Anda di halaman 1dari 19

KRIMINOLOGI

Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan


seluas-luasnya (kriminologi teoritis atau murni). Dalam teori kriminologi bahwa kejahatan
merupakan gejala individual dan bahwa kejahatan adalah sebagai gejala sosial, merupakan
dua konsep yang harus terus di kaji validitasnya.
Mencegah lebih baik dari pada menyembuhkan, demikianlah semboyan dari ilmu
pengetahuan kedokteran sejak dahulu kala, kebenaran yang sama juga berlaku bagi
kriminologi. Mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mencoba mendidik
penjahatmenjadi orang baik kembali, lebih baik disini juga berarti : lebih mudah, lebih
mencapai tujuannya, lebih murah. Kriminologi terutama digunakan untuk memberi petunjuk
bagaimana masyarakat dapat memberantas kejahatan dengan hasil yang baik dan lebih-
lebih menghindarinya.
Apa dan Siapa Penjahat itu adalah orang/kelompok yang telah malakukan suatu
kejahatan. Dipandang dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan
yang oleh masyarakat

Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan.


Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang
terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang
lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman
yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami
perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-
permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.
Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai tingkah laku manusia
memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar kriminologi terhadap
hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Kemunculan aliran positif
mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih menaruh perhatian kepada pemahaman
tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula
hukum serta dampak-dampaknya. Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi
kemasyarakat muncul kembali pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai dianggap
memiliki peranan penting dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu
kejahatan. Para pakar kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif
seseorang terhadap hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh yang
penting dalam penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis.
Dalam perkembangannya itu, para pakar kriminologi merumuskan tiga perspektif
dan tiga paradigma tentang hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Tiga
perspektif tersebut adalah Konsesus, Pluralis, dan Konflik. Sedangkan tiga paradigma
dalam memahami gejala-gejala (reaksi sosial) tersebut adalah Paradigma Positivis,
Interaksionis, dan Sosialis.
Sebagai studi ilmiah tentang kejahatan, kriminologi tumbuh dan berkembang
sebagai rekasi dari “kekacauan” dan ketidak tertiban di Negara-negara Eropa abad 18 dan
19 dengan harapan bahawa ilmu pengetahuan baru dapat menemukan hukum alam yang
memungkinkan masyarakat berkembang melalui program untuk mewijudkan kesejahteraan
masyarakatnya. Akibatnya segala sesuatu yang dipandang sebagai dapat mengganggu
terwujudnya kesejahteraan masyarakat seperti kejahatan, dipandang sebagai melanggar
hukum alam.
Pakar kriminologi telah merumuskan tiga perspektif tentang hubungan antara hukum
dan organisasi kemasyarakatan, yaitu Konsesus, Pluralis, dan Konflik. Tiga perspektif ini
merupakan suatu perkembangan pemahaman yang bergerak dari konservatif menuju
liberal dan akhirnya ke sebuah perspektif radikal. Selain itu terdapat tiga paradigma yang
digunakan dalam memahami gejala-gejala (reaksi sosial), yaitu Paradigma Positivis,
Interaksionis, dan Sosialis.
Dalam kriminologi, terdapat beberapa teori, yang telah digagas oleh pakar-pakar
kriminologi terdahulu, yang menjadi acuan bagi keberlangsungan kriminologi itu sendiri.
Teori-teori ini, seperti teori struktur sosial, pengendalian sosial, dan teori labeling, dapat
menjadi landasan dalam melihat dan menjawab masalah-masalah yang ada di masyarakat
atau dalam mendukung perkembangan dan pembaharuan hukum dan perundangan hukum
pidana. Melihat keterkaitan atau kesesuaian antara teori-teori tersebut dengan perspektif
dan paradigma yang ada, adalah menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini. Selain itu juga penulis juga membahas mazhab-mazhab dalam kriminologi
yang menggolongkan jenis-jenis kejahatan manusia.
PEMBAHASAN DAN ANALISA

Dalam kriminologi terdapat beberapa teori yang dibagi kedalam tiga perspektif yaitu :
1. Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perpektif biologi dan psikologis.
2. Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perpektif sosiologis,
3. Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perpektif lain.

Teori yang menjelaskan kejahatan dari perpektif biologi dan psikologis.


“Cesare Lombroso” seorang Italia yang sering dianggap sebagai “the father of
modern criminology” ia menjelaskan kejahatan dari mashab klasik menuju mashab positif.
Perbedaan signifikan antara mashab klasik dan mashab positif adalah bahwa yang
terakhir tadi mencari fakta empiris untuk menmgkonfirmasi gagasan bahwa kejahatan itu
dutentukan oleh berbagai factor.dimana para tokoh psikologis mempertimbangkan suatu
variasi dari kemungkinan cacat dalam kesadaran, ketidak matangan emosi, sosialisasi yang
tidak memadai dimasa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu dll.
Sementara dari tokoh biologis mengukuti tradisi Charles Goring dalam upaya
menelusuri tentang tingkah laku criminal.
Penjelasan biologis Atas Kejahatan
Auguste Comte(1798-18570 ) membawa pengaruh penting bagi para tokoh mazhab
positif menurutnya ” there could be no real knowledge of social phenomena unless it was
based on a positivist. Tokoh yang terkenal diantaranya yaitu:
Cesare Lomroso
Dimana ia mengabungkan positivisme comte, evaluasi dari Darwin . ajaran inti dari
teori nya menjelaskan tentangpenjahat mewakili suatu tipe keanehan fisik, yang berbeda
dengan non criminal, dia menklaim bahwa para penjahat mewakili sutau bentuk
kemerosotan yang termanifes dalam karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal
dari evolusi.
Teori nya tentang born criminal menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu
bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang
mirip kera dalam sifat bawaan dan watak dibandingkan mereka yang bukan penjahat.
Enrico Ferri
Ferri berpendapat bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi pengaruh
pengaruh interaktif diantara factor fisik dan factor sosial. Dia juga berpendapat bahwa
kejahatan dapat dikontrol denagn perubahansosial.
Raffaela Garafola
Menurut teori ini kejahatan-kejahatan alamiah ditemukan didalam seluruh
masyarakat manusia, tidak peduli pandangan pembuat hukum dan tidak ada masyarakat
yang beradab dapat mengabaikannya.
Charles Buchman Goring
Ia menyimpulkan tidak ada perbedaan-perbedaan signifikan antara penjahat dan
non penjahat kecuali dalam hal tinggi dan berat tubuh. Para penjahat didapat lebih kecil
danramping. Ia menafsirkan temuan ini sebagai penegasan dari hipotesanya bahwa para
penjahat secara biologi lebih nferior tetapi tidak menemukan satu pun tipe fisik penjahat.

PENJELASAN PSIKOLOGIS ATAS KEJAHATAN


1. Theori psikoanalisis ( Sigmund Freud)
Teori ini menghubungkan dilequent dan prilaku criminal denag suatu conscienceyang baik
dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah
sehingga tidak dapat mengontrol dorongan siindividu dan bagi kebutuhan yang harusa
segera dipenuhi.
2. Moral development theory
Lawrence Kohlberg seorang psikolog menemukan bahwa pemikiran moral tumbuh dalam
tiga tahap yakni; preconvensional stage,conventional level, dan postconventional.
Sedangkan John Bowlhy mempelajari kebutuhan akan kehangatan dan afeksi sejak lahir
dan konsekwensi bila tidak mendapatkan itu, dia mengajukan theory of attachment
3. Social Learning Theory
Teori pembelajaran ini berpendirian bahwa prilaku dilenquent ini dipelajari melalui proses
psikologis yang sama sebagai mana semua prilaku non dilenquent.tokoh yang mendukung
teori ini diantaranya adalah;
4. Albert Bandura
Ia berpendapat bahwa individu-individu yang mempelajari kekerasan dan agresi melalui
behavioral modeling; anak belajar bertingkah laku melalui peniruan tingkah laku orang lain.
5. Gerard Peterson
Ia menguji bagaimana agresi dipelajari melalui pengalaman langsung. Ia melihat bahwa
nanak-anak yang bermain secara pasifsering menjadi korban anak-anak lainnya tetapi
kadanng-kadang berhasil mengatasi serangan itu dengan agresi balasan. Dengan
berlalunya waktu anak-anak ini belajar membela diri dan akhirnya mereka mulai
perkelahian.
6. Ernesnt Burgess dan Ronald Akers
Dimana mereka mengabungkan learning theory dari Bandura yang berdasarkan psikologi
dengan theori differential association dari Erwin Sutherland yang berdasarkan sosiologi dan
kemudian menghasilkan teori differential association rein forcemt.
TEORI-TEORI YANG MENJELASKAN KEJAHATAN DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
Dimana teori-teori sosiologis mencari alasan perbedaan dalam angka kejahtan
didalam linkungan sosial. Teori ini ndapat dikatagorikan dalam 3 katagori umum yakni;
strain, culture divience, dan social control.
StrainTheories
Theori Anomie dari Emile Durhkeim
Ia menyakini jika sebuah masyarakat sederhan bekembang menuju suatu masyarakat yang
modern dan kota maka kedekatan yang dibutukan untuk melanjutkan satu set norma akan
merosot dimana kelompok-kelompok akan terpisah dan dalam ketiadaan dalam satu set
aturan-aturan umum tidakan-tindakan dan harapan orang dalam satu sektor mungkin akan
bertentangan tindakan dan harapamn orang lain dengan tidak dapat diprediksi perilaku
system tersebut secara bertahap akan runtuh dan masyarakat itu dalam kondisi anomie.
Durkheim mempercayai bahwa hasrat manusia adalah tak terbatas satu. Karena alam tidak
mengatur batas-batas biologis yang ketat untuk kemampuan manusia.

CULTURAL DEVIANCE THEORIES (TEORI-TEORI PENYIMPANGAN BUDAYA)


Tiga teori utama dari kultur devince theories yakni;
1. Social Disorganization
Yang terfokus pada perkembangan disintegrasi nilai konvensional yang disebabkan
industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi dan urbanisasi.tokoh yang terkenal
diantaranya adalah;
a. W.I Thomas dan Florian Znanieck
Dalam buku mereka yang berjudul The polish peasant in ueropa and America
mengambarkan pengalaman sulit yang dialami petani polandia ketika mereka
meninggalkandunia lamanya yaitu pedesaan untuk menuju kota industi disunia baru. Selain
itu mereka menyelidiki asimilasi dari para imigran dimana para imigra tua tidak begitu
terpengaru akan kepindahan itu meski berada didaerah kumuh.tetapi tidak demikian
dengan generasi muda mereka memiliki sedikit tradisi lama tetapi tidak terasimilasi dengan
tradisi dunia baru.
b. Robert Park dan Ernest Burgess.
Mereka mengembangkan lebih lanjut studi tentang social disorganization dari Thomas dan
Znaniecki dengan menintrodisir analisa ekologi dari masyarakat dunia.
Dalam studinya tentang disorganization sosial meneliti karakter daerah dan bukan meneliti
para penjahat untuk penjelasantentang tingginya angka kejahatan.mereka
mengembangkan pemikiran tentang natural urban areas yang terdiri atas zona-zona
kosentrasi yang memanjang keluar dari distrik pusat bisnisditengah kota.
c. Clifford Shaw dan Hendri McKay
Dimana mereka menunjukan bahwa angka tertinggi dari dilenquent berlangsung terus
diarea yang sama dari kota Chicago meskipun komposisi etnis berubah. Penemuan ini
membawa kesimpulan bahwa factor yang paling menentukan bukan lah etnissitas
melainkan posisi kelompok didalam penyebaran status ekonomi dan nilai-nilai budaya.
2. Culture conflick theory
Menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang berlainan belajar conduck norm yang
berbeda dan bahwa conduck norms dari suatu kelompok mungkin berbenturan dengan
aturan konvensional kelas menegah.tokoh nya yang terkenal adalah Thorsten sellin dimana
ia mengatakan conduk norm merupakan aturan yanmg merefleksikan dari sikap-sikap dari
kelompok yang masing-masing dari kita memilikinya.
3. Differential association theory
Memegang pendapat bahwa orang belajar melakukan kejahatan sebagai akibat hubungan
dengan nilai-nilai dan siap anti sosial serta pola tingkah laku criminal.tokohnya yang
terkenal adalah; Edwind H. Sutherland dimana ia mengantikan konsep social disorganized
dengan konsepnya tentang differential social organization.

SOCIAL CONTROL
Konsep sosial control lahir pada peradaban dua puluhan, e.A.ros salah seorang
Bapak sosialog amirika berpendapat bahwa system keyakinan lah yang membimbing apa
yang dilakukan oleh orang-orang dan yangsecara universal mengontrol tingkah laku, tidak
peduli apapun bentuk keyakinan yang dipilih. Berikut ini beberapa pendsapat yang
tergabung dalam teori control sosial;
TRAVIS HIRCHI( SOCIAL BONDS)
Ia menyebutkan empat sosial bonds yangn mendorong sosialzation dan conformity
diri yaitu; attecment ( kasih saying), commitment, involemt, dan bilief. Menurutnya semakin
kuat ikatan ikatan ini semakin kecil kemungkinan terjadi dilenquncy.

MICHAELGOTFREDSON dan TRAVIS HIRSCHI (SELF CONTROL THEORY)


Merka justru menegaskan bahwa self control yang terpendam pada awal kehidupan
seseorangmenetukan siapa yang jatuh sebagai pelaku kejahatan. Jadi control merupakan
suatu keadaan internal yang permanent dibandingkan pada hasil dari perjalanan factor
biologis menurut mereka self control merupakan alat pencegah yang membuat sesorang
menolak kejahatan dan pemuasan sesaat.
DAVID MATZA (TECHNIQUES OF NETRALIZATION)
Pada tahun 1960an ia mengembang suatu perspektif yang berbeda secara
signifikan pada sosial control dengan menjelaskan mengapa sebagian remaja hanyut
kedalam atau keluar dari dilequency. Menurutnya remaja merasakan suatu kewajiban moral
untuk memntaati atau terikat dengan hukum.
Jika seorang remaja terikat oleh aturan sosial bagaimana menjustifikasikan tindakan
mereka. Jawabnya bahwa mereka mengembangkan techinis quest of netralisir untuk
merasionalisasikan tindakan mereka.
ALBERT J.REISS ( PERSONAL AND SOSIAL CONTROL)
Menurutnya dilenquency merupakan hasil dari; kegagalan dalam menanamkan
norma berprilaku yang secara sosial diterima dan titentukan, runtuhnya control sosial, dan
tiadanya aturan aturanyang menentukan tingkah laku dikeluarga sekolah dan kelompok
sosial lainnya.
WALTERC. RECKLESS
Yang dimaksud dengan containment theory menurutnya adalah untuk menjelaskan
mengapa ditengah berbagai dorongan dan tarikan tarikan kriminogenikyang beraneka
macam apapun itu bentuknya, comformnity tetaplah menjadi sikap yang umum.

MAZHAB DALAM KRIMINOLOGI


Dalam perspektif kriminologi bahwa suatu kejahatan itu relatif karena kejahatan
sebagai masalah fenomena sosial tetap dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan dalam
masyarakat, seperti : politik, ekonomi, sosial, budaya serta hal-hal yangberhubungan
dengan upaya pertahanan negara.
1. Mazhab Italia atau Mazhab Antropologi
Tokoh mazhab ini adalah Cesaro Lombroso (1835-1909) seorang dokter. Ia adalah
guru besar dalam ilmu kedokteran kehakiman (dalam ilmu forensik), kemudian juga dalam
ilmu jiwa di Turin Italia. Pandangan Lobroso mengenai penjahat didasarkan atas hasil
penelitian secara antropologis mengenai penjahat-penjahat yang terdapat dalam rumah
penjara terutama mengenai tengkorak. Kesimpulan dari penelitianya adalah bahwa para
penjahat dipandang dari sudut antropologi mempunyai tanda-tanda tertentu, diantaranya
adalah sebagai berikut.
a. Tengkorak isinya kurang jika dibandingkan dengan manusia normal.
b. Dalam otaknya terdapat keganjilan, yang seakan-akan memperingatkan pada otak hewan.
c. Roman mukanya juga lain daripada orang biasa, tulang dahinya melengkung kebelakang.
d. Suka akan tato.

2. Mazhab Perancis
Tokoh terkemuka mazhab ini adalah A. Lacassagne (1843-1924) guru besar dalam
ilmu kedoteran kehakiaman di perguruan Kriminil Internasional di Roma (1885). Ia
menentang Lombroso dengan menyatakan bahwa kejahatan dan penjahat dibentuk oleh
lingkungan sosial bukan dibawa sejak lahir. dan juga tokoh penting lainya adalah Gabriel
Tarde (1843-1904) seorang ahli hukum dan sosiologi. Menurut pendapatnya kejahatan
bukan suatu jejek yang antropologis tapi sosiologis, yang seperti kejadian-kejadian
masyarakat lainnya dikuasai oleh faktor imitasi.

3. Mazhab Bio-Sosiologi
a. Prins (1845-1919) dari Belgia
b. Von Liszt dari jerman
c. Van Hamel (1842-1917) dari Belgia
d. Simons (1860-1930) dari Belanda

Menurut pandangan mazhab Bio-Sosiologi factor individu yang dapat mendorong


seseorang adalah sifat individu yang melakukan kejahatn dibawa sejak lahir (sebagai factor
heriditer) yang meliputi keadaan badaniah, jenis kelamin, tingkat kecerdasan (IQ),
temperamen dan kesehatan mental (psycho hygiene). Sedangkan factor lingkungan yang
mendorong seseorang melakukan kejahatan meliputi keadaan lingkungan fisik seperti
keadaan geografis dan klimatologis,serta keadaan social ekonomi masyarakat, tingkat
peradaban masyarakat, keadaan politik suatu Negara dan lain-lain.
4. Mazhab Spiritualis
Tokoh terkemuka mazhab ini adalah De Baets (1863-1931) dan F.A.K Krauss (1843-
1917). Menurut mazhab ini kejahatan timbul karena orang-orang jauh dari kehidupan
agama.Aliran-aliran dalam kriminologi yang mempunyai kedudukan sendiri, ialah aliran
yang dulu mencari sebab terpenting dari kejahatan adalah tidak berimannya
seseorang. Tetapi kemudian aliran ini mengalami bermacam-macam perobahan
dan kehalusan, yang oleh karenanya –demikian itu jika mungkin- padawaktu sekarang lebih
tepat jika dinamakan aliran neo-spiritualis yang lebih dari pada aliran-aliran yang sudah
dibicarakan mempunyai kecenderungan, mementingkan unsur kerohanian dalam terjadinya
kejahatan.

Selain itu juga ada beberapa aliran lain,yaitu:


Beberapa aliran seseorang melakukan pidana :
1. Mazhab Klasik = ilmu jiwa (Hedonis Psycologi/HP) tokohnya (Beccaria dan J. Betham)

Menurut HP :
a. Setiap manusia memiliki kehendak bebas untuk berbuat/tidak berbuat sesuatu
b. Bahwa seseorang melakukan sesuatu karena senang
c. Dalam menyikapi kejahatan maka Negara sebaiknya memberikan sanksi yang sangat
berat.
2. Mazhab geografis / mazhab etologis ( Quetkette & Guerry)
a. Kejahatan2 itu terdistribusi ke dalam daerah2 tertentu, baik secara geografis maupun
secara social.
b. Kejahatan merupakan ekspresi dari kondisi social, mencerminkan situasi social.
c. Quetelet (1796-1829) seorang ahli ilmu pasti dan sosiologi dari Belgia berpendapat
kejahatan dapat diberantas dengan memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat. (dengan
statistic).
Sebelum klasik sebelumnya ada dua mazhab
3. Aliran Pra klasik : aliran demonologis
Orang berbuat kejahatan itu karena diganggu oleh setan. Konsep teori demonologis
mengaggap pelaku kejahatan itu adalah iblis.
Teori ini berpendirian bahwa para penjahat dan korban kejahatan dipengaruhi oleh iblis jadi
mereka adalah korban iblis.
4. Aliran Neo Klasik : aliran hedonistic
Orang berbuat kejahatan karena orang tersebut senang melakukan kejahatan.
Sanksi yang diberikan harus berat dari pada rasa senang yang ia dapat ketika melakukan
kejahatan agar ia berfikir ulang untuk melakukan kejahatan.
Menurut teori ini, orang melakukan kejahatan dengan alasan yang irasional.
5. Mazhab Sosialis (marxis&Karl Mark)
Mazhab sosialis bertabrakan dengan demonis dan geografis menyatakan kejahatan itu
produk sampingan dari kekurangan ekonomi.
6. Mazhab tipologis (lombroso/antropologi)
Lombroso : berpendapat tidak ada pengaruh iblis atau ego/kesenangan, tetapi
dikarenakan takdirnya menjadi seorang penjahat.
bahwa para pelaku kejahatan itumempunyai cirri-ciri antropologi
7. Mazhab Mental Tester
mereka para penjahat adalah orang yang mengalami gejala telmi
8. Mazhab Psikiatri
menurut mazhab ini para penjahat adalah mereka yang sakit jiwa.

http://fikiwarobay.blogspot.com/2012/04/kriminologi.html
KRIMINOLOGI

Mengenai Paradigma Kriminologi, kita sebaiknya mencermati sejarahnya, dari Klasik hingga Kritis. Aliran
klasik, mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke 19 dan kemudian meluas ke negara-negara lain di
Eropa dan Amerika, dasar dari mazhab ini adalah hedonistic-psycology dan metodenya Arm- Chair (tulis
menulis). Psikologi mejadi dasar aliran ini , sifatnya adalah individualistis, intelectualistis dan
voluntaristis, aliran ini berpandangan adanya kebebasan kehendak sedemikain rupa, sehingga tidak ada
kemungkinan untuk menyelidiki lebih lanjut sebab-sebab kejahatan atau usaha-usaha pencegahan
kejahatan. Contoh yang sederhana adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang,
sangat sederhana, namun pandangan ini berhasil menjadi tulang punggung hukum pidana dan
merupakan doktrin yang berpengaruh hingga sekarang.

Menurut aliran ini orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang
sama tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadan lain.
Hukuman dijatuhkan harus berat, namun propossional, dan untuk memperbaiki, dan lain-lain. Meskipun
aliran ini kurang mampu menjelaskan mengapa seseorang berperilaku jahat, namun hingga sekarang
mencengkram kuat dan mempengaruhi terhadap pemberian makna penjahat. Penjahat adalah mereka
yang dicap demikian oleh undang-undang, merupakan pengaruh nyata terhadap pola berfikir banyak
ahli (hukum) di Indonesia.

Aliran positivis muncul sebagai proses ketidak puasan dari jawaban-jawaban aliran klasik, aliran ini
berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat. Aliran ini bertolak pada pandangan
bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor
biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti
dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh
perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya.

Lambroso, yang dianggap sebagai pelopor mazhab ini pada pertengahan abad ke 19 secara tegas
mengetengahkan apa yang disebut Born Criminal (penjahat sejak lahir), bahwa penjahat sejak lahirnya
merupakan tipe khusus, dengan kalsifikasi khusus misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat
lainnya memiliki tanda atau ciri yang berbeda-beda, Aliran biologis yang dipeloporinya ini meskipun
mendapat kritikan dari beberapa ahli kriminologi, namun sampai saat ini pengaruh dari Lombroso masih
terasa, misalnya seseorang akan dicurigai apabila menampilakan ciri-ciri biologis berambut gondrong,
berdahi lebar, seperti satau atau dua jumlah uyeng-uyeng di kepala bayi yang baru dilahirkan, dll.
Kemudian muncul aliran yang memperluas dari individu (biologis) kepada kondisi-kondisi yang dapat
menghasilkan penjahat. Kejahatan merupakan produk sistem sosial, yang menekankan pada struktur
kesempatan yang berbeda atau diffrential opartunity structure, kemiskinan, rasisme dan lain-lain,
sebagai faktor penyebab yang penting. Tercatat beberapa tokoh teori ini seperti Tarde, Lacasagne, WA
Bonger dan Sutherland. Ketidak puasan terhadap aliran-aliran di atas kemudian menampilkan perspektif
baru dalam melihat mengapa seseorang dapat menjadi jahat, sebagai hasilnya muncul apa yang disebut
denagan perspektif aliran kriminologi baru yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan radikal.

Munculnya aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahan-perubahan sosial di
Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah redanya perang dingin, muncul
apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai radikal., bahwa pengungkapan terhadap kejahatan
harus lebih kritis, selektif dan waspada. Wawasan kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya
kriminologi baru ini salah satunya dan di mulai dengan munculnya teori Labbeling (labelling theory),
dikemukakan Howard Becker yang mengatakan pada dasarnya kejahatan merupakan suatu proses
dalam konteks, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial.

Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan) ditafsirkan sebagai hasil dari keadaan
disorganisasi sosial dan kejahatan diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat sosial seperti
Industrialisasi, perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan bukanlah kualitas perbuatan
yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi oleh orang-
orang lain kepada seorang pelanggar. Oleh karena itu teori labelling ini telah merubah konteks studi
kriminologi, yaitu dari penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya teori
ini muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul kemudian oleh teori-teori yang
dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf Chambliss dan Seidman, dengan teori Konflik,aliran ini
disebut pula dengan aliran Kriminologi radikal.

Bagi aliran-aliran kriminologi baru penyimpangan adalah normal, dalam pengertian manusia terlibat
secara sadar dalam penjara-penjara yang sesungguhnya dan masyarakat yang juga merupakan penjara,
dalam menyatakan kebhinekaan mereka. Tugas ahli kriminologi bukanlah sekedar mempermasalahkan
stereotype atau bertindak sebagai pembawa-pembawa alternatif phenomenological realities, kewajiban
ahli kriminologi adalah untuk menciptakan suatu masyarakat di mana kenyataan-kenyataan keragaman
personal, organik dan sosial manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa.

Munculnya aliran baru kriminologi sebenarnya merupakan kritik terhadap perkembangan kriminologi itu
sendiri, disaat kriminologi tradisional atau oleh Taylor disebut dengan istilah Orthodoks kriminologi,
tidak mampu memuaskan jawaban-jawabn terutama terhadap mengapa mereka melakukan perbuatan-
perbuatan jahat. Terlebih lagi studi yang dilakukan masih tradisional, fokus kejahatan hanyalah terhadap
apa yang disebut dengan “kejahatan jalanan.” Terutama di Indonesia, hal ini telah menyita tenaga dari
sistem peradilan pidana sehingga kejahatan-kejahatan dengan klasifikasi lain atau kejahatan yang
dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan menjadi tidak tersentuh, sehingga lahirnya aliran-lairan
baru dalam kriminologi, apabila ditempatkan dalam konteks paradigma Thomas Kuhn, maka proses ini
bisa disebut sebagai Lompatan Paradigmatik, bahwa Ilmu pengetahuan itu hidup karena revolusi bukan
akumulasi. Menurut Mardjono,lahirnya Kriminologi yang non konvensional memberikan analisa
berbeda, dilihat dari kacamata kriminologi yang non konvensional itu maka apa yang disjikan oleh
kriminologi konvensional adalah menyesatkan, dengan dua hal yang menjadi sangat penting; bahwa
angka kriminalitas yang tidak dilaporkan dan tidak tercatat cukup besar (the dark number of crime), dan
;di samping kejahatan jalanan masih terdapat kejahatan korporasi (Corporate crime) dan kejahatan-
kerah putih/orang berdasi (White Collar Crime), yang jarang diketahui, dilaporkan dan dicatat.

Pada intinya aliran baru mengecam statistik kriminalitas yang tidak mampu memberikan data akurat,
dan menjelaskan kejahatan secara faktual. Seorang kriminolog Indonesia yaitu Paul Moedikdo,
memberikan komentar terhadap pandangan aliran-aliran kriminologi baru ini, menurutnya kadar
kebenaran dan nilai praktis teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi
kongkret demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang diterbelakangkan, guna memperbaiki
posisi hukum atau pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi bahaya
praktek pengalaman yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi
terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai kepada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan
perilaku menyimpang yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang berlebihan
bahwa delik-delik adalah pernyataan dari perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang
tidak adil yang hendak menyamaratakan orang menjadi objek-objek pengaturan oleh birokrasi ekonomi.

Ini kemudian dipertegas oleh Soedjono bahwa, dengan kata lain kriminologi baru melupakan sama sekali
adanya street crime yang konvensional dan tradisional yang berkait dengan tatanan birokratis yang ada,
maka dapat dikatakan catatan atau kritik terhadap kriminologi baru ini bahwa, perspektif baru memang
diperlukan dalam meluruskan pandangan sempit dari kriminologi konvensional, namun rumusannya
tentang kejahatan dan generalisasinya mengenai teori kejahatan dan perilaku menyimpang terlalu jauh,
sehingga justru melahirkan pertentangan pendapat yang berkepanjangan dan dapat memecah belah
para kriminologi ke dalam dua kubu. Paul Moedikdo juga memberikan komentarnya terhadap Ian Taylor
dll, yaitu bahwa rumusan kewajiabn ahli kriminologi untuk berusaha menciptakan suatu masyarakat
dimana kenyataan-kenyataan kebhinekaan manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa adalah
rumusan yang keliru. Bukan kekuasaan untuk mengkriminalisasi kajahatan yang harus dirumuskan atas
dasar prinsip-prinsip egalitarian dan kooperatif, bukan berdasarkan hierarkhikal dan eksploitatif. Suatu
kritik dilontarkan pula terhadap teori Labelling bahwa, teori ini bersifat deterministik dan menolak
pertanggungjawaban individual, dan teori ini tidak berlaku untuk semua jenis kejahatan, bahkan meurut
Hagan, teori labeling yang selalu berangapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan nampak
bahwa argumentasinya adalah cap, dilekatkan secara random. Kenyataannya bahwa hanya kejahatan
yang sangat serius memperoleh reaksi masyarakat atau cap.
Namun apabila kita lihat pandangan-pandangan atau kritik yang dikemukakan oleh Paul Modikdo dan
Soejono terhadap Kriminologi baru itu, nampaknya banyak yang tidak tepat, meski bisa dipertimbangkan
(sebagai scientific device). Hanya saja kritik tersebut terkesan umum (tidak cermat) serta kurang
memiliki landasan cukup tajam terhadap pandangan-pandangan kriminologi baru, apalagi kritik itu lebih
bersifat kehati-hatian daripada melihat substansi teori yang dikembangkan, pemikiran kritis sering dicap
sebagai bagian yang harus diwaspadai dalam pengertian negatif, apalagi pandangan yang dikemukakan
aliran kritis/radikal sering bersinggungan dengan konteks kekuasaan atau bentuk perlawanan, sehingga
apabila dibaca dalam paradigma kekuasaan yang pada waktu itu sangat dominan (Rezim Orde Baru
begitu alergi terhadap pandangan-pandangan kritis dan perlawanan, sehingga aliran-aliran kritis sering
dicurigai). Saat ini penafsiran terhadap kejahatan mengalami suatu perubahan cukup mendasar, yang
timbul akibat perubahan besar disegala bidang kehidupan, sehingga kalau boleh saya jelaskan bahwa
kritik terhadap kriminologi baru yang dikemukakan kedua pakar krimonolog di atas adalah kritik yang
kering interpretasi, tidak melihat konteks. Hanya perlu diperhatikan mengenai kritik dari Paul Meodikdo,
tentang generalisasi yang terlau jauh dari jangkauannya, untuk kategori ini kita memang harus berhati-
hati karena penyamarataan itu memang akan menyesatkan mengenai pandangan kita tentang
kejahatan.

Bahwa aliran aliran baru terutama kritis dan radikal, dalam menguraikan teori mereka didasarkan
kepada kemampuan apa yang disebut dengan motif-motif berfikir kritis dengan “melihat tembus “
“melihat dibalik” (adegan), dengan kata lain untuk tidak menerima apa adanya Take for Granted.
Sebagai contoh, hal ini bisa dilihat dari uraian Steven Box , mengenai hubungan kejahatan dengan
kekuasaan, dengan menguraikan suatu analisis bahwa “Undang-Undang Percobaan usaha kriminal
(Criminal Attemps Act), 1981, dimaksudkan untuk mencabut hukum-hukum ‘sus’ yang banyak dikutuk
orang. Akan tetapi penguatan hukum usaha percobaan bisa direntangkan sebagai akibat dari undang-
undang ini, untuk mencakup usaha pencurian materi yang tidak di kenal oleh orang-orang tidak dikenal,
serta usaha untuk mencuri mobil yang sedang diparkir. Sekedar keberadaan (kehadiran), terutama kalau
wajah anda tidak sesuai, atau warna kulit anda kurang layak di sebuah jalan dengan sebuah mobil yang
sedang diparkir, dimata polisi bisa di anggap sebagai suatu usaha percobaan pencurian mobil. Melalui
undang-undang ini wewenang polisi telah ditambah dan bukannya dikurangi. Demikian pula dengan
undang-undang polisi dan Bukti Kriminal, (police and Criminal Evidence Bill 1982 ) adalah contoh lain
dari usaha negara untuk mendapatkan kekuasaanya. Ini hanya sekedar satu di dalam satu deretan
manuver legal yang konsekuensi latennya, tidak peduli apapun maksud yang dinyatakan, adalah untuk
meningkatkan kekuasan polisi untuk menyerang privasi individu dan menunda mereka sampai bukti
ditemukan, bisa dibayangkan efek yang timbul. Tengok pula bagaimana di Indonesia kejahatan mengalir
tanpa hambatan melalui legalisasi peraturan perundang-undangan.

Apabila kita melihat seadanya maka nampak, bahwa terbitnya undang-undang itu merupakan rasa
peduli pemerintah dan kekhawatiran pemerintah, terhadap warganegaranya, namun pemerintah sendiri
telah menciptakan opini publik yang berlebihan tentang kejahatan (warungan) melalui media-media,
dan menciptakan setan rakyat, dari para pengemis, pencuri jaminan sosial. Pada gilirannya pemerintah
kemudian tampak responsif terhadap keprihatinan publik, sementara pada kenyataanya tujuannya
adalah untuk menanamkan kedisiplinan dan rasa takut akan penganggur yang menerima keuntungan
negara, karena mereka bukan golongan menegah yang terhormat atau yang secara potensial rusak.
Aliran-aliran kriminologi baru ( Taylor dll ) mengakui secara jujur bahwa gambaran yang
diromantisasikan merupakan suatu formulasi yang kasar dan bahkan salah, serta lebih banyak
merupakan pemujaan dari pada analisa perbuatan menyimpang yang dikagumi penyusun-penyusun
teori seperti perilaku hippi, pemakaian narkotik, vandalisme dan sabotase industri. Namun harus diakui
apa yang ditawarkan oleh aliran kriminologi baru, kritis dan radikal adalah alternatif pemikiran yang
mencoba membuka pemahaman kita akan realitas kejahatan serta memberikan kegairahan
perkembangan pemikiran kejahatan dalam konteks kriminolog.

Soal No.2 : Relativitas Kejahatan, sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-
kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis
terhadap kondisi-kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama yang
terdapat hubungan antara variasi kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial di mana
kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk
dan organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi, maka angka-angka kejahatan dalam
masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan
dengan kondisi-kondisi dari proses-proses misalnya gerak sosial, persaingan dan penentangan
kebudayaan, ideologi, politik, agama, ekonomi. Dengan cara inilah sosiologi memandang arti sebuah
kejahatan.

Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-
Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-
hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is
eternal-as eternal as society”. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum
maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka
pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek yang terkait di
dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan
kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra
legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti
itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan
kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab
musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada
umumnya.
Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta siapa yang
menamakan seuatu itu adalah kejahatan.”Misdaad is benoming” yang berarti tingkah laku didefenisikan
sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun
kejahatan itu relatif, ada pula perbedannya antara “mala in se” dengan “mala in prohibita”.Mala in se
adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan.
Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan
apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang.

Siapakah sebenarnya penjahat itu. Apakah cukup mereka yang dinyatakan melakukan perbuatan yang
dilarang dan diberi sanksi hukum yang tercantum dalam pasal undang-undang disebut sebagai
penjahat? Dalam KUH-Pidana (kita) tidak ada satu pasal pun yang mengatakan bahwa penjahat adalah...,
dan KUH-Pidana kita tidak menyebutkan siapakah orangnya yang menyandang gelar penjahat. Akan
tetapi mereka hanya dicap sebagai penjahat dengan sebutan “barang siapa” (Yesmil Anwar. 2004:5),
tentunya penjahat itu merupakan label atau stigma dari undang-undang.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, ternyata aliran klasik atau aliran positif tidak dapat bertahan
lama, aliran-aliaran ini kembali mendapat kritikan dari aliran atau mazhab sosiologis. Dalam lapangan
kriminologi, aliran ini paling banyak melahirkan variasi-variasi dan perbedaan-perbedaan analisa dari
sebab musabab kejahatan. Pokok pangkal dari ajaran ini adalah kelakuan-kelakuan jahat yang dihasilkan
dari proses-proses yang sama seperti kelakuan-kelakuan sosial lainnya.

Bukan suatu penjungkirbalikan terhadap paham klasik, positivistik, namun merupakan sebuah
perkembangan yang begitu dasyat dalam lapangan kriminologi. Edwin Hardin Sutherland (1883-1950),
boleh kita sebuat sebagai seorang berani tampil beda dalam menelaah kejahatan, ”the white collar
crime” adalah suatu hal yang bagus, yang ia hasilkan, bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan orang-
orang kelas bawah, namun kejahatan dilakukan juga oleh orang-orang kelas atas. J.E Sahetapy
menyebut hal ini sebagai ”kejahatan dalam kemasan baru”.

Kejahatan dalam tataran seperti yang Sutherland kemukakan adalah merupakan ”educated criminals”.
Dalam pandangannya, Pelaku kejahatan adalah orang-orang yang berasal dari kelas-kelas sosial dan
ekonomi yang rendah, kejahatan tersebut itu berupa, perampokan, pencurian, dan kekerasan lainya hal
ini menunjukan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang dapat diketemukan juga dalam kelas-kelas
masyarakat yang lebih tinggi, yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara tradisional, seperti
kemiskinan, atau fakto-faktor patologik yang bersifat individual.
Soal No.3 : Analisa kasus Malpraktik yang dilakukan Dokter

Dalam pandangan hukum perilaku malpractice tidak dapat dituntut dengan Undang-undang (UU)
Kesehatan No. 23 tahun 1992. Karena dalam UU tersebut tidak memberikan aturan tentang malpractice,
ditambah lagi UU tersebut menuntut adanya pembuatan 29 Peraturan pemerintah (PP) yang mengatur
lebih terinci hal-hal yang belum diatur dalam UU tersebut, sementara yang baru dibuat hanya 4 PP yang
kesemuanya pun tidak secara tegas memberikan perlindungan terhadap konsumen. Diantaranya
kelemahan peraturan yang ada adalah tidak adanya definisi yang jelas tentang malpractice, sehingga
akan sulit ketika akan mengugat. Kelemahan yang lain Undang-undang No 23 tahun 1992 menjadi tidak
efektif ketika pemberlakuan otonomi daerah, karena kantor-kantor wilayah kesehatan ditiadakan
sebagai konsekuensi dari otonomi daerah.

Maka jika tuntutan terhadap perkara malpractice ini, biasanya hakim kembali menggunakan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sifatnya lebih umum. Dalam KUHP untuk perkara ini
biasanya dikenai pasal 359 mengenai kelalaian yang mengakibatkan kematian3.

Akan tetapi dari sudut pandang kriminologi perbuatan malpractice yang dilakukan dokter termasuk
dalam kejahatan, karena kejahatan dipandang sebagai Tiap kelakuan yang merugikan (merusak) dan
asusila, yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga
masyarakat itu berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan
menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa terhadap pelaku perbuatan tersebut . Selain itu Sellin
mengatakan Kriminologi tidak hanya mempelajari perbuatan yang melawan hukum, tetapi juga
perbuatan yang melawan norma. Jadi walaupun perbuatan tersebut tidak termasuk sebagai perbuatan
kejahatan menurut pandangan hukum, akan tetapi jika sudah menyinggung norma dan merugikan dapat
dikatakan sebagai perbuatan yang jahat. Dalam perbuatan malpractice yang dilakukan dokter walaupun
tidak ada peraturan yang mengatur secara tegas, akan tetapi perbuatan tersebut sudah termasuk
kejahatan, karena sudah merugikan pasien.

Model proses pidana yang berlaku

Dokter sebagai pelaku dalam perbuatan ini, menurut pandangan sistem sosial masyarakat Indonesia
adalah golongan masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi. Hal ini dikarenakan kehadiran
dokter bisa diibaratkan sebagai “dewa Penolong” yang sanggup menyembuhkan seseorang dari penyakit
yang dideritannya. Kesempatan untuk menjadi dokter juga sangat sulit, karena harus ditempuh dengan
pendidikan yang lama dan cukup sulit serta mahal. Status sosial yang tinggi ini menjadikan banyak anak-
anak ketika ditanyakan kepadanya tentang cita-cita, mereka akan menjawab “ ingin jadi dokter”. Selain
status sosial yang tinggi dokter juga dianggap “can’t do wrong”, karena kemampuan keilmuan dan
keahlian yang mereka miliki, sehingga hampir semua yang disarankan oleh dokter akan dituruti oleh
pasiennya. Bahkan ada anekdot5 yang menyatakan bahwa “ ada dua orang yang susah dinasehati yaitu
kiai dan dokter” ( karena pekerjaannya menasehati orang lain).

Proses peradilan dalam kasus malpractice yang menjadikan dokter sebagai tersangka akan menemui
banyak sekali kesulitan. Ketiadaan undang-undang/peraturan yang mengatur tentang malpractice sudah
menjadi suatu persolan cukup rumit, sehingga kebanyakan kasus-kasus tersebut hanya dikenai pasal 359
KUHP, dan tidak menjurus pada pokok permasalahan tentang adanya malpractice. Padahal menurut
Ketua YPPKI, dr. Marius Widjajarta, SE yang disebut malpractice adalah seorang profesional yang tidak
melakukan pekerjaannya secara professional. Menurut pengertian lain Malpractice dikatakan sebagai :

Profesional misconduct or unreasonable lack of skill, failure of one rendering profesional service to
exercise that degree of skill and learning commonly applied under all circumstances in the comunity by
the average prudent member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient
of these services or to those entitle to rely upon them” (Black,1968:111)6

Dapat diambil suatu pengertian bahwa pelaku malpractice ini adalah orang yang berkompeten dalam
bidangnya tetapi tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan Standart Operating Procedure (SOP)
yang telah ditetapkan. Peristiwa malpactice yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya sebenarnya
lebih tepat digolongkan kedalam White Collar Crime yang menurut Sutherland adalah perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan dan status tinggi dan dilakukan denngan kaitannya
dengan pekerjaannya.

Dalam proses peradilan kasus ini biasanya model peradilan pidana yang berlaku adalah Due Process
Model, ini dikarena pelaku yang memiliki status sosial tinggi. Filosofi dasar dari model ini adalah
menghargai sekali akan hak-hak tersangka sehingga, misalnya dalam melakukan pengkapan terhadap
tersangka harus memperhatikan prosedur baku, serta lebih mementingkan efektifitas dari pada
efisiensi8. Kenyataan ini dalam sistem peradilan pidana ternyata sangat nyata seperti pada kasus
Tommy Soeharto yang ternyata memiliki hak-hak lebih di dalam Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.
Walaupun dalam konstitusi kita secara tegas dikatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahanan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya” seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27, tetapi pada kenyataannya
pengecualian dalam praktek hukum masih saja terjadi.
Walaupun sebenarnya tidak berarti berlakunya Due Process Model dikarenakan adanya status sosial
yang tinggi, akan tetapi karena watak dasarnya model ini yang lebih mementingkan proses formal
sehingga terkesan hanya dilakukan pada tersangka pelaku perbuatan pidana yang memiliki status sosial
tinggi. Kekhususan istilah yang dimiliki dalam ilmu kedokteran juga menyulitkan pembuktian kasus
malpractice, satu-satunya cara adalah harus mendatangkan saksi ahli yang juga seorang yang berprofesi
dokter. Karena hanya orang yang menekuni bidang tersebutlah yang mengetahui proses dan cara
kerjanya.

Akan tetapi dampak yang patut diperkirakan disini kemudian muncul sentimen-sentimen primordialisme
jabatan, yang mengakibatkan adanya usaha saling melindungi diantara para dokter tersebut. Hal ini
dapat terjadi mengingat dalam kode etik baik kedokteran (umum) maupun kedokteran gigi terdapat
kewajiban dokter kepada teman sejawatnya yang harus memperlakukan teman sejawatnya tersebut
dengan perlakuan yang ingin dia terima dari temannya tersebut10. Jika kode etik ini disalah tafsirkan
maka tidak mungkin usaha-usaha melindungi dokter lain yang terkena perkara tersebut dalam upaya
menghindari pencemaran nama baik jabatan.

Pidana yang paling sesuai untuk para tersangka

Menentukan hukuman yang tepat dalam setiap kasus kejahatan memang sangat sulit. Pemberian
hukuman biasanya tergantung dari pandangan/paradigma yang umumnya berkembang dalam institusi
peradilan pidana. Hukuman yang paling sesuai bagi tersangka pelaku kejahatan dalam kasus malpractice
yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya juga sulit unutk ditentukan. Ada pembelaan sebagian
dokter yang menyatakan bahwa belum tentu setiap kasus malpractice ini karena kesalahan dokter, bisa
juga dari pasien karena ketidak memberikan keterangan yang benar tentang keadaan dirinya ketika akan
didiagnosa (anamnesa), sehingga dokter tidak mengetahui secara tepat kondisi pasien. Selain itu ada
pandangan miring sebagian dokter terhadap SOP yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang, telah
menghambat kemajuan ilmu kedokteran sendiri. Dengan membatasi prosedur penanganan suatu
penyakit dengan serangkaian aturan yang sudah baku, apalagi jika SOP tersebut sudah ketinggalan
jaman.

Terlepas dari itu semua setiap perbuatan pidana harus diberikan hukuman. Hukuman yang diberikan
juga harus mempunyai tujuan tertentu yang harus dapat dicapai melalui penghukuman tersebut. Untuk
kasus malpractice teori penghukuman yang paling tepat mungkin utilitarian prevention. Karena dokter
dalam melakukan pekerjaannya selalu berhubungan dengan manusia, dalam hal ini bahkan nyawa
manusia. maka dengan adanya efek deterrence diharapkan dokter akan lebih berhati-hati dalam
menjalankan tugasnya. Bentuk hukuman ini lebih ditekankan pada hukuman yang berat, dengan asumsi
akan memberikan efek deterrence yang lebih kuat. Berhubungan dengan hambatan di tersebut,
hukuman ini akan memberikan efek bagi dokter lain untuk lebih menggali keterangan dari pasien
dengan lebih mendetail dan memperhatikan apabila ada keterangan-keterangan yang ganjil dan
menelusurinya agar lebih jelas. Pandangan yang memandang miring SOP juga harus dirubah, karena
dalam menangani nyawa manusia tidak bisa dilakukan dengan sembarangan dan harus hati-hati.

Kasus malprctice yang dilakukan oleh Dokter semakin marak diketahui oleh masyarakat, mungkin hal ini
dikarenakan semakin mengertinya masyarakat tentang hukum. Akan tetapi ternyata hal ini tidak
diimbangi dengan regulasi yang mengatur tentang perbuatan tersebut. Sehingga banyak kasus
malpractice ini yang sampai menyebabkan kematian pasien hanya dituntut dengan pidana yang ringan
(maksimal penjara lima tahun dan kurungan maksimal satu tahun-menurut pasal 359 KUHP) karena
adanya unsur kelalaian dalam perbuatan tersebut.Dalam proses peradilan pidana yang berlangsung juga
banyak dipengaruhi oleh sistem sosial masyarakat yang memandang status dokter sebagai status yang
tinggi dan anggapan dokter tidak pernah salah. Selain itu juga adanya solidaritas diantara dokter yang
biasanya mengganggu pula proses pembuktian kasus ini, karena banyak istilah-istilah yang hanya
dimengerti oleh sesama dokter.

DIPOSKAN OLEH MHD.KHAIRIADI PUTRA DI 03.11 TIDAK ADA KOMENTAR:

Beranda

Langganan: Entri (Atom)

http://putra-pandangankriminologi.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai