Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH BUDAYA ANTI KORUPSI

SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA


Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Tugas Budaya Anti Korupsi

Oleh :
Kelompok 2

1. Hendrawati (P07120418008)
2. Ni Made Putri Saraswati (P07120418010)
3. Qibithia Maria Malik (P07120418014)
4. Septi Nul Fitasari (P07120317070)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN PROGRAM PROFESI
MATARAM
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Penyebab Korupsi” dengan lancar. Penulisan makalah ini merupakan kewajiban dan
sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi.
Kami menyadari sepenuhnya dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami terus menunggu saran dan kritik yang sifatnya
membangun dan positif. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan pihak yang berkepentingan.

Selasa, 05 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................... 01
B. Rumusan Masalah................................................................... 01
C. Tujuan….................................................................................. 01
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi…………………………………….…... 02
B. Sejarah Korupsi di Indonesia……………………………… 03
C. Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia……………... 14
D. Kasus Korupsi di Indonesia………………………………... 16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................ 19
B. Saran...................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ramai di perbincangkan, baik di
media massa maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan
oleh para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat
luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malah merugikan
negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup
rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melekukan tindak
korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang korupsi di
Indonesia dan upaya untuk memberantasnya.
Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan
sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era
Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi,
namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari korupsi?
2. Bagaimana sejarah korupsi di Indonesia?
3. Bagaimana sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia?
4. Apa saja kasus-kasus korupsi di Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari korupsi.
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah korupsi di Indonesia.
3. Untuk mengetahui bagaimana sejarah pemberantasan korupsi di
Indonesia.
4. Untuk mengetahui apa saja kasus-kasus korupsi di Indonesia.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
1. Pengertian Korupsi Secara Umum
Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Transparency
International korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dalam arti yang luas,
korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi.
2. Pengertian Korupsi Menurut Para Ahli
a. Menurut Ilmu Politik : korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan
jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan
oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh
keuntungan pribadi, sehingga meninmbulkan kerugian bagi
masyarakat umum, perusahaan, atau pribadi lainnya. 
b. Menurut Ahli Ekonomi : korupsi didefinisikan sebagai pertukaran
yang menguntungkan (antara prestasi dan kontraprestasi, imbalan
materi atau nonmateri), yang terjadi secara diam-diam dan sukarela,
yang melanggar norma-norma yang berlaku, dan setidaknya
merupakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dimiliki
salah satu pihak yang terlibat dalam bidang umum dan swasta.
c. Menurut Haryatmoko : korupsi adalah upaya campur tangan
menggunakan kemampuan yang didapat dari posisinya untuk
menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau
kekayaan demi kepentingan keuntungan dirinya.
d. Menurut Brooks : korupsi adalah dengan sengaja melakukan kesalahan
atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa
keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi. 

2
3. Pengertian Korupsi Menurut Undang-Undang
a. Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 “Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara”
b. Korupsi menurut Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 “Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

B. Sejarah Korupsi di Indonesia


Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan
sesudah kemerdekaan, di era orde lama, orde baru, berlanjut hingga era
reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi,
namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan
kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan
dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan,
pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah
Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah
politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah
ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging
mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala
lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu
sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan
kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan
lain-lain” dan banyak menimbulkan tragediyang teramat dahsyat.

3
1. Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-
tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan,
kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi
berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari
(sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya),
Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko
Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta
dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap
Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan
kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di
Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi
mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah
lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan
keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan
“Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit
dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para
bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya
pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit
diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg)
sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan
semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya
oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram
menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan
Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan

4
Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan
Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan
Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal
karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan
Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa
penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu
menjajahIndonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih
karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya
pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral,
kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi
demokrasi Terlebih lagi sebagianbesar penduduk di Nusantara tergolong
miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih
parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur
pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka
dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga
Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya
tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan
kekuasaanyang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja
korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi
oleh kalangan bangsawan,sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris
“belum mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara
saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar
“mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita
pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi.
Lebihdari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia
kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan

5
bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan
Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles
(Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-
1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa”
baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa
Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi
situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau,
iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi
penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter
penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah
terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk
lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan
persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan
di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar
menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya
abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya.
Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku
oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung,
dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan
saranyang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan
atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya
kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam
aspekekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-
sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin,
tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak
“penguasa”.

6
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut
menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem
juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak)dari rakyat
yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang
akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan
setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit)
hartayang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada
yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak
juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil
pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti
di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan
beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulahyang mendorong atau
menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa”
rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap
jenis atau volume komoditiyang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh
Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942)
minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak
terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja
misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 –
1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun,yang lebih menyedihkan
lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang
terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja
misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel
(CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan
utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat
agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat
memprihatinkan.

7
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat
“manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau
praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS),
yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar
pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS
menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi
“Tanam Paksa”. Seperti apakah bentuk-bentuk pelanggaran CS tersebut?
Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan
tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau,
Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya
yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran,
padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda
Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5
dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan
Belanda.
b. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam
praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang
sering meng-korup belum tentu Belanda)
c. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di
perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan).
Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan
bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani
melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali
sanksi).
d. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa
bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun
praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang
diperhitungkan pada tahun berikutnya.

8
e. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi
kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk.
Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para
pengumpul.
f. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun
pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item”
yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
2. Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan?
Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal
sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya
kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama
maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat
masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas
korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya,
namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali
dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi –
namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya.
Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk
berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan
Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah
diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar
kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata
kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para

9
pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran
tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat
berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-
daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan
kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu
menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua
dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu
meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”.
Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga
negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi
Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari
pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden
untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain
menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan
negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang
cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu
prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut
Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus
ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan
pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya
menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana
Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan
Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi
pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

10
3. Era Orde Lama
Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960
Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran
tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa
kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas
intervensi PM Ali Sastroamidjoyo,Ruslan Abdulgani sang menteri luar
negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay
mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani,
yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu.Syamsudin Sutan
Makmur, dan Direktur Percetakan Negara,Pieter de Queljoe berhasil
ditangkap. Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara
tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia
tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di
Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan
menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah
Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI. Jenderal
Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini,
namun kurang berhasil. Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini
dilakukan oleh beberapa institusi:
1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi).
2. Komisi Pemberantasan Korupsi.
3. Kepolisian.
4. Kejaksaan.
5. BPKP.
6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa.
4. Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16
Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang
tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi

11
dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto
bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai
wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas
korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan
unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara
seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot
masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya
gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya
ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof
Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka
yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog,
CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini
hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di
Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,
dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga
memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di
masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul
perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution.
Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi,
Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi,
harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana
Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu,
Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
5. Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak
dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi

12
hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus
Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi
sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru
yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA
serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde
Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan
secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti
KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya,
Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki
Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah
semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim,
melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian
masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat
mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan
pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-
tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan
kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-
menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan
konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman.

13
Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun
menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik.
Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di
masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata
wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas
kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa
mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian
SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The
Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan
MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya
macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam
upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih
memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene
memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah
semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus
korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

C. Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia


Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam
pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala
negara tak luput dari kesungguhan meneropong apa komitmen yang diberikan
oleh calon kepala negara untuk memberantas korupsi. Tak pelak ini terjadi
karena korupsi terus terjadi menggerus hak rakyat atas kekayaan negara.
Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris tak tersisa untuk kesejahteraan
masyarakat.
Semuanya tergerus oleh perilaku licik birokrat berkongkalingkong
dengan para koruptor. Komitmen pemberantasan korupsi ini juga menjadi
daya tarik pemilih untuk mencari calon kepala negara yang memiliki

14
komitmen nyata dan memberikan secercah harapan bahwa setiap orang yang
berbuat curang pada negara layak diusut sampai penghabisan.
Komitmen kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
tentu masih terngiang dalam pendengaran kita, bahkan mungkin lengkap
dengan cengkok gaya bahasa dalam pidatonya yang disampaikan bahwa
dirinya akan berada di garda terdepan dalam pemberantasan negeri ini.
Rupanya komitmen yang disampaikan oleh SBY ini bukan barang baru.
Pendahulunya, Soeharto pernah menyatakan komitmen yang sama. Saat itu
tahun 1970 bersamaa dengan Peringatan Hari Kemerdekaan RI, Soeharto-
Presiden saat itu-mencoba meyakinkan rakyat bahwa komitemn memberantas
korupsi dalam pemerintahannya sangat besar dan ia juga menegaskan bahwa
dia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi. “Seharusnya tidak
ada keraguan, saya sendiri yang akan memimpin.”
Tak semudah diucapkan, komitmen pemberantasan korupsi memang
berat untuk dilakukan. Berbagai upaya pemberantasan korupsi dicanangkan di
setiap periode pemerintahan negara ini. Beberapa referensi menyatakan bahwa
pemberantasan korupsi secara yuridis baru dimulai pada tahun 1957, dengan
keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan
yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh
penguasa militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan
Angkatan Laut.
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28
Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam
pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara
maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi.
Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi
mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai
dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa permasalahan
dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.

15
Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung
Hatta memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia.
Padahal, lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru
yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta
seperti merasakan cita-cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa
yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat
itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi
itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia, tak ada kompromi
apapun dengan korupsi.

D. Kasus Korupsi di Indonesia


1. Kotawaringin Timur
KPK resmi menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi
sebagai tersangka atas kasus korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambanga
(IUP) di daerah itu. Dalam kasus ini, negara tercatat mengalami kerugian
hingga Rp 5,8 triliun dan 711 ribu dolar AS.
Supian yang juga kader PDIP ini diduga menguntungkan diri sendiri
dan korporasi dalam pemberian IUP kepada tiga perusahaan yakni PT.
Fajar Mentaya Abadi (PT. FMA), PT. Billy Indonesia (PT. BI) dan PT.
Aries Iron Maining (PT. AIM) pada periode 2010-2015.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho
menyebut kasus korupsi Bupati Kotawaringin Timur menjadi salah satu
kasus korupsi terbesar yang ditangani oleh KPK. Jadi ini satu kerugian
negara paling besar yang kami tahu yang ditangani KPK.
2. Kasus BLBI
Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Nak Indonesia (BLBI) yang telah
bergulir sejak lebih dari satu dasawarsa ini juga menjadi salah satu kasus
korupsi terbesar yang pernah ada di tanah air. Hingga kini, kasus yang
membelit sejumlah petinggi negara dan perusahaan besar ini masih juga
belum menemui titik terang.

16
BLBI adalah program pinjaman dari Bank Indonesia kepada sejumlah
bank yang mengalami masalah pembayaran kewajiban saat menghadapi
krisis moneter 1998. Bank yang telah mengembalikan bantuan
mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL), namun belakangan
diketahui SKL itu diberikan sebelum bank tertentu melunasi bantuan.
Menurut keterangan KPK, kerugian negara akibat kasus megakorupsi
ini mencapai Rp 3,7 triliun. Penyelesaian kasus besar yang ditargetkan
rampung 2018 ini pun kembali molor hingga 2019.
3. Kasus E-KTP
Kasus pengadaan E-KTP menjadi salah satu kasus korupsi yang paling
fenomenal. Kasus yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golkar
Setya Novanto ini telah bergulir sejak 2011 dengan total kerugian negara
mencapai Rp 2,3 triliun.
Setidaknya ada sekitar 280 saksi yang telah diperiksa KPK atas kasus
ini dan hingga kini ada 8 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka adalah pengusaha Made Oka Masagung, Keponakan Setya
Novanto yakni Irvanto Hendra Pambudi, Mantan Direktur Pengelola
Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen Dukcapil Kemendagri
Sugiharto, Mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kemendagri Irman, pengusaha Andi Narogong, Mantan Ketua Umum
Golkar Setya Novanto, anggota DPR Markus Nari, dan Direktur PT
Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.
4. Proyek Hambalang
Kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana
Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang juga tercatat menjadi salah
satu kasus korupsi besar yang pernah ada. Nilai kerugiannya mencapai Rp
706 miliar.
Pembangunan proyek Hambalang ini direncanakan dibangun sejak
masa Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng dengan

17
menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun. Proyek yang ditargetkan
rampung dalam waktu 3 tahun ini mangkrak hingga akhirnya aliran dana
korupsi terendus KPK.
Aliran dana proyek ini masuk ke kantong beberapa pejabat. Di
antaranya Mantan Menpora Andi Malarangeng, Sekretaris Kemenpora
Wafid Muharram, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum,
Direktur Utama PT Dutasari Citra Laras Mahfud Suroso, Anggota DPR
Angelina Sondakh.
5. Soeharto
Mantan Presiden Kedua Soeharto disebut-sebut telah melakukan
tindak pidana korupsi terbesar dalam sejarah dunia. Kekayaan negara yang
diduga telah dicuri oleh Soeharto berkisar antara 15 hingga 35 miliar dolar
AS atau sekitar Rp 490 triliun.
Lembaga internasional yang memerangi korupsi yakni Transprency
International merilis bahwa Soeharto menjadi salah seorang tokoh paling
korup di dunia. Diperkirakan masih ada banyak sumber pemasukan
keluarga Soeharto dari hasil perusahaan swasta dan kebijakan yang ia buat
untuk memperkaya diri.
Peneliti ICW Emerson Yuntho meminta agar pemerintah dapat segera
mengusut tuntas kasus korupsi terbesar ini. Sebab penyelesaian kasus ini
merupakan mandate reformasi.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa korupsi adalah segala tindakan yang menyelewengkan suatu
jabatan atau amanah atau kekuasaan demi mendapatkan suatu keuntungan
bagi diri si pelaku.
Dan sejarah korupsi di Indonesia sangatlah panjang, mulai dari zaman
sebelum kemerdekaan yaitu pendudukan belanda di Indonesia, lalu zaman
setelah kemerdekaan yaitu mulai dari era orde lama, era orde baru, hingga era
reformasi sekarang ini budaya korupsi belum bisa hilang dan terus mengakar
di bumi pertiwi ini. Korupsi di Indonsia dimulai sejak era orde lama sekitar
tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi
di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis
politik, sosial, kepemim-pinan dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi
krisis multidimensi.

B. Saran
Bagi mahasiswa agar mempunyai semangat yang lebih untuk
mempelajari tentang arti korupsi dan sejarah korupsi di Indonesia. Lebih
lanjut, diharapkan makalah ini bisa dijadikan referensi bagi mahasiswa dalam
mempelajari tentang arti korupsi.

19
DAFTAR PUSTAKA
Axel,D, Christos,K, Steve ,M., 2004.Corruption Around the   World: Evidence from a
Structural Model.
Budiyanto., 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga
Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK
dan Korupsi Tahun 2008.
Transparency International (2008), Transparency International 2008 orruption
Perceptions Index – Immediate Release.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Mauro, Paolo (1995), ”Corruption and Growth”, The Quarterly Journal of
Economics, August 1995.
Wijayanto ; Zachrie, Ridwan [ed.]. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Muslim, Mahmuddin ; Mahbub, Agus Sahlan ; Erwin, Ahmad Yulden [ed.]. 2004.
Jalan Panjang Menuju KPTK. Jakarta: Gerak Indonesia dan Yayasan Tifa.
Chalid, Hamid ; Johan, Abdi Kurnia. 2010. Politik Hukum Pemberantasan Korupsi
Tiga Zaman : Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta:
Masyarakat Transparansi Indonesia.

20

Anda mungkin juga menyukai