Anda di halaman 1dari 19

HUKUM ADMINISTRASI DAERAH

“DAMPAK REFORMASI PENGATURAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN


PASCA UNDANG – UNDANG CIPTA KERJA”

Disusun Oleh :

AFMI ALFIANI RAHMAH

(2019200002)

KELAS : B

Dosen Pengasuh : Dr. A. Kahar Maranjaya, SH., MH.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya
dengan segala rahmat-Nyalah akhirnya saya bisa menyelesaikan tugas paper mengenai materi
tentang “Dampak Reformasi Pengaturan Administrasi Pemerintahan Pasca Undang –
Undang Cipta Kerja.” ini tepat pada waktunya. Saya juga mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Dr. A. Kahar Maranjaya S.H., M.H. selaku Dosen saya yang telah memberikan
tugas ini kepada saya sehingga saya mendapatkan banyak tambahan pengetahuan.

Saya selaku penyusun berharap semoga paper yang telah saya selesaikan ini bisa
memberikan banyak manfaat serta menambah pengetahuan.

Saya menyadari bahwa dalam pembuatan dan penyelesaian paper ini masih memiliki
banyak kekurangan yang membutuhkan perbaikan, sehingga saya sangat mengharapkan
masukan serta kritikan dari para pembaca.

Hormat Saya,

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................2

BAB II.......................................................................................................................................4

PEMBAHASAN.......................................................................................................................4

A. Tekad Untuk Memperkuat Reformasi Regulasi Dengan UU Cipta Kerja......................4

B. Perubahan Dalam UU Administrasi Pemerintahan Pasca UU Cipta Kerja....................6

1) Keputusan Pejabat Pemerintahaan Berupa Standar.....................................................7

2) Persyaratan Diskresi....................................................................................................7

3) Hapusnya ketentuan fiktif-positif melalui PTUN........................................................7

C. Konsep Direksi Dalam UU Cipta Kerja Pada Administrasi Pemerintahan....................8

1) Bertentangan dengan konstitusi...................................................................................9

2) Mengubah konsep diskresi..........................................................................................9

3) Mengubah konsep fiktif positif.................................................................................10

4) Langkah perbaikan....................................................................................................11

BAB III....................................................................................................................................13

PENUTUP...............................................................................................................................13

A. Kesimpulan...................................................................................................................13

B. Saran..............................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik


Indonesia (DPR-RI) menimbulkan kontroversi. Karena ada beberapa penolakan berkait
UU Cipta Kerja oleh para pekerja dan buruh khususnya yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan.

Peristiwa awal reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo adalah
ketika pada awal pemerintahannya investasi masih relatif rendah. Meskipun setiap
tahunnya selalu mengalami pertumbuhan tapi tidak membuat pemerintahan Jokowi-Jusuf
Kalla pada saat itu tidak puas.

Oleh karena itu, pada 2018 pemerintahan Presiden Joko Widodo di bawah Menteri
Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengeluarkan 16 paket kebijakan
ekonomi. Salah satu inti dari dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi itu adalah untuk
mempermudah investor masuk.

Dalam paket 16 paket kebijakan ekonomi ini, ada beberapa hal yang menghambat
investasi. Seperti misalnya penyederhanaan perizinan pertanahan untuk kegiatan
penanaman modal hingga menetapkan formulasi Upah Minimum Provinsi (UMP). paket
kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pada tahun 2018 lalu dinilai tidak efektif. Karena
investasi yang masuk ke Indonesia belum ada perubahan yang signifikan.

Karena para investor pun masih mengeluhkan hal yang sama khususnya yang
berkaitan dengan perizinan. Meskipun sudah online single submission (OSS) atau
perizinan satu pintu masih banyak yang mengeluhkan perizinan yang berbelit khususnya
di daerah.

Oleh karena itu, untuk menarik investor asing kedalam negeri diperlukan perubahan-
perubahan aturan lagi. Namun untuk merubah satu per satu aturan membutuhkan waktu
yang cukup lama. Maka dari itu, Presiden Joko Widodo pun memutuskan untuk
memangkas regulasi penghambat investasi lewat omnibus law dengan mengeluarkan

1
Undang-Undang Cipta Kerja. Tujuannya adalah agar prosedur penghambat investasi ini
bisa dipangkas secepat mungkin.

Publik menilai UU Cipta Kerja ini dibahas dengan terburu-buru dan kejar tayang.
Belum lagi tidak ada sosialisasi yang dilakukan oleh DPR terkait UU Cipta Kerja ini
ditandai dengan belum adanya draft asli dari aturan sapu jagat ini.

Karena seharusnya, pasca diundangkan DPR dan pemerintah pun harus


menyelenggarakan sosialisasi ke publik. Baik itu berupa seminar atau mengajak dialog
langsung beberapa pihak dari mulai akademisi, para ahli, hingga pekerja serta semua
orang yang berkaitan di dalamnya.

Hal ini pun membuat kecurigaan publik semakin bertambah. Padahal publik belum
sepenuhnya memahami dan mengetahui isi dari UU Cipta Kerja ini, namun karena
persepsi awal sudah buruk maka pikiran negatif publik sudah lebih dahulu muncul.

Setelah disahkannya UU Cipta Kerja ini, akan berdampak besar termasuk dalam


melakukan perubahan mendasar dalam administrasi pemerintahan di Indonesia.

Di bidang administrasi pemerintahan, UU ini mengatur bahwa kewenangan menteri,


kepala lembaga, dan pemerintah daerah untuk menjalankan atau membentuk peraturan
perundang-undangan sebagai pelaksanaan kewenangan presiden.

Ketentuan ini dibuat dengan tujuannya untuk percepatan pelayanan, percepatan


perizinan, dan pelaksanaan program strategis nasional dan kebijakan Pemerintah Pusat.

Pengaturan ini mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan dan UU No. 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah dan
menjadi langkah mundur.

B. Rumusan Masalah

1) Bagaimana tekad untuk memperkuat reformasi regulasi dengan UU Cipta Kerja?


2) Apa saja dan bagaimana perubahan dalam UU Administrasi Pemerintahan pascaa
UU Cipta Kerja?
3) Bagaimana konsep direksi dalam UU Cipta Kerja pada Adminstrasi
Pemerintahan?

C. Tujuan Penulisan

2
1) Untuk mengetahui tekad untuk memperkuat reformasi regulasi dengan UU Cipta
Kerja.
2) Untuk mengetahui perubahan dalam UU Administrasi Pemerintahan pascaa UU
Cipta Kerja.
3) Untuk mengetahui konsep direksi dalam UU Cipta Kerja pada Adminstrasi
Pemerintahan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tekad Untuk Memperkuat Reformasi Regulasi Dengan UU Cipta Kerja

Tekad mencapai negara maju hanya bisa dilakukan dengan cara-cara luar biasa. Untuk
itu, pemerintah termasuk para birokrat harus mampu mereformasi diri. Tidak hanya pada
pola pikir tapi juga pada etos kerja. Tidak semata berorientasi pada proses tetapi juga
hasil. Tidak sekedar sent tapi juga menjamin delivered.

Birokrasi tak sekedar melaksanakan sebuah kebijakan tapi memastikan masyarakat


menikmati layanan. Kuncinya adalah kecepatan melayani dan memberikan izin. Struktur
organisasi pun disederhanakan menjadi fungsional sesuai kompetensi. Birokrasi bersih,
pemangkasan izin, dan penyelamatan keuangan negara menjadi strategi nasional
pencegahan korupsi. Reformasi Birokrasi dilakukan seiring dengan Reformasi Regulasi.

Melalui Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah berupaya untuk menerobos


penghalang yang membuat dunia usaha sulit berkembang di Indonesia. Omnibus
law menjadi solusi mengurai keruwetan aturan. Undang-Undang Cipta Kerja meringkas
79 Undang-Undang dan menyatukan 11 klaster menjadi satu aturan yang meliputi
Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan
Berusaha, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi,
Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi
dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus. Metode omnibus
law diharapkan menjadi metode terbaik untuk menghasilkan produk hukum yang efisien
dan aspiratif.

Untuk mencapai tujuan pembangunan, diperlukan birokrasi yang lincah dan efisien.
Untuk itu, Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan mempercepat perbaikan pelayanan
publik oleh para birokrat, tak hanya konvensional tapi juga digitalisasi layanan. Seiring
dengan transformasi digital yang dilakukan oleh Undang-Undang Cipta Kerja, segala
urusan perizinan berusaha menjadi semakin mudah. Jalur yang ruwet akibat prosedur
berbelit dan maraknya praktik pungli dapat dipangkas.

Birokrasi digital juga menjadi kunci semakin lancar dan tetap berjalannya layanan
publik di era krisis akibat pandemi saat ini. Pada akhirnya, transformasi digital tersebut
menjadi penanda bahwa Indonesia berproses menjadi negara maju.
4
Undang-Undang Cipta Kerja merupakan perwujudan strategi untuk mendorong
peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi melalui reformasi regulasi di bidang
perizinan berusaha. Reformasi tersebut ditujukan untuk menyelesaikan hambatan
investasi, yakni panjangnya rantai birokrasi, peraturan yang tumpang tindih dan
banyaknya regulasi yang tidak harmonis terutama dalam regulasi pusat dan daerah
(hyper-regulation).

Oleh karena itu, Undang-Undang tersebut merupakan wujud konkret atas upaya
deregulasi terhadap berbagai ketentuan mengenai perizinan berusaha, persyaratan
investasi, ketenagakerjaan, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) termasuk
koperasi, pengadaan lahan, pengembangan kawasan ekonomi, pelaksanaan proyek
pemerintah, serta ketentuan mengenai administrasi pemerintahan.

Sebagai contoh, Pasal 6 Undang-Undang Cipta Kerja mengamanatkan bahwa


peningkatan ekosistem dan kegiatan berusaha dilakukan melalui penerapan perizinan
berusaha berbasis risiko, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan usaha, pengadaan
tanah, dan pemanfaatan lahan, serta penyederhanaan persyaratan investasi. Untuk
memenuhi tujuan ini, persyaratan perizinan berusaha yang diatur dalam puluhan Undang-
Undang sektoral dipangkas melalui Undang-Undang Cipta Kerja, adapun sektor-sektor
perizinan berusaha yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Cipta Kerja adalah
kelautan dan perikanan; pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral;
ketenaganukliran; perindustrian; perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan
standardisasi penilaian kesesuaian; pekerjaan umum dan perumahan rakyat; transportasi;
kesehatan, obat dan makanan; pendidikan dan kebudayaan; pariwisata; keagamaan; pos,
telekomunikasi, dan penyiaran; serta pertahanan dan keamanan.

Salah satu contoh kemudahan berusaha yang diberikan oleh Undang-Undang Cipta
Kerja terhadap salah satu sektor di atas adalah pemberian kemudahan izin berusaha di
bidang kelautan dan perikanan. Sebelum diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja,
Undang-Undang Perikanan pada Pasal 1 nomor 16, 17 dan 18 disebutkan nelayan harus
memiliki 3 izin yang harus dipenuhi agar bisa berlayar. Kini melalui Undang-Undang
Cipta Kerja, perizinan tersebut disederhanakan dari 3 menjadi 1 perizinan saja.

Sementara itu, untuk mempermudah masyarakat terutama pelaku usaha dalam


melakukan investasi, Undang-Undang Cipta Kerja telah merngubah ketentuan investasi

5
dalam Undang-Undang Penanaman Modal, Undang-Undang Perbankan, dan Undang-
Undang Perbankan Syariah (Pasal 76 Undang-Undang Cipta Kerja).

Khusus di bidang administrasi pemerintahan, Undang-Undang Cipta Kerja juga


mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan yang bertujuan untuk menyederhanakan proses administrasi
pemerintahan. Ada beberapa poin perubahan dalam Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan karena adanya Undang-Undang Cipta Kerja.

Beberapa poin penting perubahan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan oleh


Undang-Undang Cipta Kerja, antara lain diperkenalkannya konsep ‘standar’ sebagai
bagian dari rezim hukum perizinan, kemudahan syarat penggunaan diskresi, dan
mendorong transformasi digital dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan dengan
diproritaskannya keputusan administrasi pemerintahan berbentuk elektronis (perubahan
atas Pasal 38 UU 30/2014).

Efisiensi birokrasi dipandang sebagai modal utama untuk meningkatkan kepercayaan


untuk berinvestasi. Sebab itu, Undang-Undang Cipta Kerja adalah wujud dari reformasi
secara menyeluruh dan terbesar yang pernah dilakukan oleh Indonesia, termasuk di
dalamnya upaya untuk meningkatkan efisiensi birokrasi. "Sejatinya, ruh dari undang-
undang ini adalah penyederhanaan perizinan. Hal ini karena sebelumnya, terlalu banyak
aturan perizinan yang mengarah ke ‘obesitas peraturan’," tambahnya.

Di sisi lain, dunia usaha membutuhkan pengaturan yang terukur, terstruktur, dan
memberikan kepastian untuk berusaha. Undang-Undang Cipta Kerja akan membantu
dunia usaha untuk dapat melakukan perencanaan usaha menjadi lebih baik, meningkatkan
iklim investasi, dan meningkatkan kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/EoDB)
di Indonesia. Pada akhirnya, peningkatan investasi, baik dalam maupun luar negeri, akan
berujung kepada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

D. Perubahan Dalam UU Administrasi Pemerintahan Pasca UU Cipta Kerja

Salah satu perubahan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(“UU Cipta Kerja”) beserta peraturan pelaksanaannya adalah terkait dengan administrasi
pemerintahan. Hal ini karena masih banyak permasalahan terkait administrasi
pemerintahan di Indonesia, khususnya terkait dengan kewenangan, diskresi yang
mengakibatkan hambatan dalam pelaksanaan administrasi pemerintahaan.

6
Sejalan dengan berlakunya UU Cipta Kerja maka Undang-Undang No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”)
mengalami perubahan pada beberapa ketentuannya. Perubahan ketentuan dimaksud
sangat penting mengingat Pelaksanaan Administrasi Pemerintahaan merupakan
pendukung dalam penciptaan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang penting untuk
diketahui antara lain:

1) Keputusan Pejabat Pemerintahaan Berupa Standar


UU Cipta Kerja memperkenalkan bentuk keputusan pejabat pemerintahan yang baru
yaitu Standar. Sebelum nya UU Administrasi Pemerintahan hanya mengenal bentuk
keputusan seperti Izin, Konsesi dan Dispensasi. Standar merupakan tindakan administrasi
pemerintahan yang bersifat sepihak. Pasal 19a UU Administrasi Pemerintahan
sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja mendefensikan Standar sebagai:

Standar adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang atau Lembaga yang
diakui oleh Pemerintah Pusat sebagai wujud persetujuan atas pernyataan untuk
pemenuhan seluruh persyaratan uyang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 39 UU Cipta Kerja mengatur standar sebagai Keputusan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahaan yand persetujuannya diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan dan
kegiatannya telah terstandarisasi.

2) Persyaratan Diskresi
Perubahan signifikan juga terjadi pada kriteria mengenai diskresi oleh pejabat
pemerintahan. Secara umum diskresi dikenal sebagai suatu keleluasaan bertindak pejabat
tata usaha negara terkait suatu keadaan kongkrit tidak cukup jelas pengaturan nya dalam
peraturan perundang-undangan atau terjadinya stagnasi pemerintahan.

Ketentuan diskresi dalam Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan menyebabkan


ruang kebebasan bertindak menjadi kurang efektif. Hal ini disebabkan, sebelum diubah,
Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan mewajibkan bagi diskresi harus memenuhi
persyaratan diantaranya tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Perubahan ini diprediksi dapat menimbulkan beberapa kontroversi karena meskipun


boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan diskresi tetap harus sejalan

7
dengan asas umum pemerintahan yang baik. Dengan bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan terdapat peluang suatu diskresi akan bertentangan dengan salah satu
asas pemerintahan yang baik.

3) Hapusnya ketentuan fiktif-positif melalui PTUN


Salah satu terobosan dalam UU Administrasi Pemerintahan adalah apa yang disebut
sebagai ketentuan  fiktif-positif yang diatur dalam Pasal 53 UU Adminstasi Pemerintahan.
Dengan ketentuan Pasal 53 UU Adminstrasi Pemerintahan dimaksud maka masyarakat
yang memohon suatu keputusan dapat menganggap permohonannya dikabulkan 10 hari
setelah permohonan lengkap diterima oleh si Pejabat. Selanjutnya diatur pula
kewenangan Pengadilan TUN untuk memeriksa dan memberikan putusan penerimaan
permohonan atas permohonan yang tidak ditanggapi.

UU Cipta Kerja mempersingkat masa tunggu dari 10 hari menjadi 5 hari sebelum
pejabat dianggap menyetujui suatu permohonan. Perubahan signifikan juga terjadi
ditandai dengan dihilangkannya Pasal 53 ayat (4), (5) dan (6)  yang mengatur
kewenangan Pengadilan TUN untuk memberi putusan penerimaan permohonan atas
permohonan yang tidak ditanggapi.

Perubahan-perubahan dalam UU Adminstrasi Pemerintahaan di atas diharapkan dapat


mendukung terciptanya lapangan kerja dan iklim investasi yang menguntungkan usaha.
Namun, perlu untuk kajian yang lebih mendalam apakah perubahan-perubahan tersebut
dapat meningkatkan efektifitas penerapan adminsitrasi pemerintahan.

E. Konsep Direksi Dalam UU Cipta Kerja Pada Administrasi Pemerintahan

Diskresi (discretion) berasal dari bahasa Latin ‘discernere’, padanannya dalam bahasa
Inggris adalah discernment dan judgment.  Diskresi dalam Black’s Law Dictionary
dipahami sebagai ‘wise conduct and management; cautious discernment, prudence’; atau
‘individual judgment, the power of free decision-making.

Pasal 1 angka 9 UU Administrasi Pemerintahan mendefinisikan diskresi sebagai


keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur,
tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnansi pemerintahan. 

8
Setelah disahkannya UU Cipta Kerja akan berdampak besar, termasuk dalam
melakukan perubahan mendasar dalam administrasi pemerintahan di Indonesia.

Di bidang administrasi pemerintahan, UU ini mengatur bahwa kewenangan menteri,


kepala lembaga, dan pemerintah daerah untuk menjalankan atau membentuk peraturan
perundang-undangan sebagai pelaksanaan kewenangan presiden.

Ketentuan ini dibuat dengan tujuannya untuk percepatan pelayanan, percepatan


perizinan, dan pelaksanaan program strategis nasional dan kebijakan Pemerintah Pusat.

Pengaturan ini mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan dan UU No. 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah dan
menjadi langkah mundur.

1) Bertentangan dengan konstitusi


Dalam doktrin ketatanegaraan sistem presidensial, segala kewenangan menteri dan
lembaga memang merupakan bentuk pelaksanaan kewenangan presiden.

Namun tidak demikian halnya dengan kewenangan pemerintah daerah.

Dalam Undang Undang Dasar 1945, pemerintah daerah merupakan entitas tersendiri,
penyelenggaraan pemerintahannya terpisah dari pemerintah pusat berdasarkan asas
otonomi.

Pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan sendiri.

Jika UU Cipta Kerja mengganggap pelaksanaan pemerintah daerah adalah bentuk


pelaksanaan kewenangan presiden, ini tentunya melanggar konstitusi.

4) Mengubah konsep diskresi


UU Cipta Kerja juga menimbulkan persoalan baru dengan menghilangkan syarat bagi
pejabat pemerintah untuk melakukan diskresi.

Diskresi memberikan ruang gerak bagi pejabat pemerintah untuk melakukan suatu
tindakan tanpa perlu terikat sepenuhnya pada undang-undang asalkan tujuannya untuk
kepentingan umum.

UU tentang Administrasi Pemerintahan membatasi penggunaan diskresi agar tidak


bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

9
UU ini ditujukan untuk mencegah diskresi disalahgunakan, agar tidak dilakukan
untuk kepentingan dan keuntungan pejabat yang bersangkutan.

Namun, Pasal 175 UU Cipta Kerja menghapus syarat “tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan” bagi pejabat pemerintah untuk melakukan
diskresi.

Ini akan berdampak buruk bagi iklim administrasi pemerintahan karena potensi untuk
menyalahgunakan diskresi.

Bahkan, UU Cipta Kerja juga memungkinkan penggunaan diskresi secara luas,


termasuk oleh presiden.

Jika presiden melakukan diskresi, tidak ada lagi kontrol terhadap diskresi presiden itu,
karena tidak ada lagi jabatan yang lebih tinggi untuk mengawasi Presiden.

Selama ini yang bisa mengontrol presiden adalah peraturan perundang-undangan,


namun syarat tersebut sudah dihapus.

5) Mengubah konsep fiktif positif


UU Cipta Kerja juga mengubah model asas “fiktif positif” yang ada di UU
Administrasi Pemerintahan.

Dalam asas fiktif positif, suatu keputusan dengan sendirinya lahir apabila permohonan
atas suatu keputusan atau ketetapan yang diajukan oleh warga negara atas suatu objek
tidak direspons oleh pejabat pemerintah.

Misalnya, warga negara meminta kepada gubernur agar sebuah Izin Usaha
Pertambangan (IUP) yang merusak alam dicabut karena tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan sektor kehutanan. Atau warga negara ingin mengajukan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) untuk kegiatan usaha atau rumah tinggal.

Sikap pejabat yang tidak menjawab atau diam itu oleh UU Administrasi Pemerintahan
dianggap sebagai bentuk persetujuan dan pengabulan secara hukum.

UU Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa untuk mendapatkan kekuatan


hukum, warga negara harus mengajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
untuk memperoleh penerimaan permohonan sebagai bentuk pengakuan.

10
PTUN wajib memutuskan permohonan itu paling lama 21 hari kerja sejak
permohonan diajukan.

Kemudian, badan atau pejabat pemerintah wajib mengeluarkan keputusan untuk


melaksanakan putusan PTUN paling lama 5 hari kerja setelah penetapan oleh pengadilan.

Dalam ketentuan yang diatur lewat UU Administrasi Pemerintahan, ada jaminan dari
negara melalui putusan PTUN bahwa keputusan fiktif positif yang diperoleh warga
negara akan dilaksanakan oleh badan atau pejabat yang bersangkutan.

Dalam ketentuan baru, UU Cipta Kerja mengatur bahwa keputusan akan lahir dengan
sendirinya jika pejabat tidak merespons dalam 5 hari, ini lebih singkat dari sebelumnya 10
hari. Dari segi percepatan waktu memang terlihat baik.

Akan tetapi, UU Cipta Kerja justru menghilangkan peran Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) untuk memberikan kekuatan hukum atas keputusan tersebut dan
menyerahkan kepada pejabat pemerintah untuk mengeksekusinya sendiri.

Artinya, warga negara tidak akan mendapat kepastian hukum dan administrasi makin
berlarut.

Ini karena pejabat yang telah menolak dengan sikap diamnya tidak memiliki paksaan
hukum untuk mengabulkan atau mengeksekusi permintaan warga negara.

6) Langkah perbaikan
Oleh karena itu, sudah sepantasnya persoalan administrasi pemerintahan di atas
dikembalikan pada khitahnya.

Pertama, ruang diskresi pejabat pemerintah harus dibatasi dengan syarat “tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Hal ini penting karena kebebasan pemerintah melalui diskresi yang tanpa kontrol
sangat potensial disalahgunakan.

Bahkan, untuk penggunaan diskresi ke depan juga harus diperketat dengan syarat
tidak melanggar Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), harus dilakukan dengan
alasan yang objektif, dan harus dilakukan dengan itikad baik.

11
Diskresi hanya bisa dilakukan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan,
mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi
pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Kedua, pelaksanaan keputusan fiktif positif harus tetap melibatkan PTUN.

Hal ini penting karena pengadilan adalah satu-satunya instrumen yang bisa memberi
kepastian dan pelindungan terhadap hak-hak warga negara dalam urusannya dengan
adminstrasi pemerintahan.

Ketentuan pasal 24 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan tidak


bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dihilangkan sebagai
syarat penggunaan diskresi bagi pejabat pemerintahan.

Penggunaan diskresi dalam upaya mencapai target investasi sebagaimana tujuan


Omnibus Law UU Cipta Kerja, menurut Herdiansyah Hamzah, akan melabrak semua
aturan perundang-undangan yang ada. Ini semacam privilage bagi pejabat pemerintah
untuk mengambil tindakan diskresi, tanpa harus khawatir dianggap melakukan perbuatan
melawan hukum.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Melalui Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah berupaya untuk menerobos


penghalang yang membuat dunia usaha sulit berkembang di Indonesia. Omnibus
law menjadi solusi mengurai keruwetan aturan. Undang-Undang Cipta Kerja meringkas
79 Undang-Undang dan menyatukan 11 klaster menjadi satu aturan yang meliputi
Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan
Berusaha, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi,
Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi
dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus. Metode omnibus
law diharapkan menjadi metode terbaik untuk menghasilkan produk hukum yang efisien
dan aspiratif.

Untuk mencapai tujuan pembangunan, diperlukan birokrasi yang lincah dan efisien.
Untuk itu, Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan mempercepat perbaikan pelayanan
publik oleh para birokrat, tak hanya konvensional tapi juga digitalisasi layanan. Seiring
dengan transformasi digital yang dilakukan oleh Undang-Undang Cipta Kerja, segala
urusan perizinan berusaha menjadi semakin mudah. Jalur yang ruwet akibat prosedur
berbelit dan maraknya praktik pungli dapat dipangkas.

Setelah disahkannya UU Cipta Kerja akan berdampak besar, termasuk dalam


melakukan perubahan mendasar dalam administrasi pemerintahan di Indonesia.

Di bidang administrasi pemerintahan, UU ini mengatur bahwa kewenangan menteri,


kepala lembaga, dan pemerintah daerah untuk menjalankan atau membentuk peraturan
perundang-undangan sebagai pelaksanaan kewenangan presiden.

Ketentuan ini dibuat dengan tujuannya untuk percepatan pelayanan, percepatan


perizinan, dan pelaksanaan program strategis nasional dan kebijakan Pemerintah Pusat.

Pengaturan ini mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan dan UU No. 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah dan
menjadi langkah mundur.

13
Tanpa pelibatan pengadilan, dapat dipastikan administrasi pemerintahan tidak akan
terkontrol dan menyulitkan warga negara untuk mendapatkan kepastian akan hak-hak
nya.

Putusan PTUN juga perlu diikuti dengan sanksi jika pejabat pemerintah tidak
melaksanakan dalam batas waktu yang telah diberikan.

Terkait administrasi pemerintahan, dua hal ini perlu diterapkan dalam UU Cipta Kerja
jika memang tujuannya adalah untuk melahirkan budaya birokrasi yang cepat, responsif,
dan bertanggung jawab.

Salah satu perubahan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(“UU Cipta Kerja”) beserta peraturan pelaksanaannya adalah terkait dengan administrasi
pemerintahan. Hal ini karena masih banyak permasalahan terkait administrasi
pemerintahan di Indonesia, khususnya terkait dengan kewenangan, diskresi yang
mengakibatkan hambatan dalam pelaksanaan administrasi pemerintahaan.

Sejalan dengan berlakunya UU Cipta Kerja maka Undang-Undang No. 30 Tahun


2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”)
mengalami perubahan pada beberapa ketentuannya. Perubahan ketentuan dimaksud
sangat penting mengingat Pelaksanaan Administrasi Pemerintahaan merupakan
pendukung dalam penciptaan lapangan kerja.

F. Saran

Oleh karena itu, sudah sepantasnya persoalan administrasi pemerintahan di atas


dikembalikan pada khitahnya.

Pertama, ruang diskresi pejabat pemerintah harus dibatasi dengan syarat “tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Hal ini penting karena kebebasan pemerintah melalui diskresi yang tanpa kontrol
sangat potensial disalahgunakan.

Bahkan, untuk penggunaan diskresi ke depan juga harus diperketat dengan syarat
tidak melanggar Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), harus dilakukan dengan
alasan yang objektif, dan harus dilakukan dengan itikad baik.

14
Diskresi hanya bisa dilakukan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan,
mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi
pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Kedua, pelaksanaan keputusan fiktif positif harus tetap melibatkan PTUN.

Hal ini penting karena pengadilan adalah satu-satunya instrumen yang bisa memberi
kepastian dan pelindungan terhadap hak-hak warga negara dalam urusannya dengan
adminstrasi pemerintahan.

Tanpa pelibatan pengadilan, dapat dipastikan administrasi pemerintahan tidak akan


terkontrol dan menyulitkan warga negara untuk mendapatkan kepastian akan hak-hak
nya.

Putusan PTUN juga perlu diikuti dengan sanksi jika pejabat pemerintah tidak
melaksanakan dalam batas waktu yang telah diberikan.

Terkait administrasi pemerintahan, dua hal ini perlu diterapkan dalam UU Cipta Kerja
jika memang tujuannya adalah untuk melahirkan budaya birokrasi yang cepat, responsif,
dan bertanggung jawab.

Dalam penyelesaian makalah ini penulis tidak menutup kemungkinan adanya


kesalahan dan kekhilafan. Oleh sebab itu, penulis berharap untuk diberi kritikan dan saran
yang membangun guna kesempurnaan paper ini dan untuk pembutan makalah
selanjutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Arinanto, Satya. Reviving Omnibus Law: Legal Option for Better Coherence. Jakarta Post,
2019
Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Jakarta, Rajawali Pers, 2010
Badan Pembinaan Hukum Nasional-Kementerian Hukum dan HAM, Dokumen
Pembangunan
Hukum Nasional Tahun 2019, Jakarta, 2019
Bab IV Lampiran UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, khususnya pembahasan
mengenai Arah Pembangunan Nasional. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional
Bryan A. Garner, et. al. (Eds.). Black’s Law Dictionary Ninth Edition. St. Paul: West
Publishing Co., 2009
Conboy, Maria Soetopo, “Indonesia Getting its Second Wind: Law and Economics for
Welfare
Maximization”, Kompas Gramedia, Jakarta, 2015
Daliyo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum : Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utma, 1996, h. 21-32
Agil Oktaryal (2018), https://theconversation.com/uu-cipta-kerja-mengubah-konsep-diskresi-
berdampak-buruk-pada-administrasi-pemerintahan-146583

16

Anda mungkin juga menyukai