PERTEMUAN KE 3
ASAS HUKUM PIDANA BERDASARKAN TEMPAT &
ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN.
Pada akhir semester mahasiswa diharapkan dapat menjadi ahli hukum yang
profesional dengan kemampuan memahami dan menganalisa hukum pidana secara
mendalam, makna penerapan pengaplikasian. Guna menjadikan hukum pidana
dirasakan secara positif oleh masyarakat dan dapat digunakan secara tepat sasaran
dalam setiap kasus-kasus pidana yang terjadi baik secara formil dan materil .
B. TUJUAN PEMBELAJARAN.
Setelah pertemuan ke-3 tentang Asas Hukum Pidana Berdasarkan Tempat & Tiada
Pidana Tanpa Kesalahan ini usai maka kemampuan yang diharapkan ada pada diri
mahasiswa/i yang mempelajari hukum pidana, adalah :
1. Mampu menganalisis penggunaan asas-asas hukum pidana dalam praktik
hukum pidana,
2. Mampu menganalisis dan memahami fenomena hukum dari penggunaan
asas tiada pidana tanpa kesalahan.
1
Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana I, C.V. Armico, Bandung, 1990, hlm. 95
Dalam hal ini Utrecht berpendapat bahwa yang dalam konteks asas tersebut
adalah delik pidana yang terjadi diwilayah suatu negara seperti wilayah Republik
Indonesia. Oleh karenanya ada potensi juga berkaitan dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang diwiayah Indonesia namun lokasi pelaku tersebut di luar
negeri (Ex: Penipuan Online).3 Batas territorial Indonesia terdiri dari daratan atau
pulau-pulau dengan batas-batas yang diakui oleh negara-negara asing. Wilayah
Indonesia secara keseluruhan seluas 9.790.754 km2, dengan luas daratan 1.890.754
km2 dan luas perairan hingga 7.900.000 km2. Perairan laut sekeliling pantai dan
udara di atas daratan yang merupakan kedaulatan Indonesia dan yang diakui
berdasarkan kebiasaan dalam hukum internasional dan kesepakatan antara bangsa-
bangsa. Di zaman pendudukan kolonial Belanda wilayah perairan nusantara
ditetapkan 3 mil atau 4,827 km dihitung dari garis laut pada saat sedang surut.
Sehingga membuat perairan nusantara terdapat banyak wilayah laut bebas di antara
2
ibid
3
Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 162
6
ibid, hlm.55
7
ibid, hlm.57
8
Moeljatno, Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 50
9
Sofjan Sastrawidjaja,op.cit,hlm.99
10
ibid
11
Andi Sofyan & Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makasar, 2016. hlm 44.
Dalam pasal ini yang dimaksudkan anatara lain pegawai kedutaan RI, pegawai
polisi RI dalam rangka tugas Interpol, pegawai-pegawai lainnya yang ditugasi
kedutan di luar negeri. Pegawai-pegawai ini pada umumnya terdiri dari warga negara
Indonesia dan banyak pula orang asing.15 Dalam hal ini kewarganegaraan asing itu
lebih diutamakan kepegawaiannya daripada kewarganegaraannya. Ketentuan seperti
ini sudah selayaknya, mengingat kepentingan pemerintahan kita, dan dari sudut “dari
siapa dan untuk siapa” mereka bekerja.16
Asas Nasional Pasif yakni Berlakunya perundang-undangan hukum pidana
didasarkan pada kepen-tingan hukum suatu Negara yang dilanggar oleh seseorang di
luar wilayah Negara atau di luar negeri. Tidak dipersoalkan kewarganegaraan pelaku
tindak pidana apakah warga Negara atau orang asing.17 Asas nasionalitas pasif telah
diruuskan dalam Pasal 4 butir 1, 2, 3, dan Pasal 8 KUHP.
Asas Universalitas yakni perundang-undangan hukum pidana didasarkan
kepada kepen-tingan seluruh dunia yang dilanggar oleh seseorang. 18 Dalam konteks
kejahtan dalam asas universal ini ialah kejahatan yang tergolong sebagai- bagaian
kejahatan musuh umat manusia (hosti humangeneris) semisal kejahatan narkotika,
terorisme, pembajakan pesawat udara, genosida, kejahatan perang dan lain-lain.
Penegasan yuridiksi universal ini terdapat di dalam konvensi tentang kejahatan
internasional atau kejahatan yang mempunyai dimensi internasional.19
Asas ini dalam perundang-undangan Indonesia diatur dalam Pasal 4 sub ke-2
KUHP dan Pasal 4 sub ke-4 KUHP yang berbunyi :20
1. Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang melakukan di luar Indonesia ,
15
Sofjan Sastrawidjaja, Op.Cit, hlm. 105
16
Sofjan Sastrawidjaja, Op.Cit, hlm. 103
17
Ibid, hlm 103.
18
Ibid, hlm 107.
19
Hery Firmansyah, Hukum Pidana Materil & Formil : Asas Legalitas, USAID-The Asia Foundation-
Kemitraan Partnership, Jakarta, 2015,, hlm. 56.
20
Andi Sofyan & Nur Azisa, Op Cit, hlm 49.
2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan
oleh Negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan
dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia.
3. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-Pasal 438, 444, sampai
dengan Pasal 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang
penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479
huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum,
Pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam
keselamatan penerbangan sipil.
Pada Pasal 4 sub ke-2 KUHP berdasarkan Conventie Genewa Tahun 1929
telah disahkan jika dalam hal ini siapa saja yang melakukan pemalsuan uang atau
uang kertas dari negara manapun juga dapat dituntut menurut hukum pidana
Indonesia. Sementara untuk Pasal 4 sub ke-4 KUHP sesuai dengan jiwa Declaration
of Paris 1856.65 Jika kita menelisik konteks deklarasi tersebut maka terlihat bahwa
hukum antar Negara maju telah melarang perampokan di laut tanpa melihat siapa
pelaku dan yang menjadi korban. Untuk melindungi beberapa kepentingan tertentu
tersebut, seakan-akan tidak ada lagi batas torial, personal atau kepentingan sendiri,
untuk mana pemerintah negara-negara mengadakan perjanjian-perjanjian.21
21
S.R. Sianturi, Op.Cit, Hlm. 111
22
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung,1983, hlm. 85.
23
W J.S. PoelWadalJuinta, Logat Keeil Bahasa Indonesia, J.D. Wolters, Jakarta 1949, hlm 110.
24
Lihat E Utrecht, Hukum Pidana 1 (Jakarta: PTPenerbitan Universitas), hlm. 251 - 153; J.M. van
Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Ons Straftrecht I), terj. Hasnan, Binacipta, Bandung, 19S4) , hlm. 99;
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, (Bandung: Eresco).
25
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco,
Bandung, 1986., hlm. 64-65.
26
Moeljatno, Asas-Asas Hukum PidanH. eet. pertama, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 168.
hasil pemeriksaan itu masih tetap meragu-ragukan bagi Hakim, maka adanya
kemampuan bertanggungjawab dari si terdakwa dianggap tidak terbukti,
sehingga ia harus dianggap tidak bersalah dan dengan sendirinya pemidanaan
terhadapnya juga harus dihapuskan.27
Dari konteks tersebut dapat dilihat bilamana unsur kesalahan merupakan
unsur utama yang dapat menentukan dapat atau tidaknya pelaku
dipertanggungjawabkan. Konteks pertanggungjawaban pidana tersebutlah terjadi
karena sebuah ksalahan, sehingga kesalahan adalah point esensi dalam
pemidanaan. (geen straf zonder schuld).
E. RINGKASAN.
Asas Teritorial merupakan asas dalam Perundangan-undangan hukum pidana
menyatakan bahwa berlakunya hukum pidana bagi setiap tindak pidana yang terjadi
di dalam wilayah suatu negara, yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga
negara maupun bukan warga negara atau orang asing, yang mana telah diatur dalam
Pasal 2 KUHP. Dan diperluas dalam pasal 3 KUHP dengan memandang kendaraan air
atau pesawat udara Indonesia sebagai ruang tempat berlakunya hukum pidana (bukan
memperluas wilayah). Berlakunya hukum pidana terutama berdasarkan wilayah
dibatasi atau mempunyai pengecualian yaitu hukum Internasional.Bemmelen
memberikan penjelasan berkaitan dengan konteks pengecualian itu meliputi hukum
pidana Indonesia tidak berlaku pada tempat-tempat dimana seorang duta besar dan
utusan asing yang secara resmi diterima oleh Kepala Negara, dan pegawai-pegawai
kedutaan yang memiliki tugas di bidang diplomatik, konselir atau konsul. Ketentuan
internasional yang menentukan mereka diberi-kan imunitas hukum pidana, dalam arti
bahwa hukum pidana Indonesia tidak berlaku bagi mereka. Asas Nasional Aktif
merupakan asas dalam Perundang-undangan hukum pidana berlaku yang menegaskan
setiap warga negara yang melakukan tindak pidana tertentu di luar wilayah Negara
27
Moeljatno, Ibid.,hlm 168; dan Roeslan Saleh, Pelil"'utan Pmna dan Pertangcungan Jawab Pidana,
Centra, jakarta 1968, hlm. 65.
atau di luar negeri. Dan Asas nasionalitas aktif diperluas dengan berlakunya KUHP
Indonesia bagi pegawai negeri Indonesia yang berada di luar negeri yang melakukan
kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHP Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pegawai negeri Indonesia yang di
luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam
Bab XXVIII Buku Kedua. Asas Universalitas yakni perundang-undangan hukum
pidana didasarkan kepada kepen-tingan seluruh dunia yang dilanggar oleh seseorang.
Dalam konteks tiada pidana tanpa kesalahan mengandung arti bahwa,
Kesalahan adalah hal yang sangat penting ketika kita berbicara tentang hukum pidana
selain sifat melawan hukum dari perbuatan yang harus dipenuhi sehingga seorang
yang melanggar hukum tersebut dapat dijatuhi pidana. Menurut Sudarto, konteks
dapat pemidanaan seseorang tidak cukup pada kondisi orang tersebut telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Sehingga meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam undang –
undang dan tidak dibenarkan (an bjective breach of a penal provision), namun hal
tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Hal tersebut haruslah
memperhatikan Konteks Kesalahan merupakan dasar dari
pertanggungjawaban..Konteks sering dikaitkan sebagai kondisi jiwa pelaku yang
melakukan kesalahan dalam bentuk hubungan batin berkaitan dengan perbuatan
tercela dan pelakunya. Untuk menetapkan ada tidaknya kesalahan, maka terdapat
beberapa unsur yang harus terpenuhi, yakni : 1) Pelaku Mampu dalam Hal
Bertanggung jawab, 2) Pelaku Mampu menyadai perbuatanya adalah suatu hal yang
tidak diperbolehkan dalam masyarakat baik perbuatan tersebut dalam bentuk
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), 3) Tidak adanya alasan penghapus
kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.
F. UJI PEMAHAMAN.
G. REFRENSI.
Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995
Andi Sofyan & Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makasar,
2016.
Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Ons Straftrecht I), terj. Hasnan, Binacipta, Bandung,
19S4).
Hery Firmansyah, Hukum Pidana Materil & Formil : Asas Legalitas, USAID-The
Asia Foundation-Kemitraan Partnership, Jakarta, 2015.
W J.S. PoelWadalJuinta, Logat Keeil Bahasa Indonesia, J.D. Wolters, Jakarta 1949.
Bandung, 1986.