Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KORUPSI DAN TANTANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Dosen Pembimbing

DR. Maryati, SPd, SST, MARS, MH

Disusun Oleh
1.Ani barus (210605484)

2. Arimbi fahri diarti (210605487)

3. Chairunnisa (210605489)

4. Diah petty pratiwi (210605490)

5. Anisa wardati (210605485)

6. Ambar Yanti (210605483)

7. Bayumi (210605488)

8. Anita Febrianti purba ( 210605486)

1
PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ABDI NUSANTARA

JAKARTA TAHUN 2022

2
KATA PENGANTAR

Bismillah

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, serta sholawat salam tercurahkan untuk
junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Kami bersyukur karena telah dapat menyelesaikan
makalah dengan judul "KORUPSI DAN TANTANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA"
ini sebagai tugas dari mata kuliah Anti Korupsi.

Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi orang lain dan dapat di
aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari teutama bagi kaum pelajar, Karena sebaik-baik
manusia adalah manusia yang dapat memberikan manfaat kepada sesamanya. Apabila ada
kesalahan dalam tulisan kami, kami mohon maaf karena segala kekurangan dan kesalahan
adalah sebagian dari sifat manusia, dan segala kesempurnaan hanyalah milik Allah 'azza
wajallah. Akhir kata kami ucapkan terimakasih

Jakarta 9 April 2022

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara

sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara

3
untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Salah satu pilar demokrasi adalah

prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif,

yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang

saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain.

Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga

lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip

checks and balances.

korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan peraturan

pemisahan keuangan pribadi dan sebagai pejabat amat penting. Sebab seorang raja

tradisional yang menggunakan penghasilan negara demi kepentingan keluarga tidak

dianggap sebagai koruptor, karena seorang raja atau pejabat pada masa itu dianggap

identik dengan negara. Sedangkan sistem politik demokrasi yang muncul akhir abad

18 di Barat melihat pejabat politik sebagai orang yang diberi wewenang atau

kekuasaan oleh rakyat dan penyalahgunaan wewenang tersebut demi keuntungan

pribadi dianggap korupsi.

B. Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan maka beberapa
masalah yang dapat penulis rumuskan dan akan dibahas dalam laporan ini adalah:
1. Apakah korupsi itu?
2. Apa yang dimaksud dengan korupsi?
3. Bagaimana korupsi bisa dilakukan?
4. Apasaja bentuk tantangan korupsi dalam demokrasi di indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian demokrasi dan korupsi
2. Mengetahui macam-macam tantangan korupsi di indonesia
3. Mengerahui upaya memecahkan korupsi dalam demokrasi di indomeaia
4. Mengetahui bagaimana proses dan perkembangan demokrasi di Indonesia.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengeritian Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi”(dari bahasa latin: corruption
= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan
wewenang dengan terjadnya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya
adapun arti harfia dari korupsi berupa:
a. kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran
b. perbuatan yang buruk seperti pengelapan uang, penerimaan sogok dan
sebagainya
1. korup (busuk; suka menerima uang suap; uang sogok; memakai kekuasaan untuk
kepentingan sendiri dan sebagainya
2. kosupsi (perbuatam busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya)
3. koruptor (orang yang korupsi)1

Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara

kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya.
Di dunia Barat prinsip ini muncul setelah revolusi Perancis. Sejak saat itu
penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi khususnya dalam soal
keuangan dianggap korupsi.

Pengertian bahwa korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi

dan peraturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagai pejabat amat penting. Sebab
seorang raja tradisional yang menggunakan penghasilan negara demi kepentingan
keluarga tidak dianggap sebagai koruptor, karena seorang raja atau pejabat pada
masa itu dianggap identik dengan negara. Sedangkan sistem politik demokrasi yang
muncul akhir abad 18 di Barat melihat pejabat politik sebagai orang yang diberi
wewenang atau kekuasaan oleh rakyat dan penyalahgunaan wewenang tersebut demi
keuntungan pribadi dianggap korupsi.

Sejak saat itu korupsi selalu didefinisikan sebagai tindakan penyalahgunaan

5
kekuasaan demi keuntungan pribadi atau suatu tindakan melawan hukum demi

memperkaya diri. Keberatan yang dapat diajukan terhadap definisi umum ini adalah
bahwa definisi seperti ini lebih menyoroti kepentingan pribadi pejabat politik yang
bersifat material dan tidak membantu kita untuk memahami konsep korupsi politik,
suatu jenis korupsi yang menunjuk pada wilayah peralihan dari korupsi yang

bercorak individual menuju korupsi yang bercorak institusional. Korupsi politik


bertujuan mempengaruhi proses politik bahkan mengubah sistem politik, suatu
kejahatan yang sesuai dengan ungkapan Lord Bolingbroke awal abad 18 yaitu
“governing by corruption.

B. Korupsi dan Tantangan demokrasi di Indonesia


Demokrasi di indonesia telah menghadapi tantangan terberatnya tidak seperti
pada akhir 1990-an, ketika tantangan itu berasal dari kubu milter yang belum
sepenuhnya rela kekuasaan politik di pegang sipil, tantangan yang ada sekarang justru
berasal dari aktor utama demokrasi itu sendiri yakni para politisi sipil, perilaku
korupsi para politisi sungguh mengkhawatiran.kekuasaan mereka untuk ikut
mengurusi anggaran telah di salahgunakan. Wewenang untuk menyetujui anggaran di
manfaatkan untuk mencari rente, mencari keuntungan bagi pribadi atau kelompok,
yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan masyarakat
Pernyataan mantan wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) Busyro
Muqoddas, bahwa aktor utama praktik korupsi adalah para politisi, sebagai tantangan
nyata yang sedang di hadapi demokrasi di indonesia “siapa sesungguhnya aktor
korupsi di indonesia, mereka adalah elite parpol, aik d DPR pusat maupun daerah,”
tentu saja, elite parpol yang korup tidak sendirian dalam melaukan aksinya, mereka
memerlukan keterlibatan elite birokrasi dan elite bisnis agak praktik korupsi berjalan
mulus, politisi pun dipandang identik dengan kasus korupsi. Di mana ada korupsi, di
situ ada politisi yang terlibat situasi tersebut sunggu berbahaya. Kepercayaan terhadap
politisi dan partai politik menjad anjlok, demokrasi yang bersendikan pada parpol,
akhirnya akan ikut-ikutan kehilangan kepercayaan. Orang menjadi lelah berdemokrasi
, kerinduan untuk kembali pada rezim otoritarian pun muncul.
Orang menjadi lupa bahwa pada masa rezim otoritarian sebenarnya korupsi
juga cukup banyak terjadi, tetapi bersifat lebih terpusat dan hampir tidak pernah di
ekspos oleh media massa. Bedil siap menghampiri kantor media yang berani menulis

6
praktik korupsi penguasa, pada masa itu memang tidak ada pers yang bebas,
pelanggaran hak asasi manusia, seperti penyiksaan hingga matinya perempuan aktivis
buruh marsinah, terjad tanpa ada pertanyaan dari parlemen2
Berbagai kajian tentang korupsi beberapa dasa warsa lalu umumnya
memfokuskan diri pada sebab-sebab korupsi, problem pembiayaan partai politik,
konflik kepentingan, serta analisa sistematis tentang beberapa tipologi korupsi dan
jarang sekali menyibukkan diri dengan dampak korupsi pada demokrasi. Padahal
korupsi (politik) merupakan semacam tindakan atau upaya mempengaruhi keputusan
politik dan sebagai itu bisa membahayakan prinsip-prinsip fundamental demokrasi,
yaitu persamaan politik, kedaulatan rakyat/partisipasi, prinsip negara hukum dan
kepercayaan rakyat, legitimasi.
Konsepsi kedaulatan rakyat hanya dapat dipahami atas dasar kesadaran akan

kesamaan harkat kemanusiaan. Prinsip kesamaan politik merupakan unsur yang


paling universal, karena dalam banyak kebudayaan muncul gagasan bahwa semua
anggota sebuah kelompok atau asosiasi sama saja berhak dan mampu untuk
berpartisipasi secara sama dengan rekan-rekannya dalam proses pemerintahan atau
asosiasi itu. Dengan prinsip ini setiap warga negara mempunyai kedudukan yang
sama dan berhak mengambil bagian atau berpartisipasi dalam pemerintahan atau
kekuasaan.
Berbeda dengan pemerintahan yang autoriter di mana kekuasaan politik
dilegitimasikan berdasarkan suatu ideologi, maka kekuasaan dalam sistem demokrasi
dilegitimasikan oleh prinsip kedaulatan rakyat. Hal itu tidak berarti bahwa segala
keputusan harus diambil langsung oleh rakyat melainkan bahwa warga negara tetap
mempunyai hak untuk mengontrol proses politik baik secara langsung melalui
pemilihan para wakil maupun secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity)
pemerintahan. Artinya tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah
langsung berhadapan dengan kontrol masyarakat melalui media massa. Prinsip
publicity pemerintahan ini merupakan tuntutan etis: karena pemerintah bertindak
demi dan atas nama seluruh masyarakat.
Adapun masalah dan tantangan demokrasi di Indonesia antara lain:
1. Masalah Demokrasi Di Indonesia

7
Rizal Sukma menyebutkan bahwa demokrasi telah menjadi identitas nasional
Indonesia dalammempersatukan bangsa, dandemokrasi telah memberikan ruang bagi
kita untuk mengekspresikan diri dalam menjaga kesatuan bangsa.
Dari perspektif Islam, Azyumardi Azra mengatakan bahwa tidaklah mudah
untuk mengembangkan demokrasi di wilayah Muslim, meskipun sekitar 88,7 persen
penduduk Indonesia adalah Muslim,akantetapi Indonesia bukanlah negara Islam.
Pancasila sebagai landasan demokrasi Indonesia, telah memperkuat karakter bangsa
dan memberikan kontribusi yang besar dalam pelaksanaan demokrasi.
Aleksius menyebutkan, bahwa Indonesia memiliki banyak tantangan dalam
demokrasi. Para pemimpin mengelola negara dengan selera pribadi, bukan dengan
konstitusi. Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa negara gagal mengembangkan
budaya taat hukum.
Di tingkat masyarakat, orang Indonesia mudah terprovokasi dengan isu
SARA. Hal ini menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat, sementara elemen
ini adalah salah satu elemen paling penting dalam demokrasi. Pada tingkat
kelembagaan, partai politik dan parlemen tidak lagi menjadi pembela hukum,
melainkan menjadi pelanggar aturan hukum. Selain itu, di tingkat kepemimpinan,
pemimpin nasional tidak peduli tentang beberapa isu besar, seperti pelanggaran HAM,
korupsi, dan radikalisme atas nama agama. Tidak ada pemimpin yang bisa menjadi
teladan bagi orang-orang dalam menjalankan demokrasi. Indonesia memiliki
penegakan hukum yang lemah.
2. Tantangan Demokrasi Di Indonesia
Demokrasi di Indonesia tengah menghadapi tantangan terberatnya. Tidak
seperti pada akhir 1990-an, ketika tantangan itu berasal dari kubu militer yang belum
sepenuhnya rela kekuasaan politik dipegang sipil, tantangan yang ada sekarang justru
berasal dari aktor utama demokrasi itu sendiri, yakni para politisi sipil.
Perilaku korup para politisi sungguh mengkhawatirkan. Kekuasaan mereka
untuk ikut mengurusi anggaran telah disalahgunakan. Wewenang untuk menyetujui
anggaran dimanfaatkan untuk mencari rente, mencari keuntungan bagi pribadi atau
bagi kelompok, yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat banyak.
Pernyataan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Busyro Muqoddas, bahwa aktor utama praktik korupsi adalah para politisi, sebagai
tantangan nyata yang sedang dihadapi demokrasi di Indonesia. ”Siapa sesungguhnya
aktor korupsi di Indonsia, mereka adalah elite di parpol, baik di DPR pusat maupun

8
daerah,” Tentu saja, elite parpol yang korup tidak sendirian dalam melakukan aksinya.
Mereka memerlukan keterlibatan elite birokrasi dan elite bisnis agar praktik korupsi
berjalan mulus. Politisi pun dipandang identik dengan kasus korupsi. Di mana ada
korupsi, di situ pasti ada politisi yang terlibat.
Situasi tersebut sungguh berbahaya. Kepercayaan terhadap politisi dan partai
politik menjadi anjlok. Demokrasi, yang bersendikan pada parpol, akhirnya akan ikut-
ikutan kehilangan kepercayaan. Orang menjadi lelah berdemokrasi. Kerinduan untuk
kembali pada rezim otoritarian pun muncul.
Orang menjadi lupa bahwa pada masa rezim otoritarian sebenarnya korupsi
juga cukup banyak terjadi, tetapi bersifat lebih terpusat dan hampir tidak pernah
diekspos oleh media massa. Bedil siap menghampiri kantor media yang berani
menulis praktik korupsi penguasa. Pada masa itu memang tidak ada pers yang bebas.
Pelanggaran hak asasi manusia, seperti penyiksaan hingga matinya perempuan aktivis
buruh Marsinah, terjadi tanpa ada pertanyaan kritis dari parlemen.
3. Demokrasi Korupsi di Lembaga Pemerintah
Kerinduan atau keinginan untuk kembali pada rezim otoritarian adalah gejala
yang umum ditemui di negara-negara yang belum tuntas menegakkan demokrasi.
Mereka rindu untuk kembali diperintah oleh pemimpin yang bertangan besi,
pemimpin kuat yang tidak perlu berdebat dengan parlemen, pemimpin yang dapat
memenuhi atau bertindak sebagai Ratu Adil.
Persoalannya bagi kita sekarang ini adalah, apakah demokrasi yang pada
akhirnya telah memenangkan pertarungan mampu mendorong terciptanya
kepercayaan rakyat atas pemimpinnya? Jawabannya tidak! Anti-demokrasi saat ini
terus berlanjut, sering terrjalin dengan nasionalisme fanatik atau fundamentalisme
agama. Selain itu, ketimpangan struktural yang mengakibatkan munculnya
ketidakadilan dan kemiskinan merupakan tantangan demokrasi dewasa ini. Wujud
dari tantangan demokrasi tersebut tak lain adalah para koruptor, dari mulai tingkatan
terendah hingga koruptor tingkat tinggi. Celakanya, praktek korupsi di tanah air kita
justru dimotori oleh ketiga bagian yang mendasari demokrasi itu sendiri, yaitu
eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Gurita korupsi telah menjalar pada semua tingkatan di dalam kehidupan
masyarakat kita dewasa ini. Sehingga setiap upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan kwalitas kehidupan manusianya selalu mengalami jalan buntu. Disini,
kita melihat bahwa demokrasi ideal atau pun demokrasi aktual yang berbicara tentang

9
keseimbangan kekuasaan berubah menjadi demokrasi korupsi. Artinya, tidak ada
batasan yang tegas tentang siapa mengawasi siapa, siapa mengawasi petugas, dan
petugas mengawasi siapa? Kenyataannya, siapa memiliki kekuasaan paling besar
maka mereka pula yang akan menguasasi jalur korupsi terbesar. Telah menjadi
“credo” bagi masyarakat umum bahwa tidak ada pembangunan masyarakat yang
bebas dari tindakan korupsi. Fenomena ini, yang pada awalnya berada di ruang
lingkup kerja politik, akhirnya berkembang ke domain sosial dan budaya. Korupsi
menjadi tantangan yang paling serius bagi kehidupan dan kelangsungan demokrasi
kita saat ini. Keberadaan Indonesia di urutan ke tujuh negara terkorup di dunia
(menurut lembaga Transparency Internasional) merupakan kenyataan yang sangat
memalukan.
4. Demokrasi Korupsi di Tingkat Elit Politik
Menguatnya isu-isu di seputar tindak pidana korupsi yang melibatkan banyak
anggota legislatif menimbulkan dampak terhadap partisipasi politik masyarakat pada
umumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Isu korupsi secara cepat
mempengaruhi tingkat apresiasi masyarakat terhadap aktivitas sosial-politik.
Setidaknya ada 3 hal yang muncul dimasyarakat sebagai akibat dari berkembangnya
isu korupsi tersebut. Pertama, hilangnya kepercayaan publik terhadap elit politik,
Kedua, berkurangnya partisipasi publik terhadap persoalan-persoalan sosial-politik.
Ketiga, terkikisnya semua aspek legitimasi yang dimiliki para elit politik. Sehingga
Dewan Perwakilan Rakyat tidak lagi dipandang sebagai lembaga representasi
kepentingan masyarakat luas, tetapi berubah menjadi Dewan Penyamun/Perampok
Rakyat Daerah.
Pentingnya kepercayaan publik inilah yang mungkin sering tidak disadari oleh
pemain politik yang duduk di lembaga legislatif. Kita tidak melihat ada niat untuk
menjaga kehormatan lembaga dari mereka yang dijadikan tersangka. Karena apa pun
hasil penyidikan akhir dari kasus dugaan korupsi secara moral mereka seharusnya
mundur sementara dari kedudukannya di lembaga legislatif. Dengan mundurnya
tersangka tersebut, maka kehormatan lembaga legislatif dan martabat partai yang
diwakilinya dapat terjaga. Tetapi sekali lagi, itu adalah persoalan moral politik.
Fenomena korupsi sering dianggap oleh sebagian besar elit politik kita sebagai bagian
dari perjuangan politik. Padahal tindakan korupsi dan perjuangan politik adalah dua
hal yang secara mendasar berbeda. Kebanyakan anggota legislatif kita tidak bisa
membedakan secara tegas antara resiko politik karena perjuangan pandangan dan

10
resiko melakukan tindakan kriminal (korupsi), sehingga sering kita dengar seorang
anggota legislatif yang diduga melakukan korupsi mengatakan, bahwa “apa pun hasil
akhirnya, itu adalah resiko politik yang harus ditanggung. Pandangan Norberto
Bobbio, ahli politik Italia masa kini, yang mengatakan bahwa “esensi politik adalah
perjuangan pandangan dan kebijakan yang bertentangan”. Yang dimaksud Norberto
Bobbio tentu bukan perjuangan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara korupsi,
tetapi bagaimana agar sebuah kebijakan dapat terlaksana sesuai dengan prinsip-
prinsip garis politik yang dimilikinya. Sehingga kita jarang mendengar adanya
perdebatan tentang arah dan tujuan pembangunan serta apa dan bagaimana langkah-
langkah kebijakan yang akan diterapkan untuk mempercepat dan memperlancar
proses pembangunan. Hal ini sepertinya tidak menjadi agenda kerja politik
kebanyakan anggota legislatif kita.

TANTANGAN MENUJU PROSES DEMOKRATISASI INDONESIA


Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat {JPPR} Masykurudin
Hafidz merumuskan tujuh tantangan proses demokratisasi Indonesia ke depan.
1. Dalam hal korupsi pemilu yang menjadi tantangan terbesar adalah penerimaan
dana illegal partai politik dan dana kampanye pemilu.
2. Isu penegakan hukum pemilu adalah pengaturan dan regulasi pemilu yang tidak
sinkron dan tidak terbarukan
3. Dalam hal integritas penyelenggara pemilu, keterbukaan penyelenggara Pemilu
terhadap data dan proses pelaksanaan tahapan serta dukungan partisipasi masyarakat
menjadi kunci atas keberhasilan pelaksanaan Pemilu 2014.
4. Tantangan isu konflik dan kekerasan adalah bentuk, aktor, korban, dan cara
kekerasan dalam pemilu semakin meluas. Kekerasan tidak lagi berbentuk fisik tetapi
juga non fisik.
5. Proses Pemilu 2014 menghasilkan media yang terbelah antara yang pro
pemerintah, oposisi dan yang independen serta partisipasi warga yang meningkat
secara signifikan dalam isu demokrasi melalui teknologi internet.
6. Isu partisipasi politik warga masih dipahami sebagai kehadiran dalan forum
politik formal (misal memilih dalam pemilu). Ini terjadi akibat Orde Baru yang
mewariskan sejumlah masalah partisipasi politik warga yang akut: krisis demokrasi
perwakilan, depolitisasi warga (massa mengambang), cara-cara miliiteristik dalam

11
membungkam suara warga, masih kuatnya nilai dan sikap yang antipluralime, dan
menjadikan warga sebagai obyek untuk kepentingan elit (oligarki).
7. Terkait keterbukaan informasi, yang menjadi tantangan adalah
menyelenggarakan sistem pengelolaan dan pelayanan informasi sebagaimana yang
diamanatkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Empat tahun berlalu, pada penerapan undang-undang tersebut KPU belum merespon
dengan membentuk aturan-aturan internal dalam mempersiapkan pelayanan
informasi.
Berdasarkan ketujuh tantangan yang telah diuraikan di atas, Konferensi Nasional
Masyarakat Sipil menyampaikan rekomendasi untuk penguatan dan peningkatan
kualitas demokrasi sebagai berikut.
1. Perlu membuat kodifikasi UU Pemilu yang pastinya diikuti dengan sinkronisasi
dan harmonisasi seluruh regulasi penyelenggaraan pemilu.
2. Mendukung pembatasan transaksi secara tunai dan menjadikan pengurus partai
politik sebagai subjek yang bisa dipidana melalui korupsi atas dana ilegal atau tidak
sehat tersebut.
3. Dibutuhkan sistem rekruitmen yang menghasilkan petugas pemilu yang
mempunyai pemahaman kepemiluan yang baik, mempunyai jiwa pelayanan, menjaga
netralitas terutama ke peserta Pemilu dan pemerintah, mempunyai kemampuan
administrasi yang baik, memahami secara cepat dan tepat teknis pelaksanaan pemilu
serta terbuka terhadap masukan dari elemen masyarakat.
4. Antisipasi terhadap potensi terjadinya kekerasan perlu dipikirkan terutama
dengan akan dilaksanakannya Pilkada tahun depan.
5. Untuk memperkuat demokrasi, media harus bersikap profesional, sedangkan
warga terus bersikap kritis dan partisipatif sehingga keduanya efektif sebagai
penyeimbang dan penekan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
6. Partisipasi politik warga membutuhkan kesepakatan perspektif yang
pemaknaannya adalah menghadirkan dan merepresentasikan kepentingan warga, yang
tidak disediakan oleh kekuatan politik formal (partai politik). Untuk itu pendidikan
politik harus berubah, menjadi pendorong utama partisipasi politik yang
menghadirkan dan merepresentasi kepentingan warga, serta tidak terbatas pada
momen pemilu. Pendalaman partisipasi politik warga, membutuhkan peluang untuk
menciptakan instrumen-instrumen partisipasi politik alternatif, misalnya dalam wujud
serikat-serikat, komunitas-komunitas, dan forum-forum warga yang memperjuangkan

12
kepentingan publik dan menuntut keadilan distribusi sumberdaya. Partisipasi politik
harus selalu berbasis pada koneksitas yang nyata dengan warga/rakyat.
7. KPU harus segera menyelenggarakan sistem pengelolaan dan pelayanan
informasi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik dengan mengesahkan PKPU mengenai pelayanan
keterbukaan informasi publik dan membuat SOP Pelayanan Informasi Publik.

KORUPSI PADA PEMILIHAN UMUM


Proses demokrasi untuk mencegah Korupsi pada partai-partai politik, yang telah
melakukan pelanggaran dalam Pemilihan Umum 2004, dan Pemilihan Umum 1999
yang lalu, melalui "politik uang" (money politics), namun tak satu pun diproses untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Sebagian besar elit partai-partai itu kini
telah menikmati kursi DPR dan DPRD, dan sebagian ada yang menjadi pejabat
pemerintah. Tapi mereka telah masuk dalam lingkungan politik di mana prosesnya
lebih condong pada "politik dagang sapi" ketimbang upaya-upaya melembagakan
demokrasi. Perilaku mereka tercermin dari tindakan sering bolos sidang sambil tetap
menerima uang rapat, menikmati "hadiah" mesin cuci, uang kavling, uang perjalanan
ke daerah, bahkan studi banding ke luar negeri. Dampaknya antara lain mereka gagal
membentuk Pansus Bulog II serta lemahnya komitmen atas kasus Trisakti Semanggi,
bahkan gagal mengungkap kasus praktek percaloan proyek daerah yang terjadi di
lingkungan mereka sendiri. Hal yang sama juga terjadi bagi anggota-anggota DPRD
di daerah. Dengan lingkungan politik seperti itu, pemerintah dan DPR maupun partai
politik di pusat maupun di daerah, pada umumnya tak dapat menunjukkan komitmen
yang kuat. Partai-partai gagal memenuhi komitmen kerja dalam memberantas korupsi
demi pemulihan ekonomi untuk kepentingan menciptakan kembali iklim investasi
yang kondusif serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Malah perhatian mereka
lebih terfokus untuk memburu pengumpulan dana bagi kelanjutan jabatan-jabatan
mereka pada pemilihan umum berikutnya. Demokrasi hanya sekadar politik wacana,
bukan bergerak dalam pelaksanaan proses pelembagaannya. Pemerintah, dengan dana
pembangunan dan APBN di tangannya, semestinya dituangkan secara ketat dan
terukur dalam program pemulihan ekonomi. Selain itu, melalui sasaran yang tepat,
dilakukan program peningkatan kesejahteraan rakyat yang terencana. Tapi dengan
perilaku DPR dan DPRD maupun partai-partai politik, pengawasan atas jalannya
program pemerintah acap gagal dikontrolnya. Korupsi, kebocoran-kebocoran dana

13
pembangunan dan APBN, serta pungutan yang merajalela, telah menjadi penghalang
bagi penciptaan iklim investasi yang kondusif. Harapan untuk meningkatkan daya
saing ekspor perusahaan-perusahaan nasional, telah dihadang korupsi.
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap Pembangunan Demokrasi di Indonesia
antara lain :
1. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan
yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal.
2. Korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam
pelayanan masyarakat.
3. korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan
karena prestasi.
4. korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi.
5. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur;
dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah yang pada
akhirnya masyarakat biasa selalu jadi korban kebringsan korupsi dan hal tersebut
sangat bertentangan dengan demokrasi yang ruhnya adalah transparansi dan
kejujuran.
Kondisi merajalelanya korupsi itu membuat Indonesia menjadi tak menarik sebagai
ajang investasi. Kepentingan dunia usaha yang telah memberikan sumbangan penting
bagi penerimaan pajak, justru tak diperbaiki dengan komitmen dan kinerja pemerintah
untuk memberantas korupsi dan pungutan liar. Terganggunya kepentingan dunia
usaha ini membuat mereka mengancam untuk memboikot membayar pajak.
Jelaslah, korupsi memberikan kontribusi penting bagi pelanggengan tingkat
kemiskinan. Dengan demikian, kritik terhadap pola kebijakan pemerintah yang tidak
memihak kelompok miskin juga harus dialamatkan kepada kebijakan pemberantasan
korupsi. Menanggulangi kemiskinan tanpa memberantas korupsi tidak mungkin
terjadi. Maka dari itu kita butuh perjuangan kolektif yang dimulai dari elit masyarakat
(pejabat), sampai masyarakat jelata untuk bersama melawan kekerasan (mental
korup), yang berarti berjuang bagi terciptanya masyarakat yang adil, manusiawi, dan
solider. Untuk itu struktur yang jelek dan korup harus dibongkar seluruhnya jangan
tebang pilih dan berdasar pada pesanan saja, tapi proses tersebut tidak mudah, namun
perjuangan ke arah sana harus jadi langkah prioritas seluruh elemen-elemen pada

14
tingkat elit (pejabat) masyarakat. Khususnya yang paling mendasar adalah struktur
yang menyangkut bidang pembangunan mental pejabat.
Dalam proses penerapan sistem demokratis, good governance sering mengilhami
siapapun untuk mewujudkan penyelenggara negara yang memberikan ruang
partisipasi bagi pihak diluar penyelenggara itu sendiri, sehingga ada pembagian peran
dan kekuasaan yang seimbang antar negara dalam arti luas (termasuk peran partai
politik), masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Adanya pembagian peran yang
seimbang dan saling melengkapi antar ketiga unsur tersebut, bukan hanya
memungkinkan terciptanya check and balance, peran bagi elite pejabat maupun
masyarakat awam dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruhnya.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan dri rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat. Istilah demokrasi ini memberikan posisi penting bagi rakyat
sebab dengan demokrasi, hak-hak rakyat untuk menentukan sendiri jalannya
organisasi Negara dijamin.

korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan


pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Di dunia Barat prinsip
ini muncul setelah revolusi Perancis. Sejak saat itu penyalahgunaan wewenang demi
kepentingan pribadi khususnya dalam soal keuangan dianggap korupsi.
Demokrasi di indonesia telah menghadapi tantangan terberatnya tidak seperti
pada akhir 1990-an, ketika tantangan itu berasal dari kubu milter yang belum
sepenuhnya rela kekuasaan politik di pegang sipil, tantangan yang ada sekarang justru
berasal dari aktor utama demokrasi itu sendiri yakni para politisi sipil, perilaku
korupsi para politisi sungguh mengkhawatiran.kekuasaan mereka untuk ikut
mengurusi anggaran telah di salahgunakan. Wewenang untuk menyetujui anggaran di
manfaatkan untuk mencari rente, mencari keuntungan bagi pribadi atau kelompok,
yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan masyarakat.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,


Kesejahteraan dan Keadilan.

2. Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas

3. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Strategi pencegahan & penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi (Chaerudin,SH.,MH.


Syafudin Ahmad Dinar,SH.,MH. Syarif Fadillah,SH.,MH.)

5. Modus Operandi Pelanggaran Keppres No. 80 tahun 2003 dari Perspektif KPK

6. Miharja,marjan.2020. “Korupsi, integritas,& hukum: Tantangan regulasi di indonesia”.

17

Anda mungkin juga menyukai