Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“JENIS-JENIS KORUPSI DAN LANDASAN TINDAK PIDANA KORUPSI”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi

Dosen Pengampu : (Subakri, M.Pd.I,)

Disusun Oleh:

1. GinaRomadhona (T20186120)
2. Arys Maulidatul Malihah (T20186098)
3. Intan Choirun Nisa (T20186115)
4. Nafisatur Rahma (T20186119)

TADRIS BAHASA INGGRIS

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji saya panjatkan atas berkah rahmat yang di berikan Allah
kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik tanpa ada
halangan yang berarti.

Makalah ini di susun dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
anti Korupsi yang di berikan oleh Bpk.Subakri M.PD.I. terciptanya makalah ini,tidak hanya
hasil dari kerja keras kami,melainkan banyak pihak-pihak yang memberikan dorongan-
dorongan motivasi, dan dukungan. 

Sekali lagi kami mengucapkan banyak – banyak terimakasih atas terselesainya


makalah ini,sebagai creator, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesan
sempurna. Untuk itu mohon kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah
ini di waktu mendatang.

Bondowoso, 13 Maret 2021


DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i

Halaman Kata Pengantar.................................................................................. ii

Halaman Daftar Isi............................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................
C. Tujuan.............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN

A. Jenis-jenis korupsi…………………………………………………
B. Asas-Asas Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi.........................
C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi.................................................
D. Bentuk Korupsi...............................................................................
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................
B. Saran………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Korupsi merupakan masalah serius karena dapat membahayakan stabilitas dan
keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, dan membahayakan
pembangunan ekonomi, sosial politik, dan menciptakan kemiskinan secara masif sehingga
perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat serta lembaga sosial. Salah satu
upaya untuk menekan tingginya angka korupsi adalah upaya pencegahan. Upaya serius KPK
dalam memberantas korupsi dengan pendekatan pencegahan merupakan upaya cerdas.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa KPK menyadari bahwa masa depan bangsa yang lebih
baik perlu dipersiapkan dengan orang-orang yang paham akan bahaya korupsi bagi peradaban
bangsa.

Upaya pencegahan kejahatan korupsi harus dilakukan sedini mungkin, dan dimulai
dari anak. Salah satu isu penting yang harus mendapat perhatian dalam upaya mencegah
korupsi adalah menanamkan pendidikan antikorupsi di kalangan anak pra usia sekolah
sampai mahasiswa juga pada Peserta Didik dari kalangan Komunitas dan Organisasi
Masyarakat, Aparatur Sipil Negara (Kementrian/Lembaga/Pemerintah Daerah),
BUMN/BUMD/Sektor Swasta, Masyarakat Politik, dan Masyarakat Umum lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja Jenis-jenis korupsi?
2. Apa saja Asas-Asas Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi?
3. Apa yang dimaksud dengan Tindak pidana korupsi?
4. Apa saja bentuk Pidana Korupsi?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Jenis-jenis korupsi
2. Untuk mengetahui Asas-Asas Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi
3. Untuk mengetahui pengertian Tindak Pidana Korupsi
4. Untuk mengetahui bentuk Pidana Korupsi
BAB II

PEMBAHASAN

Jenis-jenis dan bentuk korupsi di berbagai negara tidak sama, tergantung pada pengalaman
atau sejarah negara tersebut dan dapat dikembangkan berdasarkan praktik-praktik korupsi
atau kreativitas dari para perampok harta rakyat dan negara.

2.1 Jenis-Jenis Korupsi

Banyak jenis korupsi yang dapat diidentifikasi. 1

 Haryatmoko mengutip pendapat Yves Meny membagi korupsi ke dalam empat jenis,
yaitu:
(1) korupsi jalan pintas terlihat dalam kasus-kasus penggelapan uang negara, perantara
ekonomi dan politik, pembayaran untuk keuntungan politik atau uang balas jasa untuk partai
politik, dan money politik.

(2) korupsi upeti, merupakan bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis.
Karena jabatan yang disandangnya, seseorang mendapatkan persentase keuntungan dari
berbagai kegiatan, baik ekonomi maupun politik, termasuk pula upeti dari bawahan dan
kegiatan-kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara.

(3) korupsi kontrak, yaitu korupsi yang diperoleh melalui proyek atau pasar. Termasuk dalam
kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah

(4) korupsi pemerasan yaitu terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak
intern dan ekstern. Perekrutan perwira menengah TNI atau Polisi menjadi manajer human
resources department atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris
perusahaan merupakan contoh korupsi pemerasan. Termasuk pula dalam korupsi jenis ini
adalah membuka kesempatan kepemilikan saham kepada orang kuat tertentu untuk
menghindarkan akuisisi perusahaan yang secara ekonomi tak beralasan. (Al-Barbasy, 2006:
2-3).

 Dalam literatur fikih ada 6 jenis korupsi yang haram dilakukan, yaitu:

1
Dr. Eko Handoyo,Pendidikan Anti Korupsi, Penerbit Ombak, Semarang:2013, hal.71
(1) ghulul atau penggelapan, (2) risywah atau penyuapan, (3) ghashab atau perampasan, (4)
ikhtilas atau pencopetan, (5) sirqah atau pencurian, dan (6) hirabah atau perampokan (KPK,
2007: 7)

 Widodo membagi korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu graft, bribery dan nepotism
(Azhari, 2006: 8).
(1). Graft merupakan korupsi yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga, seperti
menggunakan atau mengambil barang kantor, uang kantor, dan jabatan kantor untuk
kepentingan diri sendiri. Korupsi tipe ini bisa berlangsung karena seseorang memiliki jabatan
atau kedudukan di kantor.

(2). Bribery adalah pemberian sogokan, suap, atau pelicin agar dapat memengaruhi keputusan
yang dibuat yang menguntungkan sang penyogok.

(3). Nepotism adalah tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan yang
tidak berdasarkan pertimbangan objektif, tetapi atas pertimbangan kedekatan karena
kekerabatan, kekeluargaan atau pertemanan.

 Mashal (2011) menunjukkan bahwa pada masyarakat demokrasi, dapat diidentifikasi


3 (tiga) tipe korupsi, yaitu grand corruption, bureaucratic corruption, dan legislative
corruption.
(1). Grand corruption adalah tindakan elit politik (termasuk pejabat-pejabat terpilih) dimana
mereka menggunakan kekuasaannya untuk membuat kebijakan ekonomi. Elit politik yang
korup dapat mengubah kebijakan nasional atau implementasi kebijakan nasional untuk
melayani kepentingan mereka. Dengan kewenangannya, mereka juga dapat menggelapkan
belanja publik demi kepentingan mereka. Tipe korupsi ini yang paling sulit diidentifikasi,
karena para elit dapat memanfaatkan celah peraturan atau kebijakan yang mereka buat untuk
memenuhi kepentingan mereka dan kroni-kroninya.

(2). Bureaucratic corruption adalah tindakan korupsi yang dilakukan para birokrat yang
diangkat, yang dilakukan demi dan untuk kepentingan elit politik atau pun kepentingan
mereka sendiri. Dalam bentuknya yang kecil, korupsi birokrasi terjadi ketika masyarakat
(publik) memerlukan pelayanan cepat dari birokrat, dengan imbalan uang atau materi
tertentu. Dalam konteks ini, penyuapan (bribery) dilakukan untuk memperlancar urusan
tertentu. Korupsi jenis ini juga terjadi di lembaga peradilan, utamanya untuk memengaruhi
keputusan pengadilan yang menguntungkan pihak yang berperkara.
(3). Legislative corruption menunjuk pada perilaku voting dari legislator yang mungkin dapat
dipengaruhi. Dalam korupsi ini, legislator disuap oleh kelompok kepentingan tertentu
membuat legislasi yang dapat mengubah rente ekonomi yang berkaitan dengan aset.

 Amin Rais membagi korupsi dalam empat tipologi yang harus diwaspadai, yaitu: (1)
korupsi ekstortif, (2) korupsi manipulative, (3) korupsi nepotistic, dan (4) korupsi
subversif (Al-Barbasy, 2006: 3).
(1). Korupsi ekstortif merujuk pada situasi dimana seseorang terpaksa menyogok agar dapat
memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atau perlindungan atas hak-hak dan
kebutuhannya. Sebagai contoh, seorang pengusaha terpaksa memberikan sogokan (bribery)
kepada pejabat tertentu agar mudah mendapatkan izin usaha atau memperoleh perlindungan
terhadap usaha yang dijalankan.

(2). Korupsi manipulative merujuk pada usaha kotor seseorang untuk memengaruhi
pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya. Contohnya, sekelompok konglomerat memberi uang kepada bupati, wali
kota atau gubernur agar peraturan yang dibuatnya dapat menguntungkan mereka.

(3). Korupsi nepotistic merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan kepada anak,
keponakan dan saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa
ini, para kroni pejabat tadi dapat menangguk keuntungan yang besar. Korupsi jenis ini
umumnya berjalan dengan cara melanggar aturan main yang sudah ada. Pelanggaran tersebut
tidak dapat dihentikan karena di belakang korupsi nepotistic ini berdiri seorang pejabat yang
biasanya merasa kebal hukum.

(4). Korupsi subversive berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh
pejabat negara. Berbekal kekuasaan dan wewenang yang dimiliki, mereka dapat membobol
kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan. Korupsi ini bersifat subversif terhadap
negara, karena negara telah dirugikan besar-besaran dan dalam jangka panjang dapat
mengganggu jalannya roda negara

 Secara lebih rinci, Syed Hussain Alatas membedakan jenis-jenis korupsi ke dalam
tujuh bentuk, yaitu: (1) transactive corruption, (2) exortive corruption, (3) investive
corruption, (4) nepotistic corruption, (5) defensive corruption, (6) antogenic
corruption, dan (7) supportive corruption (Al-Barbasy, 2006: 3-4).
(1). Korupsi transaksi (transactive corruption) muncul karena adanya kesepakatan timbal
balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak. Korupsi
jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dengan pemerintah atau antara masyarakat dan
pemerintah.

(2). Pihak pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam diri,
kepentingan, orang dan hal-hal yang dihargai, termasuk dalam kategori exortive corruption.
(3). Investive corruption adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung
dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa
yang akan datang.

(4). Nepotistic corruption adalah penunjukan yang tidak sah kepada teman atau sanak saudara
untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau tindakan yang memberikan perlakuan
yang istimewa dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada mereka secara
bertentangan atau melawan hukum yang ada.

(5). Defensive corruption adalah pemerasan yang dilakukan para korban korupsi dengan dalih
untuk mempertahankan diri.

(6). Antogenic corruption adalah korupsi yang dilakukan seorang diri tanpa melibatkan orang
lain. Misalnya, pembuatan laporan keuangan yang tidak benar atau membocorkan informasi
mengenai kebijakan pembangunan wilayah baru kepada kerabat terdekat.

(7). Supportive corruption adalah korupsi berupa tindakan-tindakan yang dilakukan untuk
melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada. Misalnya, menyewa preman untuk
mengancam pemeriksa (auditor) atau menghambat pejabat yang jujur dan cakap agar tidak
dapat menempati posisi atau menduduki jabatan tertentu.

 Dilihat dari sifatnya, Kurniawan, dkk. (2006: 62-63) membagi korupsi ke dalam tiga
bentuk, yaitu:
(1). Korupsi Individual = • Merasa kebutuhannya tidak terpenuhi, sehingga korupsi menjadi
kebutuhan atau korupsi adalah jalan satu-satunya untuk membiayai kebutuhan (need
corruption). • Adanya keinginan untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya atau adanya
motif serakah (greed corruption).

(2). Korupsi Terlembagakan = • Telah terjadi dalam waktu sekian lama melalui media
administrasi dan birokrasi yang ada, sehingga terjadi dalam proses yang lama dan telah
berurat berakar dalam lingkungan birokrasi. Situasi ini melibatkan hampir semua komponen
yang ada dalam birokrasi, sehingga situasi ini dimaklumi bahwa korupsi adalah sesuatu yang
lumrah. • Pelaku korupsi kemudian enggan dan kehilangan semangat untuk melakukan
pemberantasan korupsi di lingkungannya bahkan mereka melakukan legitimasi dan toleransi
atas praktik korupsi yang terjadi.

(3). Korupsi Politis = Ada praktik konspiratif dan kolutif diantara para pemegang otoritas
politik dengan pengambil kebijakan dan penegak hukum. Adanya praktik pembiaran
(ignoring) terhadap praktik korupsi yang diketahui, baik yang terjadi di lingkungannya
maupun di tempat lain.

2.2 Asas-Asas Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi

Secara Hukum Asas legalitas terdapat di pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu
perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perUndang-Undangan
yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”2
Dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang
dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana
tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakaiistilah Latin: ”Nullum
crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang
tegas”.
Hal ini sejalan dengan tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lainnya tentu
harus tercipta terlebih dahulu regulasi yang melegalkan atau tidak melegalkan suatu
perbuatan sehingga jelas perbuatan tersebut termasuk dalam tindak pidana atau bukan.
Asas-asas tindak pidana korupsi lain yang terdapat dalam Undang-Undang TPPU
nomor 8 tahun 2010 sebagai berikut:
1.Asas Presumption of guilty atau praduga bersalah (Pasal 35), yaitu jika terdakwa
tidak dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya, maka terdakwa dapat dipersalahkan
dengan Tindak Pidana Pencucian Uang.
2.Pasal 68 : Asas Lex Specialis, yaitu Undang-Undang TPPU ini merupakan Undang-
Undang khusus yang mengatur tentang pencucian uang yang mepunyai peraturan tersendiri
baik penyidikan, penuntutan, pemeriksaan serta pelaksanaan putusan dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam perundang-undangan
ini.

2
Modul Tindak Pidana Korupsi
3.Asas Pembuktian Terbalik (Pasal 77 dan 78 ayat (1) dan (2)), yaitu terdakwa harus
membuktikan asal usul dana atau harta kekayaan yang dimiliki untuk membuktikan kehalalan
hartanya tersebut, tetapi melalui penetapan hakim. Jadi yang wajib membuktikan kebenaran
asal usul dana tersebut bukan Jaksa Penuntut Umum tetapi terdakwa sendiri, hal ini dilakukan
untuk mempermudah proses persidangan dan dikhawatirkan apabila JPU yang membuktikan
dakwaan, alat bukti dihilangkan atau dirusak oleh terdakwa.
Caranya dengan melalui penetapan hakim atau permintaan dari pihak jaksa kepada
hakim untuk melaksanakan metode tersebut.
Di pasal 78 mekanismenya adalah hakim yang memerintahkan terdakwa untuk
membuktikan itu. Penerapan pembuktian terbalik ini tidak bisa diterapkan dalamkasuskorupsi
murni, Melainkan pada kasus korupsi yang memiliki unsur pidana pencucian uang. Jadi ini
terkait dengan masalah tindak pidana pencucian uang.Kalau semata-mata hanyamasalah
korupsi, kita tidak bisa menerapkan metode pembuktian terbalik, kita baru bisa menerapkan
pembuktian terbalik apabila dakwaan nya adalah pencucian uang.
4.Asas in Absentia (Pasal 79 ayat (1)), yaitu pemeriksaan dan penjatuhan putusan oleh
tanpa kehadiran terdakwa, jadi tidak ada penundaan sidang meskipun tidak dihadiri
terdakwatetapi proses hukum atau persidangan tetap berlanjut.
2.3 Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum Belanda
yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata yakni straf, baar, feit, yang mana straf
diterjemahkan dengan pidana dan hukum, sedangkan baar diterjemahkan dengan dapat dan
boleh. Sedangkan kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan
perbuatan.3

Apabila dilihat secara harfiah kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat dan
boleh, sedangkan kata feit memang untuk diterjemahkan dengan perbuatan yang untuk
mewujudkannya diperlukan/ diisyaratkan adanya suatu gerakan dari tubuh atau bagian dari
tubuh manusia, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (Pasal 406 KUHP),
sedangkan perbuatan pasif artinya suatu bentuk perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya,
dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya
perbuatan tidak menolong (Pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (Pasal 304 KUHP).

3
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. 1, Raja Grafido Persada, Jakarta, 2002, hal. 67.
Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan hukum pidana. Hal ini sebagaimana pendapat Moeljatno yang menyatakan.4

“Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum.
Larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam
pada itu diingat bahwa larangan ditunjukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.”

Simons merumuskan:

Tindak pidana “sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah sengaja
dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang
dinyatakan sebagai dapat dihukum.”

Dari empat rumusan tersebut menunjukan bahwa didalam membicarakan perihal


tindak pidana selalu dibayangkan bahwa didalamnya telah ada orang yang melakukan dan
oleh karenanya ada orang-orang yang dipidana, memandang tindak pidana semata-mata pada
perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah
dilakukan/terjadi, baru melihat pada orangnya, jika orang itu mempunyai kemampuan
bertanggungjawab dan karena perbuatan itu dapat dapat dipersalahkan kepadanya, dengan
demikian maka kepadanya dijatuhi pidana.

2.4 Bentuk–Bentuk Tindak Pidana Korupsi Dalam Hukum

Pengertian korupsi secara luas adalah setiap perbuatan yang buruk atau setiap


penyelewengan. Namun dalam perspektif hukum, Tindak Pidana Korupsi adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.5

4
Ibid, hal. 71
5
Modul Tindak Pidana Korupsi
Dalam ilmu hukum pidana, suatu perbuatan dapat dikategorikan suatu perbuatan tindak
pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) yaitu pertama,
adanya perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan,
sengaja atau tidak disengaja). kedua, adanya ancaman pidana dalam rumusan Perundang-
Undangan (statbaar gesteld) sebagai syarat Formal. Ketiga, bersifat Melawan hukum
(onrechtmatig) sebagai syarat Materil. Jadi sebagai contoh, salah satu bentuk tindak pidana
korupsi terkait keuangan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang
Tindak pidana Korupsi adalah apabila memenuhi unsur-unsur dalam Pasal-Pasal tersebut
yaitu sebagai berikut:

-          Adanya perbuatan melawan hukum

-          Adanya penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

-          Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan

-          Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Definisi korupsi, bentuk-bentuk dan unsur-unsurnya, serta ancaman hukumannya secara


gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/ jenis tindak pidana korupsi. Pasal-
pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang bisa
dikenakan pidana penjara karena korupsi.

Tiga puluh bentuk tindak pidana korupsi, tersebar dalam tiga belas pasal. Ketigapuluh
bentuk tindak pidana korupsi tersebut diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a,
Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b,
Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c,
Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9,  Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b,
Pasal 10 huruf c, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf
d, Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf h, Pasal 12 huruf i,
Pasal 12 B jo. Pasal 12 C, dan Pasal 13.

Ketigapuluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat diklasifikasikan
menjadi tujuh jenis yaitu korupsi yaitu:
1. Terkait keuangan negara/perekonomian Negara,
2. Suap-menyuap,
3. Penggelapan dalam jabatan,
4. Pemerasan,
5. Perbuatan curang,
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan dan
7. Korupsi terkait gratifikasi.

Adapun definisi, bentuk-bentuk dan unsur-unsur, serta ancaman hukuman dari tujuh jenis
dalam tiga puluh bentuk tindak pidana korupsi yang harus diketahui tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Korupsi terkait keuangan negara/perekonomian negara (Pasal 2 dan 3) sbb:

Pasal 2

(1): “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) : Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”.

Pasal 3

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)”

1. Korupsi terkait Suap-Menyuap, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1)
huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11,  Pasal
6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c, dan
Pasal 12 huruf d. sebagai berikut:

Pasal 5

Ayat (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara


negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengankewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya.

Ayat (2): Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 6

Ayat (1): Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus
lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk


mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; ataub.
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili.
Ayat (2): Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya.

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal


diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

Pasal 12 A

(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12
tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian


bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

Pasal 13

Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,
atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukantersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan atau
denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

1. Korupsi terkait Penggelapan Dalam Jabatan, diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10
huruf a, Pasal 10 huruf b, dan Pasal 10 huruf c. Sebagai berikut:

Pasal 8

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

Pasal 9

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Pasal 10

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai


barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;
atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau


membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat


tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

1. korupsi terkait Pemerasan, diatur dalam Pasal 12 huruf e, Pasal huruf f, Pasal 12
huruf g.

Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan


diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri;

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai
utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah
merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;

1. Korupsi terkait Perbuatan Curang, diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a,  Pasal 7
ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), dan
Pasal 12 huruf h.

Pasal 7

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
huruf a;

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara


Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak,
padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan; atau

1. Korupsi terkait Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan, diatur dalam Pasal 12


huruf i.

Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang
pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus atau mengawasinya.

1. Korupsi terkait Gratifikasi, diatur dalam Pasal 12 B jo. Pasal 12 C.

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian


bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 juga mengatur jenis
tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana yang
demikian ini diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. Bentuk-bentuk tindak
pidananya mencakup 6 (enam) macam. yaitu merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi,
tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, pihak bank yang tidak
memberikan keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan
atau memberi keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
keterangan atau memberikan keterangan palsu, saksi yang membuka identitas pelapor.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Korupsi memiliki bentuk dan jenis yang beranekaragam. Masing-masing negara dengan
kultur masing-masing memahami korupsi dengan cara yang berbeda. Pemberian atau
gratifikasi dimaknai secara berbeda di tiap-tiap negara. Hal ini memengaruhi pula sikap
masyarakat terhadap gratifikasi. Di negara yang tingkat korupsinya tinggi biasanya
memahami gratifikasi sebagai sesuatu hal yang lumrah, karena kebiasaan dan budaya
mengatakan demikian. Sementara itu, negara-negara makmur dengan tingkat korupsi rendah
cenderung menyikapi gratifikasi sebagai salah satu bentuk korupsi yang harus dihindari dan
untuk itu harus diatur dalam suatu ketentuan undang-undang.

Di Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,


korupsi dapat mengambil bentuk berupa suatu tindakan melawan hukum yang (1) merugikan
keuangan negara, (2) berupa suap-menyuap, (3) berupa penggelapan, (4) berupa pemerasan,
(5) berupa perbuatan curang, (6) benturan-benturan dalam pengadaan, dan (7) gratifikasi.
Bentuk korupsi lainnya, diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersebut.

Di berbagai negara, jenis-jenis korupsi bermacam-macam. Meny misalnya, menyebutkan


ada 4 jenis korupsi, yaitu korupsi jalan pintas, korupsi upeti, korupsi kontrak, dan korupsi
pemerasan. Islam mengenal juga korupsi, yakni berupa ghulul atau penggelapan, risywah
atau penyuapan, ghashab atau perampasan, ikhtilas atau pencopetan, sirqah atau pencurian,
dan hirabah atau perampokan. Graft, bribery, dan nepotism, sebagaimana dikemukakan
Widodo juga merupakan jenis korupsi yang sudah umum. Sementara itu, dilihat dari
pelaksananya, korupsi dapat juga dibedakan dalam tiga hal, yaitu korupsi individual, korupsi
terlembagakan, dan korupsi politis.

3.2 Saran

Demikian makalah ini kami susun. Pemakalah menyadari dalam pembuatan makalah ini
masih banyak kekurangan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi menjadikan makalah ini lebih baik. Penulis berharap semoga makalah ini
dapat digunakan sebagai bahan ajar dan sebagai bahan refrensi mengenai bab “Jenis-Jenis
Korupsi Dan Landasan Tindak Pidana Korupsi”
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Eko Handoyo,Pendidikan Anti Korupsi, Penerbit Ombak, Semarang:2013, hal.71

Modul Tindak Pidana Korupsi

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. 1, Raja Grafido Persada, Jakarta, 2002, hal. 67.

http://www.pa-singkawang.go.id/berita/berita-terkini/131-artikel/181-memahami-korupsi

https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc-KPK.pdf

Anda mungkin juga menyukai