1. Egoistic suicide, yaitu bunuh diri yang terjadi karena rendahnya tingkat
integrasi suatu kolektifitas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa
individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari
individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus
tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Durkheim menyatakan bahwa
ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri dimana
individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.
2. Altruistis, terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harafiah dapat
dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Bunuh diri ini makin banyak
terjadi ketika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada
keyakinan adanya sesuatu yang indah setelah hidup didunia.
3. Anomic, bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu.
Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena
lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam rasa
yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika
menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma
baru belum dikembangkan ( tidak ada pegangan hidup).
4. Fatalistis, bunuh diri terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim,
menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti orang yang
masa depannya telah tetutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas.
Berdasarkan analisis tentang hubungan diantara berbagai tipe bunuh diri dalam
kesadaran kolektif seperti yang telah dikemukakan diatas, jelaslah bahwa bunuh
diri merupakan gejala sosial, merupakan fakta sosial dan bukan sekedar gejala
individual.
Teori belajar sosial merupakan salah satu teori yang menjelaskan tentang
tingkah laku dan responsive-responsive yang kompleks dan berhubungan dengan
berbagai macam rangsangan atau stimuli. Ada beberapa ahli psikologi yang selalu
berbicara tentang pola-pola tingkah laku dan tidak tentang tindakan atau response
yang berdiri sendiri.
Beberapa dari pola ini nampaklah sudah di atur terlebih dahulu atau ditentukan
oleh turunan atau warisan dan oleh karena itu, di sebut tingkah laku yang tidak
dipelajari atau tingkah laku instinktif. Teori-teori tentang ajaran konsep ini sudah ada
sejak dahulu. Salah satu hukumnya menyatakan bahwa, kita belajar dengan asosiasi.
Ada 4 asosiasi klasik yang di susun oleh Aristoteles antara lain sebagai berikut :
1. Hukum kesamaan
2. Hukum kebalikan
3. Hukum kejadian berturut-turut dalam waktu
4. Hukum ko-eksistensi di angkasa.
Oleh para ahli kemudian keempat hukum ini telah disaring dan direduksi menjadi dua
buah prinsip utama yaitu :
Perumusan masalah di atas merupakan pengetahuan yang sifatnya umum, akan tetapi
tidak di buktikan dengan benar atau tidaknya secara ilmiah. Sama halnya dengan
hukum pelajaran dari seorang psikologi pendidikan, Thorndike yang terdiri atas 3
bagian yaitu :
1. Hukum Kemampuan
Menurut hukum ini semua yang dipelajari oleh manusia didasarkan atas
kemampuan yang memang yang sudah ada padanya atau merupakan
kelanjutan dari padanya.
2. Hukum Latihan
Hukum ini penggunaan berbagai latihan maka kemampuan seseorang akan
semakin kuat. Sedangkan bila mana kemampuan-kemampuan tidak
dipergunakan atau dilate terus-menerus maka, kemampuan yang dimiliki
seseorang akan berkurang atau akan menjadi lemah.
3. Hukum Pengaruh Atau Efek
Menurut hukum ini, maka pengaruh terhadap pengaruh yang memuaskan akan
nada response yang terjadi secara terus menerus, akan tetapi terhadap
pengaruh-pengaruh yang menjengkelkan atau tidak disukai akan nada
penghindaran atau non- responsi.
Hasil dari pembelajaran pasti akan memunculkan perbedaan karena dianggap sebagai sesuatu
yang tidak pasti dan dipertentangkan dengan berbagai teori yang berbeda. Ada suatu paham
mengenai deskrpsi suatu pembelajaran, akan tetapi tidak ada kesesuaian paham mengenai
sebab terjadinya proses pembelajaran. Di sini akan selalu ada masalah mengenai apakah si
individu berusaha untuk belajar atau tidak, dan apakah ia mempunyai minat atau tidak untuk
belajar. Masalah ini subjektif sifatnya dan tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Sebab
tingkah laku yang di lakukan berulang-ulang, tanpa perhatian minat, tidak akan menghasilkan
pembelajaran. Oleh karena itu, anggapan orang muncul yaitu bahwa harus ada suatu unsur
yang tidak nampak pada tingkah laku yaitu kesiap-siagaan atau kemampuan untuk bertindak,
yang harus mendahului tingkah laku dan memberi arti kepadanya serta menimbulkan efek
daripadanya kondisi mental yang bersifat internal ini sering disebut sikap. Dengan sikap yang
tepat, maka pembelajaran akan berlangsung dengan cepat, dengan catatan bahwa apabila
kemampuan individu yang bersangkutan menompangnya. Tanpa sikap yang tepat maka
pembelajaran sosiologis dan psikologis yang normal, dan dari pengaruh-pengaruh
masyarakat.
Maupun anti-kriminal suherland mencoba memberikan dasar objektif dan ilmiah kepada
teorinya dengan menghubungkannya dengan aspek-aspek lahiriah yang dapat dilihat pada
asosiasi, dan dapat diperhitungkan di dalam asosiasi seseorang dengan teman-teman
sepergaulannya.
Di dalam perumusan pertamanya yang dimuat dalam tahun 1939 kejahatan adalah
dirumuskan sebagai hasil daripada frekuensi dan konsistensi seseorang bergaul dengan pola-
pola kriminal,sedangkan pola-pola kriminal itu adalah hasil daripada kebudayaan-
kebudayaan yang berbeda-beda dan bentrokan-bentrokan atau konflik kebudayaan dalam
masyarakat. Perbedaan-perbedaan di dalam sifat kepribadian atau berbagai situasi sifat sosial
hany berarti apabila perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi frekuensi atau konsistensi
pergaulan dengan pola-pola kriminal. Di dalam perumusan terebut tingkah laku jahat di
batasi oleh “ tingkah laku jahat yang sistematis “ maksudnya bahwa suatu kriminal itu telah
menjadi “way of life” yang diterima oleh si individu ( misalnya pencuri profesional ).
Meskipun sudah jelas apa yang dimaksudkan dengan sikap dan perannya, namun belum
ada persesuaian paham menegenai apa sebab orang itu perlu bersikap, bertindak dan belajar.
Baik yang sikap yang tidak Nampak, maupun tingkah laku yang Nampak, diperoleh melalui
pembelajaran dan pengalaman. Keduanya dianggap merupakan kelanjutan dan ciri-ciri dan
kemampuan yang dibawah seseorang itu dilahirkan. Sebagaimana lazimnya dalam hubungan
sosial, maka keduanya yaitu sikap dan tingkah laku, dalam perkembangannya kemudian,
ditentukan oleh lingkungannya, yaitu berupa hubungan sesama manusia. Dalam konsep
hubungan seperti ini, maka kelompok inti atau kelompok utama, memegang peran penting,
karena kelompok ini menentuka apa yang disetujui dan apa yang tidak boleh diperbolehkan
terkait dengan bagaimana seseorang itu bersikap, baik bagi anak-anak yang sedang tumbuh,
maupun orang dewasa. Dengan demikian, hubungan kelompok intim dengan cara hidup yang
berlawanan dengan hukum dan bertentangan dengan kesusilaan pada umumnya, dapat juga
menentuka sikap dari individu. Denga lain perkataan diperolehnya sikap-sikap yang
mengutamakan bagi kejahatan dan pembelajaran pola-pola tingkah laku jahat, merupakan
proses psikologis yang sama normalnya.
Teori kontrol sosial seperti dikembangkan dan disistematisasikan di USA oleh Hirschi
pada tahun 1969 ( Junger, 1990) menempatkan tingkah laku yang tidak mensyaratkan
motivasi yang khas (khusus). Ada motto yang berkembang ditengah anak delinkuen
yaitu bahwa “kami akan melakukannya jika kami bisa melakukannya”, hal itu berarti
faktor motivasi tidak dipertimbangkan sebagai suatu faktor yang tetap. Konsekuensi
dari pandangan ini adalah bahwa apa yang sebenarnya dapat dijelaskan bukanlah
tingkah laku delinkuen tetap lebih merupakan tingkah laku yang menghargai norma
yang ada (norm-respecting behavior). Dalam keadaan demikian, menurut Cohen dan
Felson (Junger, 1990) maka social theory kontrol mempunyai hubungan langsung
dengan opportunity theory. Opportunity theory menyatakan bahwa ‘jika anda
memberikan kesempatan kepada remaja untuk melakukan pelanggaran, sebagian
besar dari mereka pasti akan melakukannya”, remaja memang belum mempunyai
identifikasi diri yang kuat dengan masyarakatnya dan tidak merasa
mempunyai/memiliki atau kalaupun ada hanya sedikit saja rasa tanggung jawabnya.
Teori kontrol yang bersifat sosiologis dikemukakan oleh Travis Hirschi (1969).
Hirschi mengatakan bahwa Kejahatan itu normal dan hanya dapat dicegah dengan
mencegah munculnya kesempatan guna melakukannya. Filosofinya itu, bagaimana
untuk cara mencegahnya? Ya kesempatan untuk melakukannya yang dihilangkan.
Bagaimana cara menghilangkan kesempatannya? Maka efektifkan lingkungan, buat
orang terikat pada lingkungannya. Maka teori dari Hirschi kemudian dikenal dengan
“sosial warms theory” (teori ikatan sosial). Jadi kalau orang terikat dalam kehidupan
sosial maka cendrrung untuk tidak melakukan penyimpangan.
Travis Hirchi sebagai pelopor teori ini, mengatakan bahwa “Perilaku kriminal
merupakan kegagalan kelompok–kelompok sosial seperti keluarga, sekolah, kawan
sebaya untuk mengikatkan atau terikat dengan individu”, Artinya “individu dilihat
tidak sebagai orang yang secara intrinsik patuh pada hukum, namun menganut segi
pandangan antitesis dimana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak
pidana”. argumentasi ini, didasarkan bahwa kita semua dilahirkan dengan
kecenderungan alami untuk melanggar aturan hukum. Dalam hal ini kontrol sosial,
memandang delinkuen sebagai “konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk
mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar
hukum”.Manusia dalam teori kontrol sosial dipandang sebagai mahluk yang memiliki
moral murni, oleh karena itu, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu
Albert J. Reiss Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan social
control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak
mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau
lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma –norma atau peraturan-
peraturan menjadi efektif.Pada tahun 2957, Jackson Toby memperkenalkan
pengertian “comitment” individu sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam
membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan Irvine Piliavian
menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi/penyesuaian diri
memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan.
1. Attachment (kasih sayang)
Bagaimana kita attach dengan orang lain, dengan keluarga maupun dengan yang
lain . Attachment itu adalah kedekatan, bagaimana kita merasa bahwa diri kita
penting bagi orang lain, kita diharapkan oleh banyak orang. Idealisme dengan
ketidakinginan untuk mengecewakan orang-orang dekat. Biasanya attach itu
landasannya adalah empati, rasa sayang (sayang kepada anak dan istri). Jadi attach
itu mencegah kita untuk melakukan penyimpangan. Dalam kehidupan sosial
attachment itu penting.
2. Commitment
adalah lingkungan dimana kita bisa berkomitmen. Coba bayangkan kalau kita
sayang, dekat terhadap seseorang kalau kemudian kita intens berhubungan dengan
seseorang pasti kemudian akan tumbuh komitmen. Bagaimana ciri-ciri orang yang
komitmen? Orang yang komitmen adalah orang yang merasa kehilangan apabila
dia dipisahkan dari orang yang menyayanginya. Jadi kalau kita merasa, kalau
putus dengan istri saya besok saya bisa cari lagi (itu tidak punya komitmen), orang
yang punya komitmen “saya tidak bisa membayangkan jika hidup saya pisah
dengan pacar saya”, “saya tidak bisa apa yang terjadi dengan diri saya jika saya
berpisah dengan anak-anak saya” itu adalah komitmen.
Dalam lingkungan/ dalam kehidupan sosial juga begitu, orang yang komitmen pada
lingkungannya baik adalah orang yang tidak bisa membayangkan kalau tetangga-
tetangganya tidak suka dengan dia, kalau tetangga-tetangganya sudah mulai cuek
sama dia karena dia dianggap bukan lagi orang yang terhormat, itu adalah orang
yang komitmennya tinggi dalam kehidupan sosial. Jadi komitmen itu bisa diukur
dari seberapa banyak kehilangan-kehilangan sosial yang akan kita alami apabila
kita dipisahkan dari lingkungan.
3. Involvement
Kalau kita sudah punya komitmen, biasanya kita juga akan mempunyai keterlibatan
(involment). Jadi orang-orang yang punya involvement sudah pasti dia punya
attachment dan komitmen makanya dia mau involve, kalau dia tidak involve dia
akan stress. Coba bayangkan sebagai anggota polisi yang menjadi polisi hanya
sekedar hobi saja, dia dilibatkan atau tidak dalam kegiatan pasti dia santai-santai
saja, begitu membaca sprin dan tidak ada namanya langsung berucap
“Alhamdulillah”. Berbeda dengan yang komitmennya bagus, begitu membaca sprin
dan tidak ada namanya ya dia pasti akan stress. “Ada apa ini? Kok pimpinan tidak
memasukkan nama saya ini kenapa?”, dia akan bingung. Jadi kalau orang yang
komitmen dan attachmentnya tinggi biasanya kemauan untuk keterlibatan dalam
sebuah kegiatan biasanya juga tinggi. Jadi orang yang mau kerumah tetangga,
orang yang datang saat diundang arisan, itu adalah orang yang pasti mempunyai
komitmen baik terhadap lingkungannya. Kalau orang yang komitmennya tidak baik
terus diundang “siapa sih bapak ini, sering banget sih ngadain acara”, itu komitmen
dan involvementnya rendah. Menurut Hirschi semakin banyak keterlibatan orang
dalam lingkungan itu akan semakin baik kemampuan mencegah dari lingkungan
untuk membuat dia tidak melakukan penyimpangan.
4. beliefs (keyakinan)
Dalam konteks ini, para pelaku perbuatan menyimpang itu pasti mengetahui dan
sadar bahwa perbuatannya itu salah. Namun makna keampuhan pemahamannya itu
kalah bersaing dengan keyakinan lain (karena adanya kerancuan dalam
penghayatan keabsahan moral) dan ini enyebabkan kendornya ikatan dirinya
dengan tertib masyarakat konvensional. Pada gilirannya, karena lemahnya ikatan
itu ia merasa bebas untuk melakukan perbuatan yang menyimpang atau yang
melanggar hukum.
Secara teoriti skala uposisinya demikian maka kita dapat menduga bahwa banyak
orang mencari makna kejahatan, karena asumsinya orang yang mengalami strain
adalah orang yang paling mudah untuk terjebak pada perilaku menyimpang .Tapi
fakta lain menunjukkan hanya sedikit orang yang kemudian melakukan kejahatan atau
penyimpangan dari sekian banyak orang yang mengalami strain.
teori kontrol berasumsi bahwa kalau kita ingin menjelaskan kejahatan maka
penjelasan itu dapat kita cari dari perilaku yang tidak jahat, kalau kita ingin
mengendalikan kejahatan jangan mengutak-atik kejahatannya, tapi carilah
penjelasannya kenapa orang bisa taat hukum, ada apa dan apa yang terjadi disana.
Karena asumsinya perilaku menyimpang itu adalah perilaku yang alamiah (natural).
Perilaku tidak menyimpang atau perilaku yang konformitas adalah perilaku yang tidak
alamiah. Kejahatanlah yang akan dipaksa oleh aturan.
KELOMPOK 4 : TEORI LABELING
Menurut Junaedi kadir, Teori labeling merupakan teori untuk mengukur mengapa terjadinya
kejahatan, metode yang digunakan dalam teori ini adalah “self refort” atau melakukan
interview terhadap pelaku kejahatan yang tidak diketahui oleh polisi. Pembahasan labeling
terfokuskan, pada 2 tema yaitu pertama : menjelaskan apa dan bagaimana orang-orang
tertentu diberi label, kedua : pengaruh atau efek dari label tersebut sebagai sesuatu
konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukannya.
Menurut Dewi Simanungkaliti, labeling Theory memandang para kriminal bukan sebagai
orang yang bersifat jahat yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan bersifat salah tetapi,
mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian
sistem peradilan pidana maupun masyarakat secara luas.
Menurut Lilik Mulyadi, teori labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak
dipengaruhi aliran chicago. Dibandingkan dengan teori lainnya, teori labeling mempunyai
beberapa spesifikasi, yaitu :
Teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori menggunakan
perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat
Teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya kejahatan,
dengan menggunakan self report study yaitu interview terhadap pelaku kejahatan
yang tidak tertangkap tidak diketahui polisi.
Pada dasarnya, teori labeling dikorelasikan dengan buku crime and the community dari Frank
Tannenbaum (1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker ( The Outsider,1963),
Kai T.Erikson ( Notes on the Sociology of Deviance, 1964 ), Edwin Lemert ( Human
Deviance Social problem and Social Control.1967 ) dan Edwin Schur ( Labeling Deviant
Behavioer,1971). Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label menekan
pada kedua aspek ,yaitu :
Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau
label.
Pengaruh atau efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangantingkah laku.
Pada awal 1960-an muncul satu teori kriminalogi dengan menggunakan pendekatan yang
berbeda dari teori-teori lainnya yang muncul sebelumnya. Teori labeling menjawab tentang
kejagatan dan perspektif yang baru. Konsep pemikiran labeling menolak aliran pemikiran
positivis yang melihat kejahatan sebagai tindakan yang melanggar norma. Pendukung teori
lebeling memisahkan antara faktor penyebab dan reaksi sosial terhadap kejahatan serta
mempelajari bagaimana mekanisme pengendaliannya. Teori labeling memandang kejahatan
bersifat relatif dan didefenisikan oleh masyarakat.
Adalah suatu perluasan interaksi sosial dengan menggunakan ide sosiologi. Teori
interaksionisme menganalisa cara-cara perilaku sosial biasanya individu berinteraksi dalam
konteks sosial dengan menggunakan konsep tentang diri mereka dan orang lain di sekitarnya
yang berinteraksi dengan mereka.
(Becker 1973) menunjukkan bahwa tidak adanya perilaku menyimpang atau tindakan
kriminal hingga perilaku atau tindakan ini didefenisikan oleh karenanya di cap oleh suatu
kelompok atau seluruh anggota masyarakat sebagai perilaku menyimpang atau sebagai
tindakan kriminal. Beberapa perilaku dianggap tindakan kriminal akibat dari adanya tekanan
kelompok tertentu atau kelompok utama.
Para pendukung aliran ini adalah (Lemert 1951) dan Becker (1973) Lemert melihat
permasalahan utama dikembangkan ketika suatu lebel diberikan oleh seseorang lalu
memandang bahwa orang itu menyandang lebel ( Becker (1963) memandang bahwa dalam
pembuatan aturan atau hukum pidana, masyarakat menciptakan penyimpangan itu karena
melakukan penyimpangan atas dasar pelanggar dengan mencap atau memberi labeling
sebagai penjahat dan pelanggar jadi masyarakatlah yang lebih menciptakan kejahatan. Lebel
kriminal hanya diberikan bagi mereka yang jelas melakukan tindakan kejahatan dan
kejahatan mereka hanya sebagian dari proses ini.
2.6 Reaksi Secara Sosial
Pada konsep ini adalah bahwa seseorang yang menjadi subjek dari pelabelan yang dapat
menyatu dengan orang-orang yang dilebelkan dan mungkin berpengaruh pada perilaku orang
tersebut, dan juga dapat dilihat dari 2 faktor yakni :
a. Penyimpangan primer
Pada penyimpangan ini tidak diuatamakan dalam menjelaskan labeling sebab konsep
labeling tidak memusatkan pada pandangan tentang diri si pelanggar dan merespon
reaksi masyarakat tentang perilakunya.
b. Penyimpangan sekunder
Pada penyimpngan ini mengartikan bahwa menempati tempat paling akhir di bagian
ini dari permasalahan identitas diri hingga kepada reaksi masyarakat.
Dampak perspektif labeling dalam kebijakan sosial sebagaimana terdapat dalam teori-teori
sosial adalah yaitu :
a. Perspektif labeling menegaskan kembali pernyataan yang telah lama di buat oleh para
kriminalog kejahatan adalah relatif dan berfungsi menurut waktu dan tempat.
b. Dengan menganggap bahwa kebutuhan untuk meniliti para pembuat keputusan dan
proses-proses politis secara cermat di mana kejahatan ditetapkan dan para pelanggar
diberikan label perspektif labeling menyoroti bagian yang berkembang dalam
sosiologi melalui 2 model yang saling bertentangan dalam menganalisis masyarakat
yaitu komsensus dan konflik.
KELOMPOK 6 : KONFLIK KELAS SOSIALDAN KEJAHATAN
Structural-funcional Approach
Society is a system of interrelated parts that is realitively stable. Each part work to keep
society operating in an orderly way.(sebuah sistem besar yang terdiri dari bagian-bagian dan
bagian-bagian itu berperan untuk menjalankan sistem). Seperti yang dijelaskan dalam teori
fungsionalisme structural masyarakat merupakan sistem sosial yang terdiri atas sruktur-
struktur sosial yang fungsional satu sama lain menuju pada keseimbangan, apabila kehilangan
fungsi maka struktur sosial dalam sistem sosial tersebut akan kehilangan keberadaannya, atau
mengalami ketidakstabilan. Artinya dalam masyarakat setiap subsistem memiliki fungsi
berdasarkan kedudukan (struktur) mas ing-masing. Dan apabila diantara subsistem tersebut
tidak menjalankan fungsinya masing-masing (disfungsi) maka akan terjadi keretakan dan
ketidakseimbangan. Kemudian keretakan tersebut cenderung mengakibatkan ketegangan
yang berujung pada konflik. Hal ini dikuatkan dengan teori Talcott Parson bahwa Sistem
sosial senantiasa berproses kearah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan
penyimpangan.Disfungsi dan penyimpangan kerap dilakukan oleh kelompok yang
mendominasi dan memiliki otoritas yang lebih, karena kewenangannya yang disalahgunakan
kemudian melewati batas-batas fungsi subsistem yang lain.
Konflik Struktural
Ada beberapa asumsi dasar dari struktural konflik ini. Struktural konflik merupakan antitesis
dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan
keteraturan dalam masyarakat. Struktural konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem
sosial. Struktural konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada
pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-
konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian struktural konflik juga melihat adanya
dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Struktural konflik juga membicarakan
mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan
superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat
menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Struktural konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan
sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat
itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, struktural konflik melihat perubahan sosial disebabkan
karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat
mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-
negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
1. Retaknya kesatuan kelompok apabila konflik terjadi dalam satu kelompok tertentu
Kejahatan kelas
Kejahatan Kerah Putih disebut juga White Collar Crime. Konsep tentang White Collar Crime
dikembangkan oleh Sutherland sebagai sebuah bentuk kritik terhadap teori-teori kriminologi
yang mencoba menjelaskan suatu kejahatan berdasarkan pada struktur sosial dan tingkat
ekonomi. Masyarakat miskin dan berasal dari kelas menengah bawah saja yang dianggap
sebagai pelaku kejahatan atau kriminal atau calon pelaku kejahatan atau kriminal . Kejahatan
hanya ditampilkan sebagai sebuah dampak yang diperoleh dari adanya kemiskinan dan
kesengsaraan sehingga akhirnya kejahatan hanya mengacu pada “street crime” saja.
Konsep White Collar Crime yang dikembangkan oleh Edwin Sutheland ini membantah
bahwa kejahatan hanya dilakukan oleh masyarakat miskin dan berasal dari kelas bawah. Pada
faktanya kejahatan tidak hanya berhubungan dengan kemiskinan dan maslah struktur sosial
lainnya. Menurut Sutherland konsep White Collar Crime lebih berkaitan dengan teori
Differential Association. Teori ini menyatakan bahwa sebenarnya kejahatan dapat dipelajari
dan kejahatan tersbut dipelajari ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain dalam proses
komunikasi.
White Collar Crime yang dikemukakan adalah untuk menunjukkan tipe pelaku kejahatan
yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum
yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan dalam konsep White
Collar Crime tidak didasarkan pada bentuk tindakan yang merugikan namun lebih
mengutamakan pada ciri pelakunya yang berbeda
Menurut Lilik Mulyadi, Teori Labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak
dipengaruhi aliran Chicago. Dibandingkan dengan teori lainnya, teori labeling mempunyai
beberapa spesifikasi, yaitu :