1
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus (Jakarta: PT Balebat Dedikasi Prima, 2017), hlm.
61.
1
2
Berbicara tindak pidana korupsi atau yang sering disebut extraordinary crime
atau kejahatan yang luar biasa merupakan suatu perbuatan pidana yang di dalamnya
melakukan perbuatan secara bersama-sama. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa,
tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat
dibenci oleh sebagian besar masyarakat, tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa
2
Febby Mutiara, Sistem Peradilan Pidana Dan Penanggulangan Korupsi Di Indonesia (Depok:
Raja Grafindo, 2010), hlm. 21.
3
Eddk Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 77.
3
Indonesia tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa didunia.4 Tindak pidana korupsi
juga menjadi sesuatu yang sistematik, sudah menjadi suatu sistem yang menyatu
dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dapat dikatakan bahwa
pemerintahan justru akan hancur apabila tindak pidana korupsi diberantas. Struktur
pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang
korupsi dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan.5
Dalam hal tindak pidana korupsi, sebagaimana termaktub pada ketentuan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dirumuskan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkayakan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).”
Kemudian, Pasal 3 ketentuannya dirumuskan:
“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau oranglain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dana tau denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1 Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).”
Dalam tindak pidana korupsi melibatkan lebih dari satu subjek hukum yaitu orang
atau badan hukum/korporasi. Hal ini,mempunyai kaitannya dengan penerapan ajaran
penyertaan dan oleh karena itu tindak pidana korupsi selalu melibatkan lebih dari satu
subjek hukum (orang atau badan hukum/korporasi).
Suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan bagian dari
tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan dan sifatnya berlainan dan bervariatif. Hal
4
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1992), hlm.
133.
5
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi Kajian Terhadap Harmonisasi Hukum
Nasional dan The United Nations Convention Against Coruption (Bandung: PT Refika Aditama, 2015),
hlm.1-2.
4
tersebut dapat dilihat dari peran serta mereka melakukan perbuatan tersebut posisinya
bisa sebagai pelaku (dader), menyuruh melakukan (doenpleger), turut melakukan
(medepleger), membujuk melakukan (uitloker) atau perbuatan pidana yang dilakukan
dan melihat hal tersebut ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana
dikenal dengan delik penyertaan atau deelneming.6 Moeljatno mengatakan bahwa
ajaran penyertaan sebagai ajaran yang memperluas dapat dipidananya orang yang
tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana. Di samping itu ada delik-delik
biasa seperti penyertaan yang memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut
dalam timbulnya suatu perbuatan pidana. Pengertian tentang penyertaan atau
deelneming diatur dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP menentukan bahwa dipidana sebagai
pembuat atau dader dari suatu perbuatan pidana adalah :
Ke-1 : Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta
melakukan (zin die hetfeit plegen, doen plegen, and medeplegen).
Ke-2 : Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan menjanjikan sesuatu dengan
menggunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan oranglain supaya melakukan perbuatan pidana (zij die het feit
uilokken).
Dalam hal ini penulis lebih menerapkan konsep penyertaan pada Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP yang digunakan sebagai dasar Hakim oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-Sus/2020
Selanjutnya hal lain yang sering dikaitkan dengan tindak pidana korupsi adalah
konsep concursus realis disebut juga perbarengan perbuatan atau meerdaadse
samenloop. Demikian menurut Schaffmesiter, Keijzer dan Sutorius mengemukakan
makna perbuatan dalam concursus realis harus diartikan sebagai perbuatan yang
terbukti. Sedangkan menurut Simons berdasarkan Memorie van Toelichting
menyatakan:
“pembentukan undang-undang dalam hal terjadi concursus realis mengikuti
tussenstelsel atau sisitem antara. Artinya, pembentukan undang-undang
membedakan kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang
6
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia Penerapannya (Jakarta: Alumni-AHM-
PTHM,1996), hlm.329.
5
sejenis dan kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak
sejenis.”7
Mengenai stelsel pemidanaan dari concursus realis tersebut termaktub pada Pasal
65 KUHP, Pasal 66 KUHP, Pasal 67 KUHP, Pasal 68 KUHP, Pasal 69 KUHP dan
Pasal 70 KUHP. Namun penulis lebih menerapkan dan menyetujui stelsel pemidanaan
yang digunakan sebagai dasar Hakim oleh Jaksa Penuntut Umum dalam putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-Sus/2020 pada Pasal 65 ayat
(1) KUHP yang ketentuannya dirumuskan:
“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan,
yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu
pidana.”
Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain, orang
tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari
sudut perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.8
7
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2015),
hlm. 402-403.
8
Sudarto dalam buku Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kebijakan
Legislasi (Depok: Kencana, 2017), hlm. 30.
6
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam identifikasi masalah di atas, maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini mempunyai manfaat secara teoritis dan praktis. Adapun
kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoretis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan pada khususnya terkait
pertanggungjawaban pidana yang memenuhi penerapan ajaran penyertaan dalam
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan concursus realis pada Pasal 65 ayat (1) KUHP
8
terkait pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-
Sus/2020.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pada
praktisi hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat dalam memahami
pertanggungjawaban dan daya guna pemidanaan dalam putusan Mahakamah
Agung Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-Sus/2020
E. Kerangka Pemikiran
Perbuatan sengaja (opzet) itu menurut doktrin timbul dalam beberapa bentuk,
yakni sengaja dengan maksud, sengaja dengan kepastian dan sengaja dengan
kemungkinan. Mengenai kealpaan (culpa) adalah kebalikan dari kesengajaan di satu
pihak dan kebalikan dari kebetulan dipihak lain. Kealpaan pada dasarnya untuk
menunjukkan hubungan antara sikap batin seseorang yang tidak atau kurang
mengindahkan larangan sehingga perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa dan
menimbulkan celaka atau secara objektif menimbulkan keadaan yang dilarang undang-
undang.10 Kealpaan juga merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari
kesengajaan, tetapi tidak berarti bahwa kealpaan adalah kesengajaan yang ringan.
Dalam memorie van toelichting yang memandang culpa semata-mata pengecualian
dolus sebagai tindakan umum dan adanya keadaan yang sedemikian membahayakan
keamanan orang atau barang atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang
sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga undang-undang juga
9
Widiada Gunakaya, Rasionalitas Hukum Pidana, Tindak Pidana, Kesalahan dan Pidana
(Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2019), hlm. 56.
10
Ibid, hlm. 148
10
11
Eddy O. S. Hiariej, op.cit., hlm. 187-188.
12
Nandang Sambas dan Ade Mahmud, Perkembangan Hukum Pidana dan Asas-Asas Dalam
RKUHP (Bandung : Reflika Aditama, 2019), hlm. 171.
13
Roeslan Saleh, Suatu Orientasi dalam Hukum Pidana (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 32.
14
Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 72.
11
Teori yang selanjutnya untuk menganalisa identifikasi masalah kedua adalah teori
tujuan pemidanaan. Pemidanaan merupakan salah satu aspek hukum pidana atau
merupakan gambaran dari sistim moral, nilai kemanusiaan dan pandangan filosofis
suatu masyarakat pada masa tertentu. Menurut Sudarto pemidanaan merupakan
sinonim dari istilah “penghukuman”. Penghukuman sendiri berasal dari kata “hukum”,
sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukuman atau memutuskan tentang
hukumannya (berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya
dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena itu
istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana
merupakan pemidanaan atau penjatuhan pidana oleh hakim.15
15
P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum (Bandung: Binacipta,
1987), hlm. 17.
16
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: PT Alumni,
2010), hlm. 1.
12
17
Rasyid Ariman, Hukum Pidana (Palembang: Setara Press, 2016), hlm. 273.
18
Marlina, Hukum Panintensier (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hlm. 34.
19
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Perkembangannya (Jakarta: PT
Sofmedia, 2012), hlm. 40.
13
20
Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Yayasan Sudarto Univertas Dipenogoro, 1991), hlm. 14.
21
S.R Sianturi , op.,cit, hlm 161.
22
Rasyid Ariman, op.cit., hlm.118.
14
maka disitu orang yang plegen itu melakukan pnyertaan pula.23 Satochid
Kartanegara menyebut kata “dader” dengan istilah pelaku, sedangkan
“dader” dalam arti sempit disamakan dengan pleger. Menurut doktrin tersebut
dari suatu tindak pidana ialah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-
unsur tindak pidana, sebagaimana unsur-unsur tersebut dirumuskan dalam
undang-undang;24
2. Yang menyuruh melakukan (doenpleger), bentuk penyertaan “menyuruh
melakukan” (doenpleger) terjadi sebelum dilakukannya perbuatan, yaitu
orang yang menyuruh melakukan perbuatan dengan perantaran orang lain.
Jadi pada doenplegen terjadi 2 orang atau lebih, yang masing-masing
berkedudukan orang yang menyuruh melakukan. Menurut Adami Chazawi
doen plegen adalah orang yang menyuruh oranglain melakukan, maka mede
plegen adalah orang (pelaku) turut melakukan tindak pidana. Doen Plegen
juga disebut “middelijke daderschap yang dimaksud ialah :
“Apabila seseorang mempunyai kehendak untuk melaksanakan suatu
perbuatan pidana, akan teapi seseorang yang mempunyai kehendak itu tidak
mau melakukan sendiri, tetapi mempergunakan oranglain disuruh
melakukannya;”25
3. Yang turut melakukan (medepleger), ditinjau lebih dari doenplegen
(menyuruh melakukan), karena dalam medepleger orang itu masih ikut serta
melakukan perbuatan yang bersangkutan, sedangkan orang-orang yang
doenplegen sama sekali tidak. Karena dipandang secara sistematik hukum
pidana doenplegen ditinjau sesudah medepleger;
Menurut Moeljatno, hakekatnya dari Medeleger, berpegang kepada syarat
yang dikemukakan oleh pompe, yakni setidak-tidaknya mereka itu semua
melakukan unsur perbuatan pidana, berarti bahwa masing-masing harus
melakukan bahkan tentang apa yang dilakukan oleh peserta/tidak mungkin
dilakukan dari pada masing-masing keadaan.26
23
Moeljatno, Delik-Delik Percobaan dan Delik-delik Penyertaan (Jakarta: Bima Aksara, 1983),
hlm. 103.
24
Rasyid Ariman, op. cit., hlm. 121.
25
Moeljatno, op. cit., hlm. 123.
26
Ibid., hlm. 110.
15
4. Yang membujuk (uitloker) tercantum dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP
dengan penjelasan bahwa mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu,
dengan menggunakan kekuasaan atau martabat, dengan jejerasan, ancaman
atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan sarana atau keterangan
sengaja menganjurkan orangalin supaya melakukan perbuatan. Syarat-syarat
dalam penggerak adalah :
Keterkaitan dengan konsep di atas, dikenal sebagai perbuatan pidana atau tindak
pidana dalam hal-hal tertentu dapat dilakukan oleh setiap orang, dan pada saat yang
sama atau lain-lain waktu dapat pula dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-
sama. Dengan kata lain, tindak pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang yang
terlibat di dalam melakukan tindak pidana tersebut. Beberapa orang yang melakukan
tindak pidana inilah yang lazim disebut dengan penyertaan atau deelneming. Masalah
penyertaan (deelming) ini di dalam pelajaran hukum pidana pada dasarnya berkaitan
dengan masalah penentuan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana yang
telah dilakukan. Berkaitan dengan masalah pertanggungjwaban pidana tentu saja akan
berhubungan pula siapa-siapa yang menjadi pelaku dan pembantu di dalam melakukan
tindak pidana. Penyertaan atau deelneming atau complicity dalam beberapa literature,
banyak pandangan para sarjana, menunjukkan belum ada keseragaman didalam
menggunakan istilah deelneming. Kartanegara misalnya menggunakan istilah
deelneming dengan “turut serta”, Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana”,
Karnia “turut berbuat delik” dan “turut serta” istilah yang digunakan oleh Utrecht.28
27
E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya (Jakarta:
Storia Grafika, 2002), hlm. 350.
28
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara, 2001), hlm. 35.
16
29
Aruan Sakidjo dan Bambang Pernomo, op.cit., hlm. 169.
17
sejenis. Artinya, pidana pokok dari semua perbuatan pidana yang terjadi berupa pidana
penjara atau pidana kurungan atau pidana denda. Dilihat dari pidana pokok yang sejenis
merupakan eenvoudige cummulatiestelsel atau sistem kumulasi pemidanaan yang
bersifat sederhana karena hanya menjatuhkan satu saja pidana pokok. Ketiga,
maksimum pidana dapat dijatuhkan secara sistem kumulasi. Simons menyebutkan
sebagai “verscherpingsstelsel atau exasperatiestelsel atau sistem pemberatan hukuman
yang terberat. Artinya, hakim hanya menjatuhkan pidana paling berat ditambah dengan
pemberatan”. Sedangkan Lamintang menggunakan istilah gematigde cummulatie atau
kumulasi sedang, di mana sisi pidana yang dijatuhkan tidak boleh terlalu berat, namun
di sisi lain pidana yang dijatuhkan juga tidak boleh terlalu ringan. Keempat, maksimum
pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana terberat ditambah dengan sepertiga dari
pidana terberat.30
Selanjutnya konsep tindak pidana korupsi. Tindak pidana (strafbaar feit) adalah
seseorang yang melakukan perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana dan sanksi
terhadap perbuatannya. Menurut Simons strafbaar feit adalah:
“tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.”
Sedangkan menurut E. Utrecht strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang
sering disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif
atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya atau keadaan yang
ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu. Peristiwa pidana merupakan suatu
peristiwa hukum (rechtsfeit) yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat
yang diatur oleh hukum. Didalam tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur tindak
pidana, jenis tindak pidana serta adanya waktu dan tempat tindak pidana yaitu :
1. Unsur Tindak Pidana
a. Unsur Subjektif
1) Adanya kesengajaan atau kelalian;
2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud
dalam pasal 53 ayat (1) KUHP;
30
Eddy O.S. Hiariej, op.cit., hlm. 403-404.
18
31
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Semarang: Sinar Grafika, 2005), hlm.5-7.
19
hal ini kita dapat melihat korupsi sebagai suatu pandemik atau penyakit yang sudah
aktual di masyarakat di Indonesia. Kompleksitas korupsi di Indonesia, antara lain juga
terkait dengan persoalan politik, kelembagaan, birokrasi, dan lain-lain di mana para
pelaku korupsi berasal dari berbagai latar belakang.32 Menurut Sayed Hussein Alatas
menyatakan:
“korupsi adalah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-
tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan
kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan
kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang diderita oleh
masyarakat”.
Maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu tindakan yang melawan
hukum dengan penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Maka dari itu
Henry Cambell Black dalam buku Black’s Law Dictionary berpendapat, “tindak
pidana korupsi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan
hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau
kewenangannya untuk mendapat suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk
oranglain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak pihak lain”.33Dalam rumusan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengalami perluasan, yang
menyatakan secara tegas, tindak pidana korupsi merupakan perbuatan melawan
hukum. Jika kita melihat kondisi Indonesia saat ini, korupsi semakin tinggi dan masih
banyak terjadi secara luas di beberapa daerah, baik pusat serta pejabat negara, yang
hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hal sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga
digolongkan sebagai extra ordinary crime, maka pemberantasannya harus dilakukan
dengan cara tegas dan disiplin.
32
Febby Mutiara, Sistem Peradilan Pidana dan Penanggulangan Korupsi di Indonesia (Depok:
Raja Grafindo, 2010), hlm. 98.
33
Kristian dan Yopi Gunawan, op.cit., hlm. 21.
20
Dalam hal ini, adapun konsep yang perlu dijelaskan yang terkait dalam identifikasi
masalah kedua, yaitu konsep pidana. Istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana atau
sering didengar sebagai hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman,
pemberian pidana dan hukuman pidana. Menurut Sudarto pidana ialah “penderitaan
yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu”. Salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan
sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan ialah pidana penjara. Pada
hakekatnya punishment atau pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan nestapa atau penderitaan
atau akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan;
3. Pidana diberikan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.34
Jika kita memperhatikan konsep tujuan dari pemidanaan, bahwa sanksi pidana
adalah mencegah pengulangan tindak pidana (to preventrecidivism), mencegah
oranglain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter
other from the performance of similar acts), menyediakan saluran untuk mewujudkan
motif-motif balas (to provide a channel for the expression of retaliatory motives).
Sehingga penulis meneliti bahwa adanya pemberian atau menjatuhkan pidana
bertujuan dalam pembebasan si pelaku untuk menentukan jalan keluar agar
menemukan kehidupan baru dan berbaur kepada masyarakat. Konsep ini juga
memperhatikan akibat hukum atau ajaran kuasalitas. Isilah “kausalitas” berasal dari
kata dasar “kausa” yang berarti “penyebab”, di mana hukum pidana memandang
kausalitas dari segi partikularistik, yaitu melihat akibat tertentu yang ditimbulkan
karena ada penyebabnya dan penyebab itu adalah suatu perbuatan atau bukan suatu
perbuatan, tetapi menimbulkan akibat tertentu. Salah satu mencapai tujuan hukum
pidana adalah mejatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan suatu
tindak pidana dan pidana itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu penderitaan atau
nestapa yang sengaja dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah
34
Marlina, op.cit., hlm. 22.
21
melakukan suatu tindak pidana. Dalam menanggulangi kejahatan dalam tindak pidana
korupsi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, pada umumnya selama ini koruptor selalu dikenakan
sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), (2) dan Pasal 3, di mana
penetapan jenis dan bentuk sanksi merupakan bagian dari kebijakan pemerintah.
Dasar adanya suatu pertanggungjawaban pidana adalah asas culpabilitas. Asas ini
biasanya berkaitan permasalahan Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana.
Di Belanda dikenal dengan istilah “green straf zonder should”, yang berarti “tiada
pidana tanpa kesalahan (nulla poena sine culpa). Dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:
“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan
yang di dakwaakan atas dirinya”
Selanjutnya dasar penjatuhan pidana dan pemidanaan adalah asas poenalitas. Asas
ini di dalam Hukum Pidana eksistenisalitasnya sangat signifikan, karena sebagai dasar
sensual dari pidana dan pemidanaan. Asas poenalitas adalah landasan utama atau
norma hukum positif berupa aturan-aturan pidana sehingga asas hukum tersebut
22
bereksistensi sebagai unsur esensial dari suatu norma hukum positif. Namun sebelum
asas ini di eksplanasi lebih lanjut, perlu adanya suatu syarat pemidanaan. Pidana baru
dapat dijatuhkan jika terpenuhi syarat-sayat pemidanaan sebagai berikut:
Asas poenalitas dikualifikasikan sebagai suatu asas hukum dalam hukum pidana
yang memiliki dasar-dasar rasionalitas sebagai berikut:
23
35
Widiada Gunakaya, op.,cit., hlm. 102-105.
24
Seperti dikemukakan di atas, dalam penelitian ini penulis mengkaji perkara tindak
pidana concursus realis, penerapan sanksi nya memakai sistem absorbsi yang
dipertajam. Karena itu seharusnya dalam perkara Zainudin Hasan, yang dianggap
terbukti melakukan dua perbuatan tindak pidana yakni melakukan plotting penyedia
jasa/rekanan di Dinas PUPR Kab. Lampung Selatan di mana perbuatan plotting proyek
oleh Zainudin Hasan berkaitan erat satu sama lain dengan penerimaan fee sebagai
kompensasi atas plotting yang dilakukan sejak tahun 2016-2018 untuk kepentingan
pribadi, menerima gratifikasi untuk membeli 1 unit Villa di Tegal Mas, membelanjakan
untuk pembelian saham, adanya pembelian kendaraan roda 4 dan menyamarkan asal
usul harta kekayaan dengan menggunakan rekening orang lain yakni Sudarman selaku
karyawan. Zainudin Hasan adalah bupati lampung selatan, karena itu statusnya adalah
pegawai negeri atau penyelenggara negara, sesuai dengan Pasal 12 a Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya”. Dalam hal ini penuntut umum menuntut 15 tahun penjara, maka
berdasarkan sistem absorbsi yang dipertajam, Majelis Hakim seharusnya memutuskan
15 tahun + 1/3 = 20 tahun penjara. Selain itu Hakim seharusnya juga menerapkan
36
Nurwino Wajib, “Keadilan dalam konteks Perkembangan Paradigma Pembangunan,”
http://kotaku.pu.go.id:8081/wartaarsipdetil.asp?mid=8395&catid=2&, diakses 7 Februari 2021.
25
sanksi pidana uang pengganti yang sesuai perbuatan hasil korupsi oleh Zainudin Hasan
sebesar Rp. 72.742.792.145,00 (tujuh puluh dua miliar tujuh ratus empat puluh dua
juta tujuh ratus sembilan puluh dua ribu seratus empat puluh lima rupiah), bukan
sebesar Rp 66.772.092.145,00 (enam puluh enam miliar tujuh ratus tuju puluh dua juta
sembilan puluh dua ribu seratus empat puluh lima rupiah). Tujuan pokok diterapkan
pidana tambahan pembayaran uang pengganti adalah untuk mengembalikan uang
negara yang dikorupsi oleh pelaku serta memulihkan keuangan negara. Dalam hal ini
peradilan seharusnya merapkan keadilan vindikatif untuk mewujudkan adanya
kepastian hukum di mata masyarakat.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan sarana (ilmiah) dengan analisa dan konstuksi yang
dilakukan secara metodelogi, sistematis dan konsisten. Metodelogi berarti sesuai
dengan metode atau cara tertentu, sistemasi, berarti berdasarkan pada suatu sistem dan
konsisten merupakan tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan kerangka
tertentu.37 Berkait dengan metode penelitian dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriftif, yaitu menggambarkan masalah
tentang problematika pemidanaan dan pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku tindak pidana yang masuk dalam penerapan ajaran penyertaan dan
melakukan perbarengan tindak pidana atau concrusus realis dihubungkan
dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 113 K/Pid-Sus/2020. Suatu
penelitian deskirptif menurut Soerjono Soekanto, dimaksud untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-
gejala lainnya.38
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah yuridis
normatif (yuridis dogmatis). Penelitian yuridis normatif, yakni penelitian
yang difokuskan untuk mengkaji penerapan atau kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif,.39 Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian
dilakukan melalui kepustakaan dengan meneliti data sekunder berupa bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yang
penguraiannya dari sudut kekuatan digolongkan berdasarkan kekuatan
mengikatnya, yaitu :
37
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 2.
38
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2015), hlm. 10.
39
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayu Media
Publishing, 2008), hlm. 295.
27
3. Metode Pendekatan
Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah:
a. Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach)
Mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
problematika pemidanaan dalam penerapan ajaran penyertaan dan
melakukan perbarengan tindak pidana atau concursus realis dengan
28
40
Soerjno Soekanto, op.cit., hlm. 257.
29
G. Sistematika Penulisan
Bab III diberi judul Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 113 K/Pid-Sus/2020. Pada bab ini menjelaskan terkait
pengertian, istilah tindaka pidana korupsi di Indoensia dan penjelasan mengenai kasus
posisi dari putusan Mahkamah Agung Nomor 113 K/Pid-Sus/2020.
Bab V diberi judul Penutup. Dalam bab ini, penulis akan mengemukakan simpulan
dan saran.