Anda di halaman 1dari 7

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : AKMAL HAKIM

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 030451928

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4307/Hukum Persaingan Usaha

Kode/Nama UPBJJ : 11 BANDA ACEH

Masa Ujian : 2021/22.1 (2021.2)


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS TERBUKA

1. Perjanjian dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun


Pengecualian Dalam UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan atas ketentuan UU No.5 Tahun


1999, berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) ditentukan pula pembentukan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999
tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. UU No.5 Tahun 1999 mengatur beberapa
ketentuan antara lain yang berkaitan dengan:

a. Perjanjian yang dilarang;

b. Kegiatan yang dilarang;

c. Posisi dominan; dan

d. Sanksi terhadap pelanggar ketentuan yang diatur.

Salah satu kewenangan dari KPPU adalah mengeluarkan Pedoman yang berisikan tentang
bagaimana menyamakan penafsiran dan bagaimana interpretasi KPPU terhadap isi pasal
UU No.5 Tahun 1999 tersebut. KPPU bukan hanya bertindak mengawasi penegakan
hukum saja tetapi juga memastikan pengawasan terhadap pengecualian yang diatur
dalam pasal-pasal UU No.5 Tahun 1999. UU No.5 Tahun 1999 juga memberikan beberapa
pengecualian dalam pengaturan pasal-pasalnya. Pengecualian diberikan kepada pelaku
usaha tertentu, kegiatan usaha tertentu serta perjanjian tertentu. Banyak pertimbangan
yang dijadikan alasan pemberian status ini diantaranya yang paling kuat adalah alasan
latar belakang philosophis yuridis berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD RI dimana dikatakan
bahwa:”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”
dan dalam ayat (4) dinyatakan bahwa “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Oleh sebab itu, demokrasi ekonomi dalam pemahaman Indonesia adalah berdasarkan
pada perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
dimana:

a. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara;

b. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
c. Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya
dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum;

Dari pemahaman di atas, maka sudah jelas UUD’45 secara tegas sejak awalnya telah
menginstruksikan diakui dan harus dilakukannya proteksi terhadap bidang-bidang usaha
atau perekonomian tertentu. Dalam implementasi pengertian dan pemberian proteksi ini
maka pemerintah Indonesia mengacu kepada beberapa aspek dalam upaya menegakkan
demokrasi ekonomi dengan menghindarkan hal hal yang dianggap bertentangan dengan
sistim perekonomian yang berorientasi pada Pancasila dan ekonomi kerakyatan, yaitu:

a. Sistem Free Fight Liberalism yang menimbulkan eksploitasi terhadap manusia dengan
hanya mengandalkan tujuan ekonomi;

b. Dominasi negara dan aparatur negara yang mematikan potensi dan daya kreasi unit-
unit ekonomi di luar sektor negara;

c. Persaingan tidak sehat dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam
berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan
dengan cita-cita keadilan sosial.

Oleh sebab instruksi UUD’45 yang dengan jelas maka dengan diberlakukannya UU No.5
Tahun 1999, pengecualian diberlakukan sebagai bagian dari undang-undang yang
melingkupi berbagai aspek:

a. Pengaturan monopoli alamiah yang dikelola oleh negara

b. Pengecualian terhadap perbuatan atau kegiatan

c. Pengecualian terhadap perjanjian tertentu

d. Pengecualian terhadap pelaku usaha tertentu.

Contoh kasus Isi Perjanjian Waralaba


Pemberi waralaba mini market mengadakan perjanjian waralaba usaha mini market
dengan penerima waralaba untuk mendirikan Mini Market dengan menggunakan
merek milik pemberi waralaba yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia. Waralaba yang diberikan kepada penerima waralaba adalah hak untuk
menggunakan nama/merek dagang pemberi waralaba beserta seluruh konsep
dan mekanisme sistem kerja sesuai standar operasi yang dimiliki oleh pemberi
waralaba. Hak waralaba yang diperoleh penerima waralaba dari pemberi
waralaba baik secara langsung maupun tidak langsung tidak dapat diberikan ke
pihak lain dengan alasan dan cara apapun serta di tempat manapun, kecuali
apabila di dalam perjanjian waralaba memuat klausula sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 Peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2007. Di dalam perjanjian
waralaba biasanya ditetapkan:
a. Kewajiban Pemberi Waralaba sebagai berikut:
1. Membantu Penerima waralaba dalam periode pra operasi toko dalam hal:
a. rekomendasi kelayakan lokasi toko yang dimaksud;
b. bantuan seleksi tenaga kerja sesuai dengan kualifikasi karyawan Toko P
c. Perencanaan, pelaksanaan dan supervisi renovasi toko sesuai standar
Toko P.
2. Memberikan latihan kepada penerima waralaba beserta seluruh karyawan
toko dalam suatu program latihan terpadu dengan materi dan jadwal yang
telah ditetapkan.
3. Memberikan pedoman praktis operasional dan administrasi Toko sebagai
referensi penerima waralaba dalam menyelenggarakan operasi rutin toko.
4. Mengirim barang sesuai dengan permintaan penerima waralaba dengan
mengacu kepada ketentuan Pengelolaan Barang Dagangan sebagaimana
ditetapkan dalam perjanjian ini.
5. Memberikan bantuan konsultasi kepada penerima waralaba agar
pelaksanaan operasi toko tetap berjalan dalam standard operasional Toko P.
BAB IV : Contoh Kasus
22 - Keputusan Komisi No. 57/2009
6. Mensuplai pengadaan barang perlengkapan rutin toko, seperti kantong
plastik, stiker label, perlengkapan komputer dan sebagainya sesuai standar
penggunaan Toko P.
Dalam perjanjian waralaba ditetapkan mengenai pengelolaan barang
dagangan yang akan disuplai oleh pemberi waralaba kepada penerima
waralaba, merupakan hak pemberi waralaba, yaitu:
1. Penentuan barang dagangan, termasuk komposisi jenis, tingkat harga jual
dan sumber barang dagangan toko merupakan hak pemberi waralaba.
2. Seluruh barang dagangan Toko harus dibeli dari pemberi waralaba dan
dijual maksimal seharga yang tercantum dalam daftar harga barang
dagangan yang berlaku saat itu dari Pemasok pemberi waralaba ditambah
mark up 2% dua persen.
3. Bilamana Pemberi Waralaba melihat adanya suatu nilai potensi yang baik
atau dianggap perlu suatu tindakan preventif, sehingga diperlukan
pembukaan toko baru dalam radius 100 (seratus) meter dari Toko
penerima waralaba, maka penerima waralaba akan diberikan prioritas
berupa penawaran pertama secara tertulis, sebelum ditawarkan kepada
pihak lain atau dibuka oleh pemberi waralaba.
b. Kewajiban Penerima Waralaba sebagai berikut:
1. membayar nilai pembelian seluruh barang dagangan Toko kepada pemberi
waralaba sesuai dengan jumlah barang yang diterima oleh penerima
waralaba.
2. memeriksa kondisi kelayakan jual atas seluruh barang dalam Toko P.
3. dilarang menerima, menyimpan, memajang dan menjual barang-barang lain
selain barang dagangan toko yang sudah ditentukan sesuai dengan
ketentuan dalam perjanjian ini.
4. wajib melaksanakan administrasi barang dagangan sesuai ketetapan dalam
p e d o m a n p r a k t i s o p e r a s i o n a l d a n a d m i n i s t r a s i To k o .
5. dalam mengoperasikan Toko P wajib menggunakan piranti keras (hardware)
dan paket program komputer (software), serta sistem jaringan
telekomunikasi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemberi
KPPU -23
waralaba, yang secara periodik akan terus disempurnakan oleh pemberi
waralaba sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi.
6.wajib mengoperasikan toko miliknya sesuai dengan Pedoman Praktis
Operasional dan Administrasi yang telah ditetapkan.
7. wajib memberikan informasi/bukti-bukti transaksi dalam hal dilaksanakan
audit intern oleh pemberi waralaba.
2. Analisis Penyelesaian Terhadap Contoh Kasus
Secara konseptual perjanjian waralaba dikecualikan jika memenuhi syarat-syarat
perjanjian waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Dalam contoh perjanjian di atas memuat
kesepakatan yang dapat berpotensi mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat,
yaitu klausula penetapan harga jual yang ditetapkan oleh pemberi waralaba.
Dalam perjanjian waralaba tersebut penerima waralaba diharuskan menjual
barang-barang waralaba sesuai dengan daftar harga yang ditetapkan oleh
pemberi waralaba ditambah dengan mark up 2%. Penetapan harga dalam
Perjanjian tersebut tidak melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
karena walaupun ditetapkan daftar harga jual, tetapi Penerima Waralaba
diberikan kebebasan untuk menaikkan harga jual sebesar 2%. Sedangkan
penetapan harga jual akhir dapat terkena ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, karena
penetapan harga jual akhir tidak memberikan kebebasan kepada Penerima
Waralaba sebagai pelaku usaha mandiri untuk menentukan sendiri harga jual
barang-barang usaha waralaba tersebut. Jika penetapan mark up 2% menjadi
ketentuan yang baku, yaitu yang harus diikuti oleh penerima waralaba, sehingga
penerima waralaba tidak bebas menentukan harga jual dan tidak terjadi intrabrand
competition, maka ketentuan tersebut dapat dikenakan ketentuan
pengecualian menurut Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Dalam perjanjian waralaba pada contoh di atas tidak terdapat persyaratan untuk
membeli pasokan barang dan atau jasa hanya dari pemberi waralaba atau pihak
lain yang ditunjuk oleh pemberi waralaba, pembatasan wilayah, atau pun
persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama selama jangka
waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba.
Dengan demikian, perjanjian waralaba tersebut dapat dikenakan pengecualian
berdasarkan ketentuan Pasal 50 huruf b.

2. Pelaksanaan teknis waralaba di Indonesia diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.
16/1997 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
259/MPP /Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha
Waralaba.

PP No. 16/1997 juncto SK Menperindag mendefinisikan waralaba (franchise) adalah


perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau
menggunakan hak atas kekayaan intelektual (HKI) atau penemuan atau ciri khas usaha
yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan
pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang barang
dan/atau jasa. HAKI meliputi antara lain merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta,
rahasia dagang, dan paten.

PP No. 16/1997 dan SK Menperindag mensyaratkan waralaba diselenggarakan dengan


perjanjian tertulis yang dibuat dalam bahasa Indonesia serta mendasarkan pada hukum
Indonesia. Pada prinsipnya, isi perjanjian diserahkan sepenuhnya kepada kedua pihak
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pihak. Sebagaimana prinsip pacta sun
servada, maka perjanian adalah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.

Namun Pasal 7 SK Menperindag memuat ketentuan mandatoir (yang harus ada) mengatur
mengenai isi klausul minimal yang harus diatur dalam perjanjian waralaba. Di antaranya (i)
jangka waktu, minimal 5 tahun (i) nama dan jenis HKI, penemuan atau ciri khas usaha
misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang
merupakan karakteristik khusus yang menjaadi obyek waralaba dan (iii) hak dan
kewajiban para pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada terwaralaba
namun Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur mengenai
pengecualian penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terhadap
perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.

Pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b, tidak dapat diterapkan


secara mutlak mengingat tidak tertutup kemungkinan terjadi pembuatan
suatu perjanjian yang berkaitan dengan waralaba tetapi dalam perjanjian
tersebut memuat suatu klausula yang berpotensi terjadinya monopoli atau
persaingan usaha yang tidak sehat.

Pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b, dapat diterapkan sepanjang


memenuhi kriteria waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 26 huruf c,
Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

Ketentuan Pasal 50 huruf b tidak dapat diterapkan secara mutlak dengan


pertimbangan agar tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang tersebut, tidak
menjadi sia-sia. Oleh karena itu, Perilaku pelaku usaha yang terkait dengan
waralaba yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat tidak dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 50 huruf b.

3. Ada begitu banyak tujuan yang hendak dicapai dan diharapkan mampu terwujud dalam
proses pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan dalam hal
ini terciptanya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Persaingan, salah satunya
adalah untuk mencegah dan menghindari praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut,
dibentuklah KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang diamanatkan oleh undang-
undang untuk melakukan pengawasan persaingan usaha di Indonesia.

Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum persaingan usaha, akan tetapi KPPU
bukanlah lembaga peradilan khusus dalam bidang persaingan usaha. Tugas dan wewenang
KPPU diatu dalam pasal pasal 35 dan pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999. KPPU menjalankan
tugas

untuk mengawasi tiga hal pada undang-undang yang menyangkut praktek-praktek sebagai
berikut

1. Kegiatan yang dilarang yaitu melakukan control produksi dan pemasaran melalui
pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan
persaingan usaha yang tidak sehat

2. Perjanjian yang dilarang yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersamasama mengontrol produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat
mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, antara lain :
perjanjian penetapan harga,deskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoly,
kartel, trust, dan perjanjian dengan pihak luar negeriyang dapat mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat

3. Posisi dominan yaitu pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang
dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat
bisnis pelakupelaku usaha lainnya

Anda mungkin juga menyukai