Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI (PABK)

Oleh :
MASDALIPAH
NIM : 2215201160

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN FAKULTAS


KESEHATANUNIVERSITAS FORT DE KOCK
BUKITTINGGI
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunian-Nya penulis telah dapat menyelesaikan makalah ini tepat
waktu dengan judul “Tindakan Pencegahan Korupsi”, untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat


kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritikan demi
kesempurnaannya. Akhirnya kepada-Nya jualah kita berserah diri, semoga
makalah ini bisa bermanfaat untuk semua. Amin

Bukittinggi, Oktober 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang saat ini sedang

bersaing di dalam era reformasi. Di era reformasi ini, Indonesia mengalami

perkembangan di segala aspek seperti aspek ekonomi, aspek sosial, aspek

politik, aspek teknologi, bahkan aspek budaya. Pembangunan dari Indonesia

ini tentu harus didukung oleh semua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat.

Keberhasilan dari pembangunan ini akan ditentukan oleh 2 hal, yaitu sumber

daya manusianya dan dana dari pembangunan itu sendiri. Tidak dapat

dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya

baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Tapi masalah yang

kita hadapi disini adalah bahwa tidak ada kemauan dari sumber daya manusia

yang ada untuk membantu membangun bangsa ini. Hal inilah yang menjadi

akar dari semua permasalahan, sikap apatis yang tidak dapat dihilangkan dari

masyarakat Indonesia.

Munculnya sikap apatis ini akhirnya menimbulkan keegoisan diri yang

menyebabkan semua masyarakat selalu mementingkan dirinya atau

golongannya untuk mencapai suatu tujuan. Inilah yang saat ini kita lihat

dalam sistem pemerintahan kita. Bahwa banyak pemerintah dan pejabat yang

mementingkan dirinya sendiri dan mengeksploitasi segala sumber daya yang

ada. Inilah penyebab korupsi yang sudah mengakar dari jiwa masyarakat

Indonesia. Akibatnya, pembangunan bersama bangsa ini akan terhambat

karena setiap orang akan mementingkan dirinya terlebih dahulu. Korupsi

yang memakan dana pembangunan akan menghentikan pembangunan itu


sendiri dan hal ini tentu harus dihentikan oleh kita sebagai generasi muda.

Cara yang paling dasar untuk menghentikan korupsi adalah dengan mengubah

pemahaman generasi muda tentang sistem bernegara dan itu harus dilakukan

mulai dari sekarang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dikemukakan

penulis adalah pengetahuan dasar mengenai korupsi dan cara pencegahan

tindak korupsi.

C. Tujuan Penulisan

Makalah ini dibuat untuk mencerdaskan pembaca agar mengerti mengenai

korupsi dan mengetahui bagaimana upaya untuk mencegah terjadinya korupsi.

D. Ruang Lingkup Kajian

Agar permasalahan yang diangkat penulis tidak terlalu luas, maka penulis

membatasi masalah yang akan diangkat hanya pada korupsi secara umum dan

terjadi di Indonesia.
2. BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya

busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut

Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari

norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini

ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini

Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang

dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan

umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri

Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan

politik pemaknaan.

Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang

merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.

Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit

menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan

(extortion), dan nepotisme. Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai

pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki jabatan-

jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya

bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).

Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi

kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup

pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang


dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa

bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.

Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah

untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter

yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan

administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk

menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun

asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau

kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula

dikategorikan melakukan tindak korupsi.

Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya

dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong

cilik (little culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih

banyak dengan subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton.

Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar

kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada

hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada

bocoran budaya.

B. Jenis - Jenis Korupsi

Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU

No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut,

terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33

tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni :

1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara


2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap

3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan

4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan

5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang

6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan

7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi

Menurut Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan dapat

diturunkan menjadi dihasilkan tiga macam model korupsi (2002: 22-23) yaitu:

1. Model korupsi lapis pertama

Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang

dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau

petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke

kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas

jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.

2. Model korupsi lapis kedua

Jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan

hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut

Aditjandra, pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan

yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan

lingkupnya bisa mencapai level nasional.

3. Model korupsi lapis ketiga

Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional

dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis

kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai


otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya

terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jaring-jaring korupsi

internasional korupsi tersebut.

C. Ciri – Ciri Korupsi

Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-

ciri korupsi antara lain sebagai berikut :

1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.

2. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan.

3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.

4. Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik

perlindungan hukum.

5. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan

keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk

mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan

publik atau masyarakat umum.

7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

8. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.

9. Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban

dalam masyarakat.

D. Sebab Terjadinya Korupsi

Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka

ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan

pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan


pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri. Faktor-faktor secara umum

yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :

1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang

mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang

menjinakkan korupsi.

2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.

3. Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan

dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

4. Kurangnya pendidikan.

5. Adanya banyak kemiskinan.

6. Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.

7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.

8. Struktur pemerintahan.

9. Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal,

korupsi muncul sebagai penyakit transisional.

10. Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut

GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi

meliputi :

1. Greeds (keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang

secara potensial ada di dalam diri setiap orang.

2. Opportunities (kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau

instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka

kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.


3. Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh

individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.

4. Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi

yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan

melakukan kecurangan.

Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku

(actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun

di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak korban.

Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan

korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang

kepentingannya dirugikan.

Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan

tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan,

hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya

dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).

Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan

meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :

1. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.

2. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.

3. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.


3. BAB III
KORUPSI DI INDONESIA

A. Gambaran Umum Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an

bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui

Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya

“Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh

Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.

Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan

“Operasi Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan

Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek, modus operandi

korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang tersebut gagal

dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999.

Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah

cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak

sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan,

dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.Gerakan

reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain

ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi &

Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan

MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari KKN.


B. Persepsi Masyarakat tentang Korupsi

Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi

dan memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang

paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin

meluasnya praktik-praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal,

maupun nasional.

Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan

emosi dan de-monstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang

korup” dan “derita rakyat”. Mereka memberikan saran kepada pemerintah

untuk bertindak tegas kepada para korup-tor. Hal ini cukup berhasil terutama

saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap perbuatan

manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin

berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem

pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan

kesejahteraan yang merata.

C. Fenomena Korupsi di Indonesia

Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang, contohnya

Indonesia, ialah:

1. Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya

manusia pada lembaga-lembaga politik yang ada.

2. Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya

“ok-num” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi,

sosial, keaga-maan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan

asing lainnya.
3. Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun

sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu.

4. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya

dengan dalih “kepentingan rakyat”.

Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :

1. Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering

beru-bah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.

2. Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada

kepenting-an umum.

3. Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-

lomba mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan

rakyat.

4. Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan

harta dan kekuasaan.Dimulailah pola tingkah para korup.

5. Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa

kelompok kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada

pada kelompok masyarakat besar (rakyat).

6. Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai

sektor di bidang politik dan ekonomi-bisnis.

7. Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin

meningkatnya ja-batan dan hirarki politik kekuasaan.

D. Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi

Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi,

Telah di keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti


korupsi sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo

Budiyono telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang

Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus

Kepada Jaksa Agung Dan kapolri:

1. Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.

2. Mencegan & memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan

wewenang yg di lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri

dalam rangka penegakan hukum.

3. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI,

selain denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn

upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara

akibat tindak pidana korupsi

Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional

Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Langkah – langkah

pencegahan dalam RAN-PK di prioritaskan pada :

1. Mendesain ulang layanan publik .

2. Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan

pemerintah yg berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.

3. Meningkatkan pemberdayaan pangkat – pangkat pendukung dalam

pencegahan korupsi.
E. Peran Serta Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi

Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam

mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan

Korupsi) dan aparat hukum lain.

KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi,

menanggulangi, dan memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen

yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.

Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :

1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.

2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan

mewujudkan good governance.

3. Membangun kepercayaan masyarakat.

4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.

5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

F. Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi

Bentuk – bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :

1. Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan

tindak pidana korupsi

2. Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan

memberikan informasi adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada

penegak hukum
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada

penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi

4. Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan

kepada penegak hukum waktu paling lama 30 hari

5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum

6. Penghargaan pemerintah kepada mayarakat

G. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu sulit kalau

kita secara sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat

banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan sebab

betapa pun sempurnanya peraturan, kalau ada niat untuk melakukan korupsi

tetap ada di hati para pihak yang ingin korup, korupsi tetap akan terjadi karena

faktor mental itulah yang sangat menentukan. Dalam melakukan analisis atas

perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur

proses korupsi yaitu :

1. Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,

2. Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,

3. Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.

Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk

mencegah dan memberantas korupsi yang tepat yaitu :

1. Strategi Preventif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-

hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang


terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan

penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat

meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini

melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan

mampu mencegah adanya korupsi.

2. Strategi Deduktif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan

agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan

tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan

seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan

dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-

sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat

memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat

membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum,

ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.

3. Strategi Represif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan

untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat

kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran

ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat

disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut

dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus

dilakukan secara terintregasi.


Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan

strategi yang hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para

pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan sumbangan

pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif

maupun secara represif antara lain :

4. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang

sederhana yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan

Singapura. Carrot adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri

yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan,

kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup layak

bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick

adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani korupsi,

maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan

sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman

mati.

5. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di

Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan

mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan

Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya

memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai

politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya

dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada

realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini


diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan

dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.

6. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum

(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan

bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani

melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk

menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan

membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur

structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi

yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang

sesuai posisinya masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.

7. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa

korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat

dan martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi

lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan

menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan

menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan

melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan

masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif

membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.

8. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah

pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan

jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan

keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi,


dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti

bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah

kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan

korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.

H. Teori Partisipasi

Partisipasi adalah keikutsertaan, peranserta tau keterlibatan yang berkaitan

dengan keadaaan lahiriahnya (Sastropoetro;1995). Pengertian prinsip

partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur

tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi,

perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan

sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill (PTO PNPM PPK,

2007).

Theodorson dalam Mardikanto (1994) mengemukakan bahwa dalam

pengertian sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan

seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu.

Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di sini bukanlah bersifat pasif

tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu,

partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi keikutsertaan seseorang didalam

suatu kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan

masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri. Faktor-faktor yang

mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi dapat

didekati dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep

proses pendidikan, partisipasi merupakan bentuk tanggapan atau responses


atas rangsangan-rangsangan yang diberikan; yang dalam hal ini, tanggapan

merupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang dapat diharapkan (Berlo,

1961).

1. Syarat tumbuh partisipasi

Margono Slamet (1985) menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya

partisipasi masyarakat, sangat ditentukan oleh 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:

1) Adanya kemauan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi

2) Adanya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi

3) Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi

2. Bentuk-bentuk partisipasi

Hamijoyo membedakan bentuk partisipasi ke dalam 6 bentuk yaitu

(Hamijoyo, 1979:6)

a. Partisipasi buah pikiran

Partisipasi ini diwujudkan dengan memberikan pengalaman dan

pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Sumbangan

pemikiran diarahkan kepada penataan cra pelayanan dari lembaga atau

badan yang ada, sehingga dapat berfungsi sosial secara aktif dalam

pemenuhuan kebutuhan anggota masyrakat

b. Partisipasi tenaga

Partisipasi jenis ini diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan

usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan dari suatu kegiatan

c. Partisipasi keterampilan

Jenis keterampilan ini adalah memberikan dorongan melalui

keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang


membutuhkannya. Kegiatan ini biasanya diadakan dalam bentuklatihan

bagi anggota masyrakat. Partisipaso ini pada umumnya bersifat nmembina

masyarakat agar dapat memiliki kemampuan mememnuhi kebutuhannya.

d. Partisipasi uang

Partisiapasi ini adlaah untuk memperlancar usaha-usaha bagi

pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan

e. Partisipasi harta benda

Diberikan dalam bentuk menyumbangkan harta benda, biasanya

berupa perkakas, laat-alat-alat kerja bagi yang dijangkau oleh badan

pelayanan tersebut.

f. Partisipasi sosial

Partisipasi jenis ini diberikan oleh partisipan sebagai tanda

paguuyuban, misalnya arisan, menghadiri kematian,berkecimpung dalam

sutu kegiatan dan lain-lain.


4. BAB IV
SIMPULAN

Korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi

serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat

bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan

sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya.

Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti

halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di

Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk

membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan,

banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah

diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu

bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak

drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal.

Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajadi “jalan tak ada

ujung”, melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya

untuk mengatasi persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem

sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia.
DAFTAR PUSTAKA

UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Drehel, Axel and Christos Kotsogiannis. “Corruption Around the World:

Evidence from a Structural Mode.” 2004

Hartanti, Evi. “Tindak Pidana Korupsi” , Jakarta: Sinar Grafika, 2006

Muzadi, H. “MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.” Malang : Bayumedia Publishing. 2004

Anda mungkin juga menyukai