Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS HUKUM PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA

KORUPSI DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANANYA


SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

Oleh :
Reika Anjani Suwito
Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara

ABSTRACT:
The purpose of writing of this paper is to understand the causes of corruption and to
determine criminal responsibility in the crime of corruption. Causes of corruption is a
weak religious education, morals, and ethics as well as due to some other factor. The
factors that causing corruption raises the legal consequences that should be accounted
for. This paper has the two (2 ) issues regarding the causes of corruption and criminal
liability . The research method in this article uses a normative research method
conducted by case approach and statute approach. The purpose of the writing of this
paper is to understand the causes of corruption and determine criminal liability in
corruption .
Keywords: Cause, Corruption, Responsibility

ABSTRAK:

Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memahami penyebab terjadinya korupsi
serta mengetahui pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi. Penyebab
seorang melakukan korupsi adalah lemahnya pendidikan agama, moral, dan etika serta
disebabkan oleh beberapa factor lainnya. Dari faktor penyebab korupsi tersebut
menimbulkan akibat hukum yang harus dipertanggungjawabkan. Tulisan ini mengangkat
2 (dua) permasalahan mengenai penyebab terjadinya korupsi dan pertanggung jawaban
pidananya. Metode penelitian dalam tulisan ini menggunakan metode penelitian normatif
yang dilakukan dengan pendekatan kasus dan undang-undang.
Kata kunci : Penyebab, Korupsi, Pertanggungjawaban

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju
modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi
kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga
senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-
bentuk

1
yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan
ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang
tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-
tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti,
kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money
laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi
baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia
sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu
bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia
jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa
golongan masyarakat kepada penguasa setempat. Dikatakan bahwa korupsi
berkaitan pula dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini
meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan
jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta
eksistensi suatu bangsa. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari
hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda
dengan hukum pidana khusus, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta
apabila ditinjau dari materi yang diatur maka tindak pidana korupsi secara langsung
maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya
kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Dengan
diantisipasi sedini dan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda
perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya
sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur
tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang
tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :

2
1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi,

2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana


korupsi,

3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana


korupsi,

4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-


undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam Penjelasan umum pengertian korupsi menurut Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian Negara. Hampir setiap hari diberitakan oleh berbagai media masa
mengenai praktik- praktik tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Nyaris
setiap lapisan masyarakat telah terkontaminasi dengan korupsi. Baik dari sisi
horizontal maupun dari sisi vertikal, bisa dikatakan tidak ada yang tidak terlibat,
atau setidaknya, terserempet oleh perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi.1 Kenyataan praktik korupsi yang terjadi di Indonesia bukan hanya
melibatkan manusia alamiah, tetapi juga bisa dengan mudah dijumpai perkara
korupsi yang melibatkan badan hukum. Aparat negara yang berwenang dalam
pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PengadilanTindak Pidana Korupsi. Polisi, Jaksa,
KPK dan Hakim merupakan empatunsur penegak hukum yang masing-masing
mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku. Dengan melihat pada permasalahan tersebut
maka yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah “Analisis Hukum Penyebab
Terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidananya”

1
Hasbullah F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak pidana korupsi,
Kencana, Jakarta. h. 1

3
1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah penyebab terjadinya korupsi?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi?

1.3 Metode Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu penelitian
hukum normatif. Digunakannya metode penelitan hukum normatif ini karena
pendekatan dalam makalah ini dilakukan dengan cara pendekatan kasus (case
approach) dan pendekatan undang-undang (statute approach).

II. PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio. Dalam bahasa Inggris
adalah corruptionatau corrupt, dalam bahasa Perancis disebut corruption dan dalam
bahasa Belanda disebut dengan coruptie. Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir
kata korupsi dalam bahasa Indonesia.2 Korupsi adalah perbuatan yang buruk (seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya). Upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia sudah dilakukan melalui berbagai cara, namun hingga saat ini
masih saja terjadi korupsi dengan berbagai cara yang dilakukan oleh berbagai
lembaga.
Di dunia ini, banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Persepsi
tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, menyebabkan seseorang
akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut
diperoleh. Dalam banyak hal, penyebab seseorang melakukan korupsi adalah (1)
Lemahnya pendidikan agama, moral, dan etika, (2) tidak adanya sanksi yang keras
terhadap pelaku korupsi, (3) tidak adanya suatu sistem pemerintahan yang
transparan (good governance), (4) faktor ekonomi, (5) manajemen yang kurang baik
dan tidak adanya pengawasan yang efektif dan efisien serta, (6) Modernisasi yang
menyebabkan pergeseran nilai-nila kehidupan yang berkembang dalam masyarakat.3
2.2 Konsep dan bahaya Korupsi
Terdapat beberapa bahaya sebagai akibat korupsi, yaitu bahaya terhadap:
2
Andi Hamzah, 1991, Korupsi di Indonesia dan Pemecahannya, PT. Gramedia Pustaka UTama,
Jakarta, hlm. 7.
3
Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak pidana khusus, Sinar Grafika, Jakarta. h. 15
4
masyarakat dan individu, generasi muda, politik, ekonomi bangsa dan birokrasi.
Ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka
seseorang akan melakukannya secara maksimal.
a. Bahaya Korupsi terhadap Masyarakat dan Individu
Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan
masyarakat setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut
sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan
baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (self
interest), bahkan selfishness.4 Tidak akan ada kerja sama dan persaudaraan yang
tulus. Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara 5 dan dukungan teoritik
oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap
rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang
tajam di antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis,
kekuasaan dan lain-lain.6
Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual
masyarakat. Ketika korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan
dalam masyarakat. Theobald menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim
ketamakan, selfishness, dan sinisism.7 Chandra Muzaffar menyatakan bahwa
korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas
segala sesuatu yang lain dan hanya akan berpikir tentang dirinya sendiri semata-
mata.8 Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan
publik untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus
menurun dan mungkin akan hilang.

b. Bahaya Korupsi terhadap Generasi Muda

4
M. Umer Chapra, Islam and Economic Challenge, USA: IIIT dan The Islamic Foundation, (1995),
hlm. 220.
5
Misalnya penelitian di 37 negara Tahun 1998 oleh Gupta, Davoodi dan Alonso mendapati bahwa
korupsi mempunyai dampak signifikan terhadap ketidaksetaraan sosial, baik dalam hal pendidikan,
distribusi pertanahan dan pendapatan. Bahkan dampak korupsi terhadap pendapatan lebih kuat. Lihat
Johan Graf Lambsdorff ,1999, Corruption in Empirical Research: A Review, Transparency
International Working Paper, November 1999, hlm. 8-9.
6
Mahathir Mohamad, 1986, The Challenge, Kuala Lumpur: Pelanduk Publication Sdn. Bhd., hlm. 144
7
Robin Theobald, 1990, Corruption, Development and Underdevelopment, London: The McMillan
Press Ltd., hlm. 112; Syed Hussein Alatas, 1995, Rasuah; Sifat, Sebab, dan Fungsi, Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 183.
8
Sebagaimana dikutip oleh Fethi Ben Jomaa dari Chandra Muzaffar, 1998, New Straits Time, 23 Mei
1998, hlm. 8.
5
Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka
panjang adalah rusaknya generasi muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah
menjadi makanan sehari-hari, anak tumbuh dengan pribadi antisosial, selanjutnya
generasi muda akan menganggap bahwa korupsi sebagai hal biasa (atau bahkan
budaya), sehingga perkembangan pribadinya menjadi terbiasa dengan sifat tidak
jujur dan tidak bertanggung jawab.9 Jika generasi muda suatu bangsa keadaannya
seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya masa depan bangsa tersebut.
c. Bahaya Korupsi terhadap Politik
Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan
pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Jika
demikian keadaannya, maka masyarakat tidak akan percaya terhadap pemerintah
dan pemimpin tersebut, akibatnya mereka tidak akan patuh dan tunduk pada otoritas
mereka.10
Praktik korupsi yang meluas dalam politik seperti pemilu yang curang,
kekerasan dalam pemilu, money politics dan lain-lain juga dapat menyebabkan
rusaknya demokrasi, karena untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa korup itu
akan menggunakan kekerasan (otoriter)11 atau menyebarkan korupsi lebih luas lagi
di masyarakat.12
Di samping itu, keadaan yang demikian itu akan memicu terjadinya
instabilitas sosial politik dan integrasi sosial, karena terjadi pertentangan antara
penguasa dan rakyat. Bahkan dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan jatuhnya
kekuasaan pemerintahan secara tidak terhormat, seperti yang terjadi di Indonesia.13

d. Bahaya Korupsi Bagi Ekonomi Bangsa

9
Syed Hussein Alatas, 1999, The Sociology of Corruption, ed. 2, Singapore: Delta Orient Pte. Ltd.,
hlm. 62.
10
Mahathir Mohamad, 1986, The Challenge, Kuala Lumpur: Pelanduk Publication Sdn. Bhd., hlm.
143; Syed Hussein Alatas, 1999, op.cit., hlm. 62-65
11
Pendekatan seperti ini juga berakibat pada: penghargaan terhadap HAM kurang terjamin, ada
kecenderungan untuk menciptakan homogenitas pemikiran, berkembangnya nepotisme, dan tuduhan
adanya invisible hand (tangan-tangan setan) atas kejadian yang tidak mendukung harmoni. Susetiawan,
1997, “Harmoni, Stabilitas Politik dan Kritik Sosial”, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan,
Yogyakarta: UII Press, hlm. 17-18
12
Robin Theobald, 1990, Corruption, Development and Underdevelopment, London: The McMillan
Press Ltd., hlm. 128; Emil Salim, 1994, “Mungkinkah Ada Demokrasi di Indonesia”, dalam Elza Peldi
Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Jakarta: Yayasan Paramadina, hlm. 157-159.
13
Sukardi Rinakit, 2005, The Indonesian Military After The New Order, Copenhagen S, Denmark:
NIAS Press, hlm. 67-73; Mahathir Mohamad, 1986, op.cit., hlm. 143.
6
Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa.14 Jika suatu projek
ekonomi dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan
projek, nepotisme dalam penunjukan pelaksana projek, penggelepan dalam
pelaksanaannya dan lain-lain bentuk korupsi dalam projek), maka pertumbuhan
ekonomi yang diharapkan dari projek tersebut tidak akan tercapai.15
Penelitian empirik oleh Transparency International menunjukkan bahwa
korupsi juga mengakibatkan berkurangnya investasi dari modal dalam negeri
maupun luar negeri, karena para investor dua kali untuk membayar biaya yang
lebih tinggi dari semestinya dalam berinvestasi (seperti untuk penyuapan pejabat
agar dapat izin, biaya keamanan kepada pihak keamanan agar investasinya aman
dan lain-lain biaya yang tidak perlu). Sejak tahun 1997, investor dari negara-negera
maju (Amerika, Inggris dan lain-lain) cenderung lebih suka menginvestasikan
dananya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) kepada negara yang tingkat
korupsinya kecil.16
e. Bahaya Korupsi Bagi Birokrasi
Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya
administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan
berbagai bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan
berkualitas akan tidak pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan
mengecewakan publik. Hanya orang yang berpunya saja yang akan dapat layanan
baik karena mampu menyuap.17 Keadaan ini dapat menyebabkan meluasnya
keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial dan selanjutnya mungkin kemarahan sosial
yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.18
2.3 Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi
Pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 413-437 Kitab

14
Tunku Abdul Aziz, 2005, Fighting Corruption: My Mission, Kuala Lumpur: Konrad Adenauer
Foundation, hlm. 61.
15
Gerald M. Meier dan James E. Rauch, 2005, Leading Issues in Economic Development, ed. 8,
Oxford: Oxford University Press, hlm. 508-509; Jonathan R. Pincus dan Rizal Ramli, 2004,
“Deepening or Hollowing Out? Financial Liberation, Accumulation and Indonesia’s Economic
Crisis”, dalam K.S. Jomo (ed.), After the Storm; Crisis, Recovery and Sustaining Development in
Four Asian Economics, Singapore: Singapore University Press, hlm. 116
16
David Jay Green, 2004, “Investment Behavior and The Economic Crisis in Indonesia”, Journal of
Asian Economics, Vol. 15, No. 2, April 2004, New Brunswick: Rutger University, Elsevier Group,
hlm. 299.
17
Readings in Comparative Analysis, ed. 2, New Jersey: Transaction Books, hlm. 541; Gerald M.
Meier dan James E. Rauch, 2005, op.cit., hlm. 536.
18
Tunku Abdul Aziz, 2005, Fighting Corruption: My Mission, Kuala Lumpur: Konrad Adenauer
Foundation, hlm. 60.
7
Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat menjadi KUHP, selain itu ada juga
peraturan lain yang mengatur tentang tindak pidana korupsi diluar KUHP yaitu
yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum
pidana umum. Hal itu nyata dalam hal, kemungkinan penjatuhan pidana secara in
absentia seperti yang terdapat dalam Pasal 23 ayat 1 sampai ayat 4 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 38 ayat 1, 2 ,3 dan 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perampasan barang- barang yang telah
disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak
dapat diubah lagi seperti yang terdapat dalam Pasal 23 ayat 5 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 38
ayat 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, bahkan kesempatan banding tidak ada. Perumusan delik dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1
butir a dan b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penafsiran kata “menggelapkan” pada
delik penggelapan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP oleh yurisprudensi baik di
Belanda maupun di Indonesia sangat luas. Uraian mengenai perluasan
pertanggungjawaban pidana tersebut di atas dilanjutkan di bawah ini, pasal ini
diadopsi menjadi Pasal 8 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2001.
Pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui
persidangan dan pemberian putusan juga dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa
sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat 1 sampai dengan 4 Undang- Undang Nomor
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 38 ayat 1,
2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Begitu pula bagi orang yang sudah meninggal sebelum adanya
putusan, tidak bisa diubah lagi, yang diduga telah melakukan korupsi, hakim atas
tuntutan penuntut umum, dapat menuntaskan perampasan barang-barang yang telah

8
disita (Pasal 23 ayat 5 ).19 Dalam hal ini putusan bandingnya tidak ada karena
orang yang sudah meninggal tidak mungkin melakukan delik. Delik dilakukan saat
masih hidup, namun pertanggung jawabannya hanya dibatasi sampai perampasan
pada barang-barang yang telah disita.
2.4 Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Pasal 2 sampai Pasal 17 dan Pasal 21 sampai Pasal 24 UU No 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pelaku tindak
pidananya adalah Setiap orang, yang berarti orang perseorangan dan Korporasi.
Dalam UU No 3 Tahun 1971 pelaku Tindak Pidana Korupsi yaitu orang perseorang
saja. Pelaku Tindak Pidana Korupsi menurut KUHP adalah “ Barang siapa “ yang
berarti orang perseorang ( swasta atau pegawai negeri ).
a. Korporasi
Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik
berupa Badan Hukum maupun tidak.
Badan Hukum di Indonesia :
 Perseroan Terbatas (PT)
 Yayasan
 Koperasi
 Indonesische Maatchapij op Andelen ( IMA )
b. Orang Perorangan
 Firma
 Perusahaan Komanditer ( CV )
 Pegawai Swasta
 Pegawai Negeri
Pegawai Negeri
Pengertian pegawai negeri ( pejabat ) dalam Psal 1 ayat (2) UU No 31
Tahun 1999 meliputi :
1. Pegawai negeri ( UU No 8 Tahun 1974 )
a. Pegawai Negeri Sipil
b. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
2. Pasal 92 KUHP

Andi Hamzah, 2014, Pemberantasan korupsi melalui hukum pidana nasional dan internasional,
19

Rajawali Pers, Jakarta. h. 82


9
Ayat (1) :
a.Orang yang dipilih dalam Pemilu.
b. Orang yang diangkat menjadi anggota Badan Pembentuk
Undang-Undang.
c.Anggota Badan Pemerintahan.
d. Badan Perwakilan Rakyat.
e.Anggota Dewan Waterschap.
f. Kepala Rakyat Indonesia Asli
g. Kepala Golongan Timur Asing.
Ayat (2) :
a. Hakim
b. Hakim Wasiat
c. Hakim administratif
d. Ketua atau Anggota Pengadilan Agama
e. Semua Anggota Tentara Nasional Indonesia
3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuagan negara.
4. Orang yang menerima gaji dari Korporasi yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau daerah.
5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas negara atau masyarakat
2.5 Asas - Asas Undang-Undang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi
Menurut UU No 31 Thn 1999 terdapat beberapa asas yang membedakannya
dari UU tindak pidana lain, yaitu :
1. Pelakunya adalah setiap orang, meliputi orang perseorangan dan
korporasi ( Badan hukum dan perkumpulan orang ).
2. Pidananya bersifat komulasi dan alternative Komulasi berarti, dalam
rumusan pasalnya terdapat kata “.... dan .... “ sedangkan alternatif
terdapat kata “ .... atau .... “
3. Adanya pidana minimum dan maksimum
4. Percobaan, pembantuan tindak pidana korupsi dipidana sama dengan
pelaku.
5. Setiap orang yang di luar wilayah indonesia memberikan bantuan,
kesempatan, sarana, dan keterangan untuk terjadinya TPK dipidana

10
sama dengan pelaku.
6. Pidana tambahan selain pidana tambahan yang diatur dalam KUHP
( Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 ).
7. Orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan
yang tidak benar dapat dipidana ( Pasal 22 ).
2.6 Jenis Tindak Pidana Korupsi
Jenis tindak pidana korupsi menurut UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001, yaitu :
1. Kerugian keuangan negara ( Pasal 2 dan 3 )
2. Suap menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan ( Pasal 12 huruf I )
7. Gratifikasi ( Pasal 12B jo. Pasal 12C )
2.7 Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
menurut UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, terdiri dari :
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi ( Pasal 21 ).
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
( Pasal 22 jo. Pasal 28 )
3. Bank yang tidak memberi keterangan rekening tersangka ( Pasal 22 jo. Pasal
29 ).
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan
palsu ( Pasal 22 jo. Pasal 35 ).
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberi keterangan palsu ( Pasal 22 jo. Pasal 36 ).
6. Saksi yang membuka identitas pelapor ( Pasal 24 jo. Pasal 31 ).
2.8 Langkah Pemberantasan Korupsi
Untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut, telah dan sedang dilaksanakan
langkah-langkah sebagai berikut.
a. Mendesain ulang pelayanan publik, terutama pada bidang-bidang yang
berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat
sehari-hari. Tujuannya adalah untuk memudahkan masyarakat luas

11
mendapatkan pelayanan publik yang profesional, berkualitas, tepat waktu
dan tanpa dibebani biaya ekstra/pungutan liar. Langkah-langkah prioritas
ditujukan pada: (a) Penyempurnaan Sistem Pelayanan Publik; (b)
Peningkatan Kinerja Aparat Pelayanan Publik; (c) Peningkatan Kinerja
Lembaga Pelayanan Publik; dan (d) Peningkatan Pengawasan terhadap
Pelayanan Publik, dengan kegiatan-kegiatan prioritas sebagaimana terlampir
dalam matriks.
b. Memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan-kegiatan
pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya manusia.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintah dalam
pengelolaan sumber daya negara dan sumber daya manusia serta
memberikan akses terhadap informasi dan berbagai hal yang lebih
memberikan kesempatan masyarakat luas untuk berpartisipasi di bidang
ekonomi.Langkah-langkah prioritas ditujukan pada: (a) Penyempurnaan
Sistem Manajemen Keuangan Negara; (b) Penyempurnaan Sistem
Procurement/ Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah; dan (c)
Penyempurnaan Sistem Manajemen SDM Aparatur Negara, dengan
kegiatan-kegiatan prioritas.
c. Meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat pendukung dalam
pencegahan

III. KESIMPULAN
1. Penyebab terjadinya korupsi yang banyak terjadi di Indonesia karena
seseoarang beranggapan bahwa jika kekayaan didapat maka orang tersebut
dapat dikatakan sukses. Maka dari itu orang akan melakukan cara apapun
untuk mendapatkan kekayaan tersebut termasuk dengan cara korupsi yang
merugikan masyarakat banyak dan negara. Lemahnya pendidikan agama,
moral, dan etika juga merupakan penyebab lain yang mengakibatkan orang
melakukan korupsi.
2. Pengaturan pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 413-
437 KUHP, selain itu ada juga peraturan lain yang mengatur tentang tindak
pidana korupsi di luar KUHP yaitu yang terdapat pada Undang- Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum

12
pidana umum, karena pelaku dalam tindak pidana korupsi tetap
mempertanggungjawabkan perbuatannya walaupun pelaku telah meninggal
dunia tetapi hanya dibatasi sampai perampasan pada barang- barang yang
telah disita.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hamzah, Andi, 2014, Pemberantasan korupsi melalui hukum pidana nasional
dan internasional, Rajawali Pers, Jakarta.
Sjawie, Hasbullah F, 2015, Pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak
pidana korupsi, Kencana, Jakarta.
Syamsuddin, Aziz 2011, Tindak pidana khusus, Sinar Grafika, Jakarta.
Mohamad, Mahathir, The Challenge, (Kuala Lumpur: Pelanduk Publication
Sdn. Bhd., 1986).
Theobald, Robin, (1990), Corruption, Development and Underdevelopment,
(London: The McMillan Press Ltd.
Umer Chapra, M., Islam and Economic Challenge, (USA: IIIT dan The Islamic
Foundation, 1995).
Hussein Alatas, Syed, Rasuah: Sifat, Sebab, dan Fungsi, (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1995).
Rinakit, Sukardi, The Indonesian Military After The New Order, (Copenhagen
S, Denmark: NIAS Press, 2005).
Abdul Aziz, Teuku, Fighting Corruption: My Mission, (Kuala Lumpur: Konrad
Adenauer Foundation, 2005).

Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Jurnal

13
Jay Green, David, Investment Behavior and The Economic Crisis in Indonesia,
Journal of Asian Economics, Vol. 15, No. 2, April 2004, New Brunswick:
Rutger University, Elsevier Group

14

Anda mungkin juga menyukai