Anda di halaman 1dari 15

KKN Era Jokowi Akmal

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia bukan lagi merupakan sebuah fenomena,
melainkan sudah merupakan fakta yang terkenal di mana-mana.1 Setelah runtuhnya orde baru
besar harapan bahwa fenomena ini akan berakhir sebagaimana berakhirnya orde baru tersebut.
Tetapi nyatanya tidak,fenomena ini telah mengakar kuat dari hulu ke hilir,sudah layaknya seperti
sebuah kebudayaan yang ada dari pusat hingga daerah. Sumartana, menyatakan bahwa Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) akhir-akhir ini dianggap sebagai wujud paling buruk dan paling
ganas dari gejala kemerosotan moral dari kehidupan masyarakat dan bernegara di negeri kita.2

KKN adalah produk dari relasi sosial-politik dan ekonomi yang pincang dan tidak manusiawi.
Relasi yang dikembangkan adalah relasi yang diskriminatif, alienatif, tidak terbuka, dan
melecehkan kemanusiaan. Kekuasaan dianggap sebagai sebuah privilege bagi kelompok (kecil)
tertentu, serta bersifat tertutup dan menempatkan semua bagian yang lain sebagai objek-objek
yang tak punya akses untuk berpartisipasi. Setiap bentuk kekuasaan (baik politik, sosial, maupun
ekonomi) yang tertutup akan menciptakan hukum-hukumnya sendiri demi melayani kepentingan
penguasa yang eksklusif. Kekuasaan yang tertutup semacam ini merupakan lahan subur yang
bisa menghasilkan panen KKN yang benar-benar melimpah.3

Mubaryanto, penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa,
salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakkan
menjadi ”KKN”. Perbuatan nama dari korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena
praktek korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme.4 Tetapi tidak dapat disangkal bahwa
dampak ”penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi
lebih mudah ditoleransi dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi secara gamblang dan
jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme. Tuntutan terhadap paradigma good governance

1
Fathurrahman Djamil dkk, “Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN): Dalam Perspektif Hukum dan Moral Islam”;
dalam Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1999, hlm. (103-115),
103 
2
 Sumartana. “Etika dan Penanggulangan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Era Reformasi”, Yogyakarta: Aditya
Media, 1999, hlm. (97-102), 100.
3
 Ismansyah Ismansyah, Purwantoro Agung Sulistyo “Permasalahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Daerah
serta Strategi Penanggulangannya” hlm.43.
4
 Almarhum Prof. Dr. Mubaryanto, merupakan Guru Besar Universitas Gadjah Mada, yang mengabdikan dirinya
pada pengkajian ekonomi rakyat melalui konsepsi ekonomi pancasila, yang tetap ia yakini hingga akhir hayatnya.
dalam seluruh kegiatan di era globalisasi dewasa ini sudah tidak dapat dielakkan lagi. Tuntutan
tersebut menjadi penting karena jika kondisi good governance dapat dicapai, maka terwujudnya
negara yang bersih dan responsif (clean and responsive state), maraknya masyarakat sipil
(vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang bertanggung jawab (good corporate
governance) niscaya tidak lagi hanya menjadi sebuah impian.5

Sebagaimana telah diutarakan bahwa korupsi adalah istilah yang telah lama dikenal. Sementara
istilah Kolusi dan Nepotisme baru muncul pada dekade terakhir ini. Namun demikian ketiga
istilah itu sangat erat berkaitan dan mengandung makna inti yang sama, sebab esensi kolusi dan
nepotisme merujuk juga pada korupsi, baik dalam arti ekonomi maupun politik (political
corruption).6

Dalam teori sosial, korupsi mengandaikan adanya pejabat umum dengan kekuasaan untuk
memilih alternatif tindakan yang berkaitan dengan penggunaan kekayaan dan kekuasaan
pemerintahan yang bisa diambil dan dipergunakan untuk kepentingan pribadi. Meskipun
demikian, korupsi bisa terjadi dimana saja, tidak hanya terjadi di kalangan birokrat pemerintah,
melainkan dapat juga terjadi di perusahaan, yayasan, partai, rumah sakit, bahkan di lembaga
keagamaan. Oleh karena itu korupsi tidak semata-mata dipahami sebagai gejala politik
melainkan juga sebagai gejala sosial dan gejala budaya. Dalam persepsi kita di Indonesia,
korupsi sering dipahami sebagai gejala moral. Orang melakukan korupsi karena moralnya rusak.

Tindak pidana korupsi itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan sistem dimana suatu
masyarakat hidup. Oleh sebab itu korupsi dapat digolongkan sebagai gejala kejiwaan kelompok
(group psychology). Jadi meski tingkat perkembangan dan kondisi moralitas orang seorang juga
penting, tetapi lebih penting lagi adalah pengaturan sosial budaya yang mengkondisikan
kelompok. Seperti telah dikemukakan bahwa kolusi dan nepotisme termasuk dalam kategori
korupsi. Kedua istilah ini telah dipahami batasan pengertiannya menurut perundang-undangan
yang berlaku. Tetapi berdasarkan telaah kepustakaan, diakui bahwa menemukan definisi kolusi

5
Ismansyah Ismansyah, Purwantoro Agung Sulistyo, Op. cit hlm. 44.
6
M. Dwam Rahardjo, “ Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN: Kajian Konseptual dan Sosio-Kultural”;Menyingkap
Korupsi. hlm. 19.
dan nepotisme memang tidak mudah, karena hampir kebanyakan kamus maupun ensiklopedia
politik tidak memasukkannya sebagai entri.7

Sebagai pengertian pembanding dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Leonard D. White mengartikan nepotisme sebagai “sistem penunjukan sanak saudara ke jabatan
publik”. Hampir serupa dengan istilah nepotisme, istilah kolusi juga tampaknya lebih merupakan
istilah makro ekonomi atau ekonomi politik ketimbang merupakan istilah hukum. Meminjam
istilah yang dikemukakan David W. Pearce dalam “Dictionary of Modern Economics”.8

Dawam Rahardjo menerjemahkan pengertian kolusi sebagai berikut: Kolusi adalah: “Perjanjian
antar perusahaan untuk bekerja sama, guna menghindari persaingan yang saling merusak. Cara
untuk mencapai kerja sama itu sejak perjanjian yang sifatnya informal hingga yang rahasia atau
sembunyi-sembunyi, mulai dari penggabungan informasi umpamanya, hingga pengaturan resmi
dalam suatu organisasi kartel, dimana sanksi dikenakan bagi yang melanggar”. 9 Menurut Dawam
Rahardjo kolusi sebagai gejala dapat dikenali karena beberapa faktor yaitu: Pertama, peranan
pemerintah yang sangat kuat dalam pembangunan ekonomi maupun dalam mendorong
perkembangan bisnis. Kedua, tumbuhnya korporasi dan konglomerasi yang perkembangannya
dan besarnya sangat mengesankan. Ketiga, sedikitnya orang yang memperoleh kesempatan dan
mampu mengembangkan usaha besar. Keempat, nampaknya kerjasama antara pengusaha-
pengusaha tertentu dengan penguasa, dan Kelima, berkembangnya politik sebagai sumberdaya
baru atau faktor produksi baru yang menentukan keberhasilan perusahaan.10

Oleh karena itu good governance tidak lagi hanya pemerintah, tetapi juga citizen masyarakat dan
terutama sektor usaha/swasta yang berperan dalam governance. Jadi, ada penyelenggara
pemerintah, penyelewengan swasta, dan organisasi masyarakat. Hal ini karena perubahan
paradigma pembangunan dengan peninjauan ulang peran pemerintah dalam pembangunan, yang
semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi bagaimana menciptakan iklim
yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. Sudah barang

7
Ismansyah Ismansyah, Purwantoro Agung Sulistyo, Op. cit hlm. 48.
8
  M. Dwam Rahardjo, Op. cit hlm. 25.
9
Ibid., hlm. 26
10
 Ibid., hlm. 27
tentu, ini bisa dilakukan apabila masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah semakin
mampu/berdaya. Justru sekarang adalah usaha pembangunan melalui koordinasi, sinergi
(keselarasan kerja/interaksi) antara pemerintah -masyarakat – swasta. Mungkin dapat dilihat
sebagai bentuk pemerintah memberdayakan masyarakat terutama sektor usaha agar menjadi
partner pemerintah.11

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus dikelola melalui pemerintahan yang bersih yang
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Adapun pengertian daripada korupsi, kolusi dan
nepotisme berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari KKN, terdapat garis pedoman pemerintah terhadap pengelolaan
negara terutama di bidang keuangan antara lain:
1. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;
2. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban Penyelenggara Negara.
3. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Asas-asas tersebut haruslah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya agar


terciptanya kondisi ideal sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar
1945. Dengan dianutnya asas-asas umum di dalam produk-produk legislasi tersebut, sekaligus
dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

sejalan dengan itu maka harus dilakukan upaya-upaya lain untuk mencapai tujuan tersebut salah
satunya dengan sistem integrasi nasional yang mana sistem ini melibatkan berbagai aspek Sistem
Integritas Nasional di semua lapisan masyarakat sangat penting bagi proses reformasi dan

11
 Lilin Budiati, 2012, Good Governance Dalam Pengelolaan LIngkungan Hidup, Bogor: Ghalia Indonesia, Hal.
34.
hendaknya dilakukan secara berkesinambungan. Pendekatan ini penting artinya agar tujuan
pembangunan dapat dicapai.
Menurut Jeremy Pope, tujuan yang hendak dicapai adalah pendekatan, dengan memperhatikan
antara lain :
1. Pelayanan publik yang efisien dan efektif serta menyumbang pada pembangunan
berkelanjutan.
2. Pemerintahan yang berjalan berdasarkan hukum, yang melindungi warga masyarakat dari
kekuasaan sewenang-wenang (termasuk dari pelanggaran hak asasi manusia).
3. Strategi pembangunan yang menghasilkan manfaat bagi Negara secara keseluruhan, termasuk
rakyatnya yang paling miskin dan tidak berdaya, bukan hanya bagi para elit.12

Untuk dapat mewujudkan good governance sebagaimana dituntut oleh masyarakat maupun
lembaga-lembaga donor internasional tersebut, salah satu unsur penting yang harus terpenuhi
adalah adanya transparansi atau keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktivitas, baik
aktivitas sosial, politik maupun ekonomi. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat transparansi
dan akuntabilitas maka seharusnya semakin rendah pula kemungkinan terjadinya KKN.

Secara  konseptual  strategi  pemberantasan  korupsi  harus  dibangun  dan  didahului oleh 
adanya  itikad  kolektif, yaitu  semacam  kemauan  dan  kesungguhan  (willingness) dari 
kekuasaan  Presiden  tidak  memberikan  toleransi  sedikitpun  terhadap  perilaku korupsi. Oleh
karena itu, dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif memberantas korupsi,  dibutuhkan 
pemenuhan  prasyarat yakni  didorong  oleh political will yang  kuat.13

Dalam  ilmu  politik,  gagasan  arus  utama  pemberantasan  korupsidikembangkan dari  teori
principal-agent.Teori  inimelihat  korupsi sebagai  pengkhianatan  agen terhadap mandat yang
telah diberikan oleh principal.Dalam korupsi politik, korupsi oleh  politisi  atau  agen
merupakan  pengkhianatan  politisi  terhadap  rakyat  sebagai principal yang  telah  memberikan 
mandat dalam  Pemilu.  Dalam  korupsi birokrasi, korupsi  oleh  pegawai  negeri  merupakan 

12
Pope, Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2003, hlm. 61.

13
 Badjuri,  Achmad.  (2011).  Peranan  Komisi  Pemberantasan  Korupsi  (KPK)  sebagai
lembaga  anti  korupsi  di  indonesia.
Jurnal  Bisnis  Dan  Ekonomi, hlm. 18
pengkhianatan terhadap  mandat  yang  telah diberikan  oleh  pemimpin  instansi pemerintah 
Presiden.14

Korupsi yang sistemik tidak saja terjadi pada aktivitas mengambil  uang negara.  Lebih  dari itu 
menyerang  kelembagaan  dan  personal anggota  kelembagaan  pemberantasan  korupsi  juga 
merupakan  rangkaian  melakukan korupsi.15 Inilah yang terjadi di Indonesia, serangan koruptor
tidak saja di alamatkan terhadap lembaga seperti KPK, namun juga personil lembaganya. Upaya
pelemahan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, dilakukan mulai dari menyerang
kelembagaan melalui upaya legislasi dengan melemahkan KPK, sampai dengan menyerang
penyidik senior KPK novel baswedan. Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Novel Baswedan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menyelesaikan kasus
penyerangan air keras terhadapnya. Novel meminta Jokowi merealisasikan janjinya untuk
mengungkap siapa pelaku utama dibalik penyiraman air keras yang menyebabkan matanya
menjadi tidak normal. Permintaan novel terhadap Presiden Jokowi sangatlah berdasar. Sebab jika
melihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 8 menyebutkan:

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden;


2. Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan
tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.16

Maka mekanisme atasan dan bawahan sangat dimungkinkan antara Presiden dan Kepolisian.
Berpijak pada teori pembagian kekuasaan dan sistem pemerintahan presidensial, fungsi
pemerintahan diselenggarakan oleh lembaga eksekutif yang dipimpin oleh Presiden, sehingga
Presiden bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu mengkaji
tentang kedudukan kepolisian yang didasarkan pada fungsi utamanya, tidak dapat dipisahkan
dengan fungsi utama pemerintah yang dipimpin oleh Presiden.17 Tidak aneh jika Novel meminta
14
Johanes   Danang   Widoyoko.   (2016).   Menimbang   Peluang   Jokowi   Memberantas Korupsi:  Catatan 
untuk  Gerakan  Anti  Korupsi. Jurnal Integritas, 2(1),  4.
15
 Kurniawan,  Kukuh  Dwi. (2019).  Gagasan  Advokat  Menjadi Whistleblower  dalam Pengungkapan Tindak 
Pidana  Korupsi. Justitia  Jurnal  Hukum, 3(1),  100–115.
16
 Muhammad Ilham Akbar.  Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021, hlm. 1392.
17
 Danendra, Ida Bagus Kade. (2013). Kedudukan dan Fungsi Kepolisian dalam Struktur Organisasi Negara
Republik Indonesia. Lex Crimen, 1(4).
Presiden untuk menyelesaikan kasusnya, karena Presiden membawahi Polri yang bertugas
menuntaskan persoalan kasus kriminal. Selain persoalan novel di atas, persoalan lain perihal
political will Presiden Jokowi adalah saat masyarakat ramai-ramai menolak revisi Undang-
Undang 30/2002 yang sekarang telah menjadi Undang-Undang 19/2019 tentang KPK. Presiden
Jokowi tidak tampil sebagai kepala negara yang berpihak terhadap rakyat. Malahan yang terjadi
Presiden Joko Widodo menandatangani dan mengirimkan Surat Presiden (SurPres) terkait revisi
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan
terbitnya surpres ini, pemerintah setuju untuk membahas revisi Undang-Undang KPK bersama
DPR. Surpres berisi penjelasan dari Presiden, bahwa presiden telah menugaskan menteri untuk
membahas revisi Undang-Undang KPK bersama DPR. Sebelumnya, semua fraksi di DPR setuju
revisi Undang-Undang KPK yang diusulkan Badan Legislasi DPR. Persetujuan seluruh fraksi
disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis 5 September 2019. Draf revisi
langsung dikirim kepada Presiden Jokowi.18

Sikap presiden jokowi mengirimkan surpres menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa bisa
presiden menyetujui revisi Undang-Undang yang ditolak oleh masyarakat luas. Apakah presiden
jokowi tunduk terhadap rakyat ataukah kekuasaan oligarki di DPR. Sebab dengan mengirimkan
surpres maka Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 Tentang pemberantasan korupsi menjadi disahkan, yang dampaknya hingga saat ini
sangat dirasakan jauh dari konsep hukum kelembagaan pemberantasan korupsi yang diidealkan. 19
Padahal presiden punya waktu yang banyak untuk menolak pengesahan Undang Undang No 19
Tahun 2019 tersebut. Sebab dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Undang-Undang Dasar
1945 hasil amandemen, memberikan kekuasaan legislatif begitu besar kepada Presiden. Selain
mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang bersama DPR, dalam kondisi kegentingan
yang memaksa Presiden juga mempunyai kekuasaan membentuk Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu), serta berhak menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan undang-undang.20

18
  Muhammad Ilham Akbar. Op. cit hlm. 1392.
19
 Wahyuningrum, Kartika Sasi, Disemadi, Hari Sutra, & Jaya, Nyoman Serikat Putra. (2020). Independensi
Komisi Pemberantasan Korupsi: Benarkah Ada? Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 4(2), 239–258.
20
 Ghoffar, Abdul. (2019). Perbandingan kekuasaan presiden Indonesia setelah perubahan UUD 1945 dengan
delapan negara maju.Kencana:Jakarta.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas kekuasaan legislasi Presiden pasca reformasi begitu
besar dan kuat. Presiden bukan saja sebagai pihak terkait atau pembahas, lebih dari itu Presiden
menentukan sah atau tidaknya suatu Undang-Undang. Bahkan dalam hal Presiden ingin
melakukan veto terhadap suatu Undang-Undang yang sudah berlaku dan sementara dijalankan.
Presiden dapat menerbitkan Perppu yang membatalkan suatu Undang-Undang, dimana hak
tersebut merupakan hak konstitusional seorang Presiden. Maka sudah sangat wajar jika
masyarakat mempertanyakan political will Presiden Jokowi terhadap kelembagaan KPK.
Pembelaan yang selama ini terjadi dalam beberapa era presiden, adalah dalam pengambilan
keputusan presiden tidak sendiri ada DPR yang kepentingannya juga harus diakomodasi.

Secara politik, Indonesia memang merupakan negara yang menempatkan koalisi sebagai bagian
kekuatan Partai Politik (Parpol) dalam pertarungan merebut kekuasaan pada pemilihan Presiden.
Koalisi yang diciptakan di antara partai politik di Indonesia tidak kaku dan cenderung liquid/cair,
dikarenakan koalisi lebih mengutamakan pada kesamaan kepentingan bersama dalam
memperoleh kekuasaan. Kekuatan koalisi yang dibangun partai politik pada pemilihan Presiden
berasal dari pada kekuatan penguasaan parlemen. Hal ini dilakukan oleh koalisi-koalisi dari
masing-masing pendukung sehingga bukan hanya koalisi di ranah eksekutif namun legislatif juga
diperkuat.21

Memang menjadi dilema, sebab sistem pemerintahan kita menjadikan siapapun menjadi Presiden
akan cenderung bermuka dua. Disatu sisi harus menjaga suara masyarakat sebagai pemegang
suara demokrasi yang sebenarnya. Namun disatu sisi Presiden juga harus mendengarkan suara
politik di DPR. Karena jika enggan mendengarkan maka Presiden dapat dijebak dalam
pengambilan keputusan. Dalam kata lain Presiden dapat dipenjara dalam suatu pengambilan
keputusan dengan kekuatan parlemen (DPR). Hanya saja jika seorang Presiden bersikap
negarawan maka tentu dia tidak akan tunduk pada kepentingan oligarki di DPR. Kemudian untuk
melihat konsistensi political will presiden Jokowi dalam ranah dukungan terhadap personil
kelembagaan KPK, dapat kita lihat dalam alih status pegawai KPK menjadi ASN. Presiden
Jokowi telah memberikan pernyataan terkait tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK yang dinyatakan
tidak lulus dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai proses pengalihan status menjadi

21
 Wospakrik, Decky. (2016). Koalisi Partai Politik Dalam Sistem Presidensil Di Indonesia. Papua Law Journal,
1(1), 142–161.
Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam pernyataannya, Presiden memandang bahwa hasil TWK
terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK,
baik terhadap individu maupun institusi. Presiden Jokowi juga sependapat dengan pertimbangan
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Pengujian Undang-Undang (Undang-Undang)
Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang KPK. Selain itu, menurutnya,
proses pengalihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh
merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN. Jokowi meminta kepada para pihak
yang terkait, khususnya pimpinan KPK, Menteri PANRB, dan Kepala BKN untuk merancang
tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes, dengan prinsip-prinsip
sebagaimana saya sampaikan tadi. Instruksi Presiden Jokowi ini sama sekali tidak diindahkan,
baik oleh KPK maupun kemenPAN-RB dan BKN sebagai pejabat yang melaksanakan proses
seleksi.

Padahal Presiden selain berfungsi sebagai kepala negara juga berfungsi sebagai kepala
pemerintahan. Maka fungsi kepala pemerintahan sebenarnya sudah cukup memberikan jawaban,
bahwa arahan Presiden Jokowi harus didengarkan dan tidak boleh jadi angin lalu. Padahal secara
hierarki jabatan Presiden tentu merupakan kepala pemerintahan yang membawahi Menteri
PANRB, BKN dan KPK. Presiden Jokowi harus mengambil alih, proses peralihan status ASN
bagi pegawai KPK dengan membatalkan TWK yang diadakan tersebut.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil pada
pasal 3 ayat (7) menyebutkan: Pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat ditarik kembali oleh Presiden dalam hal: a. Pelanggaran prinsip sistem merit yang
dilakukan oleh PPK; atau b. Untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
Artinya Presiden dapat mengambil alih mandat yang telah diberikan kepada Menteri PANRB,
dan Kepala BKN sebagai pelaksana seleksi terhadap 51 pegawai KPK yang dinonaktifkan.
Presiden memegang peranan yang begitu penting dalam menyelamatkan 51 pegawai KPK yang
diberhentikan dengan alasan tidak rasional. Mengapa tidak rasional? Sebab Undang-Undang No.
19 Tahun 2019 Tentang KPK, maupun PP nomor 41 tahun 2020 Tentang pengalihan pegawai
komisi pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi aparatur sipil negara sama sekali tidak
mempersyaratkan pegawai KPK harus diseleksi untuk dapat dinyatakan bisa menjadi ASN atau
tidak. Sehingga jelas sekali Presiden Jokowi memiliki peluang yang besar untuk membatalkan
TWK yang diselenggarakan oleh KemenPAN RB, BKN dan KPK.22

Abdul Latif dan Hasbi Ali mengemukakan bahwa sesungguhnya politik sebagai sumberdaya
hukum. Menurutnya, ada tiga titik temu antara politik dan hukum di dalam kehidupan
masyarakat. Pertama, pada waktu pengangkatan pejabat hukum, walaupun tidak semua proses
pengangkatan pejabat hukum melibatkan politik, namun proses itu terbuka bagi keterlibatan
politik; Kedua, proses pembuatan hukum itu sendiri, setiap proses pembuatan kebijaksanaan
formal yang hasilnya tertuang dalam hukum pada dasarnya produk politik; dan Ketiga, proses
pelaksanaan atau penegakan hukum (law enforcement), di mana pihak-pihak yang
berkepentingan berusaha mempengaruhi pelaksanaan kebijaksanaan yang sudah berbentuk
hukum, sejalan dengan kepentingan dan kekuatannya.23

Pendapat Abdul Latif dan Hasbi Ali diatas, memberikan penegasan bahwa penegakan hukum
sebagai bagian dari proses hukum tidak dapat merdeka dari pengaruh politik. Sangat sulit bagi
KPK berdiri diatas perjuangan pemberantasan korupsi yang dukungan politiknya krisis dan
memprihatinkan. Harusnya KPK bukan lagi berada pada level mempersoalkan kewenangannya
yang terseok-seok, bukan lagi pada fase mencari dukungan politik. Harusnya KPK sudah berada
pada level membangun sistem pengelolaan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, yang
lazimnya dikenal dengan istilah zona integritas. Political will Presiden Jokowi sangat
dibutuhkan, sebab sejarah dapat mencatat di era siapa KPK mengalami masa krisis dan
kehancuran. Presiden Jokowi perlu mengingat dan merenungi, bahwa Kekuasaan politik yang
dijalankan dengan tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi akan menghasilkan
pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik.24

Oleh karena itu pentingnya independensi guna pemberantasan korupsi tersebut. Berdasarkan
Black’s Law 19 “independence the state or condition of being free from dependence, subjection,
or control”. Kata independensi menjadi kata yang tidak asing dibaca dan didengar. Independensi

22
Muhammad Ilham Akbar. Op. cit hlm. 1394

23
 Sahid, Asep Abdul. (2016). Konflik Kpk Vs Polri Jilid Iii: Kontestasi Kuasa Dalam Penegakan Hukum Di
Indonesia. Asy-Syari’ah, 18(1), 139–148.
24
 Setiadi, Wicipto. (2018). Korupsi Di Indonesia Penyebab, Hambatan, Solusi dan Regulasi. Jurnal Legislasi
Indonesia, 15(3), 249–262.
ini sangat berkaitan erat dengan suatu lembaga pemerintah yaitu KPK sebagai lembaga
pendukung (state auxiliary agencies). Secara umum lembaga pendukung negara yang berupa
state auxiliary agencies atau independent bodies ini muncul karena: 1) adanya tugas dan
kewenangan kenegaraan yang semakin kompleks yang memerlukan suatu lembaga independensi
yang cukup untuk dapat menjalankan tugas dan wewenang tersebut; 2) adanya upaya
empowerment terhadap tugas lembaga negara yang sudah ada dengan cara membentuk lembaga
baru yang lebih spesifik dan terorganisir. Berbicara mengenai independensi maka ada beberapa
kriteria sebuah lembaga pendukung dikatakan independen yaitu:21 1) dinyatakan secara tegas
oleh kongres dalam perundang-undangan bahwa lembaga tersebut independen; 2) presiden tidak
secara bebas memutuskan pemberhentian pemimpin dari suatu lembaga; 3) kepemimpinan yang
kolektif bukan suatu kepemimpinan; 4) kepemimpinan tidak dikuasai oleh pertain tertentu; 5)
masa jabatan pemimpin komisi habis tidak secara bersamaan tetapi bergantian.25

Oleh karena itu dalam hal ini KPK diberi kewenangan oleh undang-undang guna melakukan
pemberantasan korupsi di Indonesia yakni berupa kewenangan yang dilimpahkan kepada KPK
adalah atribusi yaitu  pemberian oleh DPR sendiri kepada instansi pemerintah yang sudah ada
atau yang baru. Kewenangan atribusi diberikan oleh legislatif, yaitu sebagai pembuat undang-
undang, sehingga KPK memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dengan lembaga negara
lainnya. Oleh karena itu, KPK memiliki sistem kerja independen yang tidak diintervensi oleh
pihak manapun. Sistem ini  diharapkan membuat KPK menjadi independen  untuk menjaga
kemurnian dan keabsahan dari sebuah laporan atau pun penyidikan. Penting untuk dicatat bahwa
selain kewenangan yang diberikan oleh atribusi,  diberikan juga independensi KPK yang mana
memiliki dua implikasi: independensi institusional atau institusional dan independensi
fungsional.

Kemandirian kelembagaan atau institusional memiliki arti suatu sistem yang mandiri dan tidak
boleh diganggu oleh pihak lain di luar sistem tersebut dan sistem ini harus dijelaskan secara rinci
dalam undang-undang KPK. Berdasarkan sejarah munculnya peraturan antikorupsi, KPK  diatur
dengan undang-undang. UU KPK menyatakan bahwa  KPK bersifat independen dalam 
kewajiban dan pelaksanaan kewenangannya sehingga tidak terpengaruh oleh kewenangan

25
 Miranda Risang Ayu, ‘Kedudukan Komisi Independen Sebagai State Auxiliary Institusions dan Relevansinya
Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia’ (2009) 1 (1) Jurnal Konstitusi 53, 69.
apapun, baik secara struktural maupun fungsional, karena bersifat independen. Dalam undang-
undang KPK, independensi fungsional merupakan kewajiban dan fungsi, dalam hal ini
independensi yang diberikan undang-undang KPK dalam melakukan penyidikan, penyidikan,
dan penuntutan.

Dilihat dari fungsi dan kapabilitas KPK dapat dikatakan memiliki fungsi eksekutif. Di sisi lain,
institusi KPK harus dilihat secara struktural  dari perspektif institusi nasional. Menurut UU KPK,
lembaga KPK adalah Sampiran atau lembaga daerah atau lembaga pendukung. Dengan adanya
revisi UU KPK, otonomi fungsional dan struktural  UU KPK memiliki arti yang berbeda. Dalam
hal ini, lembaga KPK harus dilihat secara struktural  dari perspektif lembaga negara. Dengan
revisi UU KPK, KPK menjadi lembaga penegak hukum struktural (Revisi Pasal 3  UU KPK).
Independensi fungsional adalah independensi dalam menjalankan tugas dan fungsinya, dalam hal
ini tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang KPK,
tetapi fungsi penyidikan dan fungsi kewenangan KPK dapat menjalankan fungsi penegakan dan
bersifat eksekutif karena kejaksaan berada di tangan kepolisian dan kejaksaan yang merupakan
lembaga eksekutif.26

Hal di atas diperjelas dengan adanya teori terhadap jenis-jenis independensi menurut Zainal
Arifin Mochtar yaitu lembaga non struktural dapat diartikan sebagai lembaga di luar cabang
kekuasaan yang telah ada. Lembaga ini dibentuk untuk membantu presiden, menteri atau dalam
hal koordinasi atau pelaksanaan dalam kegiatan tertentu atau membantu tugas dari departemen
tertentu. Akan tetapi lembaga ini tidak masuk dalam struktur organisasi kementerian, departemen
atau lembaga non departemen. Sehingga dapat diartikan lembaga non struktural ini tidak berada
pada struktur mana pun, menjadi lembaga negara independen. KPK sebagai lembaga negara
yang independen berdasarkan UU KPK adalah benar secara strukturalnya karena tidak masuk
dalam lembaga negara yang sudah ada, tetapi dengan adanya revisi UU KPK maka lembaga
KPK memiliki independen yang tidak murni secara struktural karena secara konsep benar KPK
adalah lembaga independen dan hal ini disebutkan dalam revisi UU KPK dengan masih adnaya
kata “independensi”. Akan tetapi menurut penulis, secara teknis KPK tidak lagi independen

26
 Wahyuningrum, Kartika & Disemadi, Hari & Jaya, Nyoman. (2020). INDEPENDENSI KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI: BENARKAH ADA?. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum. 4. hlm. 247
karena dalam melakukan tugas dan wewenangnya, KPK membutuhkan izin dari dewan
pengawas.27

Secara teori fungsional, lembaga yang independen tidak boleh di intervensi oleh lembaga lain.
Pada UU KPK jelas bahwa KPK hanya bertanggung jawab dalam hal membuat laporan kepada
Presiden, Dewan Perwakilan Daerah dan Badan Pengawasan Keuangan (Pasal 7 ayat 2 UU
KPK). Tetapi dengan dibentuknya dewan pengawas yang dipilih langsung oleh Presiden, maka
KPK harus melaporkan segala aktifitas kepada dewan pengawas, yang mengakibatkan apabila
dalam memberi laporan dan meminta izin untuk melakukan penyadapan menjadi terhambat dan
tidak cepat.28

Hal ini sangat jelas bahwa KPK memiliki sifat independen yang diatur oleh UU walaupun
independennya bukan independen mutlak apabila dilihat dari dua teori di atas. Hal ini karena
adanya tumpah tindih wewenang dalam pemberantasan korupsi dengan lembaga lain seperti
Kepolisian dan Kejaksaan.29

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, secara ekplisit UU KPK memang mengatur bahwa
KPK adalah lembaga negara yang memiliki independensi, meski independensinya tidaklah
mutlak karena masih adanya koordinasi dengan lembaga lain, apalagi dalam hal penyidikan serta
dimasukannya KPK di bawah kewenangan lembaga eksekutif. Dalam hal koordinasi KPK
bersama lembaga penegak hukum lainnya maka lembaga negara yang memiliki kewenangan
menangani tipikor selain KPK adalah Kepolisian dan Kejaksaan. Oleh sebab itu pada proses
penanganan tipikor, seperti pada tahapan penyidikan maka KPK memiliki kewajiban dan hak
untuk berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum yang sedang menangani kasus tipikor.
Pelaksanaan koordinasi tersebut meliputi juga koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan,
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Inspektorat pada kementerian, atau lembaga
pemerintah non kementerian.30
27
 ibid hlm. 248
28
 A. Sakti Ramdhon Syah R, Dasar-Dasar Hukum Tata Negara: Suatu Kajian Pengantar Hukum Tata Negara
dalam Perspektif Teoritis Filosofis (CV. Social Politic Genius 2019) 128-129. 
29
 Achmad Badjuri, ‘Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sebagai Lembaga Anti Korupsi di Indonesia
(The Role Of Indonesian Corruption Exterminate Commission In Indonesia’ (2011) 18 (1) Jurnal Bisnis dan
Ekonomi 84, 96.
30
 Hibnu Nugroho, ‘Efektivitas Fungsi Koordinasi dan Supervisi Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi’ (2013) 13 (3) Jurnal Dinamika Hukum 392, 401. 
Berbicara mengenai lembaga KPK tidak akan habisnya, maka menjadi isu yang sangat
menghebohkan yaitu pada pertengahan tahun 2019 terjadi demo besar-besaran yang dilakukan
oleh para mahasiswa Indonesia. Salah satu yang menjadi pembahasan demo yaitu menolak revisi
UU KPK. Alasan dibalik demo ini karena dirasa UU ini melemahkan KPK dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya sehingga yang menjadi pokok-pokok pembahasan yang dilakukan oleh
mahasiswa yaitu dianggapnya adanya pelemahan terhadap lembaga KPK. Hal ini disebabkan
adanya pengangkatan dewan pengawas yang dapat memperlambat kerja KPK serta diubahnya isi
Pasal 3 UU KPK yang awalnya KPK memiliki sifat independensi dan bebas dari pengaruh
kekuasaan mana pun, diubah dalam revisi UU KPK Pasal 3 menjadi:KPK adalah lembaga negara
dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan
tipikor yang bersifat independen dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.31

Selain diubahnya isi Pasal 3 UU KPK dibentuk juga dewan pengawas yang dapat melakukan
intervensi kepada kinerja KPK yang mana ini dapat menghilangkan sifat independennya. Dengan
penghilangan keistimewaan KPK maka dalam melakukan tugas dan wewenangnya semua harus
mendapatkan izin dari dewan pengawas.32

Menurut ahli Hukum Pidana dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar
Laksamana Bonaprapta, meskipun KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap
bersifat independen. Gandjar khawatir, penyidik KPK bakal tunduk pada atasannya, yakni
Presiden, hal ini lah yang melemahkan independensi lembaga KPK. Gandjar juga mengatakan,
sejauh ini, proses gelar perkara di KPK selalu terjadi secara egaliter. Antara Komisioner KPK
dan penyidik dan direktur bisa saling adu argumen tanpa takut bakal dinilai tak tunduk pada
atasan. Namun demikian, dengan berubahnya status kelembagaan KPK, Gandjar tidak yakin hal
serupa masih akan terjadi. Dengan berubahnya KPK menjadi bagian dari lembaga eksekutif,
KPK tidak lain menjadi perpanjangan tangan Presiden menurutnya.33

Kemudian juga menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar,
keberadaan dewan pengawas KPK tergolong aneh lantaran memiliki kewenangan yudisial.

31
 Wahyuningrum, Kartika & Disemadi, Hari & Jaya, Nyoman. Op.cit 251.
32
 Ahmad Rofiq, Hari Sutra Disemadi dan Nyoman Serikat Putra Jaya, ‘Criminal Objectives Integrality in the
Indonesian Criminal Justice System’ (2019) 19 (2) Al-Risalah 180, 190
33
 Fitria Chusna Farisa, ‘Jadi Lembaga Eksekutif, KPK Dikhawatirkan Hanya Jadi Perpanjangan Tangan
Presiden’ (Kompas, 17 September 2019) diakses 12 Mei 2022.
Misalnya, memberikan izin penyadapan, penggeledahan, serta penyitaan. Sesuatu yang aneh
secara sistemik dewan pengawas bukan aparatur penegak hukum. Menurut Ficar menyebut
keberadaan dewan pengawas ini justru bakal membuat KPK menjadi lembaga yang tidak
independen. Tentu karena Presiden memiliki peran besar dalam menentukan anggota dewan
pengawas yang memiliki banyak wewenang. Hal itu bisa membuat KPK menjadi lemah karena
wewenang komisioner semakin terbatas. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa aktivitas sebagai
penegak hukum KPK dibatasi dengan kontrol dewan pengawas sebagai kepanjangan tangan
presiden Keberadaan dewan pengawas ini menurutnya menimbulkan kemungkinan besar bakal
membuat kegiatan operasi tangkap tangan hilang lantaran penyadapan harus menunggu izin.34

Jadi apabila membandingkan antara UU KPK dengan revisi UU KPK, maka kedua UU ini
memiliki dampak positif dan negatif dalam penanggulangan KPK. Dilihat dari pokok
pembahasan dalam tulisan ini, mengenai independensi KPK, maka independensi KPK secara
norma atau dogmatik masih disebutkan independensi tetapi powerless sehingga menurut penulis,
dalam hal pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK tetap sebagai independent agency, tetapi
pelaksanaan kewenangannya jadi lebih sulit.35

34
 CNN Indonesia, ‘Dewan Pengawas dan Segudang Curiga Intervensi Pada KPK’ (CNN Indonesia, 19
September 2019) diakses 12 Mei 2022.
35
  Wahyuningrum, Kartika & Disemadi, Hari & Jaya, Nyoman. Op.cit 255.

Anda mungkin juga menyukai