Anda di halaman 1dari 9

KORUPSI- DIPANDANG DARI ETIKA KRISTEN

Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari
perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama
dan rumpere yang berarti pecah dan jebol. Menurut Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena
adanya suatu pemberian. Sementara Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi sebagai
kekuasaan tanpa aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian kekuasaan
untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan kekuasaan
tersebut.

Korupsi ialah tindakan mengumpulkan atau mengggelapkan kekayaan negara untuk


kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi dipandang sebagai sebuah patologi sosial sebab
korupsi pada saat yang sama merampas hak hidup orang lain. Para koruptor adalah mereka
yang menciderai kesejahteraan warga negara lainnya sebab mereka bertindak berdasarkan
dorongan untuk menumpuk kekayaan pribadi dan mengabaikan kesejahteraan bersama. Inilah
bahaya laten yang bisa mengancam societas bangsa Indonesia. Para founding father bangsa
Indonesia telah lama menyadari bahaya laten korupsi ini. Melalui pasal 33 UUD 1945 mereka
dengan tegas menempatkan kesejahteraan seluruh bangsa di atas kepentingan pribadi atau
golongan. Karena itu monopoli dan aneka praktik lainnya yang hanya berorientasi pada
kepentingan pribadi dilarang sebab mengakibatkan kesejahteraan semua warga negara
diabaikan. Pada hakekatnya makna yang tersirat dari bunyi pasal tersebut tidak memberikan
secelah kesempatan pun bagi warga negara untuk melakukan praktik korupsi. Dengan
demikian korupsi bukanlah mentalitas yang diwariskan oleh para pendahulu bangsa ini.
Korupsi yang menggurita lebih karena kurangnya budaya malu dari setiap orang untuk
melakukan praktik korupsi. Budaya malu untuk korupsi menjadi penting sebab budaya malu
hendak menjelaskan sebuah persoalan penting yang menyentuh ranah etis. Malu untuk
korupsi mencerminkan kedalaman moralitas seseorang. Memasyarakatkan budaya malu
untuk korupsi boleh dikatakan sebagai sebuah langkah awal yang mesti dimiliki oleh setiap
pribadi agar gurita korupsi tidak menjalar semakin luas serta cengkramannya tidak semakin
dalam. Korupsi yang mencederai kehidupan bersama sungguh sangat mengancam persatuan
bangsa yang semestinya dijaga dan dipertahankan.
Korupsi mudah memecah belah kesatuan bangsa sebab korupsi bisa membuat kesejahteraan
bersama suatu bangsa tergadaikan. Penempatan semangat komunitarian ini mengadung
makna yang mendalam bagi setiap orang khususnya bagi para aparatur negara yang rentan
dengan penyalahgunaan jabatannya. Di sana terbersit sebuah panggilan untuk bertindak dan
bertanggung jawab terhadap keutuhan bangsa. Maka setiap tindakan korupsi (yang selalu
bertendensi egosentris) merupakan tindakan yang melukai prinsip kemanusiaan dan
mengancam kesatuan bangsa. Dengan kata lain korupsi merampas kehidupan karena gagal
melihat orang lain sebagai sesama. Prinsip altrusitis ini membawa kita pada realitas bangsa
Indonesia yang sebagian besar warga negaranya berada di bawah garis kemiskinan. Wajah-
wajah lusuh para gembel, anak jalanan, dll sejatinya mengugah setiap pribadi untuk bertindak
secara manusiawi. Inilah panggilan paling luhur yang dimiliki oleh manusia. Penampakan
wajah sesama yang menampilkan penderitaan mengajak kita untuk bertindak dan berbagi.
Melalui Emanuel Levinas (Bertens, 2006: 318-328) kita diajak untuk menyelami dan
menceburkan diri dalam keluhuran manusia yang direpresentasikan dengan penampakan
wajahnya. Dengan demikian mengisap sesama dan membiarkannya menderita merupakan hal
yang berseberangan dengan gagasan Levinas. Gagasan Levinasian ini mestinya menjadi
sebuah bahan pertimbangan bagi para aparatur negara untuk tidak melakukan korupsi. Bahwa
dengan korupsi mereka justru menjadi musuh bagi panggilan sejati ini. Persoalannya ialah
para koruptor tak membelalakkan mata untuk melihat realitas. Kepekaan mereka tak terusik
melihat realitas kemiskinan bangsa ini sebab mereka hanya memikirkan diri sendiri. Bahkan
tragisnya mereka mengumbar janji tanpa realisasi. Kesadaran akan realitas tersebut
semestinya menjadi pelecut yang menggugah mereka untuk lebih berorientasi pada
kesejahteraan semua orang.

Korupsi di Indonesia benar-benar sangat sistemik, bahkan korupsi yang terjadi sudah berubah
menjadi vampir state karena hampir semua infra dan supra struktur politik dan sistem
ketatanegaraan sudah terkena penyakit korupsi. Agenda pemberantasan korupsi sampai detik
ini hanyalah dijadikan komoditas politik bagi elit politik, lebih banyak pada penghancuran
karakter (character assasination) bagi elit yang terindikasikan korupsi dibanding pada proses
hukum yang fair dan adil. Law enforcement bagi koruptor juga menjadi angin lalu, padahal
tindakan korupsi yang dilakukan koruptor sangatlah merugikan rakyat Masduki (2002) dalam
Klitgaard, dkk (2002).

Fenomena korupsi tersebut diatas menurut Baswir (1996) pada dasarnya berakar pada
bertahannya jenis birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya
korupsi oleh para birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan
dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh
integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga cenderung masih mentabukan
sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara
hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah
budaya korupsi itu.

Menurut Susanto (2001) korupsi pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan,
pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk
kepentingan pribadi. Sementara tipe korupsi menurut de Asis (2000) adalah korupsi politik,
misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-
pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen
melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang). Tipe korupsi yang terakhir
yaitu clientelism (pola hubungan langganan).

Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum
pelaku tindak korupsi baik dari kalangan pemerintah maupun swasta, yaitu:

1. Pola konvensional

2. Pola upeti

3. Pola komisi

4. Pola menjegal order

5. Pola perusahaan rekanan

6. Pola kuitansi fiktif dan

7. Pola penyalahgunaan wewenang.

Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam tiga
wilayah besar yaitu:

1. Mercenery abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang
mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara
sogok-menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan
dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan
dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.

2. Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan
tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan
Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan
kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis).

3. Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan
kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok
pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana
kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut
politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan
praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi.

Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan


penyimpangan

2. Belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat
peraturan dan perundang-perundangan yang tegas.

Faktor lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak lanjut dari setiap penemuan pelanggaran
yang masih lemah dan belum menunjukkan “greget” oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan
banyaknya penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad dalam
pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari semua unsur
tidak kelihatan. Disamping itu kurang memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi
pemerintah kepada masyarakat yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar
pelengkap laporan kepada atasan.

Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah:

1. Aspek prilaku individu organisasi

2. Aspek organisasi

3. Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.


Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah:

1. Motif, baik motif ekonomi maupun motif politik

2. Peluang, dan

3. Lemahnya pengawasan.

Sungguh memprihatinkan, negara Indonesia mempunyai masyarakat yang religius tetapi


korupsi merajalela dalam kehidupan kita. Di gereja setiap ada ibadah penuh, begitu juga
dengan masjid, tetapi korupsi jalan terus seperti tak ada yang bisa menghentikannya. Hal ini
terjadi karena ajaran agama salah dihayati. Korupsi adalah penyakit yang ditimbulkan oleh
pemisahan ajaran agama dari perilaku keseharian manusia (sekulerisasi). Memang, korupsi
bisa saja dilakukan semua orang baik yang beragama maupun yang tidak beragama, tetapi
ajaran-ajaran agama dengan jelas mengajarkan moralitas yang baik, dengan jelas pula
mengharamkan praktek-praktek korupsi, mencuri dan sejenisnya.

Korupsi adalah merupakan masalah yang kompleks. Ia berakar dan bercabang di


seluruh masyarakat. Entah di organisasi yang berorientasi keagamaan maupun sekuler. Dalam
arti luas, korupsi mencakup praktek penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh. Bentuk
korupsi yang paling umum adalah “nilep dana”. Mencuri (menilep) uang kas, mark-up dana
proyek dan sebagainya. Hal tersebut sudah biasa dilakukan di negara kita ini. Di mata
internasional, negara ini tidak bisa mengelak bahwa Indonesia termasuk the big three dalam
kasus korupsi. Tidak ada bidang kehidupan di negara ini yang belum tercemar virus korupsi
jenis ini, baik yang kecil maupun yang besar.

Belum lagi model korupsi yang sifatnya “suap” atau “sogok” yaitu memberi sesuatu
kepada pejabat atau bahkan pegawai negeri sipil biasa, agar ia melakukan sesuatu yang
sebenarnya wajib dilakukannya secara cuma-cuma. Pemberian itu tidak terbatas pada uang,
tetapi bisa berbentuk mobil, tanah, perhiasan, rumah, seks, makanan dan minuman, emas,
batu mulia, saham, dan lain-lain. Padahal, seorang pegawai negeri berkewajiban memberikan
public service kepada masyarakat tanpa pamrih.

Dalam kehidupan bermasyarakat secara umum, korupsi dipandang sebagai tindakan


menyimpang yang berhubungan dengan perbuatan curang yang bertentangan dengan norma-
norma atau prinsip-prinsip etika kehidupan yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu
dibuat peraturan-peraturan yang mengatur mengenai tindakan korupsi dalam kehidupan
bermasyarakat dalam suatu negara. Lalu bagaimanakah sudut pandang agama berbicara
mengenai korupsi? Jika ditinjau dari sudut pandang secara umum tindakan korupsi sudah
berarti negatif, maka sudut pandang agama pun setali tiga uang dengan sudut pandang umum
karena sudut pandang agama merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan
terbentuknya norma-norma maupun prinsip-prinsip etika dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, ulasan kali ini hanya akan membahas sudut pandang agama Kristiani.

Untuk menanggulangi terjadinya korupsi yang bermacam-macam jenisnya ini diperlukan


strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk menghilangkan sama sekali praktik
korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tetapi setidak-tidaknya ada upaya untuk menekan
terjadinya tindak korupsi. Strategi yang dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisan
masyarakat dan pejabat struktur pemerintahan.

Bagaimana Alkitab memandang korupsi?

Alkitab mencatat ada kasus yang terkenal pada jaman Yesus yang berhubungan dengan suap,
yaitu Yudas Iskariot, ia menerima 30 keping uang perak untuk harga seorang Mesias (baca:
Yesus). Meskipun pada waktu itu istilah suap mungkin belum muncul, tetapi inilah salah satu
model suap. Kemudian Yudas menjual Yesus kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala
pengawal Bait Allah, untuk selanjutnya dibunuh. Sungguh, transaksi ini mirip dengan jual-
beli.
Kami mencatat, ada bagian dari Yudas Iskariot dalam setiap pribadi kita. Mungkin diantara
anda tidak setuju dengan pendapat ini. Tetapi mari kita pelajari karakter Yudas ini yang
dikenal sebagai salah-satu murid Yesus yang memegang uang-kas pelayanan Yesus bersama
murid-muridNya. Alkitab dengan jelas menulis bahwa ia adalah seorang pencuri.
Yohanes 12:6 ….. karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang
disimpan dalam kas yang dipegangnya.

Berapapun besarnya kekuasaan/ wewenang atau seberapa terbatasnya kekuasaan, korupsi


adalah salah satu penyalahgunaan kekuasaan. Yudas diberi wewenang untuk mengelola uang
kas, dan ia menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. Yudas dipanggil Yesus
untuk menjadi muridNya, tetapi kedekatannya dengan Yesus tidak juga membawanya
menjadi baik, karena memang ia sengaja menjauhkan dirinya daripada mengikuti teladan-
teladan yang diajarkan Yesus.
Kita diberi berkat dari Allah secara materi, namun apakah kita lebih mencintai harta daripada
Tuhan sendiri, sehingga kita mungkin punya kecenderungan menjadi pencuri seperti Yudas.
Kasus korupsi lainnya terdapat dalam Kisah Para Rasul 5:1-11 yang menceritakan kisah

Ananias dan Safira. Demikianlah Firman Tuhan “ Ada seorang lain yang bernama Ananias.

Ia beserta istrinya Safira menjual sebidang tanah. Dengan setahu istrinya ia menahan
sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lagi dibawa dan diletakkannya di depan kaki

rasul-rasul. Tetapi Petrus berkata : “Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga

engkau mendustai Roh Kudus dan menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu? Selama
tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya
itu tetap dalam kuasamu? Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu dalam hatimu?

Engkau bukan mendustai manusia tetapi mendustai Allah.” Ketika mendengar perkataan itu
rebahlah Ananias dan putuslah nyawanya. Maka sangatlah ketakutan semua orang yang

mendengar hal itu. Lalu datanglah beberapa orang muda; mereka mengapani mayat itu,

mengusungnya keluar dan pergi menguburnya. Kira- kira tiga jam kemudian masuklah

isteri Ananias, tetapi ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Kata Petrus kepadanya:
“Katakanlah kepadaku, dengan harga sekiankah tanah itu kamu jual?” Jawab perempuan itu:

“Betul sekian.” Kata Petrus: “Mengapa kamu berdua bersepakat untuk mencobai Roh
Tuhan? Lihatlah, orang-orang yang baru mengubur suamimu berdiri di depan pintu dan

mereka akan mengusung engkau juga keluar.” Lalu rebahlah perempuan itu seketika itu
juga di depan kaki Petrus dan putuslah nyawanya. Ketika orang-orang muda itu masuk,
mereka mendapati dia sudah mati, lalu mereka mengusungnya ke luar dan menguburnya di

samping suaminya. Maka sangat ketakutanlah seluruh jemaat dan semua orang yang
mendengar hal itu.

Kisah tersebut dengan jelas menceritakan bahwa Ananias dan Safira berbuat tidak jujur
karena ingin mengambil keuntungan yang bukan haknya dan melebihi porsi yang seharusnya.
Dengan kata lain berbuat kecurangan berupa korupsi. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
perbuatan Ananias dan Safira bukan mendustai manusia tetapi mendustai Allah dan akhirnya
menghasilkan maut bagi Ananias dan Safira seperti yang tertulis dalam Roma 6:23 yaitu
“Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus
Yesus, Tuhan kita.”
Selain itu, dalam Firman Tuhan juga dikatakan bahwa “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya,
jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak, Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat ”
(Matius 5:37). Ayat ini berhubungan dengan dusta dan biasanya korupsi selalu disertai
dengan dusta karena pasti ada hal yang disembunyikan yang disebabkan mengambil sesuatu
atau lebih yang bukan porsi hak kepemilikannya.

Alkitab telah memberi gambaran yang sangat jelas bagaimana seorang Kristen bersikap dan
berprilaku sebagai seorang yang percaya kepada Allah. Nilai-nilai yang paling hakiki bagi
etika kristen adalah kasih dan keadilan. Ketika sikap dan prilaku sesorang didasarkan pada
kasih dan keadilan, dia telah mengaplikasikan etika Kristen dengan baik. Etika ini akan lebih
sempurna ketika orang yang dia perlakukan menerapkan kasih dan keadilan bagi orang lain.
Sehingga pada akhirnya, semua orang mendasarkan hidupnya dan mengharapkan akibat dari
hidupnya pada kasih dan keadilan. Tentu saja ada nilai-nilai penting lainnya yang dicatat oleh
Alkitab, tetapi kedua nilai ini sudah mewakili semua nilai yang ada.

Mengapa korupsi sering dilakukan umat beragama?

Ada permasalahan teologis terletak di sini, yaitu orang-orang secara keseluruhan belum
memahami dan menyadari arti Salib yang sesungguhnya. Pengertian Salib ialah Yesus yang
menderita untuk keselamatan ciptaan-Nya. Orang yang bersedia menderita dengan tidak
mengikut cara duniawi untuk memperoleh kehidupan “layak, mewah, serba wah” itulah
hidup dalam Salib. Salib berarti menderita. Untuk mencapai kepuasan di dunia, kita tidak
mengikuti arus duniawi. Korupsi, jelas merupakan “penanggalan” atas penghayatan kita
tentang Salib sebab kebahagiaan/ kepuasan tidak dapat terpenuhi hanya dari segi materi saja.
Tuhan Yesus sudah memberi teladan bagi kita bagaimana hidup yang berarti bagi orang lain
yaitu melalui jalan salib. Sekarang, kita pun diundang mengikutiNya. Yesus Kristus dalam
pengajaranNya, menyatakan “Berbahagialah orang yang menderita oleh sebab kebenaran,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 5:10). “Janganlah kamu menjadi
hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah
berfirman:”Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan
meninggalkan engkau.” (Ibrani 13:5)

Sumbangan agama Kristen yang paling berharga bagi moral anti-suap adalah
memproyeksikan Tuhan sebagai contoh hakim yang adil. Tuhan tak akan korupsi atau
terpengaruh oleh hadiah atau kedudukan seorang terdakwa. Seorang hakim yang adil dan tak
berpihak, tidak akan memperoleh berkat (baca: materi) dari si pemberi suap di dunia fana,
melainkan dari Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai