Anda di halaman 1dari 22

Nama : Hanan Balqis Sanad

NPM : 2019200010
Kelas : A
Resume Hukum Ketenagakerjaan
Buku Pengantar Hukum Perburuhan
A. Arti kata Hukum Perburuhan
Mr. M. G. Levenbach merumuskan “arbeidsrecht” sebagai suatu yang meliputi
hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan
dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut
dengan hubungan kerja itu. Peraturan-peraturan mengenai persiapan bagi hubungan
kerja berupa jaminan sosial buruh serta peraturan-peraturan mengenai badan-badan
dan organisasi-organisasi dilapangan perburuhan. Mr.N.E.H. Van Esveld tidak
membatasi lapangan “arbeidsrecht” pada hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan
dibawah pimpinan. “arbeidscrecht” katanya meliputi pula pekerjaan yang dilakukan
oleh swa pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan risiko sendiri.
Mok berpendapat bahwa “arbeidscrecht” adalah hukum yang berkenaan dengan
pekerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan
penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan itu.
Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak
yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan
menerima upah. Kata “per-buruh-an”, yaitu kejadian atau kenyataan dimana
seseorang biasanya disebut buruh, bekerja pada orang lain, biasanya disebut majikan,
dengan menerima upah dengan sekaligus mengenyampingan persoalan antara
pekerjaan bebas dan pekerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan orang lain,
mengenyampingkan pula persoalan antara pekerjaan (arbeid) dan pekerja (arbeider).
Hukum perburuhan dapat untuk sementara dikatakan menghendaki keadilan sosial
dalam imbangan antara kepentingan buruh dan kepentingan majikan, sedangkan
keadilan sosial untuk bukan buruh terletak dilapangan lain yang tentu saja harus
mendapat perhatian pula, tetapi bukan semata-mata dalam hukum perburuhan,
melainkan dibidang lainnya. Misalnnya para penggarap sawah milik orang lain,
mendapat perlindungan dalam hukuk agrarian. Dalam Undang-undang Kerja No.12
Tahun 1948 dikatakan bahwa, pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan
dalam hubungan kerja dengan menerima upah.
1. Himpunan Peraturan
Himpunan atau kumpulan peraturan ini hendaknya jangan diartikan seolah-
olah peraturan-peraturan mengenai perburuhan telah lengkap dan telah dihimpun
secara teratur (sistematis), misalnya dalam kitab undang-undang hukum
perburuhan.
2. Bekerja atau melakukan pekerjaan pada orang lain
Bekerja pada orang lain atau badan bila majikan itu merupakan badan hukum,
dengan sendirinya sebagai diatas telah dikatakan, mengenyampingkan semua
pekerja lainnya yang melakukan pekerjaan secara bebas (swa-pekerja).
3. Dengan menerima upah
Upah ini merupakan imbalan dari pihak majikan yang telah menerima
pekerjaan dari pihak buruh ini dan pada umumnya adalah tujuan dari buruh untuk
melakukan pekerjaan.
4. Soal-soal yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang
lain dengan menerima upah.
Hukum perburuhan dalam beberapa hal telah mulai berlaku juga sebelum
terjadinya hubungan antara buruh dengan majikan (penempatan dalam arti kata
yang luas).
B. Hakekat hukum perburuhan
Pembeli, penjual dan mereka yang tukar-menukar barang, baik yuridis maupun
sosiologis adalah merdeka, bebas untuk melakukan atau tidak melakukan jual beli
atau tukar menukar itu. Hubungan antara buruh dengan majikan soalnya sangat
berlainan. Yuridis buruh adalah memang bebas. Prinsip negara kita adalah tidak
seorang pun boleh diperbudak, diperulur atau diperhamba, perbudakan, perdagangan
budak dan perhambaan dan segala perbuatan berupa apapun yang bertujuan kepada itu
dilarang. Sosiologis buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai
bekal hidup lain daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain.
Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja itu. Karena itu
penguasa baik dengan maupun tidak dengan bantuan organisasi buruh, mengadakan
peraturan- peraturan dan Tindakan-tindakan yang bertujuan melindungi pihak yang
lemah (menempatkan pada kedudukan yang layak bagi kemanusiaan).
C. Sifat hukum perburuhan
Menempatkan buruh pada suatu kedudukan yang terlindung terhadap
kekuasaan majikan berarti menetapkan peraturan-peraturan yang memaksa majikan
bertindak lain daripada yang sudah-sudah. Walaupun kepada buruh dan majikan
diberi kebebasan untuk mengadakan peraturan-peraturan yang tertentu, namun
peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan dari
penguasa yang bermaksud
mengadakan perlindungan itu. Peraturan-peraturan ini pada umumnya merupakan
perintah atau larangan dengan menggunakan kata-kata harus, wajib, dan tidak boleh
atau dilarang.
Kitab undangk-undang hukum perdata menetapkan bahwa jika upah yang
berupa uang baru dapat ditetapkan sesudah mendapatkan keterangan-keterangan dari
pembukuan perusahaan pembayarannya dapat dilakukan menunggu penetapan itu.
Pembayaran ini sedikit-dikitnya harus dilakukan menunggu penetapan itu. Campur
tangan negara dalam hubungan perorangan yaitu antara buruh dan majikan, didalam
ekonomi liberal dengan laisser faire yang seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya,
memang merupakan suatu kekangan terhadap kebebasan itu, yang secara praktis
hanya dipunyai majikan, setidak-tidaknya merupakan suatu keistimewaan.
D. Riwayat Hukum Perburuhan
Riwayat hukum perburuhan, banyak mengharapkan disajikannya uraian
mengenai pertumbuhan dan perkembangan semata-mata dari undang-undang dan
peraturan lainnya mengenai perburuhan, karena dahulu terutama di negara-negara
barat terdapat suatu pendirian bahwa hukum itu hanya terdapat dalam undang-undang,
sehingga timbul suatu dalil yang menyamakan undang-undang dengan hukum “wet is
recht” ialah suatu dalil keliru yang menimbulkan kesan pada penguasa asing terutama
yang memerintah di Indonesia ini dahulu, seolah-olah di Indonesia itu tidak ada
hukum karena dimanapun mereka berkunjung, mereka tidak menemukan suatu
undang- undang, yaitu undang-undang dalam bentuk yang mereka kenal di negara
mereka masing-masing, padahal adalah mustahil bahwa disuatu masyarakat yaitu
tempat hidup dan pergaulan banyak orang dengan bermacam-macam tabiat dan
kepentingan yang sama sekali tidak ada hukum.
1. Perbudakan
Pada zaman perbudakan ini, orang yang melakukan pekerjaan di bawah
pimpinan orang lain yaitu para budak, tidak mempunyai apapun bahkan hak atas
hidupnya juga tidak. Yang mereka miliki hanyalah kewajiban melakukan
pekerjaan, kewajiban menuruti segala perintah, menuruti semua petunjuk dan
aturan dari pihak pemilik budak. Pemilik budak ini adalah satu-satunya pihak
dalam hubungan antara pekerja dan pemberi pekerjaan, yang mempunyai segala
hak, hak minta pekerjaan, hak mengatur pekerjaan, hak memberi perintah dan
semua hak lainnya. Sebagai bukti bahwa dalam praktik perlakuan terhadap para
budak itu tidak sangat mengerikan ialah Ketika pemerintahan hindia belanda
dahulu memulai ikut
mengatur soal perbudakan ini pada tahun 1817, tidak mengutik-utik hubungan
antara budak dengan pemiliknya, tetapi hanya mengadakan larangan memasukkan
budak ke pulau jawa yang berarti membatasi bertambahnya budak lain daripada
kelahiran. Juga peraturan-peraturan berikutnya, seperti :
- Peraturan tentang pendaftaran budak dari tahun 1819
- Peraturan tentang pajak atas pemilikan budak dari tahun 1820
- Peraturan tentang larangan mengangkut budak yang masih kanak-kanak
dari tahun 1829
- Peraturan tentang pendaftaran anak budak dari tahun 1833
- Peraturan tentang penggantian nama para budak dari tahun 1834
- Peraturan tentang pembebasan perbudakan bagi pelaut yang dijadikan
budak dari tahun 1848

Peraturan tentang budak dan perdagangan budak dari tahun 1825


mengandung maksud meringankan nasib para budak. Dalam peraturan tersebut
antara lain ditetapkan :

- Barang siapa yang dipandang sebagai budak.


- Membatasi bertambahnya jumlah budak lain dari pada kelahiran.
- Melarang perdagangan budak dan mendatangkannya dari luar.
- Menjaga agar anggota keluarga budak bertembat tinggal bersama-sama
yaitu seorang budak yang telah kawin tidak boleh dipisahkan dari istri dan
anaknya.
- Memungkinkan pembebasan budak, misalnya seorang budak yang pernah
mengikuti pemiliknya ke benua lain, menjadi merdeka sepulangnya
kembali.
- Seorang budak yang menolong tuannya atau anaknya dari bahaya maut
menjadi merdeka.
- Mengatur kewajiban dan tindakan para pemilik terhadap para budak
meraka.
- Kepada mereka ini harus diberi cukup makanan dan pakaian.
- Jika seorang budak mencapai usia 10 tahun, kepadanya harus diberi upah
berupa uang sedikit-dikitnya dua rupiah.
- Mengancam dengan penganiayaan terhadap budak.
- Mengatur kewajiban para budak yaitu para budak tidak boleh
meninggalkan pekerjaan mereka.
- Pelanggaran diancam dengan pidana pukulan dengan rotan sebanyak-
banyaknya 30 kali atau pidana penjara selama-lamanya 14 hari.
- Pelarian diancam dengan perantaian untuk pertama kali tidak boleh lama
dari enam bulan dan sebagai ulangan tidak boleh lama dari dua tahun.
- Mengenai kejahatan, para budak diadili oleh pengadilan umum.

Baru pada tahun 1854 dalam regeringsreglement 1854 pasal 115 sampai 117
yang kemudian menjadi pasal-pasal 169 sampai 171 indische staatsregeling 1926,
dengan tegas ditetapkan penghapusan perbudakan. Kemenangan orde kemanusiaan
atau orde keadilan dan kebenaran itu baru merupakan kemenangan formil atas orde
kezaliman, sebab nyatanya proses penghapusan perbudakan itu memerlukan waktu
yang sangat Panjang. Jika laporan colonial tahun 1922 adalah yang terakhir yang
memuat sesuatu mengenai perbudakan, sehingga baru sesudah tahun 1922 itu dapat
dikatakan bahwa di Indonesia resminya tidak terdapat perbudakan lagi, maka proses
penghapusan itu memerlukan waktu lebih dari enam puluh tahun, mungkin
perbudakan badaniah (fisik) di pusat-pusat pemerintahan itu nyatanya tidak diketahui.

Kalau pada tahun 1948 masih diberitakan adanya perbudakan di pedalaman


Kalimantan, tidak mustahil kalau di daerah-daerah lainnya juga masih ada, walaupun
mungkin secara terpendam. Lembaga perhambaan dan Lembaga peruluran tidak
mempunyai pengaruh sedalam seperti perbudakan, kerja paksa dan punale sanksi.
Mengenai peruluran (horigheid, perkhorigheid) dimana ketidakbebasan seseorang
terletak pada terikatnya pada suatu kebun, penghapusannya di pulau banda
diperintahkan dengan undang-undang tahun 1859. Karena cukup diketahui
berdasarkan pendaftaran yang telah dilakukan, maka pengakhiran ketidak bebasan
mereka pada tanggal 1 januari 1860 berjalan selancar pembebasan para budak di
pulau jawa.

2. Pekerjaan Rodi
Sejak dahulu kala dari para penduduk, anggota suku atau anggota desa,
dimintakan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk kepentingan mereka
bersama dan untuk suku atau desa sebagai kesatuan. Di kerajaan-kerajaan di jawa
rodi itu dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para
pembesar, para kepala, dan pegawai serta kepentingan umum seperti
pembuatan dan
pemeliharaan jalan, jembatan dan sebagainya. Hendrik willem daendels (1807-
1811) adalah tersohor karena kerja paksanya untuk membuat jalan raya dari anyer
sampai banyuwangi. Jumlah penduduk yang mati karenanya tidak terbilang.
Thomas Stamford Raffles yang pada tahun 1813 telah memproklamirkan
penghapusan rodi, tidak sempat melaksanakan penghapusan tersebut.
Setelah Indonesia dikembalikan kepada Nederland (1816), rodi diperhebat
untuk kepentingan gubernermen. Rodi digolongkan dalam tiga golongan :
 Rodi gubernemen yaitu rodi untuk kepentingan gubernemen dan para
pegawainya.
 Rodi pembesar yaitu rodi untuk kepentingan kepala-kepala dan pembesar-
pembesar Indonesia.
 Rodi desa yaitu rodi untuk kepentingan desa.

Rodi gubernemen dilakukan tanpa bayaran dan dimintakan untuk memenuhi


segala keperluan gubernemen dan keperluan pegawai-pegawainya. Disini terlihat
beratnya rodi itu, melebihi perbudakan. Kalau pemeliharaan budak berupa
pemondokan, sandang, dan pangan, menjadi tanggungan pemilik budak, dalam rodi
pemeliharaan para pekerja dipikul oleh mereka itu sendiri. Rodi gubernemen dan rodi
peorangan merupakan beban yang sangat berat bagi penduduk, bahkan mengekang
kebebasannya untuk bertindak dan berbuat menurut kepentingannya sendiri.

Tidak memenuhi kewajiban melakukan rodi desa diancam dengan pidana


kurungan selama-lamanya tiga hari atau denda sebanyak-banyaknya seratus rupiah.
Jika pelanggaran itu diulangi dalam waktu enam bulan, dapat dijatuhkan pidana
kurungan selama-lamanya tiga bulan.

3. Punale Sanksi

Perburuhan biasa yaitu dimana pekerjaan dilakukan oleh buruh biasa untuk
dibawah pimpinan seorang majikan dengan menerima upah. Sebab walaupun sampai
1839 oleh gubernemen dipersewakan berbagai bidang tanah kepada orang-orang
swasta bukan Indonesia, diantara 1830 sampai 1870 adalah gubernemen yang
merupakan pengusaha yang terpenting dan gubernemen ini menggunakan pekerjaan
rodi sebanyak- banyaknya. Pengusaha yaitu gubernemen dibolehkan mengadakan
perjanjian kerja dengan kepala desa untuk mendapatkan buruh. Perjanjian ini harus
didaftar dan berlaku untuk selama-lamanya lima tahun. Dalam perjanjian itu harus
dimuat besarnya upah,
makan dan perumahan serta macam pekerjaan yang harus dilakukan. Dalam
penetapan jumlah hari kerja harus diperhatikan waktu yang diperlukan buruh untuk
mengolah sawah dan pekerjaan lain. Parlemen yang mengusahakan pencabutan itu,
menginsyafi juga bahwa untuk daerah dimana tidak terdapat buruh, perlu diberikan
kesempatan yang layak kepada para pengusaha untuk tidak menyia-nyiakan biaya
yang telah dikeluarkan guna mendatangkan buruh itu. Karena itu parlemen yang
berkepentingan bahwa pada asasnya seorang buruh Indonesia bila menyalahi
perjanjian-perjanjian tidak seharusnya dipidana, memandang perlu sebagai
pengecualian terhadap asas tersebut, adanya peraturan tersendiri bagi daerah
perkebunan di sumatera timur.

Paksaan untuk melakukan sendiri barang sesuatu yang tadinya tidak dipenuhi,
merupakan pelanggaran atas asas hukum bahwa orang yang tidak memenuhi
kewajibannya harus bertanggung jawab hanya dengan kekayaannya, tidak dengan
paksaan melakukan sendiri. Punale sanksi ini memberikan kepada pengusaha
kekuasaan terhadap buruhnya yang dapat menimbulkan perlakuan tidak baik dan
keadaan perburuhan yang buruk, jika pemimpin perusahaan dan pembantu-
pembantunya tidak tercegah untuk menyeleweng dari jalan yang lurus oleh budi dan
moral yang tinggi serta pendapat umum yang kuat dan pengawasan yang keras. Justru
pada waktu itu tidak terdapat pendapat umum yang kuat dan pengawasan yang keras.

Instansi pengawasan perburuhan dan pengawasaannya yang keraspun tidak dapat


mencegah ketidakadilan itu sendiri, karena justru ketidakadilan itu disahkan dengan
peraturan-peraturan “koeli ordonnantie”. Satu-satunya jalan ialah mencabut Kembali
peraturan-peraturan “koeli ordonnantie” termaksud. Pencabutannya dilakukan pada
tahun 1941 dan mulai tanggal 1 januari 1942 punale sanksi lenyap dari dunia
perburuhan di perkebunan Indonesia. Riwayat hukum perburuhan ini, dapat dilihat
bahwa perjuangan dalam hukum perburuhan yang kita beri nama panca krida hukum
perburuhan sampai pada permulaan kemerdekaan negara Indonesia, baru mencapai
usaha membebaskan buruh dari kekangan pihak majikan yang tidak wajar, yaitu
berturut-turut :

1. Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan dan perhambaan.


2. Membebaskan penduduk Indonesia dari rodi atau kerja paksa.
3. Membebaskan buruh Indonesia dari punale sanksi.
Buku Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan
A. Istilah-istilah
Dalam hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan terdapat beberapa
istilah yang beragam, seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, majikan, atau
pengusaha. Istilah buruh sejak dulu sudah popular dan kini masih sering dipakai
sebagai sebutan untuk kelompok tenaga kerja yang sedang memperjuangkan program
organisasinya. Istilah pekerja dalam praktik sering dipakai untuk menunjukkan status
hubungan kerja, seperti pekerja kontrak, pekerjaan Borongan, pekerjaan harian,
pekerjaan honorer, pekerja tetap, dan sebagainya. Sedangkan istilah karyawan atau
pegawai lebih sering dipakai untuk data administrasi.
Pada zaman colonial terdapat istilah kuli, mandor, atau semacamnya yang
menempatkan buruh pada posisi yang lemah dibawah pengusaha. Padahal keberadaan
buruh sangatlah penting artinya bagi kelangsungan perusahaan. Kata pekerja memiliki
pengertian sangat luas yakni setiap orang yang melakukan pekerjaan, baik di dalam
hubungan kerja maupun swapekerja. Istilah yang sepadan dengan pekerja ialah
karyawan yakni orang yang berkarya atau bekerja yang lebih diidentikkan pada
pekerjaan nonfisik, sifat pekerjaannya halus atau tidak kotor, contoh karyawan bank
dan sebagainya. Sedangkan istilah pegawai adalah setiap orang yang bekerja pada
pemerintahan yakni pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan atas undang-undang nomor 8 tahun 1974
tentang pokok-pokok kepegawaian.
Dalam pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, pengertian istilah tenaga kerja adalah “tenaga kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”. Dalam pasal 1 angka 2
undang-undang nomor 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja dinyatakan
bahwa “tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik
di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat”. Menurut ketentuan pasal 1 angka 6 undang-
undang nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/buruh dan pasal 1 angka 3
undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan memberikan
pengertian bahwa “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Istilah majikan ditemukan dalam undang-undang nomor 22 tahun 1957 bahwa
“majikan ialah orang atau badan hukum yang memperkerjakan buruh”. Istilah
pengusaha dalam pasal 1 angka 3 undang-undang nomor 3 tahun 1992 tentang
jaminan sosial tenaga kerja dan pasal 1 angka 3 undang-undang nomor 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan. Pengertian pengusaha diartikan :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri.
b. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.

Istilah majikan cenderung terkesan negatif dan sudah tidak sesuai lagi dengan
kondisi saat ini. Istilah pengusaha tampak lebih luas daripada majikan. Perbedaannya,
jika pengusaha belum tentu majikan, majikan sudah tentu pengusaha.

B. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan


Pengertian hukum ketenagakerjaan disebut hukum perburuhan atau dalam
Bahasa belanda disebut arbeidrechts, sama dengan pengertian hukum yakni masih
beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing ahli hukum. Pendapat beberapa
ahli hukum mengenai pengertian hukum ketenagakerjaan, yakni :
1. Molenaar dalam Asikin (1993:2) menyebutkan bahwa :
“Hukum Perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku, yang pokoknya
mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja
dengan tenaga kerja, serta antara tenaga kerja dan pengusaha”.
2. M.G Levenbach dalam Manulang (1995:1) menyebutkan bahwa :
“Hukum Perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja,
dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan
penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu”.
3. N.E.H. van Esveld dalam Manulang (1995:1) menyebutkan bahwa :
”Hukum Perburuhan tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan
dilakukan dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh
swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan risiko sendiri”.
4. Mok dalam Kansil (1989:311) menyebutkan bahwa :
“Hukum Perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang
dilakukan dibawah pimpinan orang lain dengan keadaan penghidupan yang
langsung bergandengan dengan pekerjaan itu”.
Hukum Ketenagakerjaan memiliki unsur-unsur :
a. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis.
b. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan
pengusaha/majikan.
c. Adanya orang bekerja pada dan dibawah orang lain, dengan mendapat upah
sebagai balas jasa.
d. Mengatur perlindungan pekerja/buruh, meliputi masalah keadaan sakit, haid,
hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/buruh dan sebagainya.

Hukum Ketenagakerjaan adalah peraturan hukum yang mengatur mengenai


hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan dengan segala
konsekuensinya. Hal ini jelas bahwa hukum ketenagakerjaan tidak mencakup
pengaturan :

 Swapekerja (kerja dengan tanggung jawab/risiko sendiri).


 Kerja yang dilakukan untuk orang lain atas dasar kesukarelaan.
 Kerja seorang pengurus atau wakil suatu organisasi/perkumpulan.
C. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan dalam Sistem Hukum Indonesia
Pada awalnya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh hanya
menyangkut kepentingan perdata, yang dalam hal ini berarti terkait dengan aspek
hukum perdata, yang dalam hal ini berarti terkait dengan aspek hukum perdata.
Kedudukan hukum ketenagakerjaan memilik keterkaitan dengan aspek hukum
perdata, aspek hukum tata usaha negara, dan aspek hukum pidana. Hal ini sangat
bergantung pada bidang yang terkait di dalamnya. Contoh :
 Jika terkait dengan perjanjian kerja termasuk di dalamnya hak-hak dan
kewajiban yang telah disepakati Bersama dan hanya melibatkan para pihak
saja, maka hal tersebut menyangkut aspek hukum perdata.
 Jika terkait dengan perizinan bidang ketenagakerjaan, penetapan upah
minimum, pengesahan peraturan perusahaan, pendaftaran perjanjian kerja
Bersama, pendaftaran serikat pekerja/serikat buruh, maka hal tersebut
menyangkut aspek hukum tata usaha negara.
 Jika terkait dengan pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan, maka hal
tersebut menyangkut aspek hukum pidana.
D. Asas, Tujuan, dan Sifat Hukum Ketenagakerjaan
1. Asas Hukum Ketenagakerjaan
Berdasarkan pasal 2 undang-undang nomor 13 tahun 2003 dinyatakan bahwa :
“Perkembangan Ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan undang-undang dasar
negara republik Indonesia tahun 1945”.
Penjelasan dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa :
“Pembangunan Ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan
dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil, Makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual”.
Pasal 3 undang-undang nomor 13 tahun 2003 menegaskan bahwa :
“Pembangunan Ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan melalui
koordinasi fungsional lintas sectoral pusat dan daerah”.
2. Tujuan Hukum Ketenagakerjaan
Menurut Manulang (1995:2) bahwa tujuan hukum ketenagakerjaan ialah :
a. Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan.
b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari
pengusaha.

Berdasarkan ketentuan pasal 4 undang-undang nomor 13 tahun 2003 bahwa


pembangunan ketenagakerjaaan bertujuan :

a. Memberdayakan dan memdayagunakan tenaga kerja secara optimal dan


manusiawi.
b. Mewujudkan pemerasan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan.
d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Tenaga kerja di Indonesia diharapkan dapat berpartisipasi secara optimal dalam


pembangunan nasional, tetapi dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaanya.
Dengan demikian, tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menjadikan
tenaga
kerja Indonesia sebagai subjek pembangunan bukan sebaliknya menjadi objek
pembangunan.

3. Sifat Hukum Ketenagakerjaan


Hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja antara tenaga kerja dan
pengusaha, yang berarti mengatur kepentingan orang perorangan, maka hukum
ketenagakerjaan bersifat privat(perdata). Dalam pelaksanaan hubungan kerja
untuk masalah-masalah tertentu diperlukan campur tangan pemerintah.
Karenanya, hukum ketenagakerjaan bersifat publik, baik yang terkait dengan
aspek hukum tata usaha negara maupun hukum pidana.
Budiono membagi sifat hukum ketenagakerjaan menjadi dua, yaitu bersifat
imperative dan bersifat fakultatif. Hukum bersifat imperative atau dwingenrecht
(hukum memaksa) artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak, tidak boleh
dilanggar. Contoh :
a. Permagangan yang dilakukan diluar wilayah Indonesia wajib mendapat
izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk (pasal 25 ayat 1 undang-
undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
b. Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dalam mempekerjakan
tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup
kesejahteraan, keselamatan, dan Kesehatan, baik mental maupun fisik
tenaga kerja (pasal 35 ayat 3 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan).
c. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib
memilik izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk (pasal 42 ayat 1
undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
d. Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai
jabatan dan standar kompetensi yang berlaku (pasal 44 ayat 1 undang-
undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
e. Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing
yang dipekerjakannya (pasal 47 ayat 1 undang-undang nomor 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan).

Hukum bersifat fakultatif atau regelendrecht (hukum yang mengatur) artinya hukum
yang dapat dikesampingkan pelaksanaannya. Contoh :
a. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan (pasal 52 ayat 1 undang-undang
nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
b. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
paling lama 3 bulan (pasal 60 ayat 1 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan).
c. Dalam hal pengusaha, orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha
dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh
(pasal 61 ayat 4 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
d. Pengecualian atas larangan mempekerjakan anak (pasal 69 undang-undang nomor
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
e. Hak pekerja/buruh untuk mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial
(pasal 171 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
E. Lingkup dan Pengaturan Operasional Hukum Ketenagakerjaan
Operasional hukum ketenagakerjaan secara sistematik dan pengelompokan
peraturan perundang-undangan terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu yang mengatur
masa sebelum bekerja, masa selama bekerja, dan masa setelah bekerja.
1. Masa Sebelum Bekerja (Pre Employment)
Masalah pengadaan tenaga kerja yang meliputi pengaturan lowongan kerja,
pengerahan dan penempatan tenaga kerja merupakan hal penting dalam upaya
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja. Mengingat pentingnya hal tersebut, beberapa
peraturan perundang-undangan telah ditetapkan, antara lain :
a. Undang-undang nomor 7 tahun 1981 tentang wajib lapor ketenagakerjaan di
perusahaan.
b. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
c. Undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan
tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
2. Masa Selama Bekerja (During Employment)
Masa selama hubungan kerja mendapatkan perhatian karena masa itu
merupakan substansi dari hukum ketenagakerjaan. Maka pemerintah perlu campur
tangan dan mengatur selama hubungan kerja berlangsung. Melalui Langkah inilah
semua pihak dapat dilindungi secara adil tercapai ketenangan kerja dan
kelangsungan berusaha. Hubungan kerja diatur pula dalam beberapa peraturan
perundang-undangan secara generalis dalam buku III KUH Perdata dan buku II
KUH Dagang, antara lain :
a. Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja.
b. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
c. Undang-undang nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh.
3. Masa Setelah Bekerja (Post Employment)
Setelah hubungan kerja juga perlu perhatian saksama tenaga kerja tetap
mendapatkan perlindungan sesuai keadilan. Permasalahan seperti sakit
berkepanjangan, hari tua, pension, dan tunjangan kematian. Untuk ini pemerintah
mengambil peranan dengan menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan, antara lain :
a. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
b. Undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
c. Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang system jaminan sosial
nasional.
d. Undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara
jaminan sosial.
F. Sumber Hukum Ketenagakerjaan
Sumber hukum ialah segala sesuatu yang menimbulkan atau melahirkan
hukum. Sumber hukum dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum formil
dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber-sumber hukum
yang memiliki bentuk-bentuk tersendiri yang secara yuridis telah diketahui/berlaku
umum. Sumber hukum materiil adalah sumber-sumber yang melahirkan isi suatu
hukum sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut budiono sumber-sumber hukum ketenagakerjaan terdiri atas :
1. Perundang-undangan.
2. Kebiasaan.
3. Keputusan.
4. Traktat.
5. Perjanjian.

Menurut prinst sumber hukum ketenagakerjaan terdiri atas :

1. Undang-undang.
2. Adat atau kebiasaan.
3. Yurisprudensi.
4. Doktrin.
5. Agama.
G. Penempatan Tenaga Kerja
Penempatan tenaga kerja merupakan titik berat upaya penanganan masalah
ketenagakerjaan. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk
mempertemukan tenaga kerja dan pemberi kerja agar tenaga kerja dapat memperoleh
pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya serta pemberi kerja
memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan.
H. Asas Penempatan Tenaga Kerja
Pada pasal 32 ayat 1 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan menyatakan bahwa penempatan tenaga kerja dilaksanakan
berdasarkan asas-asas :
1. Terbuka
Ialah pemberian informasi kepada pencari kerja secara jelas,antara lain jenis
pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja.
2. Bebas
Ialah pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan pemberi kerja bebas
memilih tenaga kerja sehingga tidak ada pemaksaan satu sama lain.
3. Objektif
Ialah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja
sesuai dengan kemampuan dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus
memerhatikan kepentingan umum dengan tidak memihak kepentingan pihak
tertentu.
4. Adil dan setara tanpa diskriminasi
Ialah penempatan tenaga kerja dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja
dan tidak berdasarkan ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan politik.

Sasaran penempatan tenaga kerja adalah untuk menempatkan tenaga kerja


pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan
kemampuan dengan memerhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan
hukum (pasal 32 ayat undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).

I. Ruang Lingkup Penempatan Tenaga Kerja


Menurut pasal 33 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan bahwa ruang lingkup penempatan tenaga kerja meliputi :
1. Penempatan tenaga kerja didalam negeri
2. Penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Pengertian antar kerja adalah suatu proses kegiatan penempatan tenaga kerja yang
meliputi informasi pasar kerja, pendaftaran pencari kerja, bimbingan dan penyuluhan
jabatan, penempatan, dan tindak lanjut penempatan (pasal 1 huruf d keputusan
Menteri tenaga kerja nomor kep.203/Men/1999).

1. Antar Kerja Lokal (AKAL)


Antar Kerja Lokal (AKAL) adalah antarkerja antar kantor departemen tenaga
kerja dalam satu wilayah kerja kantor wilayah departemen tenaga kerja. (Pasal 1
huruf e Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.203/Men/1999).
Dasar hukum pelaksanaan AKAL ialah :
a. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
b. Peraturan Menteri tenaga kerja nomor Per.04/Men/1970 tentang pengerahan
tenaga kerja.
c. Keputusan Menteri tenaga kerja nomor Kep.203/Men/1999 tentang
penampilan tenaga kerja di dalam negeri.
2. Antar Kerja Antar Daerah (AKAD)
Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) adalah antar kerja antara kartor wilayah
departemen tenaga kerja dalam wilayah republik Indonesia (pasal 1 huruf f
keputusan Menteri tenaga kerja dan transmigrasi nomor Kep.203/Men/1999).
Dasar hukum pelaksanaan AKAD ialah :
a. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
b. Peraturan Menteri tenaga kerja nomor Per.04/Men/1970 tentang pengerahan
tenaga kerja.
c. Keputusan Menteri tenaga kerja nomor Kep.203/Men/1999 tentang
penempatan tenaga kerja di dalam negeri.
3. Antar Kerja Antar Negara (AKAN)
Pengertian antar kerja antar negara (AKAN) adalah suatu mekanisme
pengerahan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri untuk melakukan kegiatan
ekonomi, sosial, dan budaya dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian
kerja. Mengatur antar kerja antar negara (AKAN) disamping ditempuh sebagai
upaya perluasan lapangan kerja ke luar negeri, minimal harus memperoleh
manfaat
:
a. Mempererat hubungan antara negara (negara pengirim dan negara
penerima).
b. Mendorong terjadinya peningkatan pengalaman kerja dan alih teknologi.
c. Meningkatan kesejahtera tenaga kerja dan keluarganya.
d. Meningkatkan pendapatan di dalam neraca pembayaran negara (devisa).

Dasar hukum pelaksanaan antar kerja antar negara (AKAN) ialah :

a. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.


b. Undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan
perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
c. Undang-undang nomor 9 tahun 1992 tentang keimigrasian.
4. Penempatan Tenaga Kerja Asing
Pengertian tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa
dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia (pasal 1 angka 13 undang-undang
nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan). Prinsip penempatan tenaga kerja
asing yang diatur dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 adalah :
a. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk dalam pasal 42 ayat 1.
b. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing
dalam pasal 42 ayat 2.
c. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan
kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu dalam pasal 42 ayat 4.

Adapun pembagian kewenangan pengaturan dan pengawasan penempatan tenaga


kerja asing menurut peraturan pemerintah nomor 38 tahun 2007 sebagai berikut :

a. Kewenangan pemerintah
 Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) baru.
 Pengesahan RPTKA perpanjangan lintas provinsi.
 Pengesahan RPTKA perubahan, seperti perubahan jabatan, perubahan
lokasi, perubahan jumlah TKA.
b. Kewenangan pemerintah provinsi
 Pengesahan RPTKA perpanjangan yang tidak mengandung perubahan
jabatan, jumlah orang, dan lokasi kerjanya dalam satu wilayah.
 Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas
kabupaten dalam satu provinsi.
 Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya lintas
kabupaten dalam satu provinsi.
c. Kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota
 Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya
dalam wilayah kabupaten/kota.
 Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya dalam
wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.

Dasar hukum pengaturan penempatan tenaga kerja asing adalah :

a. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.


b. Undang-undang nomor 9 tahun 1992 tentang keimigrasian.
c. Peraturan pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota.
J. Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
Ketentuan pasal 34 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan mengamanatkan bahwa ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja
di luar negeri diatur dengan undang-undang sehingga diterbitkan undang-undang
nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di
luar negeri. Hal ini dilakukan sekaligus sebagai review terhadap kelemahan beberapa
undang-undang dan peraturan sebelumnya.
1. Prinsip penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri
Prinsip penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri berdasarkan undang-
undang nomor 39 tahun 2004 diatur sebagai berikut :
a. Orang perseorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia untuk
bekerja di luar negeri dalam pasal 4.
b. Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI
diluar negeri dalam pasal 6.
c. Penempatan TKI di luar negeri dilakukan ke negara tujuan dalam pasal 27.
2. Pelaksana penempatan TKI di luar negeri dan para pihak terkait
Menurut ketentuan pasal 10 undang-undang nomor 39 tahun 2004 pelaksana
penempatan TKI diluar negeri terdiri atas :
a. Pemerintah
Pemerintah adalah perangkat negara kesatuan republik Indonesia yang terdiri
atas presiden beserta para Menteri.
b. Pelaksana penempatan TKI swasta
Pelaksana penempatan TKI swasta adalah badan hukum yang telah
memperoleh izin tertulis dari pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan
penempatan TKI di luar negeri.
Namun demikian juga terdapat beberapa pihak terkait, yaitu :
a. Calon tenaga kerja Indonesia.
b. Mitra usaha.
c. Pengguna jasa TKI.
d. Perusahaan.
3. Legalitas penempatan TKI di luar negeri
Legalitas penempatan TKI di luar negeri memiliki kekhususan tersendiri, dimana
semua perjanjian yang ada harus berbentuk tertulis. Berdasarkan undang-undang
nomor 39 tahun 2004 legalitas penempatan TKI di luar negeri terdiri atas tiga
jenis perjanjian, yaitu :
a. Perjanjian kerja sama penempatan (PKSP)
Ialah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dan mitra
usaha atau pengguna yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak
dalam rangka penempatan serta perlindungan TKI dinegara tujuan.
b. Perjanjian penempatan TKI
Ialah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dan calon
TKI yang memuat hak serta kewajiban masing-masing pihak dalam rangka
penempatan TKI di negara tujuan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
c. Perjanjian kerja
Ialah perjanjian tertulis antara TKI dan pengguna yang memuat syarat-syarat
kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.
4. Tugas dan Kewajiban Pemerintah
Tugas dan kewajiban pemerintah telah diatur dalam pasal 5 dan 7 undang-undang
nomor 39 tahun 2004 sebagai berikut :
a. Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi
penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
b. Pemerintah berkewajiban :
 Menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI, baik yang berangkat
melalui pelaksana penempatan TKI maupun yang berangkat secara
mandiri.
 Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI.
 Membentuk dan mengembangkan system informasi penempatan calon
TKI di luar negeri.
 Melakukan upaya diplomatic untuk menjamin pemenuhan hak dan
perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan.
 Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum
pemberangkatan , masa penempatan, dan masa purnapenempatan.
5. Hak dan Kewajiban Calon TKI
Setiap calon TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama seperti dalam pasal 8
undang-undang nomor 39 tahun 2004 untuk :
a. Bekerja di luar negeri.
b. Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan
prosedur penempatan TKI di luar negeri.
c. Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di luar
negeri.

Sedangkan kewajiban setiap calon TKI berdasarkan pasal 9 undang-undang nomor


39 tahun 2004 adalah :

a. Menaati peraturan perundang-undangan, baik di dalam negeri maupun diluar


negeri tujuan.
b. Menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja.
c. Membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
d. Memberitahukan atau melaporkan kedatangan, keberadaan, dan kepulangan
TKI kepada perwakilan republik Indonesia di negara tujuan.
6. Tata cara penempatan TKI
a. Prapenempatan TKI.
b. Perjanjian kerja.
c. Masa tunggu di penampungan.
d. Masa penempatan.
e. Purna penempatan.
7. Perlindungan TKI
Setiap calon TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Perlindungan dimaksud meliputi prapenempatan,
masa penempatan, sampai dengan purnapenempatan.
8. Penyelesaian perselisihan
Dalam pasal 85 undang-undang nomor 39 tahun 2004 diatur bahwa apabila
terjadi sengketa antara TKI dan pelaksana penempatan TKI swasta mengenai
pelaksanaan perjanjian penempatan, diupayakan penyelesaiannya secara damai
melalui musyawarah. Dalam hal upaya musyawarah tidak tercapai maka salah satu
atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota, provinsi, atau pemerintah.
9. Pengawasan
Berdasarkan pasal 92 dan 93 telah diatur sistem pengawasan penempatan dan
perlindungan TKI di luar negeri, yaitu sebagai berikut :
a. Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI
diluar negeri yang dilaksanakan oleh intansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan pada pemerintah/ pemerintah provinsi/ pemerintah kabupaten/
kota dan perwakilan republik Indonesia di negara tujuan.
b. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib melaporkan hasil pelaksanaan
pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di
luar negeri yang ada di daerahnya sesuai dengan tugas, fungsi, dan
wewenangnya kepada Menteri.

Anda mungkin juga menyukai