1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui korupsi dalam berbagai perpektif
1.3.2 Mengetahui pemberantasan dan pencegahan korupsi
1.3.3 Mengetahui apa ciri-ciri, pola dan modus korupsi
1.3.4 Mengetahui faktor penyebab korupsi
BAB II LANDASAN TEORI
Pola kuitansifiktif
Sebenarnya pola ini lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah
manipulasi alias penyelewengan. Sesuatu yang kecil dibikin jadi besar. Yang besar
dijadikan kecil. Yang ada dibuat tidak ada. Yang tidak ada diadakan, dan sebagainya.
Tapi karena pola ini lebih banyak mengandalkan pada buku kuitansi dalam rangka
menghadapi petugas inspektorat, audit, maupun pajak, maka saya cenderung
menamakannya sebagai pola kuitansi fiktif. Saya sebut kuitansi fiktif karena
kuitansinya memang terbukti ada. Tapi barang atau jasa atau kegiatan yang
dibeli/diselenggarakan justru lain dengan bukti kuitansinya, atau malah sama sekali
tidak ada. Kasus seperti ini boleh dibilang umum dilakukan oleh kantor-kantor
pemerintah, swasta, maupun BUMN.
Bagi yang sudah cukup profesional, malah bisa lebih gawat lagi. Barang, jasa
atau kegiatan yang diselenggarakan bisa 100 persen difiktifkan. Anggaran tetap turun
tapi barang/jasa yang dibeli atau kegiatan yang diselenggarakan sama sekali tidak ada.
Pernah dengar berita tentang Bimas fiktif, reboisasi fiktif bahkan juga wartawan yang
melakukan reportase fiktif? Sering pula terjadi, sehabis ada seminar atau lokakarya
atau raker, seorang ketua OC (organizing committee) buru-buru menyuruh sekretaris
atau bendaharanya mendatangi toko-toko tertentu yang biasa diajak kerjasama untuk
membuat kuitansi fiktif, agar realisasi pengeluaran seminar/lokakarya atau raker bisa
klop dengan rencana anggaran yang dibuat. Ternyata kasus seperti ini masih tergolong
“sopan”. Saya pernah ketemu dengan “oknum” yang sengaja mencetakkan macam-
macam kuitansi dan menyimpan macam-macam stempel buatan tukang reklame kaki
lima untuk mengelabuhi petugas inspektorat, audit, atau malah rekan sekantornya
sendiri dari bagian akunting. Itulah tadi pola kuitansi fiktif alias manipulasi alias
penyelewengan.
Polakomisi
Sebuah kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN pastilah sering belanja barang
dalam jumlah besar, baik untuk kegiatan rutin maupun untuk menunjang proyek-
proyeknya. Taruhlah kantor saya perlu 200 baju seragam untuk karyawannya. Harga
baju di toko per lembar Rp 10.000. Tapi karena membeli di pengusaha konfeksi, saya
bisa memperoleh potongan harga sampai 20 persen. Kalau manajemen di kantor saya
jelek, dengan mudah seluruh komisi itu saya makan sendiri.
Ini baru baju. Bagaimana kalau mobil, rumah, pesawat terbang atau kapal
tanker? Karena jumlah komisi ini bisa sangat besar, makanya manajemen yang baik
akan selalu mencek : betulkah cuma segitu komisi yang bisa dilepas? Bisakah ditawar
lagi? Dalam keadaan seperti ini, tentu uang komisi itu akan kembali ke kantor lagi.
Lalu mati-kutukah oknum di bagian pembelian? Tentu tidak!
Kadang-kadang kasus korupsi dengan pola komisi ini menjadi teramat rumit
untuk diusut lebih lanjut, manakala komisi yang diberikan bukanlah berbentuk uang
sesuai dengan persentase melainkan berupa barang sebagai hadiah, misalnya arloji,
video. mobil, rumah, bahkan tak jarang berupa perempuan cantik yang bisa diajak
kencan. Tapi bagaimanapun rumitnya, korupsi dengan pola ini toh masih tetap ada
peluang untuk diusut dan dibuktikan secara hukum.
Polaupeti
Komisi – meski berupa hadiah barang, termasuk Hadiah lebaran, Natal dan Tahun
Baru – asalnya selalu dari relasi dan selalu dihitung sesuai dengan persentase nilai
transaksi yang telah atau akan dilakukan. Upeti meski juga bisa berupa uang maupun
barang bahkan juga “pacar” datangnya dari bawahan untuk atasan. Tujuannya bisa
macam-macam. Misalnya saja agar kondite tetap terjaga baik. Supaya kedudukan
aman, tidak digeser atau dimutasikan ke tempat yang “kering”. Supaya “permainan”
yang dilakukannya tetap berlangsung dengan selamat dan lain-lain. Dalam kondisi
tertentu, bisa terjadi tawar-menawar antara atasan dengan bawahan tentang jumlah
upeti yang mesti disetor. Dalam kondisi yang sudah cukup gawat malahan si atasan
bisa langsung memotong upeti yang sudah menjadi kesepakatan bersama itu. Jadi
sifatnya sudah sangat mirip dengan pola komisi, bedanya cuma yang melakukan.
Kalau komisi adalah antara oknum pembelian dengan relasi, sedang upeti adalah
antara bawahan dengan atasan.
Dalam bentuk kecil-kecilan, upeti ini bisa berupa makanan atau cenderamata
untuk si pengambil keputusan atau si penandatangan SPJ (Surat Perintah Jalan)
manakala seseorang akan bertugas keluar kota atau keluar negeri. Sepertinya hal ini
sudah menjadi semacam “budaya”. Saya sendiri selalu mencoba untuk tidak
melakukan hal itu bila kebetulan sedang ada tugas keluar. Tapi ketika teman-teman
yang kebetulan saya beri tugas keluar melakukan hal itu, terus terang saya jadi agak
kerepotan untuk menolaknya. Pemecahannya paling dengan ganti membagi-bagikan
makanan atau memberikan cenderamata itu untuk teman yang lain yang kebetulan
memang tidak pernah mendapat tugas keluar.
Penjegalan order seperti ini tidak hanya jadi monopoli para tenaga sales.
Resepsionis, penjaga toko, tenaga administratif bagian pembuka surat, bahkan juga
satpam penjaga pintu gerbang pun bisa saja melakukan penjagalan order. Resepsionis
menguasai relasi yang datang lewat telepon, tenaga administrasi menguasai pesanan
lewat surat/wesel, dan satpam selalu bisa menyongsong relasi yang datang langsung
lewat pintu gerbang. Kasus seperti ini pernah terjadi di kantor saya. Tapi begitu
manajemen dibenahi, pola demikian menjadi sangat sulit atau malah boleh dibilang
mustahil untuk dilakukan
Polaperusahaanrekanan
Apabila Anda seorang pimpinan proyek atau pejabat pengambil keputusan, tentu akan
terlalu kentara manakala punya perusahaan yang bisa menangkap order-order dari
kantor Anda sendiri. Kalau Anda bekerja di sebuah kantor penerbitan lalu di rumah
Anda punya perusahaan percetakan untuk menampung order dari kantor, tentu teman-
teman akan ribut lantaran hal itu kelewat mencolok mata. Itulah sebabnya lalu banyak
oknum pejabat yang memberi modal pada si keponakan, si saudara sepupu, mertua,
istri, anak, dan kerabat dekat lain untuk bikin perusahaan rekanan. Kepadanyalah
kemudian segala macam order mengalir dengan lumayan deras. Di kalangan elite di
negeri ini, gejala demikian sebenarnya sudah bukan merupakan barang baru lagi.
Cuma siapakah gerangan yang berani menulis atau membeberkannya di muka umum?
Sebenarnya, sejauh perusahaan rekanan yang dikelola oleh sanak famili tadi
kualitasnya sama dengan perusahaan rekanan yang asli, masalahnya sama sekali tidak
ada. Boleh-boleh saja. Tapi biasanya, karena pemberi order itu masih Oom sendiri,
masih Pak De sendiri, dan sebagainya, maka hukum bisnis jadi sering tersendat untuk
diterapkan secara lugas. Terjadilah kemudian penyimpangan kualitas, waktu,
anggaran dan sebagainya.
Modus korupsi
Korupsi dan koruptor adalah dua kata yang sering kita dengar akhir-akhir ini.
Tidak ada koran, televisi atau bahkan di Wikimu sendiri yang sepi dalam jangka
waktu lama dari berita atau pembahasan mengenai ketiga hal tersebut. Ini
membuktikan kita semua membenci korupsi dan menginginkan korupsi dibabat habis
dari bumi Indonesia tercinta ini. Namun bagaimana kita bisa ikut memberantas
korupsi kalau ternyata kita secara sadar atau tidak turut berperan melakukannya atau
mungkin menikmati hasilnya ? Bagi anda yang bekerja sebagai pegawai negeri atau
pegawai BUMN atau pun perusahaan swasta dan kebetulan berhubungan langsung
dengan masalah uang dan keuangan serta proyek-proyek barangkali pernah
menjumpai urusan-urusan yang bernuansa atau berbau korupsi. Agar kita tidak
terjebak mendukung atau ikut-ikutan menikmati hasil tindak pidana korupsi, baik di
pemerintahan maupun swasta, berikut ini dikemukakan 18 modus korupsi yang
diinventarisir oleh KPK (khusus bagian pemerintahan adalah dari KPK, untuk swasta
adalah interprestasi penulis), yaitu :
Swasta : Manajer atau karyawan yang ditunjuk dalam proyek pengadaan barang / jasa
di perusahaan mendekati rekanannya dan berjanji menggunakan jasa atau barangnya
asal harga barang atau nilai kontrak ditinggikan untuk masuk kantong pribadi.
2. Pemerintahan : Pengusaha mempengaruhi kepala daerah untuk mengintervensi
proses pengadaan barang/jasa agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau
ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan (di-mark up).
Swasta : Manajer atau karyawan memenangkan rekanan tertentu dalam tender atau
menunjuknya secara langsung dan harga barang/jasa dinaikkan (di-mark up) untuk
masuk kantong sendiri.
Swasta : Manajer atau karyawan membuat spesifkasi barang yang mengarah pada
merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu, dengan
maksud mendapatkan keuntungan pribadi dengan melakukan mark up harga barang
dan nilai kontrak.
Swasta : Manajer atau karyawan menggunakan dana/anggaran dari pos yang tidak
sesuai dengan peruntukannya, lalu membuat laporan fiktif.
Swasta : Manajer atau karyawan menjual aset perusahaan dengan laporan barang
rusak atau sudah tidak berfungsi lagi.
Swasta : Manajer atau karyawan meminta uang jasa dibayar di muka kepada rekanan
sebelum melaksanakan proyek.
Swasta : Manajer atau karyawan menerima sejumlah uang atau barang dari rekanan
dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.
10. Pemerintahan : Kepala daerah membuka rekening atas nama Kas Daerah dengan
specimen pribadi (bukan pejabat atau bendahara yang ditunjuk). Maksudnya, untuk
mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.
Swasta : Manajer atau kepala bagian membuka rekening atas nama perusahaan
dengan specimen pribadi untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui
prosedur.
11. Pemerintahan : Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana
pemerintah yang ditempatkan di bank.
Swasta : Manajer atau bagian keuangan meminta atau menerima jasa giro/tabungan
dana perusahaan yang ditempatkan di bank atau menempatkan dana perusahaan di
bank atau pasar modal atas nama pribadi.
12. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam
kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Swasta : Manajer atau karyawan membeli barang dengan harga murah untuk
kemudian dijual kembali kepada perusahaan dengan harga yang di-mark up.
16. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan
beban pada anggaran dengan alasan pengurusasn DAK (Dana Alokasi Khusus) atau
DAU (Dana Alokasi Umum).
Swasta : –
17. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses
penyusunan APBD.
Swasta : –
18. Pemerintahan : Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan
beban anggaran daerah.
Swasta : Manajer atau karyawan menggunakan dana untuk keperluan pribadi dengan
beban perusahaan
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam
diri pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika
perilaku matrealistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih
“mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi
( ansari Yamamah: 2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh
pejabat kemudian “terpaksa” korupsi kalau sudah menjabat.
Pandangan lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab terjasinya korupsi antara lain: (1) aspek perilaku individu (2) aspek
organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada
(Arifin:2000).
Secara umum faktor penyebab terjadinya korupsi dapat terjadi karena fsktor
politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku yang berjudul Peran Parlemen
dalam Membasmi Korupsi (ICW:2000) yang mengidentifikasi empat faktor penyebab
terjadinya korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomin dan birokrasi,
dan faktor transnasional.
A. FAKTOR POLITIK
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat
ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan,
bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Perilaku korup seperti menyuap, politik uang merupakan fenomena yang
sering terjadi. Menurut Susanto korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi
penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang
publik untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstlelasi
politik (Susanto: 2002).
Penelitian James Scott (Mochtar Mas’oed: 1994) mendeskripsikan bahwa
dalam masyarakat dengan ciri pelembagaan politik eksekutif dimana kompetisi politik
dibatasi pada lapisan tipis elit dan perbedaan antar elit lebih didasarkan pada klik
pribadi dan bukan pada isi kebijakan, yang terjadi umumnya desakan kulturan dan
struktural untuk korupsi itu betul-betul terwujud dalam tindakan korupsi pada
pejabatnya.
Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa proses terjadinya korupsi dengan
formulasi M+D-A=C. Simbol M adalah monopoly, D adalah discretionary
(kewenangan), A adalah accountability (pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbol
tersebut dapat dikatakan bahwa korupsi adalah hasil dari adanya monopoli
(kekuasaan) ditambah dengan kewenangan yang begitu besar tanpa pertanggung -
jawaban.
B. FAKTOR HUKUM
Faktor hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-
undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum,
mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan
yang tidak jelas tegas (non lext certa) sehingga multi tafsir, kontradiksi dan
overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi).
Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat
sasaran sehingga dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang
berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan
tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak
produktif dan mengalami resistensi.
Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah: Pertama,
Tawar-menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di
parlemen, sehingga muncul aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua, praktik politik
uang dalam pembuatan hukum berupa suap menyuap, utamanya menyangkut
perundang-undangan dibidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya timbul peraturan yang
elastis dan multi tafsir serta tupang-tindih dengan aturan lain sehingga mudah
dimanfaat untuk menyelamatkan pihak-pihak pemesan.
Selaras dengan hal itu Susila (dalam Hamzah: 2004) menyebut tindakan
korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-
undangan, yang mencakup; (a) adanya peraturan perundang-undangan yang
bermuatan kepentingan pihak-pihak tertentu (b) kualitas peracuran perundang-
undangan kurang memadai,
(c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sanksi yang terlalu ringan, (e) peraturan
sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya lembaga evaluasi dan
revisi peraturan perundang-undangan.
Kenyataan bahwa berbagai produk hukum di masa Orde Baru sangat
ditentukan oleh konstelasi politik untuk melanggengkan kekuasaan di era Reformasi
pun ternyata masih sajaterjadi. Banyak produk hukum menjadi ajang perebutan
legitimasi bagi berbagai kepentingan kekuasaan politik, untuk tujuan
mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan.
Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah budaya sadar
akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan mengerti
konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Kemampuan lobi kelompok kepentingan dan
pengusaha terhadap pejabat publik dengan menggunakan uang sogokan., hadiah,
hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif, masyakat
hanya menikmati sisa-sisa hasil pembangunan.
Fakta ini memperlihatkan bahwa terjadinya korupsi sangat mungkin karena
aspek peraturan perundang-undangan yang lemah atau hanya menguntungkan pihak
tertentu saja. Disamping tidak bagisnya produk hukum yang dapat menjadi penyebab
terjadinya korupsi, praktik penegakan hukum juga masih dilihat berbagai
permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuannya. Secara kasat mata, publik
dapat melihat banyak kasus yang menunjukkan adanya diskriminasi dalam proses
penegakan hukum termasuk putusan-putusan pengadilan.
C. FAKTOR EKONOMI
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal
ini dapat dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Selain
rendahnya gaji atau pendapatan, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab
terjadinya korupsi, di antaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi dengan
faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan
kroninya. Terkait faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat
menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar masalah korupsi.pernyataan tidak
benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang dilakukan
oleh pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin. Dengan
demikian korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru sebaliknya,
kemiskinan disebakan oleh korupsi (Pope: 2003)
Menurut Henry Kissinger korupsi politisi membuat sepuluh persen lainnya
terlihat buruk. Dari keinginan pribadi untuk keuntungan yang tidak adil, untuk
ketidakpercayaan dalam sistem peradilan, untuk ketidak stabilan lengkap dalam
identitas bangsa, ada banyak faktor motivasi orang kekuasaan, anggota parlemen
termasuk warga biasa, untuk terlibat dalam perilaku korup.
D. FAKTOR ORGANISASI
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisai yang menjadi korban korupsi
atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena
membuka peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi.
Aspek-aspek terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi meliputi: (a)
kurang adanya teladan dari pemimpin (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar,
(c) sistem akuntabilitas dalam instansi kurang memadai, (d) manajemen cenderung
menutupi didalam organisasinya.
Focus attention, dapat dijadikan oleh para anggota sebagai semacam gideline
untuk memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan anggota-anggota dan
organisasi sebagai kesatuan. Melalui tujuan organisasi, para anggota dapat memiliki
arah yang jelas tentang segala kegiatan dan tentang apa yang tidak, serta apa yang
harus dikerjakan dalam kerangka organisasi. Tindak tanduk atas kegiatan dalam
organisasi, oleh karenanya senantiasa berorientasi kepada tujuan organisasi, baik
didasari maupun tidak.
Dalam fungsinya sebagai dasar legitimasi atau pembenaran tujuan organisasi
dapat dijadikan oleh para anggota sebagai dasar keabsahan dan kebenaran tindakan-
tidakan dan keputusan-keputusannya. Karena sebuah organisassi dapat berfungsi
dengan baik, hanya bila anggotanya bersedia mengintegrasikan diri dibawah sebuah
pola tingkah laku (yang normalitif), sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan
bersama hanya mungkin apabila anggota-anggota bersedia mematuhi dan mengikuti
“aturan permainan” yang ditentukan.
Menurut Baswir pada dasarnya perakar pada bertahannya jenis birokasi
patrinominal. Dalam biirokrasi ini, dilakukan oleh para birokrat memang sulit untuk
diuhindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat
terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam
filsafat kenegaraan bangsa ini , sehingga cenderung masih mentabukan sikap opopsisi.
Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara
hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga
merabaklah budaya korupsi itu.
Di banyak negara berkembang muncul pandangan bahwa korupsi adalah
akibat dari perilaku-perilaku yang membudaya. Anggapan ini lama-lama akan
berubah jika uang pelicin yang diminta semakin besar, atau konsumen tahu bahwa
kelangkaan yang melandasi uang semir sengaja diciptakan atau justru prosedur dan
proses yang lebih baik bisa diciptakan.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa budaya anti korupsi sangat
dibutuhkan dalam upaya pencegahan korupsi di Indonesia khususnya di lingkingan
sekolah, proses penerapan budaya anti korupsi dapat dimulai dari jalur pendidikan,
mulai dari Sekolah Dasar sampai ketahap perguruan tinggi melalui sosialisai secara
rutin dari pihak – pihak yang berkaitan.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://darpawan.wordpress.com/2011/07/13/membangun-budaya-antikorupsi/
( diunduh tanggal 23 Januari 2018 )
2. https://sayhaq.blogspot.nl/2014/01/budaya-anti-korupsi-bagi-siswa.html (
diunduh tanggal 23 Januari 2018 )
3. https://indonesiana.tempo.co/read/111831/2017/05/28/anggraini9119/memban
gun-budaya-anti-korupsi ( diunduh tanggal 23 Januari 2018 )