Anda di halaman 1dari 24

NAMA : MOH.

IBNU BAYU KUSUMOAJI


NPM : 1911010005
KELAS : REGULAR B

RANGKUMAN

Criminology merupakan ilmu pengetahuan yang baru berkembang pada abad ke 19, bersamaan
dengan berkembangnya sosiologi. Kelahiran criminology didorong oleh aliran positivisme. Tapi elemen-
elemen criminology telah dikenalkan oleh para filosof yunani kuno yaitu plato (427-347 SM ) dalam
bukunya Republiec, antara lain menyatakan bahwa gold human merupakan sumber crimen merupakan
sumber crimen. Kelahiran criminology sebagai ilmu pengetahuan,karena pidana baik materiil maupun
formal serta system penghukuman sudah tidak efektif lg untuk mencegah dan membrantas kejahatan,
bahkan kejahatan semakin meningkat dalam berbagai aspek kehidupan.dengan tidak efektifnya hukum
pidana ,maka para ahli piker mulai mengadakan penelitian bukan pada aturan-aturan hukum yang
mengenai kejahatan atau bertalian dengan pidana,tapi objeknya adalah orang yang melakukan kejahatan
itu sendiri.

a. Pengertian

Kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Sedangkan Menurut beberapa ahli
pengertian Kriminologi sanga beragam. Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat
pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk di dalamnya proses
pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang, dan reaksi terhadap pelanggaran undang-
undang, Sedangkan menurut Michel dan Adler, berpendapat, kriminologi adalah keseluruhan keterangan
mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka dengan cara mereka secara resmi
diperlukan oleh lembaga-lembaga penerbit masyarakat. Sedangkan menurut Wolfgang, Savitya dan
Johnston dalam buku The Sociology of Crime and Delinquency, memberi pengertian sebagai kumpulan
ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan mengenai gejala
kejahatan dengan jalan mengadakan penelitian data kejahatan menganalisis secara ilmiah keterangan-
keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan factor-faktor kausal yang berhubungan dengan
kejahatan,pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.
Melihat beberapa pendapa para ahli tentang kriminologi maka dapat diambil kesimpulan bahwa
kriminologi masuk dan terletak dalam kelompok ilmu pengatuhan social. Dalam realita,kejahatan tidak
hanya berkaitan dengan hukum pidana,tapi juga terdapat hubungan baik dengan norna-norma agama,ada
masyarakat yang menerapkan norma-norna adapt kebiasaan yang telah ditentukan oleh nenek
moyangnya.

b. Tujuan

Secara umum kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, sehingga
pemahaman tentang fenomena kejahatan akan bisa diperoleh dengan baik. berkembangnya kriminologi
dan semakin maraknya pemikiran-pemikiran kritis yang mengarah pada studi untuk mempelajari proses-
proses pembuatan undang-undang, maka penting bagi mahasiswa fakultas hukum untuk mempelajari
kriminologi, agar dapat diperoleh pemahaman yang baik tentang fenomena kejahatan dan juga masalah
hukum pada umumnya. Tujuan secara kongkrit untuk :

1. Bahan masukan pada membuat Undang-Undang (pembuatan\pencabutan Undang-Undang).

2. Bahan masukan bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan pencegahan
kejahatan non penal terutama Polri.

3. Memberikan informasi kepada semua instansi agar melaksanakan fungsi-fungsi yang


diembannya secara konsisten dan konsekwen untuk mencegah tejadi kejahatan.

4. Memberikan informasi kepada perusahan-prusahan melaksanakan pengamatan internal secara


ketat dan teridentifikasi serta melaksanakan fungsi social dalam areal wilayah perusahan yang
mempunyai fungsi pengamanan external untuk mencegah terjadi kejahatan.

5. Memberikan informasi kepada masyarakat pemukiman, tempat- tempat umum untuk


membuntuk pengamanan swakarsa dalam mencegah terjadi kejahatan.
BAB II

RUANG LINGKUP, OBYEK, STUDI KRIMINOLOGI

2.1 Ruang Lingkup Kriminologi

Ruang lingkup kriminologi merupakan proses perundang-undangan, pelanggaran perundang-


undangan dan reaksi terhadap pelanggaran perundang-undangan. Menurut W. A. Bonger ruang
lingkup kriminologi dibagi menjadi kriminologi murni dan kriminologi terapan.

a.Kriminologi murni ini mencakup :


 Antropologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tandatanda manusia jahat.
 Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sebab-sebab
kejahatan dalam masyarakat.
 Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut
jiwanya.
 Psikopatologi dan Neuropatologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang penjahat yang sakit jiwa
 Penology, yaitu ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.
b.Kriminologi Terapan ini mencakup :
 Higiene kriminal, yaitu usaha yang memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya suatu
kejahatan.
 Politik kriminal, yaitu usaha penanggulangan kejahatan dimana kejahatan itu sudah terjadi.
 Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan mengenai pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan
dan pengusutan kejahatan

Ruang Lingkup Kriminologi menurut A.S. Alam terdapat tiga hal pokok ruang lingkup
pembahasan kriminologi, yaitu :

a. Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana;

b. Etiologi kriminal membahas tentang teori-teori yang menyebabkan terjadinya kejahatan;


c. Reaksi terhadap pelanggaran hukum. Hal ini tidak hanya ditujukan kepada pelanggar hukum yang
berupa tindakan represif saja, tapi juga terhadap calon pelanggar hukum yang berupa upaya-upaya
kejahatan.

2.2 Objek Studi Kriminologi

Objek Studi Kriminologi menurut Sutherland (1960) membagi kriminologi dalam tiga bidang ilmu, yaitu :

1. sosiologi hukum yang bertugas mencari penjelasan tentang kondisi-kondisi


terjadinya/terbentuknya hukum pidana melalui analisis ilmiah.

2. etiologi kriminal yang betugas mencari penjelasan tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan
secara analisis ilmiah.

3. penologi artinya ilmu pengetahuan tentang terjadinya atau berkembangnya hukuman, dan
manfaatnya yang berhubungan dengan upaya pengendalian kejahatan (control of crime).

Pendapat Sutherland yang membatasi kejahatan hanya dalam perbuatan yang terdapat dalam
hukum pidana mendapat kritikan dari Mannheim dan Thorstein Sellin yang menyatakan bahwa
kriminologi harus diperluas lagi dengan memasukan norma-norma tingkah laku. Sedangkan objek studi
kriminologi menurut Manheim yaitu tidak saja perbuatan yang oleh penguasa dinyatakan dilarang
tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai, meskipun perbuatan tersebut
tidak atau belum tercantum dalam hukum pidana.

2.3 Metode Studi Kriminologi

Metode yang dipergunakan adalah adalah metode kualitatif dan metode kuantitatif dengan
menerapkan statistik kriminil. Penelitian kualitatif ditandai oleh fakta bahwa :

a) Tidak distandarkan dan distrukturkan sebagaimana penelitian kuantitatif.

b) Dijalin dengan pengumpulan data.

c) Menggunakan metode yang beragam.

d) Sementara banyak metode yang berbeda dari metode kuantitatif, maka yang lainnya tidak.

Proses analisis kualitatif melalui proses siklus dari analisis yang berkelanjutan mengalami tiga fase,
yaitu:
Tingkat 1: reduksi data

Dalam tingkat ini menunjukan proses manipulasi, interasi, transformasi dan sorotan dari
data, sementara data tersebut dipresentasikan. Peringkasan, pengkodean, dan pengkategorian
adalah beberapa cara yang dilakukan. Reduksi data membantu mengidentifikasi aspek yang
penting dari pokok masalah dalam pertanyaan, memfokuskan pengumpulan data, contoh dan
metode sampai kesimpulan.

Tingkat 2: organisasi data

Dalam tingkat ini merupakan proses pemasangan informasi yang mengelilingi judul dan
poin tertentu. Pengategorian informasi dalam arti yang lebih spesifik dan presentasi hasil dalam
beberapa bentuk seperti teks, matriks, bagan dan grafik.

Tingkat 3: interpretasi

Dalam tingkat ini termasuk pengambilan keputusan dan penggambaran keputusan yang
berhubungan dengan pertanyaan penelitian. Penelitian yang berlanjut sampai kejenuhan telah
dicapai.

Metode kuantitatif

Objektifitas biasanya dilakukan untuk mengurangi penilaian pribadi dan prasangka. Peneliti
menggunakan metode kuantitatif terdapat dua yaitu Penelitian kelompok pertama mendukung
objektifitas yang percaya pada nilai-nilai netral. Peneliti kedua adalah menolak dan tidak percaya pada
apa yang disebut sebagai norma.

Value neutrality, penelitian harus dibatasi dalam prasangka dirinya. Peneliti diajarkan untuk menjadi
tekhnisi atau konsultan dan bukan sebagai pembaharuan. Pandangan pribadi peneliti haruslah dibuang
jauh dari penelitian. Prinsip utama dari objektifitas yaitu:

a) Nilai yang bebas, tujuannya untuk mempelajari apa dan bukan bagaimana seharusnya, untuk
alasan ini, struktur teori dan penelitian haruslah berpegang pada prinsip menyeluruh dan kenetralan
dan mencoba untuk mencapai tingkat tertinggi yang mungkin terhadap objektifitas.

b) Peneliti sosial harus menjadi penilai yang bebas, yaitu mereka harus menghilangkan penilaian
pribadi dan mengesampingkan pandangan subjektif pada saat bekerja sebagai seorang akademisi.
c) Penilaian haruslah digunakan untuk politisi, yang lebih dikenal dengan keseluruhan proses
sosial dan kehidupan sosial dan bukan dari peneliti sosial.

Landasan bagi lahirnya teori- teori dalam kriminologi menurut Santoso (2009) yaitu:

a.    SPIRITUALISME

Dalam penjelasan tentang kejahatan, spiritualisme memiliki perbedaan mendasar dengan


metode penjelasan kriminologi yang ada saat ini. Berbeda dengan teori- teori saat ini, penjelasan
spiritualisme memfokuskan perhatiannya pad perbedaan antara kebaikan yang datang dari
tuhan atau dewa dan keburukan yang datang dari setan. Seseorang yang telah melakukan
kejahatan dipandang sebagai orang yang telah terkena bujukan setan (evill/ demon). Penjelasan
tentang kepercayaan manusia pada yang ghaib tersebut dapat kita peroleh dari berbagai
literature sosiologi, arkeologi, dan sejarah selama berabad- abad yang lalu. Sebagaimana kita
ketahui, bagi orang- orang dengan kepercayaan primitif, bencana alam selalu dianggap sebagai
hukuman dari pelanggaran norma yang dilakukan.

Dalam perkembangan selanjutnya aliran spiritualime ini masuk dalam lingkungan dalam
pergaulan politik dan sosial kaum feodal.landasan pemikiran paling rasional dari perkembangan
ini adalah bahwa pada periode sebelumnya kejahatan dianggap sebagai permasalahan antara
korban dengan pelaku dan keluarganya. Akibatnya adalah konflik berkepanjangan antara
keluarga yang dapat mengakibatkan musnahnya keluarga tesebut. Juga menjadi suatu masalah
adalah bahwa pelaku kejahatan yang berasal dari keluarga yang menmiliki posisi kuat dalam
masyarakat tidak akan dapat dihukum. Sebagai upaya pemacahan terhadap permasalahan
tersebut, maka masyarakat membentuk lembaga- lembaga yang dapat menjadi dasar pembenar
terhadap upaya pembalasan terhadap seseorang yang telah meakukan kejahatan. Konsep carok
misalnya dikenal dalam masyarakat Madura. Konsep perang tanding antara keluarga yang
menjadi korban dengan keluarga  pelaku merupakan wadah pembalasan dendam da kerugian
dari pihak korban. Dalam hal ini ada suatu kepercayaan dari masyarakat bahwa kebenaran akan
selalu menang dan kejahatan pasti akan mengalami kebinasaan. Namun akibat lain dari
kepercayaan ini adalah bila keluarga pelaku memenangkan pertarungan tersebut  maka mereka
akan dianggap benar dan keluarga korban mengalami celaan ganda.
Meski dalam kenyataan dimasyarakat dapat dilihat secara nyata bahwa penjelasan
spiritual ini ada dan berlaku dalam berbagai bentuk dan tingkat kebudayaan, namun aliran ini
memiliki kelemahan yaitu bahwa penjelasan ini tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.

b. NATURALISME

Naturalisme merupakan model pendekatan lain yang ada sejak berabad- abad yang lalu.
Adalah “ Hippocrates” (460 SM) yang menyatakan bahwa “ the Brain is organ of the mind” .
perkembangan paham rasional yang muncul dari perkembangan ilmu alam setelah abad
pertengahan menyebabkan manusia mencari model penjelasan lain yang lebih rasional dan
mampu dibuktikan secara ilmiah. Dalam perjalanan sejarah kedua model penjelasan ini
beriringan meski bertolak belakang. Lahirnya rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini
mendominasi peikiran tentang kejahatan pada abad selanjutnya. Dalam perkembangan lahirnya
teori- teori tentang kejahatan, maka dapat dibagi dalam tiga mazhab atau aliran yaitu:

 MASHAB KLASIK

Mashab ini pada umumnya di hubungkan dengan tokohnya yang utama yaitu Beccaria


(Cesare Bonesana Marchese De Beccaria, 1738 – 1794). Becceria merupakan salahseorang
yang memperjuangkan peninjauan kembali dari perbutan-perbuatan yang dinamakan kejahatan
dan hukuman terhadap perbuatan-perbuatan ini. Maka oleh karena itulah mashab
ini lelib penting di tinjau dari sudut penologi ( the treatment of crimes) daripada sudut kriminologi
(crimes cautasion). Beccaria adalah seorang ahli ilmu pasti dan ekonomi.

Beberapa prinsip dari beccaria mengenai sistem keadilan dalam buku tersebut di atas
adalah sebagai berikut (vold,1979;23-25)

 Pembentukan suatu masyarakat yang di dasarkan pada kontrak(contractual society) untuk


menghindarkan (menghindari) perang dan kekacauan.jadi penjumlahan dari semua
kebebasan tiap individu adalah kekuasaan negara, dan ini diserahkan kepada seorang
penguasa,sebagai administrator yang sah,tetapi perlu pula di atur untuk melindungi dan
mempertahankannya terhadap keserakahan individu, perlu hukuman terhadap mereka-
mereka yang melanggar undang-undang bila hanya hukuman itu terus menerus diingatkan,
maka ada pengaruhnya terhadap mereka yang karena nafsu-nafsunya menentang
kesejahteraan bersama.
 Sumber hukum adalah undang-undang dan bukan hakim,  oleh karenanya hanya undang-
undang yang dapat menentukan hukuman bagi kejahatan, dan kekuadsaan untuk
membentuk undang-undang (hukum) pidana hanya ada pada pembuat undang-undang,
hakim tidak dapat, dengan alasan apapun juga, menjatuhkan hukuman yang tidak
ditentukan oleh undang-undang atau memperberat hukuman yang telah di tentukan
undang-undang.
 Tugas sebenarnya dari hakim hanya menentukan kesalahan seseorang, hukuman adalah
urusan undang-undang. Hakim tidak diperbolehkan menginterprestasikan (menafsirkan)
undang-undang pidana. Sekali undang-undang telah di tentukan, maka tugas hakim hanya
menetukan apakah suatu perbuatan sesuai atau tidak dengan aturan yang tertulis.
 Adalah hak dari negara (penguasa) untuk menghukum, hak dari penguasa untuk
menghukum  didasarkan kepada keperluan yang mutlak (absolute necessity)membela
kebebasan masyarakat (umum) yang dipercayakan kepadanya, dari keserakahan individu.
 Harus ada skala kejahatan dan hukuman. Skala harus dibuat dengan, pada ujung pertama
perbuatan-perbuatan yang langsung akan menghancurkan masyarakat dan pada akhirnya,
perbuatan-perbuatan terkecil yang merupakan ketidakadilan terhadap anggota
masyarakat.Di antara kedua ujung inilah  dikumpulkan semua perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan kesejahteraan masyarakat yang semua di sebut kejahatan.
 Sengsara (sakit) dan kesenangan adalah dasar dari motif-motif manusia (hukum
motivision). Demikian halnya dalam perbuatan-perbuatan agama, pembuat undang-undang
yang tidak tampak telah menentukan hadiah dan hukuman.
 Perbuatannya dan bukan ‘kesalahannya” (intent) yang merupakan ukuran dari besarnya
kerugian yang diakibatkan oleh kejahatan.
 Prinsip dasar dari hukum pidana terletak pada sanksi-sanksi yang positif.

Pandangan-pandangan Beccaria ini besar pengaruhnya  terhadap pembentukan undang-


undang prancis (french code penal) tahun 1791. Oleh karena itu sifat  dari mashab klasik ini
sering pula disebut “administrative and legal criminology” Konsep keadilan menurut mashab ini
adalah :” suatu hukum yang pasti untuk perbuatan –perbuatan yang sama tanpa memperhatikan
sifat  dari sipembuat dan pula tanpa memperhatikan kemungkinan adanya peristiwa-peristiwa
tertentu yang memaksa terjadinya perbuatan tersebut”.
 MASHAB NEO-KLASIK

Mazhab neo- klasik ini tidak menyimpang dari konsepsi- konsepsi umum tentang sifat- sifat
manusia yang berlaku pada waktu itu di Eropa. Doktrin dasarnya tetap, yaitu bahwa manusia
adalah makhluk yang mempunyai ratio, yang berkehendak bebas, dan yang karenanya
bertanggung jawab atas perbuatan- perbuatannya. Dan yang dapat dikontrol oleh rasa
ketakutannya terhadap hukuman. Ciri khas mazhab Neo- Klasik adalah:

 adanya perlunakan/ perubahan pada doktrin kehendak bebas kebebasan kehendak untuk
memiliki dapat dipengaruhi oleh patologi dan premeditas.
 pengakuan daripada sahnya keadaan yang memperlunak
 perubahan doktrin tanggung jawab sempurna untuk memungkinkan perlunakan hukuman
yang menjadi tanggung jawab sebagian saja.
 dimasukkannya persaksian/ keterangan ahli di dalam acara pengadilan untuk menentukan
besarnya tanggung jawab dan apakah siterdakwa mampu memilih antara yang benar dan
yang salah.
BAB III

TEORI-TEORI DALAM KRIMINOLOGI

3.1 TEORI-TEORI DALAM KRIMINOLOGI

a. Teori Biologi Kriminal

Mencari sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis dipelopori oleh ahli-ahli frenologi seperti Gall (1758-
1828) dan Spurzheim (1776- 1832), mencoba mencari hubungan bentuk tengkorak kepala denga
tingkah laku. Mereka mendasarkan pada pendapat Aristoteles, “bahwa otak merupakan organ dari
akal.”. Ajaran ahli-ahli frenologis ini mendasarkan pada preposisi dasar:
(1) Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang ada didalamnya dan bentuk dari
otak, dan
(2) Akal yang terdiri dari kemampuan atau kecakapan,
(3) Kemampuan atau kecakapan ini berhubungan dangan bentuk otak dan tengkorak kepala.
Oleh karena “otak” merupakan “organ dari akal” sehingga “benjolan-benjolan”-nya
merupakan petunjuk dari kemampuan atau kecakapan tertentu dari “organ”.

Studi ini telah membuka jalan bagi mereka yang mencari hubungan antara kejahatan dengan ciri-
ciri biologis.

 C.Lombroso (1835-1909),
Dipandang sebagai “Bapak Kriminologi” modern dan pelopor mazhab Positive. Ajaran
Lombroso sekarang hanya berarti bagi sejarah perkembangan kriminologi.
Pokok-pokok ajaran Lombroso:
(1) Menurut Lombroso, pejahat adalah orang yang punya bakat jahat.
(2) Bakat jahat tersebut diperoleh karena kelahiran (diwariskan dari nenek moyang).
(3) Bakat jahat tertentu dapat dilihat dari ciri-ciri biologis tertentu, seperti muka tidak simetris,
bibir tebal, hidung pesek.
(4) Bahwa bakat jahat tersebut tidak dapat diubah atau tidak dapat dipengaruhi.
Dlm mengajukan teorinya tersebut, Lombroso menggunakan teori evolusi Darwin serta
menggunakan hipotesa Atavisme (keturunan). Menurut Lombroso, kejahatan adalah
perbuatan yang melanggar Hukum Alam ( Natural Law). Pengaruh teori Lombroso:

 Positif, para ahli hukum pidana bisa berpandangan, bahwa penjahat sebagai subyek dan
bukan sebagai obyek belaka, sehingga ada perhatian terhadap aspek subyektif dari
pelaku; juga sebagai mendorong perkembangan ilmu psikiatri.
 Negatif, penegak.hukum (Hakim) bisa berprasangka atau sikap, bahwa terdakwa
dianggap memiliki ciri-ciri penjahat, sehingga merugikan kepentingannya.
 E. Ferry (1856-1928),
Yang adalah murid Lombroso, berusaha menyelamatkan ajaran Lombroso dengan mengakui
pengaruh lingkungan dalam terjadinya kejahatan. Ferry mengajukan rumus tetang timbulnya
kejahatan, bahwa “Tiap-tiap kejahatan dihasilkan dari keadaan individu, fisik, dan sosial”, yaitu:

Kejahatan = Individu + Sosial +


fisik.

Individu dipecah menjadi Bakat dan Lingkungan, sedangkan sosial adalah lingkungan manusia &
fisik lingkungan alam, sehingga formulanya menjadi :

Kejahatan = Bakat + Lingkungan +


lingkungan

Oleh Ferry, penjahat diartikan sebagai bakat jahat. Meski Ferry mengakui pengaruh lingkungan
terhadap kejahatan, namun baginya, faktor yang menentukan terjadinya kejahatan tetap dari bakat
(jahat), sedangkan lingkungan hanya memberikan bentuk kejahatan. Jadi jelas bahwa Ferry
pendukung utama ajaran Lombroso. Kritik terhadap ajaran Ferry seperti A.Quetelet yg mengajukan
“variasi individu” (juga Bouger); juga penelitian-penelitian oleh beberapa sarjana, seperti
Manouvrier dan Goring, bahwa skala-slaka yang digunakan Lombroso mengenai penjahat juga
terdapat pada banyak kelompok lain seperti mahasiswa, jururawat, polisi, bahkan militer.

Penelitian lain misal untuk menjawab persoalan apakah kejahatan itu ciri-ciri yang diwariskan, yaitu
dilakukan dengan cara mengurut keturunan (silsilah) (Seperti yang dilakukan oleh Dugdale dan
Estabrook terhadap keluarga Juke, dihubungkan dengan penelitian terhadap keluarga Jonathan
Edward).

Kritik-kritik tersebut menunjukkan kelemahan-kelemahan dari ajaran biologi kriminil dan utk
sementara digantikan oleh Ajaran Lingkungan sebagai sebab utama timbulnya kejahatan. Uraian
terhdp teori Lombroso maupun terhadap kritik-kritik yang diajukan menunjukkan bahwa mereka
sama-sama sependapat bahwa penjahat sama dengan napi (bekas napi). Hal inilah yang
merupakan kelemahan mendasar dari kriminologi masa lampau.

b. Teori Psikologi kriminal

Usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari faktor psikis termasuk agak baru. Seperti
halnya Aliran Positivis pada umumnya, usaha mencari ciri-ciri psikis pada para penjht didasarkan
anggapan bahwa: “Penjahat merupakan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang
berbeda dengan orang-orang bukan penjahat dan ciri-ciri psikis tersebut terletak pada
intelegensinya yang rendah.”. Bagaimanapun juga Psikologi Kriminal haruslah didasarkan pada
psikologi itu sendiri, sedangkan psikologi termasuk ilmu yang perkembangannya agak lambat. Pd
umumnya ahli-ahli psikologi mengembangkan ilmunya dengan cara membagi manusia dalam tipe-
tipe tertentu (tipologi). Akan tetapi tipologi yang dihasilkan tersebut tidak bisa begitu saja
diterapkan pada para penjahat.

Psikologi Kriminal adalah mempelajari ciri-ciri psikis dari para pelaku kejahatan yang “sehat”
(sehat dalam pengertian psikologi). Karena konsep tentang jiwa yang sehat itu luas, maka
pembicaraan dimulai dari bentuk-bentuk gangguan mental (khususnya yang sering muncul pada
kasus-kasus kejahatan), selanjutnya mengenai Psikologi Kriminil dari pelaku kejahatan yang
“sehat”. Bentuk-bentuk gangguan mental berupa: (1) Psikoses, (2) Neuroses, dan (3) Cacat
Mental.

Ad. (1) PSIKOSES.


Dibedakan atas Psikoses Organis, dan Psikoses Fungsional.
1. Psikoses Organis.
Bentuk-bentuknya antara lain:
(a) Kelumpuhan umum dari otak, ditandai dengan kemerosotan terus-menerus dari
seluruh kepribadian, pada tingkat permulaan, maka perbuatan Kejahatam seperti pencurian,
penipuan, pemalsuan dengan terang-terangan dan penuh ketololan.
(b) Traumatik psikosis yang diakibatkan oleh luka pada otak disebabkan dari
kecelakaan (gegar otak). Penderita mudah gugup dan cenderung melakukan kejahatan
kekerasan.
(c) Epilepsi. Merupakan salah satu bentuk psikoses yang sangat terkenal, tetapi juga
salah satu bentuk psikoses yang sukar dipahami. Bentuk gangguan ini sangat bermacam-
macam.
2. Psiskoses Fungsional.
Bentuk yang terutama adalah:
(a) Paranoia. Penderitanya antara lain diliputi oleh khayalan (delusi), merasa hebat,
merasa dikejar-kejar.
(b) Manic-depressive Psikoses. Penderitanya menunjukkan tanda-tanda perubahan
dari kegembiraan yang berlebih-lebihan ke kesedihan. Keadaan yang demikian bisa
berlangsung berhari-hari bahkan berminggu-minggu atau lebih lama lagi. Kejahatan yang
dilakukan misalnya kejahatan kekerasan, bunuh diri, pencurian kecil-kecilan, penipuan,
pemabukan.
(c) Schizophrenia. Sering dianggap sebagai bentuk psikoses fungsional yang paling
banyak dan penting. Pada penderitanya ada kepribadian yang pecah. Melarikan diri dari
kenyataan. Hidup dengan fantasi, delusi, dan halusinasi. Tidak bisa memahami
lingkungannya. Kadang-kadang merasa ada orang yang menghipnotis dirinya.

Ad. (2) NEUROSES.


Perbedaan antara psikoses dan neuroses masih merupakan hal yang konroversi. Secara
statistik pelanggaran Hukum lebih banyak dilakukan oleh penderita neuroses daripada
psikoses. Berikut ini akan dibicarakan beberapa bentuk neuroses yang sering muncul di
Pengadilan:
(a) Anxiety Nueroses dan Phobia. Keadaannya ditandai dengan ketakutan yang tidak
wajar dan berlebih-lebihan terhadap adanya bahaya dari sesuatu atau pada sesuatu yang
tidak ada sama sekali. Jika dihubungkan dengan obyek atau ideologi tertentu disebut phobia.
(b) H i s t e r i a. Terhadap disosiasi antara dirinya dengan lingkungannya diberbagai
bentuk. Umumnya sangat egosentris, emosional, dan suka sombong (umumnya wanita).
(c) Obsessional dan Compulsive Neuroses. Penderita punya keinginan atau ide-ide
yang tidak rasional dan tidak dapat ditahan. Ini disebabkan ketakutan untuk melakukan
keinginan tersebut. (karena adanya norma-norma atau akibat-akibat tertentu). Bentuk-bentuk
Obsessional dan Compulsive Neuroses: kleptomania, discomania, fetishisme, exhibitonist,
pyromania. Penelitian tentang kleptomania oleh T.C.N. Gibben, pencurian di supermarket.

Ad. (3) CACAT MENTAL.


Pengertian cacat mental lebih ditekankan pada kekurangan intelegensia daripada karakter
atau kepribadiannya yang dilihat dari tinggi rendahnya I.Q. dan tingkat kedewasaannya.
Hubungan Cacat Mental dengan Kejahatan:
• Orang mencari hubungan cacat mental dengan
kejahatan, melalui pengujian secara statistik dan dengan cara sudi kasus.
• Bhw apakah cacat mental akan menjadi penjahat sebenarnya lebih banyak tergantung dari
pengaruh lingkungan sosialnya.

c. Teori Sosiologi Kriminal

 Obyek utama Sosiologi Kriminal menurut H.Mannheim adalah:


Membedakan teori-teori Sosial Kriminal ke dalam:
(a) Teori-teori yang berorientasi pada kelas sosial, yaitu teori-
Teori yang mencari sebanb-sebab kejahatan dari ciri-ciri kelas sosial., perbedaan kelas sosial,
serta konflik kelas-kelss sosial yang ada. Yang termasuk dalam teori ini: anomi dan teori-teori sub
budaya delinkuen.
(b) Teori-teori yg tidak berorientasi pada kelas sosial,
yaitu teori-teori yang membahas sebab-sebab kejahatan tidak dari kelas sosial tetapi dari aspek
yang lain, seperti lingkungan, kependudukan, kemiskinan, dsb. Yang termasuk dalam teori ini:
teori-teori ekologis, teori konflik kebudayaan, teori ekonomi, dan differential association.
d. Teori Subkultural Delikuensi

Teori ini diajukan oleh A.K.Cohen dalam Buku-nya “Delinquent Boys” (1955) yang membahas
kenakalan remaja di Amerika. Teori ini mencoba mencari sebab-sebab kenakalan remaja dari
perbedaan kelas di antara anak-anak yang diperolahnya dari keluarganya. Cohen menujukkan
adanya moralitas dan nilai-nilai yang berbeda di antara keluarga kelas menengah dengan kelas
pekerja seperti ambisi, tanggung jawab pribadi, pengendalian terhadap tindakan agresif,
perhargaan terhadap hak milik, dsb.
Dengan terjadinya pergaulan antara dua kelompok tersebut dapat menimbulkan konflik
dan kebingungan dari anak-anak kelompok pekerja sehingga menyebabkan timbulnya kenakalan
di antara anak-anak kelas pekerja. Beberapa tahun kemudian R.A.Cloward dan L.E.Ohlin dalam
bukunya Delinquency and Opportunity, A Theory of Delinquen Gang (1960) mencoba membahas
kenakalan remaja (geng) Amerika dengan menggunakan dasar-dasar teori yang dikemukakan oleh
Durkheim dan Merton dan teori-teori yang dikemukakan oleh Shawdan H.D.Mckay dan
E.H.Sutherland.
Dalam buku nya tersebut dia mengajukan teori yang diberi nama “ differential opportunity
system” yang membahas geng delikuen atau sub kultur yang banyak terdapat di antara anak-anak
laki-laki kelas bawah di daerah-daerah pusat kota-kota besar. Dalam teorinya tersebut dia
membedakan tiga bentuk sub kultur delinkuen, yaitu:
(a.) Criminali sub cultur, suatu bentuk geng yang terutama melakukan pencurian, pemerasan
dan bentuk kejahatan lain dengan tujuan untuk memperoleh uang,
(b.) Conflict sub cultur, suatu bentuk geng yang berusaha mencari status dengan
menggunakan kekerasan dan,
(c.) Retreatist sub cultur, suatu bentuk geng dengan ciri-ciri penarikan diri dari tujuan dan
peranan yang konvensional dan karena nya mencari pelarian dengan menggunakan
narkotika serta melakukan bentuk kejahatan yang berhubungan dengan itu.
e. Teori Labeling
Teori Labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak dipengaruhi aliran Chicago.
Dibandingkan dengan teori lainnya, teori labeling mempunyai beberapa spesifikasi, yaitu:
 Teori Labeling, merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori ini menggunakan
perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat ;
 Teori Labeling, menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya kejahatan, dengan
menggunakan self report study yaitu interview terhadap pelaku kejahatan yang tidak
tertangkap/tidak diketahui polisi.

Pada dasarnya, teori labeling dikorelasikan dengan buku Crime and the Community dari
Frank Tannenbaum (1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker (The Outsider, 1963),
Kai T. Erikson(Notes on the Sociology of Deviance, 1964), Edwin Lemert (Human Deviance
SocialProblem and Social Control, 1967) dan Edwin Schur (Labeling Deviant Behavioer, 1971).
Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label menekankan kepada dua aspek,
yaitu :

 Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label.
 Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku.

Dengan demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat.
Kemudian F.M. Lemer, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan tiga bentuk
penyimpangan, yaitu :
 Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkantekanan psikis dari dalam ;
 Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan ;dan
 Systematic deviation,  sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam sub-sub kultur atau
sistem tingkah laku
Lemertjuga membedakan antara penyimpangan primer (primary deviance) dan penyimpangan
sekunder (secondary deviance), yaitu :
 Penyimpangan primer  muncul dalam konteks sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan
hanya mempunyai efek samping bagi struktur fisik individu. Pada asasnya, penyimpangan primer
tidak mengakibatkan reorganisasi simbolis pada tingkat sikap diri dan peran sosial.
 Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang atau peran sosial yang berdasar pada
penyimpangan primer. Para ahli teori label mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder
adalah yang paling penting, karena merupakan proses interaksi antara orang yang dilabel dengan
pelabel dan pendekatanini sering disebut teori interaksi.
Menurut Howard S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum dengan pelaku kejahatan.
Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan kejahatan adalah reaksi kepadaorang lain terhadap
perilaku itu.
Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat/waktu ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan
siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya. Apabila dijabarkan, secara
gradual asumsi dasar teori labeling meliputi aspek-aspek
 Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal.
 Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau kelompok berkuasa.
 Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa ;
 Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan demikian oleh
penguasa.
 Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat dua
kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.
Menurut aliran ini, kejahatan terbentuk karena aturan-aturan lingkungan, sifat individualistik, serta
reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Karena adanya reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku, maka
dapat menimbulkan suatu perilaku yang jahat.
Bahwa pemberian sifat label, merupakn penyebab seorang menjadi jahat. Ada dua hal yang perlu
diperhatikan, dalam proses pemberian label :
 Adanya label akan menimbulkan perhatian masyarakat terhaap orang yang diberi label. Hal ini
akan menyebabkan masyarakat di sekitarnya memperhatikan terus menerus orang yang diberi
label tersebut, maka hal ini menurut kami akan terbentuk attachment partial.
 Adanya label, mungkin akan diterima oleh individu tersebut dan berusaha menjelankan
sebagaimana label yang diletakkan pada dirinya.
Khusus Teori Labeling dalam pendekatannya untuk mengatahui faktor-faktor penyebab terjadinya
kejahatan dapat dibedakan dalam dua bagian, Pertama;  persoalan tentang bagaimana dan mengapa
seorang memperoleh cap atau label, Kedua;  efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya.

f. Teori sobural
Teori sobural ( sosial, budaya, dan stuktural ) menekankan pada aspek kekerasan struktural yang
muncul karena adanya suatu dominasi kaum tertentu dalam suatu sistem sehingga menimbulkan
konflik. Ini muncul dengan sejalannya dengan perkembangan perekonomian yang terus berkembanng
khususnya di Indonesia.
BAB IV

PENOLOGY, CRIMANALOID DAN KORBAN KEJAHATAN

4.1 PENOLOGY

Penologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah penghukuman/pemidanaan serta system
atau cara bagaimana memperlakukan orang-orang yang sedang dalam menjalani hukuman
(narapidana). Tujuan mempelajari Penologi itu sendiri adalah agar mahasiswa dapat menguraikan
secara teoritis dasar-dasar dan tujuan dari penguhukuman/pemidanaa itu sendiri, dan mengetahui
konsep-konsep dasar system/cara memperlakukan narapidana di penjara serta kemampuan
menganalisa permasalahan

Hubungan penologi dengan ilmu lainnya

a. Penologi dengan Kriminonogi

Kriminologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang kejahatan dan upaya penanggulannya,
sedangkan penelogi merupakan bagian dari kriminologi, sehingga menunjang kriminologi itu
sendiri. Objek kriminologi kejahatan yang secara konkrit terjadi sebagai gejala masyarakat
dan pelaku kejahatan itu, sedangkan penelogi obyeknya pelanggar hokum/tahanan,
terpidana/narapidana. Tujuan kriminologi adalah memahami sebab terjadinya kejahatan dan
upaya penanggulangannya, sedangkan tujuan penelogi memahami tentang pidana dan
pemidanaan dan mengetahui tentang pelaksanaan pembinaan naripidana.

b. Penologi dengan Ilmu Kedokteran Forensik

Ilmu kedokteran forensic menentukan keadaan fisik sebab mati dan lain-lain sehingga
dalam hal ini sangat mempengaruhi putusan berhubungan dengan pembinaan (penologi).

c. Penologi dengan Hukum Pidana

Posisi penologi dalam hokum pidana sangat strategis karena penology sangat
menentukan dalam berhasilnya pemberian sanksi kepada pelaku. Sanksi apa yang tepat
untuk pelaku? Serta bagaimana pelaksanaannya dalam hukum pidana menjadi sasaran
penologi.
d. Penologi dengan Psikiatri Kehakiman

Psikiatri sangat membantu penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim didalam
menanggani kejahatan yang berkaitan dengan keselamatan jiwa orang. Dalam hal ini hakim
memerlukan keterangan dari psikiatri dan ketika ada orang yang menjelaskan istilah-istilah
tertentu Hakim Jaksa dan Pengacara tidak terlalu buta. Selain itu dalam hala ini akan
berperan penting dalam pembinaan kepada narapidana, akan menjadi lebih tepat.

4.1.1 Pidana

Pengertian pidana menurut beberapa ahli :

 Mulyatno

Memberikan istilah pidana dengan Hukuman (straft) sedangkan istilah dihukum  atau
pemidanaan disebut dengan wordt getraft. Dengan demikian dihukum berarti diterapi hukum baik
hukum pidana maupun hukum perdata, sedangkan hukuman adalah hasil atau akibat dari
penerapan hukum tadi yang mencakuo juga kepastian hakim dalam lapangan hukum perdata.

 Sudarto

Penghukuman berasal dari kata dasar hukum sehingga dapat diartikan dengan
menerapkan hukum atau memutus tentang hukumnya. Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa
tidak hanya menyangkut bidang ukum pidana saja tetapi juga dalam hukum perdata. Oleh karena
itu istilah penghukuman dapat disempitkan artinya yakni penghukuman didalam perkara pidana.
Penyempitan arti penghukuman dalam perkara pidana sinonim dengan perkataan pemidanaan
atau penjatuhan pidana oleh hakim.

Dari pendapat kedua sarjana tersebut dengan demikian penyebutan antara pidana dengan
hukuman lebih tepat dengan sebutan istilah pidana lebih tepat dengan sebutan istilah pidana.
Dengan demikian ada yang di sebut pidana mati, pidana penjara, pidana denda., dsb. Demikian
pula dengan penyebutan penjatuhan sanksi dalam perkara pidana sering disebut pemidanaan,
sekalipun dapat dibedakan pengertian antara hukuman dan pidana atau disebut pemidanaan.
Sekalipun dapat dibedakan pengertian antara hukuman dan pidana atau penghukuman atau
pemidanaan namun keduanya mempunyai sifat yang sama yaitu keduanya mempunyai sifat
berlatarbelakang tata nilai dalam masyarakat. Nilai – nila tersebut antara lain mengenai baik dan
tidak baik, bersusila dan tidak bersusila, diperbilehkan dan dilarang., dsb.

4.1.2 Pemidanaan

Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan hakim
penting sekali. Ia mengkonkritkan saksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan
menjatuhkan pidana kepada terdakwa dalam kasus tertentu. System pemidanaan yang dianut
dalam KUHP bersifat alternative artinya hakim hanya boleh menjatuhkan satu jenis pidana pokok
terhadap terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan
kepadanya, misalnya pidana penjara digabungkan dengan pidana kurungan atau denda. Dengan
demikian tidak dikenal adanya komulasi sanksi pidana pokok.

Berbeda halnya dengan sistem pemidanaan yang dianut dalam Tindak Pidana khusus,
seperti Korupsi dan lain sebagai. Tindak Pidana khusus menganut komulatif (komulasi) dimana
hakim dapat menjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus terhadap terdakwa yang terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, misalnya pidana penjara dan
pidana denda, kurungan dengan denda. Dengan demikian  dikenal adanya komulasi sanksi pidana
pokok.

4.2 Ocaccasial criminal atau criminaloid

Pengertian Ocaccasial criminal atau criminaloid adalah pelaku kejahatan yang berdasarkan pada
pengalaman yang terus menerus sehingga mempngaruhi pribadinya. Sedangkan menurut Moh. Kemal
Darmawan, (1994: 54-55) Tipe “criminaloid”, merupakan golongan terbesar dari penjahat yang terdiri
atas orang-orang yang tidak menderita penyakit jiwa yang nampak, akan tetapi yang mempunyai
susunan mental dan emosional yang sedemikian rupa sehingga dalam keadaan tertentu mereka
melakukan perbuatan yang kejam dan jahat.

4.3 Korban Kejahatan

Korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung
menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi
diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan
langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi
penderitaan atau untuk mencegah viktimisasi. Yang dinamakan korban tindak pidana kejahatan antara
lain:
a. korban langsung (Direct victim)

korban langsung (Direct victim) yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan
dengan adanya tindak pidana kejahatan. Dimana korban langsung ini mempunyai karakteristik antara
lain :

 korban adalah orang, baik secara individu atau secara kolektif

 menderita kerugian (menurut Arief Gosita” menderita jasmaniah dan rohaniah) termasuk luka-
luka fisik; luka-luka ringan; kehilangan pendapatan; penindasan terhadap hak-hak dasar
manusia

 cdisebabkan oleh adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana

 atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan

b. korban tidak langsung (indirect victims)


korban tidak langsung (indirect victims) yaitu timbulnya korban akibat dari turut campurnya
seseorang dalam membantu korban langsung atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban
atau mereka yang menggantungkan hidupnya kepada korban langsung, seperti istri/suami, anak
dan keluarga terdekat.

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi
korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu
sebagai berikut :

 nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan
kejahatan

 latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung
menjadi korban

 procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan


 participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi
korban

 False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.

Tipologi korban sebagaimana dikemukakan diatas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang
diindentifikasikan menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut :39).

 unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku,
misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggungjawab sepenuhnya
terletak pada pelaku

 provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban,
misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku

 participating victims, yaitu seorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru
mendorong dirinya menjadi korban

 biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang
menyebabkan ia menjadi korban

 socially weak victims, yaitu mereka yang mempunyai kedudukan sosial yang lemah yang
menyebabkan ia menjadi korban

 self victimizing victim, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya
sendiri, misalnya korban narkoba, judi, aborsi, prostitusi.

Kemudian Sellin dan Wolfgang sebagaimana dikutip Suryono Ekotama dkk, mengelompokkan
korban sebagai berikut.

 primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan

 secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum

 Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas

 No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui misalnya konsumen yang tertipu
dalam menggunakan suatu produksi masyarakat
Dengan demikian korban tindak pidana kejahatan adalah sebagai manusia yang menderita dan
mempunyai hak-hak asasi yang perlu dilindungi oleh ketentuan-ketentuan dasar yang bersifat nasional dan
internasional.

Anda mungkin juga menyukai