Anda di halaman 1dari 2

The Man behind The Gun

Sudah cukup lama Lord Acton memperingatkan “power tend to corrupt”, bahwa
siapapun pemegang kekuasaan punya potensi untuk melakukan korupsi dari berbagai macam
bentuknya. Peringatan dari Acton tersebut bisa direfleksikan kembali pada situasi di mana
Mahfud MD pada hari Selasa, 21 Maret 2023, Mahfud MD dalam sambutannya di sarasehan
tentang ‘Isu Strategis dengan Tema Sinkronisasi Tata Kelola Pertambangan Mineral Utama
Perspektif Politik, Hukum dan Keamanan’ di Hotal Grand Sahid, Tanah Abang Jakarta Pusat, Ia
mengatakan bahwa setiap orang Indonesia bisa mendapatkan uang Rp 20 juta setiap bulan
tanpa kerja.
Bahwa ucapan tersebut merupakan representasi dari ucapan mantan Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015 Abraham Samad dalam konteks celah lebar
korupsi di bidang pertambangan.
“Itu Abraham Samad (yang menyampaikan). Oleh sebab itu, jejak digitalnya masih ada.
Saudara bayangkan, berapa besar korupsi dunia pertambangan ini sejak saat itu dan sejak
sebelumnya mengapa kita melakukan reformasi,” ujar Mahfud, Selasa 21 Maret 2023.
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa kalkulasi korupsi yang diutarakan Mahfud
masih dari bidang pertambangan saja, kemudian Mahfud MD mengajak publik untuk
membayangkan jika celah korupsi di bidang lain juga ditutup. “Nah, itu pertambangan. Belum
kehutanan, belum perikanan, belum pertanian, apa lagi? Gilanya korupsi di negara kita ini,”
tambahnya.
Menurut hemat penulis, kendati korupsi di Indonesia begitu mengakar, sehingga
masyarakat hanya bisa menelan ludah tanpa mendapatkan uang Rp 20 juta setiap bulan, kita
tetap tidak boleh berputus asa. Sejarah memiliki bukti, suatu bangsa mampu tumbuh dari
korupsi yang sistemik. Amerika Serikat misalnya, mampu mencapai itu selama 50 tahun,
bersikar antara tahun 1870-1920.
Lagi pula, jika dipandang dari segi teoretis, tabiat korupsi bukan sesuatu yang bersifat
given atau taken for granted. Korupsi merupakan proses sosial dan produk sosial yang bisa
bergeser, bahkan berubah.
Memang asumsi untuk mengubah kebiasaan korupsi adalah sesuatu hal yang sulit.
Karena korupsi telah dikenal sejak pertama sebagai proses sosial (proses di mana seorang
individu membentuk perilaku berdasarkan perilaku kelompoknya). Kebiasaan makan, misalnya.
Sulit untuk tidak makan berlebihan apabila konsumsi di sekitar kita adalah publikasi terkait
produk-produk makanan.
James Clear dalam Atomic Habits, memberikan gambaran bahwa perilaku seseorang
paralel dengan petunjuk-petunjuk yang ada di sekitarnya. Jika identifikasi di pemerintahan
adalah sarat adanya proyek-proyek besar dengan alokasi anggarannya, sulit untuk tidak
mencicipi anggaran tersebut secara pribadi.
Potensi Solutif Kebiasaan Korupsi
Bahwa salah satu solusi yang potensial untuk mengurangi kebiasaan korupsi adalah
melalui penciptaan cara pandang baru dan perlawanan fisik. Mengingat korupsi yang terjadi
adalah karena elit yang berkuasa dan institusinya, maka yang dibutuhkan adalah perlawanan;
bahwa jika perlawanan melalui idealisme telah mengalami stagnasi, maka perlu perlawanan
fisik. Karena mereka yang korupsi cenderung bukan karena by need (karena kebutuhan),
melainkan by greed (karena keserakahan). Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch
(ICW) sepanjang tahun 2021, rata-rata vonis bagi perkara korupsi hanya 3 tahun 5 bulan
penjara. Meskipun mengalami kenaikan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tetapi
hukuman tersebut masih relatif kecil dan tentu belum menimbulkan efek jera terhadap para
pelaku.
Upaya mengubah kebiasaan korupsi melalui narasi-narasi akademis dan perlawanan
fisik untuk menggantikan otoritas lama, secara teoretis cukup strategis. Pasalnya, menurut Max
Weber, pada dasarnya manusia itu makhluk rasional. Manusia dapat menetapkan tujuan
tertentu dan membiasakan perilaku yang orientasinya mengarah pada tujuan yang rasional,
seperti sikap untuk tidak koruptif. Misalnya perspektif dalam memandang bahwa korupsi
merupakan the roots of all evil: merusak sistem, ekonomi, politik, dan keamanan negara.
Selain proses rasionalisasi, yang wajib dilakukan ialah morele herbewapening melalui
sudut pendidikan, yakni mempersenjatai kembali moral bangsa. Artinya, pendidikan untuk
menumbuhkan sikap antikorupsi bukan hanya dilakukan pada wilayah kognitif semata,
melainkan pada kondisi empiris-afeksi dan konasi secara progresif demi pembinaan moral
setiap orang.
Tentu saja itu tidak mudah. Karena terdapat idiom radix malorum est cupiditas (akar dari
kejahatan adalah nafsu). Oleh karena itu, harus ada figur yang memiliki pengetahuan dan
stabilitas dalam memproduksi nafsu-nafsu yang positif sehingga lahirnya sikap-sikap afektif
yang berimplikasi pada psikis dan tindak-tanduk moral masyarakat.
Tergantung Kepada Manusia
Selain pernyataan dari Acton, perlu untuk mengingat kembali ucapan dari Prof Taverne.
Ia pernah berkata: “Berikan saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan undang-undang
yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”. Ucapan tersebut mengindikasikan
bahwa semuanya pada akhirnya tergantung pada manusianya, the man behind the gun.
Kendati menerapkan proses rasionalisasi Max Weber, tentu ada antitesa dari teori
tersebut bahwa manusia juga potensi berada pada situasi yang irasional. Sehingga, kesimpulan
dari kuriositas dari mana suaka perilaku koruptif di Indonesia, bukan terletak pada tiadanya
aturan, undang-undang, dan lemahnya struktur hukum, melainkan mengikuti pendapat
Friedman (1985, 1990), tempat suaka yang paling problematis bagi persoalan korupsi di
Indonesia adalah kultur hukum eksternal, yakni eksistensi, peran, pendapat, kepentingan, dan
tekanan yang diberikan kelompok sosial lain yang lebih luas.
Sehingga perlu dilakukan pembentukan moral yang baik oleh para pendidik kepada
anak-anak sejak masih kecil. Jika perlu dengan menerapkan tindakan-tindakan represif yang
landasan moralnya adalah afeksi-akademis, mendidik dengan alasan kasih sayang tulus bagi
masa depan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai