Anda di halaman 1dari 29

Kelompok 1 : Teori Struktur Sosial Tentang Kejahatan

Struktur masyarakat dipandang oleh beberapa ahli dianggap memiliki kontribusi


terhadap kejahatan. Struktur tersebut secara fungsional mempengaruhi tingkah laku
manusia dalam masyarakat terhadap beberapa teori yang penting berkaitan dengan hal
tersebut antara lain sebagai berikut.

 Durkheim tentang kejahatan


Durkheim, sorang pioner dalam bidang sosiologis dan “bapak” sosiologi
Perancis, menjadi sangat terkenal dengan teorinya tentang anomie,bunuh diri,
kejahatan dan Struktur sosial. Ia memberi batasan kejahtan sebagai tingkah laku
yang menggoncang persaan dan hati nurani yang sehat dari setiap masyarakat
yang beradab (Congklin, 1980). Durkheim juga berpendapat bahwa kejahatan
adalah bagian yang normal dan tidak dapat dihindarkan dari manusia. Masyarakat
dipersatukan melalui berbagai perasaan mengenai hal yang baik dan buruk serta
emosi–emosi yang menuntut aksi–aksi tertentu. Pada setiap masyarakat,
Durkheim memandang kejahatan sebagai sesuatu yang mempunyai fungsi di
dalamnya. Pertama, kejahatan muncul sebagai agen perubahan. Jika masyarakat
tidak berubah, setiap orang akan bertingkah laku dalam cara yang sama dan akan
setuju dengan seluruh prinsip sosial. Dengan demikian tidak ada satu alasan pun
bagi seorang untuk melakukan kejahatan. Kedua, kejahatan meminta perhatian
masyarakat pada adanya suatu “ Penyakit Sosial ” sehingga warga masyarakat
secara bersama–sama akan melakukan reaksi untuk mengevaluasi norma–norma
sosial yang telah disepakati bersama. Karya besar Durkheim lainnya yang sangat
berperan dalam memberikan penjelasan kriminilogi adalah tentang hubungan
antara solidaritas sosial dan gejala bunuh diri. Durkheim mendefenisikan “ Bunuh
Diri “ sebagai tindakan yang dilakukan secara sengaja. Telaah tentang bunuh diri
bukan hal yang baru pada masa Durkheim melakukan studinya. Pada masa itu ada
dua tafsiran yang umum tentang penyebab bunuh diri yaitu tafsir gangguan
pskologis atau biologis, dan tafsiran ekologis atau komis. Tafsir gangguan
psikologis melihat bunuh diri sebagai gejala individual yang terjadi karena
pelakunya mengalami gangguan mental dimana hal ini dapat digolongkan
kedalam empat tipe utama gangguan mental. Tipe bunuh diri secara psikologis
adalah manical suicide ( yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh halusinasi, baik
untuk menghindari ataupun menuruti perintah yang dianggapnya nyata), lalu
melancholy suicide ( kasus bunuh diri yang tidak dilandasi oleh motivasi tertentu)
baik yang nyata mampun imajiner dan dilandasi semata–mata oleh gagasan
tentang kematian yang begitu kuat tertanam dan menguasai pikiran pelakunya).
Pelakunya sedemikian dikuasai oleh keinginan untuk membunuh dirinya sendiri,
walau disadarinya sesungguhnya tidak ada motivasi yang masuk akal untuk
automatic suicide ( yakni tindakan bunuh diri yang semata –mata dilandaskan
pada dorongan impulsif ). Hasil tafsir ekologis atau komis yang merupakan salah
satu tafsiran yang dominan pada masa itu juga tidak memuaskan Durkheim.
Berdasarkan data statistik, tidak terlihat adanya keteraturan gejala bunuh diri
berdasarkan variabel ekologis seperti iklim,suhu dan kelembapan udara.
Dari asumsi dasar bahwa bunuh diri merupakan gejala kolektifitas inilah
Durkheim melakukan telaah sosiologisnya untuk mencari penyebab bunuh diri.
Dan dia menemukan beberapa tipe bunuh diri, yakni :

1. Egoistic suicide, yaitu bunuh diri yang terjadi karena rendahnya tingkat
integrasi suatu kolektifitas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa
individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari
individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus
tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Durkheim menyatakan bahwa
ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri dimana
individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.
2. Altruistis, terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harafiah dapat
dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Bunuh diri ini makin banyak
terjadi ketika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada
keyakinan adanya sesuatu yang indah setelah hidup didunia.
3. Anomic, bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu.
Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena
lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam rasa
yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika
menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma
baru belum dikembangkan ( tidak ada pegangan hidup).
4. Fatalistis, bunuh diri terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim,
menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti orang yang
masa depannya telah tetutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas.
Berdasarkan analisis tentang hubungan diantara berbagai tipe bunuh diri dalam
kesadaran kolektif seperti yang telah dikemukakan diatas, jelaslah bahwa bunuh
diri merupakan gejala sosial, merupakan fakta sosial dan bukan sekedar gejala
individual.

 Robert Merton dan Teori Anomie


Teori Emile Durkheim tentang Anomi telah di adopsi oleh Merton untuk
menjelaskan perilaku menyimpang di dalam masyarakat. Teori ini menganggap
bahwa kejahatan tercipta apabila individu tidak dapat mencapai tujuan mereka
melalui saluran legal. Dalam kasus yang demikian, individ menjadi frustasi dan
mencoba untuk mencapai tujuan mereka melalui saluran-saluran yang tidak legal
atau menarik diri dari pergaulan sosial karena kemarahannya.
Di dalam seiap masyarakat selalu terdapat penyebaran yang tidak merata dari
sarana dan kesempatan untuk mencapai tujuan budaya yang menurut kelas dan
kedudukan sosial. Ketidak merataan penyebaran sarana atau kesempatan tersebut
belumlah cukup untuk seseorang pada keadaan frustasi.frustasi akan timbul pada
seseorang yang tidak memperoleh sarana atau kesempatan bagi pencapaian tujuan
budaya apabila pada masyarakat yang bersangkutan tercanangkan kesempatan
yang sama bagi semua warga untuk mecapai tujuan budaya. Merton berpendapat
bahwa ketidak selarasan yang mencolok dan yang mengakibatkan frustasi
dikalangan warga tertentu dapat menimbulkan suatu keadaan di mana warga yang
bersangkutan tidak lagi mempunyai ikatan yang kuat sesuai dengan tujuan budaya
dan cara-cara yang melembaga dalam kebudayaan yang bersangkutan untuk
mencapai tujuan tersebut. Keadaan ini di namakan Anomie, Anomie adalah
keadaan dimana sebagian besar waraga cenderung mengatasi masalahnya dengan
melakukan beberapa bentuk penyesuaian diri yang menyeleweng dari norma-
norma yang berlaku.

 Teori Ketegangan Agnew.


Upaya Agnew untuk membongkar tujuan keberhasilan yang tidak
dihubungkan denagan keadaan sosial atau variabel budaya dapat dilihat sebagai
bagian dari usaha ke pengkajian ulang teori ketegangan pada norma yang
dihasilkan oleh orang yang bersangkutan. Ketegangan bagi Agnew, tidak bersifat
struktural bukan pula bersifat hubungan antar pribadi, tetapi ia bersifat emosional,
serta menyertakan suatu uraian kepercayaan di dalam peranan lain yang berperan
dalam mewujudkan harapa-harapan terkait dengan pristiwa-pristiwa yang terjadi
secara normal. Penghindaran dari pristiwa yang berbahaya mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk menetapkan, memelihara hubungan,serta
mendodrong ke arah reaksi yang bersifat pengasingan diri, seperti yang
dikemukakan oleh Person. Persepsi atas lingkungan yang kurang baik akan
mendorong kearah emosi negatif yang memotivasi orang untuk mulai melakukan
kejahatan. Pristiwa yang penuh dengan keberhasilan bertentangan dengan prestasi
secara eksistensial atau hasil yang adil. Bermacam-macam rancangan yang positif
yang sebelumnya diamati atau dialami mendasari berbagai tujuan yang di
harapkan, dimana frustasi menyebabkan timbulnya kemarahan,
kebencian,dendam, memgamuk,ketidakpuasan, kekecewaan dan kesedihan, yang
kesemuanya merupakan emosi yang bisa dihubungkan dengan ketegangan dalam
konteks kriminologi.

 Teori Sub Kebudayaan


Beberapa teori sub kebudayaan tentang dilenkuensi dibangun sebagai hal yang
responsif terhadap teori anomie dan Marthon. Dalam beberapa teori ini,
masyarakat dari golongan status sosial ekonomi rendah masih menjadi pusat
perhatian bagi analisisnya.
Cohen : teori frustasi status dan formasi reaksi.
Dalam bukunya yang berjudul Delinguent boys, Cohen menunjukkan bahwa
remaja pria dari masyarakat kelas bawah tidak dapat berlomba bersama-sama
dengan remaja dari masyarakat kelas menengah untuk mecapai status.
Frustasi Status.
Kelemahan posisi mereka akan lebih terasa lagi apabila mereka berada pada suatu
lingkungan sosial yang resmi, seperti sekolah dan sebagainya, yang dalam segala
hal nilai-nilai sosial yang dianut adalah nilai-nilai kelas menengah. Remaja dari
kelas menengah akan dinilai oleh para penilai (guru di sekolah) dengan
menggunakan patokan nilai kelas menengah, suatu nilai yang tentunya amat sulit
dicerna dan dihayati oleh mereka. Akibatnya mereka selalu kalah bersaing dengan
remaja kelas menengah (dan atas) yang tentunya telah terbiasa dengan nilai-nilai
sosial mereka sendiri. Dengan demikian para remaja kelas baewah akan menderita
“Frustasi status”. Untuk mengatasi frustasi status yang dialami remaja kelas
bawah maka sebagian dari mereka melakukan berbagai adaptasi terhadap nilai-
nilai kelas menengah. Sementara sebagian yang lain karena terus-menerus gagal
maka mereka cenderung mengembangkan nilai-nilai yang dapat dihayati oleh
mereka sendiri. Nilai-nilai tersebut dikembangkan oleh remaja kelas bawah yang
gagal untuk beradaptasi dengan nilai-nilai kelas menengah tersebut cenderung
bertindak melampaui batas dan bersikap menentang nilai-nilai menengah, yang
juga merupakan nilai-nilai masyrakat.

 Cloward dan Ohlin : Struktur Kesempatan Yang Berbeda


Marthon dan Cohen memberi pengertian kepada delinkuensi sebagai hasil dari
frustasi status. Jika struktur kesempatan yang melembaga tidak diperoleh remaja
kelas bawah maka mereka dalam usahanya mencapai tujuannya akan
menggunakan kesempatan yang ilegal untuk meraih kemajuan, khususnya dalam
bidang kekayaan. Dengan demikian, delinkuensi adalah suatu aktivitas dengan
tujuan pasti, yakni meraih kekayaan melalui cara-cara yang tidak sah.
Kondisi ekonomi dan kejahatan
Teori ini sama sekali mengabaikan arti dari struktur biologis dan psikologis
yang terdapat pada diri individu. Pendapat bahwa kehidupan ekonomi adalah
fundamental, dan oleh karena itu merupakan pengaruh yang menentukan
kehidupan sosial dan kultural, sudah ada sejak dahaulu. Pendapat, dan ideologi ini
mencapai puncak perkembangannya dalam sistem orgaisasi politik yang mengenal
beberapa partai politik seperti yang terdapat dalam hampir semua negara di dunia
Barat. Dengan perubahan fondasi ekonomi ini keseluruhannya superstruktur yang
hebat, sedikit banyak berubah juga dengan cepat. Jelaslah mengapa determinisme
ekonomi marxis dalam bentuk sosialnya merubah bentuk serta organisasi hidup
ekonomi dalam masyarakat. Karena faktor ini dianggap mengendalikan atau
menentukan aspek lainnya dari hubunga sosial dan lembaga sosial, maka seluruh
masyarakt dapat diganti bentuknya dengan jalan mengganti bentuk sistem
ekonominya. Reformasi sosial, khususnya menginginkan perubahan sistem
ekonomi dari sistem pemilikana individu atau pemilikan bersama atas harta milik
yang penting dianggap produksi dibawah pengawasan negara untuk penggunaan
bersama dan kesejahteraan sosial inilah dasar ideologi dari semua gerakan radikal
atau kiri, yang berkembang di Eropa dan Amerika Utara sejak zaman Karl Marx.
Maka dari itu teori-teori determinisme ekonomi atas kejahatan di dalam
masyarakat.

 Kejahatan Tertentu Dalam Konteks Struktur Sosial. Struktur sosial dalam


masyarakat dapat menyebabkan munculnya bebrapa kejahatan tertentu, dimana
kejahatan tersebut didukung oleh perbedaan struktur sosial itu sendiri.
Pemahaman dan persepsi yang salah oleh kelompok tertentu yang berada didalam
struktur sosial dapat menyebabkan dilakukannya perbuatan tertentu, yang dapat
digolongkan sebagai kejahatan. Perbuatan itu menurut orang yang bersangkutan
dimungkinkan dan dibenarkan karena dirinya berada dalam struktur sosial
tersebut. Beberapa kejahatan tertentu yang akan diuraikan dalam bagian ini,
dimana eksistensinya dimungkinkan oleh keberadaan pelaku dalam struktur
sosialnya adalah White Collar dan Domestic Violence.

 Pengertian White Collar Crime


Secara harafiah, white collar crime dapat diartikan sebagai “kejahatan kerah
putih”. Istilah white collar crime pertama kali dikemukakan oleh Edwin H.
Sutherland dalam pidatonya dimuka American sosiological society pada tahun
1939. White collar Criminals yang adalah orang-orang yang pantas dihormati dan
berstatus sosial tinggi yang terlibat dalam kejahatan yang berkaitan dengan
pekerjaannya. Penjahat berdasi adalah orang terbaik, mereka adalah orang
terhormat, jarang ada yang miskin dan umumnya kaya.

 Tipologi Dalam White Collar Crime


Cukup banyak referensi yang membahas tentang tipologi dan white collar crime
ini, namun dalam modul ini akan dijelaskan tipologi yang akan diajuhkan oleh
Clinerd dan Quiney dan tipologi dari Congklin. Menurut Clinerd dan Quiney
white collar crime dapat dikelompokkan dalam dua macam perilaku, yaitu
occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior.
Occupational criminal adalah suatu perbuatan jahat yang dilakukan oleh
seseorang yang mempuyai pekerjaan tertentu, dan oleh karenanya mempunyai
jabatan tertentu. Perbuatan jahat yang dilakukannya biasanya berhubungan dengan
pekerjaan yang sah menurut hukum. Dengan kata lain, karena jabatannyalah
seseorang dapat melakukan sesuatu perbuatan jahat. Sedangkan corporate criminal
behavior adalah perbuatan jahat yang dilakukan oleh corporasi. Corporate
criminal biasa juga disebut sebagai organisational occupational crime.
Kemudian, tipologi yang diajuhkan oleh Coklind tentang white collar crime,
mencakup : 1. kejahatan korporasi (pribadi)
Beberapa contoh perilaku menyimpang atau kecurangan yang pada akhirnya dapat
diwujudkan dalam tindak kejahatan yang dilakukan oleh korporasi antara lain
adalah (a) iklan yang menyesatkan (b) penipuan atau pengelapan pajak (c)
penyuapan terhadap berbagai pihak (d) eksploitasi tenaga buruh (e) produksi
barang yang membahayakan (f) pencemaran lingkungan (g) penyimpangan dan
pencurangan dibidang asuransi. 2. kejahatan yang dilakukan oleh pegawai
perusahaan. Beberapa contoh kejahatan yang dilakuka oleh pegawai perusahaan
karena pekerjaan dan jabatan yang dimiliki antara lain adalah : (a) penggelapan
uang atau membuat biaya tidak benar atau fiktif seperti membuat pembukuan
ganda membuat neraca laba rugi secara tidak benar serta beberapa bentuk
kecurangan dan penyimpangan akuntansi lainnya. 3. kejahatan yang dilakukan
oleh pegawai pemerintah. Kegiatan jenis ini sebagian besar sama dengan jenis
kejahatan yang dijelaskan pada butir kedua. Namun dari segi kerugian, apabila
penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah tersebut menyangkut
masalah kebijakan umum, maka akan berdampak luas dan mempunyai tingkat
keseriusan yang tinggi.

 Domestic Violence atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Secara sederhana


domestic violence dapat diterjemahkan sebagai kekerasan yang terjadi dalam
lingkup rumah tangga. Rumah tangga, dapat diartikan sebagai semua orang yang
tinggal bersama disatu kediaman. Dalam perkembangganya, rumah tangga ini
dapat berupa wadah dari suatu kehidupan penghuninya yang bisa saja terdiri dari
berbagai status, seperti suami istri, orang tua dan anak-anak, orang-orang yang
mempuyai hubungan darah, orang yang bekerja membantu kehidupan rumah
tangga, orang-orang lain yang menetap disebuah rumah tangga, orang yang hidup
bersama dengan korban atau mereka yang masih atau pernah tinggal bersama.
Kekerasan domestic dapat dikelompokkan menjadi lima bentuk, yaitu
kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikologi atau emosional, kekerasan
ekonomi serta kekerasan seksual. Seseorang korban kekerasan domestic tidak
hanya mengalami satu bentuk kekerasan saja bisa jadi dia juga mengalami
beberapa bentuk kekerasan secara berlapis (kumulatif), artimya mengalami
beberapa jenis kekerasan atau kombinasi berbagai jenis kekerasan tersebut.
Kekerasan fisik meliputi perbuatan pemukulan (dengan tangan maupun benda) ,
penganiayaan, pengurungan, memberikan pekerjaan yang berlebihan
(memperbudak), serta memberikan ancaman kekerasan yang termasuk, kekerasan
verbal terwujud dalam bentuk caci maki, meludahi, dan melakukan penghinaan
secara verbal. Kekerasan psikologi atau perbuatan pembatasan atau pemutusan
hubungan dengan orang lain atau masyarakat maupun dengan keluarga, melarang
istri bekerja, seiring meninggalkan rumah tanpa alasan, dan melakukan teror.
Kekerasan ekonomi meliputi perbuatan pembatasan keuangan yang berlebihan,
memaksa pekerja orang lain atau istrinya atau pelaku lebih suka menganggur.
Sedangkan kekerasan seksual adalah perkosaan , baik yang dilakukan oleh suami
atau yang sering disebut marital rape maupun yang dilakukan oleh anggota
keluarganya yang lain seperti paman maupun abangnya, serta perkosaan yang
dilakukan oleh temannya maupun orang lain.

 Dampak Kekerasan Domestic


Dampak yang panjang atas terjadinya kekerasan domestic terhadap korban hingga
saat ini belum banyak didokumentasikan. Perempuan yang dipukuli akan
menderita secara fisik dan mengalami masalah mental sebagai akibat dan
kekerasan domestic pemukulan merupakan suatu faktor tunggal pemyebab
perlukaan bagi perempuan, lebih signifikan dibandingkan dengan kecelakaan
mobil, perkosaan atau perampokan. Pada kenyataannya, penyalahgunaan
emosional dan psikologis yang dilakukan oleh pelaku lebih membutuhkan biaya
yang besar dalam perawatannya dibandingkan dengan akibat perlukaan. Banyak
perlukaan fisik yang dialami oleh perempuan yang dipukuli dan membutuhkan
perawatan medis yang lebih serius, khususnya jika kekerasan tersebut terjadi pada
perempuan yang sudah berumur. Darah tinggi dan penyakit jantung adalah dua
pemyakit yang paling banyak diderita oleh para perempuan yang dipukuli dalam
konteks kekerasan domestic.
Kelompok 2 : Teori Belajar Sosial

A. Teori Belajar Sosial

Teori belajar sosial merupakan salah satu teori yang menjelaskan tentang
tingkah laku dan responsive-responsive yang kompleks dan berhubungan dengan
berbagai macam rangsangan atau stimuli. Ada beberapa ahli psikologi yang selalu
berbicara tentang pola-pola tingkah laku dan tidak tentang tindakan atau response
yang berdiri sendiri.

Beberapa dari pola ini nampaklah sudah di atur terlebih dahulu atau ditentukan
oleh turunan atau warisan dan oleh karena itu, di sebut tingkah laku yang tidak
dipelajari atau tingkah laku instinktif. Teori-teori tentang ajaran konsep ini sudah ada
sejak dahulu. Salah satu hukumnya menyatakan bahwa, kita belajar dengan asosiasi.
Ada 4 asosiasi klasik yang di susun oleh Aristoteles antara lain sebagai berikut :

1. Hukum kesamaan
2. Hukum kebalikan
3. Hukum kejadian berturut-turut dalam waktu
4. Hukum ko-eksistensi di angkasa.

Oleh para ahli kemudian keempat hukum ini telah disaring dan direduksi menjadi dua
buah prinsip utama yaitu :

1. Asosiasi melalui kesamaan dan atau kebalikan


2. Asosiasi melalui kelangsungan dalam waktu dan angkasa atau tempat.

Perumusan masalah di atas merupakan pengetahuan yang sifatnya umum, akan tetapi
tidak di buktikan dengan benar atau tidaknya secara ilmiah. Sama halnya dengan
hukum pelajaran dari seorang psikologi pendidikan, Thorndike yang terdiri atas 3
bagian yaitu :

1. Hukum Kemampuan
Menurut hukum ini semua yang dipelajari oleh manusia didasarkan atas
kemampuan yang memang yang sudah ada padanya atau merupakan
kelanjutan dari padanya.
2. Hukum Latihan
Hukum ini penggunaan berbagai latihan maka kemampuan seseorang akan
semakin kuat. Sedangkan bila mana kemampuan-kemampuan tidak
dipergunakan atau dilate terus-menerus maka, kemampuan yang dimiliki
seseorang akan berkurang atau akan menjadi lemah.
3. Hukum Pengaruh Atau Efek
Menurut hukum ini, maka pengaruh terhadap pengaruh yang memuaskan akan
nada response yang terjadi secara terus menerus, akan tetapi terhadap
pengaruh-pengaruh yang menjengkelkan atau tidak disukai akan nada
penghindaran atau non- responsi.

Hasil dari pembelajaran pasti akan memunculkan perbedaan karena dianggap sebagai sesuatu
yang tidak pasti dan dipertentangkan dengan berbagai teori yang berbeda. Ada suatu paham
mengenai deskrpsi suatu pembelajaran, akan tetapi tidak ada kesesuaian paham mengenai
sebab terjadinya proses pembelajaran. Di sini akan selalu ada masalah mengenai apakah si
individu berusaha untuk belajar atau tidak, dan apakah ia mempunyai minat atau tidak untuk
belajar. Masalah ini subjektif sifatnya dan tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Sebab
tingkah laku yang di lakukan berulang-ulang, tanpa perhatian minat, tidak akan menghasilkan
pembelajaran. Oleh karena itu, anggapan orang muncul yaitu bahwa harus ada suatu unsur
yang tidak nampak pada tingkah laku yaitu kesiap-siagaan atau kemampuan untuk bertindak,
yang harus mendahului tingkah laku dan memberi arti kepadanya serta menimbulkan efek
daripadanya kondisi mental yang bersifat internal ini sering disebut sikap. Dengan sikap yang
tepat, maka pembelajaran akan berlangsung dengan cepat, dengan catatan bahwa apabila
kemampuan individu yang bersangkutan menompangnya. Tanpa sikap yang tepat maka
pembelajaran sosiologis dan psikologis yang normal, dan dari pengaruh-pengaruh
masyarakat.

Maupun anti-kriminal suherland mencoba memberikan dasar objektif dan ilmiah kepada
teorinya dengan menghubungkannya dengan aspek-aspek lahiriah yang dapat dilihat pada
asosiasi, dan dapat diperhitungkan di dalam asosiasi seseorang dengan teman-teman
sepergaulannya.

Di dalam perumusan pertamanya yang dimuat dalam tahun 1939 kejahatan adalah
dirumuskan sebagai hasil daripada frekuensi dan konsistensi seseorang bergaul dengan pola-
pola kriminal,sedangkan pola-pola kriminal itu adalah hasil daripada kebudayaan-
kebudayaan yang berbeda-beda dan bentrokan-bentrokan atau konflik kebudayaan dalam
masyarakat. Perbedaan-perbedaan di dalam sifat kepribadian atau berbagai situasi sifat sosial
hany berarti apabila perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi frekuensi atau konsistensi
pergaulan dengan pola-pola kriminal. Di dalam perumusan terebut tingkah laku jahat di
batasi oleh “ tingkah laku jahat yang sistematis “ maksudnya bahwa suatu kriminal itu telah
menjadi “way of life” yang diterima oleh si individu ( misalnya pencuri profesional ).

Pada tahun 1949 Sutherland, mengemukakan bahwa teorinya berlaku bagi “


whitecollar crime “ dan karena ini maka teori tersebut dianggap berlaku bagi semua tingkah
laku jahat. Salah satu masalah yang selalu meragukan kebenaran teori asosiasi berbeda dari
satu Sutherland adalah fakta, suatu kenyataan bahwa semua orang yang berhubungan dengan
kriminalitas meniru atau menuruti pola-pola criminal. Jadi apakah pergaulan tingkah laku
akan berlangsung terus-menerus tanpa menghasilkan pembelajaran.

Meskipun sudah jelas apa yang dimaksudkan dengan sikap dan perannya, namun belum
ada persesuaian paham menegenai apa sebab orang itu perlu bersikap, bertindak dan belajar.
Baik yang sikap yang tidak Nampak, maupun tingkah laku yang Nampak, diperoleh melalui
pembelajaran dan pengalaman. Keduanya dianggap merupakan kelanjutan dan ciri-ciri dan
kemampuan yang dibawah seseorang itu dilahirkan. Sebagaimana lazimnya dalam hubungan
sosial, maka keduanya yaitu sikap dan tingkah laku, dalam perkembangannya kemudian,
ditentukan oleh lingkungannya, yaitu berupa hubungan sesama manusia. Dalam konsep
hubungan seperti ini, maka kelompok inti atau kelompok utama, memegang peran penting,
karena kelompok ini menentuka apa yang disetujui dan apa yang tidak boleh diperbolehkan
terkait dengan bagaimana seseorang itu bersikap, baik bagi anak-anak yang sedang tumbuh,
maupun orang dewasa. Dengan demikian, hubungan kelompok intim dengan cara hidup yang
berlawanan dengan hukum dan bertentangan dengan kesusilaan pada umumnya, dapat juga
menentuka sikap dari individu. Denga lain perkataan diperolehnya sikap-sikap yang
mengutamakan bagi kejahatan dan pembelajaran pola-pola tingkah laku jahat, merupakan
proses psikologis yang sama normalnya.

B. Teori Diferential Association Dari Sutherland


Teori Sutherland ini menunjukkan dengan jelas, sifat dan nampak dari
pengaruh kelompok lingkungan terhadap individu. Teori ini sendiri sebenarnya bukan
merupakan suatu teori yang unik atau baru akan tetapi teori sutherland ini mencoba
untuk memberikan suatu perumusan yang logis dan sistematis dari rangkaian
hubungan-hubungan yang memungkinkan kejahatan dapat di terima dan dimengerti
sebagai tingkah laku yang normal dan dipelajari, tanpa menyinggung-nyinggung teori
Kelainan biologis atau psikologis. Oleh karena itu teori ini semata-mata bersifat
sosiologis yaitu, berpusat pada hubungan-hubungan sosial, yang mencakup frekuensi,
insensitas dan arti penting dari pada asosiasi, namun tidak merujuk pada kualitas atau
ciri-ciri individu, maupun kepada sifat-sifat dunia ilmiah yang konkrit dan dapat
dilihat.
Aspek-aspek struktural daripada asosiasi manusia, lazim disebut organisasi
sosial. Organisasi merujuk kepada suatu kumpulan maksud atau tujuan-tujuan dan
kepentingan-kepentingan bersama dari anggota-anggota suatu kelompok yang
memberi arti dan tekanan pada asosiasi atau pergaulan mereka. Jadi disorganisasi
asosiasi bukanlah non-organisasi atau tidak ada organisasi, melainkan merupakan
asosiasi-asosiasi yang berlainan untuk maksud-maksud atau tujun-tujuan yang
berlainan. Di dalam kelompok atau sub-kelompok yang mengalami disorganisasi
social ini, ikatan bersama yang mendasari asosasi adalah pemikul bersama daripada
kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan yang diteruskan secara bebas, dari
anggota yang satu dengan anggota-anggota yang lainnya. Ikatan bersama ini
merupakan realitas psikologis daripada organisasi sosial yang berlainan atau berbeda,
maka tidak dapat dihindari bahwa beberapa anggota kelompok akan mengikuti dan
mendukung pola-pola tingkah laku kriminal, ada yang bersikap netral atau tidak
melibatkan diri dalam kejahatan, tetapi adapula yang akan bersifat tegas atau anti
criminal, atau tegas menjunjung tinggi hukum, irasional hanya karena tingkah laku
tersebut kebetulan dirumuskan sebagai jahat.
KELOMPOK 3 : TEORI KONTROL SOSIAL

1. TEORI KONTROL SOSIAL

Teori kontrol sosial seperti dikembangkan dan disistematisasikan di USA oleh Hirschi
pada tahun 1969 ( Junger, 1990) menempatkan tingkah laku yang tidak mensyaratkan
motivasi yang khas (khusus). Ada motto yang berkembang ditengah anak delinkuen
yaitu bahwa “kami akan melakukannya jika kami bisa melakukannya”, hal itu berarti
faktor motivasi tidak dipertimbangkan sebagai suatu faktor yang tetap. Konsekuensi
dari pandangan ini adalah bahwa apa yang sebenarnya dapat dijelaskan bukanlah
tingkah laku delinkuen tetap lebih merupakan tingkah laku yang menghargai norma
yang ada (norm-respecting behavior). Dalam keadaan demikian, menurut Cohen dan
Felson (Junger, 1990) maka social theory kontrol mempunyai hubungan langsung
dengan opportunity theory. Opportunity theory menyatakan bahwa ‘jika anda
memberikan kesempatan kepada remaja untuk melakukan pelanggaran, sebagian
besar dari mereka pasti akan melakukannya”, remaja memang belum mempunyai
identifikasi diri yang kuat dengan masyarakatnya dan tidak merasa
mempunyai/memiliki atau kalaupun ada hanya sedikit saja rasa tanggung jawabnya.

Kontrol sosial  adalah suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta


mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma
dan nilai yang berlaku.

Teori kontrol yang bersifat sosiologis dikemukakan oleh Travis Hirschi (1969).
Hirschi mengatakan bahwa Kejahatan itu normal dan hanya dapat dicegah dengan
mencegah munculnya kesempatan guna melakukannya. Filosofinya itu, bagaimana
untuk cara mencegahnya? Ya kesempatan untuk melakukannya yang dihilangkan.
Bagaimana cara menghilangkan kesempatannya? Maka efektifkan lingkungan, buat
orang terikat pada lingkungannya. Maka teori dari Hirschi kemudian dikenal dengan
“sosial warms theory” (teori ikatan sosial). Jadi kalau orang terikat dalam kehidupan
sosial maka cendrrung untuk tidak melakukan penyimpangan.

Travis Hirchi sebagai pelopor teori ini, mengatakan bahwa “Perilaku kriminal
merupakan kegagalan kelompok–kelompok sosial seperti keluarga, sekolah, kawan
sebaya untuk mengikatkan atau terikat dengan individu”, Artinya “individu dilihat
tidak sebagai orang yang secara intrinsik patuh pada hukum, namun menganut segi
pandangan antitesis dimana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak
pidana”. argumentasi ini, didasarkan bahwa kita semua dilahirkan dengan
kecenderungan alami untuk melanggar aturan hukum. Dalam hal ini kontrol sosial,
memandang delinkuen sebagai “konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk
mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar
hukum”.Manusia dalam teori kontrol sosial dipandang sebagai mahluk yang memiliki
moral murni, oleh karena itu, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu
Albert J. Reiss Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan social
control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak
mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau
lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma –norma atau peraturan-
peraturan menjadi efektif.Pada tahun 2957, Jackson Toby memperkenalkan
pengertian “comitment” individu sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam
membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan Irvine Piliavian
menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi/penyesuaian diri
memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan.

Dalam teori kontrol sosial, ada elemen yang harus diperhatikan :

1.  Attachment (kasih sayang)

Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang


lain, jika attachment sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap
pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain. Berbeda dengan psikopat, kalau
psikopat lahir dari pribadi yang cacat, yang disebabkan karena keturunan dari
biologis atau sosialisasi. Attachment, dibagi menjadi dua bentuk :

a.       Attachment total : suatu keadaan di mana seseorang individu melepaskan


rasa ego yang terdapat dalam dirinya dan diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa
kebersamaan inilah yang mendorong seseorang untuk menaati peraturan, karena
melanggar peraturan berarti menyakiti perasaan orang lain. Tujuan akhir dari
attachment ini adalah, akan mencegah hasrat seseorang untuk melakukan deviasi.

b.      Attachment Partial ; suatu hubungan antara seorang individu dengan individu


lainnya, di mana hubungan tersebut tidak didasarkan kepada peleburan ego yang
lain, akan tetapi karena hadirnya orang lain yang sedang mengawasi perilaku
individu. Dengan kata lain, attachment ini, hanya akan menimbulkan kepatuhan
pada individu, bila sedang diawasi perilakunya oleh orang lain.

Bagaimana kita attach dengan orang lain, dengan keluarga maupun dengan yang
lain . Attachment itu adalah kedekatan, bagaimana kita merasa bahwa diri kita
penting bagi orang lain, kita diharapkan oleh banyak orang. Idealisme dengan
ketidakinginan untuk mengecewakan orang-orang dekat.  Biasanya attach itu
landasannya adalah empati, rasa sayang (sayang kepada anak dan istri). Jadi attach
itu mencegah kita untuk melakukan penyimpangan. Dalam kehidupan sosial
attachment itu penting.

2. Commitment

adalah lingkungan dimana kita bisa berkomitmen. Coba bayangkan kalau kita
sayang, dekat terhadap seseorang kalau kemudian kita intens berhubungan dengan
seseorang pasti kemudian akan tumbuh komitmen. Bagaimana ciri-ciri orang yang
komitmen? Orang yang komitmen adalah orang yang merasa kehilangan apabila
dia dipisahkan dari orang yang menyayanginya. Jadi kalau kita merasa, kalau
putus dengan istri saya besok saya bisa cari lagi (itu tidak punya komitmen), orang
yang punya komitmen “saya tidak bisa membayangkan jika hidup saya pisah
dengan pacar saya”, “saya tidak bisa apa yang terjadi dengan diri saya jika saya
berpisah dengan anak-anak saya” itu adalah komitmen.

Dalam lingkungan/ dalam kehidupan sosial juga begitu, orang yang komitmen pada
lingkungannya baik adalah orang yang tidak bisa membayangkan kalau tetangga-
tetangganya tidak suka dengan dia, kalau tetangga-tetangganya sudah mulai cuek
sama dia karena dia dianggap bukan lagi orang yang terhormat, itu adalah orang
yang komitmennya tinggi dalam kehidupan sosial. Jadi komitmen itu bisa diukur
dari seberapa banyak kehilangan-kehilangan sosial yang akan kita alami apabila
kita dipisahkan dari lingkungan.

3. Involvement

Kalau kita sudah punya komitmen, biasanya kita juga akan mempunyai keterlibatan
(involment). Jadi orang-orang yang punya involvement sudah pasti dia punya
attachment dan komitmen makanya dia mau involve, kalau dia tidak involve dia
akan stress. Coba bayangkan sebagai anggota polisi yang menjadi polisi hanya
sekedar hobi saja, dia dilibatkan atau tidak dalam kegiatan pasti dia santai-santai
saja, begitu membaca sprin dan tidak ada namanya langsung berucap
“Alhamdulillah”. Berbeda dengan yang komitmennya bagus, begitu membaca sprin
dan tidak ada namanya ya dia pasti akan stress. “Ada apa ini? Kok pimpinan tidak
memasukkan nama saya ini kenapa?”, dia akan bingung. Jadi kalau orang yang
komitmen dan attachmentnya tinggi biasanya kemauan untuk keterlibatan dalam
sebuah kegiatan biasanya juga tinggi. Jadi orang yang mau kerumah tetangga,
orang yang datang saat diundang arisan, itu adalah orang yang pasti mempunyai
komitmen baik terhadap lingkungannya. Kalau orang yang komitmennya tidak baik
terus diundang “siapa sih bapak ini, sering banget sih ngadain acara”, itu komitmen
dan involvementnya rendah. Menurut Hirschi semakin banyak keterlibatan orang
dalam lingkungan itu akan semakin baik kemampuan mencegah dari lingkungan
untuk membuat dia tidak melakukan penyimpangan.

4. beliefs (keyakinan)

Konsep beliefs ini menggamarkan suatu situasi dengan keanekaragaman


penghayatan pada kaidah-kaidah kemasyarakatan yang dilakukan oleh kalangan-
kalangan anggota masyarakat. Keanekaragaman itu terutama difokuskan pada
keabsahan moral yang terkandung didalam kaidah-kaidah kemasyarakatan yang
dimaksud.

Dalam konteks ini, para pelaku perbuatan menyimpang itu pasti mengetahui dan
sadar bahwa perbuatannya itu salah. Namun makna keampuhan pemahamannya itu
kalah bersaing dengan keyakinan lain (karena adanya kerancuan dalam
penghayatan keabsahan moral) dan ini enyebabkan kendornya ikatan dirinya
dengan tertib masyarakat konvensional. Pada gilirannya, karena lemahnya ikatan
itu ia merasa bebas untuk melakukan perbuatan yang menyimpang atau yang
melanggar hukum.

2. PENERAPAN TEORI KNTROL SOSIAL DALAM SEBUAH KASUS


Orang pada saat berada pada strain (kondisi strain yang sedemikian hebat) secara
teoritis diaakan melakukan penyimpangan (kejahatan). Faktanya hampir semua
anggota masyarakat sebenarnya berada pada posisi strain. Jadi pada waktu kita
beruntung sekalipun, tetap kita akan mengalami strain dari kelompok dimana kita
berada atau peer dimana kita tinggal. Katakanlah orang yang tidak berada pada posisi
yang tidak beruntung itu adalah orang yang punya pekerjaan tetap, punya status sosial
yang jelas, tapi bukan berarti strain tidak terjadi, strain tetap akan ada (akan muncul
dari peer group, teman-teman dan kelompok),ternyata di dalam setiap strata dalam
kehidupan sosial itu ada strata lagi di dalamnya. Kalau kita bicara tentang kelas atas,
kelas atas itu tidak homogen, tapi di dalam kelas atas itu terdapat kelas-kelas lain. Jadi
ada upper higher class, upper middle class dan upper lower class. Artinya orang yang
berada di dalam strata atas pun dengan sendirinya mereka kemudian terkelompok lagi
kedalam strata-strata tertentu. Orang-orang yang berada pada posisi yang beruntung
(pada strata atastadi) tetap mengalami strain karena mereka berhadapan dengan orang-
orang yang walaupun berasal dari strata yang sama tapi juga berasal dari sub strata
yang berbeda Artinya tidak ada orang yang berada pada posisi yang tidak mengalami
strain di dalam hidupnya.

Secara teoriti skala uposisinya demikian maka kita dapat menduga bahwa banyak
orang mencari makna kejahatan, karena asumsinya orang yang mengalami strain
adalah orang yang paling mudah untuk terjebak pada perilaku menyimpang .Tapi
fakta lain menunjukkan hanya sedikit orang yang kemudian melakukan kejahatan atau
penyimpangan dari sekian banyak orang yang mengalami strain.

teori kontrol berasumsi bahwa kalau kita ingin menjelaskan kejahatan maka
penjelasan itu dapat kita cari dari perilaku yang tidak jahat, kalau kita ingin
mengendalikan kejahatan jangan mengutak-atik kejahatannya, tapi carilah
penjelasannya kenapa orang bisa taat hukum, ada apa dan apa yang terjadi disana.
Karena asumsinya perilaku menyimpang itu adalah perilaku yang alamiah (natural).
Perilaku tidak menyimpang atau perilaku yang konformitas adalah perilaku yang tidak
alamiah. Kejahatanlah yang akan dipaksa oleh aturan.
KELOMPOK 4 : TEORI LABELING

2.1 Labelling Theory ( Teori Labling )

Menurut Junaedi kadir, Teori labeling merupakan teori untuk mengukur mengapa terjadinya
kejahatan, metode yang digunakan dalam teori ini adalah “self refort” atau melakukan
interview terhadap pelaku kejahatan yang tidak diketahui oleh polisi. Pembahasan labeling
terfokuskan, pada 2 tema yaitu pertama : menjelaskan apa dan bagaimana orang-orang
tertentu diberi label, kedua : pengaruh atau efek dari label tersebut sebagai sesuatu
konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukannya.

Menurut Dewi Simanungkaliti, labeling Theory memandang para kriminal bukan sebagai
orang yang bersifat jahat yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan bersifat salah tetapi,
mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian
sistem peradilan pidana maupun masyarakat secara luas.

Menurut Lilik Mulyadi, teori labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak
dipengaruhi aliran chicago. Dibandingkan dengan teori lainnya, teori labeling mempunyai
beberapa spesifikasi, yaitu :

 Teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori menggunakan
perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat
 Teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya kejahatan,
dengan menggunakan self report study yaitu interview terhadap pelaku kejahatan
yang tidak tertangkap tidak diketahui polisi.

Pada dasarnya, teori labeling dikorelasikan dengan buku crime and the community dari Frank
Tannenbaum (1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker ( The Outsider,1963),
Kai T.Erikson ( Notes on the Sociology of Deviance, 1964 ), Edwin Lemert ( Human
Deviance Social problem and Social Control.1967 ) dan Edwin Schur ( Labeling Deviant
Behavioer,1971). Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label menekan
pada kedua aspek ,yaitu :

 Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau
label.
 Pengaruh atau efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangantingkah laku.

Dengan demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan


perilaku jahat. Kemudian F.M . Lemert, terkait dengan masalah kejahatan yang
dilakukan, membedakan 3 bentuk penyimpangan, yaitu :

a. Individual devation, di mana timbulnya penyimpangan diakibatkan tekanan psikis


dari dalam.
b. Situational devation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan.
c. Systematic devation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam
sub-sub kultural atau sistem tingkah laku.

2.2 Teori Labeling

Pada awal 1960-an muncul satu teori kriminalogi dengan menggunakan pendekatan yang
berbeda dari teori-teori lainnya yang muncul sebelumnya. Teori labeling menjawab tentang
kejagatan dan perspektif yang baru. Konsep pemikiran labeling menolak aliran pemikiran
positivis yang melihat kejahatan sebagai tindakan yang melanggar norma. Pendukung teori
lebeling memisahkan antara faktor penyebab dan reaksi sosial terhadap kejahatan serta
mempelajari bagaimana mekanisme pengendaliannya. Teori labeling memandang kejahatan
bersifat relatif dan didefenisikan oleh masyarakat.

2.3 Labeeling Interaksionisme Simbolik

Adalah suatu perluasan interaksi sosial dengan menggunakan ide sosiologi. Teori
interaksionisme menganalisa cara-cara perilaku sosial biasanya individu berinteraksi dalam
konteks sosial dengan menggunakan konsep tentang diri mereka dan orang lain di sekitarnya
yang berinteraksi dengan mereka.

2.4 Tingkah Laku Yang Di Cap

(Becker 1973) menunjukkan bahwa tidak adanya perilaku menyimpang atau tindakan
kriminal hingga perilaku atau tindakan ini didefenisikan oleh karenanya di cap oleh suatu
kelompok atau seluruh anggota masyarakat sebagai perilaku menyimpang atau sebagai
tindakan kriminal. Beberapa perilaku dianggap tindakan kriminal akibat dari adanya tekanan
kelompok tertentu atau kelompok utama.

2.5 Pencapaian Individual

Para pendukung aliran ini adalah (Lemert 1951) dan Becker (1973) Lemert melihat
permasalahan utama dikembangkan ketika suatu lebel diberikan oleh seseorang lalu
memandang bahwa orang itu menyandang lebel ( Becker (1963) memandang bahwa dalam
pembuatan aturan atau hukum pidana, masyarakat menciptakan penyimpangan itu karena
melakukan penyimpangan atas dasar pelanggar dengan mencap atau memberi labeling
sebagai penjahat dan pelanggar jadi masyarakatlah yang lebih menciptakan kejahatan. Lebel
kriminal hanya diberikan bagi mereka yang jelas melakukan tindakan kejahatan dan
kejahatan mereka hanya sebagian dari proses ini.
2.6 Reaksi Secara Sosial

Pada konsep ini adalah bahwa seseorang yang menjadi subjek dari pelabelan yang dapat
menyatu dengan orang-orang yang dilebelkan dan mungkin berpengaruh pada perilaku orang
tersebut, dan juga dapat dilihat dari 2 faktor yakni :

a. Penyimpangan primer
Pada penyimpangan ini tidak diuatamakan dalam menjelaskan labeling sebab konsep
labeling tidak memusatkan pada pandangan tentang diri si pelanggar dan merespon
reaksi masyarakat tentang perilakunya.
b. Penyimpangan sekunder
Pada penyimpngan ini mengartikan bahwa menempati tempat paling akhir di bagian
ini dari permasalahan identitas diri hingga kepada reaksi masyarakat.

Perspektif tentang labeling lebih menitiberatkan pada defenisi-defenisi tentang penyimpangan


itu sendiri. Perhatiannya kurang difokuskan paa apa yang sebenarnya dilakukan oleh orang-
orang yang melakukan penyimpangan dari pada menyoroti bagimana orang lain itu bereaksi.
Teori labeling sendiri menekankan pada pembentukan peran memfokuskan pada perilaku
perang yang dibentuk oleh ekspektasi orang lain yang berinteraksi dengan. Selain itu
memfokuskan kepada pesepsi kita terhadap diri kita di mana persepsi di perkuat oleh lebel
yang diberikan orang lain oleh karena perbuatan yang kita lakukan.

2.7 Dampak Perspektif Labeling.

Dampak perspektif labeling dalam kebijakan sosial sebagaimana terdapat dalam teori-teori
sosial adalah yaitu :

a. Perspektif labeling menegaskan kembali pernyataan yang telah lama di buat oleh para
kriminalog kejahatan adalah relatif dan berfungsi menurut waktu dan tempat.
b. Dengan menganggap bahwa kebutuhan untuk meniliti para pembuat keputusan dan
proses-proses politis secara cermat di mana kejahatan ditetapkan dan para pelanggar
diberikan label perspektif labeling menyoroti bagian yang berkembang dalam
sosiologi melalui 2 model yang saling bertentangan dalam menganalisis masyarakat
yaitu komsensus dan konflik.
KELOMPOK 6 : KONFLIK KELAS SOSIALDAN KEJAHATAN

 Structural-funcional Approach

Society is a system of interrelated parts that is realitively stable. Each part work to keep
society operating in an orderly way.(sebuah sistem besar yang terdiri dari bagian-bagian dan
bagian-bagian itu berperan untuk menjalankan sistem). Seperti yang dijelaskan dalam teori
fungsionalisme structural masyarakat merupakan sistem sosial yang terdiri atas sruktur-
struktur sosial yang fungsional satu sama lain menuju pada keseimbangan, apabila kehilangan
fungsi maka struktur sosial dalam sistem sosial tersebut akan kehilangan keberadaannya, atau
mengalami ketidakstabilan. Artinya dalam masyarakat setiap subsistem memiliki fungsi
berdasarkan kedudukan (struktur) mas ing-masing. Dan apabila diantara subsistem tersebut
tidak menjalankan fungsinya masing-masing (disfungsi) maka akan terjadi keretakan dan
ketidakseimbangan. Kemudian keretakan tersebut cenderung mengakibatkan ketegangan
yang berujung pada konflik. Hal ini dikuatkan dengan teori Talcott Parson bahwa Sistem
sosial senantiasa berproses kearah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan
penyimpangan.Disfungsi dan penyimpangan kerap dilakukan oleh kelompok yang
mendominasi dan memiliki otoritas yang lebih, karena kewenangannya yang disalahgunakan
kemudian melewati batas-batas fungsi subsistem yang lain.

 Konflik Struktural

Ada beberapa asumsi dasar dari struktural konflik ini. Struktural konflik merupakan antitesis
dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan
keteraturan dalam masyarakat. Struktural konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem
sosial. Struktural konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada
pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-
konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian struktural konflik juga melihat adanya
dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Struktural konflik juga membicarakan
mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan
superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat
menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Struktural konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan
sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat
itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, struktural konflik melihat perubahan sosial disebabkan
karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat
mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-
negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut struktural konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan


yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu,
struktural konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua
tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada struktural
konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

 Faktor Penyebab Terjadinya Konflik Sruktural

Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.Manusia memiliki perasaan, pendirian


maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang
bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-
beda.. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok
dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi
karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang
memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati
sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

Akibat Konflik Struktural

Adapun akibat-akibat dari bentuk konflik atau pertentangan

1. Retaknya kesatuan kelompok apabila konflik terjadi dalam satu kelompok tertentu

2. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban

3. Bertambahnya solidaritas in-group. Artinya apabila suatu kelompok bertentangan dengan


kelompok lain, maka solidaritas antar warga kelompok biasanya bertambah erat. Mereka
bahkan bersedia berkorban demi keutuhan kelompok.

 Kejahatan kelas

Kejahatan Kerah Putih disebut juga White Collar Crime. Konsep tentang White Collar Crime
dikembangkan oleh Sutherland sebagai sebuah bentuk kritik terhadap teori-teori kriminologi
yang mencoba menjelaskan suatu kejahatan berdasarkan pada struktur sosial dan tingkat
ekonomi. Masyarakat miskin dan berasal dari kelas menengah bawah saja yang dianggap
sebagai pelaku kejahatan atau kriminal atau calon pelaku kejahatan atau kriminal . Kejahatan
hanya ditampilkan sebagai sebuah dampak yang diperoleh dari adanya kemiskinan dan
kesengsaraan sehingga akhirnya kejahatan hanya mengacu pada “street crime” saja.
Konsep White Collar Crime yang dikembangkan oleh Edwin Sutheland ini membantah
bahwa kejahatan hanya dilakukan oleh masyarakat miskin dan berasal dari kelas bawah. Pada
faktanya kejahatan tidak hanya berhubungan dengan kemiskinan dan maslah struktur sosial
lainnya. Menurut Sutherland konsep White Collar Crime lebih berkaitan dengan teori
Differential Association. Teori ini menyatakan bahwa sebenarnya kejahatan dapat dipelajari
dan kejahatan tersbut dipelajari ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain dalam proses
komunikasi.

White Collar Crime yang dikemukakan adalah untuk menunjukkan tipe pelaku kejahatan
yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum
yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan dalam konsep White
Collar Crime tidak didasarkan pada bentuk tindakan yang merugikan namun lebih
mengutamakan pada ciri pelakunya yang berbeda

2.1 LABELING THEORY (TEORI LABELING)

Menurut Junaedikadir, teori Labeling merupakan teori untuk mengukur mengapa terjadinya


kejahatan, metode yang digunakan dalam teori ini adalah “self refort”, atau melakukan
interview terhadap pelaku kejahatan yang tidak diketahui oleh polisi.Pembahasan labeling,
terfokuskan pada dua tema, pertama :menjelaskan mengapa dan bagaimana orang-orang
tertentu di beri label, kedua : pengaruh atau efek dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi
dari perbuatan yang telah dilakukannya.

Menurut Dewi Simanungkaliti, Labeling Theory memandang para kriminalbukan sebagai


orang yang bersifat jahat  yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan bersifat salah tetapi
mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian
sistem peradilan pidana maupun masyarakat secaraluas.

Menurut Lilik Mulyadi, Teori Labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak
dipengaruhi aliran Chicago. Dibandingkan dengan teori lainnya, teori labeling mempunyai
beberapa spesifikasi, yaitu :

 Teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori menggunakan


perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat ;
 Teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya kejahatan,
dengan menggunakan self report study yaitu interviu terhadap pelaku kejahatan yang
tidak tertangkap/tidak diketahui polisi.
Pada dasarnya, teori labeling di korelasikan dengan buku Crime and the
Community dari Frank Tannenbaum(1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard
Becker(The Outsider, 1963), Kai T. Erikson (Notes on the Sociology of Deviance,
1964), Edwin Lemert (Human Deviance Social Problem and Social Control, 1967)
dan EdwinSchur (Labeling Deviant Behavioer, 1971). Dari perspektif Howard S.
Becker, kajian terhadap teori label menekankan kepada dua aspek, yaitu :
 Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau
label.
 Pengaruh/efekdari label sebagai suatu konsekuensi penyimpan gantingkah laku
Dengan demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan
perilaku jahat .Kemudian F.M. Lemert, terkait dengan masalah kejahatan yang
dilakukan, membedakan tiga bentuk penyimpangan, yaitu :
a.  Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkan tekanan psikis
dari dalam.
b. Situational deviation, sebagai hasil stresatau tekanan dari keadaan.
c. Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam sub-sub
kultur atau sistem tingkah laku.

2.2 TEORI LABELING.


Pada awal 1960-an muncul satu teori krimonologi dengan menggunakan pendekatan
yang berbeda dari teori-teori lainnya yang muncul sebelumnya. Teori labeling
menjawab tentang kejagatan dan perspektif yang baru. Konsep pemikiran labeling
menolak aliran pemikiran positivis yang melihat kejahatan sebagai tindakan yang
melanggar norma. Pedukung teori lebeling memisahkan antara faktor penyebab dan
reaksi sosial terhadap kejahatan serta mempelajari bagaimana mekanisme
pengendaliaanya. Teori labeling memandang kejahatan bersifat relatif dan di
defenisikan oleh masyarakat.

2.3 LABEELING INTERAKSIONISME SIMBOLIK


Adalah suatu perluasan interaksi sosial dengan menggunakan ide sosiologi. Teori
interakskionisme menganalisa cara-cara perilaku sosial biasanya individu berinteraksi
dalam konteks sosial dengan mengguakan konsep tentang diri mereka dan orang lain
di sekitarnya yang berinteraksi dengan mereka.
2.4 TINGKAH LAKU YANG DI CAP
(Becker 1973) menunjukan bahwa tidak adanya perilaku menyimpang atau tindakan
kriminal hingga perilaku atau tindakan ini di definisiskan oleh karenyannya di cap
oleh suatu kelompok atau seluruh anggota masyarakat sebagai perilaku menyimpang
atau sebagai tindakan kriminal. Beberapa perilaku dianggap tindakan kriminal akibat
dari adanya tekanan kelompok tertentu atau kelompok utama.

2.5 PENCAPAN INDIVIDUAL


Para pendukung aliran ini adalah (Lemert (1951) dan Becker(1973) Lemert melihat
pemasalahan utama berkembang ketika suatu lebel di berikan oleh seseorang lalu
memandang bahwa orang itu menyandang lebel(becker(1963) memandang bahwa
dalam pembuatan aturan atau hukum pidana, masyarakat menciptakan penyimpangan
itu karena melakukan penyimpangan atas dasar pelanggar dengan “mencap”atau
memberi lebeling sebagai penjahat dan pelanggar jadi masyarakatlah yang lebih
menciptakan kejahatan. Lebel kriminal hanya di berikan bagi mereka yang jelas
malakukan tindakan kejahatan dan kejahatan mereka hanya sebagain dari proses ini.

2.6 REAKSI SECARA SOSIAL


Pada konsep ini adalah bahwa sesorang yang menjadi subjek dari pelabelan yang
dapat meynyatu dengan orang yang di labelkan dan mungkin berpengaruh pada
perilaku orang tersebut,dan juga dapat di liahat dari dua faktor yakni:
a. Penyimpangan primer
Pada penyimpangan ini tidak di utamakan dalam menjelaskan labeling sebab
konsep labeling tidak memusatkan pada pandangan tetang diri si pelanggar dan
merespon reaksi masyarakat tentang perilakunya.
b. Penyimpangan sekunder
Pada point ini mengartikan bahwa menempati tempat paling akhir di bagian ini
dari permasalahan identitas diri hingga kepada reaksi masyarakat.

Perspektif tentang labeling lebuh menitikberatkana pada defenisi-defenisi tentang


penyimpangan itu sendiri. Perhatiaanya kurang di fokuskan pada apa yang sebenarnya di
lakukan oleh orang-orang yang melakukan penyimpangan dari pada menyoroti bagaiman
ornag lain itu bereaksi. Teori labeling sendiri menekankan proses interaksi manusia
menhasilkan adanya ciri dan penerimaan peranan. Menekankan pada pembentukan peranan
memfokuskan pada perilaku prang yang di bentuk oleh ekspektasi orang lain yang
berinteraksi dengannya. Selain itu memfokuskan kepada pesepsi kita terhadap diri kita
dimana persepsi di perkuat oleh lebel yang di berikan orang lain olleh karena perbuatan yang
kita lakukan.

2.7 DAMPAK PERSPEKTIF LABELING


Dampak perspektif labeling dalam kebijakan sosial sebagainamana terdapat dalam
teori-teori sosial adalah yaitu:
a. Perspektif labeling menegaskan kembali peryataan yang telah lama di buat
oleh para kriminolog kejahatan adalah relatif dan berfungsi menurut waktu
dan tempat.
b. Dengan menganggap bahwa kebutuhan untuk meneliti para pembuat
keputusan dan proses-proses politis secara cermat dimana kejahatan di
tetapkan dan para pelanggar di berikan label perspektif labeling meyoroti
bagian yang berkembnag dalam sosiologi melalui dua model yang saling
bertentangan dalam menganalisis masyarakat yaitu kosensus dan konflik.

Anda mungkin juga menyukai