Anda di halaman 1dari 7

ESSAY

“GAYA HIDUP KONSUMTIF PENYEBAB PERILAKU KORUPSI”

Disusun Oleh:

Ave Maretta Purba (2105030040)

SOSIOLOGI
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2022/2023
PENDAHULUAN
Suatu negara dapat dikatakan maju apabila memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Kesejahteraan tersebut dapat diwujudkan salah satunya melalui keberhasilan dalam
pembangunan. Untuk mencapainya, terdapat dua faktor utama yang menunjang, yaitu sumber
daya manusia yang berkualitas dan sumber keuangan. Namun ironisnya, sumber daya manusia di
Indonesia belum sepenuhnya berkualitas, penghambat yang sering terjadi di Indonesia adalah
korupsi. (Sriwijayanti, 2022)

Korupsi adalah kenyataan perbuatan yang menyimpang norma sosial dan hukum yang tidak
dikehendaki oleh masyarakat dan diancam dengan sanksi negara (Rohman, 2023). Korupsi
adalah penyalahgunaan jabatan (status), kekuasaan, kesempatan untuk mewujudkan diri sendiri
atau kepentingan kelompok yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Menurut
Peraturan Perundang-undangan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU PTPK) Nomor 31 Tahun 1999, setiap manusia yang secara melawan hukum
melakukan tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan usaha yang sah
yang dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara. Korupsi di Indonesia telah menjadi
penyakit yang membahayakan segala aspek kehidupan, baik dalam bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Di Indonesia, ada 1.351 kasus tindak pindana korupsi terhitung dari tahun 2004
sampai dengan tahun 2022.

Eksistensi korupsi membutuhkan tiga elemen untuk hidup berdampingan. Pertama,


seseorang harus memiliki kekuasaan diskresi. Didefinisikan secara luas, kekuasaan ini mencakup
otoritas untuk merancang peraturan serta mengelolanya. Kedua, adanya rente (sewa) ekonomi
yang terkait dengan kekuasaan ini. Sewa ekonomi adalah pembayaran untuk barang atau jasa
yang melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk mempertahankan persediaan. Ketiga,
sistem hukum peradilan harus menawarkan probabilitas deteksi atau hukuman yang cukup
rendah untuk pelanggaran. (Jain, 2001)

Secara umum, penyebab korupsi meliputi dua faktor utama yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal berkaitan dengan orang tersebut, erat kaitannya dengan kualitas
kehidupan moral, kepercayaan, dan kejujuran. Faktor eksternal meliputi aspek kehidupan
keluarga, lingkungan politik, lingkungan organisasi, dan lingkungan kerja. Faktor internal dapat
berupa sifak tamak manusia atau bisa disebut rakus, selanjutnya gaya hidup konsumtif, moral
yang kurang kuat dan sedangkan faktor eksternal dapat berupa faktor politik, ekonomi,
organisasi dan hukum. Dalam penulisan ini penulis akan menyajikan penyebab seseorang
melakukan tindakan korupsi diambil dari faktor internal yaitu gaya hidup konsumtif.

PEMBAHASAN

Transparency International sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk


memerangi korupsi meluncurkan hasil Corruption Perception Index (Indeks Persepsi
Korupsi/IPK) untuk tahun pengukuran 2022. Indonesia mengalami penurunan skor 4 poin dari
tahun 2021 menjadi 34, dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Di Asia
Tenggara, Indonesia menduduki peringkat 5 yang memiliki skor indeks persepsi korupsi (IPK)
34 dari skala 0-100 pada tahun 2022. Di bawah ini indeks persepsi korupsi di negara Asia
Tenggara pada tahun 2022.

sumber https://databoks.katadata.co.id

Selanjutnya, di Indonesia terhitung sejak tahun 2004 sampai tahun 2022 Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani kasus tindak pidana korupsi sebanyak 1.351,
berdasarkan jenis perkaranya tindak pidana korupsi yang paling banyak ditangani KPK adalah
penyuapan atau gratifikasi dengan 904 kasus sepanjang 2004 hingga 2022. Dibawah ini grafik
tindak pidana korupsi di Indonesia.
sumber https://databoks.katadata.co.id/

Korupsi adalah fenomena yang kompleks dan multifaset dengan banyak penyebab dan efek,
karena mengambil berbagai bentuk dan fungsi dalam konteks yang berbeda (Wiranti, 2020).
Korupsi tidak akan pernah selesai dengan sendirinya ketika individu tersebut hanya
mementingkan dirinya sendiri. Salah satu penyebab alasan seseorang melakukan tindakan
korupsi adalah gaya hidup yang konsumtif. Di era sekarang, khususnya di kota-kota besar
kehidupan sering mendorong gaya hidup seseorang konsumtif. Perilaku konsumsi yang tidak
diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk
menggunakan berbagai cara seperti korupsi, untuk memenuhi keinginannya. (Wilhelmus, 2017)

Gaya hidup yang konsumtif dapat memicu praktik korupsi dilakukan. Hal ini dapat terjadi
karena seseorang ingin memuaskan “nafsu materialistis” tanpa memikirkan hal yang lainnya,
misalnya seseorang selalu membeli barang-barang mewah demi mendapatkan pujian dari
lingkungan sekitar (Sriwijayanti, 2022). Dalam teori sosiologi, ini berhubungan dengan teori dari
tokoh Jean Baudrillard, ia mengatakan bahwa seseorang mengkonsumsi tidak lagi mencari
kegunaanya, melainkan melihat nilai, tanda, dan simbol dari barang yang mereka konsumsi
karena ketika individu tersebut mengkonsumsi suatu barang yang memliki nilai, tanda atau
simbol yang sangat tinggi, individu tersebut akan mendapatkan reward dari ruang lingkup
sosialnya.

Gaya hidup konsumtif misalnya membeli barang-barang mewah dan mahal atau mengikuti
tren kehidupan perkotaan yang serba glamor, seseorang akan mencari cara bagaimana
mendapatkan barang tersebut dan akhirnya korupsi menjadi pilihannya. Individu melakukan
korupsi karena niat, keinginan atau dorongan dari dalam diri sendiri. Niat ini muncul karena
kepercayaan dan moral (kejujuran, rasa malu dan etika) yang dimiliki seseorang kurang kuat.
Lemahnya keimanan dan moralitas ini membuat seseorang mudah tergoda oleh gaya hidup
konsum, keserakahan, dan keinginan berlebihan akan kekayaan yang mengarah kepada tindakan
korupsi.

Selanjutnya ada teori sosiologi criminal dari tokoh Sutherland menyebut istilah "white
collar crime" dalam pidatonya di American Sociological Sociaty pada tahun 1930. Ia
merumuskannya sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki status sosial
yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya. Gagasan Sutherland dalam "white collar crime"
ingin menunjukkan bahwa pelaku kejahatan melakukan kejahataanya itu sendiri tidak hanya
sekedar dilakukan dan berada di kalangan masyarakat yang rendah atau golongan miskin,
melainkan dapat ditemukan juga dalam kelas-kelas masyarakat yang lebih tinggi, yakni mereka
yang dalam penampilan sehari-harinya selalu berdasi, bermobil mewah. Kejahatan yang
dikategorikan sebagai white collar-crime ini tidak didasarkan pada bentuk tindakan yang
merugikan tetapi lebih diutamakan berdasarkan pada ciri pelakunya. Gagasan utama yang
dikemukakan oleh Sutherland adalah menunjuk tipe pelaku dari suatu bentuk kejahatan yaitu
orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap
hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya. (Muhammad, 1994)

PENUTUP

Suatu negara dapat dikatakan maju apabila memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Untuk mencapainya, terdapat dua faktor utama yang menunjang, yaitu sumber daya manusia
yang berkualitas dan sumber keuangan. Namun ironisnya, sumber daya manusia di Indonesia
belum sepenuhnya berkualitas, penghambat yang sering terjadi di Indonesia adalah korupsi.

Korupsi adalah kenyataan perbuatan yang menyimpang norma sosial dan hukum yang tidak
dikehendaki masyarakat dan diancam sanksi oleh negara. Di Indonesia, ada 1.351 kasus tindak
pindana korupsi terhitung dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2022. Salah satu penyebab
alasan seseorang melakukan tindakan korupsi adalah gaya hidup yang konsumtif. Gaya hidup
konsumtif misalnya membeli barang-barang mewah dan mahal atau mengikuti tren kehidupan
perkotaan yang serba glamor, seseorang akan mencari cara bagaimana mendapatkan barang
tersebut dan akhirnya korupsi menjadi pilihannya. Individu melakukan korupsi karena niat,
keinginan atau dorongan dari dalam diri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Jain, A. K., 2001. CORRUPTION: A REVIEW. Journal of Economic Surveys, Volume XV, p.
77.
Muhammad, R., 1994. Korupsi Sebagai Suatu Bentuk White Collar Crime. Jumal Hukum,
Volume I, pp. 33-34.
Rohman, F. I., 2023. MEMBANGUN BUDAYA HUKUM ANTI KORUPSI. Jurnal Hukum
De'rechtsstaat, p. 10.
Sriwijayanti, A. R., 2022. Konsep dan Komitmen Pemberantasan Korupsi. Jurnal Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Volume II, p. 92.
Sriwijayanti, A. R., 2022. Konsep dan Komitmen Pemberantasan Korupsi. Jurnal Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Volume II, p. 95.
Wilhelmus, O. R., 2017. KORUPSI: TEORI, FAKTOR PENYEBAB, DAMPAK, DAN
PENANGANANNYA. JURNAL PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK, Volume XVII, p. 34.
Wiranti, Y., 2020. Tantangan dan Permasalahan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia. Kosmik Hukum, Volume XX, p. 49.

Anda mungkin juga menyukai