Anda di halaman 1dari 21

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM BENTUK

PENYALAHGUNAAN WEWENANG JABATAN

I Putu Harry Suandana Putra


Universitas Bali Internasional
harrybalidosen@gmail.com

Abstract

Corruption is able to paralyze the development of the nation, blind the morals of the
perpetrators to turn off the concern for this increasingly fragile and weak nation. This is
caused by corruption that seems to have been rooted and ingrained in the system and fertile
is maintained with corrupt habits in society, this corruption practice can be found in various
modus operandi and can be done by anyone, from various social and economic strata .
Corruption is generally carried out by people who have power in a particular position so
that the characteristics of crimes corruption are always related to the abuse of power.
According to Ibn Khaldun, the causes of corruption are the lust for luxurious and excessive
living in groups that govern or the ruling group that causes economic difficulties in
sustaining national development.

Keywords: law enforcement, criminal acts of corruption, abuse of authority.

1
I. PENDAHULUAN
Korupsi mampu melumpuhkan pembangunan bangsa, membutakan moral para
pelakunya hingga mematikan kepedulian terhadap bangsa yang kian rapuh dan lemah ini. Hal
ini disebabkan oleh korupsi yang seolah-olah telah mengakar dan mendarah daging dalam
sistem dan subur dipelihara dengan kebiasaan-kebiasaan yang koruptif dalam masyarakat,
praktik korupsi ini dapat ditemukan dalam berbagai modus operandi dan dapat dilakukan oleh
siapa saja, dari berbagai strata sosial dan ekonomi.
Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu
jabatan tertentu sehingga karakteristik kejahatan korupsi itu selalu berkaitan dengan
penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Ibnu Khaldun penyebab-penyebab terjadinya korupsi
adalah nafsu untuk hidup mewah dan berlebih dalam kelompok yang memerintah atau
kelompok penguasa yang menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi dalam menopang
pembangunan nasional.1
Korupsi juga dapat menyebabkan dampak yang begitu buruk dan sangat luas serta
mengakar karena selain merugikan negara, dan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak
sosial serta ekonomi kesejahteraan rakyat, juga dapat mengakibatkan dampak buruk lainnya,
seperti:
1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintahan sehingga mengakibatkan
perkembangan disegala bidang terhambat khususnya pembangunan ekonomi serta
dapat menggangu stabilitas perekonomian negara dan politik.
2. Berkurangnya wibawa pemerintah dalam masyarakat disebabkan adanya
penyelundupan dan penyelewengan keuangan negara.
3. Berkurangnya atau menyusutnya pendapatan negara diakibatkan adanya penyelundupan
dan penyelewengan oleh oknum-oknum pejabat pemerintah.
4. Rusaknya mental pribadi diakibatkan terlalu sering melakukan penyelewengan
wewenang dalam jabatannya sehingga segala sesuatu diukur dengan materi dan
melupakan tugas dan tanggungjawabnya serta melakukan perbuatan yang hanya
bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain.
5. Hukum tidak lagi ditegakkan, ditaati serta tidak diindahkan oleh masyarakat
disebabkkan karena bobroknya para penegak hukum.2

Oleh sebab itu, dapat disadari bahwa kompleksnya permasalahan korupsi ditengah-
tengah krisis multi dimensional, serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak
dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan
nasional yang harus dihadapi serta sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah
yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi-potensi yang ada dalam masyarakat

1
Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008, hlm. 7.

2
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 16.

2
khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum karena korupsi di Indonesia terus
menunjukan peningkatan-peningkatan dari tahun ke tahun.3
Tindak pidana korupsi di Indonesia penyebarannya telah meluas dalam masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah kasus yang terjadi
dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang
dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya sudah memasuki seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Karena itu tindak pidana korupsi telah dianggap sebagai suatu perkara
“seriousness crime”, kejahatan serius yang sangat mengganggu hak ekonomi dan hak
sosial masyarakat dan negara dalam skala yang besar, sehingga penanganannya
harus dilakukan dengan cara “extra ordinary treatment” serta pembuktiannya membutuhkan
langkah-lagkah yang serius professional dan independen.4
Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan
suatu tindakan yang dilakukan secara melawan hukum untuk memperkaya/menguntungkan
diri sendiri atau orang lain. Oleh karena itu negara sebagai penyelenggara negara harus
mengutamakan kepentingan-kepentingan masyarakat, bangsa dan negara tanpa merugikan
orang lain demi terwujudnya masyarakat adil dan Makmur.
Bukan hanya di Indonesia, di berbagai negara lain korupsi selalu mendapatkan
perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat
dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Korupsi dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial
ekonomi, politik serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun
perbuatan ini akan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita
menuju masyarakat adil dan Makmur.5
Korupsi merupakan penyakit yang membebani negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia. Bahkan banyak ahli menyatakan bahwa penyakit korupsi telah melebar kesegala
lapisan dalam struktur pemerintahan. Korupsi telah menjadi isu sentral bahkan sangat popular
melebihi isu apapun yang muncul di Indonesia. Trend perilaku korupsi tampak semakin
endemis yang merambah dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Korupsi merupakan
sesuatu yang biasa dan seaan-akan telah membudaya dalam masyarakat Indonesia.6
Penegakan hukum menempati posisi yang strategis dalam pembangunan hukum, lebih-
lebih di suatu negeri hukum dan menurut Jeremi Bentham “Penegakan Hukum adalah sentral
bagi perlindungan hak asasi manusia”. Dalam penegakan hukum dibutuhkan instrument
penggeraknya yang meliputi unsur kepolisian, kejaksaan, badan peradilan dan Lembaga

3
Ibid., hlm. 17.

4
Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu
Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Medai, Yogyakarta, 2014, hlm 1.

5
Evi Hartanti, Ibid., hlm. 29.

6
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracaara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Raih Asa
Sukses, Jakarta, 2011, hlm. 146.

3
permasyarakatan, disamping penasehat hukum.7 Hukum pidana adalah salah satu hukum
yang ada di negara Indonesia, pengaturan tertulisnya dituangkan dalam KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) sebagai salah satu hukum positif. Seperti halnya ilmu hukum
lainnya hukum pidana mempunyai tujuan umum, yaitu menyelenggarakan tertib masyarakat.
Kemudian tujuan khususnya adalah untuk menanggulangi kejahatan maupun mencegah
terjadinya kejahatan dengan cara memberikan sanksi yang sifatnya keras dan tajam sebagai
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan hukum yaitu orang (martabat, jiwa, harta,
tubuh dan lain sebagainya), masyarakat dan negara.
Pada umumnya cara terjadinya korupsi sering melibatkan banyak orang, baik mereka
yang melakukan maupun mereka yang hanya ikut menikmati hasil korupsi, sehingga mereka
saling menutupi dan dengan rapihnya menghilangkan jejak sebagai upaya untuk menghindar
dari jeratan hukum.8
Pemahaman tindak pidana korupsi sebagai suatu kejahatan terorganisir telah
menunjukan ciri tindak pidana korupsi yang melibatkan beberapa orang di dalamnya. Dalam
perseptif kejahatan terorganisir ini korupsi dijadikan sebagai “senjata utama kejahatan yang
terorganisir untuk memantapkan kekuasaan dan kebebasan untuk berbuat.9
Meskipun berbagai peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi telah
dirumuskan dengan lengkap mulai dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 dan diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta
dilengkapi dengan pembentukan komisi pemberantasan korupsi (KKN) berdasarkan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2001, tetapi perbuatan korupsi bukan surut malah semaki
meningkat. Hal ini membuktikan bahwa penanggulangan korupsi tidak bisa diselesaikan
hanya melalui pendekatan normative yuridis semata, tapi diperlukan pendekatan bbudaya
sosial dari masyarakat.
Faktor penyebab suap ini lebih didorong oleh kebiasaan yang memandang suap untuk
mempengaruhi orang yang disuap adalah sebagai hal yang biasa saling menguntungkan,
bukan sebagai pelanggaran hukum, bahkan melalui suap dianggap proses perijinan yang
diharapkan dapat terbut lebih cepat waktunya.10
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata suap disamakan atau dikiaskan
dengan sogok. Sogok ialah Teknik korupsi yang paling sering dikutip karena perbuatan itu
menimbulkan kewajiban paling khas dipihak pemegang jabatan. Pejabat disuap secara khusus
setuju untuk melakukan atau membatalkan tindakan yang ditujukan sebagai imbalan atau
7
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadilah, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum, Tindak
Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandunng, 2008, hlm. 87.

8
Abdul Gofar, Dan Bin Saleh, Laporan Pengkajian tentang Keabsahan Dalam Proses Pembuktian
Tindak Pidana Korupsi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 2003, hlm. 3

9
Ramelan, Penerapan Korupsi dan Pengertian Turut Serta Melakulan (Medeplegen) dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi, Usulan Penelitian untuk Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 2002, hlm. 11.

10
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 146.

4
kompensasi yang ditentukan. Perbuatan pejabat yang disuap tersebut dapat diklarifikasi
sebagai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain (Pasal 2
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) atau
penyalahgunaan wewenang atau jabatan atau untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain
(Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi).

II. RUMUSAN MASALAH


Dalam rumusan masalah yang diteliti oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana Penerapan Hukum Materil pada Tindak Pidana Korupsi dalam
Penyalahgunaan Wewenang yang Membedakannya dengan Perbuatan Melawan Hukum
dalam Korupsi?
2. Bagaimana penjatuhan pidana bagi pelaku penyalahgunaan wewenang serta
pembuktiannya?

III. METODE PENELITIAN


Dalam kaitannya dengan permasalahan dalam rumusan masalah diatas, maka penelitian
perlu menggunakan metode yang relevan. Dalam hal ini dapat dijabarkan dari aspek
pendekatannya, metode dan alat pengumpulan bahan hukum dan teknik analisis bahan
hukum.
1. Tipe dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
dimaksudkan sebagai penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka.11
Penggunaan metode yuridis normatif bersifat kualitatif dalam penelitian ini
didasarkan pada berbagai alasan sebagai berikut: Pertama, analisis kualitatif didasarkan
pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang
merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan
pada yang dikumpulkan. Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat
dasar yang berbeda antara satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifir. Ketiga,
sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah bersifat menyeluruh dan
merupakan satu kesatuan (holistic).
Sementara itu penelitian ini juga bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatam
undang-undang (statute approach)12, dan pendekatan analitis (analitycal approach)13.
Soerjono Soekanto menyatakan penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan

11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm 13-14

12
Jhony Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006,
Cet II, hlm 302.

13
Ibid, hlm 310.

5
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala- gejala lainnya.
Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu
selain memperkuat teori-teori lama, atau didalam rangka menyusun teori-teori baru.14
2. Sumber Data
Sumber data dari penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah sumber data yang berasal dari bahan hukum yang
mengikat yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Sumber data primer yang
digunakan penulis yaitu: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), dan Putusan Pengadilan Nomor
56/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst.
b. Bahan Hukum Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang memberi penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah,
hasil penelitian, makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan
penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan atas bahan hukum primer dan
sekunder seperti kamus bahasa, ensiklopedia.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan atau library
research untuk memperoleh data sekunder malalui buku, literatur, kepustakaan yang
hasilnya merupakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
4. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisa bahan hukum menggunakan teknik-teknik yang dapat diuraikan sebagai
berikut :
a. Teknik Interpretasi diterapkan terhadap norma-norma hukum yang tidak jelas
rumusannya, sehingga harus ditafsirkan untuk memperoleh pemahaman yang jelas
dan dapat diaplikasikan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi.
b. Teknik evaluasi yang berupa penilaian mengenai tepat atau tidak tepatnya suatu
informasi baik diperoleh dari bahan hukum Primer maupun Sekunder.
c. Teknik argumentasi mengetengahkan alasan-alasan yang merupakan hasil
penalaran setelah dilakukannya teknik evaluasi.
d. Teknik Deskripsi merupakan teknik yang paling mendasar dan bersifat mutlak. Hal
ini mengandung pengertian, teknik ini harus dilaksanakan dalam pembahasan
hukum agar pembahasan dapat dipahami oleh orang lain.
IV. ANALISIS
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1981,
hlm 28.

6
1. Tindak Pidana Korupsi
Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,bergantung pada disiplin
ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste dalam Suyatno, korupsi
didefinisikan 4 jenis yaitu:15
a. Discretionary Corruption
Adalah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan
kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang
diterima oleh para anggota organisasi.
b. Ilegal corruption
Adalah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-
maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
c. Mercenary Corruption
Adalah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan
pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
d. Ideological Corruption
Adalah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar
tujuan kelompok. Ketentuan mengenai hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi
dua kelompok, yaitu hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus. Hukum Pidana
umum merupakan ketentuan hukum yang terdapat atau dikodifikasikan di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sedangkan Hukum Pidana Khusus merupakan
ketentuan hukum pidana yang berada di luar ketentuan dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau berada di luar kodifikasi. Sehingga setiap delik yang tidak berada
di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tidak digunakan apabila ada
ketentuan yang lebih khusus yang mengatur suatu perbuatan sehingga dapat dikenakan
delik pidana.

Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya sudah
ada sejak lama, yaitu sejakberlakunya dalam KitabUndang-Undang Hukum Pidana (Wetboek
van Strafrehct) 1 Januari 1918, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht) sebagai suatu dengan asas konkordansi dan diundangkan dalam Staatblad 1915
Nomor 752 tanggal 15 Oktober 1915.
Peraturan yang digunakan saat ini berkenaan dengan korupsi diatur dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001tentang perubahan atasUndang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sehingga dengan adanya peraturan tersebut akan lebih memudahkan para aparat
penegak hukum untuk melakukan pemberantasan bagi para pelaku yang melakukan kejahatan
Tindak Pidana Korupsi dan kerugian negara pun dapat diminimalisir dan menekan hilangnya
sejumlah uang negara yang disalahgunakan oleh para oknum pejabat negara.
2. Tindak Pidana Korupsi Dalam Aturan KUHP
15
Ermansjah Djaja, 2010, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Tujuh Tipe Tindak Pidana
Korupsi Berdasarkan UU RI No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 20.

7
Apabila di tinjau sejarah perundang-undangan pidana korupsi, bagaimanapun juga
perlu kita menengok jauh ke belakang yaitu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pudana
(Wetboek van Strafrecht) yang berlaku sejak 1 Januari 1918.16
Selain dari hukum pidana kita telah dikodifikasi maka bagian hukum ini juga telah
diunifikasi, yaitu berlaku bagi semua golongan rakyat, sehingga tidak ada dualisme lagi
seperti dalam hukum perdata, di mana bagi golongan rakyat Bumiputera berlaku hukum yang
lain daripada yang berlaku bagi golongan Eropa.17
Meskipun telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia, antara lain dengan
menyisipkan pasal-pasal tertentu yang dipandang sesuai dan memenuhi kebutuhan hukum
masyarakat Indonesia sendiri, unifikasi ini ditentang oleh banyak sarjana hukum Belanda
sendiri.
Pernyataan bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang ini telah dikodifikasi dan
diunifikasi, sesengguhnya adalah kurang tepat, sebab belum begitu lama berselang; untuk
beberapa daerah di luar Jawa dahulu masih ada pengadilan-pengadilan adat dan pengadilan
swapraja yang untuk mereka yang yustisiabel kepada pengadilan tersebut antara lain juga
masih berlaku hukum adat.
Dalam hal yang menentang kodifikasi umumnya dari kalangan sarjana hukum adat
seperti Ter Haar yang menghendaki agar kepada orang bukan Eropa (orang Indonesia)
diberikan suatu (kodifikasi tersendiri).
Maka, tidaklah ada adat-kebiasaan atau gewoonterecht dalam rangkaian hukum pidana.
Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi tampaknya di desa-desa daerah pedalaman di
Indonesia masih terdapat beberapa peraturan kepidanaan yang berdasar atas adat-kebiasaan
dan secara konkret mungkin sekali berpengaruh dalam menafsirkan pasal- pasal dari KUHP.18
Di beberapa daerah masih ada apa yang dinamakan peradilan adat (inheemsche
rechstpraak) yang dijalankan oleh penguasa-penguasa di daerah yang masih melakukan
“hukum pidana adat” ini. Pengadilan adat ini mempunyai macam-macam nama, misalnya di
Palembang rapat, di Bali rad-kerta, di Lombok rad-sasak, dan di Gorontalo Majelis.
Pendapat Andi Hamzah, memaparkan penafsiran sosiologis terhadap KUHP (W.v.S)
dari dahulu sampai kini bahkan juga terhadap delik korupsi untuk menunjukkan bahwa
terbuka jalan lapang untuk menerapkan hukum pidana yang sesuai dan selaras dengan tata
hidup masyarakat Indonesia walaupun KUHP yang kita miliki sekarang sudah tua dan sering
diberi merek kolonial itu.
Hal ini berlaku pula terhadap delik korupsi, baik yang berasal dari KUHP, maupun dari
perumusan sendiri yang kurang jelas redaksinya. Berbagai macam peraturan telah dibuat
dalam upaya penangulangan pidana korupsi terutama sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971 terutama rumusan yang terdapat di dalam KUHP yang mengatur
16
Romli Atmasasmita, 2013, Buku 1 Kapita Selekta Kejahatan Bisnis Dan Hukum Pidana, PT. Fikahati
Aneska, Jakarta, hlm. 66.

17
Romli Atmasasmita, Ibid., hlm. 66.

18
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2014,
hlm. 5.

8
berbagai macam perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana
korupsi.
Penanggulangan perbuatan korupsi yang menyangkut orang yang mempunyai
kekuasaan kenegaraan dalam tatahukum Hindia Belanda sudah ada, ialah dalam Wetboek van
Strafrecht disamping adanya peraturan-peraturan dalam bidang administrasi/ keuangan.19
Perincian delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah disebut dalam Bab I
pendahuluan. Semua merupakan kejahatan biasa, artinya bukan kejahatan ringan atau
pelanggaran sebagaimana dikenal dalam hukum pidana kita. Begitu pula dalam Code Penal,
delik jabatan seperti yang termasuk ke dalam buku tentang kejahatan biasa dan kejahatan
ringan dipisahkan dalam buku yang berlainan menurut sistematika Code Penal tersebut.
Dalam Wetboek van Strafrecht terdapat ketentuan-ketentusn yang mengancam dengan
pidana orang-orang yang melakukan delik jabatan (Bab XXVIII), pada khususnya delik-delik
yang dilakukan oleh pejabat (ambtenaar) yang bersangkut-paut dengan korupsi, ialah:20
a. Penggelapan (Pasal 415 KUHP)
Pasal 415 merupakan peraturan khusus terhadap peraturan umum pasal 372 KHUP.
Kejahatan yang diancam dengan ketentuan pasal 415 termasuk kejahatan jabatan, yakni
penggelapan yang dilakukan oleh pegawai negeri yang dalam menjalankan pekerjaan/
jabatan.
b. Pemalsuan (Pasal 416 KUHP)
Pasal 416 KUHP merupakan peraturan khusus terhadap peraturan umum Pasal 263
KUHP. Kejahatan yang diancam dengan ketentuan Pasal 416 termasuk kejahatan
jabatan, yakni pemalsuan yang dilakukan oleh pegawai negeri yang dalam menjalankan
pekerjaan/jabatan
c. Menerima Suap (Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420 KUHP)
Pasal 418, 419 dan 420 KUHP memuat ketentuan-ketentuan penyogokan pasif, yakni
membiarkan dirinya disogok; dan merupakan kejagatan jabatan. Pasal 418, 419
ditujukan kepada pegawai negeri pada umumnya, sedangkan pasal 429 ditujukan
kepada hakim, penasehat dengan pemberatan ketentuan pidananya.
d. Menguntungkan Diri Sendiri Secara Tidak Sah (Pasal 423, Pasal 425, Pasal 435
KUHP)

Pasal 423 KUHP ditujukan kepada pejabat yang dengan maksud menguntungkan
dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan
kekuasaannya. Ketentuan pasal 425 disebut pemerasan yang dilakukan oleh pejabat dalam
menjalankan jabatannya. Sedangkan pasal 435 ditujukan kepada pejabat yang sengaja turut
serta dalam pemborongan, penyerahan dan persewaan.
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) selama beberapa tahun berlaku sebagai ketentuan yang mengatur tentang tingkah
laku pejabat dalam menjalankan kewenangannya. Sebelum akhirnya digantikan dengan
19
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm. 116.

20
Sudarto, Ibid.,, 2007, hlm. 116

9
berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang kemudian aturan mengenai tindak pidana korupsi tersebut diperkuat dengan
berlakunya Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Di Luar KUHP
Apabila kita melihat sejarah perkembangan hukum di Indonesia khususnya yang
berkenan dengan peraturan tentang tindak pidana korupsi, akan banyak dijumpai berbagai
macam peraturan yang berada di luar KUHP yang dirumuskan. Kemudian setelah itu aturan
tersebut kembali dirubah dengan peraturan yang baru. Namun disini yang akan dibahas
adalah aturan perundang-undangan yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang yaitu,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seperti
diketahui sejak lahirnya Orde Baru pada tahun 1966, suara- suara yang menghendaki
pemberantasan korupsi lebih diperhebat, semakin hari bertambah nyaring, baik dalam bentuk
berita maupun karangan di surat kabar majalah, dalam pertemuan, diskusi dan sebagainya
yang bertemakan pemberantasan korupsi.
Akhirnya pada tanggal 13 Agustus 1970 Presiden menyampaikan kepada Dewan
Perwakilan “Rakyat Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi” untuk dibicarakan dengan prioritas utama. Setelah diperdebatka di parlemen,
rencana undang- undang tersebut kemudian pada tanggal 29 Maret 1971 disahkan menjadi
undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Disini dapat dilihat 2 unsur, ialah peraturannya sendiri dan pelaksanaannya. Undang-
undang Nomor 3 tahun 1971 adalah hasil dari perkembangan peraturan tentang
pemberaantasan korupsi sejak 1957 dan dibuat tidak dalam masa darurat. Keluarnya Undang-
undang ini juga dipercepat dengan aksi-aksi para pemuda dan pelajar pada tahun 1970 yang
menuntut pemberantasan korupsi yang lebih nyata. Jadi qua peraturan undang-undang
tersebut sudah memadai.
Dengan terbentuknya kabinet Habibie yang Muladi menjadi menteri Kehakiman pada
tahun 1998, dicanangkan untuk mempercepat penciptaan undang-undang. Dalam waktu
singkat, kurang dari dua tahun, pemerintah ini menciptakan undang-undang yang diutamakan
antara lain perubahan atau penggantian Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rupanya anggapan bahwa yang kurang sempurna
sehingga terjadi banyak korupsi ialah undang-undangnya padahal “orangnya” dan
“sistemnya.” Pada tangga 16 Agustus 1999 telah diundangkanlah Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971.
Kemudian perubahan yang terakhir terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
adalah ketika Baharuddin Lopa menjabat sebagai Menteri Kehakiman sekitar bulam maret
2001, dengan menciptakan ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian di dalam
undang- undang tindak pidana korupsi segera terealisasikan. Sehingga berlakulah Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

10
Di dalam setiap Undang-Undang yang bersifat pidana khusus atau di luar KUHP selalu
mengandung unsur-unsur Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil, demikian juga
di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 mengandung pula dalam unsur-unsur hukum pidana materiil, yaitu Bab II dan Bab III,
atau terdapat di dalam 40 (empat puluh) pasal dan ayat.
Dari 40 (empat puluh) pasal dan ayat hukum pidana materiil dikelompokkan ke dalam 7
(tujuh) tipe tindak pidana korupsi yang disebut sebagai 7 (tujuh) Tipologi Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :
a. Tipe Tindak Pidana Korupsi “Murni Merugikan Keuangan Negara.”
Pasal 2; pasal 3; Pasal 7 ayat (1) huruf a; Pasal 7 ayat (1) huruf c; Pasal 7 ayat (2); Pasal
8 Pasal 9; Pasal 10 huruf (a); Pasal 12 huruf (i); Pasal 17. Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
b. Tipe Tindak Pidana Korupsi “Suap”
Pasal 5; Pasal 6; Pasal 11; Pasal 12 huruf a; Pasal 12 huruf b; Pasal 12 huruf c; pasal 12
huruf d; Pasal 12 A; Pasal 17. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001.
c. Tipe Tindak Pidana Korupsi “Pemerasan”
Pasal 12 huruf e; pasal 12 huruf f; Pasal 12 huruf g; Pasal 12 A; Pasal 17. Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
d. Tipe Tindak Pidana “Penyerobotan”
Pasal 12 huruf I; dan Pasal 17. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
e. Tipe Tindak Pidana Korpsi “Gratifikasi”
Pasal 12 B; juncto 12 C; Pasal 13; dan Pasal 17. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001.
f. Tipe Tindak Pidana Korupsi “Percobaan, Pembantuan Dan Permufakatan”
Pasal 7 ayat (1) huruf b; Pasal 7 ayat (1) huruf d; Pasal 8; Pasal 10 huruf b; Pasal 10
huruf c; Pasal 15; Pasal 16; dan Pasal 17. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
g. Tipe tindak pidana korupsi “Lainnya”
Pasal 21; Pasal 22; Pasal 23; Pasal 24. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
4. Pengertian Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 ini memberi arti yang lebih luas lagi dengan
mengatakan bahwa pegawai negeri yang dimaksud dalam undang-undang ini, meliputi juga
orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang
menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
Dalam Pasal 92 KUHP sudah memperluas pengertian pegawai negeri. Kemudian, Pasal
2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menambah luas lagi pengertian pegawai negeri
menurut Pasal 1 butir 2 meliputi :
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud Undang-Undang Kepegawaian.

11
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud KUHP.
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan
keuangan negara atau daerah.
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal
atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Ketidakkonsistenan dalam UU PTPK 2001, yang menambah lagi pengertian orang yang
menerima suap, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara, yang dalam pengertian
pegawai negeri diperluas pasti termasik penyelenggara negara seperti DPR, DPA, BPK,
Presiden, Wakil Presiden,, dan Menteri karena mereka termasuk dalam rumusan Pasal 1 butir
2 khususnya huruf c, yaitu “orang yang menerima gaji atau uppah dari keuangan negara atau
daerah.
5. Korporasi Sebagai Subjek
Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana
mengalami perkembangan secara bertahap. Pada umumnya secara garis besar dapat
dibedakan dalam tiga tahap, yaitu :
a. Tahap Pertama, tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan
korporasi dibatasi pada perorangan. Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam
lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh pengurus
korporasi tersebut.
b. Tahap Kedua, ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah perang dunia pertama
dalam perumusan undang- undang bahwa suatu tindak pidana, dapat dilakukan oleh
perserikatan atau badan usaha (korporasi). Tanggung jawab untuk itu juga menjadi
beban dari pengurus badan hukum tersebut.
c. Tahap Ketiga, merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari
korporasi yang dimulai pada waktu dan setelah Perang Dunia II. Dalam tahap ini
dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya
menurut hukum pidana. Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-delik ekonomi
dan fisika keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat
dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana
dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa hanya dengan
memidana pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan
mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi untuk menaati peraturan
bersangkutan.

6. Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi


Perbuatan Melawan Hukum adalah perbuatan yang tidak didasarkan atas hak atau wewenang
pada pelakunya, tidak ada dasar hukum yang memberikan wewenang pada pelaku untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu, oleh sebab itu seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi
yang terkait dengan penggunaan kekuasaan selalu didakwakan dengan dakwaan subside yaitu primer
melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

12
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Subsider melanggar Pasal 3 tentang
Penyalahgunaan Wewenang pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tetang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Selengkapnya Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berbunyi sebagai berikut:
“Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) taun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Penjelasan Pasal 2 ayat 1 berbunyi sebagai berikut:


“yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencangkup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat”
sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak
pidana korupsi merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat”.
7. Akibat Hukum Dari Penyalahgunaan Wewenang
Kerugian negara bukanlah kerugian dalam pengertian didunia perusahaan/perniagaan,
melainkan suatu kerugian yang terjadi karena sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum).
Kerugian keuangan negara dapat terjadi pada 2 tahap, yaitu pada tahap Dana akan masuk
pasa Kas Negara dan pada tahap dana keluar dari Kas Negara. Pada tahap dana yang akan
masuk ke kas negara kerugian bisa terjadi melalui : Konspirasi Pajak, konspirasi denda,
konspiran pengembalian keuangan negara dan Penyelundupan, sedangkan pada tahap dana
akan keluar dari kas negara kerugian terjadi akibat : Mark Up, Korupsi, pelaksanaan kegiatan
yang tidak sesuai dengan program dan lain-lain. Yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan
yang dapat merugikan perekonomian Negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang kewenangannya.
Ada beberapa cara terjadinya kerugian keuangan negara menurut Yunus Husein, yaitu
kerugian negara yang terkait dengan berbagai transaksi : transaksi barang dan jasa, transaksi
yang terkait dengan utang piutang, dan transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan.
Tiga kemungkinan terjadinya kerugian negara tersebut menimbulkan beberapa kemungkinan
peristiwa yang dapat merugikan keuangan negara :
1. Terdapat pengadaan barag-barang dengan harga yang tidak wajar jarena jauh di atas
harga pasar, sehingga dapat merugikan keuangan negara sebesar selisih harga
pembelian dengan harga pasar atau harga yang sewajarnya;
2. Harga pengadaan barang dan jasa wajar. Wajar tetapi tidak sesuai dengan
spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalau harga barang dan jasa murah,
tetapi kualitas barang dan jasa kurang baik, maka dapat dikatakan juga
merugikan keuangan negara;

13
3. Terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak wajar, sehingga dapat
dikatakan merugikan keuangan negara karena kewajiban untuk membayar hutang
semakin besar;
4. Piutang negara yang berkurang secara tidak wajar dapat juga dikatakan merugikan
keuangan negara;
5. Kerugian negara dapat terjadi kalau aset negara berkurang karena dijual dengan
harga yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta
atau perorangan (ruilslag);
6. Untuk merugikan negara adalah dengan memperbesar biaya instansi atau
perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik karena pemborosan maupun dengan cara lain,
seperti membuat biaya fiktif. Dengan biaya yang diperbesar, keuntungan perusahaan
yang menjadi objek pajak semakin kecil; dan
7. Hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penjualan sebenarnya,
sehingga mengurangi penerimaan resmi perusahaan tersebut.

Sifat melawan hukum bersandar pada sistem yang terbuka dan mempunya fungsi
otonom untuk menilai apakah perbuatan yang dilarang itu bertentangan dengan norma
ataukah dalam keadaan tertentu dianggap patut. Menurut Ernst Ludwig Von Beling, 21 sifat
melawan hukum didasarkan kepada sistem hukum yang lebih tinggi dari undang-undang,
yaitu norma. Selanjutnya Beling juga menagatakan, bahwa norma mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi daripada undang-undang, sehingga norma yang pada akhirnya menentukan
apakah perbuatan itu sesuai atau tidak sesuai dengan kepatutan.
Serupa dengan Beling, Immanuel Kant membedakan antara hukum dan undang-
undang. Hukum (recht), menurut Immanuel Kant, merujuk kepada hak (right) yang
menggambarkan konsep transendental dari hukum dan memberikan kebebasan yang sama
untuk menentukan pilihan yang berbeda dalam masyarakat dalam rangka harmonisasi sosial.
Dalam hal Tindak Pidana Korupsi, sifat melawan hukum materiil ditemukan dalam Undang-
Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang no. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.22 Meskipun pengaturan sifat
melawan hukum materiil dalam fungsi positif tidak berlangsung lama setelah putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa pengaturan sifat
melawan hukum materiil dalam fungsi positif tidak mengikat dalam kasus-kasus korupsi
berdasarkan Pasal 2 UU PTPK.

21
Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana, 2016,
Prenada Media Group, Jakarta, hlm 40.

22
Di dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan
bahwa”yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

14
Penggunaan sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif mengundang
perdebatan dalam diskursus hukum pidana karena dinilai bertentangan dengan asas legalitas
yang berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan. Komariah Emong Sopardja
mengungkapkan secara panjang lebar bahwa sifat melawan hukum dalam fungsi positif
menciptakan gejala yang tidak sehat karena mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan dan kepastian hukum. Pada akhirnya akan menciptakan kesewenang-wenangan.
Lebih jauh ia menyatakan bahwa:
Ajaran sifat melawan hukum materiil memberikan kebebasan kepada hakim pidana
untuk menggali nilai-nilai hukum yang tidak tertulis dalam masyarakat. Akan tetapi,
tidak berarti bahwa nilai- nilai hukum tidak tertulis ini dapat menjadi dasar
penuntutan.23

Oleh pemerintah derah dan waktu penyerahan kepada lembaga perwakilan. Bahwa
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU- III/2006 tertanggal 25 Juli 2006,
Mahkamah Konstitusi menolak untuk mengabulkan penghapusan kata “dapat” dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, dengan alasan pokok bahwa tindak pidana korupsi adalah
tindak pidana formil, buka tindak pidana materil, sehingga unsur merugikan keuangan
negara bukanlah unsur esensial. Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam
putusan tersebut, ada atau tidak adanya tindak pidana korupsi tidak tergantung pada ada atau
tidaknya kerugian negara, tetapi cukup dibuktikan bahwa telah ada perbuatan melawan
hukum, sehingga ada atau tidak ada kata “dapat” tidak penting lagi.
8. Penerapan Hukum Materil Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Penyalahgunaan
Wewenang
Membahas mengenai penerapan hukum pidana materiil terhadap tindak pidana korupsi
pada kasus yang penulis teliti, maka penerapan hukum pidana materiil penulis temukan pada
data dalam putusan ini yaitu dakwaan, tuntutan penuntut umum, dan amar putusan.
Sebelum membahas mengenai penerapan hukum, penulis menguraikan posisi kasus
tersebut sebagai berikut :
1. Tindak Pidana Korupsi Pada Tingkat Pertama Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
memeriksa dan mengadili perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi pada tingkat pertama
dengan acara pemeriksaan biasa, telah menjatuhkan putusan terhadap Terdakwa :
Nama Lengkap : Hj. DELLY INDIRAYATI, Mmsi Binti KASIYAMUN (Alm),
Tempat Lahir : Medan, Umur/Tanggal Lahir : 59 Tahun/15 Februari 1958, Jenis
Kelamin : Perempuan, Kebangsaan : Indonesia, Tempat Tinggal : Jl Raya Bogor Km.20
No.117 RT.09 RW.010 Kel. Kramat Jati Kota Jakarta Timur, Agama : Islam, Pekerjaan :
Pensiunan PNS Pemerintah DKI Jakarta/Mantan Kasudin Dikdas Jakarta Barat,
Pendidikan Terakhir : S-2 MPS Universitas Indonesia.
2. Terdakwa Dilakukan Penahanan Kota

23
Komarian Emong Sapardja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana
Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangan dalam Yurisprudensi, Bandung, Penerbit
Alumni, 2002 hlm 211.

15
a. Penahanan oleh Penuntut Umum, sejak tanggal 21 Maret 2017 sampai dengan
tanggal 9 April 2017.
b. Penahanan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat sejak tanggal 5 April 2017 sampai dengan tanggal 4 Mei 2017.
c. Diperpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat sejak tanggal 5 Mei 2017 sampai dengan 3 Juli 2017.
d. Perpanjangan Penahanan Pertama oleh Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam
Tahanan Kota sejak tanggal 4 Juli 2017 sampai dengan tanggal 2 Agustus 2017.
e. Perpanjangan Penahanan Kedua oleh Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam
Tahanan Kota sejak tanggal 3 Agustus 2017 sampai dengan 1 September 2017.
f. Terdakwa didampingi oleh Tim Penasehat Hukum: Wesly Sitohang SH dan Bintang
K. Napitupulu SH adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada Law Office Wesly
Sitohang SH & Partners beralamat di Jal. Duren Sawit Raya No. 28 Ruko Lt. 2 No. 3
Duren Sawit Jakarta Timur, guna bertindak baik secara bersama-sama maupun
sendiri-sendiri berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 April 2017.

Proses pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut,
dengan surat penetapan sebagai berikut :
a. Surat Penetapan Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor 56/Pid.Sus/TPK/2017/PN. JKT.PST tanggal 5 April 2017
tentang Penetapan Majelis Hakim.
b. Surat Penetapan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 56/Pid.Sus/TPK/2017/PN.JKT.PST tanggal
10 April 2017 tentang hari Sidang.
c. Surat-surat lain dalam berkas perkara.

Setelah mendengar pembacaan surat dakwaann, setelah mendengar keterangan saksi-


saksi, pendapat ahli dan keterangan dari Terdakwa serta memeriksa alat-alat bukti surat
dan barang bukti dalam perkara ini.
Telah mendengar pembacaan Surat Tuntutan Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Jakarta Barat yang dibacakan dipersidangan tanggal 26 Juli 2017 yang pada pokoknya
menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara atas nama Terdakwa
memutuskan, yaitu :
a. Menyatakan Terdakwa Hj. Delly Indirayatnti, M.Si., tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan
Primair Jaksa Penuntut Umum.
b. Membebaskan Terdakwa Hj. Delly Indirayatnti, M.Si., dari Dakwaan Primair
tersebut.
c. Menyatakan Terdakwa Hj. Delly Indirayatnti, M.Si, terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “telah melakukan atau turut serta
melakukan perbuatan, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

16
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1
KUHP.
d. Menjatuhkan Pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi
selama terdakwa menjalani tahanan kota dengan perintah supaya terdakwa ditahan di
Rutan.
e. Denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidiair 6 (enam) bulan
kurungan.
f. Barang Bukti No. 1 s/d No. 55 dipergunakan dalam perkara lain (Rudy Siahaan,
DKK).
g. Membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000.- (sepuluh ribu rupiah).

3. Pembelaan Oleh Tim Penasehat Hukum Terdakwa


a. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dalam
Dakwaan Primair Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31
tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dari Jaksa Penuntut Umum.
b. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana
Dakwaan Subsidair Pasal 3 Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP dari Jaksa Penuntut Umum. dari Jaksa Penuntut Umum.
c. Membebaskan Terdakwa dari Dakwaan Primair Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dari Jaksa Penuntut Umum
dan Subsidair Pasal 3 Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP.
d. MembebaskanTerdakwa dari Tahanan Kota.
e. Memulihkan harkat dan martabat dari Terdakwa Hj. Delly Indirayatnti, M.Si.
f. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

4. Kerugian Negara Dari Akibat Perbuatan Korupsi Terdakwa Hj. Delly


Indirayanti, M.Si.

17
Akibat perbuatan yang Terdakwa Hj. Delly Indirayatnti, M.Si., bersama-sama dengan
Rendy Leon Tua Siahaan (Direktur PT. Rebdill Borusia) dan Rudi Siahaan (penuntutan
perkara dilakukan secara terpisah) yang melawan hukum tersebut telah menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu PT. Rebdilla Borusia sebesar Rp.
1.368.702.000,00 (satu milyar tiga ratus enam puluh delapan juta tujuh ratus dua ribu
rupiah) dengan menyalahgunakan kewenangannya, kesempatan atau sarana yang ada
padanya sehingga mengakibatkan kerugian Negara Cq. Suku Dinas Pendidikan Dasar
Kota Administrasi Jakarta Barat sesuai LHAP BPKP Perwakilan Propinsi DKI Jakarta
Nomor. SR-867/PW09/5/2015 Tanggal 22 Desember 2015 dalam Pelaksanaan Pengadaan
Mesin Multi Full Colour untuk sekolah pada Suku Dinas Pendidikan Dasar Kota
Administrasi Jakarta Barat Tahun Anggaran 2013.
5. Amar Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
a. Menyatakan Terdakwa Hj. Delly Indirayanti, M.Si. binti Kasiyamun (Alm) tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana yang didakwakan dalam Dakwaan Primair.
b. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari Dakwaan Primair tersebut.
c. Menyatakan Terdakwa Hj. Delly Indirayatnti, M.Si. binti Kasiyamun (Alm) telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi
secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan Subsidair.
d. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terdakwa dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana
kurungan selama 1 (satu) bulan.
e. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
f. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan dalam Tahanan Kota.
g. Menetapkan barang bukti sebagaimana nomor urut 1-55 barang bukti.
h. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000
(sepuluh ribu rupiah).
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari: AMIS, tanggal 3 Agustus 2017
oleh kami: Casmaya, SH, MH., sebagai Hakim Ketua, Dian Siti, SH., M.Hum., dan
Sofialdi, SH, MH., Hakim Adhoc masing-masing sebagai Hakim Anggota, Putusan mana
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk Umum pada hari SENIN, tanggal 7 Agustus
2017 oleh Hakim Ketua tersebut dengan didampingi para Hakim Anggota tersebut, dengan
dibantu oleh Marthin Turip, SH.,MH sebagai Panitera Pengganti Pengadilan TIPIKOR
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan dihadiri oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Jakarta Barat dan Terdakwa dengan didampingi Tim Penasihat Hukumnya.

V. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian ini dan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis
diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

18
1. Dalam penerapan hukum pidana materiil terhadap tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Terdakwa Hj. Delly Indirayati, M.Si., seorang dalam putusan Nomor
56/Pid.Sus/TPK/2017/PN.JKT.PST., adalah Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penerapan pasal tersebut telah sesuai karena
unsur-unsur tindak pidana dalam pasal terbukti telah terpenuhi. Begitupula Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP tepat diterapkan pada perkara ini karena terwujudnya delik sebab
adanya kerjasama antar Terdakwa.
2. Pada pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa Hj. Delly Indirayati, M.Si., selaku Mantan
Kasubdin Dikdas Jakarta Barat (Pensiunan PNS) dalam putusan Nomor
56/Pid.Sus/TPK/2017 /PN.JKT.PST., telah sesuai karena dalam pertimbangan hukum
oleh Majelis Hakim, perbuatan terdakwa adalah perbuatan menyalahgunakan
kewenangannya untuk menguntungkan orang lain yang berakibat merugikan keuangan
negara dan tidak terdapat alasan buat pembenar, Terdakwa juga adalah orang yang
menurut hukum mampu bertanggungjawab, dan melakukan perbuatan dengan sengaja
serta tidak ada alasan pemaaf. Maka Majelis Hakim berkeyakinan bahwa terdakwa
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan
secara bersama-sama karena telah memenuhi unsur- unsur dalam pasal 3 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP Sehingga dengan demikian putusan majelis hakim yang berisikan
pemidanaan sudah tepat.
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka penulis membuat saran sebagai berikut :
3. Terhadap para aparat penegak hukum baik itu Jaksa, Pengacara dan Hakim haruslah
menguasai pengetahuan ilmu hukum yang baik dan mumpuni khususnya tentang
hukum pidana korupsi, karena diharapkan pada saat menangani suatu perkara dapat
menerapkan ketentuan hukum pidana yang sesuai, sehingga para pelaku tindak pidana
korupsi akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya dengan
didasari penerapan hukum pidana yang tepat dari para penegak hukum, maka rasa
keadilan dapat dirasakan bagi semua kalangan.
4. Untuk kalangan PNS agar tak terjerat kerugian keuangan negara karena perbuatan
korupsi, maka dalam menjalankan kegiatan pekerjaan sebagai PNS sudah harus selalu
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Peraturan
Internal PNS juga harus senantiasa transaparan, akuntabel, dan berpegang teguh pada
prinsip-prinsip etika PNS yang baik dan menghindari konflik kepentingan dalam
mengambil keputusan dan melakukan pengelolaan keuangan dan asset negara.

19
20
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008.

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005

Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu
Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Medai, Yogyakarta, 2014.

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracaara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Raih Asa Sukses,
Jakarta, 2011.

Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadilah, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum, Tindak Pidana
Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandunng, 2008

Abdul Gofar, Dan Bin Saleh, Laporan Pengkajian tentang Keabsahan Dalam Proses Pembuktian Tindak
Pidana Korupsi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 2003.

Ramelan, Penerapan Korupsi dan Pengertian Turut Serta Melakulan (Medeplegen) dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi, Usulan Penelitian untuk Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 2002.

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Jhony Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006.

Ermansjah Djaja, 2010, Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Tujuh Tipe Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan UU RI No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001, CV. Mandar Maju, Bandung.

Romli Atmasasmita, Buku 1 Kapita Selekta Kejahatan Bisnis Dan Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska,
Jakarta : 2013.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2014.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 2007.

Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana, 2016, Prenada
Media Group, Jakarta.

Komarian Emong Sapardja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi
Kasus tentang Penerapan dan Perkembangan dalam Yurisprudensi, Bandung, Penerbit Alumni, 2002.

21

Anda mungkin juga menyukai