Anda di halaman 1dari 25

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang
direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan
keberhasilan pembangunan terutama ditentukanoleh dua faktor, yaitu sumberdaya
manusia, yakni (orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan samapai pada
pelaksanaan) dan pembiayaan. Di antara dua faktor tersebut yang paling dominan
adalah faktor manusianya. Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia
dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber Latar Belakang
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan
keberhasilannya dalam melaksanakan daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta
ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah
negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.
Hal itu terjadi salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya
manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya
tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan
rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan
terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social
(penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian
materil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi
adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara
kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang
pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan
pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air.
Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang
menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Karena korupsi membawa
dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.
1.2 Masalah
1.2.1 Bagaimana korupsi dalam berbagai perpektif?
1.2.2 Bagaimana pemberantasan dan pencegahan korupsi?
1.2.3 Seperti apa ciri-ciri, pola dan modus korupsi?
1.2.4 Apakah faktor penyebab korupsi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui korupsi dalam berbagai perpektif
1.3.2 Mengetahui pemberantasan dan pencegahan korupsi
1.3.3 Mengetahui apa ciri-ciri, pola dan modus korupsi
1.3.4 Mengetahui faktor penyebab korupsi
BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Korupsi Dalam Berbagai Perspektif


Dalam perspektif agama korupsi dipandang sebagai suatu perbuatan yang
sangat tercela.Dalam perspektif ajaran islam, korupsi termasuk perbuatan fasad atau
perbuatan yangmerusak kemslahatan, kemanfaatan hidup, dan tatanan kehidupan.
Pelakunya dikategorikanmelakukan jinayah kubro (dosa besar). Dalam konteks ajaran
islam yang lebih luas, korupsimerupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip
keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab.5[6]Dalam
perspektif sosial korupsi dipandang suatu perbuatan yang dapat meningkatkanangka
kemiskinan, perusakan moral bangsa, hilangnya rasa percaya terhadap
pemerintah,akan timbul kesenjangan dalam pelayanan umum dan menurunnya
kepercayaan pemerintahdalam pandangan masyarakat. Dalam sistem ini, menerima
sesuatu dari rakyat, walaupununtuk rakyat itu sendiri harus berkorban dan
menderita, tanpa diketahui oleh rakyat itu
sendiri mereka telah diperlakukan tidak adil oleh oknum-oknum korupsi yang
tidak bertanggung jawab, merupakan perbuatan tercela dan penerimaan itu jelas dapat
dimasukkansebagai perbuatan korupsi. Dalam perspektif budaya korupsi dipandang
suatu perbuatan yang akan membentuk pandangan
buruk terhadap reputasi negara, dansecara perlahanakan memutus budayaluhur
bangsa. Almarhum Dr. Mohammad Hatta yang ahli ekonomi pernah mengatakan bah
w korupsi adalah masalah budaya. Pernyataan bung Hatta tersebut dapat diartikan
bahwakorupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau masyarakat secara
keseluruhan tidak bertekad untuk memberantasnya.Masalah hukum dapat ditangani
dengan hukum, sedangkan masalah budaya tentu sajaditangani dengan tindakan
tindakan dibidang kebudayaan juga. Inilah hal yang tidakmudah. Berbeda
kalau masyarakat secara keseluruhan sudah menganut ukuran yang samadalam hal
rasa keadilan, maka usaha pengenalan dan pengendalian korupsi akan jauh
lebihmudah.Dalam perspektif teknologi korupsi dipandang sebagai sesuatu yang
dapatmenghambat perkembangan teknologi yang ada, penyalahgunaan tindakan yang
merugikan negara, danterorisme yang terus merajalela.Dalam perspektif hukum
korupsi menimbulkan pandangan ketidak konsistenan terhadaphukum yang berlaku,
timbul pandangan bahwa hukum bisa diperjual belikan, kepercayaanmasyarakat
terhadap hukum menurun, timbul gambaran orang-orang yang berkuasa dan
kayasebagai pemilik hukum, timbul pemikiran bahwa hukum terlalu bobrok, dan
timbul rasaketidakadilan didalam diri masyarakat.Dalam perspektif politik korupsi
dapat mempersulit demokrasi dan tata cara pemerintahanyang baik dengan cara
menghancurkan proses formal, sistem politik akan terganggucenderung tidak
dipercaya oleh masyarakat, akan timbul aklamasi-aklamasi untukmenguatkan
kekuatan politik (menjaga keberlangsungan korupsi) dan akan
timbulketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik.Dalam perspektif
ekonomi korupsi berdampak pada pembangunan infrastruktur yangtidak merata, tidak
sesuai dengan yang dianggarkan sebelumnya. Pemerataan pendapatanyang buruk,
membuat pengusaha asing takut untuk berinvestasi di Indonesia, pendapatannegara
mengalami penurunan dan membuat beban lebih berat pada masyarakat.Korupsi
dalam perspektif pancasilaa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam
halinijelas perilaku tindak pidana korupsi ini tidak mencerminkan perilaku tersebut ka
rena perilakutindak pidana korupsi adalah perilaku yang tidak percaya dan taqwa
kepada Tuhan. Diamenafikan bahwa Tuhan itu Maha Melihat lagi Maha
Mendengar. b. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.Dalam sila ini perilaku tindak
pidana korupsi sangat melanggar bahkan sama sekali tidakmencerminkan perilaku ini,
seperti mengakui persamaan derajat, saling mencintai, sikaptenggang rasa, gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan serta membela kebenaran
dankeadilan.c. Sila persatuan indonesiaTindak pidana dan tipikor bila dilihat dalam
Silaini, pelakunyaituhanya mementingkan pribadi, tidak ada rasa rela berkorban untuk
bangsa dan Negara, bahkan bisa dibilang tidakcinta tanah air karena perilakunya
cenderung mementingkan nafsu, kepentingan pribadi ataukasarnya kepentingan
perutnyasaja.d. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam P
ermusyarawatan perwakilanDalam sila ini perilaku yang mencerminkannya seperti,
mengutamakankepentingan Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak, ke
putusan yang diambil harusdipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
serta menjunjung tinggi harkatmartabat manusia dan keadilannya. Sangat jelaslah
bahwa tindak pidana korupsi tidak pernahada rasa dalam sila ini.
Keadilan sosial bagi seluruh bangsa indonesiaRata-rata bahkan sebagian besar
pelaku tindak pidana korupsi itu, tidak ada perbuatanyang luhur yang mencerminkan
sikap dan suasana gotong royong, adil, menghormati hak-hakorang lain, suka
memberi pertolongan, menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain, tidakmelakukan
perbuatan yang merugikan kepentingan umum, serta tidak ada rasa bersama-
samauntuk berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.Jadi
semua perilaku tindak pidana dan tipikor itu semuanya melanggar dan
tidakmencerminkan sama sekali perilaku pancasila yang katanya ideologi bangsa
Selain bersifat mengutamakan kepentingan pribadi, juga tidak adanya rasa ke
manusiaan, kea ilan,saling menghormati, saling mencintai sesama manusia, dan yang
paling riskan adalah tidak ada rasa ‘percaya dan taqwa’ kepada Tuhan Yang Maha
Esa

2.2 Pencegahan Korupsi


Prioritas pimpinan KPK yang baru adalah lebih banyak lagi melakukan
tindakan pencegahan dibandingkan KPK periode yang lalu dapat dimengerti. Dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Pemberantasan Korupsi (United
Nations Convention against Corruption/ UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan
Undang- Undang No 7/2006,jelas sekali diatur masalah pencegahan tindak pidana
korupsi dari Pasal 5 sampai Pasal 14.
UNCAC mengupayakan pencegahan korupsi dengan memperbaiki
transparansi dan meningkatkan integritas birokrasi pemerintahan. Untuk itu setiap
negara disarankan memiliki lembaga pemberantasan korupsi yang efektif, birokrasi
yang transparan, peningkatan partisipasi masyarakat,dan memperbaiki lembaga
pemerintah, termasuk peradilan dan sektor swasta mengenai kode etik,pelaporan
kasus korupsi, benturan kepentingan dan pengadaan barang dan jasa, dan pencegahan
tindak pidana pencucian uang.
Khusus untuk Indonesia, menurut Laporan Gap Analysis yang dibuat oleh tim
ahli yang berasal dari dalam dan luar negeri yang dibentuk KPK, terdapat empat
masalah penting untuk dilakukan pencegahan korupsi, yaitu memperjelas tanggung
jawab pencegahan korupsi, reformasi birokrasi terutama di sektor penegakan hukum
dan peradilan, perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa, dan pencegahan tindak
pidana pencucian uang.
KPK dan lembaga lain seperti Komisi Ombudsman Nasional,Kementerian
Negara Pemberdayaan Aparatur Negara (Kemeneg PAN) memiliki tanggung jawab
utama di bidang pencegahan korupsi ini. Mengenai reformasi birokrasi, kita sudah
memulainya, misalnya Meneg PAN sudah mengoordinasikan penyusunan rancangan
undang-undang tentang administrasi pemerintahan. Pengadaan barang dan jasa juga
diupayakan memperbaiki, antara lain dengan mengumumkan pengadaan barang dan
jasa dari masing-masing instansi.
Untuk pencegahan pencucian uang, tim ahli ini juga menaruh perhatian pada
Pusat Pelaporan dan Analisis (PPATK) yang belum memiliki pegawai tetap dan
banyak menggunakan pegawai dari instansi lain. Sehubungan dengan masalah
kepegawaian ini,sudah pernah diusulkan agar kepala PPATK diberikan kewenangan
sebagai pembina pegawai negeri sipil dengan merevisi satu pasal pada Peraturan
Pemerintah No 9/2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Walaupun upaya ini sudah dilakukan bertahun- tahun dengan
mengomunikasikannya kepada Presiden, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dan
menterimenteri dan pejabat terkait, tetapi sampai sekarang belum berhasil. Dengan
memperbanyak pencegahan, high cost eco-nomydapat ditekan dan korban yang
meluas di masyarakat dapat dikurangi. Penindakan korupsi tetap dilanjutkan sebagai
salah satu upaya untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku dan efek pencegahan
bagi orang lain. Sejarah membuktikan pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya
dengan penindakan dan tidak disertai pencegahan berupa perbaikan sistem tidak akan
pernah memberantas korupsi dengan baik. Korupsi akan terus tumbuh dan berulang
kembali apabila upaya perbaikan sistem sebagai salah satu upaya pencegahan tidak
dilakukan.Akhirnya, energi akan habis untuk melakukan pemberantasan korupsi ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini mengutamakan upaya-upaya
pencegahan korupsi melalui berbagai kegiatan sosialisasi dan kampanye yang
melibatkan berbagai pihak. Ketua KPK Abraham Samad saat peringatan Hari Anti
Korupsi internasional di Istana Negara Jakarta, Senin mengatakan upaya pencegahan
dapat mengurangi potensi terjadi korupsi dan kerugian negara dibandingkan bila
korupsi itu sendiri telah terjadi. "Saya ingin mengingatkan kembali kejahatan korupsi
sudah memasuki kehidupan bernegara, merusak ekonomi, merusak penegakan hukum
dan akhirnya juga merusak struktur sosial," katanya. Abraham
Samadmenambahkan,"Pentingnya upaya pencegahan korupsi agar tidak terjadi
korupsi. Pencegahan melalui pembenahan kelembagaan mutlak diperlukan, kita harus
pikirkan langkah antisipasi".
Abraham mengatakan KPK mengembangkan sebuah sistem yang disebut
dengan sistem integritas nasional (SIN). Sistem yang akan dikembangkan dan masuk
dalam rencana kerjaKPK 2011-2023 tersebut adalah sistem yang berlaku secara
nasional dan melibatkan seluruh pilar bangsa. "Ini dimaksudkan seluruh pilar bangsa
dapat mendorong adanya transparansi," katanya. Meski belum menjelaskan secara
detail bagaimana sistem ini berjalan, Abraham Samad mengatakan dengan sistem ini
maka tindak kejahatan korupsi dapat dicegah sejak awal dan melibatkan semua pihak
332 kasus Dalam paparannya, Ketua KPK mengatakan sejak 2004-2012 lembaga itu
sudah menangani 332 kasus dengan pelaku yang beragam dari mulai anggota
legislatif baik di pusat maupun daerah, kepala lembaga, unsur kementerian, bupati,
gubernur, walikota, duta besar, penegak hukum dan pengusaha. Laporan pengaduan
tindak pidana korupsi sejak 2004 hingga Agustus 2012 sebanyak 55.964 laporan
pengaduan masyarakat termasuk WNI yang tinggal di luar negeri.
Keuangan negara yang berhasil diselamatkan dari sektor hulu migas sejak
2009-2012 Rp152 triliun sementara keuangan negara dari sektor pengalihan hak
negara di 25 kementerian sejak 2009-2011 yang berhasil diselamatkan sebanyak Rp2
triliun.

2.3 Strategi dan Upaya Pemberantasan Korupsi


Pemerintah serius menangani korupsi secara konkret. Salah satu
implementasinya adalah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) 17/2011 tentang Aksi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Inpres ini merupakan lanjutan
Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Tahun 2011. Dalam dua Inpres ini, Pemerintah mengimplementasikan enam strategi
sesuai rekomendasi United Nation Convention Against Corruption
(UNCAC). Keenam strategi itu adalah: Pencegahan pada Lembaga Penegak Hukum;
Pencegahan pada Lembaga Lainnya; Penindakan; Harmonisasi Peraturan Perundang-
undangan; Penyelamatan Aset Hasil Korupsi; Kerjasama Internasional; dan
Pelaporan. Targetnya, pada 2014 Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception
Index (CPI) Indonesia dapat mencapai angka 5,0.
Sebagai catatan, per 2010 CPI Indonesia tercatat 2,8. Sementara pada 2011
sudah naik menjadi 3,0. Di negara ASEAN, CPI Indonesia lebih baik daripada
Vietnam (2,9), Filipina (2,6), Laos (2,2), Kamboja (2,1), dan Myanmar (1,5). Tapi
CPI Indonesia masih di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan
Thailand (3,4). Yang harus dicatat, Indonesia sudah mencatat kemajuan yang luar
biasa dan mengalami kenaikan tertinggi dalam periode 2004 hingga 2011. Pada 2004
CPI Indonesia hanya 2,0. "Jadi dalam kurun waktu tujuh tahun ada kenaikan satu full
percentage point, ini kenaikan yang sangat signifikan.
1.Peran Serta Pemerintah dalam Memberantas Korupsi
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam
mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi,
menanggulangi, dan memberantas korupsi, merupakan komisi independen yang
diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
 Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi
 Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan
mewujudkan good governance.
 Membangun kepercayaan masyarakat
 Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar
 Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi

2.Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi


Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi
di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
 a.Upaya pencegahan (preventif)
 b.Upaya penindakan (kuratif)
 c.Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa
 d.Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

Pola kuitansifiktif

Sebenarnya pola ini lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah
manipulasi alias penyelewengan. Sesuatu yang kecil dibikin jadi besar. Yang besar
dijadikan kecil. Yang ada dibuat tidak ada. Yang tidak ada diadakan, dan sebagainya.
Tapi karena pola ini lebih banyak mengandalkan pada buku kuitansi dalam rangka
menghadapi petugas inspektorat, audit, maupun pajak, maka saya cenderung
menamakannya sebagai pola kuitansi fiktif. Saya sebut kuitansi fiktif karena
kuitansinya memang terbukti ada. Tapi barang atau jasa atau kegiatan yang
dibeli/diselenggarakan justru lain dengan bukti kuitansinya, atau malah sama sekali
tidak ada. Kasus seperti ini boleh dibilang umum dilakukan oleh kantor-kantor
pemerintah, swasta, maupun BUMN.

Contoh yang paling sederhana misalnya, kantor saya membeli barang/jasa


atau menyelenggarakan sebuah kegiatan. Bukti riel uang keluar yang harus saya
pertanggungjawabkan terhadap kantor saya adalah kuitansi. Supaya saya bisa
mendapatkan keuntungan, ada beberapa cara yang bisa saya tempuh. Pertama,
barang/jasa yang saya beli atau kegiatan yang saya selenggarakan saya kecilkan/saya
kurangi jumlah maupun mutunya, sementara harganya tetap. Jumlah yang harus saya
bayarkan otomatis juga ikut turun sementara jumlah yang harus saya
pertanggungjawabkan ke kantor tetap seperti rencana. Selisih jumlah tersebut bisa
langsung masuk kantung. Cara kedua, kalau saya sulit menurunkan jumlah maupun
kualitas barang/jasa atau kegiatan, maka harganya yang justru saya naikkan. Selisih
antara harga yang sebenarnya dengan harga yang sudah naik tadilah yang saya
kantungi.

Bagi yang sudah cukup profesional, malah bisa lebih gawat lagi. Barang, jasa
atau kegiatan yang diselenggarakan bisa 100 persen difiktifkan. Anggaran tetap turun
tapi barang/jasa yang dibeli atau kegiatan yang diselenggarakan sama sekali tidak ada.
Pernah dengar berita tentang Bimas fiktif, reboisasi fiktif bahkan juga wartawan yang
melakukan reportase fiktif? Sering pula terjadi, sehabis ada seminar atau lokakarya
atau raker, seorang ketua OC (organizing committee) buru-buru menyuruh sekretaris
atau bendaharanya mendatangi toko-toko tertentu yang biasa diajak kerjasama untuk
membuat kuitansi fiktif, agar realisasi pengeluaran seminar/lokakarya atau raker bisa
klop dengan rencana anggaran yang dibuat. Ternyata kasus seperti ini masih tergolong
“sopan”. Saya pernah ketemu dengan “oknum” yang sengaja mencetakkan macam-
macam kuitansi dan menyimpan macam-macam stempel buatan tukang reklame kaki
lima untuk mengelabuhi petugas inspektorat, audit, atau malah rekan sekantornya
sendiri dari bagian akunting. Itulah tadi pola kuitansi fiktif alias manipulasi alias
penyelewengan.
Polakomisi
Sebuah kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN pastilah sering belanja barang
dalam jumlah besar, baik untuk kegiatan rutin maupun untuk menunjang proyek-
proyeknya. Taruhlah kantor saya perlu 200 baju seragam untuk karyawannya. Harga
baju di toko per lembar Rp 10.000. Tapi karena membeli di pengusaha konfeksi, saya
bisa memperoleh potongan harga sampai 20 persen. Kalau manajemen di kantor saya
jelek, dengan mudah seluruh komisi itu saya makan sendiri.

Ini baru baju. Bagaimana kalau mobil, rumah, pesawat terbang atau kapal
tanker? Karena jumlah komisi ini bisa sangat besar, makanya manajemen yang baik
akan selalu mencek : betulkah cuma segitu komisi yang bisa dilepas? Bisakah ditawar
lagi? Dalam keadaan seperti ini, tentu uang komisi itu akan kembali ke kantor lagi.
Lalu mati-kutukah oknum di bagian pembelian? Tentu tidak!

Misalnya komisi resmi yang diberikan oleh perusahaan untuk perusahaan


adalah 20 persen. Ternyata di samping itu masih ada “komisi khusus” 2,5-5 persen
yang “diselipkan” ke kantung si petugas pembelian. Bisakah komisi seperti ini
dibuktikan secara hukum di pengadilan; tentu saja sulit. Bukankah kuitansi atau tanda
terimanya tidak ada? Tapi, sangat sulit bukan lalu berarti mustahil. Kalau kita mampu
melakukan pendekatan terhadap pihak pemberi komisi hingga berhasil membuatnya
“menyanyi”, maka bukan mustahil para penerima komisi di kantor kita mengalami
banyak kerepotan seperti halnya eks-PM Jepang Kakuei Tanaka dulu.

Kadang-kadang kasus korupsi dengan pola komisi ini menjadi teramat rumit
untuk diusut lebih lanjut, manakala komisi yang diberikan bukanlah berbentuk uang
sesuai dengan persentase melainkan berupa barang sebagai hadiah, misalnya arloji,
video. mobil, rumah, bahkan tak jarang berupa perempuan cantik yang bisa diajak
kencan. Tapi bagaimanapun rumitnya, korupsi dengan pola ini toh masih tetap ada
peluang untuk diusut dan dibuktikan secara hukum.

Polaupeti
Komisi – meski berupa hadiah barang, termasuk Hadiah lebaran, Natal dan Tahun
Baru – asalnya selalu dari relasi dan selalu dihitung sesuai dengan persentase nilai
transaksi yang telah atau akan dilakukan. Upeti meski juga bisa berupa uang maupun
barang bahkan juga “pacar” datangnya dari bawahan untuk atasan. Tujuannya bisa
macam-macam. Misalnya saja agar kondite tetap terjaga baik. Supaya kedudukan
aman, tidak digeser atau dimutasikan ke tempat yang “kering”. Supaya “permainan”
yang dilakukannya tetap berlangsung dengan selamat dan lain-lain. Dalam kondisi
tertentu, bisa terjadi tawar-menawar antara atasan dengan bawahan tentang jumlah
upeti yang mesti disetor. Dalam kondisi yang sudah cukup gawat malahan si atasan
bisa langsung memotong upeti yang sudah menjadi kesepakatan bersama itu. Jadi
sifatnya sudah sangat mirip dengan pola komisi, bedanya cuma yang melakukan.
Kalau komisi adalah antara oknum pembelian dengan relasi, sedang upeti adalah
antara bawahan dengan atasan.

Dalam bentuk kecil-kecilan, upeti ini bisa berupa makanan atau cenderamata
untuk si pengambil keputusan atau si penandatangan SPJ (Surat Perintah Jalan)
manakala seseorang akan bertugas keluar kota atau keluar negeri. Sepertinya hal ini
sudah menjadi semacam “budaya”. Saya sendiri selalu mencoba untuk tidak
melakukan hal itu bila kebetulan sedang ada tugas keluar. Tapi ketika teman-teman
yang kebetulan saya beri tugas keluar melakukan hal itu, terus terang saya jadi agak
kerepotan untuk menolaknya. Pemecahannya paling dengan ganti membagi-bagikan
makanan atau memberikan cenderamata itu untuk teman yang lain yang kebetulan
memang tidak pernah mendapat tugas keluar.

Pola menjegal order

Misalnya saya bekerja sebagai tenaga sales di sebuah perusahaan konfeksi.


Gaji saya Rp 300.000 ditambah persentase dari transaksi yang berhasil saya dapatkan.
Tiba-tiba saya mendapatkan order senilai 500 juta rupiah. Persentase yang saya dapat
dari kantor sesuai dengan peraturan pastilah kecil sekali. Mendingan order ini saya
lempar ke pengusaha konfeksi lain hingga saya menerima komisi yang lebih gede.
Kalau order ini datangnya dari relasi baru, kemungkinan terbongkarnya kasus saya ini
akan jadi kecil sekali. Tapi yang lebih menguntungkan lagi adalah kalau order tadi
saya garap sendiri. Itulah sebabnya kita lalu sering melihat adanya tenaga sales di
sebuah perusahaan percetakan yang di rumah juga punya mesin cetak sendiri. Ada
pegawai konfeksi yang di rumah punya usaha jahit sendiri. Ada pegawai bengkel
yang di rumah juga punya usaha perbengkelan dan sebagainya. Order-order yang
dijegal ini sebenarnya secara hukum adalah milik perusahaan. Jadi karena pembuktian
kasus seperti ini juga tidak sulit, penindakannya secara administratif maupn hukum
juga paling mudah untuk dilakukan. Biasanya oknum seperti ini kalau ketahuan akan
segera di-PHK.

Penjegalan order seperti ini tidak hanya jadi monopoli para tenaga sales.
Resepsionis, penjaga toko, tenaga administratif bagian pembuka surat, bahkan juga
satpam penjaga pintu gerbang pun bisa saja melakukan penjagalan order. Resepsionis
menguasai relasi yang datang lewat telepon, tenaga administrasi menguasai pesanan
lewat surat/wesel, dan satpam selalu bisa menyongsong relasi yang datang langsung
lewat pintu gerbang. Kasus seperti ini pernah terjadi di kantor saya. Tapi begitu
manajemen dibenahi, pola demikian menjadi sangat sulit atau malah boleh dibilang
mustahil untuk dilakukan

Polaperusahaanrekanan
Apabila Anda seorang pimpinan proyek atau pejabat pengambil keputusan, tentu akan
terlalu kentara manakala punya perusahaan yang bisa menangkap order-order dari
kantor Anda sendiri. Kalau Anda bekerja di sebuah kantor penerbitan lalu di rumah
Anda punya perusahaan percetakan untuk menampung order dari kantor, tentu teman-
teman akan ribut lantaran hal itu kelewat mencolok mata. Itulah sebabnya lalu banyak
oknum pejabat yang memberi modal pada si keponakan, si saudara sepupu, mertua,
istri, anak, dan kerabat dekat lain untuk bikin perusahaan rekanan. Kepadanyalah
kemudian segala macam order mengalir dengan lumayan deras. Di kalangan elite di
negeri ini, gejala demikian sebenarnya sudah bukan merupakan barang baru lagi.
Cuma siapakah gerangan yang berani menulis atau membeberkannya di muka umum?

Sebenarnya, sejauh perusahaan rekanan yang dikelola oleh sanak famili tadi
kualitasnya sama dengan perusahaan rekanan yang asli, masalahnya sama sekali tidak
ada. Boleh-boleh saja. Tapi biasanya, karena pemberi order itu masih Oom sendiri,
masih Pak De sendiri, dan sebagainya, maka hukum bisnis jadi sering tersendat untuk
diterapkan secara lugas. Terjadilah kemudian penyimpangan kualitas, waktu,
anggaran dan sebagainya.

Pola penyalahgunaan jabatan/wewenang Pola inilah yang oleh masyarakat


banyak lazim disebut sebagai pungli, uang semir, pelicin, sogok, suap dan lain-lain.
Contohnya sudah banyak. Misalnya Polantas yang sering terima “salam tempel”.
Petugas kantor kelurahan yang sering mengutip minimal gopek (lima ratus) hanya
untuk stempel surat keterangan berkelakuan baik, bahkan juga oknum wartawan yang
minta amplop sehabis menjepretkan kamera dan menodongkan tape recorder.

Bagaimanakah kalau masyarakat tidak mau memberikan sesuatu kepada para


petugas tadi? Urusan bakal jadi berbelit, tersendat-sendat atau bahkan macet total.
Kalau sudah begini, yang repot tentunya ya masyarakat sendiri.

Modus korupsi

Korupsi dan koruptor adalah dua kata yang sering kita dengar akhir-akhir ini.
Tidak ada koran, televisi atau bahkan di Wikimu sendiri yang sepi dalam jangka
waktu lama dari berita atau pembahasan mengenai ketiga hal tersebut. Ini
membuktikan kita semua membenci korupsi dan menginginkan korupsi dibabat habis
dari bumi Indonesia tercinta ini. Namun bagaimana kita bisa ikut memberantas
korupsi kalau ternyata kita secara sadar atau tidak turut berperan melakukannya atau
mungkin menikmati hasilnya ? Bagi anda yang bekerja sebagai pegawai negeri atau
pegawai BUMN atau pun perusahaan swasta dan kebetulan berhubungan langsung
dengan masalah uang dan keuangan serta proyek-proyek barangkali pernah
menjumpai urusan-urusan yang bernuansa atau berbau korupsi. Agar kita tidak
terjebak mendukung atau ikut-ikutan menikmati hasil tindak pidana korupsi, baik di
pemerintahan maupun swasta, berikut ini dikemukakan 18 modus korupsi yang
diinventarisir oleh KPK (khusus bagian pemerintahan adalah dari KPK, untuk swasta
adalah interprestasi penulis), yaitu :

1. Pemerintahan : Pengusaha menggunakan pejabat pusat untuk membujuk kepala


daerah mengintervensi proses pengadaan barang/jasa dalam rangka memenangkan
pengusaha tertentu dan meninggikan harga ataupun nilai kontrak.

Swasta : Manajer atau karyawan yang ditunjuk dalam proyek pengadaan barang / jasa
di perusahaan mendekati rekanannya dan berjanji menggunakan jasa atau barangnya
asal harga barang atau nilai kontrak ditinggikan untuk masuk kantong pribadi.
2. Pemerintahan : Pengusaha mempengaruhi kepala daerah untuk mengintervensi
proses pengadaan barang/jasa agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau
ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan (di-mark up).

Swasta : Manajer atau karyawan memenangkan rekanan tertentu dalam tender atau
menunjuknya secara langsung dan harga barang/jasa dinaikkan (di-mark up) untuk
masuk kantong sendiri.

3. Pemerintahan : Panitia pengadaan yang dibentuk Pemda membuat sepesifikasi


barang yang mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk
memenangkan rekanan tertentu, serta melakukan mark up harga barang dan nilai
kontrak.

Swasta : Manajer atau karyawan membuat spesifkasi barang yang mengarah pada
merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu, dengan
maksud mendapatkan keuntungan pribadi dengan melakukan mark up harga barang
dan nilai kontrak.

4. Pemerintahan : Kepala daerah ataupun pejabat daerah memerintahkan


bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai
dengan peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif.

Swasta : Manajer atau karyawan menggunakan dana/anggaran dari pos yang tidak
sesuai dengan peruntukannya, lalu membuat laporan fiktif.

5. Pemerintahan : Kepala daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana


untuk kepentingan pribadi si pejabat yang bersangkutan atau kelompok tertentu
kemudian membuat pertanggungjawaban fiktif.

Swasta : Manajer atau karyawan menggunakan dana perusahaan untuk kepentingan


pribadi dengan membuat pertanggungjawaban fiktif.

6. Pemerintahan : Kepala daerah menerbitkan Perda sebagai dasar pemberian upah


pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundangan yang lebih
tinggi, namun sudah tidak berlaku lagi.
Swasta : –

7. Pemerintahan : Pengusaha, pejabat eksekutif dan DPRD membuat kesepakatan


melakukan ruislag (tukar guling) atas aset Pemda dan menurunkan (mark down) harga
aset Pemda, serta meninggikan harga aset milik pengusaha.

Swasta : Manajer atau karyawan menjual aset perusahaan dengan laporan barang
rusak atau sudah tidak berfungsi lagi.

8. Pemerintahan : Kepala daerah meminta uang jasa dibayar di muka kepada


pemenang tender sebelum melaksanakan proyek.

Swasta : Manajer atau karyawan meminta uang jasa dibayar di muka kepada rekanan
sebelum melaksanakan proyek.

9. Pemerintahan : Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan


menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.

Swasta : Manajer atau karyawan menerima sejumlah uang atau barang dari rekanan
dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.

10. Pemerintahan : Kepala daerah membuka rekening atas nama Kas Daerah dengan
specimen pribadi (bukan pejabat atau bendahara yang ditunjuk). Maksudnya, untuk
mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.

Swasta : Manajer atau kepala bagian membuka rekening atas nama perusahaan
dengan specimen pribadi untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui
prosedur.

11. Pemerintahan : Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana
pemerintah yang ditempatkan di bank.

Swasta : Manajer atau bagian keuangan meminta atau menerima jasa giro/tabungan
dana perusahaan yang ditempatkan di bank atau menempatkan dana perusahaan di
bank atau pasar modal atas nama pribadi.
12. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam
kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Swasta : Manajer atau kepala bagian atau karyawan menyewakan atau


mengswakelola aset perusahaan dan hasilnya masuk ke kantong sendiri.

13. Pemerintahan : Kepala daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan


proses perijinan yang dikeluarkannya.

Swasta : Manajer atau karyawan menerima uang/barang sehubungan dengan tugas


dan pekerjaannya dari pihak ketiga yang diuntungkan olehnya.

14. Pemerintahan : Kepala daerah, keluarga ataupun kelompoknya membeli lebih


dulu barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali ke Pemda dengan
harga yang sudah di-mark up.

Swasta : Manajer atau karyawan membeli barang dengan harga murah untuk
kemudian dijual kembali kepada perusahaan dengan harga yang di-mark up.

15. Pemerintahan : Kepala daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang


pribadinya menggunakan anggaran daerah.

Swasta : Manajer atau karyawan mencicil harga barang pribadinya dengan


menggunakan uang kantor.

16. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan
beban pada anggaran dengan alasan pengurusasn DAK (Dana Alokasi Khusus) atau
DAU (Dana Alokasi Umum).

Swasta : –

17. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses
penyusunan APBD.

Swasta : –
18. Pemerintahan : Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan
beban anggaran daerah.

Swasta : Manajer atau karyawan menggunakan dana untuk keperluan pribadi dengan
beban perusahaan

Korupsi Dalam Berbagai Perspektif

Dalam perspektif agama korupsi dipandang sebagai suatu perbuatan yang


sangat tercela.Dalam perspektif ajaran islam, korupsi termasuk perbuatan fasad atau
perbuatan yangmerusak kemslahatan, kemanfaatan hidup, dan tatanan kehidupan.
Pelakunya dikategorikanmelakukan jinayah kubro (dosa besar). Dalam konteks ajaran
islam yang lebih luas, korupsimerupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip
keadilan (al-
‘adalah), akuntabilitas
(al-amanah), dan tanggung jawab.5[6]Dalam perspektif sosial korupsi
dipandang suatu perbuatan yang dapat meningkatkanangka kemiskinan, perusakan
moral bangsa, hilangnya rasa percaya terhadap pemerintah,akan timbul kesenjangan
dalam pelayanan umum dan menurunnya kepercayaan pemerintahdalam pandangan
masyarakat. Dalam sistem ini, menerima sesuatu dari rakyat, walaupununtuk rakyat
itu sendiri harus berkorban dan menderita, tanpa diketahui oleh rakyat itu
sendiri mereka telah diperlakukan tidak adil oleh oknum-oknum korupsi yang
tidak bertanggung jawab, merupakan perbuatan tercela dan penerimaan itu jelas dapat
dimasukkansebagai perbuatan korupsi.Dalam perspektif budaya korupsi dipandang
suatu perbuatan yang akan membentuk pandangan
buruk terhadap reputasi negara, dan secara perlahan akan memutus budaya
luhur bangsa. Almarhum Dr. Mohammad Hatta yang ahli ekonomi pernah mengataka
n bahwakorupsi adalah masalah budaya. Pernyataan bung Hatta tersebut dapat
diartikan bahwakorupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau masyarakat
secara keseluruhan tidak bertekad untuk memberantasnya.Masalah hukum dapat
ditangani dengan hukum, sedangkan masalah budaya tentu sajaditangani dengan
tindakan
tindakan dibidang kebudayaan juga. Inilah hal yang tidakmudah. Berbeda
kalau masyarakat secara keseluruhan sudah menganut ukuran yang samadalam hal
rasa keadilan, maka usaha pengenalan dan pengendalian korupsi akan jauh
lebihmudah.Dalam perspektif teknologi korupsi dipandang sebagai sesuatu
yangdapatmenghambat perkembangan teknologi yang ada, penyalahgunaan tindakan
yang merugikan negara, danterorisme yang terus merajalela.Dalam perspektif hukum
korupsi menimbulkan pandangan ketidak konsistenan terhadaphukum yang berlaku,
timbul pandangan bahwa hukum bisa diperjual belikan, kepercayaanmasyarakat
terhadap hukum menurun, timbul gambaran orang-orang yang berkuasa dan
kayasebagai pemilik hukum, timbul pemikiran bahwa hukum terlalu bobrok, dan
timbul rasaketidakadilan didalam diri masyarakat.Dalam perspektif politik korupsi
dapat mempersulit demokrasi dan tata cara pemerintahanyang baik dengan cara
menghancurkan proses formal, sistem politik akan terganggucenderung tidak
dipercaya oleh masyarakat, akan timbul aklamasi-aklamasi untukmenguatkan
kekuatan politik (menjaga keberlangsungan korupsi) dan akan
timbulketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik.Dalam perspektif
ekonomi korupsi berdampak pada pembangunan infrastruktur yangtidak merata, tidak
sesuai dengan yang dianggarkan sebelumnya. Pemerataan pendapatanyang buruk,
membuat pengusaha asing takut untuk berinvestasi di Indonesia, pendapatannegara
mengalami penurunan dan membuat beban lebih berat pada masyarakat.Korupsi
dalam perspektif pancasilaa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia
percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini
jelas perilaku tindak pidana korupsi ini tidak mencerminkan perilaku tersebut karena
perilakutindak pidana korupsi adalah perilaku yang tidak percaya dan taqwa kepada
Tuhan. Diamenafikan bahwa Tuhan itu Maha Melihat lagi Maha Mendengar. b. Sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab.Dalam sila ini perilaku tindak pidana korupsi
sangat melanggar bahkan sama sekali tidakmencerminkan perilaku ini, seperti
mengakui persamaan derajat, saling mencintai, sikaptenggang rasa, gemar melakukan
kegiatan kemanusiaan serta membela kebenaran
dankeadilan.c. Sila persatuan indonesiaTindak pidana dan tipikor bila dilihat dalam
Silaini,pelakunya
ituhanya mementingkan pribadi, tidak ada rasa rela berkorban untuk bangsa dan Neg
ra, bahkan bisa dibilang tidakcinta tanah air karena perilakunya cenderung
mementingkan nafsu, kepentingan pribadi ataukasarnya kepentingan perutnya
saja. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyara
watan perwakilan dalam sila ini perilaku yang mencerminkannya
seperti,mengutamakankepentingan Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehen
dak, keputusan yang diambil harusdipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, serta menjunjung tinggi harkatmartabat manusia dan keadilannya. Sangat jelaslah
bahwa tindak pidana korupsi tidak pernahada rasa dalam sila
ini.e. Keadilan sosial bagi seluruh bangsa indonesiaRata-rata bahkan sebagian besar
pelaku tindak pidana korupsi itu, tidak ada perbuatanyang luhur yang mencerminkan
sikap dan suasana gotong royong, adil, menghormati hak-hakorang lain, suka
memberi pertolongan, menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain, tidakmelakukan
perbuatan yang merugikan kepentingan umum, serta tidak ada rasa bersama-
samauntuk berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.Jadi
semua perilaku tindak pidana dan tipikor itu semuanya melanggar dan
tidakmencerminkan sama sekali perilaku pancasila yang katanya ideologi bangsa ini.
Selain bersifat mengutamakan kepentingan pribadi, juga tidak adanya rasa kemanusia
an, keadilan,saling menghormati, saling mencintai sesama manusia, dan yang paling
riskan adalah tidak ada rasa ‘percaya dan taqwa’ kepada Tuhan Yang Maha Esa

2.4 FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam
diri pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika
perilaku matrealistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih
“mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi
( ansari Yamamah: 2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh
pejabat kemudian “terpaksa” korupsi kalau sudah menjabat.
Pandangan lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab terjasinya korupsi antara lain: (1) aspek perilaku individu (2) aspek
organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada
(Arifin:2000).
Secara umum faktor penyebab terjadinya korupsi dapat terjadi karena fsktor
politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku yang berjudul Peran Parlemen
dalam Membasmi Korupsi (ICW:2000) yang mengidentifikasi empat faktor penyebab
terjadinya korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomin dan birokrasi,
dan faktor transnasional.
A. FAKTOR POLITIK

Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat
ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan,
bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Perilaku korup seperti menyuap, politik uang merupakan fenomena yang
sering terjadi. Menurut Susanto korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi
penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang
publik untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstlelasi
politik (Susanto: 2002).
Penelitian James Scott (Mochtar Mas’oed: 1994) mendeskripsikan bahwa
dalam masyarakat dengan ciri pelembagaan politik eksekutif dimana kompetisi politik
dibatasi pada lapisan tipis elit dan perbedaan antar elit lebih didasarkan pada klik
pribadi dan bukan pada isi kebijakan, yang terjadi umumnya desakan kulturan dan
struktural untuk korupsi itu betul-betul terwujud dalam tindakan korupsi pada
pejabatnya.
Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa proses terjadinya korupsi dengan
formulasi M+D-A=C. Simbol M adalah monopoly, D adalah discretionary
(kewenangan), A adalah accountability (pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbol
tersebut dapat dikatakan bahwa korupsi adalah hasil dari adanya monopoli
(kekuasaan) ditambah dengan kewenangan yang begitu besar tanpa pertanggung -
jawaban.

B. FAKTOR HUKUM

Faktor hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-
undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum,
mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan
yang tidak jelas tegas (non lext certa) sehingga multi tafsir, kontradiksi dan
overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi).
Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat
sasaran sehingga dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang
berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan
tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak
produktif dan mengalami resistensi.
Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah: Pertama,
Tawar-menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di
parlemen, sehingga muncul aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua, praktik politik
uang dalam pembuatan hukum berupa suap menyuap, utamanya menyangkut
perundang-undangan dibidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya timbul peraturan yang
elastis dan multi tafsir serta tupang-tindih dengan aturan lain sehingga mudah
dimanfaat untuk menyelamatkan pihak-pihak pemesan.
Selaras dengan hal itu Susila (dalam Hamzah: 2004) menyebut tindakan
korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-
undangan, yang mencakup; (a) adanya peraturan perundang-undangan yang
bermuatan kepentingan pihak-pihak tertentu (b) kualitas peracuran perundang-
undangan kurang memadai,
(c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sanksi yang terlalu ringan, (e) peraturan
sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya lembaga evaluasi dan
revisi peraturan perundang-undangan.
Kenyataan bahwa berbagai produk hukum di masa Orde Baru sangat
ditentukan oleh konstelasi politik untuk melanggengkan kekuasaan di era Reformasi
pun ternyata masih sajaterjadi. Banyak produk hukum menjadi ajang perebutan
legitimasi bagi berbagai kepentingan kekuasaan politik, untuk tujuan
mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan.
Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah budaya sadar
akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan mengerti
konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Kemampuan lobi kelompok kepentingan dan
pengusaha terhadap pejabat publik dengan menggunakan uang sogokan., hadiah,
hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif, masyakat
hanya menikmati sisa-sisa hasil pembangunan.
Fakta ini memperlihatkan bahwa terjadinya korupsi sangat mungkin karena
aspek peraturan perundang-undangan yang lemah atau hanya menguntungkan pihak
tertentu saja. Disamping tidak bagisnya produk hukum yang dapat menjadi penyebab
terjadinya korupsi, praktik penegakan hukum juga masih dilihat berbagai
permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuannya. Secara kasat mata, publik
dapat melihat banyak kasus yang menunjukkan adanya diskriminasi dalam proses
penegakan hukum termasuk putusan-putusan pengadilan.
C. FAKTOR EKONOMI

Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal
ini dapat dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Selain
rendahnya gaji atau pendapatan, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab
terjadinya korupsi, di antaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi dengan
faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan
kroninya. Terkait faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat
menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar masalah korupsi.pernyataan tidak
benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang dilakukan
oleh pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin. Dengan
demikian korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru sebaliknya,
kemiskinan disebakan oleh korupsi (Pope: 2003)
Menurut Henry Kissinger korupsi politisi membuat sepuluh persen lainnya
terlihat buruk. Dari keinginan pribadi untuk keuntungan yang tidak adil, untuk
ketidakpercayaan dalam sistem peradilan, untuk ketidak stabilan lengkap dalam
identitas bangsa, ada banyak faktor motivasi orang kekuasaan, anggota parlemen
termasuk warga biasa, untuk terlibat dalam perilaku korup.

D. FAKTOR ORGANISASI

Organisasi dalam hal ini adalah organisasi yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisai yang menjadi korban korupsi
atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena
membuka peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi.
Aspek-aspek terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi meliputi: (a)
kurang adanya teladan dari pemimpin (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar,
(c) sistem akuntabilitas dalam instansi kurang memadai, (d) manajemen cenderung
menutupi didalam organisasinya.
Focus attention, dapat dijadikan oleh para anggota sebagai semacam gideline
untuk memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan anggota-anggota dan
organisasi sebagai kesatuan. Melalui tujuan organisasi, para anggota dapat memiliki
arah yang jelas tentang segala kegiatan dan tentang apa yang tidak, serta apa yang
harus dikerjakan dalam kerangka organisasi. Tindak tanduk atas kegiatan dalam
organisasi, oleh karenanya senantiasa berorientasi kepada tujuan organisasi, baik
didasari maupun tidak.
Dalam fungsinya sebagai dasar legitimasi atau pembenaran tujuan organisasi
dapat dijadikan oleh para anggota sebagai dasar keabsahan dan kebenaran tindakan-
tidakan dan keputusan-keputusannya. Karena sebuah organisassi dapat berfungsi
dengan baik, hanya bila anggotanya bersedia mengintegrasikan diri dibawah sebuah
pola tingkah laku (yang normalitif), sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan
bersama hanya mungkin apabila anggota-anggota bersedia mematuhi dan mengikuti
“aturan permainan” yang ditentukan.
Menurut Baswir pada dasarnya perakar pada bertahannya jenis birokasi
patrinominal. Dalam biirokrasi ini, dilakukan oleh para birokrat memang sulit untuk
diuhindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat
terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam
filsafat kenegaraan bangsa ini , sehingga cenderung masih mentabukan sikap opopsisi.
Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara
hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga
merabaklah budaya korupsi itu.
Di banyak negara berkembang muncul pandangan bahwa korupsi adalah
akibat dari perilaku-perilaku yang membudaya. Anggapan ini lama-lama akan
berubah jika uang pelicin yang diminta semakin besar, atau konsumen tahu bahwa
kelangkaan yang melandasi uang semir sengaja diciptakan atau justru prosedur dan
proses yang lebih baik bisa diciptakan.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa budaya anti korupsi sangat
dibutuhkan dalam upaya pencegahan korupsi di Indonesia khususnya di lingkingan
sekolah, proses penerapan budaya anti korupsi dapat dimulai dari jalur pendidikan,
mulai dari Sekolah Dasar sampai ketahap perguruan tinggi melalui sosialisai secara
rutin dari pihak – pihak yang berkaitan.
DAFTAR PUSTAKA

1. https://darpawan.wordpress.com/2011/07/13/membangun-budaya-antikorupsi/
( diunduh tanggal 23 Januari 2018 )
2. https://sayhaq.blogspot.nl/2014/01/budaya-anti-korupsi-bagi-siswa.html (
diunduh tanggal 23 Januari 2018 )
3. https://indonesiana.tempo.co/read/111831/2017/05/28/anggraini9119/memban
gun-budaya-anti-korupsi ( diunduh tanggal 23 Januari 2018 )

Anda mungkin juga menyukai