Anda di halaman 1dari 14

1

BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

PERTEMUAN KE 3
ASAS HUKUM PIDANA BERDASARKAN TEMPAT &
ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN

A. CAPAIAN PEMBELAJARAN.
Pada akhir semester mahasiswa diharapkan dapat menjadi ahli hukum yang
profesional dengan kemampuan memahami dan menganalisa hukum pidana secara
mendalam, makna penerapan pengaplikasian. Guna menjadikan hukum pidana
dirasakan secara positif oleh masyarakat dan dapat digunakan secara tepat sasaran
dalam setiap kasus-kasus pidana yang terjadi baik secara formil dan materil .

B. TUJUAN PEMBELAJARAN.
Setelah pertemuan ke-3 tentang Asas Hukum Pidana Berdasarkan Tempat & Tiada
Pidana Tanpa Kesalahan ini usai maka kemampuan yang diharapkan ada pada diri
mahasiswa/i yang mempelajari hukum pidana, adalah :
1. Mampu menganalisis penggunaan asas-asas hukum pidana dalam praktik
hukum pidana,
2. Mampu menganalisis dan memahami fenomena hukum dari penggunaan
asas tiada pidana tanpa kesalahan.

C. ASAS PENGECUALIAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA


MENURUT TEMPAT.

Terdapat setidaknya 4 (empat) asas, yang membahas berkaitan dengan


lingkup berlakunya hukum pidana berdasarkan tempat, yakni: 1

1
Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana I, C.V. Armico, Bandung, 1990, hlm. 95

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


2
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

1. Asas Teritorials atau yang dikenal dengan stilah territorealiteits


beginsel ofland gebieds beginsel;
2. Asas Nasional Aktif atau Asas Personalitas atau actieve nationalities
beginsel of personaliteits beginsel;
3. Asas Nasional Pasif atau Asas Perlindungan atau passieve
nationaliteits beginsel of beschermings beginsel;
4. Asas Universalitas universaliteits beginsel;
Asas Teritorial merupakan asas dalam Perundangan-undangan hukum pidana
menyatakan bahwa berlakunya hukum pidana bagi setiap tindak pidana yang terjadi
di dalam wilayah suatu negara, yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga
negara maupun bukan warga negara atau orang asing.2
Pasal 2 KUHP menyebutkan bahwa :
“ Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang dalam wilayah Indonesia melakukan suatu tindak pidana.”

Dalam hal ini Utrecht berpendapat bahwa yang dalam konteks asas tersebut
adalah delik pidana yang terjadi diwilayah suatu negara seperti wilayah Republik
Indonesia. Oleh karenanya ada potensi juga berkaitan dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang diwiayah Indonesia namun lokasi pelaku tersebut di luar
negeri (Ex: Penipuan Online).3 Batas territorial Indonesia terdiri dari daratan atau
pulau-pulau dengan batas-batas yang diakui oleh negara-negara asing. Wilayah
Indonesia secara keseluruhan seluas 9.790.754 km2, dengan luas daratan 1.890.754
km2 dan luas perairan hingga 7.900.000 km2. Perairan laut sekeliling pantai dan
udara di atas daratan yang merupakan kedaulatan Indonesia dan yang diakui
berdasarkan kebiasaan dalam hukum internasional dan kesepakatan antara bangsa-
bangsa. Di zaman pendudukan kolonial Belanda wilayah perairan nusantara
ditetapkan 3 mil atau 4,827 km dihitung dari garis laut pada saat sedang surut.
Sehingga membuat perairan nusantara terdapat banyak wilayah laut bebas di antara
2
ibid
3
Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 162

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


3
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

pulau-pulau. Kondisi ini disisilain berdampak merugikan bangsa Indonesia hal


tersebut disebabkan kapal asing bisa bebas berlalu lalang dan mengambil sumber
daya laut. Olehnya beberapa pakar di Indonesia medorong gagasan berkaitan dengan
kondisi perairan Indonesia yang sangat luas. Pemerintah Indonesia mengambil sikap
pencetusan wawasan nusantara dalam bentuk deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
Konsep wilayah Indonesia kemudian diperkuat oleh UU No. 4 Tahun 1960. Berkat
upaya dan perjuangan akhir-nya Deklarasi Djuanda mendapat pengakuan dunia
Internasional di Jamaika pada tahun 1980. Pada konvensi hukum laut ini diakui
keberadaan wilayah perairan Indonesia yang meliputi perairan nusantara, luas
wilayah, dan zona Ekonomi Eksklusif diakui. Undang-undang perairan No. 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia.4
Pasal 3 KUHP merupakan perluasan berlakunya asas teritorialitas yang
memandang kendaraan air atau pesawat udara Indonesia sebagai ruang tempat
berlakunya hukum pidana (bukan memperluas wilayah). 5Pasal 3 KUHP menya-takan
bahwa :
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan
air atau pesawat udara Indonesia.

Berlakunya hukum pidana terutama berdasarkan wilayah dibatasi atau


mempunyai pengecualian yaitu hukum Internasional. Hal terseut tertuang dalam Pasal
9 KUHP bahwa berlakunya Pasal 2 s/d 5,7 dan 8 KUHP dibatasi oleh hal yang
dikecualikan yang diakui dalam hukum internasional. Namun dalam hal ini tidak ada
pencelasan rinci yang membahas tentang hukum internasional di dalam KUHP yang
memberikan batasab tentag berlakunya hukum pidana tersebut, namun Van
Bemmelen memberikan penjelasan berkaitan dengan konteks pengecualian itu
meliputi hukum pidana Indonesia tidak berlaku pada tempat-tempat dimana seorang
duta besar dan utusan asing yang secara resmi diterima oleh Kepala Negara, dan
4
http://genggaminternet.com/perkembangan-wilayah-terotorial-laut-di-indonesia/
5
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 52

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


4
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

pegawai-pegawai kedutaan yang memiliki tugas di bidang diplomatik, konselir atau


konsul. Ketentuan internasional yang menentukan mereka diberi-kan imunitas hukum
pidana, dalam arti bahwa hukum pidana Indonesia tidak berlaku bagi mereka. 6
Hazewinkel Suringa memiliki pandangan bahwa konteks perwakilan negara asing
atau diplomat tidak tunduk pada hukum Negara tempat mereka berada sebagai
lambang kedaulatan Negara asing tersebut.7 Termasuk didalammnya Kepala Negara
dengan keluarganya, anak buah kapal perang asing yang berkunjung ke suatu negara,
pasukan Negara sahabat yang berada di wilayah Negara atas persetu-juan negara yang
bersangkutan.8
Asas Nasional Aktif merupakan asas dalam Perundang-undangan hukum
pidana berlaku yang menegaskan setiap warga negara yang melakukan tindak pidana
tertentu di luar wilayah Negara atau di luar negeri. 9 Pada dasarnya asas ini dikaitkan
dengan orangnya (warga negara) tanpa mempersoalkan dimanapun ia berada. Atas
dasar kedaulatan negara maka seti-ap negara berdaulat menghendaki agar setiap
warga negaranya tunduk pada perundang-undangan hukum pidana negaranya
dimanapun ia berada. Dengan kata lain bahwa perundang-undangan hukum pidana
negara yang berdaulat itu selalu mengikuti warganya.10
Kita cermati Dalam KUHP Indonesia berkaitan dengan asas ini ternyata
digunakan dalam batas-batas tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 5 KUHP dan
Pasal 6 KUHP dan Pasal 7 KUHP. Pasal 5 KUHP mengatur sebagai berikut :11
1) Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi warga
negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia :
1. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan
dalam Pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451 KUHP.

6
ibid, hlm.55
7
ibid, hlm.57
8
Moeljatno, Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 50
9
Sofjan Sastrawidjaja,op.cit,hlm.99
10
ibid
11
Andi Sofyan & Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makasar, 2016. hlm 44.

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


5
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

2. suatu perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut


ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia se-dangkan
menurut perundang-undangan negara di mana perbua-tan dilakukan
diancam dengan pidana.
2) Penuntutan perkara sebagaimana dimasud dalam butir 2 dapat di-lakukan
juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melaku-kan kejahatan.
Pasal 5 ayat (1) ke 1 KUHP memberikan peluang dalam hal ini kejahatan-
kejahatan yang mengancam kepentingan-kepentingan yang khusus bagi Indonesia,
tetapi mungkin kejahatan-kejahatan itu tidak dimuat dalam hukum pidana negara
asing sehingga pelakunya tidak dapat dipidana, apabila kejahatan-kejahatan itu
dilakukan di wilayah negara asing itu. Sedang-kan apabila kejahatan-kejahatan itu
dilakukan oleh warga negara Indonesia, meskipun dilakukannya di wilayah negara
asing dapat dituntut di Indonesia menurut perundang-undangan hukum pidana
Indonesia.12Pasal 5 ayat (1) ke 2 KUHP memberikan gambaran bahwa hukum pidana
Indonesia dapat diterapkan jikalau di samping perbuatan itu merupakan tindak pidana
di negara Indonesia juga meru-pakan tindak pidana di luar negeri. Singkatnya bahwa
Pasal 5 ayat (1) ke 1 KUHP tidak mempersoalkan apakah tindakan itu merupakan
tindak pidana atau tidak di luar negeri yang bersangkutan, sedangkan Pasal 5 ayat (1)
ke 2 KUHP mensyaratkan mesti berupa tindak pidana di luar negeri (kejahatan
rangkap).13
Asas nasionalitas aktif diperluas dengan berlakunya KUHP Indonesia bagi
pegawai negeri Indonesia yang berada di luar negeri yang melakukan kejahatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHP Ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia berlaku bagi setiap pegawai negeri Indonesia yang di luar
Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab
XXVIII Buku Kedua.14
12
Sofjan Sastrawidjaja,Op.Cit,hlm.100.
13
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1986,,
hlm. 103
14
Andi Sofyan & Nur Azisa, Op Cit, hlm 46.

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


6
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

Dalam pasal ini yang dimaksudkan anatara lain pegawai kedutaan RI, pegawai
polisi RI dalam rangka tugas Interpol, pegawai-pegawai lainnya yang ditugasi
kedutan di luar negeri. Pegawai-pegawai ini pada umumnya terdiri dari warga negara
Indonesia dan banyak pula orang asing.15 Dalam hal ini kewarganegaraan asing itu
lebih diutamakan kepegawaiannya daripada kewarganegaraannya. Ketentuan seperti
ini sudah selayaknya, mengingat kepentingan pemerintahan kita, dan dari sudut “dari
siapa dan untuk siapa” mereka bekerja.16
Asas Nasional Pasif yakni Berlakunya perundang-undangan hukum pidana
didasarkan pada kepen-tingan hukum suatu Negara yang dilanggar oleh seseorang di
luar wilayah Negara atau di luar negeri. Tidak dipersoalkan kewarganegaraan pelaku
tindak pidana apakah warga Negara atau orang asing.17 Asas nasionalitas pasif telah
diruuskan dalam Pasal 4 butir 1, 2, 3, dan Pasal 8 KUHP.
Asas Universalitas yakni perundang-undangan hukum pidana didasarkan
kepada kepen-tingan seluruh dunia yang dilanggar oleh seseorang. 18 Dalam konteks
kejahtan dalam asas universal ini ialah kejahatan yang tergolong sebagai- bagaian
kejahatan musuh umat manusia (hosti humangeneris) semisal kejahatan narkotika,
terorisme, pembajakan pesawat udara, genosida, kejahatan perang dan lain-lain.
Penegasan yuridiksi universal ini terdapat di dalam konvensi tentang kejahatan
internasional atau kejahatan yang mempunyai dimensi internasional.19
Asas ini dalam perundang-undangan Indonesia diatur dalam Pasal 4 sub ke-2
KUHP dan Pasal 4 sub ke-4 KUHP yang berbunyi :20
1. Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang melakukan di luar Indonesia ,

15
Sofjan Sastrawidjaja, Op.Cit, hlm. 105
16
Sofjan Sastrawidjaja, Op.Cit, hlm. 103
17
Ibid, hlm 103.
18
Ibid, hlm 107.
19
Hery Firmansyah, Hukum Pidana Materil & Formil : Asas Legalitas, USAID-The Asia Foundation-
Kemitraan Partnership, Jakarta, 2015,, hlm. 56.
20
Andi Sofyan & Nur Azisa, Op Cit, hlm 49.

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


7
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan
oleh Negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan
dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia.
3. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-Pasal 438, 444, sampai
dengan Pasal 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang
penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479
huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum,
Pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam
keselamatan penerbangan sipil.
Pada Pasal 4 sub ke-2 KUHP berdasarkan Conventie Genewa Tahun 1929
telah disahkan jika dalam hal ini siapa saja yang melakukan pemalsuan uang atau
uang kertas dari negara manapun juga dapat dituntut menurut hukum pidana
Indonesia. Sementara untuk Pasal 4 sub ke-4 KUHP sesuai dengan jiwa Declaration
of Paris 1856.65 Jika kita menelisik konteks deklarasi tersebut maka terlihat bahwa
hukum antar Negara maju telah melarang perampokan di laut tanpa melihat siapa
pelaku dan yang menjadi korban. Untuk melindungi beberapa kepentingan tertentu
tersebut, seakan-akan tidak ada lagi batas torial, personal atau kepentingan sendiri,
untuk mana pemerintah negara-negara mengadakan perjanjian-perjanjian.21

D. ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN.


Sebagaima yang diketahui tidak semua negara didunia merumuskan secara
jelas dan tegas berkaitan dengan asas "Tiada Pidana Tanpa Kesalahan", yang
dikenal sebagai prinsip umum yang bersemayam dalam hukum pidana. Hakekat asas
ialah mencari hukum dan menghukum orang yang memang benar-benar dapat
dipersalahkan atas suatu delik. Jika kita lihat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), asas ini dirumuskan sebaga; pertanggungjawaban berdasarkan
adanya kesalahan.

21
S.R. Sianturi, Op.Cit, Hlm. 111

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


8
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

1. Kesalahan Sebagai Syarat Mutlak Pemidanaan.


Kesalahan adalah hal yang sangat penting ketika kita berbicara tentang
hukum pidana selain sifat melawan hukum dari perbuatan yang harus dipenuhi
sehingga seorang yang melanggar hukum tersebut dapat dijatuhi pidana.
Menurut Sudarto, konteks dapat pemidanaan seseorang tidak cukup pada kondisi
orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum. Sehingga meskipun pembuatnya memenuhi rumusan
delik dalam undang – undang dan tidak dibenarkan (an bjective breach of a
penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan
pidana. Karena hal tersebut masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guild).
Dengan kata lain mesti ada perbuatan yang harus di pertanggungjawabkan
kepada orang tersebut. Pada hal tersebutlah muncul konteks “asas tiada pidana
tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau
nulla poena sine culpa), culpa di sini dalam arti luas meliputi juga kesengajaan.22
Konteks Kesalahan merupakan dasar dari pertanggungjawaban..Konteks
sering dikaitkan sebagai kondisi jiwa pelaku yang melakukan kesalahan dalam
bentuk hubungan batin berkaitan dengan perbuatan tercela dan pelakunya. Untuk
menetapkan ada tidaknya kesalahan, maka terdapat beberapa unsur yang harus
terpenuhi, yakni :
(1) Pelaku Mampu dalam Hal Bertanggung jawab,
(2) Pelaku Mampu menyadai perbuatanya adalah suatu hal yang
tidak diperbolehkan dalam masyarakat baik perbuatan tersebut
dalam bentuk kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa),
(3) Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak adanya
alasan pemaaf.
Ketka unsur tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya

22
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung,1983, hlm. 85.

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


9
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Sebagai Asas Esensial dalam


Hukum Pidana.
Istilah pertanggungjawaban berasal dari kat a majemuk tanggung-jawab
yang artinya adalah menanggung segala apa yang terjadi yang berhubungan
dengan kewajiban ataupun sesuatu perbuatan.23
Dengan demikian pertanggungjawaban pidana berarti sesuatu hukuman
(pemidanaan) yang harus ditanggung (dijalani) oleh seseoranglkelompok orang,
sehubungan dengan kewajiban ataupun perbuatannya yang melanggar hukum
pidana. Akan timbul pertanggungjawaban pi dana apabila terjadi sesuatu tindak
pidana. Untuk terjadinya suatu tindak pidana diperlukan adanya beberapa syarat.
Pada umumnya para sarjana menyebutkan bahwa syarat-syarat tersebut, pertama
adalah adanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, kedua bahwa
perbuatan itu dapat dipersalahkan terhadap sipelaku, dan ketiga adalah bahwa
sipelaku haruslah orang yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap hukum
pidana.24
Dari beberapa syarat untuk terjadinya suatu tindak pidana tersebut, apabila
salah satu syarat saja diantaranya tidak terdapat dalam suatu perbuatan,
betatapun keras atau kejamnya suatu perbuatan beserta akibat-akibatnya,
perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang itu tidaklah dapat dikatakan
sebagai suatu tindak pidana.
Sebagai contoh misalnya si Adi memukul (menganiaya) Budi, namun
perbuatan Adi tersebut terjadi disebabkan Budi telah terlebih dahulu menyerang
Adi. Maka Perbuatan Adi tersebut dimaafkan menurut hukum KUHP, karena
perbuatan yang dilakukannya tersebut tergolong dalam rangka membela diri

23
W J.S. PoelWadalJuinta, Logat Keeil Bahasa Indonesia, J.D. Wolters, Jakarta 1949, hlm 110.
24
Lihat E Utrecht, Hukum Pidana 1 (Jakarta: PTPenerbitan Universitas), hlm. 251 - 153; J.M. van
Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Ons Straftrecht I), terj. Hasnan, Binacipta, Bandung, 19S4) , hlm. 99;
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, (Bandung: Eresco).

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


10
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

(Bela Paksa), sehingga ia dapatberpegang pada ketentuan Pasal 49 Kitab


Undang-undang Hukum Pidana (yang selanjutnya akan disebut KUHP).
Suatu contoh klasik keputusan Hoge Raad Belanda tahun 1916 yang
membebaskan dari hukuman . terhadap seorang pembantu pengusaha susu sapi,
di mana ia telah menyerahkan susu sapi yang telah dicampur dengan air kepada
para pelanggan susu mumi. Mencampur susu mumi dengan bahan lain yang
kemudian diperdagangkan adalah merupakan suatu larangan berdasarkan
Peraturan Daerah di Amsterdam dan diancam dengan hukuman pidana. 25 Namun
karen a si pembantu tersebut tidak mengetahui sarna sekali bahwa susu sapi yang
ia serahkan kepada para pelanggannya itu telah dicampuri dengan air oleh
majikannya, maka ia (si pembantu) dianggap tidak bersalah, sehingga iapun
tidak dihukum.
Mengenai dapat atau tidaknya seseorang dipertanggungjawabkarr terhadap
hukum pidana adalah tergantungdari kemampuan seseorang di dalam
mempertanggungjawabkan segala perbuatan ataupun akibatakibat dari
perbuatannya. Kemampuan bertanggung jawab dari seseorang tergantung pula
pada keadaan jiwanya. Pada umumnya setiap orang yang telah melakukan suatu
tindak pidana selalu dianggap bahwa jiwanya adalah normal (sehat), sehingga ia
dianggap matnpu mempertanggungjawabkan segala perbuatan ataupun akibat-
akibatnya. Hanya apabila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa
terdakwa mungkin jiwanya tidak sehat, maka Hakim barulah memerintahkan
untuk mengadakan petneriksaan secara khusus mengenai keadaan jiwa si
terdakwa tersebut.26
Apabila hasil pemeriksaan dapat membuktikan bahwa keadaan jiwa si
terdakwa memang tidak sehat sedemikian rupa, maka pentidanaan juga tidak
dapat dijatuhkan terhadapnya. Bahkan beberapa sarjana berpendapat bahwa bila

25
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco,
Bandung, 1986., hlm. 64-65.
26
Moeljatno, Asas-Asas Hukum PidanH. eet. pertama, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 168.

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


11
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

hasil pemeriksaan itu masih tetap meragu-ragukan bagi Hakim, maka adanya
kemampuan bertanggungjawab dari si terdakwa dianggap tidak terbukti,
sehingga ia harus dianggap tidak bersalah dan dengan sendirinya pemidanaan
terhadapnya juga harus dihapuskan.27
Dari konteks tersebut dapat dilihat bilamana unsur kesalahan merupakan
unsur utama yang dapat menentukan dapat atau tidaknya pelaku
dipertanggungjawabkan. Konteks pertanggungjawaban pidana tersebutlah terjadi
karena sebuah ksalahan, sehingga kesalahan adalah point esensi dalam
pemidanaan. (geen straf zonder schuld).

E. RINGKASAN.
Asas Teritorial merupakan asas dalam Perundangan-undangan hukum pidana
menyatakan bahwa berlakunya hukum pidana bagi setiap tindak pidana yang terjadi
di dalam wilayah suatu negara, yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga
negara maupun bukan warga negara atau orang asing, yang mana telah diatur dalam
Pasal 2 KUHP. Dan diperluas dalam pasal 3 KUHP dengan memandang kendaraan air
atau pesawat udara Indonesia sebagai ruang tempat berlakunya hukum pidana (bukan
memperluas wilayah). Berlakunya hukum pidana terutama berdasarkan wilayah
dibatasi atau mempunyai pengecualian yaitu hukum Internasional.Bemmelen
memberikan penjelasan berkaitan dengan konteks pengecualian itu meliputi hukum
pidana Indonesia tidak berlaku pada tempat-tempat dimana seorang duta besar dan
utusan asing yang secara resmi diterima oleh Kepala Negara, dan pegawai-pegawai
kedutaan yang memiliki tugas di bidang diplomatik, konselir atau konsul. Ketentuan
internasional yang menentukan mereka diberi-kan imunitas hukum pidana, dalam arti
bahwa hukum pidana Indonesia tidak berlaku bagi mereka. Asas Nasional Aktif
merupakan asas dalam Perundang-undangan hukum pidana berlaku yang menegaskan
setiap warga negara yang melakukan tindak pidana tertentu di luar wilayah Negara
27
Moeljatno, Ibid.,hlm 168; dan Roeslan Saleh, Pelil"'utan Pmna dan Pertangcungan Jawab Pidana,
Centra, jakarta 1968, hlm. 65.

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


12
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

atau di luar negeri. Dan Asas nasionalitas aktif diperluas dengan berlakunya KUHP
Indonesia bagi pegawai negeri Indonesia yang berada di luar negeri yang melakukan
kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHP Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pegawai negeri Indonesia yang di
luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam
Bab XXVIII Buku Kedua. Asas Universalitas yakni perundang-undangan hukum
pidana didasarkan kepada kepen-tingan seluruh dunia yang dilanggar oleh seseorang.
Dalam konteks tiada pidana tanpa kesalahan mengandung arti bahwa,
Kesalahan adalah hal yang sangat penting ketika kita berbicara tentang hukum pidana
selain sifat melawan hukum dari perbuatan yang harus dipenuhi sehingga seorang
yang melanggar hukum tersebut dapat dijatuhi pidana. Menurut Sudarto, konteks
dapat pemidanaan seseorang tidak cukup pada kondisi orang tersebut telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Sehingga meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam undang –
undang dan tidak dibenarkan (an bjective breach of a penal provision), namun hal
tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Hal tersebut haruslah
memperhatikan Konteks Kesalahan merupakan dasar dari
pertanggungjawaban..Konteks sering dikaitkan sebagai kondisi jiwa pelaku yang
melakukan kesalahan dalam bentuk hubungan batin berkaitan dengan perbuatan
tercela dan pelakunya. Untuk menetapkan ada tidaknya kesalahan, maka terdapat
beberapa unsur yang harus terpenuhi, yakni : 1) Pelaku Mampu dalam Hal
Bertanggung jawab, 2) Pelaku Mampu menyadai perbuatanya adalah suatu hal yang
tidak diperbolehkan dalam masyarakat baik perbuatan tersebut dalam bentuk
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), 3) Tidak adanya alasan penghapus
kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.

F. UJI PEMAHAMAN.

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


13
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

Dari penjelasan-penjalasan yang telah disebutkan diatas maka, terdapat


bebrapa hal yang harus di pecahkan oleh mahasiswa/I yakni :
1. Buatlah analysis saudara/i berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang diwiayah Indonesia namun lokasi pelaku dalam
melancarkan aksi kejahatan tersebut di luar negeri? seperti apakah
penerapan Asas Teritorials dan pertimbangan pertanggungjawaban hukum
pidana atas kasus tersebut!
2. Buatlah analysis saudara/i berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang yang dikategorikan sebagai diplomat suatu negara?
pertanggungjawaban hukum pidana atas kasus tersebut!
3. Buatlah analysis saudara/i berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang yang dikategorikan sebagai bawahan yang diperintahkan
oleh atasan/majikanya? seperti apa pertanggungjawaban hukum pidana
atas kasus tersebut!

G. REFRENSI.

Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991

Andi Sofyan & Nur Azisa, Buku Ajar Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makasar,
2016.

Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Ons Straftrecht I), terj. Hasnan, Binacipta, Bandung,
19S4).

Hery Firmansyah, Hukum Pidana Materil & Formil : Asas Legalitas, USAID-The
Asia Foundation-Kemitraan Partnership, Jakarta, 2015.

Moeljatno, Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana I, C.V. Armico, Bandung, 1990.

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM


14
BAHAN AJAR HUKUM PIDANA

S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni Ahaem-


Petehaem, Jakarta, 1986.

Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung,1983.

W J.S. PoelWadalJuinta, Logat Keeil Bahasa Indonesia, J.D. Wolters, Jakarta 1949.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco,

Bandung, 1986.

UNIVERSITAS PAMULANG | BAHAN AJAR FAKULTAS HUKUM

Anda mungkin juga menyukai