Anda di halaman 1dari 12

TUGAS 3

TEORI PERUNDANG-UNDANGAN

Disusun Oleh:

BURHANUDDIN
NIM. 030600829
TUGAS 3

1. Jelaskan korelasi konsepsi pembagian kekuasaan (division of power) dan pemisahan


kekuasaan (separation of power) negara dalam hal pengujian peraturan perundang-
undangan!
2. Uraikan pengujian perundang-undangan dalam perspektif legislative review dan executive
review. Sertakan masing-masing contoh yang Anda ketahui
3. Jelaskan mekanisme permohonan pengujian Peraturan Pemerintah (PP) dan Peratruan
Presiden (Perpres)

JAWABAN

1. Dalam prinsip pembagian kekuasaan negara, maka kekuasaan tidak dibagi habis kepada
lembaga negara yang ada, melainkan kekuasaan itu dibagi oleh lembaga yang oleh
konstitusi diberikan kewenangan untuk membagi kekuasaan negara seperti MPR sebagai
lembaga tertinggi dalam UUD 1945 (sebelum diubah) membagi-bagi kekuasaan negara
kepada lembaga-lembaga negara di bawahnya. Dalam prinsip pembagian kekuasaan, lebih
mengedepankan adanya kekuasaan tertinggi yang mengatur dan menerima
pertanggungjawaban atas pelaksanaan kekuasaan yang diberikan. Hal ini lazim dikenal
sebagai 'supremasi parlemen', manakala parlernen lebih dominan dalam menentukan arah
pengelolaan negara. Prinsip kekuasaan negara dalam perspektif UUD 1945 (sebelum
diubah) tidak menganut prrinsip pemisahan kekuasaan dalam arti materiil (separatlon of
power), tetapi mempraktikkan prinsip pemisahan kekuasaan dalam arti formal (division of
powers).
UUD 1945 menentukan bahwaa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh MPR sehingga sumber kekuasaan itu hanya ada pada rakyat dan pada
hakikatnya MPR yang memegang kekuasaan tertinggi untuk dan atas nama rakyat. Sumber
kekuasaan yang dilekatkan pada MPR dan berfungsi terus dari tidak habis walaupun
sebagian kekuasaan dilimpahkan kepada Iembaga negara Iain. Hubungan antara MPR dan
Iembaga negarra di bawahnya didasarkan pada prinsip ‘delegasi kekuasaan’. Pada prinsip
'delegasi kekuasaan', maka MPR sebagai lembaga tertinggi negara menyalurkan
kekuasaannya kepada lembaga-lembaga negara yang telah ditentukan dalam UUD 1945.
Oleh karena itu, dalam prinsip 'delegasi kekuasaan', terdapat pertanggungjawaban
kekuasaan dari yang menerima delegasi kepada yang memberikan delegasi yaitu lembaga-
lembaga tinggi negara kepada lembaga tertinggi negara. Akan tetapi, khusus lembaga
DPR, memang kesulitan ketika akan meminta pertanggungjawabakan delegasi kekuasaan
yang diterimanya kepada MPR, sebab sebagian besar anggota DPR juga sebagai anggota
MPR.
Setelah perubahan UUD 1945 (tahun 1999 sampai dengan 2000) maka prinsip pembagian
kekuasaan ditinggalkan dan diganti dengan prinsip pernisahan kekuasaan dan pembagian
prinsip checks and balances. Dengan demikian, prinsip pembagian kekuasaan (division
ofpower) dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan yakni sejak 1945 sampai dengan
1999, dan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dan 'checks and balances'
yakni sejak perubahan UUD 1945 yang dimulai sejak tahun 1999 sampai dengan 2002.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa penjabaran Pasal 24 dan 25 UUD 1945 pada kurun
waktu 1970-1980-an adalah Undang- Undang Norr.or 14 Tahun 1970, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985, dan pelbagai undang-undang di bidang kekuasaan kehakiman
yakni tentang badan-badan peradilan yang ada di dalam lingkungan kekuasaan .
kehakiman. Oleh karena kurun waktu 1970-1980 UUD 1945 menganut prinsip pembagian
kekuasaan yang mengedepankan 'supermasi parlemen' maka prinsip kekuasaan kehakiman
yang bebas dan mandiri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 UUD 1945, tidak
sepenuhnya dapat diwujudkan.
Pemaknaan kebebasan kekuasaan kehakiman lebih ditekankan pada fungsi hakim dalam
menyelesaikan perkara, bukan institusi dan sistem penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman. Hal ini terbukti dalam materi muatan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, dan berbagai produk hukum di bidang badan
peradilan. Secara normatif, Mahkamah Agung mernang sebagai organ yang merdeka dan
menjadi lembaga tertinggi negara, tetapi badan-badan peradilan yang menjadi bagian dari
kekuasaan kehakiman yang dijalankan Mahkamah Agung justru organisatoris,
administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan eksekutif (Presiden c.q Departemen
Kehakiman dan Peradilan Umum dan ·Tata Usaha Negara, dan Departemen Agama untuk
peradilan agama). Oleh karena itu, pada kurun 1970-1998 prinsip pembagian kekuasaan
yang dianut oleh UUD 1945 sangat berpengaruh terhadap sistem kekuasaan kehakiman
sebagaimana yang dicerminkan oleh berbagai produk hukumnya. Dalam perspektif ini
maka Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya hanya
dijadikan corong undang-undang dan bukan corong hukum dan keadilan.
Dalam perspektif pengujian peraturan perundang-undangan maka dalam prinsip
pembagian kekuasaan yang mengedepankan ‘supremasi parlemen', tidak dibenarkan
lembaga negara yang sederajat rnenilai dan menguji segala produk hukum lembaga negara
yang diberikan kewenangan oleh konstitusi sebagai pembuatnya. Produk hukum yang
dimaksud adalah berbentuk undang-undang dan prinsip ini tercermin dalam berbagai
produk hukurn di bidang pengujian peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam
kurun 1970-1998, pengujian peraturan perundang- undnagan dalam persepektif
pembagiian kekuasaan yang dianut oleh UUD 1945, tidak mengenal ‘pengujian undang-
undang terhadap undang-undang dasar', melainkan 'pengujian peraturan di bawah
undanag-undang'. Hal ini didasarkan pada perolehan kekuasaan di masing-masing
lembaga negara yang menurut UUD 1945 diberikan 'atas dasar delegasi kewenangan dari
MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan negara yang timbul pada dasarnya
bermuara pada MPR, dan MPR selanjutnya membagi-bagi kekuasaan tersebut kepada
lembaga negara untuk dilaksanakan dalam rangka menjalankan amanat UUD 1945.
Dengan demikian, konsekuensi atas kewenangan yang diperoleh tersebut maka segala
bentuk putusan Mahkamah Agung sepanjang tidak bertentangan dengan ketetapan MPR
dan UUD 1945 maka lembaga negara lainnya dan termasuk warga negara harus tunduk
pada putusan Mahkamah Agung tersebut. Oleh karena itu, pengujian peraturan perundang-
undangan yang berbentuk terhadap UUD 1945 untuk melakukan pengujian tersebut. Hal
ini dikarenakan selain tidak ada pelimpahan kewenangan tersebut dari MPR, juga
pelimpahan kewenangan membentuk undang-undang adalah kepada Presiden dan DPR
yang kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung. Undang-undang merupakan
penjabaran materi muatan UUD 1945 dan Ketetapan MPR yang pembuatnya dilimpahkan
kepada Presiden dan DPR sehingga hat tersebut juga merupakan perintah MPR. Pada
tataran pelaksanaan perintah undang-undang yang dijabarkan dalarn berbagai bentuk
peraturan oleh lembaga dan/atau pejabat yang diberikan 'kuasa’ dan 'kewenangan' untuk
menjalankannya, sangat rentan dari intervensi politik yang datangnya dari multi arah.
Untuk menghindarkan intervensi politik para pemegang kekuasaan, dan untuk menjaga
konsistensi normatif secara vertikal maka perlu diberikan delegasi kewenangan kepada
Mahkamah Agung untuk menilai dan memutuskan apakah materi muatan peraturan
pelaksanaan undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan materi muatan undang-
undang yang menjadi induknya.
Dengan demikian, walaupun UUD 1945 (sebelum diamandemen) menganut prinsip
'pembagian kekuasaan' yang pada umumnya tidak mengenal tentang pengujian peraturan,
tetapi justru UUD 1945 yang dijabarkan dalam Ketetapan MPR dan berbagai bentuk
peraturan perundang- undangan memperkenalakan pengujian peraturan yang objeknya
dibatasi hanya peraturan di bawah undang-undang. Sebab, objek ini dianggap bagian dari
landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan, yang memerlukan kontrol baik segi
normatif, maupun segi kontrol dalam bentuk lainnya sesuai yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Perkembangan terakhir adalah setelah perubahan UUD 1945 yakni diaturnya pengujian
peraturan perundang-undangan secara tegas dengan objek undang-undang terhadap
undang-undang dasar, dan peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
yang diatur, baik dalam peraturan dasar, maupun pelbagai peraturan perundang-undangan.
Dalam perspektif kekuasaan negara maka prinsip 'pemisahan kekuasaan' dan 'checks and
balances' yang dianut, sehingga tidak ada lagi lembaga negara yang superior, tetapi justru
semua lembaga negara kedudukannya sederajat dan dibedakan pada fungsi dan tugas
sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Demikian pula dalam hal pengujian undang-
undang terhadap undang-undang dasar yang kewenangannya dilekatkan kepada
Mahkamah Konstitusi, dan pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang yang kewenangannya dilekatkan kepada Mahkamah Agung.

2. Sebelum menjelaskan mengenai legislative review dan executive review, perlu sedikit kita
bahas tentang hak menguji/pengujian peraturan perundang-undangan. Toetsingsrecht atau
hak menguji itu jika diberikan kepada lembaga parlemen sebagai legislator, maka proses
pengujian itu disebut legislative review. Jika hak menguji diberikan kepada pemerintah
maka disebut executive review. Jadi pengujian materiil tidak semata-mata berupa
pengujian oleh badan peradilan. Pada dasarnya fungsi hak menguji materiil adalah berupa
fungsi pengawasan, yaitu agar materi (isi) peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah derajatnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Lebih-lebih dan paling utama agar peraturan perundang-undangan di bawah UUD
tidak bertentangan dengan UUD sebagai "the supreme law."
Legislative review merupakan bagian proses politik di bidang perundang-undangan dan
lebih di bidang peraturan perundang-undangan dan lebih dipengaruhi oleh faktor politik
sehingga proses perubahan produk hukum tersebut tidak dilakukan melalui proses judicial,
atau dalam koridor normatif yang biasa dijalankan oleh kekuasaan kehakiman, melainkan
melalui proses politik oleh lembaga politik. Peraturan perundang-undangan yang diputus
dan/atau ditetapkan untuk dicabut oleh pembuatnya maka secara otomatis pada saat
diputuskan/ditetapkan tidak berlaku lagi, dan pada saat bersamaan lembaga pembuatnya
menerbitkan peraturan yang baru. Legislative review ini pada awalnya dilakukan
berdasarkan Ketetapan MPR(S) Nomor: XIX/MPRS/1966 yang berisi peninjauan kembali
segala bentuk produk legislatif, Penetapan Presiden dan Peraturan Persiden yang
bertentangan dengan UUD 1945 dan pelaksanannya diserahkan kepada presiden dan DPR
secara bersama-sama.
Legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki
kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya,
pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk mengubah undang-undang
tertentu. Dalam legislative review, setiap orang bisa meminta agar lembaga legislasi
melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya
peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat
dengannya. untuk peraturan perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Pemerintah
(PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah, setiap warga negara tentu bisa
meminta kepada lembaga pembuatnya untuk melakukan legislative review atau melakukan
revisi.
Contoh:
Dengan adanya Ketetapan MPR(S) Nomor: XIX/MPRS/1966, lahir beberapa undang-
undang yang menyatakan tidak berlakunya Penetapan Presiden, Peraturan Persiden, dan
Undang-Undang di bidang kekuasaan kehakiman.

Executive review adalah suatu penilaian atau pengujian peraturan perundang-undangan


oleh pihak eksekutif, artinya segala bentuk produk hukum pihak eksekutif diuji oleh pihak
eksekutif sendiri baik dari sisi kewenangan maupun sisi kelembagaan yang bersifat
hierarkis. Dalam konteks yang sama, dikenal juga internal control yang dilakukan oleh
pihak sendiri terhadap produk hukum yang dikeluarkan baik yang berbentuk pengaturan
atau regeling, maupun berbentuk penetapan atau beschikking. Akan tetapi, terhadap
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berupa penetapan atau beschikking, jika
kontrol normatifnya dilakukan oleh badan lain dalam hal ini PTUN maka hal tersebut
bukanlah executive review, melainkan kontrol segi hukum atau legal control. Dengan
demikian, executive review lebih dilakukan terhadap aturan yang bersifat abstrak dan
mengatur serta mengikat secara umum, atau yang lebih dikenal dengan regeling. Dalam
hubungannya dengan executive review, maka objeknya adalah peraturan regeling yang
dilakukan melalui pendekatan perubahan maupun pendekatan pencabutan.
Executive review adalah segala bentuk pengujian produk hukum pihak eksekutif baik
kelembagaan dan kewenangan yang bersifat hirarkis. Dalam konteks ini yang
diperkenalkan istilah “internal control” yang dilakukan oleh pihak itu sendiri terhadap
produk hukum yang dikeluarkan baik yang berbentuk regeling maupun beschikking.
Sasaran objek “executive review” adalah peraturan yang bersifat regeling melalui proses
pencabutan ataupun perubahan. Pengujian yang disebut “executive review” ini dilakukan
untuk menjaga peraturan yang diciptakan oleh pemerintah (eksekutif) tetap sinkron atau
searah, dan juga konsisten serta adanya kepastian hukum untuk keadilan bagi masyarakat.
Dalam trias politica dikenal tiga macam kekuasaan. Yakni, kekuasaan legislatif (pembuat
undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan
yudikatif atau peradilan (penegak undang-undang). Kewenangan judicial review diberikan
kepada yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi
membuat undang-undang.
Contoh:
Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 yang merupakan perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013.

3. Mekanisme permohonan pengujian Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden


a. Peraturan Pemerintah (PP)
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
antara lain diatur bahwa "Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yaitu: Perorangan Warga Negara
Indonesia, Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang; atau badan hukum publik atau privat. Berdasarkan ketentuan
tersebut pemohon pengujian PP harus memenuhi dua syarat yaitu: (I) termasuk sebagai
perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, atau badan hukum,
dan (2) terdapat kerugian yang dialami pernohon dengan berlakunya PP.
Pengujian PP dilakukan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon atau
kuasanya kepada Mahkamah Agung. Permohonan dibuat rangkap sesuai dengan
keperluan, disusun dengan bahasa Indonesia, serta wajib ditandatangani oleh pemohon
atau kuasanya yang sah. Permohonan sekurang-kurangnya memuat:
1) Nama dan alamat pemohon,
2) Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan wajib menguraikan
dengan jelas bahwa:
a) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan
dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
dan/atau
b) pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang
berlaku
3) Hal-hal yang diminta untuk diputus,
4) Pihak termohon.
Permohonan dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung atau melalui Pengadilan
Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon. Jika langsung
melalui Mahkamah Agung, Pemohon, atau kuasanya harus mendaftarkan permohonannya
di Kepaniteraan Mahkamah Agung. Setelah membukukan dalam buku register perkara
tersendiri, panitera Mahkamah Agung akan memeriksa kelengkapan berkas permohonan.
Apabila terdapat kekurangan dalam berkas permohonan, panitera meminta pemohon atau
kuasanya untuk melengkapi kekurangan berkas permohonan tersebut.
Pemohon atau kuasanya yang mengajukan permohonannya melalui pengadilan negeri
wajib mendaftarkan permohonannya kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat
pemohon berdomisili. Setelah pemohon atau kuasanya mernbayar biaya permohonan,
Panitera Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan tersebut dalam buku register
permohonan tersendiri. Selanjutnya, panitera akan memeriksa kelengkapan permohonan
tersebut. Apabila panitera menemukan ketidaklengkapan berkas permohonan maka
panitera akan raeminta pemohon atau kuasanya urituk melengkapinya. Apabila berkas
permohonan telah lengkap maka Panitera Pengadilan Negeri akan mengirimkannya
kepada Mahkamah Agung.
Setelah berkas permohonan lengkap, Panitera Mahkamah Agung yang menerima berkas
permohonan tersebut akan mengirimkan salinan berkas permohonan kepada termohon.
Dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan permohonan tersebut,
termohon harus menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung. Setelah
berkas permohonan lengkap dan masa untuk mengirim jawaban terrnohon atas
permohonan telah habis, panitera akan menyampaikannya kepada Ketua Mahkamah
Agung untuk rnenetapkan Majelis Hakim Agung yang rnemeriksa dan memutus
permohonan tersebut. Atas narna Ketua Mahkamah Agung, Ketua Muda Bidang Tata
Usaha Negara Mahkamah Agung akan menetapkan susunan majelis hakim.
Pada dasarnya pemeriksaan dalam persidangan permohonan keberatan tentang Hak Uji
Materiil dilakukan dalarn waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai dengan asas peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Pasal 1 ayat ( 11) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung pemeriksaan tersebut dilakukan oleh Mahkarnah Agung paling
lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan oleh
Majelis Hakim. Persidangan permohonan hak uji materiil tidak dilakukan secara terbuka
sebagaimana persidangan pada Mahkamah Konstitusi. Dalam persidangan, Majelis hakim
hanya akan memeriksa permohonan pemohon serta jawaban termohon.
Dalam hal Mahkamah Agung bependapat bahwa permohonan keberatan beralasan karena
PP bertentangan dengan Undang-Undang maka Mahkarnah Agung mengabulkan
permohonan keberatan tersebut." Mahkamah Agung, dalam amar putusannya, menyatakan
dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-
undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Oleh Mahkamah Agung Peraturan Perundang-undangan yang dimohonkan keberatan
tersebut akan dinyatakan sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum, serta
memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya. Putusan tersebut
harus dimuat dalam Berita Negara atau Berita Daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Dalam hal Mahkamah Agung
berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, arnar putusan
menyatakan permohonan tidak diterima. Akan tetapi, jika Mahkamah Agung menilai
peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
Pemberitahuan isi purusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan
disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung
dengan surat tercatat kepada para pihak. Jika permohonan diajukan melalui Pengadilan
Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung
disampaikali juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim. Terhadap putusan
permohonan pengujian PP oleh Mahkamah Agung, terdapat pihak-pihak yang memiliki
tanggung jawab tertentu. Panitera Mahkamah Agung berkewajiban mencantumkan
petikan putusan tersebut dalam Berita Negara. Selain itu Presiden RI, sebagai Badan atau
Pejabat TUN yang mengeluarkan PP, dalam waktu 90 hari setelah putusan yang
mengabulkan permohonan pemohon harus mengubah PP sesuai dengan putusan
Mahkamah Agung, Jika hal tersebut tidak dilakukan maka PP akan dengan sendirinya
tidak berkekuatan hukurn tetap.

b. Peraturan Presiden (Perpres)


Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
antara lain diatur bahwa "Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yaitu: Perorangan Warga Negara
Indonesia, Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang; atau badan hukum publik atau privat. Berdasarkan ketentuan
tersebut pemohon pengujian PP harus memenuhi dua syarat yaitu: (I) termasuk sebagai
perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, atau badan hukum,
dan (2) terdapat kerugian yang dialami pernohon dengan berlakunya Perpres.
Pengujian Perpres dilakukan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon atau
kuasanya kepada Mahkamah Agung. Permohonan dibuat rangkap sesuai dengan
keperluan, disusun dengan bahasa Indonesia, serta wajib ditandatangani oleh pemohon
atau kuasanya yang sah. Permohonan sekurang-kurangnya memuat:
1) nama dan alamat pernohon,
2) uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan wajib menguraikan
dengan jelas bahwa:
a) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan
dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
dan/atau
b) pembentukan peraturan perundang·undangan tidak memenuhi ketentuan yang
berlaku,
3) hal-hal yang diminta untuk diputus,
4) pihak termohon
Permohonan dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung atau melalui Pengadilan
Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon. Jika Jangsung
melalui Mahkamah Agung, Pemohon atau kuasanya harus mendaftarkan permohonannya
di Kepaniteraan Mahkamah Agung. Setelah membukukan dalam buku register perkara
tersendiri, pamtera Mahkamah Agung akan memeriksa kelengkapan berkas permohonan.
Apabila terdapat kekurangan dalam berkas permohonan, pamtera memmta pemohon atau
kuasanya untuk melengkapi kekurangan berkas permohonan tersebut.
Pemohon atau kuasanya yang mengajukan permohonannya melalui pengadilan negeri
wajib mendaftarkan permohonannya kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat
pemohon berdomisili. Setelah pemohon atau kuasanya membayar biaya permohonan,
Panitera Pengadilan Negen akan mencatat permohonan tersebut dalam buku register
permohonan tersendiri. Selanjutnya, panitera akan memeriksa kelengkapan permohonan
tersebut. Apabila panitera menemukan ketidaklengkapan berkas permohonan maka
panitera akan meminta pemohon atau kuasanya untuk melengkapinya. Apabila berkas
permohonan telah lengkap maka Panitera Pengadilan Negeri akan mengirimkannya
kepada Mahkamah Agung.
Setelah berkas permohonan lengkap, Panitera Mahkamah Agung yang menerima berkas
permohonan tersebut akan mengirimkan salinan berkas permohonan kepada termohon.
Dalam waktu 14 (empat belas) hari sejaak diterimanya salinan permohonan tersebut,
termohon harus menyerahkankan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung. Setelah
berkas permohonan lengkap dan masa untuk mengirim jawaban termohon atas
permohonan telah habis, panitera akan menyampaikannya kepada Ketua Mahkamah
Agung untuk menetapkan Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan memutus
permohonan tersebut. Atas nama Ketua Mahkamah Agung, Ketua Muda Bidang Tata
Usaha Negara Mahkamah Agung akan menetapkan susunan majelis hakim.
Pada dasarnya, pemeriksaan dalarn persidangan permohonan keberatan tentang Hak Uji
Materiil dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai dengan asas peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, 76 Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung pemeriksaan tersebut dilakukan oleh Mahkarnah Agung paling
lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan oleh
Majelis Hakim. Persidangan permohonan hak uji materiil tidak dilakukan secara terbuka
sebagaimana persidangan pada Mahkamah Konstitusi. Dalam persidangan, Majelis hakim
hanya akan memeriksa permohonan pemohon serta jawaban termohon.
Dalam hal Mahkarnah Agung bependapat bahwa permohonan keberatan beralasan karena
Perpres bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi maupun
karena pembentukannya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku maka Mahkamah
Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut. Mahkamah Agung dalam amar
putusannya, menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari
Perpres yang bertentangan dengan peraruran perundang-undangan yang Iebih tinggi. Oleh
Mahkamah Agung Perpres yang dimohonkan keberatan tersebut akan dinyatakan sebagai
tidak sah atau tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang
bersangkutan segera mencabutnya. Putusan tersebut harus dimuat dalam Berita Negara
atau Berita Daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan
diucapkan.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak
memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima. Akan tetapi jika
Mahkamah Agung menilai peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang Iebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam
pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung terhadap perrnohonan keberatan
disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung
dengan surat tercatat kepada para pihak. Jika permohonan diajukan melalui Pengadilan
Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung
disampaikan Juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim. Terhadap putusan
permohonan pengujian Perpres oleh Mahkamah Agung, terdapat pihak-pihak yang
memiliki tanggung jawab tertentu. Panitera Mahkamah Agung berkewajiban
mencantumkan petikan putusan tersebut dalam Berita Negara. Selain itu Presiden RI,
sebagai Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Perpres, dalam waktu 90 hari setelah
putusan yang mengabulkan permohonan pemohon harus mengubah Perpres sesuai dengan
putusan Mahkamah Agung. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka Perpres akan dengan
sendirinya tidak berkekuatan hukum tetap.

Anda mungkin juga menyukai