RANGKUMAN
Criminology merupakan ilmu pengetahuan yang baru berkembang pada abad ke 19, bersamaan
dengan berkembangnya sosiologi. Kelahiran criminology didorong oleh aliran positivisme. Tapi elemen-
elemen criminology telah dikenalkan oleh para filosof yunani kuno yaitu plato (427-347 SM ) dalam
bukunya Republiec, antara lain menyatakan bahwa gold human merupakan sumber crimen merupakan
sumber crimen. Kelahiran criminology sebagai ilmu pengetahuan,karena pidana baik materiil maupun
formal serta system penghukuman sudah tidak efektif lg untuk mencegah dan membrantas kejahatan,
bahkan kejahatan semakin meningkat dalam berbagai aspek kehidupan.dengan tidak efektifnya hukum
pidana ,maka para ahli piker mulai mengadakan penelitian bukan pada aturan-aturan hukum yang
mengenai kejahatan atau bertalian dengan pidana,tapi objeknya adalah orang yang melakukan kejahatan
itu sendiri.
a. Pengertian
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Sedangkan Menurut beberapa ahli
pengertian Kriminologi sanga beragam. Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat
pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk di dalamnya proses
pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang, dan reaksi terhadap pelanggaran undang-
undang, Sedangkan menurut Michel dan Adler, berpendapat, kriminologi adalah keseluruhan keterangan
mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka dengan cara mereka secara resmi
diperlukan oleh lembaga-lembaga penerbit masyarakat. Sedangkan menurut Wolfgang, Savitya dan
Johnston dalam buku The Sociology of Crime and Delinquency, memberi pengertian sebagai kumpulan
ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan mengenai gejala
kejahatan dengan jalan mengadakan penelitian data kejahatan menganalisis secara ilmiah keterangan-
keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan factor-faktor kausal yang berhubungan dengan
kejahatan,pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.
Melihat beberapa pendapa para ahli tentang kriminologi maka dapat diambil kesimpulan bahwa
kriminologi masuk dan terletak dalam kelompok ilmu pengatuhan social. Dalam realita,kejahatan tidak
hanya berkaitan dengan hukum pidana,tapi juga terdapat hubungan baik dengan norna-norma agama,ada
masyarakat yang menerapkan norma-norna adapt kebiasaan yang telah ditentukan oleh nenek
moyangnya.
b. Tujuan
Secara umum kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, sehingga
pemahaman tentang fenomena kejahatan akan bisa diperoleh dengan baik. berkembangnya kriminologi
dan semakin maraknya pemikiran-pemikiran kritis yang mengarah pada studi untuk mempelajari proses-
proses pembuatan undang-undang, maka penting bagi mahasiswa fakultas hukum untuk mempelajari
kriminologi, agar dapat diperoleh pemahaman yang baik tentang fenomena kejahatan dan juga masalah
hukum pada umumnya. Tujuan secara kongkrit untuk :
2. Bahan masukan bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan pencegahan
kejahatan non penal terutama Polri.
Ruang Lingkup Kriminologi menurut A.S. Alam terdapat tiga hal pokok ruang lingkup
pembahasan kriminologi, yaitu :
Objek Studi Kriminologi menurut Sutherland (1960) membagi kriminologi dalam tiga bidang ilmu, yaitu :
2. etiologi kriminal yang betugas mencari penjelasan tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan
secara analisis ilmiah.
3. penologi artinya ilmu pengetahuan tentang terjadinya atau berkembangnya hukuman, dan
manfaatnya yang berhubungan dengan upaya pengendalian kejahatan (control of crime).
Pendapat Sutherland yang membatasi kejahatan hanya dalam perbuatan yang terdapat dalam
hukum pidana mendapat kritikan dari Mannheim dan Thorstein Sellin yang menyatakan bahwa
kriminologi harus diperluas lagi dengan memasukan norma-norma tingkah laku. Sedangkan objek studi
kriminologi menurut Manheim yaitu tidak saja perbuatan yang oleh penguasa dinyatakan dilarang
tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai, meskipun perbuatan tersebut
tidak atau belum tercantum dalam hukum pidana.
Metode yang dipergunakan adalah adalah metode kualitatif dan metode kuantitatif dengan
menerapkan statistik kriminil. Penelitian kualitatif ditandai oleh fakta bahwa :
d) Sementara banyak metode yang berbeda dari metode kuantitatif, maka yang lainnya tidak.
Proses analisis kualitatif melalui proses siklus dari analisis yang berkelanjutan mengalami tiga fase,
yaitu:
Tingkat 1: reduksi data
Dalam tingkat ini menunjukan proses manipulasi, interasi, transformasi dan sorotan dari
data, sementara data tersebut dipresentasikan. Peringkasan, pengkodean, dan pengkategorian
adalah beberapa cara yang dilakukan. Reduksi data membantu mengidentifikasi aspek yang
penting dari pokok masalah dalam pertanyaan, memfokuskan pengumpulan data, contoh dan
metode sampai kesimpulan.
Dalam tingkat ini merupakan proses pemasangan informasi yang mengelilingi judul dan
poin tertentu. Pengategorian informasi dalam arti yang lebih spesifik dan presentasi hasil dalam
beberapa bentuk seperti teks, matriks, bagan dan grafik.
Tingkat 3: interpretasi
Dalam tingkat ini termasuk pengambilan keputusan dan penggambaran keputusan yang
berhubungan dengan pertanyaan penelitian. Penelitian yang berlanjut sampai kejenuhan telah
dicapai.
Metode kuantitatif
Objektifitas biasanya dilakukan untuk mengurangi penilaian pribadi dan prasangka. Peneliti
menggunakan metode kuantitatif terdapat dua yaitu Penelitian kelompok pertama mendukung
objektifitas yang percaya pada nilai-nilai netral. Peneliti kedua adalah menolak dan tidak percaya pada
apa yang disebut sebagai norma.
Value neutrality, penelitian harus dibatasi dalam prasangka dirinya. Peneliti diajarkan untuk menjadi
tekhnisi atau konsultan dan bukan sebagai pembaharuan. Pandangan pribadi peneliti haruslah dibuang
jauh dari penelitian. Prinsip utama dari objektifitas yaitu:
a) Nilai yang bebas, tujuannya untuk mempelajari apa dan bukan bagaimana seharusnya, untuk
alasan ini, struktur teori dan penelitian haruslah berpegang pada prinsip menyeluruh dan kenetralan
dan mencoba untuk mencapai tingkat tertinggi yang mungkin terhadap objektifitas.
b) Peneliti sosial harus menjadi penilai yang bebas, yaitu mereka harus menghilangkan penilaian
pribadi dan mengesampingkan pandangan subjektif pada saat bekerja sebagai seorang akademisi.
c) Penilaian haruslah digunakan untuk politisi, yang lebih dikenal dengan keseluruhan proses
sosial dan kehidupan sosial dan bukan dari peneliti sosial.
Landasan bagi lahirnya teori- teori dalam kriminologi menurut Santoso (2009) yaitu:
a. SPIRITUALISME
Dalam perkembangan selanjutnya aliran spiritualime ini masuk dalam lingkungan dalam
pergaulan politik dan sosial kaum feodal.landasan pemikiran paling rasional dari perkembangan
ini adalah bahwa pada periode sebelumnya kejahatan dianggap sebagai permasalahan antara
korban dengan pelaku dan keluarganya. Akibatnya adalah konflik berkepanjangan antara
keluarga yang dapat mengakibatkan musnahnya keluarga tesebut. Juga menjadi suatu masalah
adalah bahwa pelaku kejahatan yang berasal dari keluarga yang menmiliki posisi kuat dalam
masyarakat tidak akan dapat dihukum. Sebagai upaya pemacahan terhadap permasalahan
tersebut, maka masyarakat membentuk lembaga- lembaga yang dapat menjadi dasar pembenar
terhadap upaya pembalasan terhadap seseorang yang telah meakukan kejahatan. Konsep carok
misalnya dikenal dalam masyarakat Madura. Konsep perang tanding antara keluarga yang
menjadi korban dengan keluarga pelaku merupakan wadah pembalasan dendam da kerugian
dari pihak korban. Dalam hal ini ada suatu kepercayaan dari masyarakat bahwa kebenaran akan
selalu menang dan kejahatan pasti akan mengalami kebinasaan. Namun akibat lain dari
kepercayaan ini adalah bila keluarga pelaku memenangkan pertarungan tersebut maka mereka
akan dianggap benar dan keluarga korban mengalami celaan ganda.
Meski dalam kenyataan dimasyarakat dapat dilihat secara nyata bahwa penjelasan
spiritual ini ada dan berlaku dalam berbagai bentuk dan tingkat kebudayaan, namun aliran ini
memiliki kelemahan yaitu bahwa penjelasan ini tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.
b. NATURALISME
Naturalisme merupakan model pendekatan lain yang ada sejak berabad- abad yang lalu.
Adalah “ Hippocrates” (460 SM) yang menyatakan bahwa “ the Brain is organ of the mind” .
perkembangan paham rasional yang muncul dari perkembangan ilmu alam setelah abad
pertengahan menyebabkan manusia mencari model penjelasan lain yang lebih rasional dan
mampu dibuktikan secara ilmiah. Dalam perjalanan sejarah kedua model penjelasan ini
beriringan meski bertolak belakang. Lahirnya rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini
mendominasi peikiran tentang kejahatan pada abad selanjutnya. Dalam perkembangan lahirnya
teori- teori tentang kejahatan, maka dapat dibagi dalam tiga mazhab atau aliran yaitu:
MASHAB KLASIK
Beberapa prinsip dari beccaria mengenai sistem keadilan dalam buku tersebut di atas
adalah sebagai berikut (vold,1979;23-25)
Mazhab neo- klasik ini tidak menyimpang dari konsepsi- konsepsi umum tentang sifat- sifat
manusia yang berlaku pada waktu itu di Eropa. Doktrin dasarnya tetap, yaitu bahwa manusia
adalah makhluk yang mempunyai ratio, yang berkehendak bebas, dan yang karenanya
bertanggung jawab atas perbuatan- perbuatannya. Dan yang dapat dikontrol oleh rasa
ketakutannya terhadap hukuman. Ciri khas mazhab Neo- Klasik adalah:
adanya perlunakan/ perubahan pada doktrin kehendak bebas kebebasan kehendak untuk
memiliki dapat dipengaruhi oleh patologi dan premeditas.
pengakuan daripada sahnya keadaan yang memperlunak
perubahan doktrin tanggung jawab sempurna untuk memungkinkan perlunakan hukuman
yang menjadi tanggung jawab sebagian saja.
dimasukkannya persaksian/ keterangan ahli di dalam acara pengadilan untuk menentukan
besarnya tanggung jawab dan apakah siterdakwa mampu memilih antara yang benar dan
yang salah.
BAB III
Mencari sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis dipelopori oleh ahli-ahli frenologi seperti Gall (1758-
1828) dan Spurzheim (1776- 1832), mencoba mencari hubungan bentuk tengkorak kepala denga
tingkah laku. Mereka mendasarkan pada pendapat Aristoteles, “bahwa otak merupakan organ dari
akal.”. Ajaran ahli-ahli frenologis ini mendasarkan pada preposisi dasar:
(1) Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang ada didalamnya dan bentuk dari
otak, dan
(2) Akal yang terdiri dari kemampuan atau kecakapan,
(3) Kemampuan atau kecakapan ini berhubungan dangan bentuk otak dan tengkorak kepala.
Oleh karena “otak” merupakan “organ dari akal” sehingga “benjolan-benjolan”-nya
merupakan petunjuk dari kemampuan atau kecakapan tertentu dari “organ”.
Studi ini telah membuka jalan bagi mereka yang mencari hubungan antara kejahatan dengan ciri-
ciri biologis.
C.Lombroso (1835-1909),
Dipandang sebagai “Bapak Kriminologi” modern dan pelopor mazhab Positive. Ajaran
Lombroso sekarang hanya berarti bagi sejarah perkembangan kriminologi.
Pokok-pokok ajaran Lombroso:
(1) Menurut Lombroso, pejahat adalah orang yang punya bakat jahat.
(2) Bakat jahat tersebut diperoleh karena kelahiran (diwariskan dari nenek moyang).
(3) Bakat jahat tertentu dapat dilihat dari ciri-ciri biologis tertentu, seperti muka tidak simetris,
bibir tebal, hidung pesek.
(4) Bahwa bakat jahat tersebut tidak dapat diubah atau tidak dapat dipengaruhi.
Dlm mengajukan teorinya tersebut, Lombroso menggunakan teori evolusi Darwin serta
menggunakan hipotesa Atavisme (keturunan). Menurut Lombroso, kejahatan adalah
perbuatan yang melanggar Hukum Alam ( Natural Law). Pengaruh teori Lombroso:
Positif, para ahli hukum pidana bisa berpandangan, bahwa penjahat sebagai subyek dan
bukan sebagai obyek belaka, sehingga ada perhatian terhadap aspek subyektif dari
pelaku; juga sebagai mendorong perkembangan ilmu psikiatri.
Negatif, penegak.hukum (Hakim) bisa berprasangka atau sikap, bahwa terdakwa
dianggap memiliki ciri-ciri penjahat, sehingga merugikan kepentingannya.
E. Ferry (1856-1928),
Yang adalah murid Lombroso, berusaha menyelamatkan ajaran Lombroso dengan mengakui
pengaruh lingkungan dalam terjadinya kejahatan. Ferry mengajukan rumus tetang timbulnya
kejahatan, bahwa “Tiap-tiap kejahatan dihasilkan dari keadaan individu, fisik, dan sosial”, yaitu:
Individu dipecah menjadi Bakat dan Lingkungan, sedangkan sosial adalah lingkungan manusia &
fisik lingkungan alam, sehingga formulanya menjadi :
Oleh Ferry, penjahat diartikan sebagai bakat jahat. Meski Ferry mengakui pengaruh lingkungan
terhadap kejahatan, namun baginya, faktor yang menentukan terjadinya kejahatan tetap dari bakat
(jahat), sedangkan lingkungan hanya memberikan bentuk kejahatan. Jadi jelas bahwa Ferry
pendukung utama ajaran Lombroso. Kritik terhadap ajaran Ferry seperti A.Quetelet yg mengajukan
“variasi individu” (juga Bouger); juga penelitian-penelitian oleh beberapa sarjana, seperti
Manouvrier dan Goring, bahwa skala-slaka yang digunakan Lombroso mengenai penjahat juga
terdapat pada banyak kelompok lain seperti mahasiswa, jururawat, polisi, bahkan militer.
Penelitian lain misal untuk menjawab persoalan apakah kejahatan itu ciri-ciri yang diwariskan, yaitu
dilakukan dengan cara mengurut keturunan (silsilah) (Seperti yang dilakukan oleh Dugdale dan
Estabrook terhadap keluarga Juke, dihubungkan dengan penelitian terhadap keluarga Jonathan
Edward).
Kritik-kritik tersebut menunjukkan kelemahan-kelemahan dari ajaran biologi kriminil dan utk
sementara digantikan oleh Ajaran Lingkungan sebagai sebab utama timbulnya kejahatan. Uraian
terhdp teori Lombroso maupun terhadap kritik-kritik yang diajukan menunjukkan bahwa mereka
sama-sama sependapat bahwa penjahat sama dengan napi (bekas napi). Hal inilah yang
merupakan kelemahan mendasar dari kriminologi masa lampau.
Usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari faktor psikis termasuk agak baru. Seperti
halnya Aliran Positivis pada umumnya, usaha mencari ciri-ciri psikis pada para penjht didasarkan
anggapan bahwa: “Penjahat merupakan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang
berbeda dengan orang-orang bukan penjahat dan ciri-ciri psikis tersebut terletak pada
intelegensinya yang rendah.”. Bagaimanapun juga Psikologi Kriminal haruslah didasarkan pada
psikologi itu sendiri, sedangkan psikologi termasuk ilmu yang perkembangannya agak lambat. Pd
umumnya ahli-ahli psikologi mengembangkan ilmunya dengan cara membagi manusia dalam tipe-
tipe tertentu (tipologi). Akan tetapi tipologi yang dihasilkan tersebut tidak bisa begitu saja
diterapkan pada para penjahat.
Psikologi Kriminal adalah mempelajari ciri-ciri psikis dari para pelaku kejahatan yang “sehat”
(sehat dalam pengertian psikologi). Karena konsep tentang jiwa yang sehat itu luas, maka
pembicaraan dimulai dari bentuk-bentuk gangguan mental (khususnya yang sering muncul pada
kasus-kasus kejahatan), selanjutnya mengenai Psikologi Kriminil dari pelaku kejahatan yang
“sehat”. Bentuk-bentuk gangguan mental berupa: (1) Psikoses, (2) Neuroses, dan (3) Cacat
Mental.
Teori ini diajukan oleh A.K.Cohen dalam Buku-nya “Delinquent Boys” (1955) yang membahas
kenakalan remaja di Amerika. Teori ini mencoba mencari sebab-sebab kenakalan remaja dari
perbedaan kelas di antara anak-anak yang diperolahnya dari keluarganya. Cohen menujukkan
adanya moralitas dan nilai-nilai yang berbeda di antara keluarga kelas menengah dengan kelas
pekerja seperti ambisi, tanggung jawab pribadi, pengendalian terhadap tindakan agresif,
perhargaan terhadap hak milik, dsb.
Dengan terjadinya pergaulan antara dua kelompok tersebut dapat menimbulkan konflik
dan kebingungan dari anak-anak kelompok pekerja sehingga menyebabkan timbulnya kenakalan
di antara anak-anak kelas pekerja. Beberapa tahun kemudian R.A.Cloward dan L.E.Ohlin dalam
bukunya Delinquency and Opportunity, A Theory of Delinquen Gang (1960) mencoba membahas
kenakalan remaja (geng) Amerika dengan menggunakan dasar-dasar teori yang dikemukakan oleh
Durkheim dan Merton dan teori-teori yang dikemukakan oleh Shawdan H.D.Mckay dan
E.H.Sutherland.
Dalam buku nya tersebut dia mengajukan teori yang diberi nama “ differential opportunity
system” yang membahas geng delikuen atau sub kultur yang banyak terdapat di antara anak-anak
laki-laki kelas bawah di daerah-daerah pusat kota-kota besar. Dalam teorinya tersebut dia
membedakan tiga bentuk sub kultur delinkuen, yaitu:
(a.) Criminali sub cultur, suatu bentuk geng yang terutama melakukan pencurian, pemerasan
dan bentuk kejahatan lain dengan tujuan untuk memperoleh uang,
(b.) Conflict sub cultur, suatu bentuk geng yang berusaha mencari status dengan
menggunakan kekerasan dan,
(c.) Retreatist sub cultur, suatu bentuk geng dengan ciri-ciri penarikan diri dari tujuan dan
peranan yang konvensional dan karena nya mencari pelarian dengan menggunakan
narkotika serta melakukan bentuk kejahatan yang berhubungan dengan itu.
e. Teori Labeling
Teori Labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak dipengaruhi aliran Chicago.
Dibandingkan dengan teori lainnya, teori labeling mempunyai beberapa spesifikasi, yaitu:
Teori Labeling, merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori ini menggunakan
perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat ;
Teori Labeling, menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya kejahatan, dengan
menggunakan self report study yaitu interview terhadap pelaku kejahatan yang tidak
tertangkap/tidak diketahui polisi.
Pada dasarnya, teori labeling dikorelasikan dengan buku Crime and the Community dari
Frank Tannenbaum (1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker (The Outsider, 1963),
Kai T. Erikson(Notes on the Sociology of Deviance, 1964), Edwin Lemert (Human Deviance
SocialProblem and Social Control, 1967) dan Edwin Schur (Labeling Deviant Behavioer, 1971).
Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label menekankan kepada dua aspek,
yaitu :
Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label.
Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku.
Dengan demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat.
Kemudian F.M. Lemer, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan tiga bentuk
penyimpangan, yaitu :
Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkantekanan psikis dari dalam ;
Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan ;dan
Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam sub-sub kultur atau
sistem tingkah laku
Lemertjuga membedakan antara penyimpangan primer (primary deviance) dan penyimpangan
sekunder (secondary deviance), yaitu :
Penyimpangan primer muncul dalam konteks sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan
hanya mempunyai efek samping bagi struktur fisik individu. Pada asasnya, penyimpangan primer
tidak mengakibatkan reorganisasi simbolis pada tingkat sikap diri dan peran sosial.
Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang atau peran sosial yang berdasar pada
penyimpangan primer. Para ahli teori label mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder
adalah yang paling penting, karena merupakan proses interaksi antara orang yang dilabel dengan
pelabel dan pendekatanini sering disebut teori interaksi.
Menurut Howard S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum dengan pelaku kejahatan.
Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan kejahatan adalah reaksi kepadaorang lain terhadap
perilaku itu.
Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat/waktu ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan
siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya. Apabila dijabarkan, secara
gradual asumsi dasar teori labeling meliputi aspek-aspek
Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal.
Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau kelompok berkuasa.
Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa ;
Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan demikian oleh
penguasa.
Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat dua
kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.
Menurut aliran ini, kejahatan terbentuk karena aturan-aturan lingkungan, sifat individualistik, serta
reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Karena adanya reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku, maka
dapat menimbulkan suatu perilaku yang jahat.
Bahwa pemberian sifat label, merupakn penyebab seorang menjadi jahat. Ada dua hal yang perlu
diperhatikan, dalam proses pemberian label :
Adanya label akan menimbulkan perhatian masyarakat terhaap orang yang diberi label. Hal ini
akan menyebabkan masyarakat di sekitarnya memperhatikan terus menerus orang yang diberi
label tersebut, maka hal ini menurut kami akan terbentuk attachment partial.
Adanya label, mungkin akan diterima oleh individu tersebut dan berusaha menjelankan
sebagaimana label yang diletakkan pada dirinya.
Khusus Teori Labeling dalam pendekatannya untuk mengatahui faktor-faktor penyebab terjadinya
kejahatan dapat dibedakan dalam dua bagian, Pertama; persoalan tentang bagaimana dan mengapa
seorang memperoleh cap atau label, Kedua; efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya.
f. Teori sobural
Teori sobural ( sosial, budaya, dan stuktural ) menekankan pada aspek kekerasan struktural yang
muncul karena adanya suatu dominasi kaum tertentu dalam suatu sistem sehingga menimbulkan
konflik. Ini muncul dengan sejalannya dengan perkembangan perekonomian yang terus berkembanng
khususnya di Indonesia.
BAB IV
4.1 PENOLOGY
Penologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah penghukuman/pemidanaan serta system
atau cara bagaimana memperlakukan orang-orang yang sedang dalam menjalani hukuman
(narapidana). Tujuan mempelajari Penologi itu sendiri adalah agar mahasiswa dapat menguraikan
secara teoritis dasar-dasar dan tujuan dari penguhukuman/pemidanaa itu sendiri, dan mengetahui
konsep-konsep dasar system/cara memperlakukan narapidana di penjara serta kemampuan
menganalisa permasalahan
Kriminologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang kejahatan dan upaya penanggulannya,
sedangkan penelogi merupakan bagian dari kriminologi, sehingga menunjang kriminologi itu
sendiri. Objek kriminologi kejahatan yang secara konkrit terjadi sebagai gejala masyarakat
dan pelaku kejahatan itu, sedangkan penelogi obyeknya pelanggar hokum/tahanan,
terpidana/narapidana. Tujuan kriminologi adalah memahami sebab terjadinya kejahatan dan
upaya penanggulangannya, sedangkan tujuan penelogi memahami tentang pidana dan
pemidanaan dan mengetahui tentang pelaksanaan pembinaan naripidana.
Ilmu kedokteran forensic menentukan keadaan fisik sebab mati dan lain-lain sehingga
dalam hal ini sangat mempengaruhi putusan berhubungan dengan pembinaan (penologi).
Posisi penologi dalam hokum pidana sangat strategis karena penology sangat
menentukan dalam berhasilnya pemberian sanksi kepada pelaku. Sanksi apa yang tepat
untuk pelaku? Serta bagaimana pelaksanaannya dalam hukum pidana menjadi sasaran
penologi.
d. Penologi dengan Psikiatri Kehakiman
Psikiatri sangat membantu penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim didalam
menanggani kejahatan yang berkaitan dengan keselamatan jiwa orang. Dalam hal ini hakim
memerlukan keterangan dari psikiatri dan ketika ada orang yang menjelaskan istilah-istilah
tertentu Hakim Jaksa dan Pengacara tidak terlalu buta. Selain itu dalam hala ini akan
berperan penting dalam pembinaan kepada narapidana, akan menjadi lebih tepat.
4.1.1 Pidana
Mulyatno
Memberikan istilah pidana dengan Hukuman (straft) sedangkan istilah dihukum atau
pemidanaan disebut dengan wordt getraft. Dengan demikian dihukum berarti diterapi hukum baik
hukum pidana maupun hukum perdata, sedangkan hukuman adalah hasil atau akibat dari
penerapan hukum tadi yang mencakuo juga kepastian hakim dalam lapangan hukum perdata.
Sudarto
Penghukuman berasal dari kata dasar hukum sehingga dapat diartikan dengan
menerapkan hukum atau memutus tentang hukumnya. Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa
tidak hanya menyangkut bidang ukum pidana saja tetapi juga dalam hukum perdata. Oleh karena
itu istilah penghukuman dapat disempitkan artinya yakni penghukuman didalam perkara pidana.
Penyempitan arti penghukuman dalam perkara pidana sinonim dengan perkataan pemidanaan
atau penjatuhan pidana oleh hakim.
Dari pendapat kedua sarjana tersebut dengan demikian penyebutan antara pidana dengan
hukuman lebih tepat dengan sebutan istilah pidana lebih tepat dengan sebutan istilah pidana.
Dengan demikian ada yang di sebut pidana mati, pidana penjara, pidana denda., dsb. Demikian
pula dengan penyebutan penjatuhan sanksi dalam perkara pidana sering disebut pemidanaan,
sekalipun dapat dibedakan pengertian antara hukuman dan pidana atau disebut pemidanaan.
Sekalipun dapat dibedakan pengertian antara hukuman dan pidana atau penghukuman atau
pemidanaan namun keduanya mempunyai sifat yang sama yaitu keduanya mempunyai sifat
berlatarbelakang tata nilai dalam masyarakat. Nilai – nila tersebut antara lain mengenai baik dan
tidak baik, bersusila dan tidak bersusila, diperbilehkan dan dilarang., dsb.
4.1.2 Pemidanaan
Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan hakim
penting sekali. Ia mengkonkritkan saksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan
menjatuhkan pidana kepada terdakwa dalam kasus tertentu. System pemidanaan yang dianut
dalam KUHP bersifat alternative artinya hakim hanya boleh menjatuhkan satu jenis pidana pokok
terhadap terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan
kepadanya, misalnya pidana penjara digabungkan dengan pidana kurungan atau denda. Dengan
demikian tidak dikenal adanya komulasi sanksi pidana pokok.
Berbeda halnya dengan sistem pemidanaan yang dianut dalam Tindak Pidana khusus,
seperti Korupsi dan lain sebagai. Tindak Pidana khusus menganut komulatif (komulasi) dimana
hakim dapat menjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus terhadap terdakwa yang terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, misalnya pidana penjara dan
pidana denda, kurungan dengan denda. Dengan demikian dikenal adanya komulasi sanksi pidana
pokok.
Pengertian Ocaccasial criminal atau criminaloid adalah pelaku kejahatan yang berdasarkan pada
pengalaman yang terus menerus sehingga mempngaruhi pribadinya. Sedangkan menurut Moh. Kemal
Darmawan, (1994: 54-55) Tipe “criminaloid”, merupakan golongan terbesar dari penjahat yang terdiri
atas orang-orang yang tidak menderita penyakit jiwa yang nampak, akan tetapi yang mempunyai
susunan mental dan emosional yang sedemikian rupa sehingga dalam keadaan tertentu mereka
melakukan perbuatan yang kejam dan jahat.
Korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung
menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi
diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan
langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi
penderitaan atau untuk mencegah viktimisasi. Yang dinamakan korban tindak pidana kejahatan antara
lain:
a. korban langsung (Direct victim)
korban langsung (Direct victim) yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan
dengan adanya tindak pidana kejahatan. Dimana korban langsung ini mempunyai karakteristik antara
lain :
menderita kerugian (menurut Arief Gosita” menderita jasmaniah dan rohaniah) termasuk luka-
luka fisik; luka-luka ringan; kehilangan pendapatan; penindasan terhadap hak-hak dasar
manusia
cdisebabkan oleh adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi
korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu
sebagai berikut :
nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan
kejahatan
latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung
menjadi korban
False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.
Tipologi korban sebagaimana dikemukakan diatas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang
diindentifikasikan menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut :39).
unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku,
misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggungjawab sepenuhnya
terletak pada pelaku
provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban,
misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku
participating victims, yaitu seorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru
mendorong dirinya menjadi korban
biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang
menyebabkan ia menjadi korban
socially weak victims, yaitu mereka yang mempunyai kedudukan sosial yang lemah yang
menyebabkan ia menjadi korban
self victimizing victim, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya
sendiri, misalnya korban narkoba, judi, aborsi, prostitusi.
Kemudian Sellin dan Wolfgang sebagaimana dikutip Suryono Ekotama dkk, mengelompokkan
korban sebagai berikut.
No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui misalnya konsumen yang tertipu
dalam menggunakan suatu produksi masyarakat
Dengan demikian korban tindak pidana kejahatan adalah sebagai manusia yang menderita dan
mempunyai hak-hak asasi yang perlu dilindungi oleh ketentuan-ketentuan dasar yang bersifat nasional dan
internasional.