0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
91 tayangan2 halaman
Tugas membahas kasus kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 tahun 2018. Maskapai Lion Air bertanggung jawab atas kecelakaan ini karena melanggar peraturan dengan mengizinkan pesawat beroperasi meski alat peringatan sudah rusak. Korban berhak mendapatkan ganti rugi dari maskapai sesuai prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum penerbangan.
Tugas membahas kasus kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 tahun 2018. Maskapai Lion Air bertanggung jawab atas kecelakaan ini karena melanggar peraturan dengan mengizinkan pesawat beroperasi meski alat peringatan sudah rusak. Korban berhak mendapatkan ganti rugi dari maskapai sesuai prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum penerbangan.
Tugas membahas kasus kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 tahun 2018. Maskapai Lion Air bertanggung jawab atas kecelakaan ini karena melanggar peraturan dengan mengizinkan pesawat beroperasi meski alat peringatan sudah rusak. Korban berhak mendapatkan ganti rugi dari maskapai sesuai prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum penerbangan.
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4207/Hukum Dagang dan Kepailitan
Kode/Nama UPBJJ : 80 / Makassar
Masa Ujian : 2020/21.2 (2022.1)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN
KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TERBUKA 1. Kasus kecelakaan Lion Air JT-610 tahun 2018 a. Menurut Pasal 1 angka 22 UU Penerbangan Tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Penggantian kerugian yang diberikan pengangkut berupa santunan yang diberikan kepada pihak yang mengalami kerugian ataupun ahli waris yang bersangkutan. Kecelakaan yang terjadi pada Lion Air dapat berkenaan dengan beberapa prinsip tanggung jawab penerbangn. Pertama adalah prinsip tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability). Hal ini dikarenakan telah terbukti Lion air melanggar aturan penerbangan dengan mengizinkan armada lion terbang dalam keadaan AOA yang tidak berfungsi. Prinsip adalah adalah prinsip tanggung jawab mutlak, dalam hukum pengangkutan udara internasional pertama kali diterapkan dalam Protokol Guatemala City 1971. Pasal 17 ayat (1) Konvensi Warsawa – Hague – Guatemela yang menyebutkan “Pengangkut (maskapai penerbangan) bertanggung jawab atas kerugian yang diderita dalam kasus kematian atau cedera pribadi penumpang di setiap operasi penerbangan. Namun pengangkut (maskapai penerbangan) tidak bertanggung jawab jika kematian atau cedera diakibatkan semata-mata dari kondisi kesehatan penumpang.” b. pengangkut tidak dapat menolak bertanggung jawab atas kerugian. Sebagaimana Protokol Guatemela City telah menghapuskan ketentuan pembebasan tanggung jawab pengangkut yang diatur di dalam Pasal 20 ayat (1) Konvensi Warsawa di mana pengangkut hanya dapat membebaskan tanggungjawabnya jika ia dapat membuktikan bahwa kematian atau luka- lukanya penumpang semata-mata disebabkan oleh keadaan penumpang sendiri atau kerugian itu turut disebabkan kesalahan penumpang sendiri (contributy negligence). Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum pengangkutan udara domestik memberikan konsekuensi bahwa pengangkut atau maskapai penerbangan wajib memberikan santunan kepada korban tanpa mempermasalahkan apakah pengangkut atau maskapai penerbangan melakukan kesalahan (kelalaian atau tidak). c. Ya, tentu saja para korban dapat memperoleh ganti rugi dari pihak maskapai. Karena secara hukum, apabila terjadi kecelakaan pesawat udara yang mengakibatkan kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/atau naik turun pesawat udara maka pihak yang berhak meminta ganti rugi adalah penumpang. Sedangkan pihak yang memikul tanggung jawab hukum untuk mengganti kerugian adalah maskapai penerbangan.