TEORI PERUNDANG-UNDANGAN
Disusun Oleh:
BURHANUDDIN
NIM. 030600829
TUGAS 3
JAWABAN
1. Dalam prinsip pembagian kekuasaan negara, maka kekuasaan tidak dibagi habis kepada
lembaga negara yang ada, melainkan kekuasaan itu dibagi oleh lembaga yang oleh
konstitusi diberikan kewenangan untuk membagi kekuasaan negara seperti MPR sebagai
lembaga tertinggi dalam UUD 1945 (sebelum diubah) membagi-bagi kekuasaan negara
kepada lembaga-lembaga negara di bawahnya. Dalam prinsip pembagian kekuasaan, lebih
mengedepankan adanya kekuasaan tertinggi yang mengatur dan menerima
pertanggungjawaban atas pelaksanaan kekuasaan yang diberikan. Hal ini lazim dikenal
sebagai 'supremasi parlemen', manakala parlernen lebih dominan dalam menentukan arah
pengelolaan negara. Prinsip kekuasaan negara dalam perspektif UUD 1945 (sebelum
diubah) tidak menganut prrinsip pemisahan kekuasaan dalam arti materiil (separatlon of
power), tetapi mempraktikkan prinsip pemisahan kekuasaan dalam arti formal (division of
powers).
UUD 1945 menentukan bahwaa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh MPR sehingga sumber kekuasaan itu hanya ada pada rakyat dan pada
hakikatnya MPR yang memegang kekuasaan tertinggi untuk dan atas nama rakyat. Sumber
kekuasaan yang dilekatkan pada MPR dan berfungsi terus dari tidak habis walaupun
sebagian kekuasaan dilimpahkan kepada Iembaga negara Iain. Hubungan antara MPR dan
Iembaga negarra di bawahnya didasarkan pada prinsip ‘delegasi kekuasaan’. Pada prinsip
'delegasi kekuasaan', maka MPR sebagai lembaga tertinggi negara menyalurkan
kekuasaannya kepada lembaga-lembaga negara yang telah ditentukan dalam UUD 1945.
Oleh karena itu, dalam prinsip 'delegasi kekuasaan', terdapat pertanggungjawaban
kekuasaan dari yang menerima delegasi kepada yang memberikan delegasi yaitu lembaga-
lembaga tinggi negara kepada lembaga tertinggi negara. Akan tetapi, khusus lembaga
DPR, memang kesulitan ketika akan meminta pertanggungjawabakan delegasi kekuasaan
yang diterimanya kepada MPR, sebab sebagian besar anggota DPR juga sebagai anggota
MPR.
Setelah perubahan UUD 1945 (tahun 1999 sampai dengan 2000) maka prinsip pembagian
kekuasaan ditinggalkan dan diganti dengan prinsip pernisahan kekuasaan dan pembagian
prinsip checks and balances. Dengan demikian, prinsip pembagian kekuasaan (division
ofpower) dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan yakni sejak 1945 sampai dengan
1999, dan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dan 'checks and balances'
yakni sejak perubahan UUD 1945 yang dimulai sejak tahun 1999 sampai dengan 2002.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa penjabaran Pasal 24 dan 25 UUD 1945 pada kurun
waktu 1970-1980-an adalah Undang- Undang Norr.or 14 Tahun 1970, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985, dan pelbagai undang-undang di bidang kekuasaan kehakiman
yakni tentang badan-badan peradilan yang ada di dalam lingkungan kekuasaan .
kehakiman. Oleh karena kurun waktu 1970-1980 UUD 1945 menganut prinsip pembagian
kekuasaan yang mengedepankan 'supermasi parlemen' maka prinsip kekuasaan kehakiman
yang bebas dan mandiri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 UUD 1945, tidak
sepenuhnya dapat diwujudkan.
Pemaknaan kebebasan kekuasaan kehakiman lebih ditekankan pada fungsi hakim dalam
menyelesaikan perkara, bukan institusi dan sistem penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman. Hal ini terbukti dalam materi muatan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, dan berbagai produk hukum di bidang badan
peradilan. Secara normatif, Mahkamah Agung mernang sebagai organ yang merdeka dan
menjadi lembaga tertinggi negara, tetapi badan-badan peradilan yang menjadi bagian dari
kekuasaan kehakiman yang dijalankan Mahkamah Agung justru organisatoris,
administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan eksekutif (Presiden c.q Departemen
Kehakiman dan Peradilan Umum dan ·Tata Usaha Negara, dan Departemen Agama untuk
peradilan agama). Oleh karena itu, pada kurun 1970-1998 prinsip pembagian kekuasaan
yang dianut oleh UUD 1945 sangat berpengaruh terhadap sistem kekuasaan kehakiman
sebagaimana yang dicerminkan oleh berbagai produk hukumnya. Dalam perspektif ini
maka Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya hanya
dijadikan corong undang-undang dan bukan corong hukum dan keadilan.
Dalam perspektif pengujian peraturan perundang-undangan maka dalam prinsip
pembagian kekuasaan yang mengedepankan ‘supremasi parlemen', tidak dibenarkan
lembaga negara yang sederajat rnenilai dan menguji segala produk hukum lembaga negara
yang diberikan kewenangan oleh konstitusi sebagai pembuatnya. Produk hukum yang
dimaksud adalah berbentuk undang-undang dan prinsip ini tercermin dalam berbagai
produk hukurn di bidang pengujian peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam
kurun 1970-1998, pengujian peraturan perundang- undnagan dalam persepektif
pembagiian kekuasaan yang dianut oleh UUD 1945, tidak mengenal ‘pengujian undang-
undang terhadap undang-undang dasar', melainkan 'pengujian peraturan di bawah
undanag-undang'. Hal ini didasarkan pada perolehan kekuasaan di masing-masing
lembaga negara yang menurut UUD 1945 diberikan 'atas dasar delegasi kewenangan dari
MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan negara yang timbul pada dasarnya
bermuara pada MPR, dan MPR selanjutnya membagi-bagi kekuasaan tersebut kepada
lembaga negara untuk dilaksanakan dalam rangka menjalankan amanat UUD 1945.
Dengan demikian, konsekuensi atas kewenangan yang diperoleh tersebut maka segala
bentuk putusan Mahkamah Agung sepanjang tidak bertentangan dengan ketetapan MPR
dan UUD 1945 maka lembaga negara lainnya dan termasuk warga negara harus tunduk
pada putusan Mahkamah Agung tersebut. Oleh karena itu, pengujian peraturan perundang-
undangan yang berbentuk terhadap UUD 1945 untuk melakukan pengujian tersebut. Hal
ini dikarenakan selain tidak ada pelimpahan kewenangan tersebut dari MPR, juga
pelimpahan kewenangan membentuk undang-undang adalah kepada Presiden dan DPR
yang kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung. Undang-undang merupakan
penjabaran materi muatan UUD 1945 dan Ketetapan MPR yang pembuatnya dilimpahkan
kepada Presiden dan DPR sehingga hat tersebut juga merupakan perintah MPR. Pada
tataran pelaksanaan perintah undang-undang yang dijabarkan dalarn berbagai bentuk
peraturan oleh lembaga dan/atau pejabat yang diberikan 'kuasa’ dan 'kewenangan' untuk
menjalankannya, sangat rentan dari intervensi politik yang datangnya dari multi arah.
Untuk menghindarkan intervensi politik para pemegang kekuasaan, dan untuk menjaga
konsistensi normatif secara vertikal maka perlu diberikan delegasi kewenangan kepada
Mahkamah Agung untuk menilai dan memutuskan apakah materi muatan peraturan
pelaksanaan undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan materi muatan undang-
undang yang menjadi induknya.
Dengan demikian, walaupun UUD 1945 (sebelum diamandemen) menganut prinsip
'pembagian kekuasaan' yang pada umumnya tidak mengenal tentang pengujian peraturan,
tetapi justru UUD 1945 yang dijabarkan dalam Ketetapan MPR dan berbagai bentuk
peraturan perundang- undangan memperkenalakan pengujian peraturan yang objeknya
dibatasi hanya peraturan di bawah undang-undang. Sebab, objek ini dianggap bagian dari
landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan, yang memerlukan kontrol baik segi
normatif, maupun segi kontrol dalam bentuk lainnya sesuai yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Perkembangan terakhir adalah setelah perubahan UUD 1945 yakni diaturnya pengujian
peraturan perundang-undangan secara tegas dengan objek undang-undang terhadap
undang-undang dasar, dan peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
yang diatur, baik dalam peraturan dasar, maupun pelbagai peraturan perundang-undangan.
Dalam perspektif kekuasaan negara maka prinsip 'pemisahan kekuasaan' dan 'checks and
balances' yang dianut, sehingga tidak ada lagi lembaga negara yang superior, tetapi justru
semua lembaga negara kedudukannya sederajat dan dibedakan pada fungsi dan tugas
sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Demikian pula dalam hal pengujian undang-
undang terhadap undang-undang dasar yang kewenangannya dilekatkan kepada
Mahkamah Konstitusi, dan pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang yang kewenangannya dilekatkan kepada Mahkamah Agung.
2. Sebelum menjelaskan mengenai legislative review dan executive review, perlu sedikit kita
bahas tentang hak menguji/pengujian peraturan perundang-undangan. Toetsingsrecht atau
hak menguji itu jika diberikan kepada lembaga parlemen sebagai legislator, maka proses
pengujian itu disebut legislative review. Jika hak menguji diberikan kepada pemerintah
maka disebut executive review. Jadi pengujian materiil tidak semata-mata berupa
pengujian oleh badan peradilan. Pada dasarnya fungsi hak menguji materiil adalah berupa
fungsi pengawasan, yaitu agar materi (isi) peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah derajatnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Lebih-lebih dan paling utama agar peraturan perundang-undangan di bawah UUD
tidak bertentangan dengan UUD sebagai "the supreme law."
Legislative review merupakan bagian proses politik di bidang perundang-undangan dan
lebih di bidang peraturan perundang-undangan dan lebih dipengaruhi oleh faktor politik
sehingga proses perubahan produk hukum tersebut tidak dilakukan melalui proses judicial,
atau dalam koridor normatif yang biasa dijalankan oleh kekuasaan kehakiman, melainkan
melalui proses politik oleh lembaga politik. Peraturan perundang-undangan yang diputus
dan/atau ditetapkan untuk dicabut oleh pembuatnya maka secara otomatis pada saat
diputuskan/ditetapkan tidak berlaku lagi, dan pada saat bersamaan lembaga pembuatnya
menerbitkan peraturan yang baru. Legislative review ini pada awalnya dilakukan
berdasarkan Ketetapan MPR(S) Nomor: XIX/MPRS/1966 yang berisi peninjauan kembali
segala bentuk produk legislatif, Penetapan Presiden dan Peraturan Persiden yang
bertentangan dengan UUD 1945 dan pelaksanannya diserahkan kepada presiden dan DPR
secara bersama-sama.
Legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki
kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya,
pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk mengubah undang-undang
tertentu. Dalam legislative review, setiap orang bisa meminta agar lembaga legislasi
melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya
peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat
dengannya. untuk peraturan perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Pemerintah
(PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah, setiap warga negara tentu bisa
meminta kepada lembaga pembuatnya untuk melakukan legislative review atau melakukan
revisi.
Contoh:
Dengan adanya Ketetapan MPR(S) Nomor: XIX/MPRS/1966, lahir beberapa undang-
undang yang menyatakan tidak berlakunya Penetapan Presiden, Peraturan Persiden, dan
Undang-Undang di bidang kekuasaan kehakiman.