Anda di halaman 1dari 19

ARTIKEL ILMIAH

DASAR-DASAR ILMU PEMERINTAHAN

“PERAN CIVIL SOCIETY (INDONESIA CORRUPTION WATCH)


DALAM MEMBERANTAS KORUPSI”

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Dasar-Dasar Ilmu Pemerintahan

Disusun Oleh :

Nama : Muhamad Aldi Junaidi

NIM : 6670210069

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Korupsi dinilai sebagai masalah klasik yang sudah lama ada dan semakin berkembangnya
zaman semakin berkembang pula tingkatan dari korupsi itu sendiri. Menurut The Conversation,
praktik korupsi itu sendiri sudah terjadi sejak zaman Kerajaan di Mesir (3.100-2.700 SM).
Hampir di semua negara memiliki kasus pidana korupsi, entah dilakukan oleh pejabat
pemerintah atau pelaku ekonomi di sebuah perusahaan. Di India, korupsi merupakan masalah
yang sudah ada sejak 2400 tahun lalu. Ini dibuktikan dari Chandragupta yang menulis tentang
terdapat 40 cara dalam mencuri kekayaan negara (Wijayanto dan Ridwan Zachrie, 2009). Maka
dari itu, dibutuhkan organisasi masyarakat yang dapat mengawasi jalannya pemerintahan di
sebuah negara demokrasi.

Kebebasan di dalam sistem demokrasi menuntut elemen di luar pemerintahan untuk


berperan aktif dalam memunculkan isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan negara.
Lembaga yang memiliki keberadaan dalam sebuah negara demokrasi ialah wakil rakyat atau
parlemen. Praktiknya yang seharusnya merepresentasikan wakil rakyat, malah justru seolah-
olah meyubstitusi kelompok kepentingan atau partai politik. Kuatnya permasalahan ini,
mendapatkan kritikan pedas karena jauhnya dari aspirasi rakyat. Maka dari itu, masyarakat
sipil dituntut untuk mengembalikan kewibawaan parlemen yang sesuai dengan cita-cita
bangsa.

Salah satu sebab yang menghambat terjadinya pemberantasan korupsi pada Orde Lama
dan Orde Baru ialah menggunakan metode top down, yakni memberantas korupsi berdasarkan
perintah dari presiden, apabila tidak ada perintah untuk memberantas perbuatan tersebut maka
tidak akan ada yang namanya memberantas perilaku korupsi. Padahal terdapat metode bottom
up, yakni memberantas korupsi ketika mendapat sebuah laporan yang berasal dari masyarakat,
yang mana metode ini lebih efektif dibandingkan metode sebelumnya. Metode ini lebih sesuai
dengan demokrasi di Indonesia, yang mana masyarakat sipil mendapatkan sebuah kebebasan
untuk memberi aspirasinya dalam mengawasi pemerintah.

Indonesia merupakan negara yang demokrasi. Sebuah negara tidak dapat dikatakan sebagai
negara yang demokrasi apabila tidak memiliki suatu lembaga atau instansi yang mengawasi
jalannya pemerintahan, salah satunya adalah civil society. Menurut Aristoteles, Civil society
atau dalam bahasa Yunani adalah Politike Koinonia yang berarti masyarakat yang berada di
ranah politik atau negara. Cicero juga dalam mengartikan civil society adalah masyarakat yang
berada di ranah politik atau negara, beliau memberikan istilah masyarakat sipil adalah societas
civilis. Konsep ini bertahan hingga abad ke-17. Pada abad ke-17, terjadi perubahan pandangan
yang dilakukan oleh filsuf Inggris yang bernama Thomas Hobbes dan John Locke. Mereka
memperkenalkan dengan istilah kontrak sosial.
Di abad ke-17 dan ke-18, bangsa barat menghadapi politik sulitnya mengawasi kekuasaan
sebuah negara. Perluasan wilayah yang dilakukan negara-negara tidak terlepas dari permasalah
yang terjadi antara katolik dan protestan. Kerajaan dan para aristokrat sebagai pemegang
kekuasaan banyak melakukan penyitaan kekayaan gereja dan para pendeta sehingga
menjadikan kerajaan dan aristokrat sebagai pusat dari sumber daya ekonomi dan politik. Dari
sinilah muncul kekuasaan yang tak terbatas. Sejak saat itu, muncullah sebuah narasi bahwa
negara membutuhkan masyarakat yang dapat mengawasi dan mengontrol jalannya
pemerintahan guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan penindasan. Ini mengubah pola
kenyataan yang kontroversial dari ‘keberadaban versus barbarisme’ menjadi ‘tatanan hukum
versus tatanan koersi (Sudibyo, 2010).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Proses terjadinya korupsi di Indonesia
2. Peran KPK dalam memberantas korupsi
3. Peran Civil Society (ICW) dalam memberantas korupsi

C. TUJUAN
1. Dapat mengetahui proses terjadinya korupsi di Indonesia
2. Dapat mengetahui peran KPK dalam memberantas korupsi
3. Dapat mengetahui peran Civvil Society dalam hal ini ICW dalam memberantas korusi
BAB II

KERANGKA TEORI

Korupsi

Secara harfiah, korupsi asalnya dari bahasa latin, yakni corruptio, corruptie di bahasa
Belanda, corruption dalam bahasa Inggris yang berarti perbuatan yang busuk, bejad, tidak jujur.
Klitgaard berpandangan bahwa korupsi adalah sebuah perbuatan yang menyimpang dari tugas-
tugas di jabatannya dalam negara, yang dimana guna mendapatkan maslahat status atau
kekayaan yang melibatkan pribadi, kerabat, atau kelompok sendiri. TheeOxforddDictionary
mengartikan korupsi ialah perbuatan bohong alias curang oleh pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan, seringnya merembet ke penyuapan.

Dalam KBBI, korupsi ialah tingkah laku menyelewengkan uang negara atau korporasi dan
lain sebagainya. Arti korupsi menurut The Lexicon Webster Dictionary adalah perilaku
kebobrokan, kejahatan, kebohongan, tidak bermoral, penyimpangan dari kebaikan, tuturan
yang keluar dari mulutnya ialah merendahkan atau menuduh. United Nations Convention
Against Corrupstin (UNCAC) berpendapat bahwa “Corruption is an insidious plague that has
a wide range of corrosive effects on societies. it undermines democrazy and the ruke of law,
leads to violations of human rights, distorts markets, erodes the quality of life, and allows
organized of crime, terrorism and other threats to human security to the flourish.” Terjemahan
bebas : (korupsi adalah epidemi berbahaya yang mempunyai berbagai efek korosif terhadap
masyarakat. Itu merusak demokrasi dan aturan hukum, mengarah pada pelanggaran hak asasi
manusia, penyimpangan terhadap pasar, mempangkas mutu hidup, dan menguatkan
terorganisir kezaliman, terorisme, dan risiko lain terhadap kedamaian manusia akan
berkembang).

Frederich Barlett, pakar psikologi dari Cambridge Univesity, beliau menerangkan sebuah
pandangan, yakni Teori Schemata. Teori ini adalah proses pengalaman masa lalu yang
memengaruhi seseorang alias organisasi untuk mengerjakan dan menginterpretasikan suasana
sekarang dengan era yang akan datang. Dalam hal ini, Schemata berpandangan bahwa korupsi
adalsh sebuah proses sosial yang terbentuk dari pengumpulan pengalaman di masa lalu maka
praktik korupsi semakin dirasa menjadi hal yang lumrah, lantaran memori masa lalu yang mana
korupsi merupakan hal yang normal atau dengan pemikiran “Semua orang melakukannya kok,
masa saya tidak?” sehingga korupsi ini dinormalisasikan. Berlandaskan pandangan ini, Yogi
Prabowo dan Kathie Cooper dalam jurnal yang berjudul “Re-Understanding Corruption in The
Indonesian Public Sector Through Three Behavioral Lenses.” menerangkan bahwa
normalisasi korupsi mencakup tiga pondasi, yakni institusionalisasi (yang mana aksi korupsi
berubah dari pelanggaran kecil menjadi kebiasaan di sebuah instansi tertutup), sosialisasi (yang
mana seseorang yang memasuki organisasi dengan kebiasaan korupsi semakin ditarik untuk
menjadi anggota organisasi dalam tindak korupsi), dan rasionalisasi (individu atau instansi
tertutup semakin memverifikasi perbuatan korupsi). Tatkala sikap konsumtif masih melekat
dalam diri, maka kekayaan ingin terus digapai meskipun dengan cara yang salah dan merugikan
banyak orang, seperti korupsi ini. Dilansir dari Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, ada teori yang
merupakan sebab pelaku melakukan tindak pidana korupsi, yaitu Gone Theory yang terdiri
dari :

a. Greeds, keserakahan;
b. Opportunities, kesempatan;
c. Needs, kebutuhan; dan
d. Exposure, pengungkapan.

Selain Gone Theory, terdapat juga teori lain seperti teori Klitgaard dan Vroom

1. Teori Klitgaard

C=M+D-A

C = Corruption

M = Monopoly of Power

D = Discretion of Official

A = Accountability

Menurutnya, monopoli kekuatan yang dilakukan oleh penguasa ditambah dengan


tingginya jabatan dan hak kewenangan seseorang dan tidak ada control yang memadai
oleh penegak hukum yang menjadikan seseorang berbuat sebuah perilaku korup.
2. Teori Vroom

P = F (A , M)

P = Performance

A = Ability

M = Motivation

Menurut teori ini, kinerja (P) seseeorang ialah peran dari kemahiran (A) dan
motivasinya (M). Keahlian seseoran dilihat dari keahliat (skill) dan Pendidikan atau
pengetahuan seseorang tersebut. Maka, dengan motivasi tinggi dan dibarengi oleh keahlian
serta pengetahuan akan menghasilkan kinerja yang baik. Vroom juga menetapkan M
(Motivation) sebagai variabel yang tetap yaitu

M = F (E , V)

M = Motivation

E = Expectation

V = Value

Menurutnya, dorongan individu dapat dikontrol oleh ekspektasi (E) individu tersebut
dan mutu (V) yang tertanam di individu masing-masing.Individu yang mempunyai mutu
(V) buruk akan berupaya menghalalkan semua cara guna mendapatkan sebuah kekayaan,
yakni korupsi.
Civil Society
Menurut Gellner, civil society merujuk pada masyarakat yang terdiri atas berbagai instintusi
non-pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi negara. Maksud dari
mengimbangi negara adalah kelompok sipil ini mempunyai kapasitas untuk menghalangi atau
membendung dominasi yang dimiliki oleh negara terhadap rakyat, namun konsep ini bukan
berarti civil society berusaha untuk memungkiri kekuasaan negara dalam perannya.
Civil society ini apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi masyarakat sipil
atau masyarakat madani menurut Nurcholis Madjid. Menurutnya, masyarakat madani ialah
masyarakat yang berpedoman pada Nabi Muhammad SAW. dalam membangun dan
mengembangkan masyarakat di Madinah. Masyrakat madani yang dimaksud ialah masyarakat
kota yang berasas pada egaliteran (kesederajatan), menghargai sebuah pencapaian, toleransi,
musyawarah, dan keterbukaan. Dengan begitu, Nurcholis Madjid menganggap bahwa
masyarakat madani dapat diwujudkan dalam bentuk nyata. Pandangan Nurcholis Madjid hasil
dari pengumpulan perjalanan hidupnya dan pengelanaan intelektualnya (Thaha, 2004: 72).
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa masyarakat sipil ialah kelompok masyarakat yang
mempunyai independensi terhadap kepentingan sebuah kekuasaan.
Masyarakat sipil merupakan aktor ketiga dalam sebuah pemerintahan setelah pemerintah
dan perushaan (ekonomi). Organisasi yang independen, tidak berorientasi pada keuntungan,
membutuhkan sebuah wadah untuk menyampaikan segala aspirasinya. Tumbuh dan
berkembangnya civil society sangat didukung oleh ruang ini, dalam istilahnya disebut free
public sphere. Free public sphere merupakan ruang publik yang dimana masyarakat dapat
menyampaikan aspirasinya. Contohnya seperti media sosial untuk menyampaikan segala
aspirasi publik, dan sebuah tempat atau jalan untuk menyuarakan sebuah aksi guna menekan
atau memengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Civil society menjadi sebuah
elemen kritis jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti UU Cipta
Kerja, Revisi UU KPK, dan yang lainnya. Selain dapat mengkritik pemerintah, civil society
juga dapat menjadi elemen kritis bagi perusahaan jika perusahaan tersebut dapat merugikan
masyarakat setempat, seperti pembuangan limbah sembarangan yang dapat menyebbakan bau
tak sedap. Civil society tentunya memiliki peran untuk keberlangsungan sebuah pemerintahan,
yaitu sebagai
1. Watch dog (anjing penjaga), yakni sipil berperan sebagai pengawas pemerintah apabila
pemerintah akan mengeluarkan sebuah kebijakan yang tidak relevan bagi masyarakat
2. Advokat (pembela), yakni memperjuangkan hak-hak dari berbagai kelompok yang
tidak terpenuhi
3. Service provider, yakni penyedia layanan untuk masyarakat, seperti pelayanan
kesehatan gratis, pelatihan, pendidikan gratis, dan lain sebagainya
4. Expert, yakni menjadi ahli yang memberikan solusi berdasarkan pengalaman kepada
sebuah organisasi baik itu organisasi non-pemerintah ataupun pemerintah
5. Incubator, yakni menyimpan solusi yang pemerintah atau perusahaan tawarkan ketika
sebuah musyawarah dilangsungkan
6. Representatif, yakni berperan untuk mewakili kelompok yang terpinggirkan, misalnya
kelompok pelindung hewan-hewan yang mana keamanan habitat hewan sudah sangat
terancam
7. Solidarity supporter, yakni membangun solidaritas warga negara supaya aktif
berpartisipasi dalam proses tata global
Sebenarnya, civil society memiliki karakter, yakni civil plat merah, plat kuning, dan plat
putih. Pertama, civil plat merah ialah organisasi masyarakat sipil yang memiliki kepentingan
kepada pemerintah. Alih-alih menjadi check and balance, organisasi ini justru lebih condong
kepada pro terhadap pemerintah, seperti Civil Society Watch yang dibentuk oleh Ade Armando.
Kedua, organisasi civil yang dibentuk hanya untuk kepentingan ekonomi. Memberikan sebuah
masukan, kritik, dan kerjasama supaya membuat perusahaan tersebut maju. Ketiga, civil plat
putih, yakni organisasi yang independen, sukarela hanya untuk kepentingan publik semata.
Seperti memberikan suntik vaksin massal secara cuma-cuma, operasi katarak gratis, khitan
anak-anak secara gratis, dan lain sebagainya.
Sebuah negara tidak dapat dikatakan sebagai negara yang demokrasi apabila tidak
menjamin kebebasan kepada masyarakat sipil. Organisasi sipil tidak akan berkembanh dalam
sebuah ruang yang tidak demokratis. Dalam hal ini, pemerintah yang tidak memberikan ruang
kepada organisasi masyarakat sipil. Begitupun sebaliknya, tanpa adanya organisasi sipil, nilai
demokrasi dalam sebuah negara tidak akan terwujud karena civil merupakan organisasi yang
dapat menyeimbangkan sebuah negara. No democracy, no civil society. No civil society, no
democracy.
BAB III

PEMBAHASAN

1. Proses Terjadinya Korupsi di Indonesia

Banyak yang menganggap bahwa pada Orde Baru praktik korupsi mulai di Indonesia.
Namun, perilaku yang dianggap buruk ini sudah ada bahkan sebelum negara Indonesia berada.
Sebelum kolonialisme, sistem feodalisme memberi raja sebuah kekuasaan, yaitu tanah dan
sumber daya manusia di kerajaannya. Tapi, sang raja tidak bisa mengelola tanah-tanah yang
ada, oleh karena iitu para raja memberikan bangsawan lokal hak untuk mengelola tanah yang
setelah itu akan menunjuk perangkat pemerintah setempat untuk mengatur masyarakat. Dengan
sistem ini, sebagian dari tanah yang dikelola masyarakat awam akan dikenakan pajak dan
kepala desa berperan juga sebagai pemungut pajak dari hasil tanah yang dikelola oleh
masyarakat awam tersebut. Tentu saja masyarakat hanya akan mendapatkan sedikit dari hasil
tanah yang dikelola tersebut, kecuali seseorang tersebut memiliki pangkat atau status sosial
yang tinggi yang akan mendapatkan hak tanah tersebut lebih banyak. Namun kadangkala
terjadi transaksi informal alias diluar transaksi pajak, yakni transaksi pemberian hadiah. Tak
jarang, mereka yang berada di kelas rendah memberikan hadiah dan persembahan kepada orang
yang berada di kelas tinggi dan memberikan hadiah melebihi dari yang seharusnya, demi
menjalin hubungan yang lebih dekat dengan bangsawan tersebut dan mendapatkan status sosial
yang lebih tinggi. Mungkin ini akan terdengar seperti suap-menyuap yang diketahui sekarang,
namun pada masa itu perilaku tersebut bukanlah sebuah perilaku yang buruk, bahkan hal
tersebut merupakan norma masyarakat.

Dengan kedatangan Belanda, sistem feodalisme justru semakin diperkuat. Alih-alih


menaklukan seluruh kerajaan di Nusantara, Belanda malah menjalin kerjasama dengan raja-
raja di Nusantara. Yang dilakukan oleh raja-raja pertama kali adalah memberikan tanahnya
kepada pihak Hindia-Belanda, yang kemudian pihak asing memberikan pajak yang tinggi
kepada masyarakat kelas bawah. Hasil dari pajak itu dibagikan kepada pegawai-pegawai
pemerintahan Hindia-Belanda dan raja-raja yang menjalin kerjasama tadi. Dengan
menggunakan sistem ini bertahun-tahun, para penguasa mendapatkan keuntungan yang sangat
banyak, hidup bermewah-mewahan, meskipun rakyatnya hidup miskin.

Tahun 1669, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) menjadi sebuah perusahaan


swasta terkaya karena memiliki 40 kapal perang, lebih dari 150 kapal dagang, 50 ribu pegawai,
10 ribu militer swasta, dan pembayaran dividen sebesar 40% dari menanam investasi diawal.
Nilai tersebut diperkirakan mencapai angka US$ 7,9 tirilun. Sham ini setara dengan
perusahaan-perusahaan ternama di abad sekarang, seperti Apple, Amazon, Microsoft,
ExxonMobil, Tencent, Wells Fargo, dan Berkshire Hathway. Namun, seiring berjalannya wktu
dan banyaknya penyalahgunaan keuangan, korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh
pegawai-pegawai, hutang yang tinggi, pada tahun 1800an VOC mengalami kebangkrutan.
Semenjak VOC bangkrut, pemerintah Belanda terlihat otoriter dan interventif, dan kondisi ini
yang merupakan cikal bakal perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Disaat pendiri bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan Republik ini, Indonesia malah
berhadapan dengan situasi yang sangat sulit. Indonesia pada saat itu mengalami kekosongan
kekuasaan setelah Belanda meninggalkan Indonesia. Soekarnoodiwajibkan untuk menggalang
persatuan guna melawan perceraian bangsa dengan gerakan pemisahan diri yang hendak
mendirikan bangsa sendiri ataupun menentang Soekarno. Namun, dalam menggalang
persatuan memerlukan kesetiaan politik yang didapatkan melalui sebuah transaksi. Dalam
dunia politik, jika diibaratkan seperti pasar, di dalamnya terdiri dari penjual dan pembeli.
Produk yang dijajakan oleh penjual ialah kesetiaan politik, suatu dukungan yang sangat
dibutuhkan oleh pemerintahan Soekarno. Oli Hellmann, membuat jurnal yang berjudul The
Historical Origins of Corruption in The Developing World: A Comparative Analysis of East
Asia mengatakan, bahwa terdapat dua tipe karakter dari pedagang di Indonesia. Yang pertama
adalah coercive entrepreneurs (mereka yang dapat mengkoordinasikan kekuatan guna
melakukan penentangan terhadap penjajah), yang kedua adalah vote bank (menggalang rakyat
untuk pro terhadpa sebuah kebijakan atau pemimpin tertentu). Disinilah yang menjadi sebuah
masalah, tanpa support dari dua tipe pedagang atau penjual tadi, persatuan bakal sangat sulit
untuk diraih. Namun mereka yang diibaratkan sebagai pembeli, tidak akan memberikan
kesetiannya kepada pemerintah pusat secara gratis. Terkadang mereka meminta keistimweaan
khusus atau alokasi kekayaan tertentu yang mungkin dikenal sebagai korupsi. Ini berdampak
pada korupsi yang menjadi praktik yang dinormakan. Sebenarnya, pengetahuan tentang
bahayanya praktik korupsi dan pentingnya pemerintahan yang bersih sudah terpikirkan oleh
bapak pendiri bangsa ini, namun korupsi adaalah sebuah hal yang terdesak harus dikerjakan.
Disebabkan kekurangan biaya untuk operasional dan gaji, pasukan militer di daerah-daerah
terpaksa menjalankan bisnisnya masing-masing. Pegawai negeri sipil yang terhimpit ekonomi
dan memang karena kondisi perekonomian yang buruk, mereka tidak bisa hanya mengandalkan
gaji semata, maka mereka terpaksa melakukan cara lain guna meningkatkan penghasilan yang
mana belum adanya mekanisme untuk memastikan keuangan dipakai dengan benar.

Soeharto yang kemudian menggantikan Soekarno, menggunakan konsep trilogi


pembangunan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Soeharto mendasari praktik korupsi
ini dengan tujuan pembangunan dan kestabilan nasional. Untuk melanggengkan kekuasaannya
di kursi kepresidenan, Soeharto memakai gabungan antara menghukum bagi mereka yang
menentang pemerintahannya, dan memberikan upah untuk mereka karena mendukung segala
bentuk kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Untuk menjalankan
pembangunan, Orde Baru mewariskan hak khusus dari segi pinjaman, hak tanah, dan hak impor
bagi mereka elit atau dapat dikatakan dengan kroni untuk melanggengkan kepentingan mereka.

2. Peran KPK dalam Memberantas Korupsi

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah lembaga yang dibentuk untuk


meminimalkan segala upaya tindakan korup yang terjadi di negara ini. KPK sendiri tekah
dibentuk sejak 2002 berdasarkan UU NO. 30 Tahun 2002. Sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, badan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan
supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan
mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan
wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang. Sesuai dengan UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi dibagi menjadi tujuh bentuk,
yaitu :

1. Mencelakakan keuangan negara, yakkni menyalahgunakan kekuasaan sehingga dapat


merugikan negara. Seperti menggunakan mobil dinas yang harusnya digunakan
untunk keperluan pekerjaan pejabat negara, justru digunakan untuk kepentingan
pribadi;
2. Suap-menyuap, yakni memberikan sejumlah uang untuk memuluskan kebutuhan si
penyuap. Contoh yang sering ditemukan adalah para pelanggar lalu lintas yang
memberi sejumlah uang kepada polisi lalu lintas agar lolos dari penilangan;
3. Penggelapan, yakni mereka yang mempunyai sebeuah kedudukan melakukan
penggelapan uang atau dokumen berharga lain yang dapat menguntunkan dirinya.
Contoh yang sering terjadi di sekitar masyarakat adalah menggunakan kuitansi kosong
agar nominal uang di kuitansi tersebut dapat direkayasa oleh si pelaku;
4. Pemerasan, pihak yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa orang lain
melakukan sesuatu yang menguntungkan si pelaku. Contohnya adalah pungutan liar
atau pungli yang dilakukan aparat kepolisian sebagai tarif pengurusan dokumen
tertentu, padahal pengurusan dokumen ini bebas biaya;
5. Perbuatan curang, segala bentuk kecurangan adalah tindak korupsi. Seperti contoh
pemborong proyek bangunan yang melibatkan kecurangan kontraktor, tukang,
ataupun toko bahan bangunan;
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan atau yang lebih dikenal dengan Conflict of
Interest, yaitu seorang pejabat yang dihadapkan dengan peluang untuk
menguntungkan dirinya sendiri, keluarga, ataupun kroni-kroninya. Contohnya,
meskipun sudah dilakukan tender dalam proyek, ASN terlibat dalam proses dengan
mengikut sertakan perusahaan milik ASN tersebut, dan
7. Gratifikasi, yakni memberikan hadiah dalam bentuk apa pun dengan maksud dan
tujuan tertentu. Kasus ini banyak terjadi di masyarakat, masyarakat tidak mengira
bahwa yang dilakukan ini adalah perbuatan gratifikasi. Hadiah yang diberikan bisa
berupa tiket perjalanan gratis, paket liburan gratis, parsel hari raya, dan lain
sebagainya.

Masa depan Indonesia dalam memberantas kasus korupsi tengah terancam. Revisi UU
KPK telah mengubah arah politik Indonesia dalam memberantas kasus korupsi. Alih-alih
menguatkan posisi KPK sebagai lembaga yang independen, legislatif justru malah
melemahkan posisi KPK tersebut. Pelemahan lembaga independen negara ini yang dilemahkan
oleh pemerintah dan DPR berdasarkan pada merosotnya kepercayaan rakyat kepada komisi
anti rasuah ini. Indo Barometer, Charta Politica, Litbang Kompas, Alvara Research Center, dan
Lembaga Survei Indonesia telah mengonfirmasi bahwa sepanjang 2020 telah menurunnya
kepercayaan publik kepada KPK. Dalam sejarah KPK ini berdiri, baru di periode ini KPK
mendapatkan kepercayaan yang rendah dari publik. Menurunnya kepercayaan publik ini telah
diprediksi dan telah diingatkan kepada pemerintah dan DPR bahwa kebijakan yang dikeluarkan
hanya untuk melemahkan dan independensi KPK itu sendiri. Ditambah dengan adanya dewan
pengawas yang semakin memperlihatkan bukti bahwa si pembuat kebijakan tidak paham akan
yang Namanya lembaga antikorupsi. Padahal sudah tertuang pada pasal 6 UNCAC yang telah
divalidasi melalui UU No. 7 TH. 2006, bahwa lembaga antikorupsi merupakan lembaga yang
bersifat independen dan terbebas dari segala kepentingan manapun. Pada Agustus sampai
Oktober 2019, koalisi Joko Widodo dan Megawati dianggap melakukan counter attack kepada
KPK. Menurut investigasi jurnalisme Tempo, pemicunya adalah penyelengaraan muktamar
PDIP di Bali disaat KPK mengadakan OTT di tanggal 7 Agustus 2019. OTT ini melibatkan
impor bawang putih yang diduga melibatkan anak dari pemimpin PDIP. Di dalam sidang,
politikus PDIP yang bernama Nyoman Dhamantra dinyatakan bersalah karena menjual kuota
impor bawang putih dari China ke pengusaha, Chandra Suanda. Melalui DPR, pembuatan
undang-undang yang tidak transparan, terbaru-buru, sejumlah politisi PDIP memasang
pertahanan untuk merespon segala opini para penggiat antikorupsi.

Pengendalian KPK sudah dimulai tertnggal 17 Oktober 2019. Seketika merubah


pandangan bahwa KPK yang merupakan lembaga yang independent, namun telah dibatasi
menjadi dibawah pengendalian presiden dan dewas yang memiliki fungsi yakni pemegang
kendali berkenaan dengan pengambillan putusan oleh pimpinan KPK. Seperti penyidikan,
penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan harus melalui dewas (dewan pengawas).

Dimulai pertengahan Oktober 2019, kinerja KPK menjadi tidak seganas dahulu karena
sejatinya KPK telah dilemahkan, padahal negara ini yang menginginkan korupsi pergi namun
lembaga independennya justru dilemahkan. Segala proses penyidikan, penyadapan,
penggeledahan, dan penyitaan semakin lamban. OTT baru ada kembali pada Januari 2020.
OTT dan penggeledahan yang dilakukan oleh KPK kasus korupsi KPU yang berlokasi di kantor
pusat PDIP dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Namun kasus ini diurungkan lantaran tidak
adanya support system yang tegas oleh ketua KPK dan dewas (dewan pengawas). Penampilan
KPK yang terlihat sakit menunjukan bahwa Revisi UU KPK pada 2019 justru merusak KPK
itu sendiri.

3. Peran Civil Society (ICW) dalam Memberantas Korupsi

Sebuah negara membutuhkan elemen yang dapat berkontribusi dalam memberantas tindak
pidana korupsi. Pemberantasan korupsi yang efektif membutuhkan banyak pihak, salah satunya
ialah civil society. Organisasi non pemerintah atau NGO (Non Government Organization),
dalam hal ini korupsi adalah Indonesia Corruption Watch. ICW lahir di tengah gejolak
peristiwa 1998. Dengan digawangi oleh aktivis YLBHI (Yayasan Lembaga Hukum Indonesia),
ICW berdiri dengan percaya diri bahwa korupsi di Indonesia harus diberantas karena korupsi
telah menggerogoti kemiskinan dan keadilan. Dalam aspek legislatf, eksekutif, dan yudikatif,
Indonesia dikuasai oleh mafia, seperti mafia energi, hukum, hutan, dan lainnya. Seluruh aspek
kehidupan ini dikuasai oleh segelintir penguasa atau elit politik atau pengusaha yang korup.
ICW menekan pemerintahan yang demokratis, bersih akan korupsi, berkeadilan sosial
ekonomi, dan kesetaraan gender. ICW juga memberi sebuah keyakinan bahwa masyarakat
harus semakin kuat dan terorganisir untuk mengawasi jalannya pemerintahan, masyarakat
diharapkan berpartisipasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. ICW juga mengawasi
peraturan yang mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti undang-undang
Komisi Pemberantasan Korupsi, undang-undang perlindungan saksi dan korban, undang-
undang pemilu, undang-undang sistem pendidikan nasional, undang-undang tindak pidana
pencucian uang, dan undang-undang keterbukaan informasi publik. Selain menekan tentan
penindakan dengan cara melaporkan koruptor kepada pihak berwajib, ICW juga melakukan
pencegahan korupsi dengan koinsisten yang tertuang dalam tema Berani Jujur Hebat. ICW juga
bergabung bersama para pendidik, aktivis HAM, pemuka agama, seniman, perempuan, dan
lingkungan untuk menyuarakan bahwa perbuatan jujur ialah langkah dasar dalam melawan
korupsi.

Sejak berdiri, ICW telah mengungkap dan mengawal kasus-kasus korupsi yang melibatkan
pejabat publik. Seperti kasus YLPPI sebesar Rp 100 miliar, dan kasus rekening gendut perwira
tinggi Polri. ICW mengutarakan bahwa Indonesia mendapati kerugian sejumlah 9,2 triliun
rupiah yang disebbakan oleh tindak pidana korupsi di tahun 2018. Di tahun 2020, BUMN,
Jiwasraya tertulis mendapati kerugian sejumlah 10,4 triliun rupiah karena investasi saham yang
kualitasnya buruk. PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ASABRI
juga diperkirakan mendapati kerugian 10-16 triliun rupiah. Yang terbaru adalah kasus korupsi
bansos yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial sebesar 32 miliar.

ICW setiap saat menerima laporan dari masyarakat, dan ICW harus memilah dan
memvalidasi sumber-sumber laporan tersebut valid atau tidak, laporan mana yang dapat
diinvestigasikan atau hanya menganalisis, lalu dilaporkan kepada penegak hukum tentang
kasus tersebut, seperti kepolisian, KPK, dan Kejaksaan Agung. Sejauh ini, ICW 80-90%
melaporkan kasus dugaan korupsi kepada KPK, karena memang KPK lebih dipercaya
dibanding institusi lain, tetapi ICW tetap menjaga relasi kepada institusi lainnya.

ICW pernah mencatat 12 upaya pelemahan KPK dengan cara soft, medium, atau hard.
Misalnya soft, yakni gugatan prayudisial kepada MK. Medium, misal penarikan sejumlah
personil polisi dan jaksa dari KPK, dan hard ialah kriminalisasi seperti diancam secara fisik
ataupun non-fisik. Upaya pelemahan KPK ini dilakukan secara sistematis dan dilakukan oleh
individu maupun kelompok. ICW tentu berupaya untuk melindungi KPK, seperti petisi online
desak menghukum berat jaksa pinangki, petisi penolakan pelantikan Budi Gunawan (tersangka
kasus korupsi) menjadi Kapolri oleh Jokowi yang padahal dalam program Nawa Cita Jokowi
berjanji untuk memilih Kapolri dan Kejagung yang bersih akan korupsi dan mumpuni di bidang
penegakan hukum, serta memilih pejabat publik tanpa melibatkan KPK, PPATK, Komnas
HAM, atau Dirjen Pajak agar mendapatkan figure yang tepat. Selain itu, ICW menyampaikan
aspirasi pada Hari Antikorupsi Sedunia 2021 “Habis Gelap Tak Kunjung Terang: Runtuhnya
Pemberantasan Korupsi, Saatnya Kita Bergerak!”
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Menjadikan sebuah negara yang antikorupsi adalah memadukan elemen-elemen yang aktif
dalam mengawasi jalannya roda pemerintahan. Organisasi masyarakat sipil seperti ICW dalam
hal pengesahan UU No. 19 Tahun 2019 ialah dengan melakukan uji materiil, melaporkan,
membuat petisi, dan menyampaikan aspirasi sebagai bentuk perlawan terhadap pengesahan
undang-undang tersebut. Selain itu, harus ada usaha keras untuk memberantas kasus tindak
pidana korupsi daro eksekutif dan legislatif. Independensi dari lembaga tindak pidana korupsi,
yakni KPK harus tetap dijaga serta harus menjaga koordinasi dan supervisi antar lembaga
penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung dan kepolisian. Masyarakat dan organisasi sipil
dalam hal ini perlu mengawal supaya janji-janji Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia dapat terealisasi. Dan sepatutnya, DPR menjadikan KPK sebagai lembaga untuk
memerangi korupsi bukan justru menjadikan KPK sebagai musuh yang harus dilawan.

Berdasarkan sumber dari berbagai literatur, seperti Transparency International yang


meletakkan Indonesia di posisi 85 dari 180 negara dan mendapatkan nilai sebesar 40 yang
tertuang pada IPK (Indeks Persepsi Korupsi) pada tahun 2019. Tak hanya itu, Global
Corruption Barometer Indonesia menyimpulkan bahwa di tahun 2020 pemerintah dianggap
stagnan dalam menangani kasus korupsi di Indonesia.

B. SARAN

Korupsi merupakan perbuatan yang jahat, maka dari itu pelakunya harus dihukum dengan
seberat-beratnya, seperti pemiskinan koruptor, yakni menyita segala harta yang diduga hasil
dari korupsi, bukan seperti denda yang sudah ditentukan dalam undang-undang. Semisal
seorang A melakukan korupsi sebesar 100 juta rupiah, namun dendanya hanya 40 juta rupiah,
alhasil si A masih memiliki uang sebesar 60 juta rupiah untuk memutar dan mengembangkan
uang tersebut, alhasil si A tidak akan jera atau minimal si A merasa tidak bersalah akan
peilakunya.

Korupsi banyak sekali dilakukan oleh elit politik, maka dari itu kepercayaan publik kepada
elit politik terus merosot. Dan elit politik ini kebanyakan berasal dari sebuah partai, yakni
kendaraan sebuah politik. Elit-elit partai yang melakukan korupsi, bisa diberikan sanksi seperti
pengurangan atau bahkan tidak diberikan bantuan dana dari negara kepada partai yang
memiliki kader yang korup dalam beberapa waktu, melarang partai tersebut mengikuti
kontestasi politik yakni pemilu, dan pembubaran partai apabila perilaku elit tersebut sudah
tidak bisa diampuni. Sanksi seperti ini akan berefek kepada elit tersebut karena tidak hanya
berimbas pada dirinya, namun dapat berimbas kepada partainya. Selain itu, koruptor tadi akan
mendapatkan sanksi moral yang berasal dari teman-teman seperjuangannya di partai tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Semma, M. (2008). Negara dan korupsi: pemikiran Mochtar Lubis atas negara, manusia
Indonesia, dan perilaku politik. Yayasan Obor Indonesia.

Widjajanto, A. (2017). Transnasionalisasi Masyarakat Sipil: Masyarakat Sipil. Lkis Pelangi


Aksara.

Sumber Skripsi :

Arifin, I. (2018). Konsep Masyarakat Madani Menurut Nurcholish Madjid. (Skripsi, UIN
Syarif Hidayatullah). Diakses melalui Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta: Konsep Masyarakat Madani Menurut Nurcholish Madjid (uinjkt.ac.id) pada 9
Desember 2021.

Sumber Jurnal :

Hellmann, O. (2017). The historical origins of corruption in the developing world: a


comparative analysis of East Asia. Jurnal Crime Law Soc Changes. Volume 68 Hal.
145-165. University Of Sussex.

Prabowo Yogi, H. & Cooper, K. (2016). Re-Understanding Corruption in The Indonesian


Public Sector Through Three Behavioral Lenses. Journal of Financial Crime. Volume
23 No. 4, 16 Januari 2017 Hal. 1028-1062. University of Wollongong Australia.

Napisa, S. Yustio, H. (2021). Korupsi Di Indonesia (Penyebab, Bahaya, Hambatan Dan Upaya
Pemberantasan, Serta Regulasi) Kajian Literatur Manajemen Pendidikan Dan Ilmu
Sosial. Jurnal Manajemen Pendidikan dan Ilmu Sosial Volume 2 Hal. 562-579.
Universitas Mercu Buana Jakarta.

Simbolon, N. Y. (2020). Politik Hukum Penanganan Korupsi oleh Komisi Pemberantasan


Korupsi Pasca Disahkannya Undang-undang No. 19 Tahun 2019. Jurnal Mercatoria
Volume 13 No. 2 Hal. 157-177, Desember 2020. ISSN 2541-5913 Universitas Darma
Agung.

Wijaya, D. N. (2016). Kontrak Sosial Menurut Thomas Hobbes Dan John Locke. Jurnal
Sosiologi Pendidikan Humanis. Volume 1 No. 2. Hal. 183-193. Universitas Negeri
Malang.
Pratama, S. Hidayat, A. & Aisyah, P. (2019). Mendorong Reformasi Parlemen Melalui
Kekuatan Civil Society di Indonesia. Journal of Pollitical Issues. Volume 1 No. 1, Juli
2020. E-ISSN: 2685-7766. Universitas Bangka Belitung. Universitas Gadjah Mada.

Haris, A., Rahman, A. B. A., & Ahmad, W. I. W. (2019). Mengenal Gerakan Sosial dalam
Perspektif Ilmu Sosial. Hasanuddin Journal of Sociology Volume 1 No. 1 Hal. 15-24.
Universitas Hasanuddin. University Malaysia Terengganu. University Utara Malaysia.

Sumber Internet :

Mawangi, GT. 2021. ICSF 2021, Organisasi Masyarakat Sipil Harus Diperkuat Cegah
Korupsi. Diakses melalui ICSF 2021, Organisasi masyarakat sipil harus diperkuat cegah
korupsi - ANTARA News pada 11 Desember 2021.

ACLC KPK. “Pengertian, Bentuk, Penyebab Korupsi.” YouTube video, 7:41. Diunggah pada
22 Februari 2019. Diakses melalui https://youtu.be/mrzsEsOrt4A pada 11 Desember
2021.

Assoc. Prof. Dr. Jamin Ginting, SH, MH, MKn. “Teori Penyebab Korupsi.” YouTube video,
24:11. Diunggah pada 21 September 2020. Diakses melalui
https://youtu.be/ZdCxmuET3GM pada 10 Desember 2021.

Muslim Mufti. “Materi perkuliahan kekuatan Politik Civil Society Part 1” YouTube video,
08:32. Diunggah pada 12 Mei 2020. Diakses melalui
https://www.youtube.com/watch?v=sUNQGKWh6uI pada 9 Desember 2021.

Anda mungkin juga menyukai