Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

DISUSUN OLEH:
CHANDRA DWI PUTRA

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM


AWANG LONG SAMARINDA
SEMESTER I
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini terselesaikan tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Anti Korupsi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Pendidikan
Anti Korupsi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Samarinda, 18 Januari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ..............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang .....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................2

C. Tujuan....................................................................................................................2

D. Manfaat Penulisan ................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3

BAB III PENUTUP.........................................................................................................19

A. Kesimpulan..........................................................................................................19

B. Saran....................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju

modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi

kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga

senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk

yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan

ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak

lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun

seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan

dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak

pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.

Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini.

Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru

menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri

fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti

yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman

penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan

masyarakat kepada penguasa setempat.

Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini

meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh

kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan

jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta

1
eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi

dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu

bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak

secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.

Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah

banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini

sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel

organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif,

eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde

baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat

tinggi. Berangkat dari latar belakang di atas makalah ini dibuat dengan membahas

korupsi yang kini mengendalikan negeriku.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana perkembangan KKN di Indonesia?

2. Apa penyebab terjadinya KKN tersebut?

3. Kasus KKN apa saja yang pernah terjadi di Indonesia?

4. Dampak apa saja yang ditimbulkan oleh KKN?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk menganalisis penyebab terjadinya KKN di kalangan petinggi Negara.

2. Untuk mengetahui peran serta generasi muda dalam memberantas KKN.

2
3. Untuk mengetahui peranan pendidikan anti korupsi dini di kalangan generasi muda

dalam mencegah terjadinya praktik KKN.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Teori
Kata “korupsi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti
penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya
untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Perbuatan korupsi selalu mengandung
unsur “penyelewengan” atau dis-honest (ketidakjujuran). Sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelewengan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan bahwa korupsi adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pidana korupsi.
Menurut UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 2, korupsi adalah secara melawan
hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat
merugikan negara atau perekonomian negara. Menurut Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Pasal 6 Ayat (1) Korupsi adalah memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili Undang-Undang.
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus, politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-
pasalnya, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33
tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 6 kelompok yaitu :
 Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
 Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
 Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara
 Korupsi yang terkait dengan pemerasan
 Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang.

4
Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan
beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi
pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang
juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan
secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan
pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi
lancar.
Nepotisme adalah setiap perbuatan pentelenggara negara secara melawan
hukumyang menguntungkan kepentingan keluarga dan/atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Pakar-pakar biologi telah
mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri,
sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.

B. Perkembangan KKN Di Indonesia


1. Era sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi”
yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita
dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan
kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam
berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan
seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak
(Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari
ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan
seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah
mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa
ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris
(1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam
Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih
menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang

5
terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus
penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah
berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah
membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun
kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat


“manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang
sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem
Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah
di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem
Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.

1. Era Pasca Kemerdekaan

Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya


“Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai
seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan
Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih


belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat
penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk
penyembuhan belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk
Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata
pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari
Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan
Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota
yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara.

6
Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut
mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat


berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang
memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah
(Kabinet Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya


pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai
Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke
meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”.


Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara
lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga
mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina
mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri,
sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari
atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara
dapat diselamatkan sebesar kurang lebih 11 miliar rupiah, jumlah yang cukup
signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden,
akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di
Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran


Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat
pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

7
1. Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus


1967, Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu
memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di
Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi
sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah
Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas


korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa
memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,
akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah


Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib
terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo
dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan
korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi,
harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar
memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup
angin tanpa bekas sama sekali.

1. Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan
oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen

8
penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era
pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak
terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total
terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga
dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali
secara “konkesuen” alias “kelamaan”.

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun


1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga
Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman
dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-
gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review
Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami
kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian


masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya
pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar
agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya
sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang
melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU


Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam
KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga
pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni


Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah

9
kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai
katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah
"good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia.
Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001,
Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang
dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.

Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya


mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi,
tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa
yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya
contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).

Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan


dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan
preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan
"memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar
tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan
akuntabilitas".

C. Penyebab Terjadinya KKN


Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi
maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dipercayakan kepada mereka. Kasus-kasus korupsi di Indonesia sudah
sangat banyak. Bahkan sebagian ilmu sosial sudah menyatakan bahwa korupsi itu
sudah mengakar menjadi budaya bangsa Indonesia. Kalau benar pernyataan tersebut,
tentunya akan bertentangan dengan konsep bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai
luhur seperti yang terkandung di Pancasila, ataupun seperti yang telah diajarkan oleh
agama-agama yang berkembang subur di Indonesia. Korupsi bukan lagi suatu
pelanggaran hukum, akan tetapi di Indonesia korupsi sudah sekedar menjadi suatu
kebiasan, hal ini karena korupsi di Indonesia berkembang dan tumbuh subur terutama
di kalangan para pejabat dari level tertinggi pejabat negara, sampai ke tingkat RT
yang paling rendah. Perkembangan yang cukup subur ini berlangsung selama puluhan
10
tahun. Akibatnya penyakit ini telah menjangkiti sebagian generasi yang kemudian
diturunkan ke generasi berikutnya. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk memutuskan
rantai generasi korupsi adalah dengan menjaga kebersihan generasi muda dari
jangkitan virus korupsi., Sehingga tidak heran jika negara Indonesia termasuk salah
satu negara terkorup di dunia.
Korupsi yang semakin subur dan seakan tak pernah ada habisnya, baik
ditingkat pusat sampai daerah ; merupakan bukti nyata betapa bobroknya moralitas
para pejabat pemerintahan kita. Namun apakah korupsi hanya diakibatkan oleh
persoalan moralitas belaka? Setidaknya ada dua hal mendasar yang menjadi penyebab
utama semakin merebaknya korupsi.
Pertama: mental aparat yang bobrok. Menurut www.transparansi.or.id,
terdapat banyak karakter bobrok yang menghinggapi para koruptor. Di antaranya sifat
tamak. Sebagian besar para koruptor adalah orang yang sudah cukup kaya. Namun,
karena ketamakannya, mereka masih berhasrat besar untuk memperkaya diri. Sifat
tamak ini biasanya berpadu dengan moral yang kurang kuat dan gaya hidup yang
konsumtif. Ujungnya, aparat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Yang lebih mendasar lagi adalah tidak adanya iman yang kuat di dalam tubuh aparat.
Jika seorang aparat telah memahami betul perbuatan korupsi itu haram maka
kesadaran inilah yang akan menjadi self control bagi setiap individu untuk tidak
berbuat melanggar hukum Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua: kerusakan sistem politik, hukum dan pemerintahannya. Kerusakan
sistem inilah yang memberikan banyak peluang kepada aparatur Pemerintah maupun
rakyatnya untuk beramai-ramai melakukan korupsi. Peraturan perundang-undangan
korupsi yang ada justru diindikasi “mempermudah” (Jika ada pejabat negara –
setingkat bupati dan anggota DPR/D—tersangkut perkara pidana harus mendapatkan
izin dari Presiden) timbulnya korupsi karena hanya menguntungkan kroni penguasa;
kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan,
sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu,
serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undang.
Secara rinci beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya korupsi di
Indonesia yaitu:

 Korupsi sudah terjadi sejak jaman dahulu (sejak awal mula berdirinya bangsa
Indonesia tahun 1945an) dan sepertinya sudah menjadi tradisi di negara Indonesia ini.

11
Memang pada masa itu tak terdengar ada orang yang terseret ke pengadilan karena
kasus korupsi. Namun, dalam roman-roman Pramoedya Ananta Toer (Di Tepi Kali
Bekasi) dan Mochtar Lubis (Maut dan Cinta) tertulis sesuai dengan fenomena yang ia
ketahui di lingkungan sekitar terdapat orang-orang yang mengambil keuntungan dari
kekayaan negara untuk dirinya sendiri ketika yang lain berjuang mempertaruhkan
jiwa dan raga untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah tahun 1950an
Pramoedya Ananta Toer kembali menulis roman yang berjudul “Korupsi” yang
mengisahkan pegawai negeri yang melakukan korupsi secara kecil-kecilan. Kemudian
di sebutkan Mr. M... seorang pegawai negeri yang diseret ke pengadilan dan dijatuhi
hukuman karena kasus korupsi.
 Korupsi berjalan sebagai suatu sistem yang dikerjakan secara berjama’ah dan sangat
rapi. Sejak jaman pemerintahan Soeharto, korupsi kian marak dilakukan secara
berjama’ah, saling mendukung dan saling menutupi satu sama lain dalam suatu sitem
yang rapi dan saling bekerjasama, sehingga kasus korupsi sulit sekali terbongkar dan
diselidiki. Akibatnya dalam menangani kasus ini sangat rumit dan susah terungkap,
hal tersebut dikarenakan para pelaku korupsi merupakan orang-orang yang memiliki
intelegensi tinggi (orang-orang pintar) yang bisa memutar balikkan fakta serta
menutup rapat tindakan yang mereka lakukan.
 Konsentrasi kekuasan, pada pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab
langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan
demokratik dan juga kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan
pemerintah yang biasanya dengan kebijakan tersebut memungkikan para penguasa
mudah dalam melakukan tndakan korupsi dan menutupi kesalahannya.
 Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal. Kampanye yang begitu mahal dalam mencalonkan
diri menjadi kepala-kepala pemerintahan baik pada tingkat pusat maupun daerah
merupakan salah satu faktor penyebab maraknya kasus korupsi di Indonesia. Hal ini
terjadi karena mereka ingin mengembalikan modal dari uang yang telah mereka
kaluarkan untuk mencalonkan diri dan mengikuti kampanya. Selain mengembalikan
modal tentunya mereka juga berharap mendapatkan keuntungan yang lebih dari modal
yang telah mereka keluarkan.
 Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar. Sekarang ini banyak sekali
proyek-proyek pembangunan baik infrastuktur maupun sumber daya manusia yang

12
menggunakan uang rakyat tidak sebagaimana mestinya. Hal ini dapat diketahui
misalnya dalam hal pembangunan SDM pada acara seminar/workshop-workshop
yang mengeluarkan biaya tidak sedikit. Mereka biasanya melakukan workshop di
hotel berbintang, ditempat yang relatif jauh dan dengan alasan refreshing sehingga
menguras dana rakyat sangat besar, padahal kebanyakan mereka disana tidak fokus
untuk mengikuti workshop dalam rangka meningkatkan pengetahuan mereka,
melainkan mereka banyak menghabiskan banyak waktu untuk berjalan-jalan, shoping,
dan sebagainya. Kemudian pembangunan infrastruktur yang tidak semestinya seperti
pembangunan toilet DPR yang menghabiskan uang puluhan juta rupiah.
 Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
Lingkungan yang tertutup sangat memungkinkan terjadinya kasus korupsi karena
mereka akan dapat dengan mudah melakukan tindakan korupsi secara berjama’ah
dalam lingkungannya sehingga orang lain yang berada diluar jaringan sulit untuk
mengontrol dan mengetahui tindakan-tindakan yang mereka lakukan termasuk
tindakan korupsi.
 Lemahnya ketertiban hukum. Ketertiban hukun di Indonesia ini dapat diibaratkan
seperti pisau. Ia akan sangat tegas menghukum masyarakat bawah ketika melakukan
tindakan kejahatan seperti mencuri sandal jepit, mencuri ayam, dsb. Namun untuk
kelas atas yang mencuri uang rakyat sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah
hukum sulit sekali ditindak, sepertinya kasusnya sangat berbelt-belit dan sulit sekali
diungkap. Selain itu banyak kasus pejabat-pejabat negara yang terlibat kasus korupsi
mendapat perlakuan khusus ketika di dalam penjara, seperti pemberian fasilitas yang
mewah, dapat menyogok aparat penegak hukum agar bisa jalan-jalan keluar tahanan
bahkan sampai keluar negeri.
 Lemahnya profesi hukum. Prosesi hukum yang sangat berbelit belit dan sulit sekali
untuk mengungkap kasus korupsi merupakan salah satu penyebab para aparat negara
untuk melakukan korupsi. Mereka tidak takut terlibat kasus korupsi karena mereka
beranggapan bahwa kasus yang akan mereka lakukan bakal sulit terungkap atau
bahkan tidak terungkap. Selain itu aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya
masih dapat disogok dengan sejumlah uang agar menutupi kasusnya dan
membenarkan pihak terdakwa kasus korupsi.

13
 Rakyat mudah dibohongi oleh para pejabat, seperti halnya pada saat pencalonan
seorang pejabat, baik itu presiden, DPR, bupati, dll. Mereka akan mau memilih calon
tersebut apabila mereka diberi imbalan uang (money politic).
 Ketidak adaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan
kampanye”. Pihak kontrol di Indonesia ini sangatlah lemah, bahkan pihak kontrol
sendiri banyak yang terlibat kasus suap sehinga mereka dapat dengan mudah
membiarkan kasus-kasus kampanye dengan uang. Dan bisa dibilang mereka
membiarkn kasus suap karena mereka sendiri telah disuap.
 Kurangnya keimanan dan ketakwaan para pemimpin dan birokrat negara kepada
Tuhan YME. Lemahnya tingkat keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME
merupakan salah satu faktor utama maraknya kasus korupsi di negeri ini. Mereka
tidak takut terhadap dosa dari perilaku yang telah mereka lakukan, jika mereka takut
terhadap dosa dan ancaman yang diberikan akibat perbuatan mereka pasti para
pemimpin dan borokrat negara ini tidak akan melakukan perbuatan korupsi walaupun
tidak ada pengawasan. Sebab mereka dengan sendirinya akan merasa diawasi oleh
Tuhan YHE dan takut terhdap ancaman dosa yang dapat menyeret mereka dalam
lembah kesengsaraan yaitu neraka.

Dengan melihat beberapa kondisi di atas maka memang sudah sewajarnya perilaku
korupsi itu mudah timbul, berkembang dan tumbuh pesat di Indonesia. Penyebab utama
dari tindakan korupsi tersebut dikarenakan lemahnya penegak hukum di Indonesia.
Indonesia banyak memiliki undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengatur
tentang pelarangan tindak korupsi, akan tetapi peraturan-peraturan tersebut tidak di
tegakkan dan dijalankan secara optimal. Lemah dan rendahnya tingkat keimanan
(religius), menipisnya etika dan moral seseorang juga dapat menjadi faktor menyebabkan
seseorang mudah tergiur dengan uang, harta, kekayaan, sehingga mereka tidak bisa
membentengi diri mereka dari godaan-godaan yang mendorong mereka untuk melakukan
tindakan korupsi.

D. Kasus KKN Di Indonesia


Dikutip dari Koran Sindo, Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR)
mengungkapkan modus yang paling seringkali dilakukan para koruptor ialah dengan

14
modus penyuapan. Data yang diperoleh dari KPK selama kurun waktu 2004-2012 ini
setidaknya ada 116 kasus yang menggunakan modus penyuapan yang terjadi di
Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut, modus penyuapan itu didasari oleh tigal hal
yang paling sering terjadi. Yang pertama terkait dengan jabatan. Kasus penyuapan
terkait jabatan yang paling menghebohkan itu tertangkapnya kasus Jaksa Urip Tri
Gunawan, dengan nominal uang yang cukup besar Kedua, dalam hal pengadaan
barang dan jasa. Ketiga, perizinan.
Modus penyuapan tak hanya di lingkungan petinggi Negara, di dunia
pendidikan masih banyak kasus penyuapan dan korupsi. Siti Juliantari, peneliti ICW
(Indonesia Corruption Watch) mengungkapkan, tak ada dana pendidikan yang lolos
dari belenggu korupsi. Ini salah satu kesimpulan hasil kajian ICW soal korupsi
pendidikan selama sepuluh tahun terakhir. Alokasi APBN dan APBD seperti BOS,
beasiswa, pembangunan dan rehabilitasi sekolah, gaji dan honor guru, pengadaan
buku, pengadaan sarana prasarana, operasional. Dana-dana ini dikorupsi politisi,
rektor, pejabat kampus, kepala sekolah, pejabat dan rekanan pemerintah.\
Hasil pemantauan ICW mengungkap bahwa selama satu dasawarsa terakhir
terdapat 296 kasus korupsi pendidikan. Indikasi kerugian negara sebesar 619 miliar
rupiah dengan jumlah tersangka 479 orang.
Inilah hasil pantauan ICW selama satu dasawarsa korupsi pendidikan

Peningkatan kerugian negara Walau jumlah kasus korupsi cenderung tetap setiap
meningkat tahun. Rata-rata 29 kasus korupsi terjadi setiap tahun,
dengan kerugian negara mencapai 53,5 miliar rupiah.

Padahal, DAK ditujukan untuk membangun dan


memperbaiki gedung sekolah serta sarana prasarana
(sarpras) lain. Peringkat kedua diduduki dana BOS dan
Sasaran empuk korupsi: DAK (Dana
Alokasi Khusus) Pendidikan pengadaan infrastruktur sekolah/madrasah.

Jumlah korupsi pengadaan sarpras di perguruan tinggi


dan Kemendikbud sedikit. Tapi, ia merugikan negara
paling besar di antara institusi lain.
Penggelapan mencetak skor 106 kasus dengan
kerugian negara 248,5 miliar rupiah. Sementara mark
Modus favorit: penggelapan dan
up dilancarkan pada 59 kasus dengan kerugian negara
mark up
195,8 miliar rupiah. Pelaku paling banyak

15
menggunakan penggelapan dan mark up untuk
menyelewengkan DAK dan BOS.
Baru-baru ini terungkap kasus penyuapan dan
penyalahgunaan wewenang terkait perencanaan
pendidikan. Ini terjadi dalam perencanaan dan
penganggaran pengadaan laboratorium di perguruan
tinggi oleh anggota DPR (AS).

Kasus ini dapat dikatakan sebagai kejahatan


terorganisir (organized crime) oleh pejabat yang punya
kewenangan dalam perencanaan dan penganggaran di
sektor pendidikan. Pejabat ini biasanya ada di
Kemdikbud, Kemkeu, DPR, atau pemerintah daerah.
Dinas Pendidikan adalah lembaga yang paling banyak
melakukan korupsi dana pendidikan. Dalam sepuluh
tahun terakhir, Dinas Pendidikan paling sedikit telah
melakukan 151 praktek korupsi dengan kerugian
negara mencapai 356,5 miliar rupiah.
Gelar “juara” diraih Dinas
Perguruan tinggi juga mencatat “prestasi” korupsi
Pendidikan dengan kerugian negara yang besar. Perguruan tinggi
telah menyelewengkan uang negara 217,1 miliar
rupiah lewat 30 praktek korupsi. Sekolah juga telah
melakukan paling sedikit 82 kali korupsi dengan
kerugian negara Rp 10,9 miliar.

Hampir semua institusi pendidikan terutama semua


jenjang satuan pendidikan melakukan korupsi.
Ini dapat dilihat dari jumlah kasus dan kerugian
negara. Penegak hukum semakin giat menindak kasus-
kasus korupsi pendidikan (2012 dan 2013). Namun,
keberhasilan penindakan belum menggembirakan
karena penanganan kasus lebih lanjut tidak diketahui
Tren penindakan korupsi pendidikan sama sekali.
meningkat
Apakah kasus tersebut telah di SP3 atau masuk proses
persidangan di PN, PT, dan MA? Berapa banyak
koruptor dana pendidikan yang masuk penjara? Berapa
jumlah kerugian negara yang berhasil dikembalikan ke
kas negara? Ini semua belum diketahui secara jelas.
Aktor-aktor “unggulan” penggerogot Kepala, Pejabat Dinas Pendidikan dan rekanannya
uang pendidikan adalah aktor-aktor “unggulan” yang paling banyak
menggerogoti anggaran pendidikan.

Selama satu dasawarsa terakhir, penegak hukum telah

16
menetapkan 479 tersangka terkait korupsi pendidikan.
71 orang adalah kepala dinas pendidikan, 179 orang
anak buah kepala dinas pendidikan, serta 114 adalah
rekanan

Yang menjadi persoalan sekarang ini adalah para penegak hukum itu sendiri, mereka
tidak tegas dalam mengusut dan memberantas tindakan korupsi di Indonesis. Munculnya
istilah mafia hukum merupakan bukti kerendahan mental para penegak hukum di Indonesia.
Lagi-lagi karena pengaruh budaya korupsi yang sudah cukup kronis menjangkiti Indonesia.
Para petugas hukum yang ditugaskan untuk mengadili para koruptor alih-alih malah
menerima amplop dari para koruptor. Ditugaskan menjadi petugas pemberantas korupsi
malah menggadaikan diri menjadi koruptor. Inilah hal miris yang kerap dialami disetiap
penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Bagaimana mungkin seorang petugas hukum
akan tegas memberikan hukuman pada koruptor, kalau dirinya sendiri ternyata juga seorang
koruptor.

E. Dampak Terjadinya KKN

Secara umum dampak korupsi sangatlah besar baik dalam aspek politik, ekonomi,
birokrasi, kesejahteraan umum negara, termasuk terhadap masyarakat dan individu. Di
bawah ini beberapa dampak KKN dari beberapa segi:

1. Ekonomi
Korupsi dapat mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat ketidakefisienan
yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian
dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup,
dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga dan mengacaukan lapangan perniagaan. Perusahaan yang
memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang efisien.

Korupsi menimbulkan kekacauan dalam sector public dengan mengalihkan


investasi public ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia
lebih. Korupsi mengurangi syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup dan

17
aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintah dan
infrastruktur serta menambahkan tekanan- tekanan terhadap anggaran pemerintah.

2. Politik
Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan
pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Dengan demikian
masyarakat tidak akan percaya pada pemerintah dan pemimpin tersebut. Akibatnya
rakyat tidak akan patuh dan tunduk pada otoritas pemimpin. Untuk mempertahankan
kekuasaan, penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan (otoriter) atau
menyebarkan korupsi lebih luas lagi di masyarakat.

Di samping itu keadaan yang demikian akan memicu terjadinya instabilitas sosial
poltik dan integrasi sosial karena pertentangan antara penguasa dan rakyat. Bahkan
dalam banyak kasus, hal ini mengakibatkan jatuhnya kekuasaan pemerintahan secara
tidak terhormat.

3. Birokrasi
Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya
administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dilingkungi oleh korupsi, maka
prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan kualifikasi tidak akan pernah
terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya
orang yang mempunyai uang saja yang akan mendapatkan layanan yang baik karena
mampu menyuap. Keadaan ini dapat mengakibatkan meluasnya keresahan sosial,
ketidaksetaraan sosial, dan kerahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.
4. Masyarakat dan Individu

Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan
setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat
yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu
dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri. Tidak akan ada kerjasama
dan persaudaraan yang tulus.

Korupsi dapat berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan


kesetaraan sosial. Korupsi mengakibatkan perbedaan yang tajam diantara kelompok
sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, kekuasaan, dan lain-lain. Korupsi juga

18
membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Jika suasana
masyarakat telah tercipta seperti demikian, maka keinginan publik untuk berkorban
demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan
hilang.

5. Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis yang berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan


pemberi sogok, bukannya rakyat. Salah satu contohnya adalah politikus membuat
peraturan yang melindungi perusahaan besar namun merugikan perusahaa kecil.
Timbulnya privatisasi besar-besaran yang ditandai dengan dikeluarkannya berbagai
undang-undang yang merugikan rakyat seperti Undang-Undang Ketenagalistrikan,
Undang-Undang Minerba, Undang-Undang BHP, dan sebagainya dalah akibat dari
korupsi politis. Politikus-politikus ini hanya mengembalikan pertolongan kepada
perusahaan besar yang memberi sumbangan besar pada kampanye pemilu mereka
sehingga setiap undang-undang yang dibuat hanya menguntungkan perusahaan-
perusahaan besar saja.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari paparan masalah di atas, dapat penulis simpulkan KKN kini sudah
meralela di negri kita tercinta, dan menjadi suatu tren dalam berkehidupan. Korupsi di
Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin
pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997
saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan dan kepercayaan yang
pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Namun sayangnya, rakyat kecil umumnya
bersikap apatis dan acuh tak acuh. Kelompok mahasiswa sering menanggapi
permasalahan korupsi dengan emosi dan demonstrasi. Fenomena umum yang
biasanya terjadi di Indonesia ialah selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin
berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu. Mereka
hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih
“kepentingan rakyat”. Dan ironisnya, penyumbang terbesar kasus korupsi dan
nepotisme berasal dari dunia pendidikan, dimana seharusnya instansi tersebut menjadi
wadah untuk mencetak warga Negara yang mampu membimbing Negara ini untuk
lebih maju. Dampak korupsi sangatlah besar baik dalam aspek politik, ekonomi,
birokrasi, kesejahteraan umum negara, termasuk terhadap masyarakat dan individu.

B. Saran

Sebaiknya pemerintah lebih serius dalam menanggulagi masalah korupsi ini,


karena masalah ini sungguh merugikan masyarakat terutamanya dalam pembangunan
dan ekonomi. Disamping itu, peran serta masyarakat dalam memerangi KKN juga
penting. Misalnya dengan memberikan pendidikan anti korupsi sejak dini,
mengajarkan nilai nilai kejujuran dan sebagainya. Dan bagi para pejabat-pejabat
sebaiknya menahan diri untuk mengambil hak milik orang lain. Sebab, jika kita
mengambil hak milik orang lain, kita tak ada bedanya dengan orang yang tak punya
apa-apa.

20
DAFTAR PUSTAKA

Alhada. 2011. Esay Masalah Korupsi di Indonesia. Tersedia pada : http://alhada-


fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-46147-Esay-Masalah%20Korupsi%20Di
%20Indonesia.html. Diakses pada tanggal 20 November 2013.

Anonim. 2012. Perkembangan Korupsi di Indonesia. Tersedia pada :


http://www.jualbeliforum.com/lounge/90284-perkembangan-korupsi indonesia.html
Diakses pada tanggal 18 November 2013.

Anonim. 2013. Rapor Merah Sepuluh Tahun Korupsi Pendidikan. Tersedia pada :
http://www.antikorupsi.org/id/content/rapor-merah-sepuluh-tahun-korupsi-
pendidikan DIakses pada tanggal 19 November 2013.

Anonim. 2013. Sepanjang 2004-2012 Ditemukan 116 Kasus Penyuapan. Tersedia pada :
http://nasional.sindonews.com/read/2013/05/29/13/744032/sepanjang-2004-2012-
ditemukan-116-kasus-penyuapan. Diakses pada tanggal 20 November 2013

Muhamad Redja. 2011. Fenomena Korupsi di Indonesia. Tersedia pada :


http://muhammadredja.wordpress.com/pkn/contoh-makalah/. Diakses pada tanggal
17 November 2013

21

Anda mungkin juga menyukai