Anda di halaman 1dari 4

1. Jelaskan perkembangan perburuhan dari sejak sebelum Indonesia merdeka !

A. Sistem Perbudakan

Pada masa pemerintahan Belanda, hubungan kerja diwarnai oleh berlakunya sistem perbudakan.
Sejak awal kolonialisasi, kaum penjajah telah memperlakukan orang-orang pribumi hanya sebagai
budak yang tidak memiliki status hukum dan boleh diperdagangkan. Hal ini tergambar dalam sistem
hukum yang diterapkan di wilayah jajahan dengan menetapkan bahwa "Burgerlijk Wetboek" atau
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang diberlakukan sejak tahun 1823, termasuk di dalamnya
norma dan aturan mengenai perburuhan, tidak berlaku bagi orang pribumi.

Selanjutnya, perlakuan terhadap pribumi sebagai budak belian tersebut disahkan dalam berbagai
aturan resmi kolonial yang menurut Dr. Agusmidah, antara lain dituangkan dalam peraturan tentang
Pendaftaran Budak (Stb 1819 No. 58), peraturan Pajak atas Pemilikan Budak (Stb. 1820 No. 39a), dan
berbagai peraturan (reglemen) lain yang memperkuat kedudukan kaum penjajah di atas orang-orang
pribumi dan praktek-praktek perbudakan lainnya di wilayah Hindia Belanda.

Setelah terbit peraturan tentang pengaturan pemilik budak dan kepemilikan budak tersebut, pada
Tahun 1854 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut Regeringsreglement
(RR) yang menetapkan penghapusan perbudakan. Pada ketentuan Pasal 115 RR tersebut
menetapkan bahwa paling lambat pada tanggal 1 Januari 1860, perbudakan di seluruh Hindia
Belanda dihapuskan.

B. Sistem Kerja Paksa atau Rodi

Pada saat Inggris menguasai beberapa bagian wilayah nusantara pada tahun 1811-1814,
Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles telah melarang dan menghapuskan praktek perbudakan
dan praktek kerja paksa (rodi) di wilayah kekuasaannya dengan men-dirikan "the Java Benevolen
Institution".

Namun ketika Belanda menguasai kembali wilayah yang dahulu menjadi wilayah jajahannya,
maka ketentuan mengenai praktek perbudakan dan kerja rodi kembali berlaku yang kemudian
diikuti oleh berbagai perlawanan dari kaum pribumi di hampir seluruh wilayah Hindia Belanda,
seperti perlawanan yang dilakukan antara lain oleh Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Teuku
Umar, Cut Nyak Dien, Pangeran Padri, Sisingamangaraja, Pattimura, Dewi Sartika dan banyak
pahlawan yang gugur dalam rangka menentang praktek perbudakan di wilayah nusantara.
Rodi yang berlangsung di Indonesia digolongkan dalam tiga golongan :

1. Rodi-gubernemen, yaitu rodi untuk kepentingan gubernemen dan para pegawainya (herendienst);

2. Rodi perorangan, yaitu rodi untuk kepentingan kepala-kepala dan pembesar-pembesar Indonesia
(persoonlijke diensten);

3. Rodi-desa, yaitu rodi untuk kepentingan desa (desa diensten).

Pada dasarnya kerja paksa atau kerja rodi itu lebih kejam dari perbudakan, mengingat dalam
kerja rodi mereka tidak diberi makan dan pemondokan sebagaimana dalam perbudakan. Pada
zaman penjajahan Jepang kondisi kerja paksa makin parah. Rakyat yang disuruh kerja paksa
(romusa) untuk membangun jalan, jembatan, bandar udara dan kepentingan pemerintah
pendudukan lain tanpa upah. Mereka diberi sanksi fisik yang keras apabila lamban bekerja,
sementara makanan yang diberikan tidak memadai. Situasi tersebut membuat banyak
pekerja/buruh yang jatuh sakit bahkan meninggal dunia di lokasi pekerjaan.

c. Poenale Sanctie (Punale Sanksi)

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, selain perbudakan dan kerja paksa, dikenal pula istilah
punale sanksi. Punale Sanksi adalah hukuman yang diberikan kepada pekerja karena meninggalkan
atau menolak melakukan pekerjaan tanpa alasan yang dapat diterima dengan pidana denda antara
Rp16,00 (enam belas rupiah) hingga Rp25,00 (dua puluh lima rupiah) atau dengan kerja paksa
selama 7 hari hingga 12 hari. Punale sanksi merupakan produk dari terbitnya Agrarische wet
(Undang-undang Agraria) Tahun 1870 yang isinya mendorong munculnya perkebunan-perkebunan
swasta besar sehingga membutuhkan pekerja/buruh dalam jumlah banyak. Agar perkebunan
memperoleh jaminan bahwa pekerja/buruh tetap melakukan pekerjaannya maka dikeluarkan
Algemene Polite Strafreglement (Stbl 1872 Nomor 3 ) yang memuat punale sanksi.

Jika dilihat dari aspek yuridis, punale sanksi memberi kedudukan yang tinggi pada para
pengusaha (lebih melindungi kepentingan majikan) dan mudah untuk disalahgunakan karena posisi
kerja/buruh yang lemah, dan kurangnya pengawasan dalam bidang ketenagakerjaan. Melihat
punale sanksi yang amat memberatkan bagi para buruh perkebunan, membuat parlemen Belanda
melakukan kecaman terhadap pemberlakuan punale sanksi sehingga pada Tahun 1879 punale sanksi
dicabut. Penggantinya Penggantinya Koeli Ordonantie Ordonantie (1880) memuat sanksi- sanksi
terhadap pelanggaran kontrak oleh buruh dan sanksi bagi majikan yang melakukan kesewenang-
wenangan pada buruhnya. Karena adanya sanksi tersebut maka Koeli Ordonantie dijuluki Poenale
Sanctie yang artinya sanksi pidana bagi buruh yang berasal dari luar Sumatera Timur, karena buruh
dari rakyat setempat atau suku di Sumatera Timur tidak terkena ordonansi ini. Pada Tahun-Tahun
berikutnya peraturan serupa juga diberlakukan untuk daerah-daerah lain. Peraturan tersebut baru
dicabut pada Tahun 1941 dan baru mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1942.

D. Sistem Perhambaan dan Peruluran

Sistem ini dapat dikatakan pelunakan dari perbudakan (pandelingschap) dengan menetapkan
sejumlah uang sebagai utang (pinjaman) dari si-hamba (bekas budak) kepada si bekas pemilik
(disebut juga pemegang gadai karena diibaratkan adanya peristiwa pinjam meminjam uang dengan
jaminan pembayarannya adalah diri si peminjam/berutang). Larangan terhadap praktek
Perhambaan justru telah ada sebelum digencarkannya larangan perbudakan, tercatat di Tahun 1616
sudah ada larangan praktek perhambaan. Salah satu aturan terhadap larangan ini adalah
Regelingreglement 1818 dan Stb. 1822 No. 10.

Sedangkan sistem peruluran terjadi pada zaman Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen
berkuasa. Pada masa itu pemerintah Hindia Belanda membagi tanah-tanah kosong untuk dijadikan
kebun (perk) kepada orangorang yang disebut perkenir atau ulur. Para perkenir tidak lain adalah
buruh tani yang tidak punya lahan. Selama perkenir berada di kebun dan menggarapnya maka dia
dianggap sebagai pemiliknya, tetapi apabila meninggalkan kebun maka haknya akan hilang. Namun,
para perkenir diharuskan menanam tanaman yang hasilnya harus dijual kepada kompeni yang
harganya telah ditetapkan oleh kompeni secara sepihak.

2. pendapat saya, bagaimana kedudukan antara pemerintah dengan pekerja/buruh dalam


perjalanan sejarah perkembangan kaum buruh di Indoesia! Serta alasannya…

Hubungan dan kedudukan antara pemerintah dengan buruh dalam perjalanan sejarah
perkembangan kaum buruh di Indonesia tidak selalu berjalan dengan baik.

Dalam hal upaya meningkatkan kesejahteraan buruh, pemerintah dapat dikatakan telah berupaya
maksimal. Hal ini terbukti dengan peningkatan upah buruh dari tahun ke tahun. Namun jika
berbicara tentang kasus ketidakadilan yang kerap dialami buruh, pemerintah sering kali abai.

Buruh merupakan bagian penting dari sebuah negara. Buruh merupakan tenaga kerja yang
menggerakkan sektor industri di sebuah negara. Hal inilah yang menjadi alasan pentingnya
kesejahteraan buruh dioptimalkan di sebuah negara karena terkait dengan kemajuan negara itu
sendiri.
kedudukan Pemerintah dengan buruh yaitu, pemerintah sebagai regulator dengan adanya undang-
undang No. 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan pemerintah melindungi para pihak terutama
pekerja/buruh yang berada dalam posisi yang tidak seimbang. Selain itu melalui UU
Ketenagakerjaan, pemerintah juga ikut campur di bidang pengupahan. Negara mengatur mengenai
ketentuan upah dikaitkan dengan ganti rugi akibat kecelakaan kerja di dalam hubungan kerja. Peran
pemerintah dalam pengupahan semakin besar dengan penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Dan pengaturan tersebut berlangsung hingga sekarang
dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Anda mungkin juga menyukai