Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENERAPAN AJARAN PENYERTAAN (DEELNEMING) DAN


CONCURSUS REALIS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG REPUBLIK INDONESA NOMOR
113 K/Pid-Sus/2020

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi akhir-akhir ini semakin ramai diperbincangkan, baik media cetak,


elektronik maupun di seminar-seminar, lokakarya, diskusi dan sebagainya. Banyak
sekali komentar negatif yang dirasakan oleh masyrakat terhadap perilaku dan
pelaku tindak pidana korupsi seperti muak, jengkel, gregetan, putus asa, marah, dan
hal-hal negatif lain atas langgeng dan menjamurnya perilaku korupsi. Terlebih
dalam tayangan telelivisi, tersangka, terdakwa dan bahkan terpidana seakan-akan
menunjukkan show of force ataupun berperilaku sebagai celebrity. Korupsi
bukanlah masalah baru di Indonesia, karena telah ada sejak era 1950-an. Bahkan
berbagai kalangan menilai korupsi telah menjadi bagian kehidupan, menjadi suatu
sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Menurut Sayed Hussien Alatas menyatakan:


“korupsi adalah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-
tujuan pribadi yang cakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan
umum, dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan
kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang diderita oleh
masyarakat sehingga penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.”1
Sedangkan menurut A. Rahman Zainudin sebagaimana dikutip oleh Andi
Hamzah menyatakan bahwa:

1
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus (Jakarta: PT Balebat Dedikasi Prima, 2017), hlm.
61.

1
2

“korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim dan bahkan menyengsarankan suatu


bangsa.”2
Apabila diperhatikan korupsi lebih dominan dilakukan beberapa sektor dan juga
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta sektor swasta (private sector), modus
operandi dalam kejahatan korupsi dikategorikan sebagai white collar crime dalam
kategori kejahatan jabatan (occupational crime). Praktik kejahatan korupsi selalu
dilakukan tanpa kekerasan tetapi diikuti dengan kecurangan, penyesatan manipulasi
pemalsuan, akal-akalan dan pengelakan terhadap peraturan.3 Praktek korupsi
senantiasa melibatkan lebih dari satu orang atau dilakukan secara bersama-sama
melakukan tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat dalam
tindakan persiapan serta melakukan perbarengan perbuatan secara berulang-ulang
demi melancarkan kejahatan tersebut.

Salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian di Indonesia, terjadi secara


sistematik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau
perekonomian negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas. Oleh karenanya, tidaklah salah dan berlebihan apabila
dikatakan bahwa fenomena maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia
sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit untuk disembuhkan. Korupsi salah satu
perbuatan sifat melawan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
cara menyalahgunakan kewenangan atas jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara.

Berbicara tindak pidana korupsi atau yang sering disebut extraordinary crime
atau kejahatan yang luar biasa merupakan suatu perbuatan pidana yang di dalamnya
melakukan perbuatan secara bersama-sama. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa,
tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat
dibenci oleh sebagian besar masyarakat, tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa

2
Febby Mutiara, Sistem Peradilan Pidana Dan Penanggulangan Korupsi Di Indonesia (Depok:
Raja Grafindo, 2010), hlm. 21.
3
Eddk Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 77.
3

Indonesia tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa didunia.4 Tindak pidana korupsi
juga menjadi sesuatu yang sistematik, sudah menjadi suatu sistem yang menyatu
dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dapat dikatakan bahwa
pemerintahan justru akan hancur apabila tindak pidana korupsi diberantas. Struktur
pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang
korupsi dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan.5

Dalam hal tindak pidana korupsi, sebagaimana termaktub pada ketentuan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dirumuskan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkayakan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).”
Kemudian, Pasal 3 ketentuannya dirumuskan:
“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau oranglain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dana tau denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1 Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).”
Dalam tindak pidana korupsi melibatkan lebih dari satu subjek hukum yaitu orang
atau badan hukum/korporasi. Hal ini,mempunyai kaitannya dengan penerapan ajaran
penyertaan dan oleh karena itu tindak pidana korupsi selalu melibatkan lebih dari satu
subjek hukum (orang atau badan hukum/korporasi).

Suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan bagian dari
tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan dan sifatnya berlainan dan bervariatif. Hal

4
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1992), hlm.
133.
5
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi Kajian Terhadap Harmonisasi Hukum
Nasional dan The United Nations Convention Against Coruption (Bandung: PT Refika Aditama, 2015),
hlm.1-2.
4

tersebut dapat dilihat dari peran serta mereka melakukan perbuatan tersebut posisinya
bisa sebagai pelaku (dader), menyuruh melakukan (doenpleger), turut melakukan
(medepleger), membujuk melakukan (uitloker) atau perbuatan pidana yang dilakukan
dan melihat hal tersebut ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana
dikenal dengan delik penyertaan atau deelneming.6 Moeljatno mengatakan bahwa
ajaran penyertaan sebagai ajaran yang memperluas dapat dipidananya orang yang
tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana. Di samping itu ada delik-delik
biasa seperti penyertaan yang memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut
dalam timbulnya suatu perbuatan pidana. Pengertian tentang penyertaan atau
deelneming diatur dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP menentukan bahwa dipidana sebagai
pembuat atau dader dari suatu perbuatan pidana adalah :
Ke-1 : Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta
melakukan (zin die hetfeit plegen, doen plegen, and medeplegen).
Ke-2 : Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan menjanjikan sesuatu dengan
menggunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan oranglain supaya melakukan perbuatan pidana (zij die het feit
uilokken).
Dalam hal ini penulis lebih menerapkan konsep penyertaan pada Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP yang digunakan sebagai dasar Hakim oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-Sus/2020

Selanjutnya hal lain yang sering dikaitkan dengan tindak pidana korupsi adalah
konsep concursus realis disebut juga perbarengan perbuatan atau meerdaadse
samenloop. Demikian menurut Schaffmesiter, Keijzer dan Sutorius mengemukakan
makna perbuatan dalam concursus realis harus diartikan sebagai perbuatan yang
terbukti. Sedangkan menurut Simons berdasarkan Memorie van Toelichting
menyatakan:
“pembentukan undang-undang dalam hal terjadi concursus realis mengikuti
tussenstelsel atau sisitem antara. Artinya, pembentukan undang-undang
membedakan kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang

6
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia Penerapannya (Jakarta: Alumni-AHM-
PTHM,1996), hlm.329.
5

sejenis dan kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak
sejenis.”7
Mengenai stelsel pemidanaan dari concursus realis tersebut termaktub pada Pasal
65 KUHP, Pasal 66 KUHP, Pasal 67 KUHP, Pasal 68 KUHP, Pasal 69 KUHP dan
Pasal 70 KUHP. Namun penulis lebih menerapkan dan menyetujui stelsel pemidanaan
yang digunakan sebagai dasar Hakim oleh Jaksa Penuntut Umum dalam putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-Sus/2020 pada Pasal 65 ayat
(1) KUHP yang ketentuannya dirumuskan:
“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan,
yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu
pidana.”
Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain, orang
tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari
sudut perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.8

Sehubungan dengan uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian


ini yang pertama adalah, bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang perbuatannya memenuhi ajaran penyertaan termaktub pada
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan concursus realis termaktub dalam Pasal 65 ayat (1)
KUHP dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-
Sus/2020. Untuk mengetahui permasalahan yang diteliti yakni pertanggungjawaban
pidana dari penerapan ajaran penyertaan dan concursus realis dalam surat dakwaan
jaksa penuntut umum, sehingga menjadi objek yang sering ditelaah oleh akademisi
maupun praktikal. Permasalahan ini diteliti agar nanti kedepannya lebih baik lagi
dalam menerapkan suatu pasal pada suatu kasus.

7
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2015),
hlm. 402-403.
8
Sudarto dalam buku Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kebijakan
Legislasi (Depok: Kencana, 2017), hlm. 30.
6

Permasalahan yang kedua ialah bagaimanakah daya guna pemidanaan terhadap


pelaku tindak pidana korupsi dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 113 K/Pid-Sus/2020. Untuk mengetahui permasalahan yang mengandung
unsur-unsur dijatuhkan pidana yang termaktub pada Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan
Pasal 65 ayat (1) KUHP. Hal ini diteliti dikarenakan pemidanaan mengandung
kehilangan, kesengsaraan, dan bertujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Maka hal
ini dilakukan penelitian dikarenakan masih banyak orang yang melakukan kejahatan
dan malah tidak berkurang dengan adanya tujuan pemidanaan ini.

Kedua permasalahan hukum tersebut dipercahkan dengan menggunakan teori,


konsep, asas, kaidah yang tertera lebih lanjut lagi yang akan diterangkan pada kerangka
pemikiran. Oleh karena itu, perlu dikaji secara ilmiah tentang dasar-dasar teroritik
dalam penerapan ajaran penyertaan dan concursus realis terhadap pelaku tindak
pidana korupsi.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang


hasilnya dituangkan ke dalam bentuk skripsi dengan judul “PENERAPAN AJARAN
PENYERTAAN (DEELNEMING) DAN CONCURSUS REALIS DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113 K/Pid-
Sus/2020.”

B. Identifikasi Masalah

Sehubungan dengan latar belakang masalah di atas, permasalahannya dapat


dirumuskan dan diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi


yang perbuatannya memenuhi ajaran penyertaan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan
concursus realis Pasal 65 ayat (1) KUHP dalam putusan Mahkamah Agung Nomor
Republik Indonesia 113 K/Pid-Sus/2020 ?
7

2. Bagaimanakah daya guna pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi


dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-
Sus/2020?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam identifikasi masalah di atas, maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang memenuhi penerapan ajaran


penyertaan dan concursus realis tehadap pelaku tindak pidana korupsi dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
2. Untuk mengetahui daya guna pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mempunyai manfaat secara teoritis dan praktis. Adapun
kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoretis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan pada khususnya terkait
pertanggungjawaban pidana yang memenuhi penerapan ajaran penyertaan dalam
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan concursus realis pada Pasal 65 ayat (1) KUHP
8

terkait pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-
Sus/2020.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pada
praktisi hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat dalam memahami
pertanggungjawaban dan daya guna pemidanaan dalam putusan Mahakamah
Agung Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-Sus/2020

E. Kerangka Pemikiran

Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, korupsi merupakan akar


segala dari permasalahan yang penyebab utama terjadinya kemiskinan, merusak moral
dan dapat menjatuhkan sebuah rezim dengan penggunaan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi. Dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
113 K/Pid-Sus/2020, di sini penulis sepakat dengan dakwaan jaksa penuntut umum
yang menyatakan bahwa Zainudin Hasan selaku Bupati Lampung Selatan periode
2016-2021, melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara
bersama-sama yang memenuhi ajaran penyertaan termaktub pada Pasal 55 ayat (1) ke-
1 KUHP dan sebagai perbarengan perbuatan atau di sebut concursus realis termaktub
pada Pasal 65 ayat (1) KUHP. Inilah yang menajdi pokok permasalahan yang perlu
dikaji dalam penelitian ini, pertama “Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya memenuhi ajaran penyertaan
dan concursus realis dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 113
K/Pid-Sus/2020 dan yang kedua “Bagaimanakah daya guna pemidanaan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 113 K/Pid-
Sus/2020”. Kedua permasalahan penelitian tersebut dalam pemecahannya
menggunakan teori, konsep, asas, kaidah hukum yang relevan sebagai dasar analisa
yang memungkinkan pertanyaan dalam identifikasi masalah dapat diajukan dan
jawaban tentatif dapat diberikan.
9

Adapun teori yang digunakan dalam analisa permasalahan penelitian yang


pertama yaitu teori pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana adalah
kesalahan. Pengertian kesalahan dapat dikatakan bahwa kesalahan adalah dasar untuk
pertanggungjawaban pidana. Menurut Muladi “kesalahan dalam arti seluas-luasnya
dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana,” di
dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Kesalahan
merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dengan
perbuatannnya. Adanya kesalahan pada seseorang, maka orang tersebut bisa dicela. 9
Dalam arti sempit kesalahan dapat berbentuk sengaja (opzet) atau lalai (culpa). Sengaja
(opzet) disebut juga dolus dan biasanya diterjemahkan dengan “sengaja.” Sengaja ini
merupakan salah satu unsur dari tindak pidana. Untuk memahmi tentang “sengaja,”
maka ada dua teori yang dapat dijadikan landasan berpikir yakni teori kehendak dan
teori membayangkan.

Perbuatan sengaja (opzet) itu menurut doktrin timbul dalam beberapa bentuk,
yakni sengaja dengan maksud, sengaja dengan kepastian dan sengaja dengan
kemungkinan. Mengenai kealpaan (culpa) adalah kebalikan dari kesengajaan di satu
pihak dan kebalikan dari kebetulan dipihak lain. Kealpaan pada dasarnya untuk
menunjukkan hubungan antara sikap batin seseorang yang tidak atau kurang
mengindahkan larangan sehingga perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa dan
menimbulkan celaka atau secara objektif menimbulkan keadaan yang dilarang undang-
undang.10 Kealpaan juga merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari
kesengajaan, tetapi tidak berarti bahwa kealpaan adalah kesengajaan yang ringan.
Dalam memorie van toelichting yang memandang culpa semata-mata pengecualian
dolus sebagai tindakan umum dan adanya keadaan yang sedemikian membahayakan
keamanan orang atau barang atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang
sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga undang-undang juga

9
Widiada Gunakaya, Rasionalitas Hukum Pidana, Tindak Pidana, Kesalahan dan Pidana
(Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2019), hlm. 56.
10
Ibid, hlm. 148
10

bertindak terhadap kekurangan penghati-hatian, sikap sembrono atau sikap teledor.


Culpa (kealpaan) dibagi menjadi 2 bagian :

1. Culva Lata (kesalahan kasar yang paling berat atau biasa);

2. Culva Levis atau Lichte schuld (kelalaian ringan atau kecil)

Noyon dan Langemeijer membandingkan antara kealpaan dan kesengajaan yang


telah diterjemahkan menyatakan:
“Kealpaan adalah suatu struktur hukum yang sangat kompleks. Kealpaan
mengandung di satu pihak adalah kekeliruan dalam perbuatan lahir yang menunjuk
adanya keadaan batin tertentu, namun dilain pihak adalah batin itu sendiri. Jika
memang demikian kealpaan meliputi semua makna kesalahan dalam arti luas yang
bukan berupa kesengajaan. Perbedaan kesengajaan dari pada kealpaan ialah bahwa
dalam kesengajaan ada sifat yang positif, yaitu adanya kehendak dan persetujuan
yang disadari dari unsur-unsur delik yang diliputi oleh kesengajaan, sedangkan
sifat positif ini tidak ada dalam kealpaan. Oleh karena itu dapatlah dimengerti,
meskipun tidak praktis, dipakai istilah yang sama untuk kesalahan dalam arti yang
luas dan dalam arti sempit.”11
Selain kesalahan terdapat teori vicarious liability, menjelaskan mengenai
pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan
orang lain, yang secara singkat diartikan pertanggungjawaban pengganti.12 Roeslan
Saleh dalam bukunya mengakui adanya vicarious liability sebagai pengecualian dari
asas kesalahan. Roeslan Saleh berpendapat bahwa, “pada umumnya seseorang
bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri”.13 Berkaitan dengan pemahaman
pertanggungjawab vicarious liability, Roeslan Saleh lebih lanjut menyatakan “pada
umumnya yang bertanggungjawab atas perbatan pidana adalah orang yang telah
melakukan perbuatan itu, atau dengan kata lain bertanggungjawab atas perbuatan-
perbuatannya sendiri. Akan tetapi, juga orang bertanggugjawab atas perbuatan orang
lain, dan disebut dengan vicariuous liability.14

11
Eddy O. S. Hiariej, op.cit., hlm. 187-188.
12
Nandang Sambas dan Ade Mahmud, Perkembangan Hukum Pidana dan Asas-Asas Dalam
RKUHP (Bandung : Reflika Aditama, 2019), hlm. 171.
13
Roeslan Saleh, Suatu Orientasi dalam Hukum Pidana (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 32.
14
Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 72.
11

Teori yang selanjutnya untuk menganalisa identifikasi masalah kedua adalah teori
tujuan pemidanaan. Pemidanaan merupakan salah satu aspek hukum pidana atau
merupakan gambaran dari sistim moral, nilai kemanusiaan dan pandangan filosofis
suatu masyarakat pada masa tertentu. Menurut Sudarto pemidanaan merupakan
sinonim dari istilah “penghukuman”. Penghukuman sendiri berasal dari kata “hukum”,
sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukuman atau memutuskan tentang
hukumannya (berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya
dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena itu
istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana
merupakan pemidanaan atau penjatuhan pidana oleh hakim.15

Berdasarkan pendapat Sudarto tersebut, pemidanaan dapat diartikan sebagai


penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Tahap pemberian pidana dalam hal ini
memiliki dua pengertian, yaitu dalam arti luas yang menyangkut pembentukan undang-
undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana, dalam arti konkret yang
menyangkut berbagai badan yang mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum
pidana tersebut.16 Teori ini juga memperhatikan akibat hukum atau ajaran kausalitas.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu adanya suatu akibat tertentu guna
menjatuhkan pidana terhadab si pembuat. Dalam tindak pidana formil, maka
perbuatanlah yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, sedangkan dalam
bentuk tindak pidana materiil, yang diancam dan dilarang itu ialah akibat dari
perbuatan. Oleh karena itu, dalam tindak pidana materiil kita harus mengetahui apakah
yang harus dianggap sebab dari akibat yang dilarang dan diancam pidana itu.
Mengetahui sebab-akibat itu penting, guna menentukan pertanggungjawabannya. Jika
sesorang melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-

15
P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum (Bandung: Binacipta,
1987), hlm. 17.
16
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: PT Alumni,
2010), hlm. 1.
12

undang, maka agar supaya dapat dipertanggungjawabkan, harus diketahui perbuatan


apa yang menjadi sebabnya.17

Ted Honderich berpendapat, pemidanaan harus memuat tiga unsur, yaitu :

1. Pemidanaan harus mengandung kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan


(distress), yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran yang dari
tindak pemidanaan. Unsur ini merupakan kerugian atau kejahatan yang
diderita oleh subjek yang menjadi korban akibat tindakan subjek lain.
Tindakan subjek lain tersebut dianggap telah mengakibatkan penderitaan bagi
oranglain dan melawan hukum yang berlaku secara sah;
2. Pemidanaan datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi
pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan
sebagai hasil keputusan pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa, oleh
karena itu pemidanaan bukan tindakan balas dendam terhadap pelanggaran
hukum yang mengakibatkan penderitaan;
3. Penguasa yang berwenang, berhak untuk menjatuhkan pidana hanya kepada
subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan
yang berlaku dalam masyarakat.18
Sedangkan mengenai tujuan pemidanaan menurut, Ch. J. Enschede dapat
digolongkan berdasarkan 3 (tiga) golongan, yaitu :
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien), yakni pidana
tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.
Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan
pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah
perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan
harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar;
2. Teori relative atau tujuan (doeltheorien), yakni mencari dasar hukum pidana
dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk
prevensi terjadinya kejahatan, yang terbagi atas prevensi umum dan prevensi
khusus;
3. Teori gabungan (vereningingstheorien), yakni teori yang mendasarkan
penggabungan antara pembalasan dan tujuan.19
Mengenai konsep indentifikasi masalah, pertama adalah konsep
pertanggungjawaban pidana. Dasar pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan.
Dalam arti sempit kesalahan dapat berbentuk sengaja (opzet) atau lalai (culpa).

17
Rasyid Ariman, Hukum Pidana (Palembang: Setara Press, 2016), hlm. 273.
18
Marlina, Hukum Panintensier (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hlm. 34.
19
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Perkembangannya (Jakarta: PT
Sofmedia, 2012), hlm. 40.
13

Membicarakan kesalahan berarti membicarakan pertanggungjawaban. Dengan


demikian pertanggungjawaban pidana merupakan dasar fundamental hukum pidana
sehingga kesalahan menurut Idema merupakan jantungnya hukum pidana.20 Hal ini
menunjukkan bahwa dasar dipertanggungjawabannya perbuatan seseorang, diletakkan
di dalam konsep/dasar pemikiran kepada terbukti tidaknya unsur-unsur tindak pidana.
Artinya jika terbukti unsur-unsur tindak pidana, maka terbukti pula kesalahannnya dan
dengan sendirinya dipidana. Ini berarti pertanggungjawaban pidana dilekatkan kepada
unsur-unsur tindak pidana.21 Konsepsi yang melatarbelakangi pemikiran demikian
berangkat dari konsepsi panjang dianutnya aliran monistik yang berorientasi kepada
perbuatan sebagai konsekuensi dianutnya asas legalitas formal dalam arti Pasal 1 ayat
(1) KUHP. Bukti yuridis bahwa konsep demikian dianut oleh hukum pidana terletak
dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merumuskan tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian yang dilarang dan diancam dengan pidana adalah dilaranganya
melakukan perbuatan yan disertai dengan ancaman terhadap perbuatan itu sendiri.

Selanjutnya konsep penyertaan (deelneming). Dalam deelneming ditentukan


syarat-syarat yang dicantumkan dalam Undang-Undang Hukum Pidana, yang harus
dipenuhi supaya seorang pembantu dari tindak pidana atau yang merupakan peserta
dapat dipidana.22 Ajaran penyertaan dalam tindak pidana terjadi apabila dalam suatu
tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Sehingga harus dicari pertanggungjawaban
masing-masing orang yang bersangkut dalam tindak pidana tersebut. Keterlibatan
seseorang dalam suatu tindak pidana dapat dikategorikan sebagai:

1. Yang melakukan (Pleger); Pasal 55 KUHP menyebutkan sebagai “bentuk


penyertaan” mereka yang melakukan perbuatan.” Pendapat Moeljatno ini
adalah benar jika mereka ini sendiri melakukan perbuatan pidana. Tapi yang
tersangkut bukan mereka sendirian, jadi ada oranglain yang tersangkut pula,

20
Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Yayasan Sudarto Univertas Dipenogoro, 1991), hlm. 14.
21
S.R Sianturi , op.,cit, hlm 161.
22
Rasyid Ariman, op.cit., hlm.118.
14

maka disitu orang yang plegen itu melakukan pnyertaan pula.23 Satochid
Kartanegara menyebut kata “dader” dengan istilah pelaku, sedangkan
“dader” dalam arti sempit disamakan dengan pleger. Menurut doktrin tersebut
dari suatu tindak pidana ialah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-
unsur tindak pidana, sebagaimana unsur-unsur tersebut dirumuskan dalam
undang-undang;24
2. Yang menyuruh melakukan (doenpleger), bentuk penyertaan “menyuruh
melakukan” (doenpleger) terjadi sebelum dilakukannya perbuatan, yaitu
orang yang menyuruh melakukan perbuatan dengan perantaran orang lain.
Jadi pada doenplegen terjadi 2 orang atau lebih, yang masing-masing
berkedudukan orang yang menyuruh melakukan. Menurut Adami Chazawi
doen plegen adalah orang yang menyuruh oranglain melakukan, maka mede
plegen adalah orang (pelaku) turut melakukan tindak pidana. Doen Plegen
juga disebut “middelijke daderschap yang dimaksud ialah :
“Apabila seseorang mempunyai kehendak untuk melaksanakan suatu
perbuatan pidana, akan teapi seseorang yang mempunyai kehendak itu tidak
mau melakukan sendiri, tetapi mempergunakan oranglain disuruh
melakukannya;”25
3. Yang turut melakukan (medepleger), ditinjau lebih dari doenplegen
(menyuruh melakukan), karena dalam medepleger orang itu masih ikut serta
melakukan perbuatan yang bersangkutan, sedangkan orang-orang yang
doenplegen sama sekali tidak. Karena dipandang secara sistematik hukum
pidana doenplegen ditinjau sesudah medepleger;
Menurut Moeljatno, hakekatnya dari Medeleger, berpegang kepada syarat
yang dikemukakan oleh pompe, yakni setidak-tidaknya mereka itu semua
melakukan unsur perbuatan pidana, berarti bahwa masing-masing harus
melakukan bahkan tentang apa yang dilakukan oleh peserta/tidak mungkin
dilakukan dari pada masing-masing keadaan.26

23
Moeljatno, Delik-Delik Percobaan dan Delik-delik Penyertaan (Jakarta: Bima Aksara, 1983),
hlm. 103.
24
Rasyid Ariman, op. cit., hlm. 121.
25
Moeljatno, op. cit., hlm. 123.
26
Ibid., hlm. 110.
15

4. Yang membujuk (uitloker) tercantum dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP
dengan penjelasan bahwa mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu,
dengan menggunakan kekuasaan atau martabat, dengan jejerasan, ancaman
atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan sarana atau keterangan
sengaja menganjurkan orangalin supaya melakukan perbuatan. Syarat-syarat
dalam penggerak adalah :

a. Yang digerakkan (materiil/fisike dader) dapat dipidana karena melakukan


suatu tindak pidana seperti halnya penggerak (auctor intellectualis) dapat
dipidana karena menggerakkan;

b. Daya upaya yang digunakan penggerak dirumuskan secara limitatif.27

Keterkaitan dengan konsep di atas, dikenal sebagai perbuatan pidana atau tindak
pidana dalam hal-hal tertentu dapat dilakukan oleh setiap orang, dan pada saat yang
sama atau lain-lain waktu dapat pula dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-
sama. Dengan kata lain, tindak pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang yang
terlibat di dalam melakukan tindak pidana tersebut. Beberapa orang yang melakukan
tindak pidana inilah yang lazim disebut dengan penyertaan atau deelneming. Masalah
penyertaan (deelming) ini di dalam pelajaran hukum pidana pada dasarnya berkaitan
dengan masalah penentuan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana yang
telah dilakukan. Berkaitan dengan masalah pertanggungjwaban pidana tentu saja akan
berhubungan pula siapa-siapa yang menjadi pelaku dan pembantu di dalam melakukan
tindak pidana. Penyertaan atau deelneming atau complicity dalam beberapa literature,
banyak pandangan para sarjana, menunjukkan belum ada keseragaman didalam
menggunakan istilah deelneming. Kartanegara misalnya menggunakan istilah
deelneming dengan “turut serta”, Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana”,
Karnia “turut berbuat delik” dan “turut serta” istilah yang digunakan oleh Utrecht.28

27
E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya (Jakarta:
Storia Grafika, 2002), hlm. 350.
28
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara, 2001), hlm. 35.
16

Selanjutnya, konsep concurus realis disebut juga perbarengan perbuatan atau


meedaadse samenloop. Perbarengan melakukan tindak pidana juga sering di
persamakan dengan gabungan melakukan tindak pidana atau disebut samenloop van
strafbaren feiten yaitu seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar
beberapa ketentuan hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-
masing perbuatan itu berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, di mana salah satu dari
perbuatan itu belum mendapatkan keputusan yang tetap. Delik perbarengan tindak
pidana merupakan perbuatan pidana yang berbentuk khusus, karena beberapa
perbuatan pidana yang terjadi hakikatnya hanya dilakukan oleh satu orang (samenloop
van strafbare feiten).29 Menurut Simons berdasarkan stelsel pemidanaan dalam hal
terjadinya concursus realis yaitu :
1. Eenvoudige cummulatiestelsel atau sistem hukuman bersifat sederhana.
Artinya, bagi setiap perbuatan pidana, hakim dapat menjatuhkan pidana
seperti yang telah diancamkan oleh undang-undang;
2. Absorptiestelsel atau sistem penyerapan dari pidana yang berlainana. Dalam
hal ini hakim menjatuhkan pidana maksimum terhadap kejahatan yang paling
berat;
3. Beperkte cummulatiestelsel atau reductiestelsel atau stelsel kumulasi. Di sini
hakim dapat menjatuhkan pidana untuk setiap perbuatan pidana, namun
beratnya hukuman harus dibatasi;
4. Verscherpingsstelsel atau exasperatiestelsel atau sistem pemberatan hukuman
yang terberat. Artinya, hakim hanya menjatuhkan pidana paling berat
ditambah dengan pemberatan;
5. Zuivere cummalatiestelsel atau sistem kumulasi murni yang berarti setiap
pelanggaran yang terjadi dalam konteks concursus realis, hakim menjatuhkan
pidana tanpa pengurangan.
Mengenai penerapan concursus realis pada stelsel dalam penelitian ini yaitu Pasal
65 ayat (1) KUHP yang berbunyi :
“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan,
yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu
pidana”.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan. Pertama, terjadi beberapa perbuatan pidana.
Kedua, semua perbuatan pidana yang terjadi memuat ancaman pidana pokok yang

29
Aruan Sakidjo dan Bambang Pernomo, op.cit., hlm. 169.
17

sejenis. Artinya, pidana pokok dari semua perbuatan pidana yang terjadi berupa pidana
penjara atau pidana kurungan atau pidana denda. Dilihat dari pidana pokok yang sejenis
merupakan eenvoudige cummulatiestelsel atau sistem kumulasi pemidanaan yang
bersifat sederhana karena hanya menjatuhkan satu saja pidana pokok. Ketiga,
maksimum pidana dapat dijatuhkan secara sistem kumulasi. Simons menyebutkan
sebagai “verscherpingsstelsel atau exasperatiestelsel atau sistem pemberatan hukuman
yang terberat. Artinya, hakim hanya menjatuhkan pidana paling berat ditambah dengan
pemberatan”. Sedangkan Lamintang menggunakan istilah gematigde cummulatie atau
kumulasi sedang, di mana sisi pidana yang dijatuhkan tidak boleh terlalu berat, namun
di sisi lain pidana yang dijatuhkan juga tidak boleh terlalu ringan. Keempat, maksimum
pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana terberat ditambah dengan sepertiga dari
pidana terberat.30

Selanjutnya konsep tindak pidana korupsi. Tindak pidana (strafbaar feit) adalah
seseorang yang melakukan perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana dan sanksi
terhadap perbuatannya. Menurut Simons strafbaar feit adalah:
“tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.”
Sedangkan menurut E. Utrecht strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang
sering disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif
atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya atau keadaan yang
ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu. Peristiwa pidana merupakan suatu
peristiwa hukum (rechtsfeit) yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat
yang diatur oleh hukum. Didalam tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur tindak
pidana, jenis tindak pidana serta adanya waktu dan tempat tindak pidana yaitu :
1. Unsur Tindak Pidana
a. Unsur Subjektif
1) Adanya kesengajaan atau kelalian;
2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud
dalam pasal 53 ayat (1) KUHP;
30
Eddy O.S. Hiariej, op.cit., hlm. 403-404.
18

3) Adanya kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan,


merugikan keuangan negara, penyalahgunaan kekuasaan dll;
b. Unsur Objektif
1) Sifat melawan hukum;
2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil
melakukan kejahatan yang diatur dalam pasal 415 KUHP;
3) Kuasalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan kenyataan sebagai akibat.
2. Jenis Tindak Pidana
Terdiri dari atas pelanggaran kejahatan yaitu sebagai berikut :
a. Undang-undang tidak membuat perbedaan antara opzet dan culpa dalam
suatu pelanggaran;
b. Percobaan suatu pelanggaran tidak dapat dihukum;
c. Keikutsertaan dalam pelanggaran tidak dapat dihukum;
d. Pelanggaran yang dilakukan pengurus atau amggota pengurus ataupun
para komisaris dapat dihukum apabila pelanggaran itu terjadi
sepengetahuan mereka;
e. Dalam pelanggaran itu tidak terdapat ketentuan bahwa adanya pengaduan
merupakan syarat bagi penuntutan.
3. Tempat dan Waktu Tindak Pidana
Menurut Prof. van Bammelen yang dipandang sebagai tempat dan waktu
dilakukannya tindak pidana pada dasarnya adalah tempat di mana seorang
pelaku telah melakukan perbuatannya secara materiil. Yang dianggap
sebagai locus delicti adalah :
a. Tempat di mana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri
perbuatannya;
b. Tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh seorang itu bekerja;
c. Tempat di mana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul;
d. Tempat di mana akibat konstitutif itu telah ada.31
Adapun mengenai sanksi atau pidana yang dapat dijatuhkan secara umum diatur
dalam Pasal 10 KUHP, yaitu :
1. Pidana pokok meliputi : pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda dan
tutupan;
2. Pidana tambahan meliputi : pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-
barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Sedangkan pengertian korupsi dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, yang artinya penyelewenagan atau penyalahgunaan uang (perusahaan,
organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Dalam

31
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Semarang: Sinar Grafika, 2005), hlm.5-7.
19

hal ini kita dapat melihat korupsi sebagai suatu pandemik atau penyakit yang sudah
aktual di masyarakat di Indonesia. Kompleksitas korupsi di Indonesia, antara lain juga
terkait dengan persoalan politik, kelembagaan, birokrasi, dan lain-lain di mana para
pelaku korupsi berasal dari berbagai latar belakang.32 Menurut Sayed Hussein Alatas
menyatakan:
“korupsi adalah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-
tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan
kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan
kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang diderita oleh
masyarakat”.

Maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu tindakan yang melawan
hukum dengan penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Maka dari itu
Henry Cambell Black dalam buku Black’s Law Dictionary berpendapat, “tindak
pidana korupsi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan
hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau
kewenangannya untuk mendapat suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk
oranglain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak pihak lain”.33Dalam rumusan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengalami perluasan, yang
menyatakan secara tegas, tindak pidana korupsi merupakan perbuatan melawan
hukum. Jika kita melihat kondisi Indonesia saat ini, korupsi semakin tinggi dan masih
banyak terjadi secara luas di beberapa daerah, baik pusat serta pejabat negara, yang
hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hal sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga
digolongkan sebagai extra ordinary crime, maka pemberantasannya harus dilakukan
dengan cara tegas dan disiplin.

32
Febby Mutiara, Sistem Peradilan Pidana dan Penanggulangan Korupsi di Indonesia (Depok:
Raja Grafindo, 2010), hlm. 98.
33
Kristian dan Yopi Gunawan, op.cit., hlm. 21.
20

Dalam hal ini, adapun konsep yang perlu dijelaskan yang terkait dalam identifikasi
masalah kedua, yaitu konsep pidana. Istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana atau
sering didengar sebagai hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman,
pemberian pidana dan hukuman pidana. Menurut Sudarto pidana ialah “penderitaan
yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu”. Salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan
sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan ialah pidana penjara. Pada
hakekatnya punishment atau pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan nestapa atau penderitaan
atau akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan;
3. Pidana diberikan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.34
Jika kita memperhatikan konsep tujuan dari pemidanaan, bahwa sanksi pidana
adalah mencegah pengulangan tindak pidana (to preventrecidivism), mencegah
oranglain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter
other from the performance of similar acts), menyediakan saluran untuk mewujudkan
motif-motif balas (to provide a channel for the expression of retaliatory motives).
Sehingga penulis meneliti bahwa adanya pemberian atau menjatuhkan pidana
bertujuan dalam pembebasan si pelaku untuk menentukan jalan keluar agar
menemukan kehidupan baru dan berbaur kepada masyarakat. Konsep ini juga
memperhatikan akibat hukum atau ajaran kuasalitas. Isilah “kausalitas” berasal dari
kata dasar “kausa” yang berarti “penyebab”, di mana hukum pidana memandang
kausalitas dari segi partikularistik, yaitu melihat akibat tertentu yang ditimbulkan
karena ada penyebabnya dan penyebab itu adalah suatu perbuatan atau bukan suatu
perbuatan, tetapi menimbulkan akibat tertentu. Salah satu mencapai tujuan hukum
pidana adalah mejatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan suatu
tindak pidana dan pidana itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu penderitaan atau
nestapa yang sengaja dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah

34
Marlina, op.cit., hlm. 22.
21

melakukan suatu tindak pidana. Dalam menanggulangi kejahatan dalam tindak pidana
korupsi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, pada umumnya selama ini koruptor selalu dikenakan
sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), (2) dan Pasal 3, di mana
penetapan jenis dan bentuk sanksi merupakan bagian dari kebijakan pemerintah.

Dasar adanya suatu pertanggungjawaban pidana adalah asas culpabilitas. Asas ini
biasanya berkaitan permasalahan Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana.
Di Belanda dikenal dengan istilah “green straf zonder should”, yang berarti “tiada
pidana tanpa kesalahan (nulla poena sine culpa). Dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:
“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan
yang di dakwaakan atas dirinya”

Selanjutnya, Pasal 8 menyebutkan:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di


depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekutan hukum tetap”.
Di sini, jelas tampak bahwa asas culpabilitas berbasis pada terbuktinya kesalahan
(schuld) baik karena kesengajaan maupun karena kealpaan. Asas ini juga mengarahkan
dan memberi dasar landasan, bahwa seseorang telah melakukan sesuatu perbuatan yang
diancam dengan pidana, tidak secara langsung atau serta merta orang itu dapat dijatuhi
pidana, walaupun perbuatan yang telah dilakukannya itu merupakan salah satu tindak
pidana. Akan tetapi orang atau pelaku tindak pidana, terlebih dahulu harus dapat
dinyatakan mampu bertanggungjawab sehingga diminta pertanggungjawabannya.
Prinsip ini merupakan kesalahan pelaku secara mutlak namun harus dibuktikan.

Selanjutnya dasar penjatuhan pidana dan pemidanaan adalah asas poenalitas. Asas
ini di dalam Hukum Pidana eksistenisalitasnya sangat signifikan, karena sebagai dasar
sensual dari pidana dan pemidanaan. Asas poenalitas adalah landasan utama atau
norma hukum positif berupa aturan-aturan pidana sehingga asas hukum tersebut
22

bereksistensi sebagai unsur esensial dari suatu norma hukum positif. Namun sebelum
asas ini di eksplanasi lebih lanjut, perlu adanya suatu syarat pemidanaan. Pidana baru
dapat dijatuhkan jika terpenuhi syarat-sayat pemidanaan sebagai berikut:

1. Suatu perbuatan melawan hukum (tindak pidana) telah terbukti dilakukan,


berlaku asas tiada tindak pidana tanpa sifat melawan hukum (nullum delictum
sine lege);
2. Terhadap pelakunya terdapat unsur kesalahan sebagai dasar
pertanggungjawaban pidana kecuali terdapat alasan penghapus pidana berupa
alasan pemaaf, berlaku asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (nullum
poena sine culpa);
3. Pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan yang ditentukan di dalam rumusan
delik di dalam undang-undang (nulla poena sine legepoenali), ini berlaku pada
syarat pemidanaan dengan.

Dalam menghindari hal-hal buruk untuk merealisasikan tujuan-tujuan pidana dan


pemidanaan perlu adanya asas hukum dalam hukum pidana sebagai konsepsi dasar,
norma etis dan meta kaidah serta landasan utama yang dapat menentukan pikiran-
pikiran rasional dalam penetapan pidana oleh legislator, dan pemidanaan oleh hakim
untuk mencapai tujuan hukum yang diperlukan adalah asas poenalitas yang sangat
signifikan eksistensi dan esensialitasnya di dalam hukum pidana. Asas hukum pidana
menurut Bellefroid menjelaskan:
“Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.
Asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan
oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum”.
Sedangkan menurut Paul Sholten mengatakan:
“Asas hukum adalah pikiran-pikiran yang tidak ditegaskan secara eksplisit dalam
undang-undang. Ukuran kepatutan menurut hukum dapat dicari dalam pikiran-
pikiran yang ada di belakang naskah undang-undang”.

Asas poenalitas dikualifikasikan sebagai suatu asas hukum dalam hukum pidana
yang memiliki dasar-dasar rasionalitas sebagai berikut:
23

1. Merupakan pengendapan dan merupakan norma dasar yang dijabarkan dari


hukum pidana positif;
2. Melihat ukuran kepatutan dan atau kepantasan mengenai hukum pidana dan
pemidanaan menurut hukum pidana, dapat ditelusuri dalam pikiran-pikiran
yang ada di belakang naskah KUHP;
3. Merupakan opsi dasar kebijakan negara yang penetapan pidana (kebijakan
legislatif), dan sebagai prinsip-prinsip etika hukum pidana dalam pemidanaan;
4. Bukan sebagai norma-norma hukum pidana konkret, tetapi esis sebagai dasar
pikiran umum atau petunjuk-petunjuk bagi aturan hukum pidana positif;
5. Hakim fungsional digunakan sebagai tolak ukur atau kriteria atau sebagai
pedoman untuk menilai terdakwa dalam mewujudkan perbuatannya sebelum
pidana dijatuhkan;
6. Dalam hukum pidana berkedudukan sebagai meta-kaidah yang letaknya berada
di belakang aturan hukum pidana itu sendiri, memuat kriteria nilai yang untuk
dapat menjadi pedoman dalam pidana dan pemidanaan menentukan penjabaran
atau konkretisasi ke dalam aturan aturan-aturan pidana.

Asas poenalitas di dalam hukum pidana eksistensialitasnya sangat signifikan


sebagai dasar esensial dari pidana dan pemidanaan. Asas poenalitas sebagai asas
hukum bersifat abstrak, melatar belakangi aturan pidana secara konkret dalam aktivitas
pembentukan maupun penetapan hukum pidana. Oleh karena itu peraturan pidana
dalam hukum pidana positif (UU) dan atau putusan hakim (yurisprudensi) sama sekali
tidak boleh bertentangan dengan asas hukum yang dimaksud. Asas poenalitas pada
khususnya sebagai suatu asas kebenaran dan keadilan dalam penetapan pidana dan
penjatuhan pidana.35

Selanjutnya adanya asas keadilan vindikatif (justitia vindicativa). Keadilan


(iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak,
berpihak kepada yang benar, sepatutnya tidak sewenang-wenang. Menurut Thomas
Aquinas, seorang filsuf hukum alam membedakan keadilan salah satunya adalah

35
Widiada Gunakaya, op.,cit., hlm. 102-105.
24

keadilan vindikatif. Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan


hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang yang dianggap adil
apabila badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas
tindak pidana yang dilakukannya.36

Seperti dikemukakan di atas, dalam penelitian ini penulis mengkaji perkara tindak
pidana concursus realis, penerapan sanksi nya memakai sistem absorbsi yang
dipertajam. Karena itu seharusnya dalam perkara Zainudin Hasan, yang dianggap
terbukti melakukan dua perbuatan tindak pidana yakni melakukan plotting penyedia
jasa/rekanan di Dinas PUPR Kab. Lampung Selatan di mana perbuatan plotting proyek
oleh Zainudin Hasan berkaitan erat satu sama lain dengan penerimaan fee sebagai
kompensasi atas plotting yang dilakukan sejak tahun 2016-2018 untuk kepentingan
pribadi, menerima gratifikasi untuk membeli 1 unit Villa di Tegal Mas, membelanjakan
untuk pembelian saham, adanya pembelian kendaraan roda 4 dan menyamarkan asal
usul harta kekayaan dengan menggunakan rekening orang lain yakni Sudarman selaku
karyawan. Zainudin Hasan adalah bupati lampung selatan, karena itu statusnya adalah
pegawai negeri atau penyelenggara negara, sesuai dengan Pasal 12 a Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya”. Dalam hal ini penuntut umum menuntut 15 tahun penjara, maka
berdasarkan sistem absorbsi yang dipertajam, Majelis Hakim seharusnya memutuskan
15 tahun + 1/3 = 20 tahun penjara. Selain itu Hakim seharusnya juga menerapkan

36
Nurwino Wajib, “Keadilan dalam konteks Perkembangan Paradigma Pembangunan,”
http://kotaku.pu.go.id:8081/wartaarsipdetil.asp?mid=8395&catid=2&, diakses 7 Februari 2021.
25

sanksi pidana uang pengganti yang sesuai perbuatan hasil korupsi oleh Zainudin Hasan
sebesar Rp. 72.742.792.145,00 (tujuh puluh dua miliar tujuh ratus empat puluh dua
juta tujuh ratus sembilan puluh dua ribu seratus empat puluh lima rupiah), bukan
sebesar Rp 66.772.092.145,00 (enam puluh enam miliar tujuh ratus tuju puluh dua juta
sembilan puluh dua ribu seratus empat puluh lima rupiah). Tujuan pokok diterapkan
pidana tambahan pembayaran uang pengganti adalah untuk mengembalikan uang
negara yang dikorupsi oleh pelaku serta memulihkan keuangan negara. Dalam hal ini
peradilan seharusnya merapkan keadilan vindikatif untuk mewujudkan adanya
kepastian hukum di mata masyarakat.

Adapun kaitannya dengan penelitian ini, di mana putusan Hakim yang


menyatakan bahwa perbuatan Zainudin Hasan merupakan perbuatan berlanjut dan
bukan perbuatan concursus realis. Maka dalam hal ini penulis beranggapan bahwa
pentingnya penjelasan dengan kaidah hukum terkait dakwaan Jaksa Penuntut Umum,
pertama Pasal 12 a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP, kedua Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65
ayat (1) KUHP dan Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 12 B Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65
ayat (1) KUHP dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
26

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan sarana (ilmiah) dengan analisa dan konstuksi yang
dilakukan secara metodelogi, sistematis dan konsisten. Metodelogi berarti sesuai
dengan metode atau cara tertentu, sistemasi, berarti berdasarkan pada suatu sistem dan
konsisten merupakan tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan kerangka
tertentu.37 Berkait dengan metode penelitian dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriftif, yaitu menggambarkan masalah
tentang problematika pemidanaan dan pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku tindak pidana yang masuk dalam penerapan ajaran penyertaan dan
melakukan perbarengan tindak pidana atau concrusus realis dihubungkan
dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 113 K/Pid-Sus/2020. Suatu
penelitian deskirptif menurut Soerjono Soekanto, dimaksud untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-
gejala lainnya.38

2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah yuridis
normatif (yuridis dogmatis). Penelitian yuridis normatif, yakni penelitian
yang difokuskan untuk mengkaji penerapan atau kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif,.39 Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian
dilakukan melalui kepustakaan dengan meneliti data sekunder berupa bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yang
penguraiannya dari sudut kekuatan digolongkan berdasarkan kekuatan
mengikatnya, yaitu :

37
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 2.
38
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2015), hlm. 10.
39
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayu Media
Publishing, 2008), hlm. 295.
27

a. Bahan Hukum Primer


Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan
karena berupa peraturan perundang-undangan. Dalam penulisan ini,
bahan hukum primer meliputi:
1) Norma atau kaidah dasar yakni pembukaan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945;
2) Peraturan perundang-undangan seperti, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun1946 jo. Undang-Undang Nomor
73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Bahan Hukum Sekunder
Memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti, buku-
buku ilmiah yang membahas tentang ajaran penyertaan dan concursus
realis dalam Hukum Pidana, karya-karya tulis, artikel, jurnal-jurnal
ilmiah lainnya yang membahas tentang tindak pidana korupsi.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks
kumulatif dan seterusnya.

3. Metode Pendekatan
Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah:
a. Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach)
Mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
problematika pemidanaan dalam penerapan ajaran penyertaan dan
melakukan perbarengan tindak pidana atau concursus realis dengan
28

seluruh ketentuan-ketentuan umum atau kaidah hukum atau peraturan


perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi;
b. Pendekatan Kasus (case approach)
Penelitian ini dilakukan dengan menelaah kasus yang terkait dengan
masalah yang diteliti, yaitu putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 113 K/Pid-Sus/2020. Hal yang menjadi kajian pokok
dalam pendekatan kasus ini adalah pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya memenuhi ajaran
penyertaan dan concursus realis dan daya guna pemidanaan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi.

4. Teknik Pengumpulan data


Dalam penulisan skripsi ini teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi
kepustakaan, yaitu mencari, menginventarisasi, mencatat, dan mempelajari
bahan hukum primer, sekunder dan tersier dihubungkan dengan pokok-pokok
permasalahan penelitian.

5. Metode Analisis Data


Seluruh data sekunder yang diperoleh, kemudian dianalisis secara yuridis
dengan cara diolah dan disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis
secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Tidak
menggunakan rumusan statistik dan angka instrument analisis, yang
digunakan adalah metode intepretasi (penafsiran), sebagaimana lazimnya
digunakan dalam ilmu hukum, khususnya penelitian hukum normatif seperti,
metode interpretasi gramatikal, sistematis dan historis.40

40
Soerjno Soekanto, op.cit., hlm. 257.
29

G. Sistematika Penulisan

Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penulisan ini maka penulis membagi


dalam 5 (lima) bab, yaitu :

Bab I diberi judul Pendahuluan. Menguraikan latar belakang masalah yang


menjadi alasan penting dilakukannya penelitian hukum ini dilakukan, kemudian
dilanjutkan dengan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran dari
penelitian yang akan dikaji, metode penelitian, metode pendekatan, metode
pengumpulan data, dan metode penelitian.

Bab II diberi judul Tinjauan Umum. Menguraikan Pertanggungjawaban Pidana,


Pemidanaan, Tindak Pidana, Ajaran Penyertaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis).

Bab III diberi judul Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-Sus/2020. Pada bab ini menjelaskan terkait
pengertian, istilah tindaka pidana korupsi di Indoensia dan penjelasan mengenai kasus
posisi dari putusan Mahkamah Agung Nomor 113 K/Pid-Sus/2020.

Bab IV diberi judul Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dengan Pertimbangan


Penerapan Ajaran Penyertaan dan Cocursus Realis Dalam Tindak Pidana Korupsi
Dihubungkan Dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 113
K/Pid-Sus/2020. Pada bab ini menjelaskan terkait dengan pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang memenuhi ajaran penyertaan dan concurus
realis dan daya guna pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Bab V diberi judul Penutup. Dalam bab ini, penulis akan mengemukakan simpulan
dan saran.

Anda mungkin juga menyukai