Anda di halaman 1dari 31

Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia

1. Apa pengertian legislative review dan judicial review dan bagaimana praktiknya terhadap
peraturan perundang-undangan di RI? 2. Hal-hal apa sajakah yang dapat dilakukan review? 3.
Bagaimanakah review dilakukan oleh masing-masing lembaga yang terkait dengan adanya
trichotomy (Trias Politica)?
idham
Share:



Jawaban:
Ali Salmande

1. Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh
lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan,
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh
Mahkamah Agung (MA). Lebih jauh simak artikel Perbedaan J udicial Review dengan
Hak Uji Materiil).

Secara teori, lembaga peradilan baik MK maupun MA - yang melakukan judicial review
hanya bertindak sebagai negative legislator. Artinya, lembaga peradilan hanya bisa
menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah norma baru ke dalam peraturan
perundang-undangan yang di-judicial review.

Sementara, legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang
memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan.
Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative
review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan tentunya pemerintah (dalam UUD 1945,
pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat UU)- untuk mengubah UU tertentu.

Sedangkan, untuk peraturan perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Pemerintah
(PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah, setiap warga negara tentu bisa
meminta kepada lembaga pembuatnya untuk melakukan legislative review atau melakukan
revisi. Simak juga artikel Hierarki Peraturan Perundang-undangan (2).

2. Permohonan judicial review memiliki syarat yang lebih ketat dibanding legislative review.
Dalam judicial review, sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat bila memang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan di atasnya. Sedangkan, dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja
meminta agar lembaga yang memiliki fungsi legislasi melakukan revisi terhadap produk
hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya, peraturan perundang-undangan itu sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
sederajat secara horizontal.

3. Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam trias politica dikenal tiga macam kekuasaan.
Yakni, kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana
undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau peradilan (penegak undang-undang).
Kewenangan judicial review diberikan kepada yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan
legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat undang-undang.
Mahkamah Konstitusi Setujui Judicial
Review terhadap UU Kehutanan
May 16, 2013 in Headline, News | 1 Comment
Jakarta Mahkamah Konstitusi mengabulkan
sebagian permohonan uji materi (judicial review) terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kamis (16/5).
Walau tidak seluruh permohonannya dikabulkan, AMAN menyambut gembira keputusan yang
dibacakan di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi tersebut. Keputusan ini
menandakan Masyarakat Adat di Nusantara merupakan subjek hukum dan hutan adat bukanlah
hutan negara. Dengan demkian masyarakat adat telah mendapatkan kembali hak atas hutan adat
yang telah dirampas oleh negara melalui UU Kehutanan.
AMAN mengajukan judicial review terhadap UU Kehutanan pada Maret 2012 dan rangkaian
persidangan selesai pada Juni. Penantian ini akhirnya berbuah baik. Sekitar 40 juta masyarakat
adat kini berhak atas wilayah hutan adatnya karena negara tidak akan bisa lagi mengusir mereka
dari hutan yang menghidupi kami dari generasi ke generasi, kata Sekretaris-Jenderal AMAN
Abdon Nababan.
AMAN menilai UU Kehutanan ini memang sengaja dibuat untuk mengambil-alih hutan adat dan
menyerahkannya kepada para pemilik modal melalui berbagai skema perizinan. Praktik
perampasan berkedok legal ini berlangsung di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Eksploitasi hutan adat ini telah terbukti mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat dan
merusak lingkungan hidup. Data Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan, ada 31.957 desa yang berinteraksi dengan hutan dan 71,06%
di antaranya menggantungkan hidup pada sumber daya hutan.
UU Kehutanan bukanlah satu-satunya alat negara untuk merebut hak masyarakat adat atas
wilayah hutan adatnya. Bulan lalu Dewan Perwakilan Rakyat diam-diam menyusun Rancangan
Undang-Undang tentang Pemberantasan Pengrusakan Hutan (RUU P2H) yang potensial
mengkriminalisasi masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada hasil hutan.
Berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi hari ini, AMAN akan terus berjuang agar
masyarakat adat mendapatkan hak penuh atas hutan adat yang telah menghidupi kami dari
generasi ke generasi, kata Abdon Nababan.
DUALISME JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA


Oleh : Dody Nur Andriyan

A. PENDAHULUAN

Judicial Review (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku
produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian
oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive acts)
adalah konsekensi dari dianutnya prinsip checks and balances berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of
power). Karena itu kewenangan untuk melakukan judicial review itu melekat pada fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan
pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak
dapat disebut sebagai judicial review, melainkan legislative review.

Judicial Review di negara-negara penganut aliran hukum civil law biasanya bersifat tersentralisasi (centralized system).
Negara penganut sistem ini biasanya memiliki kecenderungan untuk bersikap pasti terhadap doktrin supremasi hukum. Karena
itu penganut sistem sentralisasi biasanya menolak untuk memberikan kewenangan ini kepada pengadilan biasa, karena hakim
biasa dipandang sebagai pihak yang harus menegakkan hukum sebagaimana yang tercantum dalam suatu peraturan
perundangan. Kewenangan ini kemudian dilakukan oleh suatu lembaga khusus yaitu seperti Mahkamah Konstitusi.

Di sisi lain, dalam sistem yang terdesentralisasi (desentralized system), seperti misalnya diterapkan di Amerika Serikat,
kewenangan melakukan judicial review atas suatu peraturan dan konstitusi diberikan pada organ pengadilan yaitu Mahkamah
Agung. Pertimbangan untuk memberikan kewenangan ini pada pengadilan adalah sangat sederhana, karena pengadilan
memang berfungsi untuk menafsirkan hukum dan untuk menerapkannya dalam kasus-kasus. Sedangkan dalam sistem
pembagian kekuasaan (distribution or division of power) yang tidak mengidealkan prinsip checks and balances, pengujian
semacam itu, jika diperlukan, dianggap hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang membuat aturan itu sendiri.

B. SEJARAH JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

Dalam proses pembentukan UUD 1945 terjadi perdebatan tentang usulan Muh. Yamin agar Mahkamah Agung sebagai
pemegang kekuasaan yudikatif diberi kewenangan menilai apakah suatu peraturan perundangan sesuai dengan konstitusi.
Soepomo tidak sependapat dengan Muh. Yamin, karena menurutnya kekuasaaan demikian terdapat pada negara yang
menganut sistim pemisahan kekuasaan (konsep trias politica). Sementara Rancangan UUD tidak, dan kekuasaan yudikatif tidak
mengontrol kekuasaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Menurut Supomo, di negara-negara lain seperti Austria,
Ceko Slowakia dan Jerman, kewenangan tersebut dilaksanakan oleh suatu pengadilan yang memang khusus menangani
masalah konstitusi. Akhirnya BPUPKI dan PPKI menolak usul tersebut dan tidak memasukkannya ke dalam UUD sebagai bagian
wewenang yudikatif MA.

Dalam Konstitusi RIS yang diundangkan pada tahun 1949 disebutkan bahwa, kewenangan untuk menilai apakah suatu
UU Negara Bagian bertentangan atau tidak dengan UU Federal dan Konstitusi RIS diberikan kepada MA. Untuk merespon
perkembangan, di sekitar tahun 1956 1959 IKAHI dan MA mengusulkan bahwa MA seharusnya memiliki kewenangan untuk
menyatakan suatu peraturan perundangan bertentangan dengan UUD. Kemudian dalam pembahasan konstitusi bidang
peradilan, Konstituante memutuskan untuk memuat pembentukan peradilan khusus yang terdiri dari Hakim Agung yang
berwenang menilai peraturan perundangan. Namun, dengan Dekrit 1959, Presiden membubarkan Parlemen. Tahun 1970 UU 14
Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan kewenangan kepada MA untuk menilai kesesuaian suatu peraturan
dengan peraturan yang lebih tinggi (judical review).

Namun kewenangan itu, terbatas pada peraturan yang tingkatnya lebih rendah dari UU dan tidak mengatur penilaian
UU terhadap UUD. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga menyebutkan hal yang kurang lebih sama. Tahun
1993 diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1993 Tentang Hak Uji Materiil tertanggal 15 Juni 1993
sebagai reaksi terhadap permohonan judicial review yang diajukan harian Prioritas kepada MA terhadap Peraturan Menteri
Penerangan No. 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sekitar 7 bulan sebelumnya. Tahun
1999 MA mengeluarkan Surat Edaran MA No. 1 Tahun 1999 tentang Judicial Review dalam rangka memperbaharui teknis
pelaksanaan judicial review yang sebelumnya diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 1993. Perbedaan prinsipil dengan aturan
sebelumnya adalah permohonan judicial review dapat juga diajukan terpisah dari suatu perkara (permohonan).

Pada bulan Nopember 1997 F-PDI mengusulkan untuk memberi MA kewenangan melakukan judicial review terhadap
UU, namun PAH II BP MPR menolak, dengan alasan MA tidak berhak untuk melakukan judicial review terhadap ketentuan hasil
lembaga tinggi negara. F-KP, F-UD, F-PP, F- ABRI menyatakan bahwa yang berhak melakukan judicial review terhadap UU adalah
lembaga yang menghasilkan UU tersebut, yaitu Pemerintah dan DPR.

Pada bulan Juli 2000 dalam Pembahasan Amandemen Kedua UUD 45 oleh PAH I BP MPR Tim ahli mengusulkan untuk
segera dibentuk MK. Usul itu diterima dalam rapat pleno ke-26. Dalam pasal 25B, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Penegakan Hukum dalam Rancangan Amandemen Kedua UUD 45 yang disiapkan oleh PAH BP MPR, Mahkamah Konstitusi
direncanakan untuk mempunyai 3 kewenangan : (i) menguji secara materiil atas UU dan UUD; (ii) memutus atas pertentangan
antar UU; (iii) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, antara pemerintah pusat dengan daerah, antar
pemerintah daerah.

Dalam kesepakatan finalisasi PAH I BP MPR, 22 Juli 2000, PAH I menyepakati MK berada dalam lingkungan MA. Pada
bulan Agustus tahun 2000 dalam Sidang Tahunan I MPR Bab ini dibahas dalam ST I MPR, namun tidak dicapai kesepakatan. Oleh
karena itu, MPR menerbitkan TAP III/2000, yang menegaskan kembali bahwa judicial review atas UU dan UUD 45 serta TAP
MPR ada di tangan MPR, sedang MA hanya berwenang untuk menguji peraturan di bawah UU.

PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002 menyusun rancangan perubahan Peraturan Tata Tertib MPR dimana jika disetujui
dalam ST 2001, BP MPR akan memiliki kewenangan melakukan uji materiil atas UU, TAP MPR, dan UUD. Walaupun mengakui
MK yang seharusnya berwenang, sebelum terbentuk BP sesuai TAP MPR III/2000, BP MPR yang melaksanakannya. Kalaupun
pandangan ini dapat dibenarkan, maka pengujian oleh lembaga MPR ini tidaklah dapat dikategorikan sebagai judicial review,
karena sama sekali tidak dilakukan oleh hakim, melainkan oleh legislator. Namun demikian, ketentuan demikian ini sangatlah
keliru karena memberikan wewenang kepada lembaga yang tidak tepat.

Tim ahli MPR menentangnya dengan alasan kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan MA dapat
membentuk kompartemen baru. Meskipun TAP MPR No. III/MPR/2000 adalah sah adanya, tetapi dalam penerapannya,
ketentuan mengenai legislative review yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak akan mungkin dapat
dilaksanakan, karena memang isinya keliru total. Fungsi pengujian Undangundang adalah fungsi yang bersifat permanen dan
rutin, sedangkan forum MPR tidak bersifat tetap atau tidak rutin. Ketua MA mendukung pendapat ini, pertentangan aturan
adalah persoalan hukum dan bukan politik sehingga yang memutus perkara adalah badan peradilan, bukan badan politik seperti
DPR atau MPR.

Pada bulan September 2001 dalam Pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945, seluruh fraksi dalam PAH I BP MPR
setuju untuk memasukkan aturan tentang MK dalam Amandemen Ketiga UUD 45. Idealnya kewenangan pengujian materi
peraturan perundang-undangan diintegrasikan saja menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, perumus kebijakan
konstitusional negara kita tidak berpendapat demikian. Dalam perubahan terhadap rumusan Pasal 24 UUD 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada bulan November 2001, kewenangan uji materil oleh Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya
sampai tingkat Undang-Undang, sedangkan peraturan di bawahnya tetap ditentukan sebagai kewenangan Mahkamah Agung.
Dalam Pasal 24 A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 dinyatakan :

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang

Sedangkan Pasal 24 C ayat (1) menyatakan :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum

Dengan demikian, pengujian terhadap materi peraturan oleh Mahkamah Konstitusi hanya dibatasi menyangkut
konstitusionalitas undang-undang saja, dan penyelesaian sengketa antara pusat dan daerah ataupun antar pemerintah daerah
tidak ditentukan sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian sengketa yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi
dibatasi hanya menyangkut sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar. Sebelum hakim Mahkamah Konstitusi itu ada, kewenangan melakukan pengujian itu dilimpahkan kepada Mahkamah
Agung.

C. DUALISME PELAKSANAAN JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

Pembentukan norma hukum harus mampu mengadopsi nilai-nilai yang dianut dan berkembang dalam masyarakat,
serta proses yang dilaksanakan dalam rangka pembentukan norma tersebut harus dilakukan secara demokratis dengan
prosedur yang telah ditetapkan. Pada perspektif ini dapatlah dimaklumi bahwa judicial review dimaksudkan sebagai upaya
untuk menghindari pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi hanya untuk penguatan kepentingan
pengusa atau pihak dan kelompok tertentu saja. Selain itu, judicial review juga diperuntukan sebagai suatu lembaga yang
berfungsi memperkecil bahkan menghilangkan adanya konflik normatif secara vertikal.

Adanya dua lembaga kekuasaan kehakiman yakni MK dan MA yang diberi kewenangan untuk melakukan judicial
review, sekalipun objek pengujian tersebut dibedakan, jelas menimbulkan dualisme kelembagaan fungsi judicial review.
Masalah dualisme ini pada akhirnya memunculkan pertanyaan apakah kedudukan MK lebih tinggi daripada MA mengingat MK
memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, sementara MA hanya menguji peraturan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang? Bagaimana jika undang-undang yang menjadi tolok ukur pengujian suatu peraturan
di bawah undang-undang yang diajukan permohonannya ke MA, juga sedang dimintakan pengujiannya ke MK? Bagaimana jika
MA memutuskan bahwa suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak bertentangan dengan undang-
undang, pada saat bersamaan MK memutus bahwa undang-undang yang menjadi tolok ukur tersebut bertentangan dengan
UUD 1945? Apakah dengan desain seperti ini akan tercipta kepastian hukum?

Belum lagi jika melihat beban MA yang sampai saat ini sudah sangat berat untuk memeriksa dan memutus perkara-
perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali. Tentu saja semakin diperberat dengan kewenangan untuk menguji peraturan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang telah ternyata sangat banyak jumlahnya.

Dualisme kewenangan melaksanakan judicial review, yang saat ini dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung, memang sangat berpotensi menimbulkan keruwetan. Sebaiknya, kewenangan melaksanakan judicial review
dilakukan satu atap, di bawah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pemberlakuan satu atap pengajuan judicial review di MK
didasari beberapa alasan:

1. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar
Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal
mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan
peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer. Mahkamah Agung sudah sedemikian banyak dibebani dengan tugas dan
tanggung jawab yang luar biasa berat, yang rawan dan berpotensi menyebabkan tumpukan pekerjaan dan perkara tidak
terselesaikan karena beban kerja yang overload, oleh karenanya demi agar terjadi kelancaran dan kesinambungan peradilan,
alangkah baiknya jika salah satu beban MA yaitu Judicial Review, diserahkan pada MK. Berikut di berikan gambaran
perbandingan antara MA dan MK: pertama, secara kelembagaan, Mahkamah Konstitusi hanya membawahi satu pengadilan.
Sedangkan Mahkamah Agung, membawahi 800 unit pengadilan. Alhasil, dalam setahun, MK hanya menangani kasus sebanyak
300 perkara (tahun 2010). Sedangkan MA dengan 800 unit pengadilan menangani kasus sekitar 5 juta perkara (tahun 2010). 3
Juta perkara di antaranya dari pelanggaran lalu lintas. Dari data di atas, jelas bahwa beban MA lebih berat di banding MK. Jika
kalkulasi perkara MK 300 perkara per tahun, maka jumlah tersebut setara dengan perkara sehari yang ditangani oleh PN Jakarta
Selatan. Dengan beban perkara yang sedikit, maka MK bisa mengatur jadwal persidangan lebih tertib, karena MK maksimal
menggelar perkara 10 kasus per hari. Sedangkan PN Jakpus, dengan 250 kasus perhari, maka waktu tidak on time menjadi fakta
yang tidak terhindarkan. Kedua, beban perkara, MA dalam setahun memeriksa 12 ribuan perkara yang ditangani 50 hakim
agung. Sedangkan MK hanya menangani 300 perkara yang ditangani 9 hakim konstitusi. Artinya, dalam 1 hari, MA memeriksa
400 perkara per hari, sedangkan MK 1 perkara per hari. Ketiga, anggaran, MK dengan beban perkara sedikit mendapat
anggaran sekitar Rp 150 miliar. Anggaran sudah untuk membayar gaji sekitar 120 pegawai dan operasional gedung atau
kepaniteraan. Sedangkan MA dengan beban ekstra gendut, mendapat Rp 5 triliun untuk 800 unit pengadilan, 7 ribu hakim dan
lebih dari 10 ribu pegawai. Ketempat, secara geografis MK berada di pusat Indonesia yang mempunyai akses informasi dan
kecepatan mobilitas yang tinggi. Bandingkan dengan pengadilan-pengadilan yang berada di titik terluar Indonesia. Lokasi yang
mencapainya harus menempuh ombak setinggi 3 meter dilanjut dengan rawa-rawa serta jalan tanah becek. Jangankan
melaksanakan teleconfrence layaknya MK, listrik pun masih sering mati.

2. Mahkamah Agung digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per
orang ataupun subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per orang, melainkan
dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara-perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut
persoalan-persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun
berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang
atau kasus demi kasus ketidak-adilan secara individuil dan konkrit. Yang bersifat konkrit dan individuil paling-paling hanya yang
berkenaan dengan perkara impeachment terhadap Presiden/Wakil Presiden.

3. Menegaskan bahwa MK adalah court of law, dan MA adalah court of justice. MA sebagai court of justice mengadili ketidakadilan
dari subyek hukum untuk mewujudkan keadilan, sedangkan MK sebagai court of law mengadili sistem hukum untuk mencapai
keadilan itu sendiri. Judicial review itu termasuk ke dalam ranah court of law dikarenakan Judicial review itu tidaklah mengadili
orang per orang, lembaga, organisasi, dan subyek hukum melainkan mengadili sistem hukum (perundang-undangan) demi
mencapai keadilan. Oleh karenanya, berdasarkan konstruksi usulan tersebut diatas, kewenangan Judicial Review akan lebih baik
dilaksanakan satu atap di Mahkamah Konstitusi.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Desain konstitusional pelembagaan fungsi judicial review di Indonesia saat ini, menempatkan dua lembaga kekuasaan
kehakiman yaitu MK dan MA sebagai pemilik kewenangan untuk melakukan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal
24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Konsep ini ternyata masih menimbulkan masalah dan perdebatan dalam tataran
teoritik maupun praktik.

Dalam perspektif pembagian kekuasaan, hal tersebut menimbulkan dualisme kewenangan lembaga kekuasaan kehakiman
di Indonesia yang mangakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang seharusnya menjadi prinsip dari sebuah negara hukum.
Dimasa yang akan datang, fungsi judicial review ini perlu ditempatkan di bawah satu kewenangan lembaga negara yang
dibentuk untuk itu yaitu dilakukan satu atap oleh Mahkamah Kosntitusi.
KONSEP J UDI CI AL REVI EW DI INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA

Membahas mengenai konsep Judicial Review di Indonesia bukanlah perkara yang
mudah, mengingat konsep ini baru mulai berkembang dalam praktiknya setelah terjadinya
amandemen UUD 1945. Mulai dari penggunaan istilahnya pun sudah mengundang berbagai
perdebatan. Istilah judicial review, constitutional review, constitutional adjudication,
toetsingrecht, seringkali menjadi tumpang-tindih antara satu dengan lainnya. Sebelum Penulis
membahas secara khusus mengenai hal ini, ada baiknya Penulis sampaikan diskusi singkat
mengenai judicial review terkait dengan praktik ketatanegaraan RI pasca amandemen UUD
1945.

Berikut ini merupakan petikan diskusi antara Penulis dengan Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam
salah satu artikelnya.

Pembuka Diskusi dari Penulis

Assalamualaikum Bang Yusril,

Berhubung postingan artikel kali ini menyinggung sedikit banyak tentang Konstitusi, maka saya
ada beberapa pertanyaan yang hingga saat ini belum memperoleh jawaban yang pasti, meskipun
saya sudah sempat berdiskusi kepada beberapa 2nd Founding Parents dan ahli hukum
ketatanegaraan lainnya. Semoga respons atas diskusi ini bisa lebih memberikan pencerahan bagi
saya khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya.

Pertama, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia menganut gagasan supremasi
Konstitusi (supremacy of constitution) dan bukan supremasi parlemen (supremacy of parliament,
i.e. UK). Oleh karena itu, dengan mengikuti pola pemikiran dari Kelsens Grundnorm theory,
segala peraturan yang berada di bawah UUD tidaklah boleh bertentangan dengan Konstitusi
(UUD 1945 -red). Menjadi pertanyaan saat ini, saya menemukan bahwa terdapat celah
kekosongan mekanisme pengujian konstitutional (constitutional review) dari seluruh peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UUD 1945, sehingga mekanisme
constitutional review kita masih dianggap sangat lemah. Untuk saat ini (sebelum kemungkinan
terjadinya amandemen UUD atau UU MK/MA) adakah jalan lain untuk melakukan uji
konstitusionalitas terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU yang dianggap
bertentangan dengan UUD? Sebab, UUMK dan UUMA belum mengatur hal demikian.

Kedua, terkait dengan legal standing perorangan warga negara untuk memperjuangkan hak
konstitusinya (constitutional rights of citizen), hemat saya memang sudah sepatutnya diberikan.
Sebab, dengan menggunakan teori yang sama, segala sesuatu yang bertentangan dengan UUD
haruslah dinyatakan inkonstitusional, sekalipun ia melanggar pihak-pihak yang berada pada
kelompok kecil atau minoritas tertentu. Terkait dengan hal tersebut, bagaimana pendapat Abang
mengenai mekanisme constitutional complaint (Verfassungsbeschwerde) yang dipraktikan di
Jerman, Korea dan beberapa negara lainnya, apabila mekanisme yang sama diterapkan pula di
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?

Di lain sisi, ketika kita masih memperdebatkan apakah legal standing perorangan sebaiknya
diperbolehkan atau tidak, maka di dalam praktik ketatanegaraan lain, seperti misalnya India,
legal standing perorangan pun dapat diberikan walaupun permohonan diajukan oleh pihak ketiga
tanpa harus adanya persetujuan dari pemohon yang sesungguhnya. Dalam hal ini kita mengenal
mekanisme Public Interest Litigation, hal mana juga mempunyai batasan dan beberapa
persyaratan yang cukup ketat, seperti misalnya hanya untuk lingkup perlindungan terkait dengan
fundamental rights warga negara bukan untuk motif ekonomis, politis dan lain sebagainya.
Kiranya di masa mendatang, dalam koridor akademis, konsep ini dapat dikaji lebih mendalam
lagi semata-mata guna melindungi hak konstitusional warga negara, khususnya bagi mereka
yang sama sekali tidak mempunyai jangkauan untuk menggapai sistem hukum modern ini,
terlebih untuk mereka yang tinggal di berbagai pelosok tanah air.

Ketiga, menambahkan pertanyaan terkait dengan apa yang telah disampaikan oleh Sdr. Darmadi
Aries Wibowo, menurut Abang siapakah pemegang tafsir resmi UUD 1945 saat ini? Apakah
diberikan kepada MK selaku pengadilan Ketatanegaraan RI, MPR selaku lembaga yang
berwenang untuk mengubah UUD 1945, atau lembaga negara lainnya. Jika saya boleh
meminjam konsep Politik Hukum dari Gus Mahfud MD, artinya saat ini penafsiran yang
diputuskan oleh Mahkamah adalah penafsiran yang harus kita ikuti terlepas apapun hasil
penafsiran yang dikeluarkannya. Namun demikian, ketika saya berdiskusi dengan Bpk. Patrialis
Akbar, beliau menyampaikan bahwa penafsiran Konstitusi di Indonesia harus berada di tengah-
tengah, artinya tidak ada lembaga tunggal yang bisa menafsirkan Konstitusi secara sepihak.
Benarkah kita tidak mengenal pola penafsir tunggal UUD 1945 dalam sistem Ketatanegaraan
RI? Mohon pencerahannya.

Saya kira tiga pertanyaan ini dahulu yang dapat saya sampaikan guna memulai diskusi dalam
artikel kali ini. Sebab, saya juga tidak ingin menyita banyak waktu dari Abang untuk dapat
melakukan aktivitas lainnya yang tidak kalah pentingnya.

Kirainya Allah SWT selalu memberikan cahaya jalan kebenaran bagi kita semua. Amien.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Hormat Saya,

Blawgger Indonesia
New Delhi

Tanggapan oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra:

Kalau kita mengikuti teori Hans Kelsen memang demikianlah adanya. Semua peraturan
perundang-undangan harus mengacu kepada grundnorm. Apa saja yang bertentangan
dengannya harus dinyatakan tidak berlaku. Dalam teori maupun praktik di negara kita, kita
mengakui adanya hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang. Pengakuan
terhadap hirarki itu dimulai pada saat kita menyusun draf rancangan peraturan perundang-
undangan. Undang-undang disusun mengacu kepada UUD. Peraturan Pemerintah mengacu
kepada UU. Sebab itulah uji materil terhadap UU dilakukan terhadap UUD dan kewenangan itu
ada pada Mahkamah Kosntitusi.


Oleh karena Peraturan Pemerintah disusun untuk melaksanakan UU jadi tidak mengacu
langsung kepada UUD maka pengujian terhadap PP dilakukan terhadap UU, yang
kewenangannya ada pada Mahkamah Agung. Pengakuan terhadap hirarki inilah yang tidak
memungkinkan adanya uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU,
langsung kepada UUD. Pengakuan terhadap hirarki bukannya tidak menimbulkan problema,
jika dikaitkan dengan Peraturan Presiden.

Secara hirarkis, menurut UU No 10 Tahun 2004, Peraturan Presiden berada di bawah
Peraturan Pemerintah. Namun mengingat ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar, maka dalam praktiknya Peraturan Presiden dapat merujuk langsung
baik Peraturan Pemerintah, Undang-Undang maupun UUD. Sementara pengujian materi
Peraturan Presiden karena hirarkinya berada di bawah UU menjadi kewenangan
Mahkamah Agung. Sementara MA tidak dapat menguji peraturan yang berada di bawah UU
dengan UUD.


Problema ini membawa implikasi bahwa tafsiran terhadap Pasal 4 UUD 1945 harfuslah
dipersempit pada penetapan Keputusan Presiden yang bersifat beschikking dan berlaku
einmalig, bukan pada Peraturan Presiden yang bersifat regulatif. Dalam hal ini, Pasal 11 UU
No 10 Tahun 2004 telah benar, yang menegaskan bahwa materi Peraturan Presiden dikeluarkan
untuk melaksanakan materi yang diperintahkan UU atau melaksanakan Peraturan Pemerintah.

Mengenai lembaga penafsir UUD 1945, saya berpendapat tidak ada lembaga tunggal yang
memiliki kewenangan penuh untuk itu. MK hanya melakukan uji materil berdasarkan
permohonan pihak yang mengajukannya. Jadi sifat MK dalam uji materil adalah pasif. MA
dapat memberikan pertimbangan hukum kepada lembaga negara yang memohonnya. Proses
menafsiran UUD sebenarnya telah dimulai pada saat menyusun sebuah RUU. UU hakikatnya
bukan hanya memerinci ketentuan UUD, tetapi sekaligus menafsirkan apa yang dimaksud
UUD ketika mereka tuangkan ke dalam draf RUU.

Kalau dilihat dari sudut ini, maka Presiden dan DPR yang sama-sama memegang kekuasaan
legislatif, adalah juga lembaga-lembaga yang menafsirkan UUD. Apakah tafsiran mereka itu
benar sebagaimana mereka tuangkan dalam UU, MK dapat mengujinya. MPR yang kini tidak
berwenang lagi mengeluarkan Ketetapan seperti zaman dahulu, tidak berada dalam posisi untuk
menafsirkan undang-undang. Oleh MPR, Pimpinannya kini diberi tugas untuk melakukan
sosialisasi UUD 1945 pasca amandemen. Tentu dalam rangka sosialisasi itu, mereka juga akan
menafsirkan UUD sebagaimana mereka pahami. Namun tafsiran itu haruslah dianggap
sebagai suatu pemahaman saja, yang tidak mempunyai kekuatan tafsir yang mengikat.

Mengenai legal standing perseorangan dalam mengajukan permohonan uji materi terhadap UU
ke MK, pada prinsipnya saya sependapat. Saya sendiri ikut mendraf UU MK seperti saya
katakan, dan mewakili Presiden membahas RUU tsb di DPR hingga selesai. Demikian pula UU
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perturan Perundang-Undangan.

Sementara ini, demikianlah penjelasan saya. Terima kasih atas pertanyaannya, yang sekaligus
juga merupakan masukan amat berharga bagi saya (YIM)

Tanggapan akhir dari Penulis

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih sebelumnya atas tanggapan yang disampaikan begitu cepat. Saya sangat
memberikan apresiasi tinggi terhadap perkembangan diskusi yang demikian. Berikut tanggapan
akhir saya atas jawaban yang telah diberikan.

Mengenai jawaban atas pertanyaan pertama dan kedua telah memberikan pengetahuan baru dan
perspektif tambahan bagi saya. Namun untuk pertanyaan pertama, saya sepertinya masih perlu
diberikan pencerahan. Secara das sein memang sistem judicial review kita seperti yang telah
Abang jelaskan, namun saya berpandangan bahwa secara das sollen sebaiknya seluruh peraturan
perundang-undangan, mulai dari UU hingga Peraturan Daerah, dapat diuji konstitusionalitasnya
terhadap UUD secara langsung. Sebab dalam suatu perundang-undangan bisa saja kondisi tidak
terjadinya penyimpangan substansi terhadap peraturan di atasnya, tetapi ternyata melanggar hak
konstitusional (constitutional rights violation) warga negara.

Walaupun kita menganut sistem Civil Law, ada baiknya juga kita melakukan analisa
perbandingan hukum pada negara-negara Common Law, di mana Supreme Court mereka sangat
memberikan perlindungan bagi hak konstitusional warga negara terhadap apapun itu bentuk
peraturan perundangan-undangan dan kebijakan negaranya. Dan hal tersebut kini mulai
dipraktikan di negara-negara Eropa Barat yang sebagian besar juga menganut sistem hukum
yang sama dengan kita. Namun demikian, bisa saja cara berpikir saya yang kurang tepat, oleh
karena itu mohon pencerahan dari Abang dan rekan-rekan lainya.

Demikian tanggapan saya kali ini. Semoga diskusi ini dapat memberikan pewacanaan terhadap
sistem ketatanegaraan kita di masa yang akan datang. Jika terdapat hal yang kurang berkenan
mohon dibukakan pintu maaf. Sukses selalu untuk Abang dan rekan-rekan semua.

CHECKS AND BALANCES DAN JUDICIAL; REVIEW DALAM LEGISLASI DI
INDONESIA.*
CHECKS AND BALANCES DAN JUDICIAL; REVIEW DALAM LEGISLASI DI
INDONESIA.*
OLEH MARUARAR SIAHAAN


I. Pendahuluan.
Reformasi yang menghasilkan empat tahap perubahan UUD 1945 telah membawa
dampak perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem yang diadopsi
merupakan sesuatu yang sangat baru bagi Indonesia, dalam arti terbentuknya penataan
kekuasaan negara secara berbeda dari konsep dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum perubahan. Organisasi kekuasaan negara yang
bersifat horizontal fungsional telah menggantikan bentuk yang vertikal hierarkis. Dalam
konfigurasi kekuasaan yang vertikal hierarkis, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai
lembaga negara tertinggi berada di puncak susunan kekuasaan. Kedaulatan adalah di tangan
rakyat, namun dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan
seluruh rakyat yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat yang merupakan pemegang
kedaulatan tertinggi.[1]
Perubahan Ketiga UUD 1945 menghasilkan pergeseran ke arah susunan kekuasaan yang
bersifat horizontal fungsional, yang berarti kedudukan lembaga-lembaga negara menjadi setara.
Masing-masing lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan negara melakukan
pengawasan secara fungsional terhadap lembaga negara lainnya. Perubahan yang dilakukan
bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan
modern, antara lain melalui pemisahan dan/atau pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem
checks and balances yang lebih ketat dan transparan serta pembentukan lembaga-lembaga
negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan
zaman.[2]
Kedaulatan rakyat yang sebelumnya dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai
perwujudan seluruh rakyat, setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.[3] Hal itu berarti MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi yang
dalam kedudukannya sebagai penjelmaan seluruh rakyat bertugas memberikan mandat kepada
penyelenggara negara lainnya. Sebaliknya, penyelenggara negara yang diberi mandat
mempunyai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan mandat tersebut.
Dengan demikian, MPR hanya menjadi salah satu lembaga negara di antara lembaga negara
lainnya yang memiliki kedudukan setara tetapi dengan tugas, kewenangan, dan fungsi yang
berbeda.
Pernyataan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat) serta pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi
(hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme, sebagaimana termuat dalam Penjelasan UUD 1945
sebelum perubahan, telah dimuat menjadi materi norma dalam batang tubuh UUD 1945 hasil
perubahan.[4] Hal demikian dapat dilihat sebagai pergeseran dari sistem supremasi parlemen
(MPR merupakan lembaga tertinggi negara) menjadi sistem supremasi konstitusi (konstitusi
ditempatkan sebagai hukum yang tertinggi). Dengan demikian konstitusi menjadi sumber
legitimasi dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan berlaku.
Pernyataan bahwa kedaulatan di tangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang
Dasar dan pernyataan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dapat dilihat sebagai
pendirian yang tegas bahwa prinsip penyelenggaraan negara secara demokratis didasarkan pada
konstitusi (constitutional democracy). Demikian pula negara hukum yang dianut adalah bersifat
demokratis (democratische rechtstaat), yang diartikan bahwa proses pembentukan hukum
berlangsung dengan partisipasi warga negara.

Supremasi Hukum dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi.
Reformasi dengan 4 (empat) tahap perubahan UUD 1945, menggeser struktur kekuasaan dari
supremasi parlemen dengan MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, yang memberi dan
membagi kekuasaan Negara kepada cabang kekuasaan Negara, serta meminta pertanggung
jawaban dari lembaga Negara tersebut, menjadi supremasi konstitusi, dengan susunan
kekuasaan horizontal fungsional, yang melakukan control antara satu lembaga dengan lembaga
Negara lainnya. Ada tiga ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu: (i)
pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya; (ii) keterikatan pembuat
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; dan (iii) adanya satu lembaga yang memiliki
kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan tindakan hukum
pemerintah.[5] Meskipun ciri tersebut merupakan ciri yang dikenal dalam sistem negara lain,
akan tetapi hal itu juga merupakan ciri yang diterima dan diakui secara universal di negara-
negara yang menganut sistem pemerintahan yang demokratis berdasar konstitusi. Namun
demikian diadopsinya prinsip supremasi kontitusi dalam perubahan UUD 1945 sudah barang
tentu menimbulkan banyak permasalahan yang tidak dapat dilihat secara sederhana.
Masalah utama yang dihadapi adalah bagaimana menjamin bahwa prinsip supremasi konstitusi
tersebut dipatuhi sehingga terdapat konsistensi dan harmonisasi dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan dan penyusunan kebijakan negara dengan menempatkan UUD 1945
sebagai hukum tertinggi. Hal tersebut meliputi bentuk kelembagaan yang diberi tugas untuk
menegakkan prinsip supremasi konstitusi tersebut serta bagaimana mekanisme pelaksanaannya.
Sebagai jawaban atas permasalahan tersebut, dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 telah diatur
keberadaan sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bagian dari cabang kekuasaan
kehakiman, yang salah satu kewenangannya adalah melakukan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945. Lembaga dan mekanisme yang diadopsi berbeda dengan sistem yang
dikenal di Amerika Serikat, melainkan lebih menganut model Kelsen.[6] Di dalam model
Kelsen, kewenangan khusus untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar tidak merupakan bagian dari kewenangan mahkamah agung. Indonesia
membentuk sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang berdiri sendiri atau
terpisah dari Mahkamah Agung (MA).
Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai special tribunal yang terpisah dari Mahkamah
Agung, dalam sejarah hukum merupakan konsepsi yang dibangun oleh Hans Kelsen ketika
diminta menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria pada awal abad ke-20.[7] Konsep
tersebut kemudian menyebar secara cepat di dunia dan Indonesia turut mengadopsi MK model
Kelsen tersebut pada saat berlangsungnya transisi pemerintahan dari sistem otoriter menuju
sistem demokrasi. Keberadaan MK telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan
kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di
antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks
and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada
MK untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Jenis Pengujian Undang-Undang.
Pengujian undang-undang dibedakan antara pengujian secara formal (formele toetsing) dan
pengujian secara materiel (materiele toetsing). Uji formal artinya menguji keabsahan
kelembagaan yang membuat, bentuk, dan tatacara atau prosedur pembentukan undang-undang,
yang meliputi pengambilan keputusan dalam pengesahan undang-undang. Sedangkan pengujian
secara materil (materiele toetsing), adalah untuk menguji konsistensi dan kesesuaian substansi
materi undang-undang, baik pasal, ayat atau bagian undang-undang dengan norma, prinsip dan
jiwa UUD 1945.[8]
Kewenangan yang dimiliki MK yang telah disebut di atas, yakni pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, secara umum/lazim disebut judicial review, karena wewenang
tersebut dilaksanakan oleh sebuah badan peradilan. Pengertian judicial review dalam praktik
sistem common law maupun dalam praktik peradilan umum di Indonesia, mencakup juga
pemeriksaan tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK).[9] Dalam kerangka untuk
memahaminya secara lebih khusus, mekanisme dan proses pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar lebih tepat disebut sebagai constitutional review, meskipun kewenangan
tersebut dapat dilakukan oleh cabang kekuasaan legislatif atau dilakukan juga oleh suatu badan
yang di Perancis disebut Conseil Constitutionel, yang bukan sebuah badan peradilan.
Mekanisme Pengujian di MK
Proses dan kewenangan tersebut selalu diawali dengan sebuah permohonan dan akan
berakhir dalam suatu putusan. Putusan MK dalam proses pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar adalah merupakan sebuah pendapat tertulis hakim konstitusi, yang
mengakhiri dan menyelesaikan perselisihan yang diajukan tentang penafsiran satu norma atau
prinsip yang ada dalam Undang-Undang Dasar yang dikonkretisasi dalam ketentuan undang-
undang sebagai pelaksanaan tujuan bernegara yang diperintahkan konstitusi.[10] Berbeda
dengan putusan hakim pengadilan biasa, yang mengakhiri sengketa yang lebih bersifat
individual, putusan MK merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang
memuat sikap dan pendapat tentang konsistensi dan koherensi undang-undang yang dimohonkan
pengujiannya terhadap UUD 1945 dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dengan
demikian putusan MK merupakan penyelesaian sengketa yang lebih merupakan kepentingan
umum meskipun diajukan oleh perseorangan. Mengenai penamaan, berbeda dengan MK yang
menggunakan kata putusan, dalam hukum acara di peradilan biasa, putusan hakim sebagai
pendapat tertulis yang dibuat untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan berdasarkan
hukum yang berlaku, yang dihadapkan pada hakim untuk memperoleh kata akhir, lazim juga
disebut sebagai vonis.[11]
Amar putusan MK yang mengabulkan satu permohonan pengujian undang-undang, akan
menyatakan satu pasal, ayat atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-undang secara
keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945. Umumnya sebagai konsekuensinya, maka undang-
undang, pasal, ayat atau bagian dari undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Bunyi putusan demikian sesungguhnya mengandung arti bahwa ketentuan
norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak
berlaku lagi, meskipun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(UU MK) tidak secara tegas menyatakan hal yang demikian.
Putusan MK yang mengabulkan permohonan bersifat final sehingga merupakan putusan tingkat
pertama dan terakhir, dengan menyatakan pasal, ayat dan bagian undang-undang bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhitung sejak
tanggal diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Makna final juga dapat diartikan bahwa
putusan yang diambil dapat menjadi solusi terhadap masalah konstitusi yang dihadapi
meskipun hanya bersifat sementara (eenmalig) yang kemudian akan diambil-alih oleh pembuat
undang-undang. Muatan norma yang dikandung dalam pasal, ayat, dan bagian dari undang-
undang tersebut tidak lagi menuntut kepatuhan dan tidak mempunyai daya sanksi. Hal itu juga
berarti bahwa apa yang tadinya dinyatakan sebagai satu perbuatan yang dilarang dan dihukum,
dengan putusan MK yang menyatakan satu pasal, ayat atau bagian dari undang-undang tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi, maka perbuatan yang tadinya dilarang menjadi tidak
terlarang lagi.
Akibat Hukum Putusan MK.
Putusan yang demikian sudah barang tentu akan berdampak luas dan membutuhkan mekanisme
prosedural tentang bagaimana tindak lanjut atau pelaksanaan dari pembatalan pemberlakuan
suatu ketentuan tersebut, sehingga tidak boleh menimbulkan anggapan telah terjadi kekosongan
hukum. Ruang lingkup akibat hukum putusan yang menyangkut pengujian satu pasal, ayat atau
bagian undang-undang, dan bahkan undang-undang secara keseluruhan yang kemudian
dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum, apakah secara otomatis meliputi peraturan di
bawahnya sebagai pelaksanaan undang-undang tersebut. Dalam kekosongan pengaturan tentang
hal tersebut, penting diketahui bagaimana eksplanasi teoretis implikasi dan ruang lingkup akibat
hukum putusan MK serta bagaimana implementasinya, agar masyarakat dapat mengetahui
bahwa norma tersebut tidak lagi berlaku mengikat. Hal ini perlu untuk menjamin bahwa hukum
yang baru tersebut dipatuhi dan ditaati.
Putusan MK yang demikian dalam kenyataannya telah mengubah hukum yang berlaku dan
menyatakan lahirnya hukum yang baru, dengan menyatakan bahwa hukum yang lama sebagai
muatan materi undang-undang tertentu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan lagi sebagai
hukum. Dalam kenyataanya, hakim MK dengan putusan tersebut, sesungguhnya diberikan
kekuasaan membentuk hukum untuk menggantikan hukum yang lama, yang dibuat oleh pembuat
undang-undang dan oleh konstitusi secara khusus diberi wewenang untuk itu.
Hal ini sangat terkait erat dan menjadi substansi doktrin atau mekanisme checks and
balances yang dibangun seiring dengan perubahan UUD 1945. Sejarah ketatanegaran Indonesia
di masa Orde Baru hampir tidak mengenal adanya checks and balances di antara lembaga negara
karena realitas kekuasaan terpusat pada Presiden.[12] Perubahan UUD 1945 melahirkan satu
kekuatan penyeimbang yang dibangun secara fungsional dalam bentuk kelembagaan yang setara.
Jika dihadapkan dengan doktrin klasik separation of powers, kekuasaan negara yang diberikan
kepada lembaga-lembaga yang terpisah satu dengan lainnya dalam rangka menghindarkan
terjadinya campur tangan yang satu terhadap yang lain, maka mekanisme checks and balances
pasca perubahan UUD 1945 tampaknya dapat juga dianggap satu pelunakan terhadap doktrin
separation of powers atau pembagian kekuasaan negara dengan menghubungkan cabang
kekuasaan yang saling terpisah.[13] Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lahirnya kekuasaan
yang bersifat mutlak tanpa pengawasan.
Mahkamah Konstitusi berwenang menyatakan satu pasal, ayat atau bagian undang-undang tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila menurut pendapatnya pasal, ayat atau bagian
undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Putusan MK
merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir, dan tidak dikenal upaya hukum kepada
pengadilan yang lebih tinggi lagi, sehingga putusan MK tersebut mengikat secara umum begitu
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Kebijakan hukum yang dirumuskan oleh
pembentuk undang-undang, yang oleh MK ditemukan bertentangan dengan UUD 1945,
dikesampingkan dan digantikan oleh kebijakan hukum yang baru, yang dirumuskan oleh
MK.[14]
Sampai dengan tahun 2009, banyak undang-undang yang telah diuji oleh MK, dan banyak pula
di antaranya yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi berkekuatan hukum
mengikat. Dalam kata lain, dengan putusan MK tersebut, pasal, ayat dan /atau bagian undang-
undang tertentu harus dikeluarkan dari sistem hukum Indonesia.
Sebagai sesuatu hal baru yang diadopsi dalam praktik ketatanegaraan, konsep pengawasan dan
penyeimbang terhadap satu cabang kekuasaan negara dengan memberi ruang bagi lembaga
negara lain memasuki ranah kekuasaan satu cabang kekuasaan negara tertentu dan membatalkan
keputusan atau kebijakan yang diambilnya. Hal ini boleh jadi merupakan satu persoalan
tersendiri dalam penerimaan putusan MK serta tindak lanjut dalam implementasinya.
Kewenangan yang disebut sebagai judicial review demikian, sesungguhnya telah memberi ruang
dan kesempatan pada hakim MK untuk turut serta menjadi policy maker dalam pembuatan
hukum, melalui pengujian dan tafsir maupun konstruksi hukum yang digunakan dalam rangka
penyelesaian perselisihan yang dihadapkan padanya.
Tindak lanjut putusan MK yang membatalkan satu undang-undang, baik pasal, ayat atau
bagiannya saja, membutuhkan kejelasan bagaimana proses implementasinya dilakukan agar
dapat berlangsung efektif dalam koordinasi horizontal fungsional yang setara berdasar doktrin
checks and balances. Hal tersebut akan selalu mengandung kontroversi sendiri dalam konsep
separation of powers jika tanpa penjelasan yang cukup.
Dilihat dari akibat hukum yang ditimbulkan oleh putusan MK sebagaimana telah diutarakan di
atas, maka meskipun hanya bersifat deklaratif, putusan MK dalam perkara pengujian undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar juga memiliki sifat konstitutif. Artinya putusan MK
tersebut mengandung pengertian hapusnya hukum yang lama dan sekaligus membentuk hukum
yang baru. Hal ini membawa keharusan bagi addresat putusan MK untuk membentuk norma
hukum baru yang bersesuaian dengan UUD 1945 ataupun meniadakan satu norma hukum yang
lama dalam ketentuan undang-undang yang diuji. Dalam hal demikian, sebagaimana dikatakan
Hans Kelsen, hakim konstitusi adalah negative legislator. Artinya hakim dan putusan-
putusannya berfungsi melaksanakan pengawasan dan penyeimbangan dalam penyelenggaraan
kekuasaan negara. Kelsen menyatakan bahwa The annulment of a law is legislative function, an
act so to speak of negative legislation. A court which is competent to abolish laws
individually or generally functions as a negative legislator.[15]
Putusan hakim konstitusi sebagai negative legislator mengikat secara umum baik terhadap warga
negara maupun lembaga-lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan.
Akibatnya semua organ penegak hukum, terutama pengadilan terikat untuk tidak menerapkan
lagi hukum yang telah dibatalkan tersebut.[16] Putusan yang bersifat final dan memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum
menyebabkan materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang ataupun undang-undang
secara keseluruhan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut membawa
implikasi atau akibat hukum yang sama dengan diundangkannya satu undang-undang yaitu
bersifat erga omnes. Itu berarti bahwa putusan tersebut mengikat seluruh warga negara, pejabat
negara, dan lembaga negara.[17]
Putusan yang demikian sudah barang tentu akan berdampak luas dan membutuhkan mekanisme
prosedural tentang bagaimana tindak lanjut atau pelaksanaan dari pembatalan pemberlakuan
suatu ketentuan tersebut, sehingga tidak boleh menimbulkan anggapan telah terjadi kekosongan
hukum. Ruang lingkup akibat hukum putusan yang menyangkut pengujian satu pasal, ayat atau
bagian undang-undang, dan bahkan undang-undang secara keseluruhan yang kemudian
dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum, apakah secara otomatis meliputi peraturan di
bawahnya sebagai pelaksanaan undang-undang tertentu. Dalam kekosongan pengaturan tentang
hal tersebut, penting dikaji bagaimana eksplanasi implementasi dan ruang lingkup akibat hukum
putusan MK serta bagaimana mekanismenya, agar masyarakat dapat mengetahui bahwa norma
tersebut tidak lagi berlaku mengikat. Hal ini perlu untuk menjamin bahwa hukum yang baru
tersebut dipatuhi dan ditaati.
Putusan MK yang demikian telah mengubah hukum yang berlaku dan menyatakan lahirnya
hukum yang baru, dengan menyatakan bahwa hukum yang lama sebagai muatan materi undang-
undang tertentu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan lagi sebagai hukum, Dalam kenyataanya,
hakim MK dengan putusan tersebut, sebagai mana disebut Hans Kelsen, sesungguhnya diberikan
kekuasaan membentuk hukum untuk menggantikan hukum yang lama, yang dibuat oleh pembuat
undang-undang dan oleh konstitusi secara khusus diberi wewenang untuk itu.[18] Paska
putusan demikian, proses implementasi akan menjadi tahap baru, tentang siapa yang terlibat dan
bagaimana putusan MK sebagai satu kebijakan baru dilaksanakan.
Tafsir pembentuk undang-undang sebagai pembuat kebijakan yang kemudian dibatalkan MK,
dapat menjadi faktor yang menyebabkan pembentuk undang-undang sebagai addresat putusan
sukar menerima kebijakan baru tersebut. Hal yang paling sulit dalam implementasi putusan
adalah ketiadaan instrument yang dimiliki MK untuk memaksakan implementasi, terutama
karena dikatakan bahwa :
the court has little means to demand obedience from the Parliament or the President; its
relationship to these political powers is one between equals rather than one of hierarchy.[19]

PERKEMBANGAN DAN DINAMIKA MK.

Lahirnya MK, sebagai satu badan atau lembaga tersendiri disamping Mahkamah Agung
untuk menjalankan kekuasaan judikatif, dengan kewenangan pokok untuk melakukan
constitutional review, adalah satu fenomena yang bersifat global. Kewenangan yang direbut oleh
Mahkamah Agung AS dibawah kepemimpinan John Marshal, ketika pada tahun 1803 mengadili
perkara Marbury vs Madison, telah menjadi inspirasi bagi negara-negara Eropah untuk
mengadopsi lembaga tersebut. Meskipun kewenangan tersebut dipandang merupakan hal yang
sedikit banyak merongrong konsep separation of powers yang mendasari sistem ketatanegaraan
Amerika, karena dipandang merupakan campur tangan terhadap kewenangan legislatif, namun
gagasan dan lembaga constitutional review tersebut telah menyebar secara global seperti api
liar(wild fire).Setelah diterima di benua Eropah Barat-terutama setelah perang dunia pertama-
maka hampir secara serentak, bekas negara-negara komunis mengadopsi sistem tersebut, dengan
membentuk Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah Agung. Dibenua lain juga,
bekas negara-negara otoriter, yang mengalami transisi menjadi negara demokrasi, mengadopsi
lembaga MK tersebut dengan kewenangan constitutional review sebagai core business nya.
Republik Indonesia juga, setelah mengalami pemerintahan orde baru selama 32
tahun,dengan kekuasaan negara yang diatur dalam UUD 1945 yang juga mengaku sebagai
Negara Hukum dan Demokrasi, menunjukkan praktik yang otoritarian, tanpa satu kontrol yang
memadai dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Konsentrasi kekuasaan pada Presiden,
sebagai mandataris MPR yang hampir tanpa batas tersebut, merupakan salah satu alasan
dibutuhkannya perubahan sebagaimana dituntut reformasi. Perubahan dalam penyelenggaraan
negara baik secara kelembagaan, hubungan antara lembaga, pemilihan Presiden/Wakil Presiden,
secara bertahap dilakukan melalui amandemen UUD 1945 dalam empat kali perubahan.
Dibidang judikatif, kemandirian MA dan dibentuknya MK sebagai bentuk judicial control dalam
kekuasaan legislasi, adalah dalam kerangka mengeffektifkan mekanisme checks and balances
diantara cabang-cabang kekuasaan negara, yang sebelumnya tidak berjalan. MK yang dibentuk
melalui perubahan keempat UUD 1945 dan UU nomor 24 tahun 2003, resmi beroperasi sejak
dilantiknya Hakim-Hakim Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Augustus 2003. Tahap Awal
14 perkara yang diterima Mahkamah Agung sebelum MK terbentuk, telah menjadi perkara
pertama yang menjadi tugas MK menanganinya dalam kewenangan constitutional review
tersebut. Perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, dalam praktek telah menjadi
jenis perkara yang dominan. Tetapi meskipun tidak banyak, maka perkara sengketa kewenangan
lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945, merupakan kewenangan lain
yang amat penting dan fundamental dalam sistim ketatanegaraan kita.
Sejak awal, telah nampak bagi kita kekurangan dan kelemahan UU MK dalam hukum
acara.Tampaknya, pembuat undang-undang dalam banyak hal meniru UU Hukum acara yang
kita pergunakan dalam hukum acara perdata dan hukum acara peradilan tatausaha negara, dan
kurang memperhitungkan bahwa hukum acara perkara tata negara akan memiliki satu corak
tersendiri, baik dalam sifat dan karakter maupun dalam tujuan yang hendak dicapai dengan
hukum acara demikian. Dalam beberapa kesempatan, banyak orang terkejut dengan putusan-
putusan MK. Bahkan pembentuk undang-undang, menyatakan dengan jelas keheranan dan
keterkejutannya. Akan tetapi, sebagaimana diutarakan lebih dahuku bahwa MK telah merupakan
fenomena global dewasa ini, maka kaidah-kaidah hukum acara yang dianut dalam MK negara
lain juga dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam memecahkan kekosongan hukum acara MK
di Indonesia.Lagi pula dinamika proses beracara di MK, dalam situasi hukum acara yang
mengalami kekososngan atau kekurang jelasan, akan menafsirkan kaidah hukum acara tersebut
dengan juga melakukan comparative study interpretation, yang menjadi sangat perlu karena
mekanisme demokrasi mendapat kawalan dari konstitusi, dan Hakim MK sebagai pengawal,
harus juga melakukan afkijken ke negara yang lebih dahulu mengadopsi MK dengan
kewenangan constitution lreview yang dimiliki, dan bagaimana hukum acaranya telah diatur.
Banyak ketentuan dalam hukum acara MK, hanya memuat ketentuan yang bersifat umum
sebagai asas, akan tetapi dalam praktek asas umum demikian mengenal juga pengecualian. Dan
kalau pengecualian demikian tidak dikenal, akan timbulkeyidak adilan yang menyolok dalam
ketentuan perundang-undangan yang merupakan kepentingan umum.

CONDI TI ONALLY CONSTI TUTI ONAL/UNCONSTI TUTI ONAL


Hukum acara MK yang diatur dalam UU 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 8 Tahun 2011, juga tidak cukup mengantisipasi pembatasan pembatasan
tertentu yang timbul akibat satu pernyataan bahwa satu undang-undang atau pasal, materi ayat
dan bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dampak yang sangat
ekstrim boleh jadi timbul, yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan bernegara. Hukum acara
dan praktek peradilan umum/pidana juga mengenal prinsip seperti ini. Terkadang Hakim telah
memperoleh bukti yang cukup bahwa seorang terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.
Faktor-faktor lain dalam pemidanaan (sentencing) baik yang memberatkan maupu meringankan,
serta kondisi atau keadaan yang meliputi perbuatan yang dilakukan dan akaibatnya, boleh jadi
dijadikan alasan untuk tidak segera memerintahkan seorang terdakwa yang bersalah tersebut
menjalani hukuman penjara. Kalau dipandang bahwa seorang anak (juvenile) justru akan lebih
jahat atau rusak jika ditempatkan dalam lembaga pemasyarakatan, boleh jadi Hakim
memerintahkan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dan dilekatkan pada putusan tersebut.
Jika syarat tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar, maka dalam putusan telah dinyatakan bahwa
dictum yang menyangkut penghukuman akan dilaksanakan.
Satu undang-undang, pasal, ayat atau bagian tertentu, boleh jadi dianggap sesuai dengan
UUD, hanya kalau ditafsir dalam satu cara tertentu, yaitu interpretasi yang dianggap sesuai
dengan jiwa, isi dan semangat UUD. Tetapi kalau dia ditafsirkan secara lain dari pada yang
disebut itu, maka undang-undang tersebut menjadi bertentangan dengan UUD. Kedua hal ini,
dipandang sebagai syarat (condition) yang melekat dalam sifat konstitusional satu undang-
undang, yang jika tidak dipenuhi atau menyimpang dari yang ditentukan maka undang-undang
demikian itu menjadi bertentangan dengan UUD atau inkonstitusional.
Penutup.
Diberikannya legal standing pada perorangan untuk menguji undang-undang yang
dipandang merugikan hak konstitusional seorang warganegara, merupakan satu bukti yang
menunjukkan adanya demokrasi dalam sistim pemerintahan kita. Meskipun kita telah memilih
wakil kita di DPR dan Pemerintah yang membuat keputusan kebijakan atas nama rakyat, namun
kontrol masih dapat dilakukan jikalau keputusan kebijakan yang diambil oleh para wakil tidak
sesuai dengan kepentingan rakyat dan melanggar hak-hak konstitusional yang diberikan UUD
1945.[20] Pemohon perorangan sebagai warganegara tersebutlah yang menggerakkan
kewenangan MK untuk melakukan pengujian kebijakan Pembuat Undang-Undang. Sebagai
sebuah lembaga peradilan, MK tidak dapat karena jabatannya serta merta melaksanakan
kewenangan yang ada, melainkan dia terlebih dahulu digerakkan oleh kekuatan demokrasi
perorangan tersebut melalui sebuah permohonan ke hadapan Mahkamah Konstitusi.
Kebijakan (policy) yang dirumuskan oleh hakim dalam putusan MK sebagai pengawasan
terhadap produk legislasi yang dibentuk oleh pembuat undang-undang, merupakan hasil yang
tersusun secara dialektis antara dalil pembentuk undang-undang dengan dalil permohonan
pengujian. Putusan MK dalam pengujian undang-undang yang menyatakan satu undang-undang
bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, merupakan satu kebijakan hukum yang baru yang menjadi politik hukum yang dapat
membawa dampak luas bagi lembaga negara, masyarakat, dan warga negara.[21] Oleh karena
itu, putusan MK dalam pengujian undang-undang, tidak menangani sengketa-sengketa
perorangan, tetapi ikut serta dalam penyelesaian masalah sosial politik di masyarakat pada
umumnya. Sebagai judicial policy yang menjadi politik hukum baru, umumnya putusan MK
tersebut mengawal proses demokrasi di Indonesia.
Judicial Review (Peninjauan Kembali)
Posted by Ali Murtadlo pada 2 Juni 2009
PENDAHULUAN
Membahas mengenai konsep Judicial Review di Indonesia bukanlah perkara yang mudah,
mengingat konsep ini baru mulai berkembang dalam praktiknya setelah terjadinya amandemen
UUD 1945. Mulai dari penggunaan istilahnya pun sudah mengundang berbagai perdebatan.
Istilah judicial review, constitutional review, constitutional adjudication, toetsingrecht,
seringkali menjadi tumpang-tindih antara satu dengan lainnya.
Judicial review pada prinsipnya merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap
produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Pemberian kewenangan kepada hakim sebagai penerapan prinsip check and balances
berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara dan cita-cita negara hukum-rechstaat maupun
rule of law. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim tetapi lembaga parlemen maka disebut
dengan istilah legislative review.
Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif merupakan
konsekuensi dianutnya prinsip check and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan
(separation of power). Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan (distribution or division of
power) yang tidak mengidealkan check and balances dimana kewenangan untuk melakukan
pengujian semacam itu berada di tangan lembaga yang membuat aturan itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dijelaskan apa sebenarnya judicial review itu, arti penting judicial
review, serta tata cara pelaksanaannya. Sumber bahan makalah ini diambil dari berbagai buku
karangan para pakar hukum tata negara yang tidak diragukan lagi kemampuannya serta dari
artikel-artikel hasil seminar dan internet. Demikian semoga dapat menjadi sumbangsih bagi
keilmuan dalam civitas akademik.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Judicial Review
Terdapat perbedaan dalam pendefinisian judicial review, diantaranya:
Menurut Encyclopedia Britannica:
Judicial review is the power of courts of a country to determine if acts of legislature and
executive are constitutional.
Sedangkan menurut Ecyclopedia Americana:
Judicial review, power exerted by the courts of a country to examine the actions of the
legislative, executive, and administrative arms of the government and to ensure that such actions
conform to the provisions of constitution.
Menurut Miriam Budiardjo:
Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk menguji apakah sesuatu undangundang
sesuai dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, dan untuk menolak melaksanakan
undangundang serta peraturan peraturan lainnya yang dianggap bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar. Ini dinamakan Judicial Review.
Sri Sumantri berpendapat:
Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah
suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak
mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari
suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Sedangkan Bintan R. Saragih menyebutkan:
Judicial Review adalah hak dari Mahkamah Agung untuk menilai atau menguji secara
material apakah suatu undang-undang bertentangan dengan atau tidak berlaku undang-undang
yang dinyatakan bertentangan atau tidak sesuai tersebut.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999 tentang hak Uji
materiil:
Hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menguji secara materiil terhadap peraturan
perundangundangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan (pasal 1
ayat (1)).
Meskipun belum ada definisi yang baku mengenai judicial review di Indonesia, tetapi pada
umumnya judicial review diberi pengertian sebagai hak uji materiil, yaitu wewenang untuk
menyelidiki, menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
B. Urgensi Judicial Review
Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa urgensi judicial review adalah sebagai alat
kontrol terhadap konsistensi antara produk perundang-undangan dan peraturan-peraturan
dasarnya, untuk itu diperlukan judicial activision.
Menurut Moh. Mahfud MD, minimal ada tiga alasan yang mendasari pernyataan pentingnya
judicial activision:
Pertama, hukum sebagai produk politik senantiasa memiliki watak yang sangat ditentukan oleh
konstelasi politik yang melahirkannya. Hal ini memungkinkan bahwa setiap produk hukum akan
mencerminkan visi dan kekuatan politik pemegang kekuasaan yang dominan sehingga tidak
sesuai dengan hukum-hukum dasarnya atau bertentangan dengan peraturan yang secara hirarkis
lebih tinggi.
Kedua, karena kemungkinan sering terjadi ketidaksesuaian antara suatu produk peraturan
perundangan dengan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi, maka muncul berbagai
alternatif untuk mengantisipasi dan mengatasi hal tersebut melalui pembentukan dan
pelembagaan Mahkamah konstitusi, Mahkamah perudang-undangan, Judicial Review, uji
material oleh MPR dan lain sebagainya.
Ketiga, dari berabagai alternatif yang pernah ditawarkan, pelembagaan judicial review adalah
lebih konkret bahkan telah dikristalkan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan kendati
cakupannya masih terbatas sehingga sering disebut sebagai judicial review terbatas. Namun,
tidak sedikit orang yang mengira bahwa dari penerimaan terbatas terhadap judicial review akan
benar-benar dapat dilaksanakan dan telah mendapat akomodasi pengaturan yang cukup. Padahal
ketentuan tentang judicial review yang ada di berbagai peraturan perundang-undangan itu
memuat kekacauan teoritis yang sangat mendasar sehingga tidak dapat dioperasionalkan. Oleh
karena itu diperlukan perombakan total terhadap peraturan mengenai judicial review, termasuk
Perma No.1 Tahun 1993.
C. Mekanisme Beracara dalam Judicial Review
1. Prinsip-prinsip hukum acara.
1.
Proses judicial review dalam perumusan hukum acaranya terikat oleh asas-asas publik. Di dalam
hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitu contentious procesrecht atau hukum acara
sengketa dan non contentieus procesrecht atau hukum acara non-sengketa. Untuk judicial
review, selain digunakan hukum sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan hukum acara non
sengketa yang bersifat volunteer (atau tidak ada dua pihak bersengketa/berbentuk permohonan).
Bila menelaah asas-asas hukum publik yang salah satunya tercermin pada asas hukum acara
peradilan administrasi, maka proses beracara judicial review seharusnya juga terikat pada asas
tersebut. Asas tersebut adalah:
a. Asas Praduga Rechtmatig
Putusan pada perkara judicial review seharusnya merupakan putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut. Pernyataan tidak
berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan dibacakan, obyek yang menjadi
perkara misalnya peraturan yang akan diajukan judicial review - harus selalu dianggap sah atau
tidak bertentangan sebelum putusan Hakim atau Hakim Konstitusi menyatakan sebaliknya.
Konsekuensinya, akibat putusan Hakim adalah ex nunc yaitu dianggap ada sampai saat
pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan suatu peraturan karena bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh
lembaga berwenang (MA atau MK) ke depan. Namun perlu juga dipikirkan tentang dampak
yang sudah terjadi, terutama untuk kasus-kasus pidana, misalnya dimungkinkan untuk
mengajukan kembali perkara yang bersangkutan tersebut untuk ditinjau kembali.
b. Putusan memiliki kekuatan mengikat (erga omnes)
Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan
mengikatnya. Putusan suatu perkara judicial review haruslah merupakan putusan yang mengikat
para pihak dan harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas ini maka tercermin bahwa putusan
memiliki kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya publik maka berlaku pada siapa
sajatidak hanya para pihak yang berperkara.
2. Pengajuan permohonan atau gugatan.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengajuan judicial review dapat dilakukan
baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan dalam PERMA No. 2 Tahun 2002 untuk
berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh MA hingga terbentuknya
MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus dilakukan melalui gugatan
dan perkara apa yang dapat dilakukan melalui permohonan, atau dapat dilakukan melalui dua
cara tersebut. Akibatnya dalam prakteknya terjadi kebingungan mengingat tidak diatur
pembedaan yang cukup signifikan dalam dua terminologi ini.
PERMA No. 1 tahun 1999 mengatur batas waktu 180 hari suatu putusan dapat diajukan judicial
review. Sedangkan dalam PERMA No. 2 tahun 2002, jangka waktu untuk mengajukan judicial
review hanyalah 90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan ini menimbulkan
permasalahan mengingat produk hukum yang potensial bermasalah adalah produk hukum pada
masa orde baru dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini juga menafikan kesadaran
hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.
3. Alasan mengajukan judicial review.
Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang MK dan MA atas hak uji materiil,
yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum keberadaan MK melalui PERMA No. 2 Tahun
2002, maupun dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tidak disebutkan alasan yang jelas untuk dapat
mengajukan permohonan/gugatan judicial review. Dalam PERMA hanya disebutkan bahwa MA
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut
bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan Amandemen hanya
menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang berwenang memutus.
Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicial
review adalah sebagai berikut :
Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi.
Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.
Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
Terdapat ambiguitas atau keraguraguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu
diklarifikasi
4. Pihak yang berhak mengajukan judicial review.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Penggugat atau
Pemohon adalah badan hukum, kelompok masyarakat. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut
badan hukum atau kelompok masyarakat yang dimaksud dalam PERMA ini seperti apa. Yang
seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki legal standing) dalam mengajukan permintaan
pengujian UU adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki
kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat semua orang.
Jadi sebenarnya semua orang harus dianggap berkepentingan atau punya potensi
berkepentingan atau suatu UU. Namun bila semua orang punya hak yang sama, ada potensi
penyalahgunaan hak yang akhirnya dapat merugikan hak orang lain. Namun karena pengajuan
perkara dapat dilakukan oleh individu maka sangat mungkin dampaknya adalah pada
menumpuknya jumlah perkara yang masuk.
Untuk itu di masa mendatang idealnya dalam pengajuan perkara hak uji materil maka perlu
diperhatikan bahwa yang berhak mengajukan permohonan/gugat-an adalah kelompok
masyarakat yang :
1. Berbentuk organisasi kemasyarakatan dan berbadan hukum tertentu.
2. Dalam Anggaran Dasarnya menyebutkan bahwa pencapaian tujuan mereka terhalang oleh
perundangundangan.
3. Yang bersangkutan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.
4. Dalam hal pribadi juga dapat memiliki legal standing, maka ia harus membuktikan bahwa dirinya
memiliki concern yang tinggi terhadap suatu bidang tertentu yang terhalang oleh perundang-
undangan yang bersangkutan.
5. Putusan dan eksekusi putusan.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan
diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan
kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud batal demi hukum. Putusan
dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan yang sudah diambil mengikat.
Hal ini dapat diartikan bahwa jika dinyatakan suatu UU baik seluruh pasalnya (berhubungan
dengan keseluruhan jiwanya) atau pasal-pasal tertentunya saja bertentangan dengan UUD, maka
putusan tersebut wajib dicabut oleh DPR dan Presiden dalam waktu tertentu. Jika tidak, maka
UU tersebut otomatis batal demi hukum.
Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari, yaitu :
Alternatif pertama, segala peraturan atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak
konstitusional kehilangan pengaruhnya sejak hari dimana putusan tersebut dibuat. Dengan
catatan peraturan atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hukum pidana kehilangan
pengaruhnya secara retroaktif. Dalam hal demikian maka dimungkinkan dibuka kembali
persidangan mengingat tuduhan didasarkan pada peraturan yang dianggap inkonstitusional;
Alternatif kedua, dapat diberikan kewenangan bagi MA ataupun MK (nantinya) untuk memutus
dampak atas masing-masing putusan apakah berdampak pada peraturan yang timbul sejak
pencabutan dilakukan (ex nunc) atau berdampak retroaktif (ex tunc).
Dalam hal pencabutan putusan secara extunc, complaint individu terhadap suatu peraturan yang
bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga omnes), karena landasan hukum suatu
putusan pengadilan atau penetapan administrative telah dinyatakan batal demi hukum atau dalam
proses pembatalan. Dengan demikian peraturan yang berlaku individu yang didasarkan pada
landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.
Di sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi lain
harus berjalan seimbang. Setidaknya putusan dalam perkara kriminal harus dapat dibuka kembali
oleh peradilan biasa dengan berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana yang
menjadi dasar dari putusan tersebut.

PENUTUP
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan :
1. Judicial review adalah wewenang untuk menyelidiki, menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu.
2. Urgensi judicial review adalah sebagai alat kontrol terhadap konsistensi antara produk
perundang-undangan dan peraturan-peraturan dasarnya.
3. Proses beracara judicial review terikat pada asas praduga rechtmatig dan putusan memiliki
kekuatan mengikat.
4. Pengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan maupun permohonan.
5. MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut
bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
6. Pihak yang berhak mengajukan judicial review adalah badan hukum, kelompok masyarakat.
Pengertian Judicial Review
14 02 2010
Judicial Review (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan
untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan
oleh ekesekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku.
Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts)
dan cabang kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekensi dari dianutnya
prinsip checks and balances berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of
power)1. Karena itu kewenangan untuk melakukan judicial review itu melekat pada
fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak
dilakukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak
dapat disebut sebagai judicial review, melainkan legislative review.
Judicial Review di negara-negara penganut aliran hukum civil law biasanya bersifat
tersentralisasi (centralized system). Negara penganut sistem ini biasanya memiliki
kecenderungan untuk bersikap pasti terhadap doktrin supremasi hukum. Karena
itu penganut sistem sentralisasi biasanya menolak untuk memberikan kewenangan
ini kepada pengadilan biasa, karena hakim biasa dipandang sebagai pihak yang harus
menegakkan hukum sebagaimana yang tercantum dalam suatu peraturan
perundangan. Kewenangan ini kemudian dilakukan oleh suatu lembaga khusus yaitu
seperti Mahkamah Konstitusi.
Disisi lain, dalam sistem yang terdesentralisasi (desentralized system),
seperti misalnya diterapkan di Amerika Serikat, kewenangan melakukan judicial review
atas suatu peraturan dan konstitusi diberikan pada organ pengadilan yaitu
Mahkamah Agung. Pertimbangan untuk memberikan kewenangan ini pada pengadilan adalah
sangat sederhana, karena pengadilan memang berfungsi untuk
menafsirkan hukum dan untuk menerapkannya dalam kasus-kasus.
Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan (distribution or division of power) yang
tidak mengidealkan prinsip checks and balances, pengujian semacam itu, jika
diperlukan, dianggap hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang membuat aturan itu
sendiri. Misalnya, suatu Undang- undang hanya dapat diuji oleh Presiden dan DPR
yang memang berwenang membuatnya sendiri. Usul mengenai
pencabutan suatu Undang-Undang bisa datang dari mana saja, tetapi proses
perubahan ataupun pencabutan Undang- Undang itu harus datang dari inisiatif
Presiden atau DPR sebagai lembaga yang mempunyai wewenang untuk itu. Itulah
sebabnya, selama ini dianut pendapat bahwa Mahkamah Agung berwenang
menguji materi peraturan di bawah Undang-Undang, tetapi tidak berwenang
menguji materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat formil atau materiel (formele toetsingsrecht en
materiele toetsingsrecht)5. Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural
dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat
membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang
pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat
menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh
lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.
Sedangkan pengujian materiel berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu
peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut
kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang
berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip lex specialis derogate lex generalis,
maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim,
meskipun isinya bertentangan dengan
materi peraturan yang bersifat umum. Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula
dinyatakan tidak berlaku jikalau materi yang terdapat di dalamnya dinilai oleh
hakim nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi sesuai
dengan prinsip lex superiore derogate lex infiriore.(Dian Rositawati, S.H)
Judicial Review Dikabulkan, Hak DPR &
DPD Sama
Rabu, 27 Maret 2013 19:45 WIB | John Andhi Oktaveri/JIBI/Bisnis Indonesia | Dilihat: 441 Kali
|
JAKARTA Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian besar gugatan
judicial review terkait kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membuat lembaga itu
memiliki hak dan kewenangan konstitusional yang setara dengan DPR dan presiden.
Demikian dikemukakan oleh Ketua DPD, Irman Gusman saat memberikan keterangan pers usai
pembacaan keputusan itu dilakukan, Rabu (27/3/2013). Pernyataan pers itu juga dihadiri
pengacara DPD, Todung Mulya Lubis serta sejumlah anggota DPD dari berbagai daerah.
Apa yang kami minta nyaris dikabulkan MK semua. Prinsipnya sekarang DPD ini mempunyai
hak dan kewajiban yang setara dengan DPR dan presiden dalam inisiatif dan pembahasan RUU,
ujar Irman menegaskan.
Dia mencontohkan kesetaraan hak dalam pembahasan RUU seperti menyangkut otonomi
daerah, pemekaran daerah, pemberdayaan sumber daya alam serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam keterangannya, Irman menyebutkan kini DPD berwenang mengajukan RUU inisiatif
yang diperlakukan sama dengan yang diajukan DPR dan presiden. Selain itu, DPD juga
berwenang membahas RUU pada pembahasan tingkat I, atau dalam Daftar Inventarisasi Masalah
(DIM).
Ini luar biasa, kami DPD juga berwenangan dan berperan dalam program legislasi nasional
(Prolegnas) sehingga diharapkan produktivitas legislasi parlemen akan meningkat. Irman
menambahkan dengan adanya keputusan itu maka parlemen akan menggunakan sistem tripartit
dalam menghasilna produk legislasi.
Dengan putusan ini proses legislasi nasional akan lebih baik dan dirasakan oleh seluruh rakyat
indonesia, ujarnya.
Sementara Todung Mulya Lubis mengatakan keputusan Mk tersebut pada dasarnya bukan berarti
DPD mendapatkan haknya yang baru. Menurutnya, keputusan itu merupakan bentuk pemulihan
hak DPD yang selama ini dinegasikan oleh UU MD3.
Jadi hak itu dipulihkan kembali. Mulai ada proses legislasi yang melibatkan semua lembaga
yang memang harus dilibatkan. DPD punya hak untuk membahas semua RUU yang masuk
dalam cakupan DPD, ujarnya. Dia menambahkan DPD tidak lagi hanya berperan hingga
menyatakan pendapat namun ikut membahas yang selama ini dikebiri dari DPD.

Anda mungkin juga menyukai