Anda di halaman 1dari 9

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : T SODIPTA KARINA NAINGGOLAN

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 041593408

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4201/Hukum Tata Negara

Kode/Nama UPBJJ : 17/UPBJJ JAMBI

Masa Ujian : 2021/22.1 (2021.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
1. Berikan analisis anda, setelah amandemen Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 sistem parlemen apa yang dianut di Indonesia?
Jawab:
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan
(amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
a) Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 Perubahan Pertama
UUD 1945;
b) Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 Perubahan Kedua
UUD 1945;
c) Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 Perubahan Ketiga
UUD 1945;
d) Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 Perubahan Keempat
UUD 1945.

Sistem pemerintahan Indonesia setelah amandemen adalah sistem pemerintahan


presidensial dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Negara Indonesia adalah negara hukum


Elemen asas legalitas juga merupakan bentuk pembatasan kekuasaan negara
karena asas legalitas menyatakan bahwa setiap tindakan penyelenggara negara
harus berpedoman kepada hukum dan atau undang-undang.

b. Sistem konstitusional
Konstitusi memiliki dua macam pengertian yakni pengertian dalam arti luas dan
pengertian dalam arti sempit. pengertian dalam arti luas yaitu kaidah-kaidah
hukum dan sosial yang menjadi pedoman dalam bernegara.
Sistem Konstitusional pada era reformasi (sesudah amandemen UUD 1945)
berdasarkan Check and Balances. Perubahan UUD 1945 mengenai
penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan untuk mempertegas kekuasaan
dan wewenang masingmasing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-
batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan
fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang
hendak dibangun adalah sistem “check and balances”, yaitu pembatasan
kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang
tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi
masing-masing.

c. Sistem pemerintahan
Sistem ini tetap dalam sistem pemerintahan presidensial, bahkan mempertegas
sistem presidensial itu, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab kepada
parlemen, akan tetap bertanggung kepada rakyat dan senantiasa dalam
pengawasan DPR. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang jenisnya telah ditentukan
dalam Undang-Undang Dasar atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa
jabatannya manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden
sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar.
d. Kekuasaan negara tertinggi ditangan MPR
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai
wewenang dan tugas sebagai berikut :
1) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
2) Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3) Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut UUD

e. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan tertinggi menurut UUD


Masih relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).
Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Pada awal
reformasi Presiden dan Wakil Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR (Pada
Pemerintahan BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri
untuk masa jabatan lima tahun. Tetapi, sesuai dengan amandemen ketiga UUD
1945 (2001) Presiden dan Wakil Presiden akan dipilih secara langsung oleh
rakyat dalam satu paket.

f. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR


Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara
(Presiden) dari Pasal 4 sampai 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19
sampai 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada
DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap
menerapkan sistem presidensial. Dalam sistem presidensial presiden
bertanggung jawab langsung kepada rakyat.

g. Menteri negara ialah pembantu presiden dan tidak bertanggung jawab kepada
DPR
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden yang pembentukan, pengubahan dan
pembubarannya diatur dalam undang-undang (Pasal 17).

h. Kekuasaan kepala negara terbatas


Presiden dalam sistem pemerintaha presidensial dipilih untuk masa jabatan yang
telah ditentukan oleh konstitusi suatu negara dan tidak dapat dipaksa
mengundurkan diri oleh badan legislatif. 27 Presiden sebagai kepala negara,
kekuasaannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang memberhentikan
Presiden dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian juga DPR, selain
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat, juga hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas
(Pasal 20A ayat (2) dan (3).

i. Sistem kepartaian
Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai. Setelah amandemen UUD
1945 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik.
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 6A ayat (2) yang berbunyi: “Pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umun”.

2. Jelaskan kedudukan MPR, DPR, dan DPD di parlemen dalam mengubah/menyusun


UUD dan undang-undang.
Jawab:
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan lembaga pelaksana kedaulatan
rakyat oleh karena anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah para
wakil rakyat yang berasal dari pemilihan umum. MPR bukan pelaksana sepenuhnya
kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945
,perubahan ketiga bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut undang-undang dasar. Salah satu tugas MPR adalah Mengubah dan
menetapkan undang-undang dasar.

Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa, kekuasaan


untuk membentuk UU ada di Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian di pasal 20 ayat
2 disebutkan bahwa setiap rancangan UU (RUU) dibahas oleh DPR bersama
Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sementara itu Sebuah RUU bisa
berasal dari Presiden, DPR atau DPD. Dalam Undang-Undang juga disebutkan tugas
DPR dalam mengubah atau menyusun undang-undang sebagai berikut :

 Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah)
 Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD
 Menetapkan UU bersama dengan Presiden
 Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang
diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU
 Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden)
 Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait
pajak, pendidikan dan agama

Sementera itu, Tugas dan WewenanG DPD dalam mengubah atau menyusun
undang-undanga sebagai berikut

1) Mengajukan Usul Rancangan Undang Undang Mengajukan kepada DPR


rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah.
2) Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya
ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
3) Pertimbangan Atas Rancangan Undang-Undang dan Pemilihan Anggota BPK
Pertimbangan atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara dan rancangan undangundang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama. Serta memberikan pertimbangan kepada DPR dalam
pemilihan anggota BPK.
4) Pengawasan Atas Pelaksanaan Undang - Undang Pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan
dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

3. Berikan analisis anda, perubahan apa yang terjadi pasca amandemen Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945 terhadap kekuasaan presiden dalam
membentuk undang-undang.
Jawab:
sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan membentuk undangundang berada di
tangan Presiden, maka sesudah amandemen UUD 1945 kekuasaan membentuk
undang-undang berada di tangan DPR, sedangkan Presiden hanya mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat. Dengan diberikannya kekuasaan membentuk undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, maka kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat baik dari
aspek politik maupun yuridis menjadi semakin kuat untuk menjaga sistem check
and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Terjadi pergeseran kekuaasan legislatiif pasca amandemen Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni adanya pergeseran kelembagaan
didalam tubuh legislatif dan pergeseran fungsi legislasi dalam proses pembuatan
undang-undang.

Sistem kelembagaan negara menurut Undang-undang Dasar 1945 pra amandemen,


dikenal adanya dua jenis lembaga negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai lembaga tertinggi negara, dan ada lima lembaga tinggi negara yaitu
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan dan Dewan Pertimbangan Agung. Khusus dalam pembuatan undang-
undang, Undangundang Dasar 1945 pra amandemen menempatkan lembaga
pembuat undangundang pada Presiden, dan Dewan Perwakian Rakyat hanya
memberikan persetujuannya. Hal ini tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945
pra amandemen : Presiden mernegang kekuasaan membentuk undang-undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat (1) menyebutkan :
Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sampai sekarang Undang-undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali


amandemen. Dalam amandemen pertama yang disahkan tanggal 19 Oktober 1999,
Pasal 5 ayat (1) dirubah dan berbunyi : Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Pasal 20
Undangundang Dasar 1945 pasca amandemen dirubah dan berbunyi sebagai
berikut :
1. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang.
2. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
3. Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapatkan persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
ersidangan Dewan Perwakilkan Rakyat masa itu.
4. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undangundang.
5. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang- undang dan wajib diundangkan.

4. Berikan analisis anda hubungan antara presiden dan parlemen pasca amandemen
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Jawab:
Pada pasal 6 UUD 1945 sebelum amandemen tertulis “Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak” Pasal tersebut diubah menjadi “Presiden
dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”
(pasal 6A ayat (1). Perubahan ini diharapkan rakyat dapat berpartisipasi secara
langsung menentukan pilihannya sehingga tidak mengulang kekecewaannya yang
pernah terjadi pada Pemilu 1999. Dan dengan perubahan ini pula diharapkan
Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki otoritas dan legitimasi yang sangat kuat
karena dipilih langsung oleh rakyat.

Selanjutnya hasil perubahan UUD 1945 yang berkaitan langsung dengan


kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, adalah pembatasan kekuasaan Presiden
sebagaimana diatur dalam pasal 7 (lama), yang ber- bunyi “Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”. Kemudian pasal 7 tersebut diubah, yang bunyinya menjadi “ Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Perubahan pasal ini dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mengakhiri
perdebatan tentang periodesasi jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Sebelum ada perubahan pasal 13, Presiden sebagai kepala Negara mempunyai
wewenang untuk menentukan sendiri duta dan konsul serta menerima duta negara
lain, tetapi setelah adanya perubahan”dalam hal mengangkat duta dan menerima
penempatan duta negara lain, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR”.
Perubahan ini penting dengan alasan: (1) dalam rangka menjaga objektivitas
terhadap kemampuan dan kecakapan seseorang pada jabatan tersebut, karena ia
akan menjadi duta dari seluruh rakyat Indonesia di negara lain; dan (2) dalam
rangka membangun akurasi informasi untuk kepentingan hubungan baik antara
kedua negara dan bangsa.

Pasal 14 hasil amandemen berbunyi sebagai berikut: (1) Presiden memberi grasi
dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. (2)
Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat. Alasan perlunya Presiden memperhatikan MA dalam hal
memberi grasi dan rehabilitasi, pertama: grasi dan rehabilitasi itu adalah proses
yustisial dan biasanya diberikan kepada orang yang sudah mengalami proses; dan
kedua: grasi dan rehabilitasi lebih banyak bersifat perorangan. Sedangkan perlunya
Presiden memperhatikan DPR dalam hal memberi amnesti dan abolisi, pertama:
amnesti dan abolisi lebih bersifat politik; dan kedua: amnesti dan abolisi lebih
bersifat massal.

Perubahan lain terjadi pada pasal 15, berbunyi sebagai berikut: “Presiden memberi
gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-
undang”. Perubahan dilakukan agar Presiden dalam memberikan berbagai tanda
kehormatan kepada siapapun (baik warga negara, orang asing, badan atau
lembaga) didasarkan pada undang-undang yang merupakan hasil pembahasan DPR
bersama pemerintah, sehingga berdasarkan pertimbangan yang lebih objektif.

5. Berdasarkan pernyataan 1, teori manakah yang sesuai dengan teori kekuasaan


kehakiman. Sertakan penjelasan singkat.
Jawab:
Teori Kemerdekaan Hakim
Bagir Manan mengemukakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka
mengandung beberapa tujuan dasar, yaitu:
a) Pertama: sebagai bagian dari system pemisahan atau pembagian kekuasaan
di antara badan-badan penyelenggara negara. Kekuasaan Kehakiman yang
merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu.
b) Kedua: Kekuasaan kehakiman ynag merdeka diperlukan untuk mencegah
penyelenggara pemerintahan bertindak tak semena-mena dan menindas.
c) Ketigas : Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk dapat
menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintahan atau suatu
peraturan perundang-undangan, sehingga system hukum dapat dijalankan
dan ditegakkan dengan baik.

6. Berdasarkan pernyataan 2, teori manakah yang sesuai dengan teori kekuasaan


kehakiman. Sertakan penjelasan singkat.
Jawab:
Teori Negara Hukum
Adanya pengadilan hukum yang bebas dan tidak memihak merupakan salah satu
unsur yang harus ada dalam negara hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh
Montesquieu bahwa jika kekuasaan yudisial tidak dipisahkan dari kekuasaan
legislative dan kekuasaan eksekutif, maka kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan
warga negara akan dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi
pembuat hukum dan jika hakim disatukan dengan kekuasaan eksekutif maka hakim
bisa menjadi penindas.

7. Berikan analisis anda terhadap pentingnya independensi hakim sebagai pelaksana


kekuasaan kehakiman di Indonesia
Jawab:
Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh menjalankan kebebasannya
unuk menafsirkan undang-undang apabila undang-undang tidak memberikan
pengertian yang jelas. Karena bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk
menerapkan isi undang-undang pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan.

Kekuasaan kehakiman (Judicial Power) menurut sistem ketatanegaraan Indonesia


adalah kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam arti independen tersebut, telah


ditegaskan pada Pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut:
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan Militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang.

Apabila dikaji lebih jauh tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam arti
independen, terbebas dari interfensi pengaruh kekuasaan lainnya, maka penegasan
Hukum Dasar Negara tersebut, lebih lanjut dikembangkan di dalam Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, demikian juga
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
telah dirubah dengan UU. No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU. No. 14
Tahun 1985 juncto Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
UU. No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Pada Pasal 1 Butir 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


ditegaskan:

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.

Pada Penjelasan Resmi Angka I UU No. 48 Tahun 2009 memuat klarifikasi yang
lebih tegas tentang adanya independensi badan-badan peradilan dalam
penyelenggaraan peradilan. Hemat penulis perihal tersebut adalah:

“UUD NRI Tahun 1945 menegaskan Indonesia adalah negara hukum. Sejalan
dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah
adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.”
Senada dengan irama pemahaman di atas, dipertegas pula pada Pasal 3 ayat (1) dan
(2) UU. No. 48 Tahun 2009, sebagai berikut :

1. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib
menjaga kemandirian peradilan.
2. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penegasan kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut di atas, secara struktural


dan vertikal berpuncak pada Mahkamah Agung. Hal itu diatur dalam pasal 2 UU
No. 14 Tahun 1985 (Perubahannya dengan UU No. 5 Tahun 2004 Junto UU. No. 3
Tahun 2009), bahwa: Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari
semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.

Adanya independensi hakim dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman


melalui badan-badan peradilan negara, dimaksudkan agar hakim benar-benar
dapat mandiri, bebas dan merdeka dari segala sesuatu campur tangan yang dapat
mempengaruhi fungsinya dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara
yang dihadapkan kepadanya.
Dengan demikian, secara normatif (yuridis-formal), negara melalui konstitusi dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya, telah memberi jaminan tentang
independensi Hakim dalam melaksanakan fungsi yudisialnya demi penegakan
hukum dan keadilan.

Anda mungkin juga menyukai