liar yang dilakukan oleh oknum Kepala Lingkungan
A Kel. Pangkalan Mansyur Kec. Medan Johor yang bernama KK, kemudian pada hari
Kamis tanggal 06 September 2018 saksi RT dihubungi oleh Personil Polsek Deli Tua dan
menanyakan terkait pemerasan terhadap diri saksi RT.
- Bahwa pada hari Jumat tanggal 07 September 2018 sekira pukul 12.00 WIB saksi RT
dihubungi oleh terdakwa yang memberitahukan bahwa uang ganti rugi sudah ditransfer ke
rekening saksi RT, kemudian terdakwa meminta saksi RT untuk datang ke Bank Sumut
Jalan A.H Nasution Kota Medan, dan saksi RT memberitahukan hal tersebut kepada Pihak
Kepolisian dari Polsek Deli Tua.
- Bahwa selanjutnya saksi RT menjumpai terdakwa di Bank Sumut Jalan AH. Nasution,
kemudian terdakwa menyerahkan buku tabungan milik saksi RT dan selanjutnya saksi RT
melakukan penarikan sebesar Rp30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) lalu saksi RT
sempat meminta kepada terdakwa untuk mengurangi uang yang diminta oleh terdakwa
namun terdakwa tidak mau. Setelah melakukan penarikan uang sebesar Rp. 30.000.000,-
(tiga puluh juta rupiah), saksi RT dan terdakwa pergi ke rumah makan sop kambing yang
tidak jauh dari Bank Sumut di Jl. AH. Nasution Kelurahan Pangkalan Mansyur
Kecamatan Medan Johor Kota Medan dan selanjutnya setelah selesai makan lalu saksi RT
menyerahkan uang sebesar Rp. 30.000.000,-(tiga puluh juta rupiah) tersebut kepada
terdakwa dan beberapa saat kemudian para petugas Polsekta Deli Tua yaitu BRIPKA NS,
BRIPKA RG dan BRIGADIR DM yang telah sebelumnya telah menerima informasi
tentang perbuatan terdakwa, mendatangi terdakwa yang masih bersama dengan saksi RT
kemudian petugas Polsek Delitua mengamankan Terdakwa dan menyita uang tersebut dan
selanjutnya membawa terdakwa ke Polsek Deli Tua, dan setelah itu menyerahkan
Terdakwa ke Subnit Tipikor Sat Reskrim Polrestabes Medan.
4.2. Dakwaan Jaksa penuntut Umum
Terdakwa yang diajukan ke persidangan oleh Jaksa penuntut Umum didakwa berdasarkan
surat dakwaan tunggal yaitu sebagai berikut:
Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa dengan dakwaan tunggal yakni didakwa
melanggar Pasal 12 huruf e UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Telah mendengar Tuntutan Pidana dari Penuntut Umum yang pada pokoknya mohon
supaya Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan
yang memeriksa dan mengadili perkara ini memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa terdakwa KK telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
Melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut
Pasal 12 Huruf e Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam surat dakwaan Tunggal
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa KK dengan pidana penjara selama 4(empat)
tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar
Rp200.000.000,-(dua ratus juta rupiah) subsidair selama 3(tiga) bulan penjara
3. Menyatakan Barang Bukti berupa :
a) Uang tunai sebesar Rp30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah) beserta;
b) 1 (satu) buah Buku Tabungan Bank Sumut Cabang Utama Medan an. RT ;
Masing-masing agar dikembalikan kepada saksi korban RT
c) 1(satu) buku tabungan Bank Sumut Nomor Rek 105.02.05.000.454.1 An KK ;
Dikembalikan kepada terdakwa
d) 1(satu) unit handphone merk Nokia warna putih; Agar dirampas untuk
dimusnahkan
e) Surat Keputusan Camat Medan Johor Tanggal 01 Maret 2018 tentang
Pemberhentian dan pengangkatan Kepala Lingkungan dalam Wilayah Kecamatan
Medan Johor ;
Tetap terlampir dalam berkas perkara
4. Menetapkan agar terdakwa KK membayar biaya perkara sebesar Rp5.000,- (lima ribu
rupiah).
4.4. Putusan Hakim
Hakim dalam memutus suatu perkara didasarkan pada fakta-fakta di persidangan.
Adapun amar putusan hakim dalam perkara pidana tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh Kepala Lingkungan dalam putusn Nomor XY/Pid.Sus-TPK/2019/Pn.Mdn adalah
sebagai berikut ;
MENGADILI
1. Menyatakan terdakwa KK terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
“TINDAK PIDANA KORUPSI” sebagaimana diuraikan dalam dakwaan;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa KK dengan pidana penjara selama 4 (empat)
tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000,-- (dua ratus juta rupiah);
3. Menetapkan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan
pidana kurungan selama 1 (satu) bulan ;
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa akan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
5. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
6. Menyatakan barang bukti berupa :
- Uang tunai sebesar Rp30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah) beserta;
- 1 (satu) buah Buku Tabungan Bank Sumut Cabang Utama Medan an. RT ;
Masing-masing agar dikembalikan kepada saksi korban RT
- 1 (satu) buku tabungan Bank Sumut Nomor Rek 105.02.05.000.454.1 An KK ;
Dikembalikan kepada terdakwa
- 1 (satu) unit handphone merk Nokia warna putih;
Agar dirampas untuk dimusnahkan
- Surat Keputusan Camat Medan Johor tanggal 01 Maret 2018 tentang Pemberhentian
dan pengangkatan Kepala Lingkungan dalam Wilayah Kecamatan Medan Johor ;
Tetap terlampir dalam berkas perkara
7. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu
rupiah)
4.6. Analisa Kasus
4.6.1. Analisa Dakwaan
Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan suatu perkara pidana dipersidangan
dan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana
tersebut.25 Oleh karena itu surat dakwaan penuntut umum dituntut untuk mengaplikasikan
ilmunya sebagai Sarjana Hukum dalam pembuatan surat dakwaan tersebut, bukan saja
keahlian dibidang hukum pidana formil, tetapi juga mengenai hukum pidana materil, seperti
unsur-unsur dari perbuatan yang didakwakan, apakah terpenuhi atau tidak.
Untuk dapat diajukan kepengadilan dengan itu Jaksa Agung mengeluarkan Surat
Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/ J.A/11/1993 tentang pembuatan Surat Dakwaan, yang
dimana dalam surat edaran itu disebutkan tentang bentuk-bentuk surat dakwaan antara lain:
- Dakwaan Alternatif
Dalam surat dakwaan terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan
yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan
lainnya.
- Dakwaan Subsidair

25
Valentino Yoel Tandean, Lex Crimen, Batalnya Surat Dakwaan Menurut Hukum Acara
Pidana, Vol. VII/No.5/Jul/2018, Hal 143
Dakwaan subsider juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara
berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan
sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari tindak pidana yang
diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan tindak pidana yang diancam dengan
pidana terendah.
- Dakwaan Kumulatif
Pada dakwaan kumulatif, dibuat oleh jaksa/penuntut umum apabila seorang atau lebih
terdakwa melakukan lebih dari suatu perbuatan pidana di mana perbuatan tersebut harus
dianggap berdiri sendiri atau juga dapat dikatakan tidak ada kaitan satu dengan lainnya.
- Dakwaan Kombinasi
Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan atau digabungkan
antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau subsidair.26
Dalam membuat surat dakwaan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu
dakwaan dianggap sah. Syarat tersebut terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang dirumuskan sebagai berikut27 ;
a) Nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
b) Secara cermat jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Diantara huruf a dan b yang tertera pada Pasal tersebut, yang terpenting dilaksanakan
adalah huruf b, sebab apabila syarat yang ada pada huruf b tersebut tidak terpenuhi
seutuhnya, maka surat dakwaan dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Jadi, jika dikaitkan
dengan surat dakwaan yang digunakan oleh jaksa penuntut umum dalam kasus yang diteliti
oleh penulis, maka penulis berpendapat bahwa surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa
penuntut umum dalam tindak pidana perbuatan dengan maksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya dengan
memaksa seseorang memberikan sesuatu dalam putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
XY/Pid.Sus-TPK/2016/Pn.Medan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 143 ayat (2) kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dalam dakwaaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum tersebut, jaksa menggunakan
dakwaan tunggal, mengingat berdasarkan fakta-fakta atau keterangan yang diberikan oleh
saksi-saksi yaitu pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penggunaan Pasal 12 huruf e Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentag Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudahlah tepat
karena penulis berpendapat bahwa tindak pidnaa yang dilakukan oleh terdakwa berdsarkan
kronologis kasus sudah sesuai dengan isi pasal 12 huruf e Undang-Undang nomor 20 tahun
2001.

26
Bahreisy, Jurnal Legislasi Indonesia, Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang Terhadap Kerugian Negara Dari Tindak Pidana Korupsi, Vol 15 No.2.2018, Hal
111-112
27
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
4.6.2. Analisis Tuntutan
Surat tuntutan atau dalam bahasa lain disebut dengan Requisitoir adalah surat yang
memuat pembuktian surat dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di
persidangan dan kesimpulan penuntut umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengan
tuntutan pidana. Surat tuntutan (requisitoir) yang baik adalah surat tuntutan yang
mengandung konstruksi hukum yang objektif, benar, dan jelas.
Surat tuntutan diajukan oleh penuntut umum setelah pemeriksaan di sidang pengadilan
dinyatakan selesai (pasal 182 ayat (1) KUHAP). Surat tuntutan dibacakan setelah proses
pembuktian di persidangan pidana selesai dilakukan. Surat tuntutan (requisitoir)
mencantumkan tuntutan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa, baik berupa penghukuman
atau pembebasan dan disusun berdasarkan pemeriksaan saksi dan saksi ahli, alat bukti, dan
keterangan terdakwa.
Setelah memperhatikan tuntutan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum, penulis
sependapat dengan pasal yang digunakan oleh jaksa penuntut umum dalam tuntutannya.
Dimana berdasarkan kronologis kasus sudah sesuai dengan isi pasal 12 huruf e Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan 31 Tahun
1999 Tentang Pemebrantasan Tindak Pidana Korupsi yang isinya perbuatan dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu dalam
perkara korupsi.
Menurut pendapat penulis tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntutan Umum terlalu
rendah mengingat perbuatan terdakwa sebagai Kepala Lingkungan yang memaksa seseorang
memberikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaannya dengan maksud
menguntungkan diri sendiri bertentangan dengan tugas dan fungsi sebagai Kepala
Lingkungan dan seharusnya Jaksa Penuntut Umum tidak memberikan tuntutan minimal
sehingga menjadi pembelajaran dan efek jera terhadap Kepala lingkungan lainnya di
Indonesia mengingat kerap terjadi kasus di Indonesia seorang kepala lingkungan yang
melakukan memaksa seseorang memberikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaanya
dengan maksud menguntungkan diri sendiri yang mengakibatkan ancaman terhadap cita-cita
bangsa menuju masyarakat adil dan makmur.
4.6.3. Analisis Petimbangan Hakim
Majelis hakim sebelum menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dalam perkara putusan
Pengadilan Negeri No.XY/Pid.Sus-TPK/2019/Pn. Medan mempunyai pertimbangan-
pertimbangan yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan sosiologis. Pertimbangan yang
bersifat antara lain dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan saksi, barang bukti yang
terdapat dalam persidangan. Sedangkan pertimbangan yang bersifat non yuridis antara lain
adanya akibat yang ditimbulkan oleh terdakwa dan kondisi diri dari terdakwa.
Adapun pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan adalah pertimbangan
yuridis dan non-yuridis seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Penulis berpendapat
penjatuhan pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim sudah sesuai dengan pasal 183-184
KUHAP dimana dalam menjatuhkan pidana sudah ada 2 alat bukti atau lebih berupa
keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti berupa Uang tunai sebesar
Rp30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah) beserta dan 1 (satu) buah Buku Tabungan Bank
Sumut Cabang Utama Medan an. RT.
Menurut analisis penulis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan haruslah
mencerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi pelaku, sebagaimana tujuan
hukum yaitu untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu pertimbangan hakim yang didasarkan pada
fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang
ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud
tersebut antara lain:
1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah
pemeriksaan dipersidangan dilakukan. Dakwaan berisikan identitas terdakwa,
juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu
dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
2) Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
Keterangan terdakwa juga adalah jawaban dari pernyataan hakim dan Jaksa
Penuntut Umum ataupun Penasihat Hukum.
3) Keterangan saksi
Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti, sepanjang keterangan
itu mengenai peristiwa pida yang ia dengar sendiri, ia alamai sendiri atau ia lihat
sendiri dan disampaikan di persidangan berdasarkan sumpah/janji yang telah
dilakukan sebelum memberikan keterangan.
b. Pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu pertimbangan yang menggunakan
pendekatan-pendekatan terhadap latar belakang, kondisi sosial ekonomi dan nilai-
nilai yang terkandung dalam masyarakat dan sikap atau perilaku yang mempelancar
suatu proses persidangan. Pertimbangan keputusan disesuaikan dengan kaidah-
kaidah, asas-asas dan keyakinan-keyakinan yang berlaku dalam masyarakat.
4.6.4. Analisis Putusan Pengadilan
Berkaitan dengan putusan pengadilan (hakim), khusus dalam perkara pidana, menurut
pasal 1 angka 11 KUHAP ditegaskan bahwa putusan pengadilan (hakim) adalah pernyataan
hakim yang diucapkan dalam sidang yang terbuka dan dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum, dalam serta menurut cara yang diatur dalam
KUHAP.28
Berdasarkan pemaparan diatas hakim dalam memutus perkara pada putusan Pengadilan
Negari Medan Nomor XY/Pid.Sus-TPK/2019/Pn. Mdn menurut penulis pertimbangan
yurudis yang dilakukan oleh hakim telah sesuai. Namun dari segi pertimbangan Non yuridis
penulis berpendapat bahwa pertimbangan hakim masih kurang utamanya dari segi hal-hal
yang memberatkan, menurut penulis tindakan memaksa seseorang dengan menyalahgunakan
kekuasaannya dengan maksud menguntungkan diri sendiri merupakan tindakan yang dapat
menghambat cita-cita bangsa menuju masyarakat adil dan makmur serta bertentangan dengan
program pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia sebab korupsi merupakan
kejahatan luar biasa yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara oleh
karena itu seharusnya setiap orang yang memaksa seseorang memberikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaanya dengan maksud menguntungkan diri sendiri seharusnya
ditindak dengan tegas dan diberi hukuman yang berat, walaupun hakim menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa 4 tahun penjara telah sesuai dengan batas minimum yang diatur dalam
pasal 12 hurf e Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun
menurut penulis pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa seharusnya ada pemberatan

28
Josef Monteiro, Jurnal Hukum Pro Justitia, Putusan Hakim Dalam Penegakan Hukum Di
Indonesian, April 2007, Volume 25 No. 2, Hal 133
sesuai dengan pasal 52 KUHP yang bilamana seseorang pejabat melakukan perbuatan pidana
melanggar suatu kewajiban pidananya ditambah sepertiga sehingga menjadi pemberlajaran
terhadap pelaku kejahatan yang serupa yang dimana kerap terjadi seorang Kepala
Lingkungan yang melakukan memaksa seseorang memberikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaannya dengan maksud menguntungkan diri sendiri di Indonesia.
Tindak pidana dengan setiap orang yang memaksa seseorang memberikan sesuatu
dengan menyalahgunakan kekuasaaanya dengan maksud menguntungkan diri sendiri telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 huruf e Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal
ini merupakan upaya pemerintah dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
korupsi, melalui instansi-instansi penegak hukum pidana dalam hal ini telah baik dilakukan
seperti pihak Kepolisian yang merespon laporan dari saksi korban RT dan melakukan
penangkapan terhadap terdakwa KK dan penyidikan guna untuk dilimpahkan kepada
Kejaksaan, di kejaksaan Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan dan tuntutan di
persidangan kemudian hakim dipersidangan berdasarkan pertimbangan alat bukti yang ada
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa penjara 4 tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000
(dua ratus juta rupiah) menetapkan apabila pidana denda tidak dibayar maka diganti dengan
pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Menurut penulis penegakan hukum yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum pada kasus ini telah tepat dilakukan sesuai dengan KUHAP
seperti adanya penangkapan oleh Kepolisian setelah adanya laporan dari saksi korban RT
kemudian dilakukan penyidikan setelah itu dilimpahkan kepada pihak Kejaksaan, pada Jaksa
Penuntut Umum membuat surat dakwaan kemudian sesuai dengan fakta-fakta dipersidangan
yang ada melakukan tuntutan dipersidangan kemudian di persidangan hakim berdasarkan
pertimbangan alat-alat buki yang ada menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa KK.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Kepala Lingkungan di sidang pengadilan tindak pidana korupsi
dalam studi putusan Nomor XY/Pid.Sus-TPK/2019/Pn. Mdn dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut Penegakan hukum terhadap perbuatan memaksa seseorang memberikan
sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaannya dengan maksud menguntungkan diri sendiri
diatur dalam pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Berdasarkan fakta-fakta yang ada dipersidangan bahwa pelaku KK dalam
penegakan hukum memenuhi unsur pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dapat dipertanggungjawabkan dan penjatuhan sanksi pidana terhadap
terdakwa adalah berdasarkan pertimbangan yuridis dan non-yuridis oleh Hakim Pengadilan
Negeri Medan dan dijatuhi pidana pokok dan pidana denda berupa pidana penjara selama 4
(empat) tahun dan pidana denda sebesar Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan apabila
pidana denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alatas, Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1987
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002
Danil, Alwi, Korupsi, Jakarta: Raja Grafindo, 2011
Ermansyah, Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Esther, July dan Anastasia Widiyastatuti, Hukum Pidana, Medan: Bina Media Perintis, 2019
Halawa, Firman dan Edi Setiadi, Korupsi Dengan Nilai Kerugian Sedikit, Bandung: CV
Mega Pancage Press dan P2U UNISBA, 2016
Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Pidana Nasional Dan Internasional, Jakarta
: Rajawali Pers, 2012,
Latif, Abdul, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Prenada
Media Grub, 2014
Marzuki, Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005
Nainggolan, Ojak, Pengantar Ilmu Hukum, Medan: UHN Press, 2016
Qamar, Nurul dan Muhammad Syarif, Sosiologi Hukum (Sociology Law), Jakarta:Mitra
Wacana Media, 2016
Soekanto,Soerjono, Faktor-Faktor Yang Memepengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2014
Syamsudin, Azis, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafik, 2011
Warjayati, Sri, Memahami Dasar Ilmu Hukum, Konsep Dasar Ilmu Hukum, Jakarta:
Kencana, 2018
Waluyo, Bambang, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Strategi Dan Opimalisasi),
Jakarta: Sinar Grafika, 2015
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa
Jurnal
Abdullah, Junaidi, Tugas Dan Wewenang Lembaga-Lembaga Penanganan Tindak Pidana
Korupsi, Vol 5 No 1, 2014
Akbar, Gratifikasi Seksual Sebagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi, Vol 4 Nomor 3, 2016
Ariyanti, Vivi, Kebijakan Penegakan Hukum dalam Sitem Peradilan Pidana Indonesia, Vol.
6 Nomor 2, 2019
Bahreisy, Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap
Kerugian Negara Dan Tindak Pidana Korupsi, Vol 15 No 2, 2018
Bethesda, Elisabeth, Masyarakat Memandang Gratifikasi Dalam Tindak Pidana Korupsi,
Vol 5 No 2, 2019
Harefa, Safaruddin, Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Di Indonesia Melalui
Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam, Vol 4 Nomor 1, 2019
Lumbantoruan, Henry Donald, Pertanggungjawaban Pidana Korupdi Korporasi, Volume 3
Nomor 3, 2014
Manopo, Berlin, Penegakan Tindak Pidana Suap Menurut Ketentuan Hukum Pidana
Nasional, Volume 10 Nomor 5, 2021
Moho, Hasaziduhu, Penegakan Hukum Di Indoensia Menurut Aspek Kepasian, Keadilan
Dan Kemanfaatan, Vol 13 No 1, 2019
Monteiro, Josef M, Putusan Hakim Dalam Penegakan hukum Di Indonesia, Volume 25 No.
2, 2017
Muchlis, Ahmad, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dengan Kerugian
Negara Yang Kecil dalam Mewujudkan Keadilan, Volume 10 Issue 2, 2016
Parera, Samuel, Profesionalisme Kepala Lingkungan Di Kecamatan Lembeh Selatan Kota
Bitung, Volume 4 No 47, 2018
Ramadhani, Wahyu, Penegakan Hukum Dalam Menanggulangi Pungutan Liar Terhadap
Pelayanan publik, Volume 12 Nomo 3, 2017
Santiago, Faisal, Penegakan Hukum Tindak pidana Korupsi Oleh penegak Hukum Untuk
Terciptanya Ketertiban Hukum, Volume 1 No 1, 2012
Sina, La, Upaya Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Kota Samarinda, Vol 44 No
33, 2015
Suparman, H.Asep, Penegakan hukum terhadap Penyelenggara Negara Pelayanan Publik,
Vol. No. 2, 2013
Tandean, Valentino Yoel, Batalnya Syrat dakwaan menurut Hukum Acara Pidana, Vol 7 No
5, 2018

Anda mungkin juga menyukai