Disusun Oleh :
(2019200002)
Kelas : B
Dosen Pengampu :
BAB I ......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3
BAB II ...................................................................................................................................... 10
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 10
2.2 Orientasi Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Dalam Hukum Positif Di Indonesia 11
2.3 Reorientasi Formulasi Yang Ideal Atas Sanksi Pidana Terhadap Korporasi. ........... 13
PENUTUP................................................................................................................................ 17
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, TeoriTeori dan
Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hal. 148
3
korporasi tersebut. Dalam perkembangannya, korporasi (juridical person) muncul sebagai
subjek yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana.
Korporasi sudah dikenal dalam dunia bisnis sejak beberapa abad yang lalu. Pada
awalnya, korporasi hanya merupakan suatu wadah kerjasama dari beberapa orang yang
mempunyai modal, untuk mendapatkan keuntungan bersama, dan belum seekslusif
seperti korporasi dewasa ini. Munculnya revolusi industri telah mendorong semakin
berkembangnya korporasi sebagai badan hukum dan badan ekonomi. Barangkali VOC
yang didirikan oleh Belanda pada tahun 1602 dapat dipandang sebagai perintis korporasi
(bisnis) modern yang dibangun dengan modal (saham) yang tetap.2
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan manusia, korporasi juga
berkembang menjadi lebih kompleks. Korporasi tidak lagi seperti dulu yang masih
menggunakan sistem yang sederhana. Berbagai sistem dan metode dalam menjalankan
korporasi terus dikembangkan dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Dewasa ini korporasi yang masuk dalam kategori perusahaan raksasa atau perusahaan
multinasional sudah banyak berkembang di berbagai negara. Mereka tidak hanya
membangun imperium di negara asal, tetapi juga di negara-negara lain terutama negara
berkembang seperti Indonesia dalam rangka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pada tahun 1978, dua perusahaan terbesar di Amerika Serikat yaitu General Motor dan
Exxon masing-masing sudah memiliki nilai penjualan melebihi 60 miliar dollar, suatu
jumlah yang jauh melebihi total pendapatan dari negara bagian Amerika Serikat yang
3
manapun dan kebanyakan negara di dunia. Data tersebut menunjukkan betapa besar
kekuatan modal korporasi yang bertaraf multinasional pada saat itu.
Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat melibatkan korporasi di dalamnya.
Dapat dilihat bahwa koporasi bergerak di berbagai bidang seperti industri pertanian,
perbankan, hiburan dan sebagainya yang melibatkan perputaran uang yang tidak sedikit.
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peran korporasi saat ini menjadi sangat
penting dalam kehidupan masyarakat. Peran mereka mendominasi kehidupan sehari-hari,
apalagi meningkatnya privatisasi. Bukan lagi negara yang menyediakan kebutuhan, tapi
korporasi. Segala kebutuhan masyarakat dari lahir sampai mati telah disediakan oleh
2
Clinard dan Yeager dalam I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, BP UNDIP, Semarang, 1995, hal. 15
3
Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006, hal. 2
4
korporasi.
Korporasi banyak memberikan kontribusi perkembangan suatu negara, terutama
dalam bidang ekonomi, misalnya pemasukan negara dalam bentuk pajak maupun devisa,
sehingga dampak korporasi tampak sangat positif. Namun di sisi lain, korporasi juga tak
jarang menciptakan dampak negatif, seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam,
persaingan secara curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, menghasilkan
produk-produk yang membahayakan pemakainya, serta penipuan terhadap konsumen.
4
Korporasi dapat meningkatkan kekayaan negara dan tenaga kerja, namun revolusi
struktur ekonomi dan politik telah menumbuhkan kekuatan korporasi yang besar, sehinga
negara terlalu tergantung korporasi sehingga negara dapat didikte sesuai kepentingannya.
Perusahaan-perusahaan raksasa bukan saja memiliki kekayaan yang demikian
besarnya, tetapi juga memiliki kekuatan sosial dan politis sedemikian rupa sehingga
operasi atau kegiatan perusahaan-perusahaan tersebut sangat mempengaruhi kehidupan
setiap orang sejak mulai lahir sampai matinya. Kehidupan kerja serta kesehatan dan
keamanan dari sebagian besar penduduk dikendalikan baik secara langsung atau tidak
langsung oleh perusahaan-perusahaan besar ini. Telah terbukti bahwa perusahaan-
perusahan multinasional (multinational corporations) telah menjalankan pengaruh politik
baik terhadap pemerintah di dalam negeri maupun di luar negeri di mana perusahaan itu
beroperasi.5
Tujuan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya
mengakibatkan sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi baik itu berupa
suatu badan hukum maupun bukan memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan
aktvitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan
hukum yang berlaku, bahkan memunculkan korban yang menderita kerugian.
Kejahatan korporasi yang biasanya berbentuk kejahatan kerah putih (white collar
crime), umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak
dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana
yang berlaku. Berdasarkan pengalaman dari berbagai negara maju dapat dikemukakan
bahwa identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti
pelanggaran undang-undang monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak
dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan,
4
Setiyono, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana Indonesia), Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hal. 1
5
Clinard dan Yeager dalam Sutan Remi Sjahdeini, Op.cit., hal. 3
5
korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan
hidup.6
Bagaimana halnya dengan Indonesia? Dari beberapa kasus yang melibatkan korporasi
beberapa tahun belakangan ini, pencemaran lingkungan hidup mendominasi tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi. Tidak dapat disangkal bahwa keberadaan industri
selalu mempunyai dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Masyarakat akan ingat
dengan cepat bagaimana dampak negatif dari aktivitas korporasi seperti tumpahan minyak
mentah di laut atau polusi air karena buangan limbah korporasi, polusi udara dan tanah
oleh sampah industri. Kontradiksi antara korporasi dan lingkungan seringkali disebabkan
keinginan korporasi mengambil jalan pintas mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan cara menekan biaya operasional serendah-rendahnya dan mengabaikan kewajiban
lingkungan.
Korporasi yang menjalankan bisnis dalam bidang lingkungan hidup juga telah
melakukan pembakaran hutan dan lahan. Tindak pidana dalam kejahatan lingkungan
hidup yang melakukan ialah seseorang atau perorangan atau badan hukum atau korporasi
di era globalisasi industri sering terjadi dilingkungan yang penuh dengan perusahaan-
perusahaan yang beroperasi dapat mencemari dan merusak lingkungan yang dalam sistem
pengelolaannya melanggar aturan yang berlaku Korporasi menurut hukum pidana
Indonesia tidak sama dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata. Pengertian
korporasi menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertian menurut hukum perdata.
Berbicara masalah reorientasi dan reformulasi dalam sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam perspektif kebijakan kriminal dan kebijakan pidana tidak dapat
dilepaskan dengan pengertian kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan
pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat masyarakat (social welfare).
Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik
kriminal ialah “Perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai
kesejahteraan sosial). Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) harus
menunjang tujuan (“goal”),”social welfare (SW) dan “ social defence” (SD). Aspek sosial
welfare (SW) dan social defence (SD) yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/
6
Gobert dan Punch, Rethinking The Corporate Crime, http://maswig.blogspot.com, 21 September 2007
6
perlindungan masyarakat yang bersifat immateriel terutama nilai kepercayaan,
kebenaran/ kejujuran/keadilan.
Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) harus dilakukan dengan
“pendekatan integral”; ada keseimbangan antara “penal” dan “non-penal”.7
Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) dengan sarana “penal” merupakan
“penal policy” atau “penal-law enforcement Policy” yang
fungsionalisasi/opresionalisasinya melalui beberapa tahap :8
1) formulasi (kebijakan Legislatif/legislasi);
2) aplikasi (Kebijakan yudikatif/yudicial);
3) eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Tahap formulasi,yaitu tahap penegakkan hukum in abstracto oleh badan pembuat
undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislative/legislasi.
Kebijakan legislatif/legislasi adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat
undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu
dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau
diprogramkan itu.9
Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak
hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan.Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap
kebijakan yudikatif.
Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-
aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau
administratif.10
Dengan adanya tahap “formulasi”,maka upaya pencegahan dan Penanggulangan
kejahatan (PPK) bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum,tetapi juga tugas
aparat pemuat hukum(aparat legislatif);bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap
paling strategis dari upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) melalaui
7
Barda Nawawi Arief,Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2001), hlm 74,75.
8
Tentang ketiga tahapan ini,M.Cherif Basssiouni,Substantive Criminal Law, (Illionis,USA,Charles C.Thomas
Publisher,1978), hlm 78, mempergunakan istilah , proses legislatif, proses peradilan(judicial) dan proses
administrasi atau tahap formulasi,aplikasi dan tahap eksekusi.
9
Barda Nawawi Arief,Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara
(Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1994), hlm 59
10
Muladi,Kapita Selekta Sistem Paradilan Pidana, (Semarang,Badan Penerbit UNDIP,1995),hlm 13,14.
7
“penal policy”.Oleh karena itu,kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan
kesalahan strategis yang dapat menghambat upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Kejahatan (PPK) pada tahap aplikasi dan eksekusi.
Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perspektif kebijakan kriminal
dan kebijakan pidana, tidak lepas dari tahap formulasi yang di dalamnya menyangkut
tentang definisi dari korporasi, latar belakang tahap perkembangan korporasi sebagai
subjek hukum pidana, perkembangan teori-teori pertanggungjawaban pidana dan model
pengaturan jenis sanksi pidana untuk korporasi juga merupakan hal yang sangat penting,
karena apabila terdapat kelemahan perumusan dapat menghambat penegakan hukum
dalam rangka pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Di samping itu
berbicara masalah sistem pertanggungjawaban pidana dalam perspektif kebijakan
kriminal dan kebijakan pidana tidak dapat dilepaskan bagaimana melakukan reorientasi
dan reformulasi kebijakan legislasi terhadap sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi. Hal ini sebagai penegasan bahwa kelemahan kebijakan legislasi dapat
menghambat upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) pada tahap
aplikasi dan eksekusi.
8
1.3 Tujuan Penulisan
9
BAB II
PEMBAHASAN
10
b. Mengenai penggunaan istilah “korporasi”, hendaknya dipergunakan secara
konsisten. Sedangkan selama ini penggunakan istilah “korporasi” dipergunakan
istilah yang bermacam-macam dan tidak seragam. Maka untuk masa yang akan
datang , dalam melakukan kebijakan legislasi seyogyanya dipergunakan istilah
“korporasi”.
c. Perlu dilakukan reformulasi tentang pola aturan pemidanaan untuk pemidanaan
korporasi sehingga seragam dan konsisten, seperti pengaturan:
1) Kapan korporasi melakukan tindak pidana dan kapan
dipertanggungjawabkan.Karena kebijakan selama ini ada yang merumuskan
dan ada yang tidak merumuskan dalam aturan perundang-undangan.
2) Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan juga ada yang merumuskan dan ada
yang tidak. Untuk yang akan datang maka kebijakan legislasi tentang siapa yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam korporasi harus diatur dengan tegas.
3) Jenis Sanksi, harus dirumuskan kembali secara jelas dan terinci baik
menyangkut jenis pidananya baik itu berupa pidana pokok, pidana tambahan
dan tindakan tata tertib serta jenis-jenis sanksi dari pidana tersebut. Termasuk
pilihan model pemidanaan yaitu apakah pidana yang diberlakukan untuk
korporasi diatur berbeda dengan jenis sanksi untuk subjek tindak pidana berupa
“manusia” ataukah akan dilakukan pemisahan , artinya pemidanaan khusus
untuk korporasi diatur secara tersendiri.
4) Perumusan sanksinya juga harus jelas dan kosisten sehingga dapat diterapkan
terhadap korporasi.
5) Apabila untuk yang akan datang, korporasi menjadi subjek tindak pidana secara
umum, dan diatur dalam KUHP, maka perlu adanya pengaturan pemidanaan
yang berlaku secara umum untuk korporasi.
2.2 Orientasi Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Dalam Hukum Positif Di Indonesia
Kebijakan orientasi sanksi pidana terhadap korporasi dalam hukum positif di Indonesia
belum mencapai tahap ketepatan atau kepastian hukum untuk menjadikan korporasi
sebagai subjek hukum pidana. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan pada pemberian
sanksi pidana terdapat korporasi. Kelemahan yang dimaksud adalah hukum pidana
Indonesia dibuat berdasarkan ajaran kesalahan individual yaitu sistem hukum pidana tidak
memungkinkan penjatuhan pidana denda terhadapa korporasi, karena pihak yang dipidana
11
dapat menggantkan dengan pidana kurungan hal tersebut diatur oleh Pasal 30 KUHP. Tidak
adanya prosedur khusus dari hukum acara pidana untuk mengatur korporasi serta cara
perumusan delik pidana yang selalu dimulai dengan kata “barang siapa” secara umum
dimaksudkan kepada orang atau manusia.
Pandangan Gustav Radbruch secara umum diartikan bahwa kepastian hukum tidak
selalu harus diberi prioritas pemenuhannya pada tiap sistem hukum positif, seolah-olah
kepastian hukum itu harus ada lebih dulu, baru kemudian keadilan dan kemanfaatan. Pada
kebijakan orientasi sanksi pidana korporasi, kepastian hukum itu tidak terpenuhi karena
adanya ketidakjelasan yang terjadi dalam perumusan undang-undang mengenai korporasi.
Ketidakjelasan perumusan mengenai kapan suatu korporasi dinyatakan sebagai pelaku dan
kapan suatu tindak pidana telah dilakukan atas nama suatu korporasi. Ketidakjelasan
perumusan mengenai perbuatan yang akan dipertanggungjawabkan melalui perumusan
korporasi sebagai subjek tindak pidana. Ketidakjelasan mengenai kriteria yang digunakan
sebagai pedoman untuk mempertanggungjawabkan korporasi, sebab pertanggungjawaban
hukum pidana dikaitkan dengan masalah kesalahan dan unsur alasan pemaaf. Serta masalah
pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi. Jenis pidana denda yang dikenakan terhadap
korporasi.
Berdasarkan hasil analisis teori kepastian hukum diatas, dapat disimpulkan bahwa
orientasi sanksi pidana terhadap korporasi belum mencapai tahap yang pasti. Didasarkan
pada kelemahan-kelemahan yang terlihat serta korporasi dalam hukum positif Indonesia
belum menjadi subjek hukum pidana, sehingga tidak adanya aturan umum dalam KUHP
yang dapat menjembatani hukum pidana umum dengan undang-undang khusus diluar
KUHP. Teori pertanggungjawaban korporasi sudah dipergunakan oleh beberapa
undangundangan khusus di luar KUHP dengan menggunakan model sistem
pertanggungjawaban pidana yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus
korporasi yang bertanggungjawab, korporasi sebagai pembuat dan pengurus
bertanggungjawab, dan korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang
bertanggungjawab.11 Beberapa undang-undang yang mengatur korporasi telah memberikan
perumusan mengenai pengaturan korporasi tetapi tidak dapat berjalan semestinya karena
tidak ada kejelasan dalam pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi.
11
Mardjono Reksodiputro, Dalam Makalahnya “Pertangungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana
Korporasi”, (Semarang: FH-UNDIP, 1989), hal. 9
12
Fenomena ini ditandai dengan lahirnya Wet Economische Delichten (WED), tahun
1950 di Belanda, yang dalam Pasal 15 ayat (1) mengatur bahwa dalam tindak pidana
ekonomi, korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipidana. Ketentuan ini
kemudian ditiru oleh Indonesia melalui UndangUndang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.12 Pengaturan dalam UU
No. 7/Drt/1955 menjadi cikal bakal pertanggung- jawaban pidana korporasi dalam
melakukan tindak pidana, yang kemudian diikuti beberapa peraturan perundang-undangan
lain sampai dengan sekarang seperti UU Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen,
UU Perikanan, UU Narkotika, UU Pencucian Uang, UU Monopoli, UU Korupsi dan lain-
lain.13
2.3 Reorientasi Formulasi Yang Ideal Atas Sanksi Pidana Terhadap Korporasi.
1. ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi;
2. siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan
korporasi;
3. jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek tindak pidana berupa korporasi.
Formulasi mengenai ketentuan tersebut harus diatur secara tegas untuk meminimalisir
kemungkinan korporasi melepaskan diri dari tanggungjawab atas kejahatan yang
dilakukannya. Korporasi sebagai subjek tindak pidana perumusannya berada dalam
peraturan perundang-undangan di luar KUHP, pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi adalah dengan menentukan aturan atau syarat mengenai kapan suatu korporasi
dikatakan melakukan tindak pidana. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
12
Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi,
Universitas Diponegoro, Semarang, 1999, hal 2
13
Eddi Rifai, Perspektif Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi, Jurnal
UGM Vo. 20 No. 1 2014 hal. 9
14
13
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya
Pasal 20 ayat (2) ditentukan bahwa : “Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama”. Berdasarkan ketentuan tersebut, suatu tindak pidana
dikatakan dapat dilakukan oleh korporasi apabila berdasarkan hubungan kerja atau
hubungan lain, dan dalam lingkungan korporasi.15 formulasi tersebut seharusnya dibatasi
pada orang-orang atau mereka yang mempunyai hubungan langsung dengan korporasi saja
yang dapat melibatkan korporasi untuk ikut bertanggungjawab atas tindak pidana yang
dilakukannya.
Formulasi tersebut dapat ditemukan pada Undang-Undang No. 15 tahun 2002 Jo.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana
dalam Pasal 4 ayat (2) ditentukan bahwa hanya pengurus yang mempunyai hubungan
fungsional dalam struktur organisasi korporasi saja yang dapat melibatkan korporasi dalam
pertanggungjawaban pidananya. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang menentukan bahwa :
15
Evan Alroy Situmorang, Tesis Kebijakan Formulasi Pemidanaan Korporasi Terhadap Korban Kejahatan
Korporasi, Magister Hukum Universitas Diponegoro , Semarang, hal. 179 16 Ibid
14
pedoman pemidanaan di dalam KUHP Indonesia dengan menjadikan korporasi sebagai
subjek hukum pidana.
Ketua Penyusunan RKUHP, Muladi menyatakan bahwa pasal 47 sampai dengan pasal
53 RKUHP mengatur tentang “corporate criminal liability”. Dengan dimasukkannya hal
tersebut berarti bahwa bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi berlaku
umum untuk semua tindak pidana, termasuk yang berada di luar KUHP. 16
RKUHP yang termasuk korporasi tidak hanya mencakup badan hukum, tetapi juga
meliputi firma, CV, dan persekutuan yaitu badan usaha yang berdasarkan hukum perdata,
bukan suatu badan hukum.17
Pada bagian awal dari tulisan ini telah dikemukakan bahwa KUHP yang ada sekarang
ini tidak menganut atau mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana, namun
perkembangan hukum di luar KUHP berupa undang-undang tindak pidana khusus telah
menganut prinsip korporasi sebagai subjek tindak pidana. Perkembangan tersebut juga
berpengaruh terhadap perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hal
kejahatan korporasi. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi dapat dibebankan
pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi. Kebijakan
formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi
dalam beberapa peraturan perundang-undangan pidana Indonesia dapat ditemukan antara
lain pada : Undang-Undang No. 7/Drt. 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-
Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang No. 6 Tahun 1984
tentang Pos, Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun
1998, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang No. 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
16
Kristian, Hukum Pidana Korporasi, Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia, Op.Cit
17
Ika Puspitasari, Urgensi Pengaturan Kejahatan Korporasi Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Korporasi Menurut Rkuhp, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 20 Agustus 2018 hal. 14
15
UndangUndang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.
Formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi tentu saja tidak cukup hanya dengan
menyebutkan korporasi sebagai subjek tindak pidana saja, melainkan juga harus
menentukan aturan mengenai sistem pidana dan pemidanaannya, sehingga diperlukan
sebuah upaya reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban
kejahatan korporasi di masa yang akan datang.
1. ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi;
2. siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan
korporasi;
3. jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek tindak pidana berupa korporasi yang
berorientasi pada pemberian ganti kerugian kepada korban. Formulasi mengenai
ketentuan tersebut harus diatur secara tegas untuk meminimalisir kemungkinan
korporasi melepaskan diri dari tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya.
Mustahil memberikan pemenuhan ganti kerugian yang diderita oleh korban oleh
korporasi, apabila korporasi yang dimaksud tidak dapat dijerat, dituntut, dan
dijatuhi pidana berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korporasi belum diatur dalam subjek hukum pidana Indonesia karena menganut asas
“societas delinquere non potest” yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.
Suatu korporasi terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh
pengurus korporasi tersebut. Pengaturan mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana,
memiliki tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi. Pengurus korporasi sebagai
pembuat dan pengurus korporasi yang bertanggungjawab, Korporasi sebagai pembuat dan
pengurus bertanggungjawab, Korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang
bertanggungjawab.
Ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi; Siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan
yang dilakukan korporasi; Jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek tindak pidana
berupa korporasi Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana hanya apabila
tindak pidana yang dilakukan pengurus tersebut, adalah kegiatan yang termasuk dalam
lingkup usaha korporasi. Formulasi ketentuan-ketentuan tersebut telah jelas menentukan
kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi. Ada pedoman atau batasan yang jelas mengenai kapan suatu tindak pidana
dilakukan oleh korporasi.
17
DAFTAR PUSTAKA
18