Anda di halaman 1dari 18

REORIENTASI DAN REFORMULASI SISTEM

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI MASA – MASA


MENDATANG DALAM PRESPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

Disusun Oleh :

Afmi Alfiani Rahmah

(2019200002)

Kelas : B

Dosen Pengampu :

Pathorang Halim, SH, MH.

Nanda Sahputra Umara, SH, MH.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

TAHUN AJARAN 2021/2022


DAFTAR ISI

BAB I ......................................................................................................................................... 3

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 3

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 8

1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 9

BAB II ...................................................................................................................................... 10

PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 10

2.1 Reorientasi dan Reformulasi Sistem Pertanggungjawaban Korporasi Di Indonesia 10

2.2 Orientasi Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Dalam Hukum Positif Di Indonesia 11

2.3 Reorientasi Formulasi Yang Ideal Atas Sanksi Pidana Terhadap Korporasi. ........... 13

2.4 kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban


Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Positif Indonesia Saat Ini Dalam Beberapa Perundang-
Undangan Pidana Indonesia ................................................................................................. 15

2.5 Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban


Kejahatan Pidana Korprasi Di Masa Yang Akan Datang .................................................... 16

BAB III .................................................................................................................................... 17

PENUTUP................................................................................................................................ 17

3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat terus berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan


ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Perkembangan IPTEK juga diikuti dengan
perkembangan jenis-jenis kejahatan. Menurut Saparinah Sadli, kejahatan atau tindak
kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan
melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan.
1
Pada awalnya, hanya kejahatan konvensional yang dianggap sebagai kejahatan, namun
dalam perkembangannya, muncul jenisjenis kejahatan baru yang kompleks seiring
dengan perkembangan masyarakat tersebut.
Pemahaman dan persepsi masyarakat terhadap kejahatan masih berpola pada
kejahatan konvensional seperti pencurian dan pembunuhan. Hal ini karena kejahatan
konvensional mudah diidentifikasi, misalnya melalui korban yang muncul dari kejahatan
konvensional tersebut. Demikian pula dengan pelaku kejahatan. Pada awalnya, yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana hanyalah orang (natural person).
Permasalahan korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak lepas dari aspek hukum
perdata. Dalam hukum perdata orang perseorangan bukanlah satu- satunya subjek hukum.
Hal ini disebabkan masih ada subjek hukum lain yang memiliki hak dan dapat melakukan
perbuatan hukum sama seperti orang perseorangan. Pandangan seperti ini berbeda dengan
KUHP yang hanya mengenal orang perseorangan sebagai subjek hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini
merupakan produk hukum Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi di
wilayah Hindia Belanda. Subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang
perorangan. Dengan kata lain, hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana dan
hanya manusia yang dapat dituntut serta dibebani pertanggungjawaban pidana. KUHP
tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal ini didasarkan pada Pasal 59
KUHP, dimana apabila korporasi yang melakukan tindak pidana, maka
pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurus korporasi dalam hal pengurus
korporasi melakukan tindak pidana dalam rangka mewakili atau dilakukan atas nama

1
Sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, TeoriTeori dan
Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hal. 148

3
korporasi tersebut. Dalam perkembangannya, korporasi (juridical person) muncul sebagai
subjek yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana.
Korporasi sudah dikenal dalam dunia bisnis sejak beberapa abad yang lalu. Pada
awalnya, korporasi hanya merupakan suatu wadah kerjasama dari beberapa orang yang
mempunyai modal, untuk mendapatkan keuntungan bersama, dan belum seekslusif
seperti korporasi dewasa ini. Munculnya revolusi industri telah mendorong semakin
berkembangnya korporasi sebagai badan hukum dan badan ekonomi. Barangkali VOC
yang didirikan oleh Belanda pada tahun 1602 dapat dipandang sebagai perintis korporasi
(bisnis) modern yang dibangun dengan modal (saham) yang tetap.2
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan manusia, korporasi juga
berkembang menjadi lebih kompleks. Korporasi tidak lagi seperti dulu yang masih
menggunakan sistem yang sederhana. Berbagai sistem dan metode dalam menjalankan
korporasi terus dikembangkan dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Dewasa ini korporasi yang masuk dalam kategori perusahaan raksasa atau perusahaan
multinasional sudah banyak berkembang di berbagai negara. Mereka tidak hanya
membangun imperium di negara asal, tetapi juga di negara-negara lain terutama negara
berkembang seperti Indonesia dalam rangka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pada tahun 1978, dua perusahaan terbesar di Amerika Serikat yaitu General Motor dan
Exxon masing-masing sudah memiliki nilai penjualan melebihi 60 miliar dollar, suatu
jumlah yang jauh melebihi total pendapatan dari negara bagian Amerika Serikat yang
3
manapun dan kebanyakan negara di dunia. Data tersebut menunjukkan betapa besar
kekuatan modal korporasi yang bertaraf multinasional pada saat itu.
Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat melibatkan korporasi di dalamnya.
Dapat dilihat bahwa koporasi bergerak di berbagai bidang seperti industri pertanian,
perbankan, hiburan dan sebagainya yang melibatkan perputaran uang yang tidak sedikit.
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peran korporasi saat ini menjadi sangat
penting dalam kehidupan masyarakat. Peran mereka mendominasi kehidupan sehari-hari,
apalagi meningkatnya privatisasi. Bukan lagi negara yang menyediakan kebutuhan, tapi
korporasi. Segala kebutuhan masyarakat dari lahir sampai mati telah disediakan oleh

2
Clinard dan Yeager dalam I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, BP UNDIP, Semarang, 1995, hal. 15
3
Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006, hal. 2

4
korporasi.
Korporasi banyak memberikan kontribusi perkembangan suatu negara, terutama
dalam bidang ekonomi, misalnya pemasukan negara dalam bentuk pajak maupun devisa,
sehingga dampak korporasi tampak sangat positif. Namun di sisi lain, korporasi juga tak
jarang menciptakan dampak negatif, seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam,
persaingan secara curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, menghasilkan
produk-produk yang membahayakan pemakainya, serta penipuan terhadap konsumen.
4
Korporasi dapat meningkatkan kekayaan negara dan tenaga kerja, namun revolusi
struktur ekonomi dan politik telah menumbuhkan kekuatan korporasi yang besar, sehinga
negara terlalu tergantung korporasi sehingga negara dapat didikte sesuai kepentingannya.
Perusahaan-perusahaan raksasa bukan saja memiliki kekayaan yang demikian
besarnya, tetapi juga memiliki kekuatan sosial dan politis sedemikian rupa sehingga
operasi atau kegiatan perusahaan-perusahaan tersebut sangat mempengaruhi kehidupan
setiap orang sejak mulai lahir sampai matinya. Kehidupan kerja serta kesehatan dan
keamanan dari sebagian besar penduduk dikendalikan baik secara langsung atau tidak
langsung oleh perusahaan-perusahaan besar ini. Telah terbukti bahwa perusahaan-
perusahan multinasional (multinational corporations) telah menjalankan pengaruh politik
baik terhadap pemerintah di dalam negeri maupun di luar negeri di mana perusahaan itu
beroperasi.5
Tujuan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya
mengakibatkan sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi baik itu berupa
suatu badan hukum maupun bukan memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan
aktvitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan
hukum yang berlaku, bahkan memunculkan korban yang menderita kerugian.
Kejahatan korporasi yang biasanya berbentuk kejahatan kerah putih (white collar
crime), umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak
dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana
yang berlaku. Berdasarkan pengalaman dari berbagai negara maju dapat dikemukakan
bahwa identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti
pelanggaran undang-undang monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak
dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan,

4
Setiyono, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana Indonesia), Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hal. 1
5
Clinard dan Yeager dalam Sutan Remi Sjahdeini, Op.cit., hal. 3

5
korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan
hidup.6
Bagaimana halnya dengan Indonesia? Dari beberapa kasus yang melibatkan korporasi
beberapa tahun belakangan ini, pencemaran lingkungan hidup mendominasi tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi. Tidak dapat disangkal bahwa keberadaan industri
selalu mempunyai dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Masyarakat akan ingat
dengan cepat bagaimana dampak negatif dari aktivitas korporasi seperti tumpahan minyak
mentah di laut atau polusi air karena buangan limbah korporasi, polusi udara dan tanah
oleh sampah industri. Kontradiksi antara korporasi dan lingkungan seringkali disebabkan
keinginan korporasi mengambil jalan pintas mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan cara menekan biaya operasional serendah-rendahnya dan mengabaikan kewajiban
lingkungan.
Korporasi yang menjalankan bisnis dalam bidang lingkungan hidup juga telah
melakukan pembakaran hutan dan lahan. Tindak pidana dalam kejahatan lingkungan
hidup yang melakukan ialah seseorang atau perorangan atau badan hukum atau korporasi
di era globalisasi industri sering terjadi dilingkungan yang penuh dengan perusahaan-
perusahaan yang beroperasi dapat mencemari dan merusak lingkungan yang dalam sistem
pengelolaannya melanggar aturan yang berlaku Korporasi menurut hukum pidana
Indonesia tidak sama dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata. Pengertian
korporasi menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertian menurut hukum perdata.
Berbicara masalah reorientasi dan reformulasi dalam sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam perspektif kebijakan kriminal dan kebijakan pidana tidak dapat
dilepaskan dengan pengertian kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan
pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat masyarakat (social welfare).
Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik
kriminal ialah “Perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai
kesejahteraan sosial). Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) harus
menunjang tujuan (“goal”),”social welfare (SW) dan “ social defence” (SD). Aspek sosial
welfare (SW) dan social defence (SD) yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/

6
Gobert dan Punch, Rethinking The Corporate Crime, http://maswig.blogspot.com, 21 September 2007

6
perlindungan masyarakat yang bersifat immateriel terutama nilai kepercayaan,
kebenaran/ kejujuran/keadilan.
Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) harus dilakukan dengan
“pendekatan integral”; ada keseimbangan antara “penal” dan “non-penal”.7
Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) dengan sarana “penal” merupakan
“penal policy” atau “penal-law enforcement Policy” yang
fungsionalisasi/opresionalisasinya melalui beberapa tahap :8
1) formulasi (kebijakan Legislatif/legislasi);
2) aplikasi (Kebijakan yudikatif/yudicial);
3) eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Tahap formulasi,yaitu tahap penegakkan hukum in abstracto oleh badan pembuat
undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislative/legislasi.
Kebijakan legislatif/legislasi adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat
undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu
dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau
diprogramkan itu.9
Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak
hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan.Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap
kebijakan yudikatif.
Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-
aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau
administratif.10
Dengan adanya tahap “formulasi”,maka upaya pencegahan dan Penanggulangan
kejahatan (PPK) bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum,tetapi juga tugas
aparat pemuat hukum(aparat legislatif);bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap
paling strategis dari upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) melalaui

7
Barda Nawawi Arief,Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2001), hlm 74,75.
8
Tentang ketiga tahapan ini,M.Cherif Basssiouni,Substantive Criminal Law, (Illionis,USA,Charles C.Thomas
Publisher,1978), hlm 78, mempergunakan istilah , proses legislatif, proses peradilan(judicial) dan proses
administrasi atau tahap formulasi,aplikasi dan tahap eksekusi.
9
Barda Nawawi Arief,Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara
(Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1994), hlm 59
10
Muladi,Kapita Selekta Sistem Paradilan Pidana, (Semarang,Badan Penerbit UNDIP,1995),hlm 13,14.

7
“penal policy”.Oleh karena itu,kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan
kesalahan strategis yang dapat menghambat upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Kejahatan (PPK) pada tahap aplikasi dan eksekusi.
Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perspektif kebijakan kriminal
dan kebijakan pidana, tidak lepas dari tahap formulasi yang di dalamnya menyangkut
tentang definisi dari korporasi, latar belakang tahap perkembangan korporasi sebagai
subjek hukum pidana, perkembangan teori-teori pertanggungjawaban pidana dan model
pengaturan jenis sanksi pidana untuk korporasi juga merupakan hal yang sangat penting,
karena apabila terdapat kelemahan perumusan dapat menghambat penegakan hukum
dalam rangka pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Di samping itu
berbicara masalah sistem pertanggungjawaban pidana dalam perspektif kebijakan
kriminal dan kebijakan pidana tidak dapat dilepaskan bagaimana melakukan reorientasi
dan reformulasi kebijakan legislasi terhadap sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi. Hal ini sebagai penegasan bahwa kelemahan kebijakan legislasi dapat
menghambat upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) pada tahap
aplikasi dan eksekusi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dikemukakan rumusan permasalahan sebagai


berikut:
1. Bagaimana Reorientasi Dan Reformulasi Sistem Pertanggungjawaban
Korporasi di Indonesia?
2. Bagaimanakah orientasi sanksi pidana terhadap korporasi dalam hukum
positif di Indonesia?
3. Bagaimanakah reorientasi formulasi yang ideal atas sanksi pidana terhadap
korporasi?
4. Bagaimanakah kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi
terhadap korban kejahatan korporasi dalam hukum positif Indonesia saat ini?
5. Bagaimanakah kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi
terhadap korban kejahatan korporasi di masa yang akan datang?

8
1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui dan Memahami Bagaimana Reorientasi Dan Reformulasi


Sistem Pertanggungjawaban Korporasi Di Indonesia.
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Bagaimana Orientasi Sanksi Pidana Terhadap
Korporasi Dalam Hukum Positif Di Indonesia.
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Bagaimana Reorientasi Formulasi Yang Ideal
Atas Sanksi Pidana Terhadap Korporasi.
4. Untuk Mengetahui dan Memahami Bagaimana Kebijakan Formulasi
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Kejahatan Korporasi
Dalam Hukum Positif Indonesia Saat Ini Dalam Beberapa Perundang-Undangan
Pidana Indonesia.
5. Untuk Mengetahui dan Memahami Bagaimana kebijakan formulasi
pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi di
masa yang akan datang.

9
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Reorientasi dan Reformulasi Sistem Pertanggungjawaban Korporasi Di


Indonesia

Beberapa pendekatan dalam penggunaan hukum pidana, harus berorientasi pada


kebijakan, harus rasional, dengan menggunakan pendekatan fungsional, ekonomis,
berorientasi pada nilai, dan pendekatan humanistis.

Hal ini menunjukkan pendekatan kebijakan, melalui proses legislasi/kebijakan


legislasi. Seperti diketahui bahwa KUH Pidana, adalah warisan kolonial yang tidak
mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana secara umum . Dewasa ini perlu dilakukan
reorientasi dan reevaluasi bahkan reformulasi nilai-nilai sosio-politik,sosio filosofi dan
sosio kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif
hukum pidana yang dicitacitakan, dengan menempatkan korporasi sebagai subjek tindak
pidana dalam KUH Pidana yang dicita-citakan sebagai ius contituendum dan menjadi ius
constitutum.

Program legislasi nasional yang dilaksanakan antara lain, adalah pembentukan


peraturan perundang-undangan dan indikator kinerja antara lain
ditetapkannya/disempurnakannya undang-undang di berbagai bidang.

Menyangkut korporasi adalah dilakukan reorientasi dan reformulasi dalam kebijakan


legislasi terhadap sistem pertanggungjawaban pidana korporasi.

Reorientasi dan reformulasi dalam kebijakan legislasi terhadap sistem


pertanggungjawaban pidana kroporasi,mencakup beberapa hal yaitu :

a. Perlu dilakukan pengkajian ulang tentang penentuan korporasi sebagai subjek


tindak pidana secara umum dan dimasukkan ke dalam KUHP yang akan datang.
Hal ini sebenarnya sudah tertampung dalam Rancangan KUHP 2004- 2005, ius
constituendum.Karena selama ini kebijakan legislasi tentang penentuan korporasi
sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam
undang-undang khusus.

10
b. Mengenai penggunaan istilah “korporasi”, hendaknya dipergunakan secara
konsisten. Sedangkan selama ini penggunakan istilah “korporasi” dipergunakan
istilah yang bermacam-macam dan tidak seragam. Maka untuk masa yang akan
datang , dalam melakukan kebijakan legislasi seyogyanya dipergunakan istilah
“korporasi”.
c. Perlu dilakukan reformulasi tentang pola aturan pemidanaan untuk pemidanaan
korporasi sehingga seragam dan konsisten, seperti pengaturan:
1) Kapan korporasi melakukan tindak pidana dan kapan
dipertanggungjawabkan.Karena kebijakan selama ini ada yang merumuskan
dan ada yang tidak merumuskan dalam aturan perundang-undangan.
2) Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan juga ada yang merumuskan dan ada
yang tidak. Untuk yang akan datang maka kebijakan legislasi tentang siapa yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam korporasi harus diatur dengan tegas.
3) Jenis Sanksi, harus dirumuskan kembali secara jelas dan terinci baik
menyangkut jenis pidananya baik itu berupa pidana pokok, pidana tambahan
dan tindakan tata tertib serta jenis-jenis sanksi dari pidana tersebut. Termasuk
pilihan model pemidanaan yaitu apakah pidana yang diberlakukan untuk
korporasi diatur berbeda dengan jenis sanksi untuk subjek tindak pidana berupa
“manusia” ataukah akan dilakukan pemisahan , artinya pemidanaan khusus
untuk korporasi diatur secara tersendiri.
4) Perumusan sanksinya juga harus jelas dan kosisten sehingga dapat diterapkan
terhadap korporasi.
5) Apabila untuk yang akan datang, korporasi menjadi subjek tindak pidana secara
umum, dan diatur dalam KUHP, maka perlu adanya pengaturan pemidanaan
yang berlaku secara umum untuk korporasi.

2.2 Orientasi Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Dalam Hukum Positif Di Indonesia

Kebijakan orientasi sanksi pidana terhadap korporasi dalam hukum positif di Indonesia
belum mencapai tahap ketepatan atau kepastian hukum untuk menjadikan korporasi
sebagai subjek hukum pidana. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan pada pemberian
sanksi pidana terdapat korporasi. Kelemahan yang dimaksud adalah hukum pidana
Indonesia dibuat berdasarkan ajaran kesalahan individual yaitu sistem hukum pidana tidak
memungkinkan penjatuhan pidana denda terhadapa korporasi, karena pihak yang dipidana

11
dapat menggantkan dengan pidana kurungan hal tersebut diatur oleh Pasal 30 KUHP. Tidak
adanya prosedur khusus dari hukum acara pidana untuk mengatur korporasi serta cara
perumusan delik pidana yang selalu dimulai dengan kata “barang siapa” secara umum
dimaksudkan kepada orang atau manusia.

Pandangan Gustav Radbruch secara umum diartikan bahwa kepastian hukum tidak
selalu harus diberi prioritas pemenuhannya pada tiap sistem hukum positif, seolah-olah
kepastian hukum itu harus ada lebih dulu, baru kemudian keadilan dan kemanfaatan. Pada
kebijakan orientasi sanksi pidana korporasi, kepastian hukum itu tidak terpenuhi karena
adanya ketidakjelasan yang terjadi dalam perumusan undang-undang mengenai korporasi.
Ketidakjelasan perumusan mengenai kapan suatu korporasi dinyatakan sebagai pelaku dan
kapan suatu tindak pidana telah dilakukan atas nama suatu korporasi. Ketidakjelasan
perumusan mengenai perbuatan yang akan dipertanggungjawabkan melalui perumusan
korporasi sebagai subjek tindak pidana. Ketidakjelasan mengenai kriteria yang digunakan
sebagai pedoman untuk mempertanggungjawabkan korporasi, sebab pertanggungjawaban
hukum pidana dikaitkan dengan masalah kesalahan dan unsur alasan pemaaf. Serta masalah
pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi. Jenis pidana denda yang dikenakan terhadap
korporasi.

Berdasarkan hasil analisis teori kepastian hukum diatas, dapat disimpulkan bahwa
orientasi sanksi pidana terhadap korporasi belum mencapai tahap yang pasti. Didasarkan
pada kelemahan-kelemahan yang terlihat serta korporasi dalam hukum positif Indonesia
belum menjadi subjek hukum pidana, sehingga tidak adanya aturan umum dalam KUHP
yang dapat menjembatani hukum pidana umum dengan undang-undang khusus diluar
KUHP. Teori pertanggungjawaban korporasi sudah dipergunakan oleh beberapa
undangundangan khusus di luar KUHP dengan menggunakan model sistem
pertanggungjawaban pidana yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus
korporasi yang bertanggungjawab, korporasi sebagai pembuat dan pengurus
bertanggungjawab, dan korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang
bertanggungjawab.11 Beberapa undang-undang yang mengatur korporasi telah memberikan
perumusan mengenai pengaturan korporasi tetapi tidak dapat berjalan semestinya karena
tidak ada kejelasan dalam pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi.

11
Mardjono Reksodiputro, Dalam Makalahnya “Pertangungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana
Korporasi”, (Semarang: FH-UNDIP, 1989), hal. 9

12
Fenomena ini ditandai dengan lahirnya Wet Economische Delichten (WED), tahun
1950 di Belanda, yang dalam Pasal 15 ayat (1) mengatur bahwa dalam tindak pidana
ekonomi, korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipidana. Ketentuan ini
kemudian ditiru oleh Indonesia melalui UndangUndang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.12 Pengaturan dalam UU
No. 7/Drt/1955 menjadi cikal bakal pertanggung- jawaban pidana korporasi dalam
melakukan tindak pidana, yang kemudian diikuti beberapa peraturan perundang-undangan
lain sampai dengan sekarang seperti UU Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen,
UU Perikanan, UU Narkotika, UU Pencucian Uang, UU Monopoli, UU Korupsi dan lain-
lain.13

2.3 Reorientasi Formulasi Yang Ideal Atas Sanksi Pidana Terhadap Korporasi.

Formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi tidak cukup dengan menyebutkan


korporasi sebagai subjek tindak pidana, melainkan harus menentukan aturan mengenai
sistem pidana dan pemidanaannya, sehingga diperlukan sebuah upaya reorientasi dan
reformulasi yang ideal atas pertanggungjawaban pidana korporasi. Reorientasi dan
reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan korporasi antara lain
meliputi ketentuan mengenai 14:

1. ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi;
2. siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan
korporasi;
3. jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek tindak pidana berupa korporasi.

Formulasi mengenai ketentuan tersebut harus diatur secara tegas untuk meminimalisir
kemungkinan korporasi melepaskan diri dari tanggungjawab atas kejahatan yang
dilakukannya. Korporasi sebagai subjek tindak pidana perumusannya berada dalam
peraturan perundang-undangan di luar KUHP, pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi adalah dengan menentukan aturan atau syarat mengenai kapan suatu korporasi
dikatakan melakukan tindak pidana. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

12
Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi,
Universitas Diponegoro, Semarang, 1999, hal 2
13
Eddi Rifai, Perspektif Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi, Jurnal
UGM Vo. 20 No. 1 2014 hal. 9
14

13
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya
Pasal 20 ayat (2) ditentukan bahwa : “Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama”. Berdasarkan ketentuan tersebut, suatu tindak pidana
dikatakan dapat dilakukan oleh korporasi apabila berdasarkan hubungan kerja atau
hubungan lain, dan dalam lingkungan korporasi.15 formulasi tersebut seharusnya dibatasi
pada orang-orang atau mereka yang mempunyai hubungan langsung dengan korporasi saja
yang dapat melibatkan korporasi untuk ikut bertanggungjawab atas tindak pidana yang
dilakukannya.

Formulasi tersebut dapat ditemukan pada Undang-Undang No. 15 tahun 2002 Jo.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana
dalam Pasal 4 ayat (2) ditentukan bahwa hanya pengurus yang mempunyai hubungan
fungsional dalam struktur organisasi korporasi saja yang dapat melibatkan korporasi dalam
pertanggungjawaban pidananya. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang menentukan bahwa :

“Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak


pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi,
apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup
usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku
bagi korporasi yang bersangkutan”.

Reformulasi yang dimaksud adalah reformulasi yang berkaitan dengan ketentuan


mengenai siapa yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana atau yang dapat dutuntut
dan dijatuhi pidana. Peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang belum mengatur
hal tersebut dapat mengadopsi formulasi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang telah menentukan siapa yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana atas
kejahatan yang dilakukan oleh korporasi16. Adanya reformulasi terhadap penentuan subjek
dalam tindak pidana maka akan tercipta suatu keseragaman pedoman atau aturan dalam
peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang berkaitan dengan pembebanan
pertanggungjawaban pidana atas kejahatan korporasi serta akan ada kejelasan mengenai

15
Evan Alroy Situmorang, Tesis Kebijakan Formulasi Pemidanaan Korporasi Terhadap Korban Kejahatan
Korporasi, Magister Hukum Universitas Diponegoro , Semarang, hal. 179 16 Ibid

14
pedoman pemidanaan di dalam KUHP Indonesia dengan menjadikan korporasi sebagai
subjek hukum pidana.

Ketua Penyusunan RKUHP, Muladi menyatakan bahwa pasal 47 sampai dengan pasal
53 RKUHP mengatur tentang “corporate criminal liability”. Dengan dimasukkannya hal
tersebut berarti bahwa bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi berlaku
umum untuk semua tindak pidana, termasuk yang berada di luar KUHP. 16

RKUHP yang termasuk korporasi tidak hanya mencakup badan hukum, tetapi juga
meliputi firma, CV, dan persekutuan yaitu badan usaha yang berdasarkan hukum perdata,
bukan suatu badan hukum.17

2.4 kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban


Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Positif Indonesia Saat Ini Dalam Beberapa
Perundang-Undangan Pidana Indonesia

Pada bagian awal dari tulisan ini telah dikemukakan bahwa KUHP yang ada sekarang
ini tidak menganut atau mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana, namun
perkembangan hukum di luar KUHP berupa undang-undang tindak pidana khusus telah
menganut prinsip korporasi sebagai subjek tindak pidana. Perkembangan tersebut juga
berpengaruh terhadap perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hal
kejahatan korporasi. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi dapat dibebankan
pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi. Kebijakan
formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi
dalam beberapa peraturan perundang-undangan pidana Indonesia dapat ditemukan antara
lain pada : Undang-Undang No. 7/Drt. 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-
Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang No. 6 Tahun 1984
tentang Pos, Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun
1998, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang No. 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,

16
Kristian, Hukum Pidana Korporasi, Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia, Op.Cit
17
Ika Puspitasari, Urgensi Pengaturan Kejahatan Korporasi Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Korporasi Menurut Rkuhp, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 20 Agustus 2018 hal. 14

15
UndangUndang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.

2.5 Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban


Kejahatan Pidana Korprasi Di Masa Yang Akan Datang

Formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi tentu saja tidak cukup hanya dengan
menyebutkan korporasi sebagai subjek tindak pidana saja, melainkan juga harus
menentukan aturan mengenai sistem pidana dan pemidanaannya, sehingga diperlukan
sebuah upaya reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban
kejahatan korporasi di masa yang akan datang.

Reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan


korporasi antara lain meliputi ketentuan mengenai :

1. ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi;
2. siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan
korporasi;
3. jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek tindak pidana berupa korporasi yang
berorientasi pada pemberian ganti kerugian kepada korban. Formulasi mengenai
ketentuan tersebut harus diatur secara tegas untuk meminimalisir kemungkinan
korporasi melepaskan diri dari tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya.
Mustahil memberikan pemenuhan ganti kerugian yang diderita oleh korban oleh
korporasi, apabila korporasi yang dimaksud tidak dapat dijerat, dituntut, dan
dijatuhi pidana berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perspektif kebijakan kriminal dan


hukum pidana tidak dapat dilepaskan dengan pengertian kebijakan kriminal atau upaya
penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat
masyarakat (social welfare). Apabila terdapat banyak kelemahan dalam perumusan sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
maka akan mempengaruhi pula proses penegakan hukumnya.

Korporasi belum diatur dalam subjek hukum pidana Indonesia karena menganut asas
“societas delinquere non potest” yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.
Suatu korporasi terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh
pengurus korporasi tersebut. Pengaturan mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana,
memiliki tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi. Pengurus korporasi sebagai
pembuat dan pengurus korporasi yang bertanggungjawab, Korporasi sebagai pembuat dan
pengurus bertanggungjawab, Korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang
bertanggungjawab.

Ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi; Siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan
yang dilakukan korporasi; Jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek tindak pidana
berupa korporasi Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana hanya apabila
tindak pidana yang dilakukan pengurus tersebut, adalah kegiatan yang termasuk dalam
lingkup usaha korporasi. Formulasi ketentuan-ketentuan tersebut telah jelas menentukan
kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi. Ada pedoman atau batasan yang jelas mengenai kapan suatu tindak pidana
dilakukan oleh korporasi.

Maka dalam menentukan pilihan kebijakan yang ideal dalam perumusan


pertanggungjawaban pidana korporasi, maka uraian di atas hendaknya menjadi perhatian
agar perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dapat
diwujudkan, khususnya yang menyangkut pertanggungjawaban pidana korporasi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta,Rajawali Pers,1990)


Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana
Penjara (Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1994)
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana,(Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003)
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
(Bandung , Citra Aditya Bakti, 2001)
Mardjono Reksodiputro, Tinjauan Terhadap Perkembangan Delik-delik Khusus Dalam
Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi, Kertas Kerja pada Seminar Perkembangan
Delik-delik Khusus Dalam Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi, di FH UNAIR,
(Bandung, Binacipta,1982)
Mardjono Reksodiputro, Meninjau RUU Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dalam
Konteks Perlindungan HAM , dalam Jurnal Keadilan Vol.2 No. 2 Tahun 2002
Dwidja Priyatno, Alternatif Model Pengaturan Sanski Pidana Pada Korporasi ( Sebagai Salah
Satu Upaya Dalam Memberantas Kejahatan Korporasi), Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Sekolah Tinggi Hukum Bandung,
26 , September 2005
Mochtar Kusumaatmadja dan B.Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum,Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, (Bandung, Alumni, 2000)
Muladi,Kapita Selekta Sistem Paradilan Pidana, (Semarang,Badan Penerbit
UNDIP,1995)
Schaffmeister.D.,N Keijzer,E.PH.Sutorius, Hukum Pidana,Editor Penerjemah J.E. Sahetapy,
(Yogyakarta,Liberty,1995)
Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1979)
Surojo Wignyodipuro, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat,(Jakarta,Gunung Agung, 1982)
Ter Haar,B,Bzn, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta,Pradnya Paramita,1983),
Terjemahan K.ng. Soebakti Poesponoto,Cet 7
Sutan Remy Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (PT.GrafitiPress, Jakarta, 2006)

Dwidja P, dan Muladi, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Ketiga),


Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.

Kristian, 2014, Hukum Pidana Korporasi, Kebijakan Integral (Integral Policy)


Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Nusa Aulia Bandung.

18

Anda mungkin juga menyukai