NPM : 2019200010
Kelas : A
Resume Hukum Ketenagakerjaan
Buku Pengantar Hukum Perburuhan
A. Arti kata Hukum Perburuhan
Mr. M. G. Levenbach merumuskan “arbeidsrecht” sebagai suatu yang meliputi
hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan
dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut
dengan hubungan kerja itu. Peraturan-peraturan mengenai persiapan bagi hubungan
kerja berupa jaminan sosial buruh serta peraturan-peraturan mengenai badan-badan
dan organisasi-organisasi dilapangan perburuhan. Mr.N.E.H. Van Esveld tidak
membatasi lapangan “arbeidsrecht” pada hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan
dibawah pimpinan. “arbeidscrecht” katanya meliputi pula pekerjaan yang dilakukan
oleh swa pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan risiko sendiri.
Mok berpendapat bahwa “arbeidscrecht” adalah hukum yang berkenaan dengan
pekerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan
penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan itu.
Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak
yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan
menerima upah. Kata “per-buruh-an”, yaitu kejadian atau kenyataan dimana
seseorang biasanya disebut buruh, bekerja pada orang lain, biasanya disebut majikan,
dengan menerima upah dengan sekaligus mengenyampingan persoalan antara
pekerjaan bebas dan pekerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan orang lain,
mengenyampingkan pula persoalan antara pekerjaan (arbeid) dan pekerja (arbeider).
Hukum perburuhan dapat untuk sementara dikatakan menghendaki keadilan sosial
dalam imbangan antara kepentingan buruh dan kepentingan majikan, sedangkan
keadilan sosial untuk bukan buruh terletak dilapangan lain yang tentu saja harus
mendapat perhatian pula, tetapi bukan semata-mata dalam hukum perburuhan,
melainkan dibidang lainnya. Misalnnya para penggarap sawah milik orang lain,
mendapat perlindungan dalam hukuk agrarian. Dalam Undang-undang Kerja No.12
Tahun 1948 dikatakan bahwa, pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan
dalam hubungan kerja dengan menerima upah.
1. Himpunan Peraturan
Himpunan atau kumpulan peraturan ini hendaknya jangan diartikan seolah-
olah peraturan-peraturan mengenai perburuhan telah lengkap dan telah dihimpun
secara teratur (sistematis), misalnya dalam kitab undang-undang hukum
perburuhan.
2. Bekerja atau melakukan pekerjaan pada orang lain
Bekerja pada orang lain atau badan bila majikan itu merupakan badan hukum,
dengan sendirinya sebagai diatas telah dikatakan, mengenyampingkan semua
pekerja lainnya yang melakukan pekerjaan secara bebas (swa-pekerja).
3. Dengan menerima upah
Upah ini merupakan imbalan dari pihak majikan yang telah menerima
pekerjaan dari pihak buruh ini dan pada umumnya adalah tujuan dari buruh untuk
melakukan pekerjaan.
4. Soal-soal yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang
lain dengan menerima upah.
Hukum perburuhan dalam beberapa hal telah mulai berlaku juga sebelum
terjadinya hubungan antara buruh dengan majikan (penempatan dalam arti kata
yang luas).
B. Hakekat hukum perburuhan
Pembeli, penjual dan mereka yang tukar-menukar barang, baik yuridis maupun
sosiologis adalah merdeka, bebas untuk melakukan atau tidak melakukan jual beli
atau tukar menukar itu. Hubungan antara buruh dengan majikan soalnya sangat
berlainan. Yuridis buruh adalah memang bebas. Prinsip negara kita adalah tidak
seorang pun boleh diperbudak, diperulur atau diperhamba, perbudakan, perdagangan
budak dan perhambaan dan segala perbuatan berupa apapun yang bertujuan kepada itu
dilarang. Sosiologis buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai
bekal hidup lain daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain.
Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja itu. Karena itu
penguasa baik dengan maupun tidak dengan bantuan organisasi buruh, mengadakan
peraturan- peraturan dan Tindakan-tindakan yang bertujuan melindungi pihak yang
lemah (menempatkan pada kedudukan yang layak bagi kemanusiaan).
C. Sifat hukum perburuhan
Menempatkan buruh pada suatu kedudukan yang terlindung terhadap
kekuasaan majikan berarti menetapkan peraturan-peraturan yang memaksa majikan
bertindak lain daripada yang sudah-sudah. Walaupun kepada buruh dan majikan
diberi kebebasan untuk mengadakan peraturan-peraturan yang tertentu, namun
peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan dari
penguasa yang bermaksud
mengadakan perlindungan itu. Peraturan-peraturan ini pada umumnya merupakan
perintah atau larangan dengan menggunakan kata-kata harus, wajib, dan tidak boleh
atau dilarang.
Kitab undangk-undang hukum perdata menetapkan bahwa jika upah yang
berupa uang baru dapat ditetapkan sesudah mendapatkan keterangan-keterangan dari
pembukuan perusahaan pembayarannya dapat dilakukan menunggu penetapan itu.
Pembayaran ini sedikit-dikitnya harus dilakukan menunggu penetapan itu. Campur
tangan negara dalam hubungan perorangan yaitu antara buruh dan majikan, didalam
ekonomi liberal dengan laisser faire yang seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya,
memang merupakan suatu kekangan terhadap kebebasan itu, yang secara praktis
hanya dipunyai majikan, setidak-tidaknya merupakan suatu keistimewaan.
D. Riwayat Hukum Perburuhan
Riwayat hukum perburuhan, banyak mengharapkan disajikannya uraian
mengenai pertumbuhan dan perkembangan semata-mata dari undang-undang dan
peraturan lainnya mengenai perburuhan, karena dahulu terutama di negara-negara
barat terdapat suatu pendirian bahwa hukum itu hanya terdapat dalam undang-undang,
sehingga timbul suatu dalil yang menyamakan undang-undang dengan hukum “wet is
recht” ialah suatu dalil keliru yang menimbulkan kesan pada penguasa asing terutama
yang memerintah di Indonesia ini dahulu, seolah-olah di Indonesia itu tidak ada
hukum karena dimanapun mereka berkunjung, mereka tidak menemukan suatu
undang- undang, yaitu undang-undang dalam bentuk yang mereka kenal di negara
mereka masing-masing, padahal adalah mustahil bahwa disuatu masyarakat yaitu
tempat hidup dan pergaulan banyak orang dengan bermacam-macam tabiat dan
kepentingan yang sama sekali tidak ada hukum.
1. Perbudakan
Pada zaman perbudakan ini, orang yang melakukan pekerjaan di bawah
pimpinan orang lain yaitu para budak, tidak mempunyai apapun bahkan hak atas
hidupnya juga tidak. Yang mereka miliki hanyalah kewajiban melakukan
pekerjaan, kewajiban menuruti segala perintah, menuruti semua petunjuk dan
aturan dari pihak pemilik budak. Pemilik budak ini adalah satu-satunya pihak
dalam hubungan antara pekerja dan pemberi pekerjaan, yang mempunyai segala
hak, hak minta pekerjaan, hak mengatur pekerjaan, hak memberi perintah dan
semua hak lainnya. Sebagai bukti bahwa dalam praktik perlakuan terhadap para
budak itu tidak sangat mengerikan ialah Ketika pemerintahan hindia belanda
dahulu memulai ikut
mengatur soal perbudakan ini pada tahun 1817, tidak mengutik-utik hubungan
antara budak dengan pemiliknya, tetapi hanya mengadakan larangan memasukkan
budak ke pulau jawa yang berarti membatasi bertambahnya budak lain daripada
kelahiran. Juga peraturan-peraturan berikutnya, seperti :
- Peraturan tentang pendaftaran budak dari tahun 1819
- Peraturan tentang pajak atas pemilikan budak dari tahun 1820
- Peraturan tentang larangan mengangkut budak yang masih kanak-kanak
dari tahun 1829
- Peraturan tentang pendaftaran anak budak dari tahun 1833
- Peraturan tentang penggantian nama para budak dari tahun 1834
- Peraturan tentang pembebasan perbudakan bagi pelaut yang dijadikan
budak dari tahun 1848
Baru pada tahun 1854 dalam regeringsreglement 1854 pasal 115 sampai 117
yang kemudian menjadi pasal-pasal 169 sampai 171 indische staatsregeling 1926,
dengan tegas ditetapkan penghapusan perbudakan. Kemenangan orde kemanusiaan
atau orde keadilan dan kebenaran itu baru merupakan kemenangan formil atas orde
kezaliman, sebab nyatanya proses penghapusan perbudakan itu memerlukan waktu
yang sangat Panjang. Jika laporan colonial tahun 1922 adalah yang terakhir yang
memuat sesuatu mengenai perbudakan, sehingga baru sesudah tahun 1922 itu dapat
dikatakan bahwa di Indonesia resminya tidak terdapat perbudakan lagi, maka proses
penghapusan itu memerlukan waktu lebih dari enam puluh tahun, mungkin
perbudakan badaniah (fisik) di pusat-pusat pemerintahan itu nyatanya tidak diketahui.
2. Pekerjaan Rodi
Sejak dahulu kala dari para penduduk, anggota suku atau anggota desa,
dimintakan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk kepentingan mereka
bersama dan untuk suku atau desa sebagai kesatuan. Di kerajaan-kerajaan di jawa
rodi itu dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para
pembesar, para kepala, dan pegawai serta kepentingan umum seperti
pembuatan dan
pemeliharaan jalan, jembatan dan sebagainya. Hendrik willem daendels (1807-
1811) adalah tersohor karena kerja paksanya untuk membuat jalan raya dari anyer
sampai banyuwangi. Jumlah penduduk yang mati karenanya tidak terbilang.
Thomas Stamford Raffles yang pada tahun 1813 telah memproklamirkan
penghapusan rodi, tidak sempat melaksanakan penghapusan tersebut.
Setelah Indonesia dikembalikan kepada Nederland (1816), rodi diperhebat
untuk kepentingan gubernermen. Rodi digolongkan dalam tiga golongan :
Rodi gubernemen yaitu rodi untuk kepentingan gubernemen dan para
pegawainya.
Rodi pembesar yaitu rodi untuk kepentingan kepala-kepala dan pembesar-
pembesar Indonesia.
Rodi desa yaitu rodi untuk kepentingan desa.
3. Punale Sanksi
Perburuhan biasa yaitu dimana pekerjaan dilakukan oleh buruh biasa untuk
dibawah pimpinan seorang majikan dengan menerima upah. Sebab walaupun sampai
1839 oleh gubernemen dipersewakan berbagai bidang tanah kepada orang-orang
swasta bukan Indonesia, diantara 1830 sampai 1870 adalah gubernemen yang
merupakan pengusaha yang terpenting dan gubernemen ini menggunakan pekerjaan
rodi sebanyak- banyaknya. Pengusaha yaitu gubernemen dibolehkan mengadakan
perjanjian kerja dengan kepala desa untuk mendapatkan buruh. Perjanjian ini harus
didaftar dan berlaku untuk selama-lamanya lima tahun. Dalam perjanjian itu harus
dimuat besarnya upah,
makan dan perumahan serta macam pekerjaan yang harus dilakukan. Dalam
penetapan jumlah hari kerja harus diperhatikan waktu yang diperlukan buruh untuk
mengolah sawah dan pekerjaan lain. Parlemen yang mengusahakan pencabutan itu,
menginsyafi juga bahwa untuk daerah dimana tidak terdapat buruh, perlu diberikan
kesempatan yang layak kepada para pengusaha untuk tidak menyia-nyiakan biaya
yang telah dikeluarkan guna mendatangkan buruh itu. Karena itu parlemen yang
berkepentingan bahwa pada asasnya seorang buruh Indonesia bila menyalahi
perjanjian-perjanjian tidak seharusnya dipidana, memandang perlu sebagai
pengecualian terhadap asas tersebut, adanya peraturan tersendiri bagi daerah
perkebunan di sumatera timur.
Paksaan untuk melakukan sendiri barang sesuatu yang tadinya tidak dipenuhi,
merupakan pelanggaran atas asas hukum bahwa orang yang tidak memenuhi
kewajibannya harus bertanggung jawab hanya dengan kekayaannya, tidak dengan
paksaan melakukan sendiri. Punale sanksi ini memberikan kepada pengusaha
kekuasaan terhadap buruhnya yang dapat menimbulkan perlakuan tidak baik dan
keadaan perburuhan yang buruk, jika pemimpin perusahaan dan pembantu-
pembantunya tidak tercegah untuk menyeleweng dari jalan yang lurus oleh budi dan
moral yang tinggi serta pendapat umum yang kuat dan pengawasan yang keras. Justru
pada waktu itu tidak terdapat pendapat umum yang kuat dan pengawasan yang keras.
Istilah majikan cenderung terkesan negatif dan sudah tidak sesuai lagi dengan
kondisi saat ini. Istilah pengusaha tampak lebih luas daripada majikan. Perbedaannya,
jika pengusaha belum tentu majikan, majikan sudah tentu pengusaha.
Hukum bersifat fakultatif atau regelendrecht (hukum yang mengatur) artinya hukum
yang dapat dikesampingkan pelaksanaannya. Contoh :
a. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan (pasal 52 ayat 1 undang-undang
nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
b. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
paling lama 3 bulan (pasal 60 ayat 1 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan).
c. Dalam hal pengusaha, orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha
dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh
(pasal 61 ayat 4 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
d. Pengecualian atas larangan mempekerjakan anak (pasal 69 undang-undang nomor
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
e. Hak pekerja/buruh untuk mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial
(pasal 171 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan).
E. Lingkup dan Pengaturan Operasional Hukum Ketenagakerjaan
Operasional hukum ketenagakerjaan secara sistematik dan pengelompokan
peraturan perundang-undangan terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu yang mengatur
masa sebelum bekerja, masa selama bekerja, dan masa setelah bekerja.
1. Masa Sebelum Bekerja (Pre Employment)
Masalah pengadaan tenaga kerja yang meliputi pengaturan lowongan kerja,
pengerahan dan penempatan tenaga kerja merupakan hal penting dalam upaya
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja. Mengingat pentingnya hal tersebut, beberapa
peraturan perundang-undangan telah ditetapkan, antara lain :
a. Undang-undang nomor 7 tahun 1981 tentang wajib lapor ketenagakerjaan di
perusahaan.
b. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
c. Undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan
tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
2. Masa Selama Bekerja (During Employment)
Masa selama hubungan kerja mendapatkan perhatian karena masa itu
merupakan substansi dari hukum ketenagakerjaan. Maka pemerintah perlu campur
tangan dan mengatur selama hubungan kerja berlangsung. Melalui Langkah inilah
semua pihak dapat dilindungi secara adil tercapai ketenangan kerja dan
kelangsungan berusaha. Hubungan kerja diatur pula dalam beberapa peraturan
perundang-undangan secara generalis dalam buku III KUH Perdata dan buku II
KUH Dagang, antara lain :
a. Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja.
b. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
c. Undang-undang nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh.
3. Masa Setelah Bekerja (Post Employment)
Setelah hubungan kerja juga perlu perhatian saksama tenaga kerja tetap
mendapatkan perlindungan sesuai keadilan. Permasalahan seperti sakit
berkepanjangan, hari tua, pension, dan tunjangan kematian. Untuk ini pemerintah
mengambil peranan dengan menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan, antara lain :
a. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
b. Undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
c. Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang system jaminan sosial
nasional.
d. Undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara
jaminan sosial.
F. Sumber Hukum Ketenagakerjaan
Sumber hukum ialah segala sesuatu yang menimbulkan atau melahirkan
hukum. Sumber hukum dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum formil
dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber-sumber hukum
yang memiliki bentuk-bentuk tersendiri yang secara yuridis telah diketahui/berlaku
umum. Sumber hukum materiil adalah sumber-sumber yang melahirkan isi suatu
hukum sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut budiono sumber-sumber hukum ketenagakerjaan terdiri atas :
1. Perundang-undangan.
2. Kebiasaan.
3. Keputusan.
4. Traktat.
5. Perjanjian.
1. Undang-undang.
2. Adat atau kebiasaan.
3. Yurisprudensi.
4. Doktrin.
5. Agama.
G. Penempatan Tenaga Kerja
Penempatan tenaga kerja merupakan titik berat upaya penanganan masalah
ketenagakerjaan. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk
mempertemukan tenaga kerja dan pemberi kerja agar tenaga kerja dapat memperoleh
pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya serta pemberi kerja
memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan.
H. Asas Penempatan Tenaga Kerja
Pada pasal 32 ayat 1 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan menyatakan bahwa penempatan tenaga kerja dilaksanakan
berdasarkan asas-asas :
1. Terbuka
Ialah pemberian informasi kepada pencari kerja secara jelas,antara lain jenis
pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja.
2. Bebas
Ialah pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan pemberi kerja bebas
memilih tenaga kerja sehingga tidak ada pemaksaan satu sama lain.
3. Objektif
Ialah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja
sesuai dengan kemampuan dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus
memerhatikan kepentingan umum dengan tidak memihak kepentingan pihak
tertentu.
4. Adil dan setara tanpa diskriminasi
Ialah penempatan tenaga kerja dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja
dan tidak berdasarkan ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan politik.
Pengertian antar kerja adalah suatu proses kegiatan penempatan tenaga kerja yang
meliputi informasi pasar kerja, pendaftaran pencari kerja, bimbingan dan penyuluhan
jabatan, penempatan, dan tindak lanjut penempatan (pasal 1 huruf d keputusan
Menteri tenaga kerja nomor kep.203/Men/1999).
a. Kewenangan pemerintah
Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) baru.
Pengesahan RPTKA perpanjangan lintas provinsi.
Pengesahan RPTKA perubahan, seperti perubahan jabatan, perubahan
lokasi, perubahan jumlah TKA.
b. Kewenangan pemerintah provinsi
Pengesahan RPTKA perpanjangan yang tidak mengandung perubahan
jabatan, jumlah orang, dan lokasi kerjanya dalam satu wilayah.
Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas
kabupaten dalam satu provinsi.
Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya lintas
kabupaten dalam satu provinsi.
c. Kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota
Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya
dalam wilayah kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya dalam
wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.