Anda di halaman 1dari 6

MUHAMMAD IQBAL GIANI

201610110311263
HUKUM KETENAGAKERJAAN
PERTEMUAN 1

a. Definisi dari pekerjaan dan pekerja.


Dalam arti luas pekerjaan adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam
arti sempit, istilah pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan oleh manusia untuk tujusn
trtentu yang dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Sedangkan pekerja adalah
orang yang bekerja, orang yang menerimamupah atas hasil kerjanya.

b. Struktur hukum perburuhan Indonesia


Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sudah ada sebelum masa
kemerdekaan. Hanya saja, pihak yang mengeluarkan hukum tersebut bukan
pemerintah Indonesia, tetapi penjajah Belanda. Setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan, hukum terkait ketenagakerjaan dikeluarkan pemerintah.
 Kolonial: pada zaman penjajahan Belanda, terdapat 4 hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan yang di berlakukan. Empat hukuk tersebut adalah
perbudakan, perhambaan, kerja rodi, dan Poenale Sanctie.

Hukum yang pertama adalah perbudakan. Pada masa ini, masyarakat


Indonesia yang menjadi budak tidak memiliki hak apapun, termasuk hak
hidup. Beberapa aturan yang dibuat terkait perbudakan pada masa ini antara
lain adalah peraturan pendaftaran budak, pajak atas kepemilikan budak,
ataupun penggantian nama untuk para budak.

Berikutnya adalah hukum perhambaan. Sekilas, hukum ini memiliki kesamaan


dengan perbudakan hanya saja agak lebih ringan. Seorang hamba menurut
hukum ini, merupakan barang jaminan karena adanya utang yang belum bisa
dilunasi. Alhasil, selama utangnya belum lunas, seorang hamba bakal
mengabdi pada majikan.

Setelah hukum perhambaan, muncul hukum Rodi, yang dalam praktiknya juga
tidak jauh berbeda dengan perbudakan. Pada hukum Rodi, masyarakat dipaksa
untuk bekerja demi kepentingan penguasa. Salah satu wujud kekejaman dari
hukum Rodi di zaman penjajahan Belanda ini adalah pembangunan jalan
Daendels sejauh 1000 km yang menghubungkan antara Panarukan di Jawa
timur dengan Anyer di Banten.

Poenale Santie menjadi hukum perburuhan dan ketenaga kerjaan di Indonesia


yang berlaku sejak hukum Rodi. Kemunculan hukum ini di awali dengan
adanya Agrarische Wet alias undang undang agrarian pada tahun 1970. Pada
masa ini, muncul banyak perusahaan perkebunan swasta berskala besar. Oleh
karena itu, hukum yang mengatur perburuhan berperan sentral.

Pada awalnya, pada Poenale Santie diberlakukan politie straaf reglement


alias peraturan pidana polisi. Peraturan ini lebih menitikberatkan pada
kepentingan majikan, dan dihapus pada tahun 1879. Keberadaanya
digantikan oleh Koeli Ordonantie (1880) yang kemudian dikenal dengan
nama Poenale Santie .
Dalam hukum terbaru ini, pemerintah Belanda melarang adanya pemaksaan,
ancaman, atau pemanasan dalam hubungan perburuhan. Selain itu,
perjanjian antara buruh dan majikan harus dilakukan secara tertulis pada
rentan waktu tertentu ketika aturan ini dilanggar, baik majikan ataupun
buruh.

 Orde lama
Ketika memasuki masa kemerdekaan, kondisi buruh dan tenaga kerja di
Indonesia mengalami perbaikan. Pemerintah Orde Lama yang berada di bawah
kepemimpinan Presiden Soekarno mengeluarkan beberapa aturan yang
memberi perlindungan kepada para tenaga kerja. Sebagai buktinya, beberapa
aturan yang pernah dirilis antara lain adalah:

1. UU Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan Kerja


2. UU Nomor 12 tahun 1948 Tentang Kerja
3. UU Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
4. UU Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat
Buruh dan Majikan
5. UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
6. UU Nomor 18 Tahun 1956 Tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 98
mengenai Dasar-dasar dari Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding
Bersama
7. Permenaker No. 90 Tahun 1955 Tentang Pendaftaran Serikat Buruh

 Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pemerintah berusaha untuk meningkatkan
pembangunan dengan tetap menjaga stabilitas nasional. Hasilnya, lahirlah
aturan yang disebut dengan Hubungan Industrial Pancasila atau Hubungan
Perburuhan Pancasila. Sesuai dengan namanya, aturan ini dibuat dengan
berlandaskan pada Pancasila. Di lapangan, ada lembaga bipartit, tripartit, serta
kesepakatan kerja bersama yang keanggotaannya diambil dari pihak-pihak
terkait.

 Masa reformasi
Pada masa reformasi, peraturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan
mengalami perubahan secara dinamis. Apalagi, terjadi pergantian
pemerintahan dalam kurun yang singkat, mulai dari Pemerintahan Presiden
B.J. Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001),
Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), hingga Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah pada rentang 2004-2014.
Presiden Habibie pada awal kepemimpinannya meluncurkan Keputusan
Presiden Nomor 83 Tahun 1998 yang memberi perlindungan hak
berorganisasi. Selain itu, ada pula ratifikasi aturan ILO terkait usia minimum
untuk bekerja. Tidak ketinggalan, pada masa pemerintahan ini juga
diluncurkan perpu yang mengatur tentang pengadilan HAM.
Sementara itu, pada masa Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid,
dilakukan perlindungan terhadap para pekerja atau serikat buruh. Upaya
perlindungan itu dilakukan dengan peluncuran UU nomor 21 Tahun 2000
Tentang Serikat Pekerja. Selain sebagai upaya perlindungan, UU ini juga
dipakai sebagai sarana untuk memperbaiki iklim demokrasi saat itu.
Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, aturan hukum
perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan drastis.
Alasannya adalah peluncuran UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini menjadi pengganti dari 15 aturan
ketenagakerjaan yang sebelumnya telah ada.
Keberadaan UU Ketenagakerjaan tersebut juga menjadi landasan atas
keluarnya aturan perundang-undangan lain di masa Pemerintahan Megawati.
Terdapat 2 UU yang dibuat dengan berdasarkan UU Ketenagakerjaan, yakni
UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial serta UU Nomor 39 Tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri.

c. Sejarah , sifat, dan unsur hukum ketenagakerjaan

 Sejarah hukum ketenagakerjaan


Hukum Perburuhan ditengarai muncul pertama kali di Eropa sebagai reaksi
atas perubahan-perubahan yang dimunculkan Revolusi Industri. Penemuan
mesin (tenaga) uap di Inggris sekitar 1750, membuka peluang untuk
memproduksi barang/jasa dalam skala besar. Sebelum itu, secara tradisional,
pekerjaan di bidang agrikultur diselenggarakan mengikuti sistem feodalistik,
pekerja atau buruh mengerjakan tanah milik tuan tanah dan menghidupi diri
mereka dari hasil olahan lading yang mereka kerjakan sendiri. Sejak abad
pertengahan, di perkotaan, kerja terlokasir di pusat-pusat kerja kecil dan
diselenggarakan oleh kelompok-kelompok pekerja dengan keahlian tertentu
(gilda) yang memonopoli dan mengatur ragam bidang-bidang pekerjaan
tertentu. Sekalipun demikian, kelas wirausaha (entrepreneur) baru yang
bermunculan menuntut kebebasan dalam rangka memperluas cakupan dan
jangkauan aktivits mereka.
Revolusi Prancis (1795) menjadi simbol tuntutan dari kelompok baru
masyarakat modern yang mulai muncul: diproklamirkan keniscayaan
persamaan derajat bagi setiap warga Negara dan kebebasan berdagang (bergiat
dalam lalulintas perdagangan). Hukum pada tataran Negara-bangsa
dikodifikasikan ke dalam kitab undang- undang yang dilandaskan pada
prinsip-prinsip baru seperti kebebasan berkontrak dan kemutlakan hak milik
atas kebendaan. Perserikatan kerja yang dianggap merupakan peninggalan
asosiasi pekerja ke dalam gilda-gilda dihapuskan.
Napoleon menyebarkan ide baru tentang hukum demikian ke seluruh
benua Eropa. Meskipun demikian, selama kurun abad ke-19 tampaknya
kebebasan-kebebasan baru tersebut di atas hanya dapat dinikmati sekelompok
kecil masyarakat elite yang kemudian muncul. Mayoritas masyarakat
pekerja/buruh kasar tidak lagi dapat menikmati cara hidup tradisional mereka
(yang dahulu berbasis agrikultur) dan terpaksa mencari penghidupan sebagai
buruh pabrik. Kebebasan- kebebasan di atas (berkenaan dengan kebebasan
berkontrak dan hak milik absolut) secara dramatis memaksakan gaya hidup
yang sama sekali berbeda pada mayoritas masyarakat pencari kerja (usia
produktif).
Mereka terpaksa menerima kondisi kerja yang ditetapkan secara
sepihak oleh kelompok kecil majikan penyedia kerja. Kemiskinan memaksa
mereka, termasuk keluarga dan anak-anak kecil, bekerja dengan waktu kerja
yang sangat panjang. Kondisi kerja yang ada juga mengancam kesehatan
mereka semua. Gerakan sosialis yang kemudian muncul, namun juga kritikan
dari pemerintah, gereja dan militer, kemudian berhasil mendorong diterimanya
legislasi perburuhan yang pertama. Di banyak Negara Eropa, buruh anak
dihapuskan. Tidak berapa lama berselang penghapusan ini diikuti oleh
kebijakan-kebijakan lain berkenaan dengan jam kerja buruh perempuan di
bidang industri. Baru kemudian aturan yang sama muncul untuk buruh laki-
laki.
Sekitar tahun 1900-an, beberapa Negara Eropa memodernisasi legislasi
mereka perihal kontrak atau perjannjian kerja, yang sebelumnya dilandaskan
pada konsep-konsep dari Hukum Romawi. Satu prinsip baru diperkenalkan,
yaitu bahwa buruh atau pekerja adalah pihak yang lebih lemah dan sebab itu
memerlukan perlindungan hukum. Buruh mulai mengorganisir diri mereka
sendiri dalam serikat-serikat pekerja (trade unions). Secara kolektif mereka
dapat bernegosiasi dengan majikan dalam kedudukan kurang lebih setara dan
dengan demikian juga untuk pertama kalinya diperkenalkan konsep
perjanjian/kesepakatan kerja bersama (collective agreement).
Hugo Sinzheimer, guru besar hukum dari Jerman adalah yang pertama
kali mengembangkan konsep kesepakatan kerja bersama dan mendorong
legalisasinya. Konsep yang ia kembangkan di Jerman pada era Weimar
dicakupkan ke dalam perundang-undangan dan langkah ini menginspirasi
banyak Negara lain untuk mengadopsi konsep yang sama.
Di Jerman pula diperkenalkan pertama kali konsep dewan kerja (works
council) yang juga menyebar ke banyak Negara di Eropa pada abad ke-20.
Asuransi/jaminan sosial sudah berkembang di Jerman pada akhir abad ke-19
dan menyebar ke seluruh Eropa sejak awal abad ke-20. Pada tataran berbeda,
juga dikembangkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang dibuat
dengan tujuan mencegah persaingan antar negara dengan dampak buruk
(penurunan standard perlindungan buruh; race to the bottom). Pada akhir
Perang Dunia Pertama, revolusi sosial di Russia dan Jerman menyadarkan
banyak pemerintah bahwa diperlukan pengembangan kebijakan sosial yang
bersifat khusus. Dalam perjanjian perdamaian (pengakhiran perang dunia
pertama; the Peace Treaty of Versailles) pada 1919 dibentuklah the
International Labour Organisation (ILO).
Pendirian Organisasi Perburuhan Internasional ini dilandaskan
kepercayaan bahwa perdamaian yang lebih langgeng harus dibangun
berdasarkan keadilan sosial. Berkembangnya legislasi bidang per- buruhan di
banyak negara juga terdorong oleh krisis ekonomi (malaise, 1930-an) dan
pengabaian hukum secara massif oleh pemerintahan Nazi- Jerman. Presiden
Amerika Serikat, Roosevelt, pada akhir Perang Dunia ke-2 mendeklarasikan
four freedoms (empat kebebasan) yang terkenal, dalam hal mana kebebasan
ke-empat, freedom from want (kebebasan dari kemiskinan) merujuk pada
keadilan sosial. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights; 1948)
dengan tegas menyatakan bahwa hak-hak sosial adalah bagian dari hak asasi
manusia. Negara-negara Eropa mengembangkan Negara kesejahteraan di
mana warga-negara dilindungi oleh pemerintah dari sejak lahir sampai mati
(from the cradle to the grave).
Di Eropa kontinen, undang-undang perburuhan dibuat untuk mencakup
semua aspek yang berkaitan dengan kerja. Prancis dan Negara-negara Eropa
Timur memberlakukan kodifikasi dalam bidang hukum perburuhan. Di
Inggris, karya Otto Kahn-Freund, yang memperkenalkan dan memajukan
pengembangan hubungan industrial dan perbandingan hukum di dalam bidang
hukum perburuhan, memberikan landasan teoretik bagi pengembangan bidang
hukum ini. ILO terus menambah jumlah konvensi dan mengembangkan satu
International Labour Code yang mencakup semua persoalan yang terkait
dengan perburuhan. Sekalipun demikian, selama dan pasca krisis minyak bumi
di 1970-an, hukum perburuhan dan jaminan sosial tampaknya telah mencapai
puncak perkembangannya. Pada masa itu pula ditengarai adanya sisi lain dari
perkembangan hukum perburuhan: perlindungan yang terlalu ketat kiranya
menyebabkan berkurangnya daya saing industri dan kelesuan pekerja.
Pada 1990-an, kejatuhan dan kehancuran eksperimen sosialis di
Negara-negara Eropa Timur mendorong gerakan liberalisasi. Dalam konteks
menanggapi tuntutan globalisasi dikembangkanlah Hukum Perburuhan Eropa.
ILO memperbaharui konvensi-konvensi yang ada dan menekankan pentingnya
sejumlah hak-hak buruh yang terpenting (core labour rights). Sekalipun
hukum perburuhan Eropa merupakan satu contoh nyata yang mencerahkan
bagi banyak Negara berkembang, ihtiar perbaikan atau pemajuan standard
sosial di Negara-negara tersebut masih berjalan sangat lambat. Sejak 1970-an,
Bank Dunia maupun PBB lebih memperhatikan pemajuan hak-hak sosial. ILO
mendorong dan mendukung perkembangan sosial di Negara-negara
berkembang.

 Sifat hukum ketenagakerjaan

Sifat Hukum Ketenagakerjaan secara umum ada dua yaitu:


a. Hukum yang bersifat mengatur dan
b. Hukum yang bersifat memaksa

a. Sifat Hukum Perburuhan sebagai Hukum Mengatur (Regeld)


Ciri utama dari Hukum Perburuhan/ketenagakerjaan yang sifatnya mengatur
ditandai dengan adanya aturan yang tidak sepenuhnya memaksa, dengan kata lain boleh
dilakukan penyimpangan atas ketentuan tersebut dalam perjanjian (perjanjian
kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama).

Sifat Hukum mengatur disebut juga bersifat


fakultatif (regelendrecht/aanvullendrecht) yang artinya hukum yang
mengatur/melengkapi, sebagai Contoh aturan ketenagakerjaan/perburuhan
yang bersifat mengatur/fakultatif adalah:

 Pasal 51 ayat (1) Undang ‐ Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan, mengenai pembuatan penjanjian kerja bisa tertulis dan tidak
tertulis. Dikategorikan sebagai Pasal yang sifatnya mengatur oleh karena tidak
harus/wajib perjanjian kerja itu dalam bentuk tertulis dapat juga lisan, tidak
ada sanksi bagi mereka yang membuat perjanjian secara lisan sehingga
perjanjian kerja dalam bentuk tertulis bukanlah hal yang imperative/memaksa;

 Pasal 60 ayat (1) Undang ‐ Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan, mengenai perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat
mensyaratkan masa percobaan 3 (tiga)bulan. Ketentuan ini juga bersifat
mengatur oleh karena pengusaha bebas untuk menjalankan masa percobaan
atau tidak ketika melakukan hubungan kerja waktu tidak tertentu/permanen.

 Pasal 10 ayat(1) Undang ‐ Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan, bagi pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi
pengusaha. Merupakan ketentuan hukum mengatur oleh karena ketentuan ini
dapat dijalankan (merupakan hak) dan dapat pula tidak dilaksanakan oleh
pengusaha.

 Buku III Titel 7A Kitab Undang ‐ Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan
Buku II Titel 4Kitab Undang ‐ Undang Hukum Dagang (KUHD).

b. Sifat Memaksa Hukum Perburuhan


dalam pelaksanaan hubungan kerja untuk masalah ‐ masalah tertentu
diperlukan campurtangan pemerintah. Campur tangan ini menjadikan hukum
ketenagakerjaan bersifat publik.

Sifat publik dari Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan ditandai dengan


ketentuan ‐ ketentuan memaksa (dwingen), yang jika tidak dipenuhi maka
negara/pemerintah dapat melakukan aksi/tindakan tertentu berupa sanksi.
artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak, tidak boleh dilanggar.

Bentuk ketentuan memaksa yang memerlukan campur tangan pemerintah itu


antara lain:
a. Adanya penerapan sanksi terhadap pelanggaran atau tindak pidana bidang
ketenagakerjaan.
b. Adanya syarat ‐ syarat dan masalah perizinan, misalnya
 Perizinan yang menyangkut Tenaga Kerja Asing; 
 Perizinan menyangkut Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia 

 Unsur hukum ketenagakerjaan

Di dalam pemahaman hukum ketenagakerjaan yang ada dapat diketahui


adanya unsur-unsur hukum ketenagakerjaan, meliputi :

1. Serangkaian aturan yang berkembang kedalam bentuk lisan mauun


tulisan;
2. Mengatur hubungan antara pekerja dan pemilik perusahaan;
3. Adanya tingkatan pekerjaan, yang pada akhirnya akan diperolah balas
jasa; dan
4. Mengatur perlindungan pekerja/ buruh, meliputi masalah keadaan
sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/ buruh
dsb.

Anda mungkin juga menyukai